Panduan Ensefalopati Hepatik
Panduan Ensefalopati Hepatik
2.1 Definisi
Ensefalopati hepatic (EH) adalah suatu sindrom neuropikiatri yang dapat terjadi pada penyakit
hati akut dan kronik yang berat dengan manifestasi yang beragam mulai dari ringan hingga berat
tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. Manifestasi yang tampak berupa perubahan
perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran.
Ensefalopati hepatik dibagi menjadi 3 tipe, yaitu EH yang berhubungan dengan gagal hati akut
(tipe A) dan ditemukan terutama pada hepatitis fulminan, EH yang berhubungan dengan jalur
pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelaian intrinsik jaringan hati (tipe B), serta EH yang
berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal (tipe C). Tipe C merupakan jenis yang paling
sering ditemui pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Sedangkan, klasifikasinya terbagi
menjadi ensefalopati hepatik minimal (EHM) dan EH overt dan derajat EH dibagi menjadi grade
0 hingga grade 4 berdasarkan kriteria West Haven (Tabel 1). Ensefalopati hepatik minimal
merupakan suatu istilah yang digunakan apabila ditemukan defisit kognitif seperti perubahan
kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemerikaan psikometrik atau elektrofisiologi.
Ensefalopati hepatic overt dapat dibagi menjadi episodik (EH terjadi dalam waktu singkat
dengan tingkat keparahan yang berfluktuasi) dan persisten (EH terjadi secara progresif dengan
gejala neurologis yang kian memberat. Klasifikasi EH terbaru mengelompokkan derajat
Ensefalopati hepatic 0 dan 1 dengan istilah covert hepatic encephalopathy serta derajat 2-4
dengan istilah overt hepatic encephalopathy.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan
diagnosis namun dilaporkan berkisar antara 30-84% pada pasien dengan sirosis hepatis.
Sedangkan prevalensi EH dengan tanda dan gejala yang jelas berkisar antara 30-40% dan akan
meningkat pada sirosis hepatis lanjut. Ketika ditemukan tanda dan gejala EH maka prognosis
pasien akan menurun secara drastis.
Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun adalah berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak
menjalani transplantasi hati. Prevalensi EH stadium 2-4 pada pasien sirosis hati yang berobat ke
Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) pada tahun 1999 dilaporkan sebesar 14,9%.
Sedangkan prevalensi EH minimal di RSCM berkisar 63,2% pada tahun 2009.
2.3 Patofisiologi
Beberapa faktor dapat mencetuskan terjadinya EH pada pasien dengan gangguan hati akut
maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein tinggi,
gangguan ginjal, perdarahan varises esophagus, dan kostipasi), penggunaan obat-obatan (sedasi
dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih, atu infeksi lain), dan lain-lain
(pembedahan, alkohol).
Faktor pencetus EH pada sirosis hati tersering adalah infeksi, dehidrasi, dan perdarahan
gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.
Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama
bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus, dan Clostridium. Enzim urease
bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Meskipun pada awalnya flora
normal usus dianggap merupakan sumber utama dalam produksi amonia, namun beberapa studi
menunjukkan bahwa amonia juga diproduksi oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase
usus yang memetabolismee glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia. Dalam
hati, amonia akan diubah menjadi urea dan glutamin. Pada individu sehat, amonia juga
diproduksi oleh otot dan ginjal. Kedua organ tersebut berperan pula dalam detoksifikasi amonia
jika terjadi gagal hati dimana otot merupakan organ utama yang mengambil alih peran tersebut.
Otot rangka berperan dalam metabolisme amonia melalui pemecahan glutamin via glutamin
sintetase.
Ginjal berperan dalam flux amonia, yaitu fungsi produksi dan ekskresi, yang terutama
dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal berperan dalam mengeliminasi amonia
dalam tubuh melalui urin dalam bentuk ion ammonium (NH4+) dan urea. Ginjal pun berperan
dalam produksi amonia melalui enzim glutaminase yang mengubah glutamin menjadi glutamate,
bikarbonat, dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dapat dikeluarkan melalui urin maupun
diserap kembali ke dalam tubuh yang ditentukan oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis ginjal
akan mengeluarkan ion ammonium melalui urin sedangkan dalam kondisi alkalosis ginjal akan
menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia dan memudahkan
masuknya amonia melalui BBB. Gangguan ginjal seperti penurunan laju filtrasi glomerulus dan
penurunan perfusi perifer berperan pula dalam terjadinya hiperamonia.
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi. Metabolismee
amonia oleh hati dilakukan pada dua tempat, yaitu sel hati periportal dimana sebagian besar
metabolismee amonia melalui siklus urea terjadi dan sel hati yang terletak dekat dengan vena
sentral yang hanya berperan kecil dalam metabolisme amonia dimana amonia yang ada akan
bergabung kembali dengan glutamin. Target toksisitas amonia di otak adalah astrosit yang
berfungsi melakukan detoksifikasi amonia dengan memetabolismee amonia menjadi glutamin.
Disfungsi neurologis disebabkan oleh edema serebri dimana glutamin yang merupakan hasil
metabolisme amonia bekerja sebagai molekul osmotic dan menarik cairan ke dalam astrosit.
Penarikan cairan akan menyebabkan terjadinya pembengkakan astrosit dan disfungsi oksidatif
mitokondria. Selain itu, amonia secara langsung merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada
astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular sehingga menyebabkan disfungsi mitokondria
dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria.
Amonia pun menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang
bertanggung jawab dalam peningkatan aktivitas sitokin dan respon inflamasi sehingga
mengganggu aktivitas pensignalan intraselular.
2.4 Diagnosis
Diagnosis EH dibuat pada pasien dengan penyakit hati baik akut maupun kronis yang berat dan
mengalami gangguan neuropsikiatri. Pemeriksaan secara menyeluruh pada pasien dengan sirosis
hati perlu memperhatikan mulai dari komunikasi, pola tidur, hingga tanda-tanda yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik, seperti asteriksis, klonus, ataupun penurunan kesadaran yang jelas.
Beberapa pemeriksaan yang seperti kadar amonia darah dan fungsi hati dapat dilakukan untuk
memperkuat diagnosis. Pemeriksaan kadar amonia saja tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (>100 mg/ 100 ml darah) dapat menjadi
parameter keparahan pasien dengan EH (Tabel 2). Pemeriksaan kadar amonia darah belum
menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan
pada setiap rumah sakit di Indonesia.
Tabel 2. Kadar amonia pada berbagai derajat ensefalopati hepatik pada sirosis hati
Derajat Ensefalopati Kadar amonia dalam darah (mg/dL)
0 <150
I 151-299
II 201-250
III 251-300
IV >300
Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini
dalam penegakan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A, dan
NCT-B, maupun critical flicker frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk
mendiagnosis EH. Namun, pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit dilakukan secara merata
di Indonesia. Oleh karena itu, para klinisi diharapkan member penjelasan terhadap pasien beserta
keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti perubahan pola tidur maupun penurunan aktivitas
sehari-hari pasien.
Tabel 3. Hasil Number Connecting Test (NCT) pada berbagai derajat ensefalopati
Derajat Ensefalopati Hasil NCT (detik)
0 15-30
I 31-50
II 51-80
III 81-120
IV >120
2.5 Tatalaksana
Penanganan holistik dan komprehensif dibutuhkan dalam penatalaksanaan pasien dengan EH.
Penentuan derajat EH perlu dilakukan terlebih dahulu, sebelum menentukan penatalaksanaan
pasien dengan EH. Tatalaksana EH dilakukan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Suatu studi
RCT (Liu dkk, 2004) menunjukkan bahwa sinbiotik dapat memperbaiki hasil pemeriksaan
psikometrik dan kelas child pugh pada pasien dengan EH minimal. Penelitian serupa
(Malaguarnera dkk, 2009) menunjukkan bahwa bifidobakteria dengan oligosakarida
memperbaiki kadar amonia dan pemeriksaan psikometri pasien. Sedangkan, peneliy\tian oleh
Prasad (Prasad dkk, 2007) memperlihatkan peran laktulosa (30-60 ml dalam 2-3 dosis) dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien EH minimal.
Tatalaksana terhadap EH episodik akibat faktor presipitasi serta terapi terkait faktor tersebut.
Pemeriksaan menyeluruh terhadap cairan tubuh pasien, kadar gula darah, serta elektrolit
memegang peranan penting dalam tatalaksana EH. Asupan nutrisi yang tepat dibutuhkan dalam
mencegah progresivitas EH yang terjadi. Perlu diketahui bahwa faktor presipitasi yang
mendasari dapat lebih dari satu sehingga evaluai ketat sangat diperlukan.
Dasar penatalaksanaan pasien dengan EH adalah:
a. Identifikasi dan mengatasi faktor presipitasi EH lain
b. Pengaturan keseimbangan nitrogen
c. Terapi untuk mencegah perburukan kondisi pasien
d. Penilaian rekurensi ensefalopati hepatic
LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, berkerja sebagai substrat
yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamin. LOLA
meningkatkan metabolismee amonia di hati dan otot sehingga menurunkan amonia di
dalam darah. Selain itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH.
Hasil randomized controllrd trial (RCT) double blind menunjukkan pemberian LOLA
selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status
mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA
diperkirakan hanya sementara. Beberapa penelitan RCT (Kirchets dkk, 1997,dan Ahmad
dkk, 2008)menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat
memperbaiki kadar amonia dengan EH yang ada, Studi yang meneliti peran LOLA 9
g/hari secara oral terhadap EH didapatkan hasil yang baik dan efektif dalam
menatalaksana EH. Studi meta analisis terkini (Jiang Q, 2009 dan Bai M, 2013\0
menunjukkan manfaat LOLA pada pasien overt dalam perbaikan EH dengan menurunkan
konsentrasi amonia serum.
- Probiotik
Penelitan meta analisis dari 9 laporan penelitian menunjukkan probiotik, probiotik dan
sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH. Rekomendasi berbagai asosiasi misalnya
India merekomendasi penggunaan probiotik pada minimal EH. Namun Cochrane review
belum dapat memberikan rekomendasi yang baik meskipun probiotik dapat memberikan
rekomendasi yang baik meskipun probiotik dapat menurunkan kadar plasma amonia.
Penelitian Lunia MK (2013) menunjukkan manfaat probiotik untuk mencegah timbulnya
EH pada pasien sirosis hati. Mekipun berbagai laporan penelitian menunjukkan manfaat
probiotik pada overt EH rekomendasi akhir masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
penggunaan probiotik untuk terapi atau prevensi sekunder overt EH.
Berbagai obat dapat berperan dalam terapi EH melalui modifikasi jaur metabolisme
nitrogen. Sodium benzoate (SB) memiliki kemampuan dalam mengikat amonia untuk
membentuk bipurat (substansi non toksik yang dapat keluar melalui urine). Sodium
benzoate memiliki efek yang sama baiknya dengan laktulosa dengan harga yang lebih
murah. Meskipun begitu, penggunaan SB (10g/hari) pada pasien dengan sirosis hati dapat
meningkatkan kadar amonia basal. Selain itu, penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan kejadian asites karena beban nitrogen. Sodium benzoate yang tersedia
adalah Ammonul yang diberikan secara intravena.
Beberapa obat lain saat ini sedang digunakan dalam penelitian, antara lain ammonia
scavenger, activated charcoal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger
digunakan untuk memintas siklus urea yang telah tersaturasi penih. Yang termasuk ke
dalam obat ini antara lain natrium benzoate, natrium fenilasetat maupun prodrug dari
obat ini, yaitu natrium fenilbutirat. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunalan
pada pasien dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia. Obat ini belum
mendapatkan persetujuan untuk digunakan pada pasien dengan EH. Jenis ammonia
scavenger lain, gliserol fenilbutirat saat ini sedang diujicobakan pada pasien dengan EH
tipe C dan dalam fase iII trial pada pasien dengan gangguan siklus urea. Gliserol
fenilbutirat mengatasi kelemahan ammonia scavenger lainnya, yaitu rasa yang kurang
enak saat dikonsumsi dan membutuhkan dosis yang cukup besar per hari sehingga
meningkatkan loading natrium sehingga pada akhirnya menyebabkan retensi cairan.
Acarbose menstimulasi motilitas usus melalui inhibisi ansorpsi glukosa usus sehingga
berperan dalam penurunan produksi amonia. Sebuah penelitian dengan acarbose 100 mg
3 kali per hari selama 8 minggu pada pasien sirosis dan DM tipe 2 dengan EH derajat
rendah menunjukka perbaikan kadar amonia dan intelektual pasien. Meskipun begitu,
acarbose tidak dapat dijadikan pilihanterapi pada pasien tanpa DM tipe 2.
BAB III
PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap EH diperlukan pada pasien denga penyakit hati lanjut (Child
Pugh C dan asites) maupun pasien yang akan menjalani pintasan portosistemik.
Selain itu, perhatian khusus ditujukan pada pasien dengan EH minimal dimana perlu
dilakukan pemantauan ketat terhadap kejadian EH. Pencegahan terhadap EH perlu
pertimbangan yang matang akan efek samping yang dapat terjadi mengingat terapi
akan diberikan dalam jangka waktu yang lama. Beberapa studi mempelajari mengenai
pencegahan terhadap EH telah dilakukan namun terdapat perbedaan subjek dan tujuan
utama penelitian sehingga kesimpulan akhir sulit didapat. Studi terkait pencegahan
terhadap EH antara lain berupa aspirasi darah melalui nasogastric tube (NGT),
pembersihan saluran cerna, nutrisi parenteral/enteral, diet (protein rendah atau tanpa
protein), ornitin aspartat, dan antibiotik.
Sebuah studi (Rolachon dkk, 1994) pada pasien hematemesis-melena dengan tujuan
penelitian adalah pencegahan EH akibat perdarahan saluran cerna menunjukkan
bahwa penggunaan manitol melalui NGT sebagai pembersih saluran cerna dapat
mencegah terjadinya EH bila dibandingkan tanoa terapi. Penelitian yang lain
(Kanematsu dkk, 1998) menunjukkan bahwa penggunaan larutan tinggi AARC
memberikan angka kejadian EH yang sama bila dibandingkan dengan larutan asam
amino biasa pada pasien yang akan menjalani pembedahan. Penelitian (Riggio dkk,
2005) mengenai peran lactilol-low absorbable sisaccharides (60 g/hari) dan rifaximin
(1200 mg/hari) bila dibandingkan dengan tanoa terapi dalam mencegah EH pada
pasien yang akan menjalani TIPS dimana hasil yang didapatkan ebrpa tidak adanya
peningkatab aliran darag splanknik dan penurunan gradient tekanan porto-sistemik
sehingga membaw amonia ke aliran darah sistemik. Selain itu, terjadi regulasi
aktivitas glutaminase usus sehingga turut meningkatkan kejadian EH setelah prosedur
TIPS dilakukan.
Penelitian mengenai pencegahan sekunder terhadap EH dengan menggunakan
laktulosa 30-60 ml dalam 2-3 dosis terbagi dan rifaximin 550 mg 2 kali dalam
seminggu selama 6 bulan menunjukkan bahwa kedua terapi memberikan hasil yang
lebih baik dalam mencegah EH dibandingkan denga kelompok control.
BAB IV
SIMPULAN
Deteksi Dini
1. Setiap pasien dengan sirosis hati dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan
penyaring sesuai dengan fasilitas yang tersedia terkait penegakan diagnosis
Ensefalopati hepatikagar dapat mencegah terjadinya ensefalopati hepatik.
2. Diagnosis ensefalopati hepatic perlu dipertimbangkan pada pasien sirosis hati
penyakit hati yang lain dengan gangguan fungsi motorik dan mental tanpa adanya
pengaruh obat serta elainan pada sistem saraf pusat. Pada konisi tertentu
diperlukan pemeriksaan menyeluruh untuk penegakan diagnosisnya.
3. Setiap pasien sirosis hati direkomendasikan untuk menjaani penilaian status
nutrisi pada awal diagnosis dan perlu diulang secara berkala.
4. Setiap pasien sirosis hati dengan ensefalopati hepatic perlu dilakukan identifikasi
faktor pencetus yang mendasarinya.
Nutrisi
Terapi Pilihan
1. Setiap pasien sirosis hati dengan ensefalopati hepatik perlu dilakukan penanganan
secara komprehensif terhadap faktor pencetus ensefalopati hepatic yang
mendasari.
2. Laktulosa 30-60 ml 3 kali sehari perlu diberikan pada pasien dengan overt
ensefalopati hepatik.
3. Antibiotik Rifaximin 1200 mg/hari, perlu diberikan pada pasien dengan overt EH.
Perlu dilakukan penyesuaian pemakaian obat terkait diagnosis, kondisi pasien, dan
ketersediaan obat di Indonesia.
4. Pemberian LOLA 9 g/hari secara oral atau 20 g secara intravena
direkomendasikan pada pasien dengan EH.
5. Penggunaan acarbose 300 mg/hari dapat mengurangi kadar amonia pada pasien
EH dengan diabetes mellitus.
Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada
pasien dengan sirosis hati. Diagnosis dini dibutuhkan untuk mencegah terjadinya
ensefalopati hepatic. Tata laksana yang adekuar dan komprehensif dibutuhkan
untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas serta peningkatan kualitas
hidup pasien.