Anda di halaman 1dari 2

Harus diakui selama ini masih ada budaya dalam masyarakat yang kurang

menguntungkan terhadap anak. Meski tak ada data resmi mengenai budaya mana saja yang
merugikan anak, tetapi sejumlah studi telah membuktikan bahwa di sekitar kita masih banyak
di jumpai praktik praktik budaya yang merugikan anak, baik merugikan fisik maupun
emosional. Ada ketentuan yang terlazim dalam masyarakat kita, misalnya dalam praktik
pengaduhan anak, pembiasaan bekerja sejak kecil kepada anak dan masih banyak praktik
praktik lain yang merugikan anak yang berlindung atas nama adat-budaya. Misalnya dalam
pola pengasuhan anak yang menekankan kepatuhan anak kepada orang tua.

Pelacuran anak sesungguhnya adalah salah satu masalah kemanusiaan yang membutuhkan
perhatian serius karna damapaknya sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta
masa depan anak sebagai korban. Anak yang dilacurkan bukan saja rentan hinaan,
eskploitasi, penipuan, marginalisasi, tetapi juga banyak diantara mereka yang tidak dapat
menikmati hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya bentuk berkembang secara sehat.

Secara sosiologi, pengertian pelacuran sesungguhnya tidaklah semata mata hanya


menekankan tiga unsur: pembayaran, promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional.
Rowbothan (1973), misalnya menyatakan diluar muatan ekonomi yang ada, pelacuran
sesungguhnya adalah ekspresi dari hegemoni kultural pria atas kaum perempuan (troung,
1992: 7) Pelacuran dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya ,
yang terjalin erat satu dengan yang lain : seperti kemiskinan, kebiasaan kawin muda,
kebiasaan cerai, dan status sosial perempuan yang relatif rendah juga merupakan faktor
pendorong kenapa perempuan melacurkan diri ( Sadyaningsih-Mamahit, 1999:69).

Untuk mengurangi keterlibatan anak perempuan dalam dunia pelacuran, apalagi


menghapuskannya, paling tidak harus diperhatikan counter-culture terhadap berbagai praktik
budaya yang merugikan anak-anak, khususnya anak perempuan. Meski belakangan ini
kesadaran tentang gender diakui telah makin meningkat, tetapi kebiasaan masyarakat
dipedesaan yang menganggap anak perempuan tidak harus melanjutkan sekolah tinggi atau
mendorong anak perempuan menikah diusia dini, adalah contoh praktik budaya yang kontra
produktif bagi proses tumbuh kembang anak secara wajar. Menurut Irwanto (1999) walau
tidak selalu paralel, tetapi ada indikasi bahwa pernikahan dini yang potensial berakhir dengan
perceraian akan mendorong kemungkinan terjadinya "janda janda anak" itu lari dan
terjerumus pada dunia prostitusi.
Sumber

Suyanto,B.2016.Masalah Sosial Anak.Jakarta.Pranadamedia Group

Anda mungkin juga menyukai