Anda di halaman 1dari 15

Analisis

Pengertian ekonomi digital merupakan hal yang sangat penting karena ini akan menentukan
cakupan peraturan khusus terkait fenomena digitalisasi bisnis. Namun, hingga saat ini belum
ada definisi ekonomi digital yang diterima secara umum. 1 Hal ini berkaitan dengan pesatnya
perkembangan teknologi dan beragamnya model bisnis digital yang muncul. Organisation for
Economic Co-operation and Development (“OECD”) mendefinisikan ekonomi digital sebagai
hasil dari proses transformatif yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi dan
komunikasi.2 Definisi tersebut masih sangat luas dengan mengacu kepada seluruh hal yang
berubah atau muncul dengan adanya perkembangan teknologi dan komunikasi. Beberapa
karakter ekonomi digital, yaitu3:
 Mobilitas harta tak berwujud, mobilitas pengguna dan pelanggan, serta mobilitas fungsi
bisnis.
 Ketergantungan pada big data (terutama data pribadi) dan partisipasi pengguna;
 Efek jaringan, mengacu pada partisipasi pengguna, integrasi dan sinergi;
 Penggunaan model bisnis multi-sisi di mana kedua sisi pasar mungkin berada dalam
yurisdiksi yang berbeda;
 Kecenderungan terhadap monopoli atau oligopoli, dalam model bisnis tertentu yang
sangat bergantung pada efek jaringan;
 Volatilitas karena adanya hambatan untuk masuk dalam pasar dan teknologi yang
berkembang pesat.
Berdasarkan contoh-contoh jenis aktivitas ekonomi digital maupun penjelasan permasalahan
diatas (ekonomi digital juga mencakup transformasi model bisnis maupun proses bisnis),
ekonomi digital bukan merupakan sektor terpisah dari sektor ekonomi pada umumnya.
Selama ini penggunaan kata-kata “digital” seolah menganjurkan adanya suatu perbedaan. 4
Apabila contoh-contoh tersebut diperhatikan maka sebetulnya permasalahannya bukan
merupakan perbedaan antara “digital” dan “nyata”, namun bahwa banyak ekonomi “nyata”
telah berkembang menjadi “digital” dalam derajat tertentu.
Oleh karena itu sesungguhnya fenomena digitalisasi bisnis ini tidak membutuhkan
perlakuan pajak yang berbeda atau khusus. Dengan memperkenalkan ketentuan pajak
khusus untuk kondisi ini malah akan menimbulkan diskriminasi antar model bisnis.
Diskriminasi ini akan mengurangi netralitas yang akan mendistorsi keputusan ekonomi
seseorang.5
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa perubahan dalam dunia bisnis.
Dengan masifnya digitalisasi transaksi bisnis muncullah istilah ekonomi digital. Ekonomi digital
sebenarnya hanyalah perpindahan ekonomi “nyata” ke dunia “digital”. Teknologi informasi dan
komunikasi pada ekonomi digital mendorong volume perdagangan dan ekonomi dunia. Namun
1
OECD. Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting. (OECD, 2013).
2
OECD. Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting. (OECD, 2013).
3
OECD, Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1 - 2015 Final Report, OECD/G20
Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing: Paris, (2015), p. 64-65.
4
Miranda Stewart, “Abuse and Economic Substance in a Digital BEPS World”, Bulletin for International
Taxation (IBFD, June/July 2015): 399.
5
Directorate-General for Interrnal Policies, Tax Challenges in Digital Economy, (2016), p. 32

1
demikian, perusahaan di era ekonomi digital juga memanfaatkan teknologi-teknologi tersebut
untuk melakukan skema penghindaran pajak. Skema yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan
skema yang telah ada tetapi karakteristik ekonomi digital tentunya memberikan kesulitan
khusus bagi otoritas pajak di dunia untuk menangkalnya.
Penangkalan skema penghindaran pajak melalui ketentuan P3B dan Transfer Pricing yang ada
terbukti tidak bisa diterapkan pada ekonomi digital. Konsensus internasional sangat
dibutuhkan untuk memperbarahui ketentuan P3B dan Transfer Pricing yang ada untuk
mencapai solusi yang berkelanjutan. Namun demikian, hingga saat ini belum ada kesepakatan
yang diambil oleh negara-negara dalam menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh
digitalisasi ekonomi ini.
Di saat yang sama, ekspansi ekonomi digital yang begitu cepat meningkatkan urgensi negara-
negara untuk segera mengamankan hak pemajakannya atas penghasilan yang dihasilkan oleh
perusahaan-perusahaan dalam ekonomi digital dari negaranya. Muncullah langkah-langkah
unilateral di berbagai negara untuk memastikan bahwa penghasilan perusahaan dalam
ekonomi digital yang berasal dari negaranya dikenakan pajak di negara tersebut.
Interim Report melakukan penelurusan atas kebijakan domestik yang diimplementasikan di
berbagai negara sejak 2015, khususnya mengenai pemajakan bisnis ekonomi digital lintas-
yurisdiksi. Kebijakan-kebijakan tersebut bisa digolongkan dalam empat kelompok.
Kelompok pertama, kebijakan yang berupaya memodifikasi threshold Bentuk Usaha Tetap
(BUT). Sebagai contoh, upaya mempertimbangkan kehadiran secara digital yang diterapkan di
Israel melalui significant economic presence test, ataupun upaya memperluas definisi fixed place
of business untuk digital platform yang diterapkan di Slovakia pada 2017. Kelompok kedua,
yaitu unilateral action dengan mekanisme withholding tax. Hal ini dilakukan melalui upaya
memperluas cakupan withholding tax atas royalti ataupun mengadopsi withholding tax atas
biaya dari jasa teknik (technical service).
Kelompok ketiga, yaitu negara yang mengenakan pajak final (turnover tax) seperti India dengan
equalization levy, Hungaria dengan advertisement tax, hingga Prancis yang memajaki aktivitas
distribusi konten audio-visual baik secara online maupun fisik. Kelompok terakhir, adalah
negara yang memiliki rezim pemajakan khusus dengan target perusahaan multinasional yang
besar. Hal ini seperti dilakukan oleh Inggris dengan Diverted Profit Tax, Australia dengan
Multinational Anti-Avoidance Law, hingga Amerika Serikat yang akhir tahun lalu
memperkenalkan Base Erosion Anti-Abuse Tax/BEAT.
Setidaknya terdapat tiga hal yang bisa dipelajari dari berbagai kebijakan ‘sepihak’ tersebut: (i)
umumnya bertujuan untuk melindungi sekaligus memperluas basis pajak di mana pelanggan
atau pengguna berlokasi; (ii) sebagian besar desain kebijakan tersebut menggunakan elemen
yang terkait dengan pasar sebagai basis pajak, contohnya: penjualan, tempat konsumsi, dan
sebagainya; serta (iii) berbagai kebijakan tersebut merefleksikan adanya ketidakpuasan model
pengalokasian laba dari sistem pajak internasional yang berlaku saat ini.
Dalam rangka menjawab mengenai prospek terbentuknya konsensus global atas pemajakan
ekonomi digital, khususnya persoalan BEPS, berikut beberapa factor yang perlu diperhatikan.
Fenomena ini jelas mendorong reaksi dari publik dan pembuat kebijakan di berbagai negara.
Sayangnya, reaksi tersebut tidak terkoordinasi secara global dan justru menciptakan
ketidakpaduan yang semakin besar antarnegara. Mencermati hal tersebut, pada tahun 2013
OECD dan G20 telah menginiasi adanya Proyek Anti-Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan

2
Laba (Base Erosion and Profit Shifing/BEPS), yang bertujuan untuk mencegah praktik
penghindaran pajak dalam suatu kerangka global yang sama. 6 Proyek Anti-BEPS terdiri atas 15
Aksi yang mencakup elemen koherensi, substansi, serta transparansi. 7
Permasalahannya adalah bahwa ekonomi digital membuka peluang skema penghindaran pajak
(legal) yang baru, yaitu sebagai contohnya melakukan bisnis tanpa kehadiran fisik (taxable
presence) di suatu Negara, sehingga tidak dikenakan pajak di Negara tersebut. Loophole ini
banyak dimanfaatkan oleh pelaku bisnis digital dalam melakukan praktik penghindaran pajak
dengan sengaja merancang model bisnisnya sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi. Kritik pun meningkat dengan terungkapnya fakta bahwa banyak dari
perusahaan multinasional yang penghasilannya tidak dipajaki di negara sumber penghasilan
pun membayar pajak atas penghasilan yang sangat rendah di negara domisili melalui
pengaturan khusus.8 Kondisi ini akhirnya mengakibatkan kerugian penerimaan pajak secara
global.
Oleh karena itu permasalahan sesungguhnya bukan merupakan pertanyaan apakah ekonomi
digital memerlukan pengaturan pemajakan yang khusus, namun skema penghindaran pajak
apa yang perlu ditangkal dan memerlukan pengaturan khusus sehingga Negara dapat
melindungi basis pajaknya.
Secara garis besar terdapat 2 jenis skema yang digunakan pelaku usaha bisnis digital untuk
mengoptimalkan pajaknya, yaitu:
 Menghindari kehadiran fisik/fungsi signifikan di Negara Sumber
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, salah satu karakteristik ekonomi digital
adalah mobilitas fungsi bisnis. Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang
saat ini meningkatkan fleksibilitas suatu perusahaan dalam menempatkan fungsi-fungsi
bisnisnya di yurisdiksi yang berbeda-beda. 9 Konsensus internasional yang
mensyaratkan adanya keberadaan fisik suatu perusahaan di suatu negara untuk menjadi
BUT pun akhirnya dianggap telah usang untuk diterapkan dalam era ekonomi digital.
Hal ini dikarenakan perusahaan digital dapat meraup keuntungan yang substansial di
suatu negara melalui internet tanpa menjalankan suatu fungsi bisnis atau membuat
keberadaan fisik apapun di Negara tersebut.10

 Penggerusan basis pajak melalui pembayaran biaya tanpa pemajakan yang sepadan di
Negara domisili
Skema kedua yang dilakukan oleh perusahaan multinasional berkaitan dengan
karakteristik ekonomi digital, yaitu mobilitas harta tak berwujud. Sebagai hasil dari
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, hak kekayaan intelektual
merupakan aspek penting dari ekonomi digital. Berbeda dengan bisnis tradisional, aset-
6
Pada dasarnya, BEPS tidak hanya mengacu pada aktivitas penghindaran pajak ataupun pengalihan laba. Lebih
dari itu, BEPS juga mengacu segala perencanaan pajak yang agresif, tata kelola sistem pajak internasional yang
lebih baik, maupun kompetisi pajak. Lihat pada bagian E artikel ini.
7
OECD, Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting (Paris: OECD Publishing, 2013), 15-23.
8
‘Starbucks, Google and Amazon grilled over tax avoidance‘ diakses pada 9 Oktober 2017, pada  
http://www.bbc.com/news/business-20288077
9
OECD, Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1 - 2015 Final Report, OECD/G20 Base
Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing: Paris, (2015), p. 100
10
Steef Huibregtse dan Avisha Sood, Digital Economy Handbook, TPA Global. (2016), p. 101

3
aset terbesar perusahaan digital adalah harta tidak berwujud. Mulai dari konten musik
atau video digital yang diperjualbelikan hingga logaritma yang digunakan dalam proses
bisnis perusahaan, harta-harta tak berwujud tersebutlah yang menjadi faktor penentu
laba terbesar bagi pelaku bisnis digital
Dengan memanfaatkan karakteristik ini, perusahaan dapat memindahkan harta-harta
tak berwujudnya ke negara lain dengan tarif pajak yang lebih rendah. Hal ini dilakukan
oleh banyak perusahaan digital multinasional AS yang merelokasikan hak atas harta tak
berwujdnya di Irlandia untuk mengurangi beban pajak atas pembayaran royalti. 11

1. Progress dari Task Force on Digital Economy


1.1. Agenda Global
1.2. Agenda TFDE
1.3. Membaca Interim Report
Alih-alih memberikan suatu sinyal akan adanya prospek konsensus global di masa mendatang,
Interim Report tersebut justru memberikan kesan mengenai sulitnya mendapatkan
kesepahaman dari para anggota Inclusive Framework. Hal ini terlihat dari masih terbelahnya
pendapat mengenai seberapa jauh reformasi sistem pajak internasional yang diperlukan dalam
menghadapi tantangan ekonomi digital. Sebagian negara berkeinginan untuk merombak model
atribusi laba maupun menyerukan perlunya nexus baru untuk menentukan yurisdiksi yang
berhak memajaki. Sebagian negara justru sudah terang-terangan mengambil langkah progresif
dengan mengadopsi beberapa opsi BEPS Aksi 1 dalam kebijakan domestiknya. Tapi, bahkan
beberapa negara sudah puas dengan sistem yang ada dan memilih untuk menolak adanya
perubahan.
Tidak hanya itu. Jika kita membaca seluruh dokumen Interim Report secara komprehensif,
agaknya bisa disimpulkan bahwa TFDE gagal dalam ‘menggiring’ posisi anggota Inclusive
Framework menuju ke titik yang sama. Memang betul bahwa Interim Report bukanlah suatu
dokumen yang bertugas untuk menyajikan suatu rancangan awal konsensus global, tapi isinya
yang tidak banyak memantik diskusi dan mengerucut pada satu kerangka menjelaskan satu hal:
prospek konsensus global agaknya lemah. Interim Report justru banyak mengulang tentang
model bisnis ekonomi digital, tantangan pajak internasional, implementasi BEPS, dan
sebagainya. Di sisi lain, uraian mengenai roadmap, posisi anggota Inclusive Framework, kaitan
interim report dengan final report justru ‘kering’ dan kurang berbobot.
Menariknya, Interim Report banyak mengulas tentang aksi unilateral, mulai dari memodifikasi
definisi BUT, mekanisme withholding tax, pengenaan pajak final, hingga adanya rezim khusus
bagi perusahaan multinasional di bidang digital. Apakah ini suatu pertanda bahwa TFDE
‘menyerah’ atas derasnya gelombang aksi unilateral di banyak negara? Ataukah memang secara
tidak langsung TFDE hendak mengajak para pemangku kebijakan untuk menelaah aksi
unilateral yang paling feasible sebagai second-best policy?
Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan tersebut, yang pasti Interim Report juga menyediakan
suatu panduan dalam mendesain kebijakan domestik yang bersifat sementara. Panduan
tersebut juga secara tidak langsung ‘mengamini’ aksi unilateral namun dalam koridor yang jelas.
11
Antony Ting, “iTax—Apple’s International Tax Structure and the Double Non-Taxation Issue”, British Tax Review
No. 1 (Thomson Reuters (Professional) UK Limited and Contributors, 2014), p. 48

4
2. Feasibility dari First-Best Solution
Mengubah nexus dan merubah skema atribusi laba adalah hal yang sulit.
2.1. Nexus baru mengenai ambang batas atas digital presence
Konsep Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan salah satu konsep terpenting dalam P3B karena
menentukan pengalokasian hak pemajakan atas laba usaha ketika suatu perusahaan dari satu
negara melakukan kegiatan usaha di negara lainnya. Dalam rangka untuk menghindari
timbulnya BUT di negara sumber, perusahaan multinasional dapat melakukan skema
komisioner dan fragmentasi usaha. Dalam skema komisioner, subjek pajak menghindari
timbulnya BUT keagenan dengan cara yang umum dilakukan adalah melakukan perubahan
status dari distributor menjadi komisioner. Dalam fragmentasi usaha, subjek pajak memecah
kegiatan usahanya menjadi beberapa kegiatan usaha yang kecil skalanya agar setiap kegiatan
usaha tersebut memperoleh status sebagai kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang
(preparatory or auxiliary) sehingga terkualifikasi untuk mendapatkan status pengecualian
bentuk usaha tetap.
Mempertimbangkan hal tersebut, OECD dan G20 melalui Aksi 7 mengambil langkah untuk
membaharui aturan atau definisi tentang BUT.12 Terdapat tiga ketentuan mengenai BUT dalam
OECD Model yang menjadi fokus peninjauan dan pembaharuan dalam BEPS Action 7. Berikut
adalah ketentuan tersebut.
(i) Ketentuan Pasal 5 ayat (5) dan ayat (6) OECD Model yang membahas mengenai BUT Agen.
Peninjauan dan pembaharuan atas ketentuan ini dilatarbelakangi dengan adanya isu
penghindaran artifisial status BUT yang dilakukan dengan memanfaatkan celah yang
terdapat pada ketentuan Pasal 5 ayat (5) dan ayat (6), yaitu dengan menggunakan
commissioner arrangements (skema komisioner).
(ii) Ketentuan Pasal 5 ayat (4) OECD Model yang merupakan ketentuan pengecualian dari
aturan BUT. Peninjauan dan pembaharuan atas ketentuan ini dilatarbelakangi dengan
adanya isu penghindaran artifisial status BUT yang dilakukan perusahaan dengan
melakukan kegiatan yang bersifat persiapan dan/atau penunjang, misal dengan
fragmentasi kegiatan usaha;
(iii) Ketentuan Pasal 5 ayat (3) OECD Model mengenai BUT Konstruksi. Peninjauan dan
pembaharuan atas ketentuan ini dapat dikatakan sebagai respon dari adanya isu
penghindaran status BUT Konstruksi yang dilakukan perusahaan dengan memisah-misah
(splitting up) kontrak proyek konstruksi menjadi beberapa bagian sebagai upaya untuk
menyalahgunakan ketentuan pengecualian yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) OECD
Model.
Langkah yang diambil dalam rencana aksi keenam ini berupa penurunan ambang batas
(threshold) BUT yang berdampak pada hak pemajakan yang berlebih bagi negara sumber. 13

12
Setelah OECD Model 2010 diterbitkan, OECD telah mempublikasikan dua discussion draft terkait interpretasi
bentuk usaha tetap. OECD, “Interpretation and Application of Article 5 (Permanent Establishment) of the OECD
Model Tax Convention: Public Discussion Draft,” OECD Report, Oktober 2011 dan OECD, “Revised Proposals
Concerning the Interpretation and Application of Article 5 (Permanent Establishment,” OECD Report, Oktober
2012.
13
Yariv Brauner, “BEPS: An Interim Evaluation,” World Tax Journal (Februari 2014): 29

5
OECD memberikan sebuah opsi dalam Rencana Aksi BEPS 1 berupa pengenalan nexus atau
“keterkaitan” baru untuk pembentukan BUT. Opsi ini dapat digunakan menentukan adanya
keberadaan yang dapat dikenai pajak (taxable presence) dari subjek pajak luar negeri di sebuah
negara tempat perusahaan tersebut memiliki keberadaan ekonomi yang signifikan berdasarkan
beberapa faktor. Faktor tersebut adalah sebagai berikut: 14
 Faktor Penghasilan (nilai penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar negeri dari
subjek pajak dalam negeri suatu negara);
 Faktor Digital (domain lokal dan opsi pembayaran lokal yang disediakan subjek pajak
luar negeri di suatu negara); serta
 Faktor Pengguna (pengguna aktif bulanan, jumlah kontrak yang dibuat dan data yang
dikumpulkan).
Isu yang muncul dari opsi tersebut adalah bagaimana otoritas pajak mendefinisikan ambang
batas baru dalam penentuan terbentuknya taxable presence.15 OECD menggunakan kata
“signifikan” dalam penentuan ambang batas. Namun demikian OECD belum dapat secara jelas
memberikan panduan dalam menentukan signifikansi tersebut.
Selanjutnya, modifikasi atau revisi P3B ini akan memakan waktu yang sangat lama. Hal ini
dikarenakan adanya proses negosiasi untuk menyepakati ambang batas untuk pembentukan
BUT “digital” ini. Ambang batas yang disepakati juga harus kurang lebih setara satu dengan
lainnya karena perbedaan akan menimbulkan diskriminasi.
Modifikasi P3B dapat dilakukan secara kolektif melalui skema Multilateral Instrument atau
Instrumen Multilateral (“MLI”). Cara ini dapat mempercepat proses modifikasi P3B dengan
mengeliminasi proses negosiasi bilateral.16
Namun demikian, negara-negara dapat menentukan P3B mana saja yang didaftarkan dalam MLI
tersebut. Selain itu, modifikasi suatu pasal dalam P3B hanya akan terjadi apabila dua negara
terkait memutuskan untuk sama-sama mengadopsi perubahan pada pasal tersebut. 17
Adapun solusi ini tidak dapat diterapkan secara unilateral dalam ketentuan domestik, karena
selama ketentuan P3B yang saat ini masih berlaku maka perubahan dalam ketentuan domestik
tidak dapat berlaku diatas ketentuan P3B tersebut (berdasarkan asas lex specialis derogat lex
genaralis).
2.2. Atribusi laba juga menyertakan factor seperti: apakah yang harus dipajaki serta
siapakah yang harus dipajaki.
pendekatan separate accounting atau separate entity. Pendekatan ini tidak melihat perusahaan
multinasional sebagai kesatuan entitas ekonomi yang sama, melainkan entitas hukum yang
berbeda-beda. Sebagai implikasinya, setiap entitas dalam grup perusahaan multinasional adalah
subjek pajak dari PPh Badan di negara tempat mereka beroperasi sehingga basis pajak dan tarif
14
OECD/G20, Base Erosion and Profit Shifting Project: Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy,
(2015), p.109
15
Daniel W Blum, “Permanent Establishments and Action 1 on the Digital Economy of the OECD Base Erosion and
Digital Economy of the OECD Base Erosion and Profit Shifting Initiative - The Nexus Criterion Redefined?”,
Bulletin for International Taxation, (2015), p. 319.
16
‘Apa itu Multilateral Instrument’ diakses pada 9 Oktober 2017, pada
http://news.ddtc.co.id/artikel/10291/kamus-pajak-apa-itu-multilateral-instrument/
17
‘Multilateral Instrument, Mekanisme dan Posisi Indonesia’ diakses pada 9 Oktober 2017, pada
http://news.ddtc.co.id/artikel/10359/analisis-pajak-internasional-multilateral-instrument-mekanisme-dan-
posisi-indonesia/

6
pajak mengikuti hukum pajak yang berlaku di lokasi tempat mereka melakukan aktivitas
ekonomi tersebut.18
Pendekatan separate accounting dibuat guna menjamin capital export neutrality dalam rangka
menyelaraskan antara ketentuan pajak domestik dengan efisiensi ekonomi global. 19 Akan tetapi,
separate accounting approach tersebut jelas merefleksikan atas apa yang dinyatakan oleh Pagan
dan Wilkie, bahwa perusahaan multinasional berpikir dalam konteks global, sedangkan otoritas
pajak berorientasi nasional.20 Perbedaan sudut pandang tersebut justru menciptakan persoalan
lainnya.
Standar akuntansi pajak dan akuntansi keuangan yang mengacu pada negara lokasi setiap
entitas perusahaan multinasional beroperasi merupakan salah satu isu. Belum adanya
konvergensi standar akuntansi komersial secara global serta variasi perbedaan antara
perhitungan akuntansi pajak dengan akuntansi keuangan komersial di masing-masing negara,
telah meningkatkan biaya kepatuhan (pencatatan akuntansi) serta adanya perbedaan
perhitungan basis pajak.21 Selain itu, pendekatan ini juga tidak memungkinkan otoritas pajak
untuk melihat perusahaan multinasional berdasarkan suatu kerangka kesatuan ataupun
bagaimana perusahaan multinasional mengalokasikan laba mereka. 22 Dengan demikian, sistem
ini rentan dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk menciptakan penghindaran
pajak. 23
Isu selanjutnya adalah bagaimana mengatribusikan penghasilan kepada “BUT digital” tersebut.
Walaupun suatu BUT telah terbentuk, suatu negara tidak dapat memajaki penghasilan dari
negaranya apabila tidak ada penghasilan yang diatribusikan kepada BUT tersebut. Selama ini,
atribusi penghasilan kepada sebuah BUT dilakukan dengan menggunakan analisis fungsi dan
risiko.24 Penyesuaian perlu dilakukan untuk melakukan alokasi laba kepada BUT “digital” ini. 25
OECD mengajukan pendekatan Fractional Apportionment atau Deemed Profit Method dalam
atribusi laba pada BUT “digital”. Namun demikian, kedua cara ini membutuhkan level kooperasi
antar negara yang sangat tinggi yang akan membutuhkan.
Rencana Aksi 8-10 BEPS memberikan rekomendasi mengenai penetapan harga transfer melalui
penciptaan nilai (value creation) dengan menekankan pada analisis rantai suplai (Value Chain
Analysis/VCA). Adapun adagio rencana aksi ini adalah “Aligning Transfer Pricing Outcomes with

18
Marcel Gerard dan Edoardo Traversa, “Supplementing Consolidation and Apportionment with Anti-Abuse
Provisions,” dalam Tax Treaties: Building Bridges between Law and Economics, ed. Michael Lang, et al (Amsterdam:
IBFD, 2010), 183.
19
Lorraine Eden, Taxing Multinationals: Transfer Pricing and Corporate Income Taxation in North America (Toronto:
University of Toronto Press Incorporated, 1998), 565.
20
Jill C. Pagan and J. Scott Wilkie, Transfer Pricing Strategy in a Global Economy (Amsterdam: IBFD Publication,
1993), 27.
21
Peter Essers and Ronald Russo, “The Precious Relationship between IAS/IFRS, National Tax Accounting System
and the CCCTB”, dalam The Influence of IAS/IFRS on the CCCTB, Tax Accounting, Disclosure, and Corporate Law
Accounting Concepts – A Clash of Cultures, ed. Peter Essers, et al,. (Alphen ad Rijn: Kluwer Law International,
2009), 29-86.
22
Arnaud de Graaf, “International Tax Policy Needed to Counterbalance the ‘Excessive’ Behaviour of
Multinationals,” EC Tax Review, Volume 22 Issue 2 (2013): 106.
23
Commission of the European Communities, "A Common Consolidated EU Corporate Tax Base," Non-paper
presented to informal Ecofin Council, 10 dan 11 September 2004.
24
Daniel W Blum, “Permanent Establishments and Action 1 on the Digital Economy of the OECD Base Erosion and
Digital Economy of the OECD Base Erosion and Profit Shifting Initiative - The Nexus Criterion Redefined?”,
Bulletin for International Taxation, (2015), p 323
25
OECD/G20, Base Erosion and Profit Shifting Project: Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy,
(2015), p. 112

7
Value Creation” sehingga diharapkan bahwa pemajakan akan terjadi di Negara-Negara dimana
benar-benar terdapat substansi bisnisnya (Negara dimana penciptaan nilai itu terjadi).
Sebagaimana dapat dilihat, keterbatasan utama adalah tidak tersedianya data pembanding. Oleh
karena itu terdapat argumen bahwa metode Profit Split dapat memberikan solusi.26 Kelebihan
metode Profit Split adalah tidak bergantung pada ketersediaan data pembanding internal atau
eksternal. Selain itu, penerapan metode Profit Split didasarkan pada pembagian laba konsolidasi
grup yang merujuk pada analisis fungsi, aset, dan risiko dari setiap entitas dalam grup
perusahaan multinasional dan bagaimana value chain terbentuk.
Tantangan dalam penerapan PSM adalah bagaimana menentukan dasar alokasi atas kontribusi
setiap entitas dalam menciptakan value chain grup perusahaan multinasional. Dasar alokasi ini
sangat penting untuk ditetapkan mengingat kepentingan negara-negara tempat entitas grup
multinasional beroperasi memiliki kepentingan berbeda satu sama lainnya. Dalam hal alokasi
laba, faktor-faktor yang dapat dijadikan sebagai dasar alokasi laba adalah kombinasi aset, gaji,
atau penjualan. Mengingat terdapatnya risiko konflik antar Negara yang dapat menimbulkan
pengenaan pajak berganda apabila masing-masing negara menghendaki faktor yang berbeda
dalam pengalokasian laba, upaya yang dapat dilakukan adalah mencapai konsensus dasar
alokasi laba penerapan PSM.
Dalam konsensus internasional, alokasi laba untuk tujuan pajak yang berasal dari transaksi
afiliasi ditentukan dengan melakukan analisis atas fungsi yang dijalankan, asumsi risiko, dan
aset yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan, yang dikenal sebagai analisis fungsional. 27
Analisis fungsional harus dijalankan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
(arm’s length principle). Namun seiring dengan skema perusahaan multinasional yang semakin
kompleks, banyak kritik mengenai prinsip arm’s length principle yang dinilai tidak lagi relevan
dan reliable untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan kurang memadainya informasi terkait
perusahaan-perusahaan sejenis di pasar dan informasi mengenai perusahaan pembanding, sulit
untuk dianalisis atau bahkan mungkin tidak tersedia.
Kondisi tersebut coba dipecahkan melalui BEPS Report 8-10 sebagai solusi terhadap isu transfer
pricing dalam ekonomi digital. Rencana Aksi BEPS ini memberikan rekomendasi mengenai
penetapan harga transfer melalui penciptaan nilai (value creation) dengan menekankan pada
analisis rantai suplai (Value Chain Analysis/VCA).

2.3. Dalam hal tersebut, aksi unilateral mungkin menjadi opsi yang rasional
3. Interaksi antara Negara, Pasar, dan Masyarakat
3.1. Daya tawar
Daya tawar yang semakin meningkat
Globalization is associated with increasing mobility of factors of production, especially capital.
This implied to reactions from government and business. From government’s side, tax policies
in global world are set based on national competitiveness and attracting three things: capital

26
‘Profit Split Method sebagai metode Transfer Pricing Pasca BEPS’ diakses pada 9 Oktober 2017, pada
http://news.ddtc.co.id/artikel/11012/analisis-transfer-pricing-profit-split-method-sebagai-metode-transfer-
pricing-pasca-beps/
27
Marcel Olbert and Christoph Spengel, International Taxation in the Digital economy; Challenge Accepted?, World
Tax Journal (February 2017), 10.

8
(which is mobile), paper profits, and the form of real business activity (for example: location
decisions of MNEs).28 From business’ perspectives, globalization has made them enable to
searching for the lowest cost of capital (highest return on capital). The bargaining position of
MNEs is getting high in front of government in many countries who tries to bidding for firms. 29
3.2. Kebutuhan untuk memajukan ekonomi digital

3.3. Masyarakat sipil berjuang untuk pajak yang lebih adil. Urgensi untuk pajak yang lebih
adil
Perubahan lanskap politik ekonomi global serta praktik BEPS yang masif telah mendorong
adanya tuntutan sistem pajak yang lebih adil (fair tax system). Praktik BEPS telah menggerus
kepercayaan masyarakat atas keadilan sistem pajak global. 30
Praktik BEPS menghadapi perlawanan dari publik, terutama karena telah mencederai rasa
keadilan. Di satu sisi, gerakan perlawanan disuarakan oleh media dan lembaga swadaya
masyarakat sebagai pihak yang mengarusutamakan (mainstreaming) isu penghindaran pajak
dan keadilan tersebut. Di sisi yang lain, disuarakan pula oleh pihak legislatif dan eksekutif
sebagai representasi dari publik yang merasa tercederai rasa keadilannya.
Dalam konteks penghindaran pajak, perlawanan dari kedua komponen tersebut tercermin dari
dipergunakannya praktik naming and shaming, yaitu suatu upaya untuk merubah perilaku
perusahaan-perusahaan multinasional melalui suatu pengungkapan informasi kepada publik,
Menurut Pawson, naming and shaming adalah upaya merubah perilaku yang tidak sesuai
standar ataupun perilaku yang ‘menyimpang’ melalui suatu proses yang mencakup: (i)
mengidentifikasi perilaku yang tidak sesuai standar tersebut; (ii) menyebutkan pihak yang
terkait beserta penjelasan dari perilakunya; (iii) publik akan merespon pengungkapan
informasi tersebut (act of shaming); dan pada akhirnya (iv) pihak yang namanya diungkap akan
merubah perilakunya.31
Praktik naming and shaming tidak dapat dilepaskan dari peran beberapa lembaga swadaya
masyarakat yang terkemuka di bidang pajak, seperti SOMO, Tax Justice Network, Christian Aid,
dan sebagainya.32 Untuk menekan dan mencegah praktik penghindaran pajak, mereka kerap
melakukan investigasi dan mempublikasikan perilaku perusahaan multinasional kepada
publik.33 Ketertarikan media atas isu ketidakpatuhan pajak juga berperan penting, baik dalam
hal investigasi34 maupun memengaruhi opini publik.

28
Peter Dietsch and Thomas Rixen, “Tax Competition and Global Background Justice”, The Journal of Political
Philosophy, Vol. 22, No. 2, (2014), pp. 154 – 155.
29
This phenomenon also received interest for scholars in the field of public finance. See Ben Ferrett and I. Wooton,
“Tax Competition and the International Distribution of Firm Ownership: An Invariance Result”, International
Tax and Public Finance 17(5) (2010): 518–531; Dan A. Black and William H. Hoyt, “Bidding for Firms”, The
American Economic Review, Vol.79, No. 5 (1989), pp. 1249 – 1256; or P. Haaparanta, P., “Competition for Foreign
Direct Investment”, Journal of Public Economics Vol. 63, No.1, (1996), pp. 141–153.
30
Lihat pidato Sekretaris Jenderal Angel Gurria di hadapan Menteri Keuangan G20, 5 Oktober 2015, “… but, beyond
this, BEPS has been also eroding the trust of citizens in the fairness of tax systems worldwide...”
31
Lihat Ray Pawson, “Evidence and Policy and Naming and Shaming,” Policy Studies Vol.23 No. 3 (2002): 211-230.
32
Hans van den Hurk, “Starbucks versus the People,” Bulletin for International Taxation, Januari 2014, 27-28.
33
Misalkan laporan yang dikeluarkan ActionAid mengenai praktik penghindaran pajak di Ghana. Lihat ActionAid,
Calling Time: Why SABMiller Should Stop Dodging Taxes in Africa (London: ActionAid, 2012)
34
Lihat misalkan proyek Panama Papers yang dilakukan oleh International Consortium of Investigative Journalists.

9
Tren naming and shaming dalam konteks penghindaran pajak menciptakan pro dan kontra.
Dukungan atas naming and shaming pada umumnya berangkat dari fakta bahwa penghindaran
pajak merupakan upaya mengurangi beban pajak melalui pemanfaatan celah hukum dan
interaksi sistem pajak antarnegara yang tidak padu. Oleh karena itu, penegakan hukum atas
praktik penghindaran pajak sangat sulit karena praktik tersebut sejatinya tidak melanggar
ketentuan pajak yang berlaku. Dalam konteks ‘kekosongan hukum’ tersebut, naming and
shaming menjadi suatu alat efektif untuk mengidentifikasi dan menangkal penghindaran pajak
sekaligus mengurangi perilaku ketidakpatuhan.35
Walaupun demikian, naming and shaming juga tidak luput dari kritik. Pertama-tama, naming
and shaming telah memberikan keleluasaan bagi pihak yang kurang berkompeten dan tidak
memiliki otoritas, untuk melakukan penilaian (assessment) atas perilaku perusahaan
multinasional. Pihak-pihak tersebut seringkali tidak secara tepat mendefinisikan dan
mengidentifikasikan perilaku penghindaran pajak, maupun seberapa jauh perilaku perusahaan
multinasional yang diungkapkan dari perilaku yang dianggap ‘patuh’. Kampanye naming and
shaming juga berpotensi menimbulkan pembayaran pajak yang tidak mengacu pada ketentuan
pajak yang berlaku. Dengan demikian, justru melanggar supremasi hukum (rule of law). 36
3.4. Menghakimi secara moral. State dan society sama-sama berkolaborasi.
Dari elemen ini nampak bahwa
Upaya menekan perusahaan multinasional juga dilakukan oleh pihak eksekutif dan legislatif.
Hal ini berangkat dari paradigma Machivielli yang memberikan ruang bagi pemerintah untuk
secara sepihak bertindak (menekan) lebih jauh karena adanya kewenangan dan kekuatan yang
dimilikinya.37 Tekanan bagi perusahaan multinasional pada umumnya berada di luar hukum
dan lebih pada aspek etika ataupun moral. 38 Pada umumnya, hukuman moral tersebut
dilakukan dengan secara sengaja memperlihatkan persoalan pajak perusahaan multinasional
tertentu yang sedang didalami oleh pemerintah. Contohnya, pada kasus Google, Amazon dan
Starbucks di Inggris.39
Dalam kenyataannya, praktik naming and shaming seringkali juga berujung pada ajakan bagi
konsumen untuk memboikot produk perusahaan multinasional yang dianggap tidak patuh. 40
Sebagai dampaknya, perusahaan multinasional mendapatkan risiko pasar dan ancaman atas
kelanjutan usaha mereka. Walau demikian, yang terpenting bagi mereka adalah risiko
tercorengnya reputasi.41 Risiko reputasi inilah yang menjadi alasan utama perubahan perilaku
bagi perusahaan multinasional.42

35
Joshua D. Blank, “What’s Wrong with Shaming Corporate Tax Abuse,” Tax Law Review, Vol. 62 (2009): 554.
36
Kalmen Datt, “To Shame or Not To Shame: That is The Question,” eJournal of Tax Research Vol.14, No.2 (2016):
504-505.
37
Lihat pembahasan atas hal ini pada Peter Essers, “International Tax Justice between Machiavelli and Habermas,”
Bulletin for International Taxation, Februari 2014, 54-66.
38
Cara yang berbeda dilakukan untuk mempermalukan subjek pajak melakukan pengelakan pajak (tax evasion). Di
beberapa negara, upaya merubah perilaku para pengemplang pajak justru dilakukan dengan melakukan publikasi
dan penyebutan nama-nama subjek pajak secara resmi. Hal ini seperti yang diimplementasikan di Brazil.
39
Seperti yang dilakukan oleh anggota parlemen Inggris, Margaret Hodge "We're not accusing you of being illegal,
we're accusing you of being immoral." Lihat BBC, “Starbucks, Google and Amazon grilled over tax avoidance” 12
November 2012, Internet, dapat diakses melalui http://www.bbc.com/news/business-20288077.
40
Contohnya adalah rencana boikot gerai kopi Starbucks di Inggris pada tahun 2012 lalu. Lihat Internet, dapat
diakses melalui https://www.ft.com/content/5cd14dcc-187f-11e2-8705-00144feabdc0.
41
Lee Corrick, “The Taxation of Multinational Enterprises” dalam Global Tax Fairness, ed. Thomas Pogge dan
Krishen Mehta (Oxford: Oxford University Press, 2016), 174.

10
4. Tantangan untuk Berkoordinasi
4.1. Kedaulatan pajak
Setiap negara memiliki kedaulatan pajak (tax sovereignty), yang tercermin dari adanya
kebebasan dan kewenangan untuk menciptakan sistem pajak yang dirasa paling baik bagi
mereka. Kedaulatan pajak tersebut dimaksudkan untuk memaksimumkan kesejahteraan
penduduk, menjamin redistribusi pendapatan, berorientasi pada kepentingan nasional,
berpihak pada masyarakat, serta menjamin nilai-nilai demokrasi. 43
Interaksi ekonomi antarnegara pada era globalisasi menciptakan tantangan tersendiri bagi
prinsip kedaulatan pajak. Globalisasi telah menciptakan konvergensi di bidang ekonomi, mulai
dari kesepakatan perdagangan hingga standar akuntansi. Artinya, tiap negara menyepakati dan
mematuhi suatu nilai atau standar yang berlaku secara global. Meskipun demikian, gelombang
konvergensi tersebut tidak terjadi pada area pajak atau fiskal. Kedaulatan pajak masing-masing
negara tetap dipertahankan dalam keadaan non-cooperative game.44 Ketidakcocokan antara
prinsip kedaulatan pajak dengan proses integrasi ekonomi tersebutlah yang kemudian menjadi
awal dari perilaku penghindaran pajak.
Salah satu karakteristik dari globalisasi adalah semakin berkurangnya hambatan untuk
melakukan aktivitas ekonomi lintas negara atau yurisdiksi. 45 Hal ini ditandai dengan
kemudahan mobilitas faktor produksi yang mencakup sumber daya manusia 46 dan modal.
Sebagai akibatnya, setiap agen ekonomi memiliki keleluasaan untuk memilih lokasi investasi
(negara atau yurisdiksi) yang memberikan imbal hasil (return) paling menguntungkan.47
Dari sisi pemerintah, kebutuhan untuk meningkatkan perekonomian nasional telah mendorong
mereka untuk ‘berkompetisi’ memperebutkan aliran investasi global. Hal tersebut
memunculkan apa yang disebut sebagai tax law market, yaitu kompetisi saling menawarkan
paket investasi yang berisi kualitas dan ‘harga’ dari barang publik yang disediakan oleh suatu
negara.48 Dalam konteks tax law market, harga merujuk pada beban pajak yang harus
ditanggung oleh investor sebagai implikasi dari sistem pajak di lokasi investasi. Dengan

42
Perubahan perilaku tersebut didorong oleh sesuatu yang rasional karena reputasi dapat berpengaruh terhadap
‘value’ perusahaan multinasional.
43
Tsilly Dagan, “The Tragic Choices of Tax Policy in A Globalized Economy,” dalam Tax, Law and Development, ed.
Yariv Brauner dan Miranda Stewart (Massachussetts: Edward Elgar, 2013), 57.
44
Oleh karena itu, sektor pajak sering dianggap sebagai benteng pertahanan terakhir dari globalisasi. Lihat Arthur
J. Cockfield, “International Tax Competition: The Last Battleground of Globalization,” Tax Notes International 19
(September 2011): 867-870.
45
Walau demikian, dewasa ini terdapat suatu tren de-globalisasi yang berkaitan dengan upaya untuk
proteksionisme dan berorientasi pada kepentingan ekonomi nasional. Lihat contohnya, rencana Presiden Trump
untuk adanya border tax, atau tren mengenai exit tax yang semakin mengemuka. Atau isu mengenai brain drain.
46
Pengaruh tarif pajak terhadap mobilitas sumber daya manusia dapat dilihat dari kajian yang dilakukan oleh
Kleven, Landais dan Saez atas pasar pemain bola di Eropa, maupun dampak pemberlakuan tarif PPh flat bagi
orang asing di Denmark. Lihat Henrik Jacobsen Kleven, Camille Landais, dan Emmanuel Saez, “Taxation and
International Migration of Superstars: Evidence from the European Football Market,” American Economic Review,
Volume 103 No. 5 (2013): 1892-1924; atau Henrik Jacobsen Kleven, et al., “Migration and Wage Effects of Taxing
Top Earners: Evidence from the Foreigners’ Tax Scheme in Denmark,” Quarterly Journal of Economics, Volume 129
No. 1 (2014): 333-378. Lebih lanjut, skema serupa kini tengah masuk dalam RUU Keuangan di Italia. Lihat Paolo
Ludovici, “Italy’s New Incentives to Attract High-Net-Worth Individuals,” Tax Notes International (Maret 2017):
1003-1006.
47
James R. Hines, “Will Social Welfare Expenditures Survive Tax Competition?” Oxford Review of Economic Policy,
Volume 22 No. 3 (2006): 330-332.
48
Cees Peters, On the Legitimacy of International Tax Law (Amsterdam: IBFD, 2014), 55-60.

11
demikian, prinsip kedaulatan pajak telah menyebabkan variasi sistem pajak antarnegara yang
turut menentukan besaran imbal hasil investor.
Ide organisasi pajak internasional semakin relevan dengan adanya fakta bahwa penghindaran
pajak dan alokasi pemajakan yang adil telah menjadi persoalan global. Pengamanan basis pajak
agar tidak tergerus kini dapat dikategorikan sebagai salah satu global public goods selain
kelestarian lingkungan hidup, kestabilan pasar keuangan internasional, keamanan global, dan
lain-lain.49 Organisasi pajak internasional diharapkan bisa menjadi solusi dari tragedy of
commons, yang dalam hal ini mengacu pada penghindaran pajak. 50
Pro dan kontra ide organisasi ini terletak pada kaitannya dengan kedaulatan pajak masing-
masing negara. Sebagian pihak menyatakan bahwa ide tersebut berarti mengurangi kedaulatan
masing-masing negara karena sebagian akan ‘diserahkan’ kepada organisasi internasional
tersebut. Di sisi lain, pihak yang mendukung menyatakan bahwa tanpa kehadiran organisasi
internasional pun, kedaulatan pajak tiap negara sesungguhnya telah tergerus. Hal ini terlihat
dari semakin rendahnya keleluasaan tiap negara dalam merumuskan kebijakan pajak
internasional karena banyak dipengaruhi oleh posisi negara lain. Kehadiran organisasi pajak
internasional justru akan menjamin tersedianya kedaulatan pajak masing-masing negara dalam
derajat tertentu yang sama.51

4.2. Koordinasi
Sebagai penutup, penting untuk menggarisbawahi bahwa keberhasilan Proyek Anti-BEPS
mengacu pada sejauh mana hal tersebut diimplementasikan dan dijadikan acuan secara
konsisten oleh tiap negara. Hal tersebut membutuhkan suatu komitmen politik, kerjasama
internasional, dan kompromi antarnegara.52
Further, the starting point to elimination of tax avoidance activities is the concept of global
neutrality, where any business decision shall be determined by non-tax consideration factors. 53
Focus of attention of neutrality tax system is mostly on neutrality towards the location of the
economic activity, the residence and nationality of the shareholder of a company, the location of
the management and control of the business and the choice of place of incorporation. 54
Further, if tax competition was not favouring to the global neutrality (and equality), is
cooperative game –as the opposite of uncooperative behaviour- will ensure the existences of
those principles? The answer is yes. With containing those principles, tax cooperation at least
have four advantages: (i) barriers to investment may be reduced if there is a common tax

49
Hal ini dibahas secara mendalam dalam Inge Kaul, et.al, Providing Global Public Goods: Managing Globalization
(Oxford: Oxford University Press, 2003).
50
Vito Tanzi, “Lakes, Oceans, and Taxes: Why the World Needs a World Tax Authority,” dalam Global Tax Fairness,
ed. Thomas Pogge dan Krishen Mehta (Oxford: Oxford University Press, 2016), 256-259.
51
Perdebatan atas dampak organisasi pajak internasional terhadap kedaulatan pajak tiap negara dapat dilihat pada
Peter Dietsch, Catching Capital: The Ethics of Tax Competition (Oxford: Oxford University Press, 2015).
52
OECD, “OECD Secretary-General Report to the G20 Finance Ministers and Central Bank Governors, Sydney,”
Internet, dapat diakses melalui
http://www.g20.utoronto.ca/2014/OECD_Tax_report_to_G20_Finance_Ministers.pdf.
53
Peggy Musgrave, United States Taxation of Foreign Income, Issues and Arguments (Massachusetts: Law School Of
Harvard University,1969), p.108 as quoted in Wolfgang Schon, “International Tax Coordination for a Second-Best
World (Part I), World Tax Journal (October, 2009), p. 78.
54
Cees Peters, “International Tax Neutrality and Non-Discrimination: Plea for a More Explicit Dialogue between the
State and the Market”, in Michael Lang, et.al. (eds), Tax Treaties: Building Bridges between Law and Economics
(Amsterdam: IBFD, 2010), pp. 612 – 613.

12
policies framework; (ii) fiscal externalities (tax spillovers in IMF term) 55 could be reduced; (iii)
possibility to decrease abusive tax planning; and (iv) fully fledge coordination, i.e. tax system
harmonization, could reduce compliance and administrative costs. 56
The world is a place for heterogeneous set of countries. It means that countries have various
fiscal objective and economic level. For instance, welfare state (Scandinavian countries) has the
highest tax rate but with provides their taxpayers with good social securities and high quality of
public goods. On the other hand, there are oil economies, small (island) economy, and least-
developing countries. Each of those countries has different economic characteristic and fiscal
policy to financing their development, and therefore has different preferences. 57 Is it possible to
involve all of them into one framework?
With refers to the idea of the dilemma on the formation of international union 58, it could be
possible as long as the framework of multilateral cooperation formed in more loose (flexible)
way. The framework should still give more fiscal room to each country in setting their own tax
policy (tax sovereignty into some degree). If this ‘fiscal room’ is not available, therefore only
countries with similar preference with majority of ‘member’ will enter the multilateral
cooperation. Therefore, the scope of multilateral framework will influence the size of
cooperation, thus determine the possibility to achieve global neutrality. In a short, global
neutrality could be achieve as long as the multilateral cooperation only arrange small scope of
tax policies.
Further, in order to ensure achievement of global neutrality, the idea of multilateral action
requires participation from all countries and large scope of tax instruments. Subset of countries
(small size) means partial neutrality, and, on the other hand, subset of instruments (small
scope) wills put more pressure on the instruments which not coordinated. 59 The balance
between size and the scope should be thinking by the global tax stakeholders.
From the previous explanation, it could also be predicted that tax harmonization is hardly to
implement. With the heterogeneity of preferences across countries, I think the idea of identical
tax rate and tax base are should put into pessimistic view.
Moreover, the lesson from experiences of multilateral tax cooperation in specific regions is in
favor of this argument. For instance, the experience in WAEMU have proved that regional
coordination would be justified if the set of countries in the region are more integrated among
each other, but relatively closed vis-à-vis the rest of the world. 60 In EU, the idea of formulary
apportionment as one of the important elements in Common Consolidated Corporate Tax Base
(CCCTB) receives many discord and refusal.61
55
International Monetary Fund, supra note 4, p. 12.
56
Kim Brooks, “The Potential of Multilateral Tax Treaties”, in Michael Lang, et.al. (eds), Tax Treaties: Building
Bridges between Law and Economics (Amsterdam: IBFD, 2010), p. 215 – 216.
57
Different in size (heterogeneity) game will creates different pattern of behavior. See Ravi Kanbur and Michael
Keen, “Jeux Sans Frontières: Tax Competition and Tax Coordination When Countries Differ in Size”, The American
Economic Review, Vol. 83, No. 4 (Sep., 1993), pp. 890 – 891.
58
See Alberto Alesina, Ignazio Angeloni, and Federico Etro, “International Unions”, The American Economic Review
Vol. 95, No. 3 (2005), pp. 602 – 615.
59
International Monetary Fund, supra note 4, p. 44.
60
Leonce Ndikumana “International Tax Cooperation and Implications of Globalization,” PERI Working Paper
Series, No. 355 (2014): 15.
61
Comprehensive assessment on the (dis)unanimity of CCCTB could be found at Christoph Spengel et.al., “A
Common Corporate Tax Base for Europe: An Impact Assessment of the Draft Council Directive on a CC(C)TB”,
World Tax Journal (October, 2012), pp. 185 - 221; and Ronald Russo. “CCCTB: General Principles and
Characteristics”, in Dennis Weber (ed.), CCCTB: Selected Issues (Alphen ad Rijn: Kluwer Law International, 2012),

13
Posisi organisasi internasional.

4.3. Hegemoni dari negara-negara OECD dan Peran dari negara-negara emerging economies
tuntutan atas kompensasi yang layak bagi entitas perusahaan multinasional yang beroperasi di
negara berkembang, terlebih di negara BRICS. 62 Tuntutan ini berangkat dari refleksi bahwa
selama ini penghasilan yang diperoleh perusahaan multinasional di negara berkembang kerap
tidak sebanding dengan kontribusi mereka dalam penciptaan nilai (value creation).
Walau demikian, posisi untuk tidak melakukan hal-hal yang sifatnya merubah secara drastis
konsensus internasional tersebut sepertinya dapat dipahami. Teori mengenai pembentukan
organisasi internasional memperlihatkan bahwa suatu kerjasama semakin mudah dilakukan
dalam kerangka yang lebih fleksibel dan tidak mengikat. 63 Artinya, kerangka tersebut
seharusnya masih membuka ruang perbedaan-perbedaan preferensi. Dalam konteks Proyek
Anti-BEPS, kerangkanya memang dari awal tidak didesain untuk mereformasi secara total
tatanan yang sudah ada maupun merumuskan hal-hal yang mengikat. Proyek Anti-BEPS
agaknya lebih mementingkan partisipasi dan kerangka kerja yang inklusif untuk secara
perlahan-lahan menuju ke arah perubahan yang diharapkan. Ketimbang adanya aturan-aturan
baru yang mengikat, tetapi hanya diikuti oleh sebagian negara saja. Atau dengan kata lain,
mengutamakan size daripada scope.
Pilihan tersebut juga turut mempertimbangkan berbagai preferensi fiskal dari tiap negara yang
sulit berkompromi pada suatu kesepakatan yang terlalu ekstrim. 64 Bahkan, beberapa negara
anggota OECD memiliki kecenderungan memilih status quo karena tetap ingin melindungi dan
memfasilitasi perencanaan pajak. 65 Pada umumnya, mereka bersikap mendua. Di satu sisi, tetap
ingin mempertahankan dan melindungi basis penerimaan pajaknya dari praktik BEPS. Namun,
di sisi lain, mereka tidak memiliki kepentingan besar untuk mencegah perusahaan
multinasional residen mereka untuk menggerus basis pajak negara lain (membayar lebih atas
pajak di negara lain).
Rekomendasi yang dihasilkan dari Proyek Anti-BEPS juga kurang sesuai dengan kepentingan
banyak negara berkembang. Contohnya saja negara-negara di kawasan Afrika yang
memanfaatkan Proyek Anti-BEPS untuk meningkatkan kapasitas otoritas pajak dan
menciptakan sistem pajak yang lebih efektif. 66 Melibatkan BRICS dan negara anggota G20 (yang
bukan anggota negara OECD) juga tidak sepenuhnya menjamin penerimaan secara global,
terutama karena posisi unik mereka yang tidak sepenuhnya mewakili kepentingan negara
berkembang.67
4.4. Agenda Lain
4.4.1. PBB

pp. 66 – 77.
62
Yariv Brauner, “BEPS: An Interim Evaluation,” World Tax Journal (February 2014): 12-13.
63
Alberto Alesina, Ignazio Angeloni, and Federico Etro, “International Unions,” The American Economic Review, Vol.
95, No. 3 (2005): 602-615.
64
Ravi Kanbur dan Michael Keen, “Jeux Sans Frontières: Tax Competition and Tax Coordination When Countries
Differ in Size,” The American Economic Review, Vol. 83, No. 4 (1993): 890 – 891.
65
Brian J. Arnold, Op.Cit., 189.
66
Annet Wanyana Oguttu, “OECD’ s Action Plan on Tax Base Erosion and Profit Shifting: Part 1 - What Should Be
Africa’ s Response?” Bulletin for International Taxation, 2015.
67
Lihat pembahasan sebelumnya pada bagian B.2.

14
4.4.2. EU
Perlunya Second-Best Policy
Walau demikian, bagi negara-negara yang pro terhadap adanya tindakan yang bersifat
sementara, terdapat beberapa elemen kebijakan yang harus dipertimbangkan:
i. Kebijakan tersebut harus sesuai dengan kesepakatan internasional. Artinya
tindakan tersebut tidak bertentangan dengan isi Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B), tidak boleh diskriminatif terhadap non-residen, selaras dengan
prinsip yang digariskan oleh World Trade Organization (WTO), dan sebagainya;
ii. kebijakan harus bersifat sementara dan harus diubah berdasarkan konsensus global
jika sudah ada;
iii. kebijakan harus menyasar secara tepat (targeted) dan tidak berlaku secara umum.
Idealnya, sasarannya merupakan model bisnis digital atau jasa elektronik tertentu
yang memiliki risiko pajak tertinggi, misalkan internet advertising;
iv. kebijakan tersebut tidak memberikan beban pajak yang berlebihan. Artinya, desain
tarif tidak boleh terlalu tinggi serta tidak menciptakan pemajakan berganda;
v. kebijakan sebisa mungkin tidak berdampak pada bisnis start-up, pendirian usaha
baru, dan usaha kecil. Hal ini bisa dilakukan dengan menambahkan adanya
threshold; dan
vi. kebijakan tidak menambah biaya kepatuhan dan memberikan kerumitan.

15

Anda mungkin juga menyukai