Anda di halaman 1dari 10

Tugas 2 Makroekonomi Ilmu Ekonomi Kelas Reguler

1. Almara Dwi Putra HM Sitompul (H1501202030)


2. Miko Novri Amandra (H1501201005)
3. M. Bachtiar (H1601202013)
4. Mitha Rizkia Putri (H1417033)
5. Norna Anisa (H1501202012)

1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks yang menggambarkan


tingkat pencapaian pembangunan daerah secara menyeluruh. Perkembangan angka
IPM, memberikan angka indikasi peningkatan atau penurunan suatu kinerja
pembangunan manusia pada suatu daerah. IPM dibangun melalui pendekatan tiga
aspek, yaitu peluang hidup, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Untuk mengukur
aspek kesehatan digunakan angka umur harapan hidup, sedangkan untuk mengukur
aspek pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata
lama sekolah. Adapun untuk mengukur aspek kelayakan hidup digunakan indikator
kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity).
Interpretasi nila IPM “Semakin tinggi nilai IPM suatu daerah, dalam arti
semakin mendekati nilai 100, maka semakin bagus tingkat pembangunan manusia
didaerah tersebut”. IPM tidak diinterpretasikan dengan persentase. Jika suatu provinsi
memiliki IPM 65 tidak dibaca 65%, karena merupakan indeks.
Kriteria IPM suatu daerah
 IPM rendah, jika IPM<50,0
 IPM menengah bawah, jika 50,0-65.9
 IPM menengah atas, jika 66,0-79,9
 IPM tinggi, jika IPM>80,0
Komponen (Dimensi Penyusun IPM) yaitu Umur panjang (x1), sebagai
indikatornya adalah angka harapan hidup pada saat lahir. Pengetahuan (x2), sebagai
indikatornya adalah ukuran kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk
dewasa (dengan bobot 2/3) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot 1/3). Tingkat
kehidupan yang layak (x3), yang diukur dengan pengeluaran perkapita Pada
umumnya untuk mengubah sebuah variabel awal, sebagai contoh x, kepada sebuah
index bebas antara 0 dan 1 (yang memperbolehkan indeks yang berbeda untuk
ditambahkan sebagai satu kesatuan), formual yang digunakan adalah sebagai berikut:
x−min ⁡(x)
x Index = ∗10 0
max ( x )−min ⁡( x )
Dimana min ((x) dan max (x) adalah variabel angka maksimum dan minimum x yang
dapat diperoleh :
Rumus Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
1
IPM = (Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3)
3

Gambar 1.1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tahun 2010-2019


Pada gambar di atas menunjukkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
di Indonesia dari tahun 2010 hingga tahun 2019, selama kurun waktu 2010 hingga
2016, pembangunan manusia di Indonesia menunjukkan perkembangan yang terus
meningkat, pada tahun 2010 berada pada angka 66,530 hingga 2011 pada angka
67,090 capaian IPM dihampir seluruh provinsi telah berada pada kategori menengah
atas,pada tahun 2012 status pencapaian pada angka 67,700 masih pada kategori
menengah atas,pada tahun 2013 sebesar 68,310 masih bertahan pada kategori
menengah atas, pada tahun 2014 pada angka 68,900, pada tahun 2015 IPM Indonesia
sudah mencapai 69,550, perkembangan ini menunjukkan semakin membaiknya
pembangunan manusia secara umum di Indonesia. Capaian pada tahun 2017 diangka
70,810 menunjukkan peningkatan yang cukup berarti, pada tahun 2018 IPM
Indonesia mencapai 71,390 meningkat sebesar 0,58 dari tahun sebelumnya. Tahun
2018 merupakan tahun ketiga Indonesia berstatus pembangunan manusia tinggi ,pada
tahun 2019 diangka 71,920 IPM Indonesia dan komponen pembentuknya mengalami
kenaikan, dimensi pendidikan memiliki kontribusi paling besar terhadap capaian IPM
Indonesia.
Gambar 1.2 Rata – Rata IPM Per Provinsi Tahun 2010-2019
Apabila dilihat dari pemerataan secara umum pembangunan manusia pada
level provinsi semakin merata (rata-rata 2010-2019). DKI Jakarta merupakan provinsi
dengan nilai IPM tertinggi yakni 78,72, meskipun memiliki nilai IPM yang sangat
tinggi, namun pertumbuhan indeks setiap dimensinya tidak seimbang. Provinsi DI
Yogyakarta, kalimantan timur dan kepulauan riau memiliki indeks standar hidup
layak yang lebih tinggi dibandingkan indeks dimensi lainnya. sedangkan diprovinsi
papua yang merupakan provinsi dengan nilai IPM terendah dengan angka 57,33
masih berada pada status menengah bawah.

Gambar 1.3 Peta Rata – Rata IPM Per Provinsi Tahun 2010-2019
2. Tingkat Kemiskinan
Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan (setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori
2100 kkal per kapita perhari dan bukan makanan (kebutuhan minum untuk
perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan)  diukur dari sisi pengeluaran.
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
perbulan di bawah garis kemiskinan.

Gambar 2. 1 Persentase Penduduk Miskin Tahun 2012-2019


Pada Gambar 2.1 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di
Indonesia sebagian besar berada di pedesaan. Hal ini tentu tidak terlau mengejutkan,
karena selama ini program-program pembangunan yang dilaksanakan cenderung bias
ke perkotaan. Selain itu, berdasarkan RPJMN 2015-2019, pada tahun 2019
diharapkan arget tingkat kemiskinan berada di titik 8,5% – 9,5 %.Akan tetapi. dari
gambar di atas dapat dilihat bahwa persentase kemiskinan jauh melonjak di atas
target. Rata-rata Provinsi di Indonesia belum mampu untuk mencapai target tersebut.
Hanya ada beberapa Provinsi yang mampu mencapai target yaitu Sumatera Barat
(4,76%); Banten (4,12%); Bali (3,29%); DKI Jakarta (3,47%); Kalimantan Barat
(4,6%); Kalimantan Tengah (4,47%); Kalimantan Utara (5,1%); Kep. Bangka
Belitung (2,85%), dll. Insiden kemiskinan yang sangat tinggi (Papua), diakibatkan
tersedianya bentang alam yang sangat luas (sumber daya melimpah). Akan tetapi,
mengalami ketertinggalan infrastruktur sosial-ekonomi dan jumlah penduduk yang
sedikit membuat produktivitas dalam mengelola sumber daya rendah.
Kategori penduduk miskin berdasarkan persentase:
0-5% = rendah; 5-10% = sedang; 10-20% = tinggi; 20-40% = sangat tinggi
Gambar 2.2 Rata – Rata Persentase Penduduk Miskin Per Provinsi Tahun 2010-2019
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta jiwa atau sekitar 9,82% dari total
penduduk. Jumlah tersebut berkurang 530 ribu jiwa dibandingkan pada September
tahun lalu dan menyusut 805 ribu jiwa dibandingkan pada Maret tahun lalu. Pada
gambar di atas dapat dilihat jumlah penduduk terbanyak yaitu berada di kawasan
Indonesia Timur. Hal tersebut terjadi, karena penggunaan efektivitas, kapasitas
sumber daya manusia, dll di daerah tersebut masih kurang memadai. Kawasan
Indonesia timur memiliki angka penduduk miskin di atas 20%. Selain itu, tingkat
kemiskinan juga tertinggi juga ada di Pulau Jawa, padahal pulau Jawa memiliki
kelengkapan infrastruktur sosial-ekonomi.
Kategori penduduk miskin berdasarkan jumlah penduduk:
0-10 = sedikit; 10-50 = sedang; 50-150 = banyak ; 150-500 = sangat banyak

Gambar 2.3 Peta Rata – Rata Persentase Penduduk Miskin Per Provinsi Tahun 2010-
2019
Tabel 1. Rata-rata Pengeluaran Perkapita dan Garis Kemiskinan di Indonesia Tahun
2013-2018 (Rupiah)
Tahu Rata-rata Pengeluaran Rata-rata Garis Garis
n Perkapita (Perkotaan) Pengeluaran Kemiskinan Kemiskinan
Perkapita (Perkotaan) (Pedesaan)
(Pedesaan)
2013 RP 903.085 RP 505.461 RP 275.779 RP 275.779
2014 RP 978.718 RP 572.586 RP 326.853 RP 296.681
2015 RP 1.074.664 RP 659.414 RP 356.378 RP 333.034
2016 RP 1.168.131 RP 711.266 RP 372.114 RP 350.420
2017 RP 1.263.526 RP 780.593 RP 400.995 RP 370.910
2018 RP 1.350.524 RP 852.105 RP 425.770 RP 392.154

Berdasarkan Tabel 1, dari tahun 2013-2018 rata-rata pengeluaran perkapita


(Perkotaan + Pedesaan) dan garis kemiskinan (Perkotaan + Pedesaan) terus
meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan garis kemiskinan cenderung meningkatkan
jumlah penduduk miskin. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga stabilitas
tingkat harga. Rata-rata pengeluaran perkapita > garis kemiskinan, artinya dapat
dikatakan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia tidak bisa digolongkan sebagai
penduduk miskin.

3. Indeks Williamson

Indeks Williamson adalah salah satu alat pengukuran tingkat disparitas


pendapatan antar daerah atau antar penduduk. Pengukuran Indeks Williamson
membutuhkan data persentase penduduk, persentase kumulatif penduduk, persentase
kumulatif total pendapatan, PDRB, dan jumlah penduduk keseluruhan. Namun
demikian penggunaan Indeks Williamson sebagai indikator kemajuan pembangunan
belum banyak digunakan dibandingkan dengan PDRB maupun laju inflasi. Dalam hal
ini, Indeks Williamson digunakan untuk mengetahui kesenjangan pembangunan
dengan menggunakan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam
kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah di seluruh Indonesia yang terdiri dari
34 Provinsi yang sangat beragam dari sisi geografis, sosial, dan ekonomi.
Indeks ketimpangan Williamson yang diperoleh terletak antara 0 (nol) sampai
1 (satu). Jika ketimpangan Williamson mendekati 0 maka ketimpangan distribusi
pendapatan antar provinsi di Indonesia adalah rendah atau pertumbuhan ekonomi
antara daerah merata. Jika ketimpangan Williamson mendekati 1 maka ketimpangan
distribusi pendapatan antar provinsi di Indonesia adalah tinggi atau pertumbuhan
ekonomi antara daerah tidak merata. Angka tersebut didapati dengan menggunakan
rumus dari Indeks Williamson yaitu sebagai berikut:
n
fi

V w=
√ ∑ ( y i− y )2
i=1
y
()
n 0 < V w< 1

Keterangan:
Vw : Indeks Williamson
yi : PDRB per kapita wilayah-i
y : PDRB per kapita rata-rata seluruh wilayah
fi : Jumlah penduduk wilayah-i
n : Jumlah penduduk seluruh wilayah
Ketimpangan PDRB per kapita antar provinsi di Indonesia dari tahun 2010
sampai dengan tahun 2019 sangat tinggi dan berfluktuatif. Pada tahun 2010 Indeks
Williamson Indonesia sebesar 0,69955 dan naik menjadi 0,70415 pada tahun 2011.
Namun pada tahun 2014 Indeks Williamson Indonesia menurun dari tahun
sebelumnya yaitu tahun 2013 dari 0,70896 menjadi 0,70713 dan terus menurun
sampai tahun 2016 pada angka 0,70038. Terjadi kenaikan di tahun 2017 pada angka
0,70547 dan terus naik sampai pada tahun 2019 menjadi 0,71902.

Gambar 3. 1 Indeks Williamson Tahun 2010-2019


Berdasarkan Gambar 3.1 menunjukkan grafik hasil perhitungan indeks
Williamson, Indonesia dari tahun 2010 sampai pada tahun 2019 memiliki nilai
ketimpangan williamson sebesar 0,69 cenderung meningkat (nilai mendekati 1), maka
berdasarkan ketentuan indeks ketimpangan williamson, pada tahun 2010 sampai 2019
di Indonesia terjadi ketimpangan distribusi yang tinggi yaitu terjadinya pertumbuhan
ekonomi antara daerah yang tidak merata. Kondisi ini semakin parah dari tahun ke
tahun artinya pemerataan pembangunan mengalami penurunan. Sebagaimana terlihat
pada gambar, dari tren perkembangan indeks williamson tahun 2010 hingga tahun
2019 menunjukkan kondisi ketimpangan yang semakin tinggi. Indeks Williamson
yang terus mengalami peningkatan juga bisa diartikan suatu kegagalan dalam upaya
pemerataan pembangunan di Indonesia.

4. Gini Ratio

Gini ratio adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan atau ketimpangan


agregat (secara keseluruhan) distribusi pendapatan penduduk. Koefisien Gini ratio
berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang
sempurna). Angka Gini ratio 10% memiliki arti bahwa akumulasi pendapatan
penduduk senilai 10% hanya dihasilkan oleh 1% pendapatan dari populasi. Gini ratio
memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi karena indikator ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat dan
bukan hanya golongkan atau kelompok tertentu, terutama yang memiliki akses
terhadap capital.
Rumus Gini Ratio:
GR = 1 - ∑fi [Yi + Yi-1]
Keterangan :
fi = jumlah persen (%) penerima pendapatan kelas ke i.
Yi = jumlah kumulatif (%) pendapatan pada kelas ke i.
Bila GR = 0, ketimpangan pendapatan merata sempurna, artinya setiap orang
menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya. Bila GR = 1 artinya
ketimpangan pendapatan timpang sempurna atau pendapatan itu hanya diterima oleh
satu orang atau satu kelompok saja

Gambar 4.1. Grafik Gini ratio 2011 – 2019 Penduduk Indonesia (Kota dan Desa)
Berdasarkan Gambar 4.1 diatas terlihat dengan signifikan bahwa ketimpangan
distribusi pendapatan di kota relative jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di
pedesaan. Secara umum baik Indonesia mengalami perbaikan distribusi pendapatan
yang ditunjukkan oleh menurunnya Gini ratio terlebih sejak pemerintahan 2014 dari
angka 0.41 menjadi 0.38 di akhir tahun 2019. Jika melihat grafik penurunan Gini
ratio yang relatif stagnan di pedesaan maka kontributor penurunan Gini ratio lebih
didominasi oleh kawasan perkotaan.

Gambar 4.2. Rata-Rata Gini Ratio Per Provinsi Tahun 2011-2019


Gini ratio di Indonesia berdasarkan grafik diatas menggambarkar
ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia di dominasi oleh propinsi di Pulau
Jawa secara berturut turut DI Yogyakarta (0.4313), DKI Jakarta (0.4252), Jawa Barat
(0.4219) yang jauh melebihi dari rata rata Gini ratio Indonesia sebesar 0.4049.
Propinsi Sumatera Utara adalah propinsi dengan distribusi pemerataan pendapatan
atau Gini Ratio terbaik di Indonesia, dimana pertumbuhan ekonomi di ikuti dengan
pemerataan pendapatan.

Gambar 4.3. Peta Rata-Rata Gini Ratio Per Provinsi Tahun 2011-2019
Anomali terjadi pada 2 propinsi yaitu DKI Jakarta dan Kalimantan Utara. DKI
Jakarta tidak memiliki data Gini ratio pedesaan karena seluruh wilayahnya dianggap
kawasan perkotaan, sedangkan Kalimantan Utara propinsi yang relative baru berusia
7 tahun sejak 2013, sehingga sentuhan pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya
dapat diukur mengingat dampak samping dari pembangunan umumnya adalah
meningkatnya Gini ratio.

Anda mungkin juga menyukai