Anda di halaman 1dari 47

GAMBARAN PENAMBAHAN EKSTRAK KHITIN DARI LIMBAH

CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) PADA MEDIA Sabouraud


Dextrose Agar TERHADAP PERCEPATAN WAKTU PERTUMBUHAN
Trichophyton rubrum

OLEH :

DHISYA WAHYUDHIYA RANTI


NIM P07134118306

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BANJARMASIN
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
PRODI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PROGRAM DIPLOMA III
2020
GAMBARAN PENAMBAHAN EKSTRAK KHITIN DARI LIMBAH
CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) PADA MEDIA Sabouraud Dextrose
Agar TERHADAP PERCEPATAN WAKTU PERTUMBUHAN Trichophyton
rubrum

KARYA TULIS ILMIAH


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh predikat
Ahli Madya Kesehatan

OLEH :
DHISYA WAHYUDHIYA RANTI
NIM P07134118306

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BANJARMASIN
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
PRODI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PROGRAM DIPLOMA III
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan beriklim tropis yang memiliki suhu

dan kelembaban tinggi sehingga memungkinkan terjadinya penyakit infeksi jamur

untuk berkembang (Hayati, 2014). Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia

tahun 2010, Penyakit infeksi kulit dan jaringan subkutan mempunyai prevalensi

tinggi di Indonesia, menduduki peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak di

Indonesia berdasarkan jumlah kunjungan yakni sebanyak 192.414 dan 122.076

diantaranya merupakan kasus baru. Salah satu penyakit infeksi kulit adalah

infeksi jamur golongan dermatofita yang disebut sebagai dermatofitosis.

Dermatofitosis merupakan infeksi jamur yang mencerna jaringan

mengandung zat tanduk, seperti stratum korneum dari epidermis kulit, rambut dan

kuku. Genus jamur penyebab dermatofitosis adalah Epidermophyton,

Microsporum, dan Trichophyton yang dikelompokkan dalam kelas

Deuteromycetes. Spesies terbanyak penyebab dermatofitosis di Indonesia adalah

Trichophyton rubrum [CITATION Ahm19 \l 1033 ].

Pada umumnya manifestasi klinis dari dermatofitosis sangat bervariasi dan

dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga dibutuhkan Pemeriksaan


penunjang agar tidak menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam

penatalaksanaannya. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan secara

mikroskopis, untuk mengidentifikasi jenis jamur penyebab dermatofitosis.

Spesimen langsung jika digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis memberikan

gambaran klinis yang kurang spesifik, hal ini dikarenakan gambaran

makrokonidia dan mikrokonidia yang jarang ditemukan terutama spesies

Trichophyton rubrum, sehingga identifikasi jamur tidak bisa dilakukan dengan

optimal, maka diperlukan kultivasi pada media.

Untuk mempelajari sifat mikroorganisme, diperlukan suatu media

pertumbuhan yang dapat mencukupi nutrisi, sumber energi, dan kondisi

lingkungan tertentu[ CITATION Jutono1980 \l 1033 ]. Kultivasi, pertumbuhan, dan

pengamatan kapang membutuhkan penggunaan media selektif seperti SDA

(Sabouroud Dextrose Agar), media ini mendukung pertumbuhan kapang karena

keasaman yang rendah (pH 4,5 hingga 5,6) sehingga menghambat pertumbuhan

bakteri [ CITATION Cap14 \l 1033 ]. Walaupun dapat tumbuh dengan baik, jamur

dermatofita memerlukan waktu pertumbuhan relatif lama terutama spesies

Trichophyton rubrum.

Banyak pihak menambahkan substansi kimia sebagai nutrisi tambahan pada

media pertumbuhan untuk kepentingan praktis yang diperoleh dari berbagai

ekstrak tumbuhan maupun bagian tubuh hewan. Tujuan penambahan tersebut

adalah untuk mempercepat pertumbuhan suatu mikroorganisme patogenik. Jamur


membutuhkan sumber energi dan unsur-unsur kimia dasar untuk pertumbuhan

sel. Unsur-unsur dasar tersebut seperti karbon, nitrogen, oksigen, sulfur, fosfor,

magnesium, zat besi dan sejumlah kecil logam lainnya. Komponen sederhana

seperti selulosa, glukosa, protein, lignin dan pati juga dibutuhkan oleh

mikroorganisme untuk pertumbuhan. Berdasarkan penelitian Mediarti (2018)

penambahan karbohidrat berupa khitin yang diekstrak dari bahan kulit kecoa

spesies Periplaneta americana dapat mempengaruhi kecepatan waktu tumbuh

jamur Trichophyton mentagrophytes.

Khitin merupakan polisakarida terbesar kedua di dunia setelah selulosa.

Khitin mempunyai tekstur yang baik, memiliki kandungan protein dan mineral

yang tidak terlalu tinggi. Penggunaan kitin banyak dimanfaatkan untuk keperluan

penelitian oleh berbagai bidang, salah satunya adalah bidang kesehatan.

Khitin dapat ditemukan sebagai komponen kerangka crustaceae (binatang

berkulit keras) seperti udang, kepiting, rajungan, dan cumi-cumi. Selain

crustaceae, khitin juga dapat ditemukan dalam kerang (mollusca), serangga dan

jamur [CITATION Kur07 \l 1033 ] . Wilayah perairan Indonesia merupakan sumber

cangkang hewan invertebrata laut berkulit keras (Crustacea). Khitin yang

terkandung dalam Crustacea terutama genus rajungan (Portunus) berada dalam

kadar yang cukup tinggi berkisar 20-60 % [CITATION Rochima2007 \l 1033 ].

Rajungan (Portunus sp.) tergolong dalam famili portunidae, merupakan

salah satu komoditas ekspor sektor perikanan Indonesia yang dijual dalam bentuk
rajungan beku atau kemasan dalam kaleng. Berdasarkan Kementerian Kelautan

dan Perikanan (2019), tercatat nilai ekspor rajungan pada periode Januari – April

2019, berada pada posisi ketiga sebagai komoditas perikanan ekspor dengan nilai

tertinggi setelah surimi dan cumi-cumi. Dari aktivitas pengambilan dagingnya

oleh industri pengolahan rajungan dihasilkan limbah kulit keras (cangkang)

cukup banyak yang jumlahnya dapat mencapai sekitar 40-60 % dari total berat

rajungan[ CITATION Srijanto2003 \l 1033 ].

Dikarenakan Peningkatan produksi akan diikuti dengan peningkatan jumlah

limbah yang dihasilkan, maka akan berdampak terhadap pencemaran lingkungan

apabila tidak ditangani. Di dunia, kitin yang di produksi secara komersial 120

ribu ton pertahun. Kitin yang berasal dari kepiting dan udang sebesar 39 ribu ton

(32,5%) dan dari jamur 32 ribu ton (26,7%). Dengan pemanfaatan limbah

cangkang rajungan dapat mengurangi potensi cemaran lingkungan dan dapat

membuat nilai tambah bagi limbah cangkang rajungan tersebut.

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuat media alternatif

menggunakan bahan pangan sebagai nutrisi karbohidrat bagi pertumbuhan

Trichophython rubrum, salah duanya adalah pada penelitian Dewi Yuniliani

(2018) dan Muhammad Ma’ruf (2020) namun media alternatif hasil dari penlitian

justru masih kurang praktis untuk diolah.

Bertitik tolak dasar pemikiran dan uraian di atas, peneliti tertarik untuk

mempelajari “Gambaran Penambahan Ekstrak Khitin dari Limbah Cangkang


Rajungan (Portunus sp.) pada Media Sabouraud Dextrose Agar Terhadap

Percepatan Waktu Pertumbuhan Trichophyton rubrum”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

Bagaimana gambaran penambahan ekstrak khitin dari limbah cangkang

rajungan (Portunus sp.) pada media Sabouraud Dextrose Agar terhadap

percepatan waktu pertumbuhan Trichophyton rubrum ?

C. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi menggunakan konsentrasi ekstrak khitin dari limbah

cangkang rajungan (Portunus sp.) dalam media SDA terhadap percepatan waktu

pertumbuhan Trichophyton rubrum

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran penambahan ekstrak khitin dari limbah

cangkang rajungan (Portunus sp.) pada media Sabouraud Dextrose Agar

terhadap percepatan waktu pertumbuhan Trichophyton rubrum dengan variasi

konsentrasi yaitu 0,75% ; 1% ; 1,25%

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Kecepatan pertumbuhan Trichophyton rubrum menggunakan

media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang ditambahkan ekstrak khitin


dari bahan cangkang limbah rajungan (Portunus sp.) dengan konsentrasi

ekstrak khitin yaitu 0,75% ; 1% ; 1,25%

b. Mengetahui waktu pertumbuhan Trichophyton rubrum menggunakan

media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang ditambahkan ekstrak khitin

dari bahan cangkang limbah rajungan (Portunus sp.) dengan konsentrasi

ekstrak khitin yaitu 0,75% ; 1% ; 1,25%

c. Mengetahui pengaruh nutrisi tambahan karbohidrat berupa ekstrak khitin

dari cangkang limbah rajungan (Portunus sp) yang ditambahkan pada

media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) terhadap percepatan waktu

pertumbuhan Trichophyton rubrum.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis
a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini dilakukan untuk memberikan sebuah informasi

mengenai manfaat penambahan ekstrak khitin terhadap percepatan waktu

pertumbuhan jamur dalam bidang keilmuan mikologi khususnya jamur

Trichophyton rubrum.

Manfaat Praktis
a. Bagi penatalaksana bidang kesehatan

Dapat digunakan sebagai media pertumbuhan jamur yang efisien, dan

berkontribusi baik untuk memperoleh kecepatan pertumbuhan


Trichophyton rubrum dalam waktu yang relatif lebih singkat, sehingga

membantu efisiensi waktu pemeriksaan jamur tersebut mengingat

seringnya terjadi kesalahan penafsiran dan observasi pada penanaman

(kultivasi) berbagai spesies dermatofita.

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah informasi

mengenai manfaat penambahan ekstrak khitin terhadap kecepatan waktu

pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum yang mana dapat menjadi

referensi penelitian yang dapat dikembangkan selanjutnya

F. Keaslian Penelitian

No Penulis
Judul Penelitian Perbedaan Penelitian
(Tahun)

1. Ndaru Tirta Pengaruh Penambahan Ekstrak Penelitian ini menggunakan

Mediarti Khitin Kecoa Spesies Ekstrak Khitin Kecoa Spesies

Periplaneta americana Terhadap Periplaneta americana dengan


(2018)
Kecepatan Pertumbuhan variabel terikat berupa

Trichophyton mentagrophyte Trichophyton mentagrophytes

2. Dewi Pemanfaatan Kacang Merah Penelitian ini menggunakan

Yuniliani (Phaseolus Vulgaris L.) Sebagai media alternatif kacang merah

(2018) Media Alternatif Terhadap dengan variabel terikat berupa


Pertumbuhan Trichophyton Sp. Trichophyton sp

3. Muhammad Modifikasi Media Potato Penelitian ini menggunakan

Ma’ruf Dextrose Agar (PDA) media modifikasi Potato

Menggunakan Jagung Manis Dextrose Agar dengan jagung


(2020)
(Zea mays saccharata) dan manis (Zea mays saccharata)

Rambut Sapi Terhadap dan penambahan rambut sapi

Percepatan Waktu Pertumbuhan sebagai nutrisi tambahan

Trichophyton rubrum

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena banyak pada penelitian

sebelumnya telah dilakukan pembuatan media alternatif menggunakan bahan

pangan sebagai nutrisi karbohidrat terhadap pertumbuhan Trichophython rubrum,

namun media alternatif hasil dari penlitian justru masih kurang praktis untuk

diolah sehingga tidak didapatkan solusi terbaik dari permasalahan yang ada, dan

perbedaan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini berfokus pada gambaran

penambahan ekstrak khitin sebagai nutrisi karbohidrat tambahan pada media

SDA terhadap kecepatan pertumbuhan Trichophyton rubrum.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Dermatofitosis

Menurut Dewi (2019) dermatofitosis adalah jenis penyakit penyakit infeksi

jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Jamur ini menyerang

stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia. Penyakit kulit ini sering

terjadi di negara beriklim tropis, seperti di Indonesia. Suhu dan kelembaban yang

tinggi dapat mendukung pertumbuhan jamur. Timbulnya infeksi pada kulit

manusia dipengaruhi oleh kondisi yang panas dan lembab pada suhu berkisar 25-

28 oC. Dermatofitosis juga diketahui dapat menular dan menyebabkan infeksi

kronis pada individu sehat. Distribusi spesies penyebab dan bentuk infeksi yang

terjadi bervariasi pada kondisi geografis, lingkungan dan budaya yang berbeda.

Penyebab dermatofitosis adalah jamur dermatofita. Terdapat 3 genus

dermatofita yaitu genus Microsporum, Tricophyton dan Epidermophyton. Ketiga

genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 Microsporum sp, 22

Trichophyton sp dan 2 Epidermophyton sp. Dermatofitosis paling banyak

disebabkan oleh Trichophyton rubrum. [ CITATION Kur08 \l 1033 ]

Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinik,

dan diperkuat dengan penunjang seperti pemeriksaan mikroskopik yaitu

menemukan hifa dan spora matang. Sedangkan secara makroskopik untuk


melihat sifat-sifat koloni yaitu meliputi warna, elevasi, permukaan, dan lain –

lain. Dinding sel jamur merupakan jaringan cross-linked antara kitin, glukan,

polisakarida yang kompleks serta protein integral. Inti sel terdiri dari glukan yang

dihubungkan silang dengan kitin dan berbagai polisakarida (tergantung

spesiesnya). Penghambatan terhadap komponen ini dapat digunakan sebagai agen

antijamur. [ CITATION Jaw13 \l 1033 ]

B. Trichophyton rubrum

Trichophyton rubrum merupakan dermatofita dengan sifat antrhopophilik

yang berarti host hanya terbatas pada manusia dan ditransmisikan dengan kontak

langsung. Namun, bagian dari kulit, rambut ataupun kuku yang terinfeksi jika

tertinggal pada pakaian, sisir, topi, kaus kaki, handuk dan sebagainya juga dapat

menjadi wadah penularan [CITATION Boe09 \l 1033 ]

Trichophyton rubrum tidak menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa,

infeksi biasanya muncul dalam jangka waktu yang lama, seringkali berulang, dan

sulit untuk disembuhkan. Trichophyton rubrum menyerang kulit dan kuku

manusia melalui degradasi keratin, invasi dilakukan melewati stratum korneum

untuk memperoleh keratin. [ CITATION Whi12 \l 1033 ]

Dinding sel spora Trichophyton rubrum mengandung kitin, tidak berplastid,

tidak berfotosintesis, tidak bersifat fagotrof, umumnya memiliki hifa yang


berdinding yang dapat berinti banyak (multinukleat), atau berinti tunggal

(mononukleat), dan memperoleh nutrien dengan cara absorpsi.

1. Morfologi
Dermatofita diidentifikasi berdasarkan gambaran koloni dan morfologi

mikroskopik setelah pertumbuhan selama 2 minggu pada suhu 25 oC pada

media dasar pertumbuhan. Morfologi koloni Trichophyton rubrum pada

bagian permukaan berwarna putih kekuning-kuningan atau bisa juga

memberi pigmen merah, permukaannya seperti kapas dengan tekstur beludru

(velvety) ditutupi oleh aerial miselium, kemudian bila dilihat dari sisi

belakang maka koloni berwarna kekuningan, coklat atau coklat kemerahan.

[ CITATION Jaw13 \l 1033 ]

Secara mikroskopik, jamur Trichophyton rubrum membentuk banyak

mikrokonidia kecil, berbentuk lonjong (Teardrops-shaped microconidia),

dan berdinding tipis. Mikrokonidia terletak pada konidiospora yang pendek,

yang tersusun satu persatu pada sisi hifa (enthyrsi), atau berkelompok

(engrappe). Sedangkan makrokonidia berbentuk seperti pensil (Pencil-

shaped macroconidia), dan terdiri dari beberapa sel. Beberapa strain dari

Trichophyton rubrum secara mikroskopis dapat dibedakan berupa tipe halus

dan tipe granuler. Tipe halus memiliki karakteristik dengan mikrokonidia

clavate yang tipis, kecil hingga sedang terdapat dalam jumlah sedikit, dan

tidak memiliki makrokonidia. Sedangkan tipe granuler dicirikan adanya


mikrokonidia berbentuk clavate dan pyriform, dengan jumlah sedang hingga

banyak kemudian didapati makrokonidia berdinding tipis, yang berbentuk

seperti cerutu dalam jumlah sedang hingga banyak. Koloni Trichophyton

rubrum tumbuh lambat pada media dasar seperti SDA dan PDA yakni 2-3

minggu [ CITATION Gan14 \l 1033 ]

2. Toksonomi
Menurut [ CITATION Wib88 \l 1033 ], Trichophyton rubrum

diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Thallophyta

Sub division : Fungi

Classis : Deuteromycetes

Ordo : Moniliales

Familia : Moniliaceae

Sub Familia : Trichophytae

Genus : Trichophyton

Spesies : Trichophyton rubrum

3. Patogenesis
Trichophyton rubrum menyerang jaringan mengandung zat tanduk,

seperti stratum korneum dari epidermis kulit, rambut dan kuku. Cara

penularan jamur ini dapat secara langsung maupun tidak langsung.

Penularan langsung dapat melalui fomit, epitel dan rambut-rambut yang


mengandung jamur sedangkan penularan tak langsung dapat melalui

tanaman, kayu, barang-barang atau pakaian yang dihinggapi spora jamur,

debu atau air [ CITATION Sir04 \l 1033 ].

Jamur ini dapat menyebabkan dermatomikosis yang disebabkan oleh

jamur yang menginvasi jaringan superfisialis yang terkeratinisasi (kulit,

rambut dan kuku) dan tidak ke jaringan yang lebih dalam. Menurut

[ CITATION Gan14 \l 1033 ] Berikut ini adalah beberapa jenis mikosis yang

disebabkan oleh Trichophyton rubrum:

a. Tinea korporis

Tinea korporis merupakan dermatofitosis yang ditunjukkan dengan

adanya infeksi jamur golongan dermatofita pada badan, tungkai dan

lengan, tetapi tidak termasuk lipat paha, tangan dan kaki. Tinea Corporis,

lesinya berlokasi di kulit tipis yang tidak berambut. Infeksi ditunjukkan

seperti bercak sirkuler dengan tepi merah, melebar, bervesikel dan pusat

bersisik, menimbulkan rasa gatal.

b. Tinea kruris

Tinea cruris (”jock itch”) merupakan dermatofitosis pada daerah

kulit lipat paha, daerah pubis, perineum dan perianal. biasanya infeksi ini

terjadi pada laki-laki dikarenakan skrotum pada pria menciptakan kondisi

yang hangat dan lembab infeksi ditunjukkan dengan rasa gatal, tampak
sebagai lesi kering yang gatal dan sering dimulai pada scrotum dan

menyebar ke selangkangan. Tinea kruris paling sering terjadi di wilayah

tropis dan dipengaruhi keadaan yang lembab dan panas. Tinea kruris

lebih sering terjadi pada pria

c. Tinea pedis

Tinea pedis merupakan infeksi jamur yang menyerang jaringan

antara jari-jari dan dapat menjadi infeksi kronis. . Infeksi dimulai dengan

rasa gatal diantara jari, kemudian vesikel kecil pecah mengeluarkan

cairan encer. Kulit di sela-sela jari mengalami maserasi dan kulit

mengelupas, nampak pecah-pecah. Jika infeksi menjadi kronis terjadi

pengelupasan dan pecah-pecah pada kulit yang menjadi manifestasi

utama, disertai nyeri dan gatal. Infeksi ini banyak dialami oleh orang

yang kerap memakai sepatu.

d. Tinea unguium

Tinea unguinum merupakan infeksi jamur yang menyerang lokasi

kuku di jari tangan maupun kaki. Infeksi kuku dapat terjadi seteiah tinea

pedis yang berkepanjangan. Kuku yang terinfeksi akan mengalami

penebalan, rapuh di bagian distal, mudah hancur akibat invasi hifa, kuku

kehilangan warna atau menjadi kuning dan menjadi tidak mengkilap.


Selain itu dapat juga menyebabkan kurap pada badan. Bila kurap di badan

tertumpu pada sebelah badan saja dikatakan asimetri.

Menurut Ellis (2007) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan

terjadinya infeksi jamur, yaitu kelembaban dan panas dari lingkungan, friksi

atau truma minor, misalnya gesekan pada paha orang gemuk, keseimbangan

floranormal tubuh terganggu karena pemakaian obat antibiotic atau hormonal

dalam jangka panjang, penyakit tertentu seperti HIV/ AIDS dan diabetes,

kehamilan dan menstruasi karena pada kedua kondisi ini terjadi

ketidakseimbangan hormon dalam tubuh yang menjadikan tubuh rentan

terhadap infeksi jamur.

4. Metabolisme
Metabolisme Trichophyton rubrum sangat dipengaruhi oleh kondisi pH

lingkungan. Lebih dari setengah bagian Trichophyton rubrum tersusun dari

protease. Produksi dari protease tersebut bergantung pada kadar pH saat

sekresi keratinase, dimana bekerja paling optimal pada keadaan asam. Hal

tersebut nantinya akan mempengaruhi faktor virulensi dari Trichophyton

rubrum. [ CITATION Whi12 \l 1033 ]

Metabolisme karbohidrat Trichophyton rubrum bergantung pada kepada

karbohidrat kompleks sebagai sumber nutrien berupa polisakarida.

Polisakarida diuraikan terlebih dahulu menjadi bentuk sederhana


(monosakarida) dengan enzim ekstraselular jamur, kemudian diserap untuk

diasimilasi [ CITATION Gan14 \l 1033 ].

C. Media

1. Pengertian
Media adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran nutriis-nutrisi yang

diperlukan mikroorganisme untuk kelangsungan pertumbuhannya.

Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa molekul-molekul kecil

yang dirakit untuk menyusun komponen sel, sehingga dengan media

pertumbuhan dapat dilakukan isolate mikroorganisme menjadi kultur muni.

Dalam pemeriksaan laboratorium mikrobiologi penggunaan media sangat

penting untuk isolasi, diferensiasi maupun identifikasi.[ CITATION Haf15 \l

1033 ]

2. Media Sabouraud Dextrose Agar


Sabouraud Dextrose Agar (SDA) adalah media sintesis yang komposisi

zat kimianya diketahui jenis dan takarannya secara pasti untuk pertumbuhan

jamur, terutama dianjurkan untuk jamur dermatofita (kulit, rambut, dan

kuku), ragi, dan spesies lain yang ditemukan pada hewan dan manusia. SDA

disebut sebagai media universal, karena dapat digunakan untuk mengisolasi

semua jenis jamur.

Untuk Kultivasi, pertumbuhan, dan pengamatan kapang dibutuhkan

teknik yang berbeda dari bakteri. Kultivasi kapang membutuhkan media


selektif seperti SDA (Sabouraud Dextrose Agar). Media ini mendukung

pertumbuhan kapang karena ke-asamannya yang rendah dengan pH sekitar

4,5 hingga 5,6 sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang

membutuhkan lingkungan dengan pH 0,7 [ CITATION Cap14 \l 1033 ].

Media yang digunakan untuk keperluan kultivasi maupun identifikasi

jamur yang sering digunakan adalah Sabouraud Dextrose Agar yang

komposisi zat nya diketahui jenis dan takarannya secara pasti, dimana

komposisi media SDA adalah:

1) Peptone, berfungsi menjadi sumber nutrisi untuk pertumbuhan

mikroorganisme. Peptone merupakan hasil hidrolisis dari protein

yang dapat larut dalam air.

2) Dextrose, berperan sebagai sumber energi atau bahan

karbohidrat.

3) Agar memiliki fungsi sebagai bahan pemadat media. Agar untuk

media SDA di gunakan agar yang sudah di proses sehingga

mempunyai kadar toksisitasnya rendah, jernih, kandungan

mineralnya rendah dan kemampuan difusinya tinggi.

3. Nutrisi untuk mikroorganisme


Menurut Cappucino (2014) mikroorganisme membutuhkan nutrien-

nutrien dasar untuk kelangsungan hidupnya, kebutuhan ini juga penting untuk
keberhasilan kultivasi. Kebutuhan mikroorganisme tersebut sangatlah

beragam, antara lain sebagai berikut :

a. Karbon

Karbon adalah kebutuhan yang paling penting bagi pertumbuhan

struktur dan fungsi sel mikroorganisme. Ada dua jenis mikroorganisme

yang bergantung pada karbon yaitu autotroph dan heterotroph.

b. Nitrogen

Nitrogen juga merupakan atom penting dalam makromolekuler seluler,

terutama protein-protein dan asam nukleat. Protein berperan sebagai

molekul-molekul struktural membentuk bahan sel dan sebagai molekul

fungsional, enzim-enzim, yang bertanggung jawab atas aktivitas metabolik

sel. Asam nukleat meliputi 2 jenis yaitu, DNA dan RNA yang memainkan

peran aktif dalam sintesis protein pada sel.

c. Unsur non-logam

1. Sulfur

Sulfur merupakan bagian integral beberapa asam amino sehingga

merupakan komponen protein. Sumber-sumbernya meliputi senyawa

organik, seperti asam-asam amino yang mengandung sulfur, senyawa

organik seperti sulfat-sulfat, dan unsur sulfat dasar.


2. Fosfor

Fosfor diperlukan untuk pembentukan asam-asam nukleat DNA dan

RNA, juga untuk sintesis senyawa organik berenergi tinggi yaitu adenosin

trifosfat (ATP). Fosfor tersedia dalam bentuk garam-garam fosfat yang

digunakan oleh semua sel mikroba.

d. Unsur logam

Unsur logam merupakan beberapa ion logam yang dibutuhkan untuk

kelangsungan aktivitas seluler secara efisien seperti Ca+2, Zn+2, Na+, K+,

Cu+2, Mn+2, Mg+2, dan Fe2+,3+. Beberapa aktivitas seluler tersebut antara lain

adalah osmoregulasi, pengaturan aktivitas enzim, dan transport elektron

selama oksidasi hayati. Ion-ion ini dibutuhkan hanya dalam konsentrasi

yang sangat sedikit.

e. Vitamin

Vitamin merupakan sumber koenzim yang dibutuhkan untuk

pembentukan sistem enzim aktif, berperan dalam pertumbuhan seluler dan

penting untuk aktivitas sel. Vitamin juga dibutuhkan dalam jumlah yang

sedikit. Beberapa mikroba membutuhkan vitamin dalam bentuk pra-zat

untuk aktivitas metabolik normal.


f. Air

Seluruh sel organisme tak terkecuali mikroorganisme memelurkan air

suling dalam media sehingga nutrien-nutrien berbobot rendah dapat

melintasi membran sel.

g. Energi

Energi yang berada di dalam sel harus dalam keadaan konstan, hal ini

diperlukan untuk aktivitas metabolik kehidupan seperti transport aktif,

biosintetis, dan biodegradasi makromolekul-makromolekul.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan


Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme

menurut Cappuccino (2014) antara lain sebagai berikut :

a. Suhu

Suhu mempengaruhi laju reaksi kimia melalui kerjanya pada enzim-

enzim seluler. Suhu yang rendah memperlambat atau menghambat aktivitas

enzim sehingga memperlambat atau menghambat metabolisme sel. Suhu

yang tinggi menyebabkan koagulasi sehingga denaturasi enzim yang

termolabil. Meskipun enzim-enzim memiliki derajat sensitivitas panas yang

berbeda-beda, umumnya suhu sekitar 700C akan merusak enzim-enzim

yang paling esensial dan menyebabkan kematian sel.


b. pH Lingkungan Ekstraseluler

pH optimum untuk metabolism sel biasanya berada dalam kisaran

netral, yaitu pH 7, pH asam atau basa akan mengganggu aktivitas sel.

Penurunan akan peningkatan pH akan memperlambat laju reaksi kimia

karena terjadi perusakan enzim-enzim seluler.

c. Kebutuhan Gas

Pada sebagian besar sel adalah oksigen atmosferik, yang diperlukan

untuk proses biooksidatif respirasi. Oksigen atmosferik memegang peranan

penting dalam pembentukan ATP dan ketersediaan energi dalam bentuk

yang dapat digunakan untuk aktivitas-aktivitas sel. Akan tetapi, jenis-jenis

sel tertentu tidak memiliki sistem enzim untuk respirasi anaerob atau

fermentasi.

D. Rajungan (Portunus)

Rajungan dan kepiting merupakan satu famili atau satu suku. suku

Portunidae mempunyai karapas atau cangkang lebar sekali, lebarnya dapat

mencapai 2/3 kali panjangnya. Dahi bergigi empat buah, gigi sebelah luar lebih

besar dan lebih menonjol, gigi ini lebih rendah dan lebih membulat pada individu

yang belum dewasa. Capit memanjang, kokoh, mempunyai duri sebanyak 9, 6, 5,

atau 4 pada sisi depan.


Rajungan mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam tetapi seluruhnya

mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Chelipeds terletak di depan kaki

pertama dan setiap jenis memiliki struktur yang berbeda-beda. Carapace

merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lain exoskeleton (kulit luar)

berfungsi untuk melindungi organ bagian kepala, badan dan insang. Mulut

rajungan terbuka dan terletak pada bagian bawah tubuh. [ CITATION Sar16 \l 1033 ]

Menurut [ CITATION Saa84 \l 1033 ] toksonomi rajungan (Portunus pelagicus)

adalah sebagai berikut :

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Sub kelas : Malacostraca

Ordo : Eucaridae

Sub ordo : Decapoda

Famili : Portunidae

Genus : Portunus

1. Cangkang Rajungan
Cangkang merupakan bagian terkeras dari semua komponen rajungan.

Cangkang rajungan mengandung kitin, protein, CaCO3 serta sedikit MgCO3

dan pigmen astaxanthin. Komponen zat yang terkandung pada cangkang

rajungan, yakni:
No Komponen zat Jumlah
1.
Air (%) 4,32
2. Protein (%) 18,8
3. Lemak (%) 2,27
4. Serat Kasar (%) 16,67
5. Abu (%) 44,28
6. Karbohidrat (%)
Khitin 50,21
Kitosan 22,66
8. Mineral (%)
Fosfor 1,81
Ca 19,97
Mg 1,01
Na 15,98
Cu (ppm) 30,26
Fe (ppm) 38,78
Mn (ppm) 184,52
Zn (ppm) 44,59

E. Khitin

Kitin adalah biopolimer tersusun oleh unit-unit N-asetil-Dglukosamin

berikatan (1-4) yang paling banyak dijumpai di alam setelah selulosa. Kitin

merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa) dengan rumus

molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan 40% O.

Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang

terikat di posisi atom C-2. Gugus pada C-2 selulosa adalah gugus hidroksil,

sedangkan pada C-2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHOCH3, asetamida).

Senyawa ini merupakan bagian konstituen organik yang dijumpai sebagai


komponen eksoskeleton hewan golongan Antropoda, Annelida, Molusca,

Coelentrata, Nematoda, beberapa kelas serangga, kapang dan kamir.

Produksi alamiah kitin di dunia diperkirakan mencapai 109 metrik ton per

tahun. Sebagian besar kelompok Crustacea seperti, udang dan lobster, merupakan

sumber utama kitin komersial. Di dunia, kitin yang di produksi secara komersial

120 ribu ton pertahun. Kitin yang berasal dari kepiting dan udang sebesar 39 ribu

ton (32,5%) dan dari jamur 32 ribu ton (26,7%).

Khitin merupakan komponen struktural kimia yang penting pada dinding

septa dan dinding sel jamur (tergantung pada spesies jamur). Khitin dapat

dikompresi dari sebagian kecil sampai hampir setengah dari berat kering dinding

sel. [ CITATION Rochima2007 \l 1033 ]. Khitin mempunyai tekstur yang baik,

memiliki warna yang lebih putih, kandungan protein dan mineral yang tidak

terlalu tinggi. Salah satu sifat dari khitin adalah dapat mengikat ion logam

(chelates metal ions) seperti Fe, Cu, Cd, Hg, serta mempunyai sifat adsorpsi yang

tinggi.

Pada umumnya kitin di alam tidak terdapat dalam keadaan bebas, akan tetapi

berikatan dengan protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Keterikatannya

untuk berbagai jenis hewan berbeda, meskipun keterikatannya berbeda tetapi

struktur kitin yang dihasilkan umumnya sama. [ CITATION Kno841 \l 1033 ]


Tabel Kandungan Kitin Pada Berbagai Jenis Hewan dan Jamur (Knorr, 1984)

No Jenis Organisme Kandungan khitin (%)


13. Crustaceae
-Kepiting 72,1a
-lobster (60,8-77.0) a
-udang 17-40a
17. Serangga
-kecoa: - Periplaneta 2.0b
-Blatella 18.4b
Lebah 27-35a
Ulat sutra 44,2a
22. Molusca
-Kulit remis 6,1
-Kulit tiram 3,6
25. Jamur
-Aspergillus niger 42,0c
-Penicillium chrysogenium 20,1c
-Saccharomyceae cereviciae 2,9c

Keterangan
a = berat organik dari kutikula
b = berat total masa dari kutikula
c = berat kering dari dinding sel
1. Kelarutan Khitin
Khitin termasuk polisakarida yang bersifat hidrofobik atau sukar dilarutkan

pada pelarut pH netral seperti air, juga sukar larut pada asam anorganik encer,

asam organik, alkali pekat dan pelarut organik tetapi larut dalam asam pekat

seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat, dan asam format anhidrat. Khitin

dalam asam pekat dapat terdegradasi menjadi monomernya dan memutuskan

gugus asetil. [ CITATION Rochima2007 \l 1033 ]

2. Pengolahan khitin
Kitin yang terkandung dalan cangkang rajungan masih terikat dengan

protein, CaCO3, pigmen dan lemak. Untuk mengolah kitin dilakukan beberapa

tahapan proses, yaitu proses deproteinase, dan proses demineralisasi. [ CITATION

Pur14 \l 1033 ]

a. Pelepasan protein

Prinsip proses deproteinasi adalah melepaskan ikatan-ikatan antara

protein dan khitin. Proses ini umumnya dilakukan dengan perlakuan

dengan menggunakan larutan NaOH panas dalam waktu relatif lama.

Dengan perlakuan ini protein akan terlepas dan membentuk natrium

proteinat yang larut [CITATION Suh93 \l 1033 ].

Deproteinasi optimum dicapai pada kondisi ekstraksi menggunakan

NaOH 3,5% selama 2 jam pada suhu 65 oC selama 1-2 jam dengan nisba
padatan-pelarut 1:10 (b/v) [ CITATION FJD11 \l 1033 ]. Perlakuan optimum

tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut :

Tabel Perbandingan standar mutu khitin dengan nilai parameter khitin

perlakuan terbaik

Nilai standar mutu Nilai khitin perlakuan


Parameter
khitin (%)* terbaik (%)
Derajat
≤ 15 ≤13
deasetilisasi
Kadar Air ≤10 ≤6
Kadar Nitrogen ≤7 5,57
Kadar Abu ≤1 1,1

Keterangan:

)* Nilai standar berasal dari Proton Lab Inc. [ CITATION Bas89 \l 1033 ]

b. Penghilangan mineral

Kalsium merupakan logam ringan yang banyak ditemukan dalam air

laut. Pada air laut elemen Ca ini berbentuk garam karbonat yang dapat

menaikkan ph 7 sampai 8. demineralisasi secara umum dilakukan dengan

larutan HCl atau asam lainnya seperti H2SO4 pada kondisi tertentu.

Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10% lebih tinggi dari pada

H2SO4.

Khitin diekstrak secara optimal melalui proses demineralisasi yaitu

dengan HCl 1 N dilakukan pada suhu 20-25oC selama 30 menit kemudian

dikeringkan dengan suhu 60 oC selama 4 jam[CITATION FJD11 \l 1033 ].


F. Landasan Teori

Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010, Penyakit infeksi

kulit dan jaringan subkutan mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia,

menduduki peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia berdasarkan

jumlah kunjungan yakni sebanyak 192.414 dan 122.076 diantaranya merupakan

kasus baru. Salah satu penyakit infeksi kulit adalah infeksi jamur golongan

dermatofita yang disebut sebagai dermatofitosis. Spesies terbanyak penyebab

dermatofitosis di Indonesia adalah Trichophyton rubrum [CITATION Ahm19 \l

1033 ].

Pada umumnya manifestasi klinis dari dermatofitosis sangat bervariasi dan

dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga dibutuhkan Pemeriksaan

penunjang agar tidak menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam

penatalaksanaannya. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan secara

mikroskopis, untuk mengidentifikasi jenis jamur penyebab dermatofitosis.

Spesimen langsung jika digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis memberikan

gambaran klinis yang kurang spesifik, hal ini dikarenakan gambaran

makrokonidia dan mikrokonidia yang jarang ditemukan terutama spesies

Trichophyton rubrum, sehingga identifikasi jamur tidak bisa dilakukan dengan

optimal, maka diperlukan kultivasi pada media.


Untuk itu diperlukan kultur pada media enrichment, salah satunya

menggunakan media SDA. Trichophyton rubrum tumbuh lambat menggunakan

media dasar seperti SDA, mencapai waktu 2-3 minggu sehingga diperlukan

nutrisi tambahan untuk mempercepat pertumbuhan Trichophyton rubrum.

Media untuk pertumbuhan mikroorganisme harus dapat mencukupi nutrisi,

sumber energi, dan kondisi lingkungan hidup yang cocok untuk jamur. Salah satu

nutrisi yang dapat menunjang pertumbuhan mikroorganisme adalah penambahan

zat tertentu seperti zat protein atau karbohidrat. Pada media SDA didalamnya

mengandung beberapa nutrisi yang digunakan oleh jamur untuk

pertumbuhannya, misalnya sumber carbon, sumber vitamin, sumber mineral dan

lain-lain bagi jamur termasuk Trichophyton rubrum.

Khitin merupakan polisakarida terbesar kedua di dunia setelah selulosa.

Khitin mempunyai tekstur yang baik, memiliki kandungan protein dan mineral

yang tidak terlalu tinggi. Berdasarkan nutrisinya tersebut memungkinkan ekstrak

khitin dibuat menjadi nutrisi tambahan pada media untuk pertumbuhan

mikroorganisme salah satunya adalah jamur Trichophyton rubrum.

Khitin dapat ditemukan sebagai komponen kerangka crustaceae (binatang

berkulit keras) seperti udang, kepiting, rajungan, dan cumi-cumi. Selain

crustaceae, khitin juga dapat ditemukan dalam kerang (mollusca), serangga dan

jamur [CITATION Kur07 \l 1033 ]. Khitin yang terkandung dalam Crustacea


terutama genus rajungan (Portunus) berada dalam kadar yang cukup tinggi

berkisar 20-60 % [CITATION Rochima2007 \l 1033 ].

Rajungan (Portunus sp.) tergolong dalam famili portunidae, merupakan

salah satu komoditas ekspor sektor perikanan Indonesia yang dijual dalam bentuk

rajungan beku atau kemasan dalam kaleng. Berdasarkan Kementerian Kelautan

dan Perikanan (2019), tercatat nilai ekspor rajungan pada periode Januari – April

2019, berada pada posisi ketiga sebagai komoditas perikanan ekspor dengan nilai

tertinggi setelah surimi dan cumi-cumi. Dikarenakan Peningkatan produksi akan

diikuti dengan peningkatan jumlah limbah yang dihasilkan, maka akan

berdampak terhadap pencemaran lingkungan apabila tidak ditangani. Dengan

pemanfaatan limbah cangkang rajungan dapat mengurangi potensi cemaran

lingkungan dan dapat membuat nilai tambah bagi limbah cangkang rajungan

tersebut.
G. Kerangka Teori
Infeksi pada jaringan yang
Dermatofitosis
mengandung zat tanduk, yaitu :
H. Kerangka Konsep  Stratum korneum
Penyebab dermatofitosis :  Rambut
1. Trichophyton  Kuku
Faktor yang berpengaruh :
2. Microsporum
1. Karakteristik Khitin
3. Epidermophyton.
2. Spesies Rajungan
Metabolisme karbohidrat
Trichophyton rubrum bergantung kepada karbohidrat
Media Sabouraud Dextrose kompleks sebagai sumber
Agar dengan penambahan nutrien berupa polisakarida.
Percepatan waktu
Diagnosis dengan
ekstrak khitin dariisolasi
limbah pertumbuhan
cangkang rajungan sebanyak Trichophyton rubrum
0,75%; 1%; dan 1,25%
Media pertumbuhan

Cangkang Rajungan mengandung


Syarat
Faktormedia
yangpertumbuhan
berpengaruh :: 50,21% khitin dengan struktur
1.  Suhu
Nutrisi
Inkubasi 2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-
2.  pHSuhu
media glukopiranosa yang digunakan
3.  Kebutuhan
pH Gas sebagai nutrisi pertumbuhan
4.  Waktu Inkubasi
Kebutuhan Gas tambahan.
5. Kontaminasi
Mikroorganisme lain
Media SDA dengan ekstrak
Media SDA
khitin
Keterangan :

Komposisi media SDA : Komposisi media SDA:


I. Peptone : Diteliti 1. Peptone
 Dextrosa 2. Dextrose
J. agar : Tidak diteliti 3. Agar
4. Ekstrak khitin

Trichophyton rubrum Trichophyton rubrum tumbuh


tumbuh 14-21 hari pada kurang dari 14-21 hari pada
media SDA media SDA dengan tambahan
ekstrak khitin
I. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya perbedaan kecepatan waktu

pertumbuhan Trichophyton rubrum pada media SDA dengan dan tanpa

penambahan ekstrak khitin dari limbah cangkang rajungan (Portunus pelagicus).


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Quasi Eksperiment, yaitu suatu

percobaan yang ditujukan untuk mengetahui adanya pengaruh yang akibat

diberikannya perlakuan, dan kelompok kontrol tidak diambil secara random dan

tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang

mempengaruhi pelaksanaan experiment [ CITATION Not10 \l 1033 ] . Pada penelitian

ini dilakukan kegiatan percobaan untuk mengetahui gambaran penambahan

khitin yang diperoleh dari ekstrak cangkang rajungan (Portunus sp.) terhadap

percepatan waktu pertumbuhan Trichophyton rubrum.

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Post

Test Only Group Design yaitu dengan melakukan pemeriksaan pertumbuhan

Trichophyton rubrum yang ditanam pada media Sabouraud Dextrose Agar

(SDA) dengan penambahan konsentrasi khitin 0.75%, 1%, dan 1.25% kemudian

dibandingkan dengan kontrol menggunakan media Sabouraud Dextrose Agar

(SDA) tanpa penambahan jagung manis dan rambut sapi.


B. Bahan Penelitian

Bahan penelitian ini adalah cangkang rajungan yang dalam kondisi baik,

tidak tercemar limbah kimia, tidak terinfeksi jamur, parasit ataupun penyakit lain.

Sedangkan objek penelitian ini adalah biakan murni dari jamur Trichophyton

rubrum yang telah matang atau berumur 14 hari di media SDA.

Pada penelitian ini, variasi konsentrasi yang digunakan berjumlah 3

perlakuan terhadap 1 jenis jamur, yaitu strain Trichophyton rubrum, dan

diperlukan 3 kali pengulangan, sehinggga unit eksperimen adalah 3 x 1 x 3 = 9

total unit eksperimen. Dengan 3 kontrol menjadi 12 total unit eksperimen.

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi Analis

Kesehatan Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Banjarmasin pada bulan

( ) tahun ( ) sampai dengan ( ) tahun ( ).

D. Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh

dari hasil pengamatan kecepatan waktu pertumbuhan strain jamur Trichophyton

rubrum setelah penambahan ekstrak khitin yang terdapat pada cangkang rajungan

dengan konsentrasi 0.75 %; 1 %; 1.25 %, ditinjau secara makroskopik dengan

ciri koloni berwarna putih kekuning-kuningan atau bisa juga merah violet dan

seperti kapas, kemudian umur koloni yang telah tumbuh lebih dari 72 jam (3
hari), setiap harinya akan diperiksa secara mikroskopis untuk meninjau

mikrokonidia dengan ciri berbentuk clavate dan makrokonidia berbentuk seperti

cerutu, kemudian dibandingkan terhadap media SDA tanpa penambahan ekstrak

khitin sebagai kontrol negatif.

E. Variabel dan Definisi Operasional

Cara Alat Hasil Skala


No Variabel Definisi Ukur Ukur Ukur Ukur

1. Konsentrasi konsentrasi visual Data Hasil persentase Rasio


ekstrak khitin minimum Penelitian
dari limbah ekstrak khitin
cangkang dari limbah
rajungan pada cangkang
media rajungan yang
Sabouraud ditambahkan
Dextrose pada media
Agar Sabouraud
dextrose agar
yang dapat
mempengaruhi
kecepatan
pertumbuhan
jamur
Trichophyton
rubrum
2. Waktu Waktu Makro Hari Hari Rasio
pertumbuhan pertumbuhan skopis
Trichophyton koloni yang di
rubrum bentuk Mikros
Trichophyton kopis
rubrum hingga
matang secara
makroskopis
dilihat dari
diameter, warna
dan tekstur, secara
mikroskopis
ditemukan
mikrokonidia
berbentuk seperti
clavate dan
makrokonidia
berbentuk cerutu.

3. Kecepatan Waktu Hari Hari Rasio


Waktu pertumbuhan
pertumbuhan Trichophyton
Trichophyton rubrum pada
rubrum media SDA
kontrol
dikurangkan
dengan waktu
pertumbuhan
Trichophyton
rubrum pada
media SDA
dengan
penambahan
ekstrak khitin.
F. Alat, Bahan, dan Cara Kerja

1. Alat

a. Pembuatan media SDA kontrol

Neraca analitik, sendok tanduk, gelas ukur, hot plate, batang

pengaduk, beaker glass, erlenmeyer, pH meter, termometer, kapas, cawan

petri, dan autoclave.

b. Penanaman biakan jamur Trichophyton rubrum

Standar McFarland’s 0,1, Ose, tip steril, mikroskopis, lampu spiritus

dan inkubator.

c. Pemeriksaan mikroskopis jamur Trichophyton rubrum

Ose, mikroskop, lampu spiritus, objek glass, dect glass dan pipet

tetes.

2. Bahan

a. Pembuatan media SDA kontrol

Media komersial SDA, bacto agar, kloramfenikol 0,05% steril dan

aquadest.

b. Penanaman biakan jamur Trichophyton rubrum

Media SDA kontrol, media jagung manis dan rambut sapi, NaCl

0,9% steril dan biakan murni jamur Trichophyton rubrum.


c. Pemeriksaan mikroskopis jamur Trichophyton rubrum

Koloni jamur Trichophyton rubrum dan KOH 10%.

3. Cara Kerja

a. Persiapan instrument

Semua alat yang digunakan, dikeringkan dan dibungkus dengan

menggunakan kertas, lalu disterilisasi dengan menggunakan oven selama

2 jam pada suhu 1800C. Tujuan sterilisasi adalah agar semua alat benar-

benar steril dari mikroba.

Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian sebagian disiapkan

peneliti secara pribadi dan sebagian dipinjam di Laboratorium Mikologi

Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan

Banjarmasin dan dikondisikan dalam keadaan steril.

b. Persiapan cangkang rajungan

Cangkang rajungan yang digunakan dicuci dibawah air mengalir

hingga bersih disikat serta dihilangkan kotoran dan daging yang tersisa

kemudian ditiriskan, dijemur dibawah matahari, lalu digiling hingga halus

menjadi serbuk, diayak dengan ukuran 100 Mesh.

c. Pembuatan Ekstrak khitin dari cangkang rajungan

Sebanyak 20 gr cangkang rajungan yang telah dihaluskan dan diayak,

ditambahkan larutan NaOH 3,5% dengan nisbah 1:10 (w/v) dan


dipanaskan pada suhu 65oC selama 2 jam. Selanjutnya campuran

didinginkan, dinetralkan dengan air suling hingga pH 7, disaring,

kemudian residu dikeringkan.

Residu ditambahkan larutan HCl 1,0 N dengan nisbah 1:15 (w/v)

dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar. Setelah itu campuran

disaring, dicuci, dan dikeringkan pada suhu 60oC selama 4 jam.

d. Pembuatan media SDA

1) Ditimbang 16,5 gram media SDA kemudian dilarutkan dalam 250 ml

aquadest di atas hot plate, diaduk hingga homogen

2) Diukur pH pada suhu 25oC (pH=5,6 ±0,2)

3) Pembuatan media SDA kontrol

20 ml media SDA tanpa penambahan ekstrak khitin dimasukkan ke

dalam 3 erlenmayer.

4) Pembuatan media SDA dengan penambahan ekstrak khitin

60 ml media SDA dimasukkan ke dalam 3 erlenmayer terpisah

kemudian ditambahkan bubuk khitin pada masing-masing erlenmayer

sebanyak:

Konsentrasi 0,75% Konsentrasi 1% Konsentrasi 1,25%

0,75 1 1,25
x= x 60 x= x 60 x= x 60
100 100 100

x=0 , 45 gram ¿ 0,6 gram ¿ 0,75 gram


5) Disterilkan menggunakan autoclave suhu 121°C selama 15 menit

kemudian ditambahkan 0,1 ml kloramfenikol 0,05% steril secara

aseptis.

6) Dituang ±20 ml ke cawan petri steril secara aseptis dan ditunggu

sampai agar mengeras

e. Perlakuan penelitian

1) Dimasukkan koloni dari biakan murni strain Trichophyton rubrum ke

dalam 3 ml NaCl 0.9% steril yang disamakan kekeruhannya dengan

McFarland’s 0,1N.

2) Pada media SDA dengan variasi konsentrasi ekstrak khitin, yaitu

0.75% ; 1% ; 1.25% dan media SDA kontrol, dimasukkan suspensi

jamur masing-masing 20 ul yang telah distandarkan dengan

McFarland’s 0,1N dengan teknik dot lalu dilebarkan dengan ose kira-

kira 1 cm.

3) Diinkubasi pada suhu ruang (20-25ºC) selama 14 hari.

4) Diamati secara makroskopis koloni jamur yang telah tumbuh.

Pertumbuhan ditinjau dengan mengukur diameternya dalam satuan

milimeter (mm) dan mengamati morfologi koloni jamur ditinjau dari

pada setiap harinya dalam waktu 14 hari. Hasil dari pengukuran

diameter dan pengamatan morfologi koloni didokumentasikan dalam

bentuk tabel dan foto.


G. Cara Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dianalisis secara statisitik

menggunakan Uji One Way ANOVA (Analysis of Variance), digunakan untuk

melihat perbedaaan kecepatan pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum pada

semua variasi konsentrasi terhadap nilai media kontrol setelah pengamatan

selama 14 hari.
Daftar Pustaka

Ahmad. (2019). Penggunaan Tepung Biji Kluwih (Artocarpus communis) Sebagai Sumber
Karbohidrat Media Alternatif Untuk Menumbuhkan Trichophyton rubrum. Jurnal
Riset Kesehatan Poltekkes Departemen Kesehatan Bandung Volume 11 No. 1.

Aini, N. (2015). Media Alternatif untuk Pertumbuhan Jamur Menggunakan Sumber


Karbohidrat yang Berbeda.

Bastaman, S. (1989). Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Shells of
Prawn. Journal of Agro-based Industry., 6(2): 1-6.

Boel, T. (2009). Mikosis Seperfisial. Jurnal Mikologi. Universitas Sematera Utara.

Cappuccino, J., & Sherman, N. (2014). Manual Laboratorium Mikrobiologi. Jakarta: Buku
Kedokteran EGG.

Dewi, S. (2019). Efek Ekstrak Etanol Daun Kesum (Polygonum minus Huds.) sebagai Antifungi
terhadap Trichophyton rubrum. Jurnal Kesehatan Andalas.

Djaenudin. (2019). Ekstraksi Kitosan dari Cangkang Rajungan pada Lama dan Pengulangan
Perendaman yang Berbeda. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 10 No. 1.

Ellis, D., Helen, A., Kidd, S., & Halliday, C. (2007). Descriptions of medical fungi, 3nd ed.
Pzifer & Anzmig, University Of Adelaide, Australia, 207-210.

Gandjar, I. (2014). Mikologi: Dasar dan Terapan. Jakarta: IKAPI DKI.

Hafsan, Sukmawaty, E., & Masri, M. (2015). Penuntun Praktikum Mikrobiologi. Makasar:
Universitas Islam Negeri Alauddin.

Hayati, I. (2014). Identifikasi Jamur Malassezia furfur Pada Nelayan Penderita Penyakit Kulit
di RT 09 Kelurahan Malabro Kota Bengkulu. GRADIEN 10(1): 972-975.

Jawetz, M., & Adelberg. (2013). Medical Microbiolgy 26th Edition. The McGraw-hill
Companies. United States.

Jutono. (1980). Pedoman Praktikum Mikrobiologi. Yogjakarta, Indonesia: Fakultas Pertanian


UGM.
Knorr, D. (1984). Use of Chitinous Polymer in Food. Journal of Food Science and Technology,
85-88.

Kurniasih, M., & Dwiasi, D. W. (2007). Preparasi Dan Karakterisasi Kitin Dari Kulit Udang
Putih (Litophenaeus Vannamei). Molekul, Volume 2 No. 2, 79-87.

Kurniati, & Rosita, C. (2008). Etiopathogenesis of Dermatophytoses. Berkala Ilmu Kesehatan


Kulit & Kelamin Vol. 20 No. 3. Surabaya.

Matheis, F. J., Amos, K., & Marsela, S. L. (2011). Kitosan dari Limbah Kulit Kepiting Rajungan
(Portunus sanginolentus L.) sebagai Absorben Zat Warna Biru Metilena. Jurnal Natur
Indonesia, 14 (2) : 165-171.

Mediarti, N. T. (2018). Pengaruh Penambahan Ekstrak Khitin Kecoa Spesies Periplaneta


americana terhadap kecepatan pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes. KTI.
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Bandung.

Notoadmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, . Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Purwanti, A. (2014). Evaluasi Pengolahan Limbah Kulit Udang untuk Meningkatkan Mutu
Kitosan yang Dihasilkan. Jurnal Teknologi, Volume 7 Nomor 1.

Putri, A. I., & Linda, A. (2017). Profil dan Evaluasi Pasien Dermatofitosis. Universitas
Airlangga, Surabaya.

Rochima, E. (2007). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon Jawa
Barat. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, Vol X. Nomor 1.

Saanin, H. (1984). Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.

Sartika, I. D. (2016). Isolasi dan Karakterisasi Kitosan dari Cangkang Rajungan (Portunus
pelagicus). Jurnal Biosains Pascasarjana Vol. 18.

Siregar, R. (2004). Penyakit Jamur Kulit.Edisi2. Jakarta: EGC.

Srijanto, B. (2003). Kajian Pengembangan Teknologi Proses Produksi Kitin dan Kitosan Secara
Kimiawi. Prosiding seminar Nasional Teknik Kimia, Volume I, hal. F01-1 – F01-5.

Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.

White, T., & Henn, M. (2012). Genomic Determinants of Infection Competence In


Dermatology Fungi. The Fungal Genome Initiative.
Wibowo, D., & Ristanto. (1988). Petunjuk Khusus Deteksi Mikroba Pangan. Pusat antar
Universitas Pangan dan Gizi, UGM Press, Yogyakarta, 136-140.

Anda mungkin juga menyukai