Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata kuliah Matematika Fisika merupakan salah satu bahan ajar yang dapat
menumbuhkan kemampuan berpikir analitis, kuantitatif, dan prediktif berdasarkan model
penalaran yang dirumuskan. Materi kajian mata kuliah Matematika Fisika pada intinya
adalah cara-cara perumusan dan pemecahan persamaan diferensial sebagai rumusan proses
atau gejala fisika. Berdasarkan hal tersebut, baik persamaan diferensial biasa (PDB)
maupun persamaan diferensial parsial (PDP ) memiliki peranan sangat penting di dalam
perumusan model penalaran proses dan gejala-gejala fisika.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa mata kuliah Fisika Matematika bertujuan agar
mahasiswa memiliki kemampuan merumuskan berbagai proses fisika ke dalam pernyataan
matematis dan mampu menyelesaikannya secara analitis. Oleh karena itu, mata kuliah
Matematika Fisika merupakan bahan pelajaran yang diharapkan dapat menumbuhkan
kemampuan berpikir analitis, kuantitatif, dan prediktif berdasarkan model penalaran yang
dirumuskan.

Mata kuliah Matematika Fisika mengajarkan konsep-konsep dasar matematika yang


dibutuhkan untuk melakukan berbagai perhitungan dan penalaran dalam mata kuliah
fisika lanjut seperti mekanika klasik, mekanika kuantum, mekanika gelombang, dan teori
medan elektromagnet. Di samping itu, mata kuliah ini juga dapat untuk menumbuhkan
kemampuan analitis dan sintesis yang diperlukan mahasiswa kelak dalam pengkajian
berbagai proses fisika berdasarkan hukum-hukum dasar fisika.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan Critikal Book Report ini adalah untuk memenuhi tugas Mata kuliah
Matematika Fisika. Untuk menambah wawasan tentang Matematika Fisika. Menambah
wawasan tentang bagaimana menyelesaikan soal – soal Matematika Fisika dan untuk
mengetahui kelemahan dan kelebihan suatu buku.

1
1.3 Manfaat
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Matematika Fisika
2. Melatih kemampuan Penulis dalam mengkritisi suatu buku.
3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Matematika Fisika

BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Identitas Buku


Buku Utama
Judul Buku : MATEMATIKA FISIKA
Penulis : Dr. Nurdin Siregar, M.Si

Drs. Togi Tampubolon, M.Si, Ph.D


Penerbit : Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Negeri Medan
Tahun Terbit : 2018
Kota Terbit : Medan
Bab yang direview : Bab I – bab XIX
Halaman : iii ± 112 halaman

2.2 Ringkasan Isi Buku

BAB I

DERET TAK TERHINGGA DAN PERHITUNGAN NUMERIK

1.1 Pendahuluan
Deret merupakan penjumlahan urutan bilangan atau variabel yang membentuk pola
tertentu. Secara umum deret dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut:

u0 + u1 + u2 + … + un

Jika u0 adalah bilangan maka deret dinamakan deret bilangan dan dituliskan bentuk

a0 + a1 + a2 + … + an

2
1.2 Konvergensi dan Divergensi Deret

Deret tak hingga adalah pernyataan penjumlahan bilangan yang tak hingga banyaknya
berbentuk:

a1 + a2 + a3 + … + an……………………………………………………………..(1)

an = f(n), n = 1,2,3…………………………………………………………....(2)

Jadi deret tak hingga persamaan (1) dalam notasi jumlah ditulis sebagai berikut:


a1 + a2 + a3 + … + an = ∑ a n……………………………………………….……(3)
n −1

Sifat- Sifat Utama Deret

Sifat 1 : Jika ∑ an konvergen, maka nlim


→∞
an =0. Tetapi kebalikannya tidak selalu berlaku

yaitu bila nlim


→∞
an =0 maka deret ∑ an dapat konvergen tetapi dapat juga

divergen.

Sifat 2 : Jika suku ke-n dari deret tidak menuju 0 maka deret itu divergen.

Bukti: Jika ∑ an konvergen → n→


lim S n=0.

Andaikan jika nlim


→∞
S n ≠0 , maka ∑ an konvergen. Karena ∑ an konvergen

→ lim S n=0.
n→ ∞

Sifat 3 : Mengalikan semua suku – suku suatu deret dengan suatu bilangan konstanta
yang tidak sama dengan nol, tidak akan merubah konvergensi.

Sifat 4 : Penghapusan bebarapa suku yang berhingga banyaknya dari suatu deret juga
tidak merubah konvergen atau divergen deret itu.

Deret Ukur / Geometri

Deret tak istimewa berikut:


2
a + ar + ar + ar n-1
+…= ∑ ar n−1, r > 0
n →1

3
Jumlah parsial n suku deret geometri ditulis dengan:

a ( 1−r n)
sn = , r≠ 1
1−r

Jika n → ∞ , makajumlah parsial deret dituliskan :

∑ Sn = a
S= , jika dan hanya jika |r|< 1
n→∞ 1−r

1.3 Uji Konvergensi Deret


Uji konvergensi deret tak hingga hanya dilakukan untuk deret bersuku positif.
1.3.1 Uji Pendahuluan

Memeriksa apakah untuk barisan yang ke tidak hingga nlim


→∞
an ≠ 0. Jika hal ini dipenuhi

maka deret tersebut adalah divergen

1.3.2 Uji banding

Uji banding adalah untuk menguji konvergensi dan divergensi dari suatu deret
misalnya ∑ an dengan membandingkan deret yang sudah diketahui konvergensinya atau

divergensinya misalnya ∑ ba.

1.3.3 Uji Integral

∞ ∞

Uji ini dilakukan dengan cara integrasi kontini terhadap n dimana ∑ an menjadi ∫ an
n =1 0

dn jika hasilnya terbatas maka deret tersebut adalah konvergen, selanjutnya jika hasilnya
tidak terhingga maka deret tersebut dinyatakan sebagai deret divergen. Hal ini dipenuhi jika 0
¿ a n+1 <an .

1.3.4 Uji Bagi atau Rasio


an +1
Tinjau deret ∑ an, selanjutnya deret ini dimisalkan lim ¿n →∞ ¿ǀ ǀ = ρn
n =1 an

apabila: ρ<1 maka deret tersebut konvergen

ρ>1maka deret tersebut divergen

ρ=1 deret tersebut tidak dapat ditentukan divergen atau konvergen

4
1.3.5 Uji Banding Limit (Uji Lebniz)


Tinjau deret posirtif ∑ an,kemudian:
n =1


a
a. Uji konvergensi, jika terdapat deret positif ∑ bn yang konvergen lim ¿a → ∞ ǀ bnn ǀ< ¿, maka
n =1

deret konvergen.

a
b. Uji devergensi jika deret positif ∑ bn yang divergen, sehingga lim ¿a → ∞ ǀ bnn ǀ< 0¿, maka
n =1


deret ∑ an divergen.
n =1

1.4. Deret Bolak-Balik (Deret Berayun)

Deret bolak-balik disebut juga dengan istilah deret bilangan selang-seling yang
artinya deret bilangan yang tanda suku berurutan mempunyai tanda positif dan negatif
berselang-seling, dituliskan dalam bentuk:


a1 – a2 + a3 – a4 + ... + (-1) an ¿ ∑ (−1 ) n-1an
n-1

n=1

Deret bolak-balik atau berayun di defenisikan sebagai berikut :

∞ ∞
(−1)n−1
∑ an = ∑ n │an│
n =1 n =1

Deret berayun ∑ an konvergen bila kedua syarat berikut dipenuhi.


a. │an + 1│ ≤ │an│untuk n ≥ 1.

b. lim an = 0 atau lim │ an│ = 0


n→∞ n→∞


Kekonvergenan ∑ (−1)n-1 an ini ditentukan oleh sifat deret mutlaknya, jika
n =1

∞ ∞
a. ∑ │(−1) n-1
an│konvergen maka ∑ (−1) n-1
an bersifat konvergen mutlak. Jika deret
n =1 n =1

konvergen mutlak maka deret itu dan deret mutlaknya konvergen.

5
∞ ∞
b. ∑ │(−1) n-1
an│divergen maka ∑ (−1) n-1
an bersifat konvergen bersyarat. Jika deret
n =1 n =1

konvergen bersyarat maka deret itu konvergen dan deret mutlaknya divergen.

1.5 Deret Pangkat

Dengan x sebuah variabel sedangkan a dan c n bilangan tetap, disebut “deret pangkat” atau
“deret kuasa”

Secara umum deret pangkat dinyatakan sebagai berikut:


Deret pangkat sekitar x = 0:
∑n=0 anxn = a0 + a1x + a2x2 + a3x3 + …                 (Pers. 1.1)
Deret pangkat sekitar x = b:
∑n=0 anx = a0 + a1x + a2x2 + a3x3 + …                 (Pers. 1.2)
b adalah sebuah bilangan tetap.

Deret pangkat konvergen untuk |x| < R dan divergen untuk |x| > R disebut jari-jari
konvergensi dari deret itu.

Untuk |x| = R deret mungkin konvergen dan mungkin divergen.

Interval |x| < R, |x| < R atau |x| ≤ R, |x| ≥ R, disebut interval konvergensi.

BAB II

BILANGAN KOMPLEKS

2.1. Bilangan Real dan Imajiner

Tiap-tiap persamaan dengan bentuk :


ax2 + bx + c = 0.................................................................................(2.1)

dinamakan persamaan kuadrat, yang akar-akar persamaannya adalah :

−b ± √b 2−4 ac
x1,2 = ........................................................................................... (2.2)
2a

Jika diskriminan D = b2 – 4ac < 0, maka tak ada akar-akar yang real (dua buah akar
yang gabungan kompleks), dan untuk melukiskan akar-akar ini, maka dinyatakan dengan

6
bilangan : bilangan khayal(imajiner) ai dengan a bilangan riel dan i satuan kayal yang
memenuhi aturan :

i = √ −1............................................................................................................(2.3)

i2 = ¿ ) = -1,i3 = -i,t4 = 1,t4n = 1

suatu bilangan kompleks adalah suatu bilangan dengan bentuk :

c = a + ib........................................................................................................(2.4)

dengan c = bilangan kompleks

a = Re c = bagian riel c

b = Im c = bagian imajiner?kayal c

sehingga sebuah bilangan kompleks c dapat ditulis sebagai :

c = Re c + Im c

2.2. Aljabar Bilangan Kompleks

Misalkan dua bilangan kompleks c1 = a1 + ib1 dan c2 = a2 + ib2, maka operasi aljabar
antara kedua bilangan kompleks ini didefenisikan memberikan pula suatu bilangan kompleks
baru.

a. Penjumlahan/Pengurangan

c1 ± c2 = (a1 + ib2) ±(a2 + ib2) = (a1 ± a2) + i(b1 ± b2)......................................(2.5)

b. Perkalian

c1.c2 = (a1 + ib2) (a2 + ib2) = a1a2 + ia1b2+ 1 b1a2 + i2b1b2

= (a1a2 – b1b2) + i(a1b2 + a2b1)..............................................................(2.6)

c. Pembagi

c 1 (a 1+ib 1) ( a 1+ ib1 ) (a 2−ib2) (a 1 a 2+b 1 b 2) (b 1 a 2−a1 b 2)


= = = ¿+i
c2 ¿¿ ( a 2+ ib2 ) (a 2−ib2) 2
a1 +b2 ¿ 2
(a 22 +b 22 )

Konjugat Kompleks atau Kompleks sekawan dan Modulus

7
a. Konjugat kompleks atau kompleks sekawan

Jika c = a + ib adalah sebuah bilangan kompleks, maka C* disebut konjugat kompleks


C, didefinisikan sebagai :

c* = a* + i*b*

dengan sifat :

a* = a,b* = b dan i* = -i

sehingga

c* = a – ib

b. Modulus.

Jika c = a + ib adalah sebuah bilangan kompleks, maka modulus c yang dilambangkan


dengan |c| = √ cc∗¿ ¿

|c| = √ (a+ib)(a−ib)= √ a2 +b 2

2.3 Bidang Kompleks / Diagram argand

Suatu pasangan bilangan (x,y) ditentukan oleh suatu bilangan kompleks z=x+iy, maka
setiap bilangan kompleks z=x+iy dapat dinyatakan sebagai sebuah titik P (x,y) pada suatu
bidang xy dan sebaliknya sebuah titik P (x,y) sesuai dengan suatu bilangan kompleks z = x +
iy. Bidang xy tersebut dinamakan bidang kompleks atau diagram Argand.

Y
P(x,y)=x+iy=(r,

r X

Hubungan kedua koordinat adalah :

X = rcosϴ y=rsinϴ

8
y
r= √ x 2+ y 2 ϴ=arc tan
x

Berdasarkan hubungan koordinat, diperoleh bentuk kutub (polar) bilangan kompleks :

z = x + iy = rcos ϴ + ir sin ϴ

atau : z = r(cos ϴ + i sin ϴ)

Dengan r = modulus atau harga mutlak z

ϴ = argument z = sudut = fase

jika z1 = r1 (cosϴ1 + i sin ϴ1) dan z2 = r2(cos ϴ2 + isinϴ2)

Maka perkalian :

z1z2 = r1r2 [cos(ϴ1+ϴ2)+isin(ϴ1+ϴ2)]

dan jika z1 = z2, maka diperoleh :

z1z2=z2=r2 (cos2ϴ+isin2ϴ)

z2 = r2 (cos2ϴ+isin2ϴ)

selanjutnya jika ada nz yang tidak berbeda masing-masing sama dengan z = r(cosϴ+isinϴ),
maka diperoleh :

zn = [r(cosϴ+isinϴ)]n = rn(cosnϴ + isin nϴ)

persamaan ini dikenal dengan Teorema De Moivre.

2.4 Persamaan Kompleks dan Kurva Bilangan Kompleks

Suatu persamaan kompleks yang menghasilkan hanya satu persamaan riel, akan
memberikan pemecahan dengan x dan y saling bergantungan. Saling bergantungan ini, pada
bilangan kompleks, menggambarkan sebuah kurva.

2.5 Deret Kompleks

Deret tak hingga kompleks adalah pernyataan penjumlahan bilangan kompleks yang
tak hingga banyaknya terbentuk:

9

C1 + C2 + C3 + … + Cn + … ≡ ∑ ( Cn )
n =1

dengan setiap suku Cn adalah suatu bilangan kompleks yang tergantung pada bilangan bulat
n.

Jumlah parsial/pembagiannya deret tak hingga kompleks dituliskan : Sn = Xn + iYn

Dengan:


Sn = ∑ ( Ck )  k=1,2,3,…,n
n =1

Xn dan Yn adalah bagian riel.

2.6 Fungsi Eksponensial dan Rumus Euler

Jika z = x +iy, maka fungsi eksponensial kompleks ez didefenisikan melalui deret


pangkat berikut :

z2 z3 zn
ez = 1 + z + + + ..... +
2! 3! n!

Dengan mengambil z = x real, diperoleh :

x2 x3
ex = 1 + x + + + .....
2! 3!

Sedangkan jika z = iy, imajiner murni, diperoleh:

iy2 iy 3
eiy = 1 + iy + + + .....
2! 3!

y2 y4 y3 y5
= (1 - + + … ¿ + i (y - + −… ¿
2! 4 ! 3! 5 !

Selanjutnya untuk eiθ , diperoleh :

iθ 2 iθ 3 iθ 4 iθ 5
eiθ = 1 + θ + ( ) + ( ) +( ) + ( ) + ......
2! 3! 4! 5!

θ2 θ3 θ4 θ5
= 1 + iθ + + + + + ......
2! 3! 4 ! 5!

10
θ2 θ 4 θ3 θ5
= (1 - +¿ - ......) + i( θ - + +…¿
2! 4! 3! 5 !

eiθ = cos θ + i sin θ .....) Rumus Euler)

maka bentuk eksponensial bilangan kompleks adalah z = reiθ

Fungsi eksponensial kompleks memenuhi sifat berikut:

Jika z1 = r1 eiθ , dan z2 = r2 eiθ , maka:

a. z1 z2 = (r1 eiθ 1) (r2 eiθ 2)= (r1 r2)ei(θ1θ2)


z1 r1ei θ1 r 1 i (θ 1 θ 2¿)¿
b. =
z2 r2ei θ2
=
r2
e ( )
2.7 Fungsi Logaritma Kompleks

Fungsi logaritma kompleks didefenisikan sebagai:

W =lnz=ln (ℜiθ ¿ )=lnr+ iθ ±i 2 nπ ¿

harga prinsipal, 0 ≤ θ ≤ 2 π

Dari persamaan perkalian dan fungsi kompleks (2.17), diperoleh :

z1, z2 = e w 1. e w 2=e i (w + w )
1 2

berdasarkan persamaan (2.21), diperoleh:

ln ( z 1 z 2 ) =w1 + w2=ln z 1 +ln z 2

Pangkat dan Akar Bilangan Kompleks

Pangkat real bulat n suatu bilangan kompleks z dalam pernyataan eksponensial


didefenisikan sebagai:

z n=¿

dengan : ¿ ¿

¿ cos nθ+ isin nθ

fungsi akar pangkat n dari z didefenisikan sebagai :

11
1
n
w=z

maka :

1 1 θ 2m
z =( r ) e
i( + )
n n n πn
, m=0 , ± 1, ± 2 ,…

θ θ
={ cos ( + 2mπ /n ¿+i sin ⁡( +2 mπ /n)
n n

2.8 Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik Kompleks

Fungi trigonometri cos θ dan sin θ dapat dinyatakan dalam bentuk eksponensial yang
bulatan , karena cos (-θ ) = cos θ dan sin (-θ ) = - sin θ, maka dari rumus Euler, diperoleh:

e iθ =cos θ+i sin θ , dan eiθ =cos θ−i sin θ

Selanjutnya kalau persamaan dijumlahkan dan dikurangkan, diperoleh:

e iθ =cos θ+i sin θ , e iθ =cos θ+i sin θ

e−iθ =cos θ−i sinθ …+ ¿ ¿ e−iθ =cos θ−i sinθ …−¿ ¿

e iθ =e−iθ =2 cos θ e iθ =e−iθ =2 isin θ

Sehingga :

eiθ +e−iθ e iθ −e−iθ


cos θ= ; sin θ=
2 2i

Perluasan variabel real θ menjadi kompleks z, memberikan fungsi trigonometri kompleks


berikut:

eiz +e−iz e iz −e−iz


cos θ= ; sin θ=
2 2i

Fungsi Fungsi Hiperbolik Kompleks

z
e z−e− z e z +e− z tan h= e −e
−z
sin h= ; cos h= ;
2i 2 e z + e−z

Hubungan antara fungsi trigonometri dan fungsi hiperbolik:

12
cos hy = cos iy = - i sin iy

Deret untuk :

z 3 z 5 z7
Sin hz = z + + + +…
3! 5 ! 7 !

z2 z4 z6
Cos hz = 1 + + + +…
2! 4 ! 6 !

BAB III

ALJABAR VEKTOR

3.1 Defenisi Vektor


Vector adalah besaran yang mempunyai besar dan arah. Contoh besaran fisika vector
adalah kecepatan, percepatan, gaya, momentum sudut, medan listrik, dll.
Agar dapat dibedakan besaran scalar dan besaran vector, maka lambang untuk besaran
scalar ditulis dengan huruf a, b, A; sedangkan lambang vector ditulis dengan tanda anak

panah a , b , A . Besar vector A ditulis A = |A| dan arah vector A ditentukan oleh

suatu vector satuan pada arah A dengan besar satu satuan yaitu A yang didefenisikan
sebagai:

A =❑
A

Dengan | A | = 1 satuan

3.2 Penjumlahan dan pengurangan vector

Operasi penjumlahan dan pengurangan vector sama sekali berbeda dengan operasi

penjumlahan dan pengurangan bilangan-bilangan dalam aljabar biasa. Jika A dan B


adalah dua buah vector sembarang, maka jumlah kedua vector didefenisikan sebagai:

A + B = B + A (aturan komutatif)

atau A - B = + A + (- B )

3.3 Komponen Vektor

13
Vector-vektor ^x Ax, ^y Ay, dan ^z Az dinamakan vector-vektor komponen yang

segaris dengan sumbu x, sumbu y, dan sumbu z. maka vector A dinyatakan dalam
komponen sebagai:

A = x^ Ax + y^ Ay + z^ Az

Besar vector A = | A | = (Ax2 + Ay2 + Az2 ) ½

3.4 Perkalian Skalar Dua Vektor

Jika A dan B adalah dua buah vector tak nol yang mengapit sudut θ , maka

perkalian scalar (titik) dari dua vector A dan B didefenisikan sebagai:

A . B = A B cos θ = AB cos θ

Karena | A || B | cos θ , maka berlaku hubungan komutatif

A . B = B . A

Di dalam perkalian scalar dua vector dapat dijumpai beebrapa keadaan istimewa, antara lain:

1. Jika A . B = AB cos θ = dan A ≠ 0 , B ≠ 0 , maka cos θ = 0, atau


θ =1/2 π, sehingga vector A tegak lurus pada vector vector B

2. Jika θ = 0 maka A . B = AB cos θ = AB, yaitu pada saat A sejajar

dengan B

3. Jika θ = π maka A . B = AB cos π = -AB, yaitu pada saat A anti parallel

(berlawanan arah) dengan B .

3.5 Perkalian Silang

Perkalian silang dari dua vector dan didefenisikan sebagai:

A x B = n^ (AB sin θ )

Dengan, θ = sudut antara A dan B

14
Perkalian silang dari dua vector A dan B , yaitu A x B , mempunyai
3 buah komponen yang didefenisikan sebagai:

( A x B )x ≡ AyBz - AzBy

( A x B )y ≡ AzBx – AxBz

( A x B )z ≡ AxBy – AyBx

Dapat dituliskan menjadi:

( A x B ) = (AyBz - AzBy) x^ + (AzBx – AxBz ) ^y + (AxBy – AyBx ) ^z

3.6 Hasil Kali Tripel

Berdasarkan tiga buah vector A , B dan C diperoleh 3 jenis perkalian, yaitu:

1. ( A . B ) C
2. A .( B x C )

3. A x( B x C )

Masing-masing penafsiran sebagai berikut:

1. A . B = AB cos θ adalah sebuah scalar, sehingga ( A . B ) C adalah

sebuah vector yang sejajar C


2. A .( B x C ) disebut hasil kali tripel/ perkalian ganda tiga scalar.

3.7 Persamaan Garis Lurus dan Bidang

Persamaan garis lurus

15
Sebuah garis lurus L dalam ruang ditentukan oleh dua buah titik berbeda P 1 dan P2

yang dilaluinya. Dalam rumusan vector, ini berarti bahwa jika OP1 dan OP2 adalah
berturut-turut vector kedudukan P1 dan P2, relative terhadap titik acuan O, maka setiap titik P
yang terletak pada garis , memenuhi persamaan vector

OP = OP1 + P1 P = OP1 + t ( OP2 - OP1 )

Atau P1 P = t P2 P

Dengan τ sebuah parameter real.

Persamaan bidang

Sebuah bidang v tertentukan oleh sebuah titik P 0(x0,y0,z0), yang dilewatinya, dan

sebuah vector N = A i = B
^j ^
+C k yang tegak lurus padanya. Jadi, jika P(x,y,z) adalah

sembarang titik pada bidang v, maka vector P0P tegak lurus vector N, atau dalam
rumusan hasil kali titik:

P0P .N=0

Jarak Titik ke Bidang

Misalkan Q(xq,yq,zq) sebuah titik di luar bidang v. jika Q’ adalah proyeksi tegak Q

pada bidang, jadi vector QQ' tegak lurus bidang v, maka jarak d dari titik Q ke bidang v,

adalah panjang vector QQ'

d=| QQ' |

BAB IV
DERET FOURIER

Deret Taylor, fungsi-fungsi periodik yang rumit dapat dianalisis secara


sederhanadengan cara menguraikannya ke dalam suatu deret fungsi periodik sederhana yang
dibangun oleh fungsi sin x dan cos x atau fungsi eksponensial eix. Uraian deret fungsi
periodik ini disebut uraian deret Fourier.

16
A. Fungsi Periodik

Suatu fungsi f(x) disebut mempunyai periode T (atau periodikdengan periode T) bila
untuk semua x berlaku :

F( x + T ) = f(x)

Dimana T adalah suatu konstanta positif.

Harga terkecil dari T > 0 disebut periode terkecil atau periode dari f(x) saja.

B. Deret Fourier

Misalkan f(x) didefenisikan dalam selang (-L, L) dan diluar selang ini oleh f(x + 2L) = f(x).
Jadi f(x) mempunyai periode 2L.

Deret Fourier atau Fourier yang berhubungan dengan f(x) ditentukan oleh :

a0 ∞
f(x) = +∑ ¿ ¿
2 n=1

dimana koefisien Fourier a ndan bn adalah :

L
1 nπx
a n= ∫ f ( x ) cos dx
L –L L

L
1 nπx
b n= ∫ f ( x ) sin dx
L –L L

n = 0, 1, 2, 3,.........

L
1
untuk: n=0 a 0= ∫ f ( x ) dx
L –L

atau boleh juga dipakai :

c+2 L
1 nπx
a n= ∫ f ( x ) cos dx
L c L

c+2 L
1 nπx
b n= ∫ f ( x ) sin dx
L c L

Dimana c sembarang bilangan nyata.


17
C. Fungsi Ganjil dan Genap

Suatu fungsi f(x) disebut ganjil bila f(-x) = -f(x) dan disebut fungsi genap bila f(-x) =
f(x). Dalam deret Fourier yang berhubungan dengan suatu fungsi ganjil, hanya mungkin ada
suku-suku sinus, dan deret Fourier yang berhubungan dengan satu fungsi genap.

D. Deret Fourier Jangkauan Setengah

Deret Fourier Sinus atau deret Fourier Cosinus adalah berturut-turut suatu deret
dimana hanya ada suku-suku sinus atau hanya suku-suku cosinus.

Dalam hal ini didapatkan:

L
2 nπx
an = 0, bn= ∫ f ( x ) sin dx … (1)
L0 L

untuk deret Fourier sinus,

L
2
bn = 0, an =
L0
∫ f ( x ) cos nπx
L
dx … (2)

untuk deret Fourier cosinus.

E. Identitas Parseval

Identitas Parseval mengatakan bahwa:

L ∞
1 2 a0 2
∫ { f ( x ) } dx = + ∑ (a n2 +b n2)
L −L 2 n =1

Bila an dan bn adalah koefisien – koefisien Fourier yang berhubungan dengan f (x) dan deret
Fourier konvergen uniform pada selang (-L,L).

Bukti:


a0 nπx nπx
f(x) = + ∑ (a n cos + bn sin )
2 n =1 L L

Kalikan dengan f(x) dan integrasikan dari –L ke L;


18
L L ∞ L L
a0
−L
2

−L n =1
{
∫ { f ( x ) } dx= 2 ∫ f ( x ) dx+∑ a ∫ f ( x ) cos nπx
n
L−L
dx +b ∫ f ( x ) sin
n
nπx
−LL
dx }


a0 2 2 2
= L + L ∑ (a n +b n )
2 n =1

Dimana telah dipakai hasil:

∫ f ( x ) cos nπx
L
dx=L an
−L

∑ f ( x ) sin nπx
L
dx=L bn
−L

Dan ∫ f ( x ) dx=L a0
−L

yang merupakan koefisien – koefisien Forier. Lalu kedua dibagi dengan L sehingga didapat
identitas Paseval.

BAB V

TURUNAN PARSIAL

5.1. Turunan Parsial

Z = f(x,y) fungsi variabel bebas x dan y. X dan y variabel bebas, maka :

a. x berubah-ubah, y tetap.
b. y berubah-ubah, x tetap.
c. x dan y berubah-ubah bersama.

a. x berubah-ubah dan y tetap, z adalah fungsi x dan turunannya ke x.

∂z f ( x+ ∆ x , y )−f (x )
fx(x,y) = = lim ..........................................(5.1)
∂ x ∆ y→ 0 ∆x

b. y berubah-ubah dan x tetap, z adalah fungsi y dan turunannya ke y.


∂z f ( x , y +∆ y ) −f ( y)
f(y) = = lim ..........................................(5.2)
∂ y ∆ y→ 0 ∆y

disebut turunan parsial dari z = f(x,y) ke y.


19
Turunan Parsial Tingkat Tinggi
∂z
→ Turunan parsial pertama dari z = f(x,y) ke x
∂x

∂2 z
→ Turunan parsial kedua dari z = f(x,y) ke x
∂ x2

∂2 z
→ Turunan parsial pertama dari z = f(x,y) ke y
∂ y∂ x
∂z
→ Turunan parsial pertama dari z = f(x,y) ke y
∂y

∂2 z
→ Turunan parsial pertama dari z = f(x,y) ke y
∂ y2

∂2 z
→ Turunan parsial pertama dari z = f(x,y) ke x
∂ y∂ x
Jika z = f(x,y) dan turunan parsialnya kontinu, maka:
∂2 z ∂2 z
=
∂ y∂ x ∂ y∂ z

5.2. Diferensial Total

Diferensial dx dan dy untuk fungsi y = f(x) dari satu variabel bebas x didefenisikan sebagai

dx = ∆ x

dy
dy = f(x) = dx
dx

Untuk fungsi dua variabel bebas x dan y, z = f(x,y) dan didefenisikan :

dx = ∆ x, dy = ∆ y

Jika x berubah dan y tetap, maka z merupakan fungsi x diferensial parsial z terhadap x
adalah:

∂z
dxz = fx(x,y)dy = dx
∂x

dengan cara sama diperoleh:

20
dyz = fy(x,y)dy

∂z
= dy
∂y

Diferensial total dz didefenisikan sebagai jumlah diferensial parsialnya yaitu :

∂z ∂z
dz = dx + dy...................................................................................(5.3)
∂x ∂y

Untuk fungsi w + f(x,y,z,....t), diferensial total dw:

∂w ∂w ∂w ∂w
dw = dx + dy + dz + .... + dt.............................................(5.4)
∂x ∂y ∂z ∂t

5.3. Aturan Rantai untuk Fungsi Bersusun

Jika z = f(x,y) suatu fungsi kontinu dari variabel-variabel x dan y dengan turunan parsialnya

∂z ∂z
dan kontinu, dan jika x dan y merupakan fungsi variabel t yang dideferensiabel
∂x ∂y

∂z
x=g(t), y=h(t), maka z adalah fungsi t dan disebut turunan total z ke t
∂t

dz ∂ z dx ∂ z dy
= +
dt ∂ y dt ∂ y dt

Dengan cara yang sama untuk

W = f(x,y,z,...)

x = g(t)

y = h(t)

z = s(t)

dx ∂ w dx ∂ w dy ∂ w
= + + +...
dt ∂ x dt ∂ y dt ∂t

5.4. Fungsi Implisit

21
y = f(x) → bentuk eksplisit ketergantungan satu variabel dengan variabel yang lain. ∅(x,y) =
0 → bentuk implisit.

Diferensial Total:

∂∅ ∂∅
d∅ =
∂x
dx + ∂y
dy = 0

∂∅ ∂∅
=
∂x
dx + ∂y
dy = 0

∂∅ ∂∅
∂y
dy =- ∂x
dx

dy ∂ ∅/∂ x
dx
= ∂ ∅ /∂ y
→ ∂ ∅ /∂ x ≠ 0.....................................................................(5.7)

Secara geometris, fungsi implisit ∅(x,y) = 0 menyatakan sebuah kurva pada bidang xy, dan
dy/dx menyatakan kemiringan garis singgungnya di titik (x,y) dimana : ∂ ∅ /∂ y ≠ 0

5.5. Fungsi Ekstrem Tak Terkendala

Jika suatu fungsi y = f(x) bernilai ekstrem (maksimum atau minimum). Pada sebuah

dy df
titik P(x0,y0), jika turunan pertamanya di titik tersebut adalah nol: = 0 atau (x0) = 0.
dx dx

Dengan demikian berlaku syarat yang ekstrem seperti pada fungsi satu variabel, tetapi
dalam hal ini ada persamaan, yakni:

f0(x0,y0) = 0 dan fy(x0,y0) = 0......................................................................(5.8)

Untuk mencirikan jenis ekstremnya, maka perlu menghitung turunan parsial keduanya, fxx, ,
fyy, , fx,y, dan besaran:

f xx f xy
D = det f [
yx
]
f yy .....................................................................................(5.9)

5.6. Persoalan Ekstrem Terkendala

Pada persoalan ekstrem fungsi f(x,y,z) yang ditinjau diatas, variabel x dan y berubah
secara bebas.

22
Cara Eliminasi:

Pda cara eliminasi, di pecahkan dahulu persamaan kendala ∅(x,y,z) = 0 untuk salah satu
variabel, kemudian menggunakannya untuk mngeliminasi variabel bersangkutan dari fungsi f
dan selanjutnya mencarikan nilai ekstrem fungsi f dalam variabel yang sisa.

Metode Eliminasi:

Cara jelas untuk memecahkan persoalan ekstrem terkendala ini adalah cara eliminasi. Yaitu,
memecahkan dahulu persamaan kendala bagi salah satu variabel kemudian disisipkan ke
dalam fungsi f.

Metode Pengali Langrange

Persamaan kendala ∅(x,y,z) = 0 seringkali sangatlah rumit untuk dipecahkan, begitu pula
halnya dengan pemecahan syarat ekstrem: fx = 0, fz = 0 atau dalam dua variabel lainnya.

Telah di lihat bahwa syarat perlu bagi fungsi f(x,y,z) memiliki suatu nilai ekstrem adalah : fx
= 0, fy = 0, fz = 0. Karena df = fx dx + fy dy + fz, maka titik ekstrem berlaku:

df = fx dx + fy dy + fz, = 0........................................................................(5.10)

sebaliknya jika df = 0, maka fx = 0, fy = 0, fz = 0 karena dx, dy dan dz bebas linier, jika:

∅(x,y,z) = 0..............................................................................................(5.11)

Adalah persamaan kendala, maka juga berlaku:

d∅ = ∅ x dx + ∅ y dy + ∅ z dz = 0................................................................(5.12)

Kalikan persamaan (5.12) dengan sebuah parameter kemudian jumlahkan dengan (5.10)
memberikan:

( fx + α ∅x )dx + ( fy + α ∅y )dy + ( fz + α ∅z )dz = 0.....................................(5.13)

dengan memandang x,y dan z bebas, maka dx, dy, dan dz juga bebas sehingga diperoleh:

fx + α ∅x dx = 0 fy + α ∅y dy = 0 fz + α ∅z dz = 0...........................(5.14)

23
BAB VI

INTEGRAL- INTEGRAL BERLIPAT

6.1 Integral Berlipat Dua

y1 + ∆y1 σi

y1

x1 x1 + ∆x1

Gambar daerah R pada bidang xy dengan elemen kecil σ i

Massa setiap elemen daerah adalah:

∆m1 = ρ|σ 1|

= f (x1, y1) |σ 1|

Massa total (M) pelat dalam daerah R adalah:

∞ ∞
M ≅ ∑ ∆ m1= ∑ f ( x 1, y 1)|σ 1|
i=l i=l

Untuk integral lipat dua fungsi f (x1, y1) dalam daerah R didefenisikan sebagai berikut:

∬ f ( x , y ) dx dy=lim
n→∞
f (x 1 , y 1)|∆ x 1 , ∆ y 1|
R

24
Sifat Integral Lipat Dua sebagai berikut:

1. Jika f = f (x) dan g = g(x), dua fungsi terdefenisikan pada daerah R, maka:

❑ ❑ ❑

∬ ( f ± r ) dx dy =¿∬ fdx dy ±∬ gdx dy ¿


R R R

2. Jika c sebuah tetapan, maka:


❑ ❑

∬ (cf ) dx dy ± c ∬ f dx dy
R R

3. Jika R merupakan gabungan daerah R1 dan R2 atau R = R1 ∪ R2 dengan R1 ∩ R2 = c


sebuah kurva batas, maka:
❑ ❑ ❑

∬ (f )dx dy ±∬ f dx dy ± ∬ f dx dy
R R1 R2

Integral Lipat Dua Sebagai Volume

Jika z = f(x,y) adalah sebuah persamaan permukaan, maka integral lipat dua sebagai
berikut:

❑ ❑

v = ∬ z dx dy=¿ ∬ f ( x , y ) dx dy ¿
R R

Dengan cara yang sama dipereloh:

❑ ❑

1. x = f (y,z) → v=¿ = ∬ z dy dz=¿∬ f ( y , z ) dy dz ¿


R R
❑ ❑

2. y = f (x,z) → v=¿ = ∬ x dx dz=¿ ∬ f ( x , z ) dx dz ¿


R R

6.2 Integral Lipat Tiga

Integral lipat tiga fungsi f (x1, y1, z1) adalah:

∬ f ( x , y , z ) dx dydz=lim
n→∞
f ( x 1 , y 1 , z 1)|∆ x 1 , ∆ y 1 , ∆ z 1|
R

25
Sifat Integral Lipat Tiga sebagai berikut:

1. Kelinieran :
❑ ❑ ❑

∭ ( f ± g ) dx dy dz =∭ fdx dy dx dy dz ±∭ g dx dy dz
v v v

2. Jika v = v1 ∪ v2 dan v1 ∩v2 = S (suatu permukaan), maka:


❑ ❑ ❑

∭ ( f ) dx dy dz =∭ fdx dy dx dy dz ±∭ f dx dy dz
v v1 v2

6.3 Aplikasi Integral Dalam Fisika


1. Jika f (x,y,z) adalah massa benda yang menempati volume ruang v, maka massa total
benda adalah:


M = ∑ ∆ m1= ρ( x 1 , y 1 , z 1)dv1 = ∭ p dv
i=l

2. Jika r (x,y,z) adalah jarak elemen massa ∆ m1 dalam elemen volume ∆ v 1 ke garis L,
maka:
∆ LiL = r2 ( x 1 , y 1, z 1) ∆m
= r2 ( x 1 , y 1, z 1) ρ( x 1 , y 1 , z 1) dv1
Momen inersia benda ke sumbu L adalah:

Lt = nlim
→∞
r 2 ( x 1 , y 1, z 1) ρ( x 1 , y 1 , z 1) dv1 = r 2
∭ p dv
Jika L adalah sumbu z maka, r2 = x2 + y2, momen inersia lembam benda adalah:
2
L = ∭ ( x + y 2) p dv
3. Pusat massa benda terhadap masing – masing bidang koordinat:
−¿ x dM ¿

∫ ¿ = ∫ x dM
m

−¿ y dM ¿

∫ ¿ = ∫ y dM
m

6.4 Transformasi Variabel Integral


a. Dalam dua dimensi

I= ∬ f ( x , y ) dx dy=¿ ∬ f ( x , y ) (dx xdy) ¿


R

Dapat diubah variabelnya yaitu dengan cara melakukan transformasi koordinat dari
sistem (x,y) ke sistem (u,v), menurut persamaan transformasi:
26
x = x (u,v)
y = y (u,v)

Maka diperoleh elemen diferensial vektor yang bertransformasi menjadi

dx= ( ∂∂ ux )du+( ∂∂ vx ) ´ = u du
du

dy = ( ∂∂ uy ) du+( ∂∂ vy ) ´ = u dv
dv

Elemen luas dA dalam koordinat (u,v) adalah

dA = |dx xd ¿|

= (|[ ∂∂ ux )du+( ∂∂ vx ) x ( ∂∂ uy ) du+( ∂∂ vy )]|


dA = |dx xd ¿| = J (x,y/ uv) dudv

∂x ∂x
x, y ∂u
J ( u , v ¿ = det ∂ y
∂u
[ ]∂v
∂y
∂v

J = factor Jacobi yang bersangkutan.

b. Dalam tiga dimensi


∬ f ( x , y , z ) dx dydz
R

dv = (dx x dy) dz

( x, y ,z )
dv = J u , v , w dudvdw

∂x ∂x ∂x

x, y ,z
∂u
∂y
J ( u , v , w ¿ = det ∂ u
∂z
∂u
[ ]
6.5 Sistem Koordinat Selinder dan Bola
∂v
∂y
∂v
∂z
∂v
∂w
∂y
∂w
∂z
∂w

27
a. Sistem Koordinat Silinder
Sistem koordinat silinder merupakan perluasan sistem koordinat polar (r,θ ¿ dalam
bidang xy kedalaman ruang tiga dimensi.

Persamaan transformasi dari koordinat kartesius (x,y,z) dengan koordinat selinder


adalah:

x = r cos θ
y = r sin θ
z=z
Hubungan elemen volume dv dalam sistem koordinat kartesuis dan silinder adalah
dv = (dxdydz) = r (drdθdz)
b. Sistem Koordinat Bola

Persamaan transformasi koordinat dari sistem (x,y,z) ke sistem (r , θ , z ¿ adalah

x = r sin θ cos ∅
y = r sin θ sin ∅
z = cos θ

Hubungan elemen volume dv dalam sistem koordinat kartesis dan bola adalah:

dv = dxdydz) = r2 sin θ ( drdθd ∅ )

BAB VII

ANALISIS VEKTOR

7.1 Fungsi Vektor Satu Variabel

Tinjau sebuah partikel yang bergerak dalam ruang berdimensi, koordinatnya


kedudukannya (x, y, z) selalu berubah, atau bergantung pada waktu t:

r = x(t) ^i + y(t)
^j ^
+ z(t) k

= r(t)

Secara umum vector A = Ax(u) ^i + Ay(u)


^j ^
+ Az(t) k yaitu:

A = Ax(u) ^i + Ay(u)
^j ^
+ Az(t) k

28
= A (u)

7.2 Differensial Fungsi Vektor Satu Variabel

Selisih kedua vector ini, yakni:

∆r = r(t2) - r(t1)

= [x(t2) - x(t1)] ^i + [y(t2) - y(t1)]


^j ^
+ [z(t2) - z(t1)] k

= ∆x ^i + ∆y
^j + ∆z k^

Rumus Diferensiasi

Jika A(u), B(u) dan C(u) adalah fungsi-fungsi vector diferensiabel dari scalar u, maka:

d dA dB
1. (A + B) = +
du du du
2. Jika ɸ(u) adalah sebuah fungsi diferensiabel dari u, maka:
d dɸ dA
(ɸA) = A+ɸ
du du du
d dA dB
3. (A.B) = .B + A.
du du du
d dA dB
4. (AxB) = xB + Ax
du du du
d dC dB dA dC
5. ( A . BxC )= A . Bx + A. Xc + x (Bx )
du du du du du
d dC dB dA dC
6. (AxBxC) = Ax (Bx ) + Ax ( xC+ x (Bx )
du du du du du

1. Gradien dan Turunan Arah


Tinjaulah sebuah medan scalar ɸ(x, y, z) yang didefenisikan dalam daerah D, misalkan
suhu dalam ruang. Diferensial totalnya, d ɸ diberikan oleh:

ɸ ɸ ɸ
dɸ = dx + dy + dz
x y z

^i ( ɸ ) + ^j ( ɸ ) + k^ ( ɸ ).
x y z

Medan vector ini disebut gradient yang dilambangkan dengan gradient ɸ atau ∇ ɸ. Secara
defenisi:

∇ ɸ = grad ɸ = ^i ( ɸ ) + ^j ( ɸ ) + k^ ( ɸ )
x y z

29
Vektor Normal Permukaan

Tinjau sebuah permukaan S dalam ruang R3 yang persamaannya diberikan dalam


bentuk implisit: ɸ(x, y, z) = c, dengan c sebuah tetapan. Maka, pada permukaan S ini berlaku:

d ɸ=0 atau ∇ ɸ. dr = 0

karena koordinat (z, y, z) ∈ S, maka dr menyinggung permukaan setiap kurva pada


permukaan S, atay dengan kata lain, dr menyinggung permukaan S.

2. Divergensi dan Curlk


a. Divergensi

Andaikan suatu medan vector A (x, y, z) = i Ax +


^ ^j A + k^ A terdefenisikan
y z

dan diferensiabel dalam suatu daerah tertentu dari ruang.

Divergensi A didefenisikan sebagai berikut

∇ . A = ( ^i ❑ + ^j ❑ + k^ ❑ ) . ( ^i Ax + ^j Ay + k^ Az )
X Y Z

∇ . A = (Ax + A y + Az)
X X X

b. Curl
Jika A(x, y, z) adalah medan vector diferensiabel maka curl dari A didefenisikan sebagai
berikut:

∇ x A = ( ^i ❑ + ^j ❑ + k^ ❑ ) x ( ^i Ax + ^j Ay + k^ Az ) ∂
X Y Z

∇ x A = ¿x ¿ y ¿ z
Ax Ay Az

3. Integral garis dan teorema Green pada bidang datar

Bila A dan ɸ masing-masing adalah medan vector dan medan scalar sembarang di
dalam ruang V maka bentuk bentuk integral:
b b b

∫ ❑.d r , ∫ ❑xd r , ∫ɸ d r
a a a

Integral garis pada bidang datar dan teorema Green

- Sepanjang AB : Ax∆x
Ax
- Sepanjang BC : (Ay + ∆x) ∆y
x

30
Ax
- Sepanjang CD : - (Ax + ∆y) ∆y
y
- Sepanjang DA : -Ay∆y
4. Integral luasan, integral volume dan teorema divergensi Gauss
Permukaan seluas S dibagi-bagi menjadi unsur-unsur luasan yang banyaknya tak
terhingga. Bila dianggap adalah nilai medan vector A di daerah unsur luasan nomor I (∆Si)
maka besaran:
n ❑
lim ∑ i . n^ i ∆Si ≡ ∬ ❑. n^ Ds
∆ S i i=t
s
n→

5. Teorema Green

Bila di dalam teorema Gauss diambil A = ɸ ∇ψ


Maka

∇ . A = ∇ . (ɸ ∇ψ ) = ɸ ∇ 2 ψ + ∇ ɸ. ∇ ψ

Sehingga diperoleh

∭¿¿ ɸ ∇ 2 ψ + ∇ ɸ. ∇ ψ ) . n^ dS
v

Yang dinamakan identitas Green I.

6. Teorema Stokes
Berlaku kaitan
❑ ❑ ❑ ❑

∮ ❑. d r = ∮ ❑. d r + ∮ ❑. d r + ∮ ❑. d r
ABC OAB OBC OCA

Sebab sumbangan-sumbangan yang berasal dari integral-integral sepanjang OA, OB dan OC


saling melenyapkan
❑ ❑

∮ ❑. d r = ∬ ¿ ¿x A )z dx dy
OAB OAB

❑ ❑

∮ ❑ . d r = ∬ ¿ ¿x A )x dy dz
OBC OBC

❑ ❑

∮ ❑. d r = ∬ ¿ ¿x A )y dx dz
OCA OCA

1.3 Kelebihan dan kekurangan Buku


Kelebihan Buku:

31
1. Penggunaan dan pemilihan kata-kata pada buku utama ini sudah dapat dikatakan
baik karena mudah untuk di mengerti.
2. Buku memiliki cover depan yang menarik sehingga dapat membuat para
mahasiswa tertarik untuk membacanya.
3. Penyajian materi buku utama su dah cukup lengkap, sehingga buku utama dapat di
gunakan sebagai buku referensi mahasiswa untuk belajar tentang Matematika
Fisika seperti turunan parsial.
4. Pada buku ini juga dilengkapi dengan gambar, sehingga pembaca tertarik untuk
membaca buku ini.
5. Buku ini terdapat contoh soal dan soal – soal latihan sebagai latihan untuk
membantu dalam memperdalam belajar matematika fisika.

Kelemahan Buku:

1. Buku utama ini tidak memiliki rangkuman di akhir bab.


2. Buku ini kurang mencantumkan warna yang cerah pada gambar atau table
sehingga kurang menarik dibaca.
3. Pada buku ini tidak tercantum biografi penulis.

32
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari materi diatas dapat disiimpulan bahwa setiap buku memiliki kelemahan dan
kelebihannya masing-masing sehingga pembaca harus menyesuaikan buku mana yang
nyaman dan menurutnya pas untuk dibaca sebagai sumber ilmu pengetahuannya.

B. Rekomendasi

Saya menyadari bahwa dalam CBR yang saya susun ini masih banyak yang kurang atau
dikatakan masih jauh dari sempurna oleh karena itu, saya berharap para pembaca
memberikan saran atau masukannya untuk penyempurnaannya.

33

Anda mungkin juga menyukai