Anda di halaman 1dari 114

1

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini banyak diberitakan soal kekerasan terhadap anak ada yang dipukul, disiram dengan air panas, hingga ada juga yang tubuhnya disetrika. Kenyataan ini sangat memprihatinkan karena terjadi dalam keluarga hal ini sangat paradoks dengan fungsi keluarga itu sendiri sebagai institusi atau unit terkecil dalam suatu masyarakat. Menurut Savy Amira,1 idealnya fungsi keluarga memiliki 7 macam fungsi diantaranya : fungsi biologis, fungsi edukatif, fungsi religius, fungsi produktif, fungsi sosialisasi, fungsi rekreatif, fungsi ekonomis. Realita bahwa sebagian besar korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), adalah anak-anak, menimbulkan presepsi bahwa kekerasan terhadap anak sebagai bagian dari sebuah keluarga belum bisa diselesaikan walaupun dengan aturan hukum dan perundang-undangan, dalam hal ini ada undang-undang perlindungan anak (UU No: 23/2002). Selain adanya kekerasan fisik terhadap anak, ada pula bentuk kekerasan yang dialami anak-anak. Misalnya : penjualan anak untuk tujuan komersial di Indonesia, kekerasan terhadap anak sudah menjadi budaya dan dilakukan turun temurun akibatnya dari tahun-ketahun kasus kekerasan terhadap anak terus bertambah salah satu pemicunya adalah kemiskinan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi para orang tua .

Salah Satu Anggota Dari Surabaya Woman,s Crissis Center, Dalam Seminar Bertajuk Cinta, Keintiman, Berelasi Di Ruang Serba Guna Fakultas Psikologi UBAYA (12/11/2006)

Namun, faktor tersebut bukan satu-satunya faktor pemicu kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap anak terkait erat dengan faktor kultural dan struktural dalam masyarakat. Dari faktor kultural, misalnya adanya pandangan bahwa anak adalah harta kekayaan orang tua atau pandangan bahwa anak harus patuh kepada orang tua seolah-olah menjadi alat pembenaran atas tindak kekerasan terhadap anak. Bila si anak dianggap lalai, rewel, tidak patuh, dan menentang kehendak orang tua, dia akan memperoleh sanksi atau hukuman yang kemudian menjustifikasi atau berubah menjadi tindak kekerasan. Faktor struktural diakibatkan adanya hubungan yang tidak seimbang (asimetris) baik di lingkungan keluarga atau masyarakat, di sini anak dalam posisi dilematis, lebih rendah karena secara fisik, mereka memang lebih lemah daripada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya . Akibatnya pendeskreditan dan pendistorsian anak secara struktural sering terjadi baik secara sadar maupun tidak. Karena itu menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya para orang tua. Untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, bersosialisasi, berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Paradigma bahwa anak adalah milik orang tua harus segera diubah, untuk itu diperlukan peran serta pemerintah dan masyarakat . Adagium bahwa anak milik orang tua, sehingga orang tua berhak melakukan apa pun terhadap anak (kekerasan) jelas tidak bisa dibenarkan

sepenuhnya, sebab pada prinsipnya anak adalah titipan Tuhan kepada para orang tua untuk dirawat, dicintai, dijaga dan dibesarkan. Dengan paradigma bahwa anak adalah milik orang tua, ketika orang tua depresi atau stres karena menghadapi persoalan hidup, anak pun menjadi pelampiasan kekecewaan. Kompleksitas kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidak hanya dominasi kekerasan fisik, tak jarang ketika menggunakan istilah kekerasan, kita membayangkan sebagai kekerasan langsung yang bersifat fisiologis. Padahal, kekerasan memiliki banyak wajah dan dapat eksis lewat cara-cara durjana yang berlangsung diam-diam lambat-laun, tidak menyentuh kulit, berjangka lama dan berdampak sangat luas. Tokoh fenomenal dari Norwegia Johan Galtung menyebut fenomena itu sebagai kekerasan struktural (struktural violence). Kekerasan itu bukan dipraktekkan dengan cara-cara konvensional misalnya melukai atau membunuh melainkan lewat struktur sosial yang memproduksi kemiskinan, kematian dan penderitaan besar-besaran. Kekerasan struktural dapat berwujud politis, repratif, ekonomis, dan eksploitatif, ini berarti kekerasan yang melibatkan anak-anak sebagai korban adalah mata rantai banyak sapek Kekerasan fisik memang harus diwaspadai, namun terkadang kita lupa bahwa modus operandi kekerasan struktural nyaris ghaib (invisible) sehingga tak disadari berdampak sosial dan acap dinormalkan diam-diam lewat pengalaman sehari-hari dan melalui mekanisme kelembagaan tertentu.

Tindak kekerasan dalam rumah tangga yang mendera anak-anak sangat disesalkan, karena suasana psikologis anak belum stabil, hal ini juga bisa menghambat pertumbuhan emosional anak, depresi dan gangguan neurotik2, lebih jauh lagi akibat akan semakin fatal misalnya: anak minder dan kurang tanggap jika duduk di bangku sekolah ternyata penyebabnya hal sepele, salah satunya adalah anak sering dimarahi dan diberi hukuman berupa jeweran atau cubitan3, memberikan hukuman harus proporsional artinya orang tua wajib memahami sifat atau karakter anak sebelum memberikan pendidikan atau pembinaan. Peran serta masyarakat dalam meminimalisir praktik tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sangat besar, masyarakat bisa membantu mengawasi dan melindungi anak-anak. Kalau ada tetangga yang memukul anaknya, kita harus berani menegur dan mencegahnya sebab anak-anak dilindungi Undang-Undang. Secara yuridis formal, pemerintah telah memiliki Undang-Undang (UU) No:4/1979 tentang kesejahteraan anak, (UU) No:3/1997 tentang pengadilan anak, Keputusan Preseden (Keppres) N0:36/1990 tentang ratifikasi konversi hak anak, (UU) N0:23/2002 tentang perlindungan Anak. Anak cenderung melakukan yang ia lihat, ia dengar, ia alami, ketika dalam lingkungan keluarga yang disharmonis (sering terjadi percekcokan) maka, di

22

Seminar Sehari Islamic Quantum Teaching Konsorsium Taman Asuh Anak

Terpadu (TAAT), Persatuan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK), dan Yayasan Ulul Albab Blitar (2/8/2006).
3

Komite Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA), Forum Lintas Pelaku (FLP).

dalam pikiran alam bawah sadar si anak terbentuk sebuah stigma bahwa setiap persoalan pasti akan dan harus di selesaikan dengan cara-cara kekerasan. Seperti ia sering melihat ayahnya memukul ibunya, ibunya memaki-maki ayahnya atau kedua orang tua selalu berbuat kasar pada si anak, sehingga anak merasa tertekan dan ia menganggap kekerasan telah mengakar kuat dan sah dalam tradisi kehidupan. Keluarga mereka, di tunjang juga tayangan kekerasan yang sering di konsumsi oleh anak dari media elektronik (TV) yang tidak begitu di kontrol oleh orang tua mereka juga budaya yang mengakar di sekolah bahwa, guru berhak atau bahkan wajib memberikan sanksi berupa hukuman fisik kepada sang anak, juga dari pengakuan si anak yang kurangnya perhatian dari orang tua sehingga terjadi perkelahian di antara anak-anak sebagai simbol wujud dari emosi mereka, sehingga kelak bahwa berkalahi dan saling membenci adalah salah satu bagian bahkan sarat dan interaksi sosial diantara mereka (anak-anak) yang kemudian secara struktural dan variatif akan membentuk sebuah kelompok-kelompok kecil (gang) yang saling mempengaruhi satu sama lain atas dasar kekuatan fisik belaka, bahkan di tempat-tempat yang agak kumuh dengan ciri masyarakat terbelakang, ekonomi lemah, pendidikan lemah, seperti di pinggiran pasar, kampung-kampung kumuh, kolong jembatan, lokalisasi, suasana ataupun tindakan kekerasan terhadap anak lebih rentan disamping perilaku masyarakatnya yang juga tidak mendidik dan cenderung beringas seperti, kelompok preman, bandit, yang sering kali melakukan atau memberikan contoh perilaku kekerasan terhadap anak bahkan mereka juga menjadikan anak sebagai komoditas atau mesin pencari uang, seperti

yang kita jumpai di beberapa sudut kota, di jalan perempatan , di pasar, ada yang menjadi pengamen, pengemis, penjaja asongan, semir sepatu dan lain-lain Fenomena di atas sebagai gambaran kecil kelamnya dunia anak, yang semestinya pada umumnya mereka mendapatkan perhatian, kasih sayang, pendidikan, bahkan waktu yang cukup untuk memperhatikan aktivitas sang anak. Tetapi yang terjadi, anak-anak dengan kondisi psikis yang masih labil harus merasakan kerasnya persaingan bahkan kekerasan yang semestinya mereka dilindungi dan tidak mengalami hal-hal di atas. Hal-hal diatas adalah beberapa alasan yang sudah cukup mewakili mengapa anak-anak merasa kehilangan rasa simpati atau empati ketika melihat orang menderita, di sekitarnya bahkan mereka merasa bangga ketika setelah menyakiti temannya. Baik posisi anak sebagai korban dari tindakan kekerasan ataupun pelaku tindak kekerasan itu sendiri. Perilaku tindak kekerasan yang dilakukan pada anak, menurut beberapa pakar psikologi mengatakan bahwa, biasanya tindakan kekerasan yang dilakukan anak berawal dari konsep diri, yang tertanam kuat, sejak usia dini, biasanya pengaruh lingkungan sangat berperan dalam hal ini, misalnya ia sering melihat tayangan kekerasan di televisi, ia sering mengalami tindak kekerasan dari orang tuanya, bahkan ia sering melihat dengan kepalanya sendiri, ibunya sering dipukul oleh ayahnya (atau sebaliknya), di dalam keluarga yang broken home (disharmonis), tindak kekerasan cenderung lebih dapat dirasakan oleh si anak dalam sebuah keluarga dimana anak, pertama kali belajar dari lingkungan yang paling dekat, (fase identifikasi dalam proses sosialisasi keluarga).

Setelah konsep diri (tentang kekerasan), tertanam dalam jiwa si anak, maka secara otomatis akan menjadi sikap, tindakan atau perilakau, bahkan kebiasaan (usually), yang secara perlahan tapi pasti akan di ikuti atau di contoh oleh si anak, sehingga anak lebih bersikap keras, kurang bisa mengontrol dirinya, dan kurang bisa menahan emosinya, bisa dipastikan, dalam pergaulan antar teman, maka ia sering melakukan lawan mainnya dengan cara-cara kekerasan (fisik). Anak lebih sering memukul atau melukai temannya, sering berkelahi, mau menang sendiri, bahkan kalau si anak mempunyai teman yang memiliki persamaan perasaan emosional maka cenderung membentuk kelompok (gang), dan bisa dipastikan, besar kemungkinan akan melakukan hal-hal yang bersifat destruktif, seperti tawuran, dengan kelompok lain, serta memiliki naluri untuk membunuh. Yang tentu saja hal ini bisa membawa anak masuk dalm dunia kriminalitas. Perilaku atau tindakan kekerasan yang sering dilakukan anak tadi lama kelamaan bisa menjadi sebuah karakter yang terbentuk secara kuat dalam diri anak, hal ini bisa saja memberikan motivasi tersendiri bagi si anak untuk selalu melawan, sesuatu diluar keinginannya dengan tindakan kekerasan. Hal ini perlu diwaspadai dan disadari oleh para orang tua, guru, untuk memahami kondisi anak, mengapa mereka menjadi seperti ini, diperlukan perhatian ekstra, kasih sayang dari lingkungan sekitar, agar konsep diri, perilaku, dan motivasi anak tentang kekerasan yang selalu tertanam sejak dini bisa diubah atau tentunya dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan kondisi dan karakter, serta suasana jiwa anak.

Kekerasan terhadap anak (child abuse), bisa terjadi dalam lingkungan rumah tangga (keluarga), sekolah, masarakat. Kekerasan yang dialami oleh anak bisa berupa kekerasan fisik, psikis, seksual. Psikiater Terry E Lawson, mengemukakan ada 4 teori (child abuse), kekerasan anak yaitu: 1. Emotional Abuse: Orang tua mengabaikan anak, setelah anak meminta perhatian. 2. Verbal Abuse: Orang tua mengetahui anaknya minta perhatian, tetapi menyuruh untuk diam, jika anak tetap rewel, orang tua melontarkan bahasa yang kasar atau kotor. 3. Physical Abuse: Orang tua memukul anak, ketika anak meminta perhatian. 4. Sexual Abusse: Pencabulan atau pemerkosaan.4 Apabila tindakan kekerasan terhadap anak dibiarkan terus terjadi, terutama dalam lingkup rumah tangga, maka hal tersebut akan menganggu perkembangan dan pertumbuhan anak baik secara fisik maupun mental. Perkembangan anak yang tidak sehat karena diakibatkan oleh adanya kekerasan tersebut, bisa dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut: 1. Ketidakmampuan anak menyesuaikan diri. 2. Kriminalitas terhadap anak (kekerasan anak). 3. Konflik keluarga. 4. Rasa tidak dipenuhinya kebutuhan pokoknya, (rasa aman, dihargai).

M. Eri Irawan, Dari Sapere Aude Ke Pati Aude, Jawa Pos, 8 April 2005. hal. 4

Untuk meminimalisir angka kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, yang sering menjadi korban adalah pihak yang lemah, dalam hal ini perempuan dan anak-anak. Sebenarnya pemerintah juga sudah turut serta dalam menekan angka kekerasan dalam rumah tangga, diantaranya dikeluarkan Peraturan Perundangundangan yang berupaya memberikan jaminan hukum kepada para korban. Yaitu diantaranya adalah: 1. UU No: 4/1974: Kesejahteraan Anak. 2. UU No: 23/2002: Perlindungan Anak. 3. UU No: 3/1997: Pengadilan Anak. 4. Keppres No:36/1990: Ratifikasi Konversi Hak Anak. 5. UU No:23/2004: Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.5 Secara yuridis-formal undang-undang tersebut telah memiliki legitimasi hukum yang cukup kuat, dalam hal ini untuk meminimalisir dan memberi kepastian hukum, jika di dalam masyarakat masih ditemukan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga, yang dalam hal ini sering menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Kekerasan merupakan fenomena klasik yang selalu muncul di segala zaman dengan model yang sangat heterogen. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi akibat diskriminasi terhadap perempuan yang didasari oleh budaya patriarki dan dilegitimasi oleh sebagian interpretasi agama yang salah. Perkawinan bertujuan untuk membentuk rumah tangga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dimana ia merupakan sarana pembentukan karakter generasi penerus masa depan bangsa.
5

Niken Indar Mastri, Melindungi Hak Anak Dari Kekerasan, Jawa Pos, 11 Maret

2006, hlm. 4

10

Karena itu kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat ditolerisasi karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.6 Salah satu korban kekerasan dalam rumah tangga selain pihak perempuan, seperti yang telah dijelaskan diatas juga anak-anak. Sering kita mendengar anakanak menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya dalam lingkungan keluarga, baik posisi anak menjadi pelampiasan amarah dari kedua orang tuanya ataupun bersama ibu menjadi saksi mata dan korban kekejaman ayah kepadanya.7 Hal inilah yang secara fisik maupun psikis akan menganggu fase perkembangan dan pertumbuhan anak, yang seharusnya mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Kekerasan yang dialami oleh anak, baik kekerasan yang langsung dialami oleh anak maupun suasana kekerasan dari adanya peretengkaran kedua orang tua serta tindak kekerasan dalam rumah tangga yang didominasi oleh laki-laki (budaya patriarki), secara tidak langsung akan mempengaruhi proses kegiatan belajar anak dalam lingkungan keluarga. Karena disamping anak sering mendapatkan tindak kekerasan dari orang tua (ayah atau ibu atau anggota keluarga lainnya), seperti sering dimarahi, dipukul, direndahkan tidak dihargai, serta suasana kekerasan yang ditimbulkan oleh kesewenang-wenangan suami terhadap istri (seperti ayah memukul istri di

Dewi Minangsari, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Gender

(Jakarta: Rineka Cipta, 2005). hal. 108


7

Mufidah, Ch, Haruskah Perempuan Dan Anak Dikorbankan? (Malang: PSG

Publishing, dan Pilar Media, 2006). hal. 79

11

hadapan anak-anak), hal tersebut bisa menganggu anak dalam proses kegiatan belajarnya baik hal itu dengan bimbingan oleh orang tua ataupun belajar sendiri. Dampak yang diakibatkan secara fisik, (seperti sering dimarahi, dibentakbentak, dicubit, dipukul, disudutkan), karena adanya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, secara otomatis juga akan mempengaruhi psikis anak, (seperti, anak menjadi minder, rendah diri, sulit bergaul, kurang percaya diri), dan tidak menutup kemungkinan kekerasan yang sering dialaminya dalam keluarga serta seringnya ia melihat tindakan kekerasan dalam rumah tangga, seperti pertengkaran orang tua penganiayaan yang dilakukan oleh ayahnya terhadap ibunya, secara psikologis bisa mempengaruhi pola pikir anak tentang arti kekerasan. Seperti, anak menjadi suka berkelahi, suka hal-hal yang berbau kekerasan, dan kelak jika ia beranjak dewasa ia akan melakukan sesuatu yang dulu pernah ia alami yaitu kekerasan.8 Berawal dari adanya kekerasan yang dialami oleh anak dalam rumah tangga, posisi anak dalam hal ini menjadi korban kekerasan. Serta apabila tidak ada usaha untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yang sering kali menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Sebab apabila tradisi serta suasana kekerasan dalam rumah tangga tidak segera diakhiri, maka jangan heran jika suatu saat anak akan menjadi pelaku kekerasan sebagai akibat proses identifikasi dalam sosialisasi yang ia terima sejak kecil dalam lingkungan keluarga.

Purnomo Satriyo P, Anak Korban KDRT, Dilema Dua Sisi, Jawa Pos, 30 April

2005, hal 3.

12

Meski demikian, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Beragkat dari hal tersebut diatas, maka penulis menekankan dampak atau pengaruh dari adanya kekerasan atau perlakuan kasar yang langsung dialami oleh anak, (baik itu dilakukan oleh ayah, ibu, atau anggota keluarga yang lain), ataupun suasana di dalam keluarga yang sering menggambarkan adanya kekerasan. Seperti pertengkaran atau percekcokan antara orang tua, yang hal tersebut bisa menimbulkan adanya kekerasan (ayah memukul ibu/berkata-kata kasar/membanting-banting barang). Keadaan atau situasi seperi itulah, yang dalam skripsi ini penulis ingin kaji lebih dalam yaitu terlebih jika dikaitkan dengan kelancaran dalam proses pendidikannya di rumah (belajar), baik itu dengan bimbingan orang tua atau belajar sendiri. dalam sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri. Khusus untuk kasus tindak kekerasan terhadap rumah tangga (KDRT) yang menjadi sasaran adalah perempuan (karena broken home) maka lingkungan yang menampilkan kekerasan (istri dianiaya suami) adalah tidak cocok untuk konsumsi anak-anak yang seharusnya keluarga sebagai tempat sosialisasi dan sarana proses belajar (pendidikan). Banyak alasan kuat dalam sebuah keluarga rawan terjadi pertengkaran antara suami dan istri diantaranya adalah superioritas laki-laki (suami) yang memicu munculnya kekerasan terhadap perempuan Diantara bentuk ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat sejak dahulu hingga sekarang adalah kekarasan terhadap perempuan.

13

Kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah (yang di pandang berada dalam keadaan lemah) bersaranakan kekuatannya baik fisik atau non fisik yang superior dengan kesenjangan untuk, menimbulkan rasa derita di pihak yang mengalami obyek kekerasan (Soetandyo, 2000) Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) pelakunya misalnya suami terhadap istri, orang tua terhadap anak, kakak terhadap adik, (kebalikannya) dan majikan terhadap pembantu rumah tangga, data statistik yang akurat

mengenai kasus kekerasan rumah tangga (KDRT) belum tersedia secara kongkrit karena : 1. KDRT sejauh ini tidak di kenal sebagai kejahatan dalam masyarakat, meskipun terjadi di sejumlah tempat dalam bentuk perkosaaan, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap anak, incest, pemasungan, pembunuhan,. Dan bentuk kekerasan lainnya Banyak apologi yang diargumenkan di dasarkan melindungi diri dan membalas perlakuan pelaku dengan mencederainya, akan tetapi malah di tuntut dan dianggap melakukan kejahatan lainnya seperti pembunuhan. Persepsi yang berkembang di masyarakat saat ini menganggap masalah KDRT sebagai urusan pribadi (personal) karena itu pihak-pihak lain (pihak luar termasuk aparat hokum atau polisi) tidak sepatutnya atau tidak boleh ikut campur di dalamnya (intervensi)

14

2. Kebanyakan korban tidak bisa berbicara secara terbuka mengenai kasus, yang dialaminya dalam keluarga dalam di keluarga ini bisa di mengerti karena selama ini kasus-kasus tersebut diremehkan oleh masyarakat sekitarnya. 3. Kesalahan dalam memahami antara mitos dan fakta KDRT di masyarakat. menurut mitos yang berkembang di masyarkat KDRT sering di jadikan alasan yang menyudutkan perempuan misalnya istri di pukul karena membantah suami dan melakukan kesalahan besar Berawal dari uaraian singkat diatas maka penulis tertarik ingin mengadakan penelitian tentang dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap proses bimbingan belajar dalam sebuah keluarga di Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri. Penulis mengangkat tema ini karena ingin lebih jauh megetahui dampak yang diakibatkan oleh adanya kekerasan, baik fisik, psikis atau psikologis yang menimpa anak-anak sebagai anggota keluarga, untuk kasus KDRT anak berada di posisi dilematis, terutama jika menyangkut orang tua mereka sebagai prilakunya. Di dalam kultur yang cenderung feodal anak melihat orang tuanya sebagai dewa sehingga kekerasan yang mereka (anak) dialami masih dianggap lebih baik daripada jika aib keluarga mereka terungkap. Sangat jelas bahwa anak adalah tunas harapan bangsa, kepadanya terbebankan amanat untuk melanjutkan perjuangan membangun bangsa. Namun apa jadinya jika fase pertumbuhan seorang anak mengalami gangguan. Kekerasan yang berakibat jatuhnya kualitas dan sebagi tumpuan masa depan bangsa.

15

Bangsa ini akan runtuh kalau kekerasan terhadap anak dibiarkan terus terjadi, petuah tersebut di keluarkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) Dr Seto Mulyadi, jika kita menelaah kekerasan dalam rumah tangga maka anak telah menjadi sasaran pelampiasan orang tua atas ketidakberdayaan mereka dalam memikul tantangan-tantangan hidup yang kian keras dan kejam. Di dalam masyarakat kita saat ini, masih banyak anggapan bahwa anak adalah komunitas kelas bawah. Mereka adalah pribadi-pribadi kecil dan lemah yang seolah sepenuhnya harus berada di bawah kendali kekuasaan orang dewasa, sehingga berakibat orang tua pun merasa berhak melakukan apa saja terhadap anak Pengertian sempit dan paradigma keliru ini terus berkembang sehingga banyak diajarkan baik di rumah maupun di sekolah, bahwa anak-anak harus menurut sepenuhnya kepada orang tua, guru, atau orang dewasa yang lain. Mereka sama sekali tidak boleh membantah, mengkritik, apalagi melawan, tanpa adanya penjelasan secara terperinci dalam situasi bagaimana hal itu seharusnya dilakukan. Pandangan demikian akhirnya terus berkembang dan sering membuka peluang terhadap berbagai tindak kekerasan, penindasan, dan perlakuan-salah terhadap anak karena dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Seolah-olah mendidik anak harus dilakukan dengan kekerasan. Kurangnya respons masyarakat terhadap tindak kekerasan oleh orang dewasa ini, apalagi pelakunya adalah orang tua sendiri atau masih mempunyai hubungan

16

keluarga, juga lebih sering dikarenakan masalah tersebut dianggap sebagai masalah domestik keluarga yang tidak boleh dicampurtangani oleh orang lain. Inilah realitas yang masih banyak terjadi dan berkembang di sekeliling kita. Akibatnya, kekerasan terhadap anak terus berkembang subur dan cenderung akan diwariskan secara turun-menurun dari generasi ke generasi tanpa ada kepastian kapan pandangan atau persepsi keliru ini akan berakhir. Ini tentu saja memprihatinkan kita semua. Sebab anak-anak yang banyak mendapatkan tindak kekerasan, cenderung mengimitasi (sebagai proses identifikasi yang terjadi pada anak-anak), kekerasan tersebut. Disamping anakanak itu pun akan mengalami berbagai gangguan kejiwaan yang kelak, menganggu proses tumbuh kembang mereka secara optimal. Termasuk dalam hal ini kekerasan yang sering ditimbulkan dari adanya suasana keluarga yang tidak harmonis (sering terjadi pertengkaran diantara orang tua), sehingga bisa terjadi tindak kekerasan diantara keduanya (suami/ayah memukul istri/ibu), keadaan seperi itulah yang akan mempengaruhi perkembangn jiwa anak dimasa yang akan datang. Apabila kita menginginkan munculnya pribadi-pribadi yang unggul di masa depan, kita semua harus berani bertindak mulai sekarang. Yaitu menyerukan kepada para orang tua dan pendidik untuk menghentikan berbagai kekerasan terhadap anak atas nama pendidikan. Lebih tegas lagi, kita harus mengingatkan mereka bahwa pendidikan adalah tidak identik dengan kekerasan; bahwa pendidikan adalah tidak sekadar memberikan instruksi atau komando, tetapi memberikan hati kita yang sarat dengan cinta dan kasih sayang.

17

Pendidikan yang efektif adalah pendidikan dan pengasuhan anak yang bertumpu pada cinta dan kasih sayang tanpa syarat. Pendidikan yang bertumpu pada prinsip reward dan punishment belaka sudah tidak lagi sesuai dengan zaman. Orang tua atau guru harus dapat memahami anak dari sudut pandang anakanak, bukan dari sudut pandang pikiran orang dewasa. Dan sudah saatnya berbagai tindak kekerasan terhadap anak, baik itu kekerasan secara fisik maupun psikologis (seperti pelecehan, penghinaan, tuntutan yang terlalu tinggi, pemojokan, suasana yang membuat anak menjadi tertekan), harus segera dihentikan sekarang juga dan selamanya. Lebih lanjut Kak Seto mengatakan bahwa, faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang terus meningkat di sertai kekacauan terhadap pasangan suami atau istri, termasuk ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi,

mengakibatkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak sebagai makhluk yang lemah, subordinat, dan dianggap milik atau properti orang tua Dalam psikoanalisis versi Segmund Freud memaparkan bahwa penyebab utama perkembangan anak yang tidak sehat, ketidakmampuan anak menyesuaikan diri dan kriminalitas terhadap anak serta remaja adalah konflik-konflik keluarga. Rasa tidak di penuhinya kebutuhan pokoknya seperti rasa aman, dihargai, dan kebebasan untuk memperlihatkan kepribadiannya. Yang patut kita waspadai karena anak adalah pribadi yang berkembang perilakunya dengan meniru situasi disekitarnya. Bahayanya fenomena tersebut akan menjadi mata rantai setiap generasi akan berbuat hal yang sama.

18

Dengan kata lain, anak yang mendapatkan perlakuan kejam dari orang tuanya dan menjadi sangat agresif dan setelah menjadi orang tua dia akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Bahkan menurut Terry E Lawson semua jenis gangguan mental (psikologis) manusia dewasa berhubungan dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil . Disamping hal tersebut diatas penulis tertarik memilih judul tersebut adalah sebagai berikut : 1. Karena penulis merasa tertarik dengan masalah-masalah yang

berhubungan dengan Anak (anak) bila dihadapkan pada situasi yang tidak paedagogis (kekerasan dalam rumah tangga). 2. Karena penulis belum mengetahui sejauh mana dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap bimbingan belajar Anak (anak). B. RUMUSAN MASALAH Agar tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan maka perlu bagi penulis untuk membuat rumusan masalah yaitu menerangkan dengan lebih jelas lagi apa yang menjadi masalah dan membatasi ruang lingkupnya pada suatu persoalan khusus9. Berpijak pada persolan di atas maka disini penulis merasa perlu untuk merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimna bentuk kekerasan yang dialami oleh anak didik dalam sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri?

Donald Ari, LC dan A.Rojayih pedoman penulisan dalam penelitian (trj)Arif Furkon, usaha nasional Surabaya,tanpa tahun Hal:85

19

2. Bagaimana efektivitas bimbingan belajar yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, dalam suasana ketidakharmonisan? 3. Apakah dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan, baik yang langsung di alami oleh anak dalam keluarga yang diliputi kekerasan terhadap kelancaran anak dalam kegiatan belajarnya dirumah? C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mempermudah jawaban masalah di atas yakni: 1. Untuk mendiskripsikan tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Anak dalam sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri? 2 Untuk mendiskripsikan Bagaimana efektivitas bimbingan belajar yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, dalam suasana ketidakharmonisan? 3. Untuk mendiskripsikan adakah dampak tindakan kekerasan dalam rumah tangga ataupun suasana kekerasan, dalam sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri? D. METODE PENELITIAN 1. Sumber Data Studi kepustakaan yaitu suatu studi untuk mendapatkan data-data dengan membaca buku-buku yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi Studi lapangan yaitu suatu studi untuk mendapatkan data-data dengan mengadakan penelitian di lapangan secara langsung.

20

2. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini adalah berupa kata-kata, kalimat-kalimat, atau paragraf yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat deskriptif mengenai situasi, peristiwa, interaksi, pernyataan dan prilaku subyek penelitian. 3.Strategi penelitian Dalam penelitian studi kasus (case study), tidak diperlukan sample atau populasi, karena hanya meneliti sebuah kasus atau masalah yang hanya fokus pada suatu obyek permasalahan. Masalah adalah lebih dari sekedar pertanyaan dan jelas berbeda dengan tujuan, masalah adalah sutau keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang menimbulkan tanda-tanya dan dengan sendirinya memerlukan upaya untuk mencari sesuatu jawaban.10 Faktor yang berhubungan tersebut dalam hal ini mungkin berupa konsep, data empiris, pengalaman, atau unsur-unsur lainnya. Jika kedua faktor itu diletakkan secara berpasangan akan menghasilkan sejumlah tanda-tanya, kesukaran yaitu sesuatu yang tidak dipahami atau tidak dapat dijelaskan pada waktu itu sebagai contoh : fokus penelitiannya adalah tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), untuk menelaah penyebabnya, peneliti barangkali ingin menelaahnya dari sisi gambaran umum latar belakang psiko-sosial keluarga tersebut, gejolak dalam keluarga tersebut, lingkungan sosial, faktor psikologis, superioritas laki-laki terhadap perempuan, faktor-faktor tersebut dapatlah dikaitkan untuk menjajaki penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam sebuah

10

(Guba, 1978 : 44, Lincoln dan Guba, 1985 : 218 dan Guba-Lincoln, 1981 : 88)

21

rumah tangga (keluarga).Dengan demikian masalah penelitiannya menjadi sebagai berikut : Apakah ada kaitan antara latar belakang keluarga dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga?, apakah ada presepsi bahwa dominasi atau supremasi lakilaki (suami), terhadap perempuan (istri), mengakibatkan otorisasi suami untuk melakukan kekerasan?, bagaimana lingkungan budaya-sosial anak (masa perkembangan), apakah hal itu menjadi sumber tumbuhnya perilaku anak yang suka kekerasan?, apakah suasana dalam keluarga yang sering mencerminkan kekerasan akan mempengaruhi anak dalam kegiatan belajarnya?, apakah kebiasaan orang tua memukul anak dalam kehidupan sehari-hari (rumah tangga), ada kaitannya dengan kelancaran proses bimbingan belajar terhadap anak didik? Dan bagaimana efektifitas serta kelancaran bimbingan beljar yang dilakukan oleh orang tua kepada anak didik walaupun kehidupan keluarga tersebut masih diwarnai oleh kekerasan atau suasana kekerasan (ketidak harmonisan)?. 1. Metode Pengumpulan Data untuk memperoleh data-data yang di perlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan sebagai berikut: a. Observasi metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik terhadap fenomena-fenomena yang diteliti11. Metodologi ini digunakan sebagai dasar untuk melengkapi dan memperkuat hasil penelitian yang diperoleh.
Suharsini Arikunto, Metodologi Reseach jilid 2, penerbit Andi Ofset, Cet.XX, Yogyakarta, 1992, hlm :136
11

22

1. Metode

observasi

ini

penulis

lakukan

berkenaan

dengan:

Keadaan lokasi rumah sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantern-Kediri. 2. Model atau model kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh anak didik dalam sebuah keluarga di Kelurahan Pesantern Kediri. 3. Dampak kekerasan (baik yang langsung dialami oleh anak, maupun suasana kekerasan yang ditimbulkan dari pertengkatan orang tua), dalam rumah tangga terhadap kelancaran anak dalam kegiatan belajarnya dirumah (baik belajar sendiri maupun dengan dibimbing oleh orang tua). 4.Berkaitan dengan bimbingan yang dilakukan oleh orang tua dalam keluarga tersebut. Bagaimana efektivitas bimbingan belajar yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, walaupun kekerasan dan suasana ketidakharmonisan mewarnai dalam kehidupan keluarga tesebut? Dari observasi tersebut penulis bertujuan untuk: a. Memperoleh informasi yang lebih akurat tentang model atau bentuk kekerasan yang dialami anak didik dalam sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantern-Kediri. b. Mengetahui dampak kekerasan (baik yang langsung dialami oleh anak, maupun suasana kekerasan yang ditimbulkan dari pertengkatan orang tua), dalam rumah tangga terhadap kelancaran anak dalam kegiatan belajarnya dirumah (baik belajar sendiri maupun dengan dibimbing oleh orang tua). c. Memperoleh informasi mengenai Bagaimana efektivitas bimbingan belajar yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, walaupun kekerasan dan suasana ketidakharmonisan mewarnai dalam kehidupan keluarga tesebut?

23

b. Metode Interview Metode interview merupakan metode pengumpulan data dengan jalan Tanyajawab secara fisik yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian12 dalam metode interview ini kepada responden dalam sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantern-Kediri. 1). Wawancara Wawancara dilakukan dengan percakapan dua orang, yaitu antara peneliti dan informan. Tujuan wawancara adalah untuk memperoleh konstruksi tentang orang, kejadian, aktivitas, perasaan, motivasi, serta pengetahuan seseorang ( Sonhaji dalam Arifin, 1994). Wawancara juga dimaksudkan untuk menggali pendapat, persepsi, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman serta penginderaan seseorang (Nasution,1988). Oleh karena itu, teknik wawancara ini digunakan

menggali data tentang tanggapan, perasaan, dan pengetahuan subyek penelitian tentang dampak yang diakibatkan dari adanya kekerasan baik yang langsung dialami oleh anak (ayah memukul anak), maupun suasana dalam keluarga yang mencerminkan kekerasan (pertengakaran antara orang tua), yang bisa

menimbulkan suasana kekerasan (ayah memukul ibu) terhadap kelancaran proses belajar anak dan bimbingan belajar dalam keluarga (rumah tangga). Jenis wawncara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawncara (Patton dalam Moleong, 2002 : 136).

12

Ibid, hlm. 193

24

c. Studi Dokumentasi Data yang dihasilkan dari wawancara dan observasi terkadang tidak cukup. Maka peneliti perlu melakukan studi dokumentasi untuk melengkapi data penelitian. Teknik studi dokumentasi ini bertujuan untuk menggali data non insani, misalnya berupa catatan prestasi anak serta sejenisnya. Selain untuk melengkapi data, data hasil studi dokumentasi ini akan digunakan untuk mengecek kebenaran hasil wawancara dan observasi latar. Selain itu, bahan yang didapat dari studi dokumentasi ini dijadikan penguat data-data lainnya. Untuk data bersifat dokumenter yang dinilai penting akan dilampirkan dalam penyusunan laporan penlitian. Dalam penelitian ini dokumentasi digunakan untuk menggali data yang difokuskan pada data prestasi anak yang mendapatkan bimbingan belajar oleh ibunya. E. PENEGASAN ISTILAH Skripsi berjudul Dampak Tidak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT ) terhadap proses bimbingan belajar Anak di Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri. Dalam skripsi ini penulis memberi batasan pengertian istilah-istilah pokok dalam judul dengan rincian sebagai berikut : Dampak : Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian dampak adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda,dan sebagainya), yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang yang besar sekali 13
13

Departemen pendidikan dan kebudayaan RI kamus besar bahasa Indonesia, balai

Pustaka, Jakarta, 1976,Hal:664

25

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) : Dalam bab I pasal 2 ayat I UU no 23/ 2004 berbunyi kekrasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang (perenpuan atau anak) yang berakibat terjadinya kesengsaraan atau penderitaan seara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga. Bimbingan : Proses atau usaha yang dilakukan untuk membantu perkembangan individu secara optimal. 14 Belajar : belajar adalah suatu proses di mana suatu perilaku muncul atau berubah karena adanya respon terhadap sesuatu situasi. serangkaian usaha untuk menambah wawasan (ilmu), baik dilakukan dengan tutor (guru), atau autodidak (sendiri). untuk mencpai prestasi yang optimal15 Anak : Manusia yang lain dengan orang dewasa, dengan dunianya sendiri mempunyai perasaan minat, sifat dan cita-cita yang berlainan dengan orang dewasa.

Dr. H. syamsul Yusuf M,Pd, psikologi perkembangan anak dan remaja PT Remaja

Roda Karya
15

Pedoman Pendidikan UIN Malang tahun akademik 2006-2007

26

27

BAB II LANDASAN TEORI A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang, dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun social budaya yang diberikan merupakan factor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Tetapi sering kita jumpai pola pengasuhan dan pendekatan orang tua yang cenderung keras dan mengarah ke dalam tindakan kekerasan. Banyak orang tua beranggapan bahwa mendisiplinkan anak adalah mendidik mereka dengan kekerasan. Namun kekerasan tidak sama dengan disiplin. Disiplin dilandasi dengan ketegasan dalam menentukan sikap dan ketaatan berperilaku sesuai dengan rencana, namun ketegasan serta ketaatan tersebut tidak didasari rasa takut adanya ancaman melainkan didasari adanya kesadaran bahwa hal tersebut membawa manfaat besar bagi dirinya. Kekerasan juga mencakup ketaatan, namun ketaatan ini dilandasi perasaan takut. Karena jika seseorang berlaku tidak taat maka ia akan terkena perlakuan keras yang meyakitkan dirinya baik secara fisik, verbal, ataupun emosional16. Kekerasan belum tentu disertai kesadaran adanya manfaat suatu perilaku tertentu. Bahkan kekerasan cenderung menimbulkansikap keras pula pada individu yang

16

Ibid., hlm. 124

28

diperlakukan dengan keras. Karena perilaku kekerasan itulah yang dijadikan contoh atau model perilaku yang dipelajari oleh individu yang bersangkutan. Seorang anak yang diperlakukan dengan keras oleh orang tuanya akan belajar bahwa dengan cara itulah ia jelas akan meminta orang lain untuk berperilaku, jika sikap orang tua kepadanya demikian keras. Kelak sikap keras itu pula yang akan ditirunya. Orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anaknya, lebih cenderung menempatkan anak sebagai tempat pelampiasan rasa kesal atau frustasinya. Anak pun yang menjadi wadah penampungan kekesalan serta frustasi orang tuanya akan belajar berperilaku kesal dan frustasi. Sesuai dengan informasi model perilaku yang mereka observasi pada orang tuanya.17 Di dalam skripsi ini, penulis ingin menyampaikan bahwa kekerasan yang terjadi dalam keluarga bisa diakibatkan oleh pertengkaran antara kedua orang tua, serta adanya tindak kekerasan yang dilakukan suami kepada istri karena adanya budaya patriarki, dan kekerasan yang diakibatkan oleh pola pengasuhan dari kedua orang tua, seperti ayah sering memukul, menampar, ibu sering mencaci maki, marah-marah, mencubit dan lain sebagainya. Istilah menyakiti merupakan terjemahan umum dari istilah abuse, sekalipun sesungguhnya keduanya berbeda. Menyakiti (inflicting pain) memang tidak sama dengan abuse secara harfiah, tetapi yang lebih utama adalah bahwa tindakan abusive menimbulkan rasa sakit. Banyak orang tua tidak terlalu menyadari apa yang dimaksud dengan tindakan abuse itu sendiri. Namun akibat
Monty P. Satiadarma, Persepsi Orang Tua Dalam Membentuk Perilaku Anak (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2001), hal. 124
17

29

perlakuan mereka sendiri, mereka kemudian terkejut ketika menemukan fakta bahwa anaknya terganggu fisik maupun psikisnya. Sehingga perlakuan mereka terhadap anak yang pada mulanya mereka anggap akan membawa perkembangan anak ke arah perbaikan, malah terjadi yang sebaliknya. Secara umum pengertian abuse dalam konteks umum mengandung pengertian : menyakiti orang lain, menyakiti diri sendiri, mengabaikan kebutuhan bantuan, menggunakan suatu fasilitas secara tidak layak, tidak pada tempatnya. Dan dilakukan secara berlebihan. Pengertian menyakiti orang lain kiranya cukup jelas. Jika orang tua memukul anak, atau melakukan perlakuan fisik disertai kekerasan, anak akan merasa sakit, keadaan ini meliputi hukuman fisik sampai dengan perlakuan seksual terhadap anak. Disamping aspek fisik, terkait pula aspek verbal, penggunaan kata-kata umpatan, cacian, atau menyumpahi anak merupakan tindakan yang tergolong abusive. Pengertian menyakiti diri sendiri misalnya, terjadi pada kasus-kasus ketergantungan obat sampai pada kasus bunuh diri. Hal ini terkait erat dengan kecenderungan merusak diri sendiri, karena merasa tidak diperhatikan oleh lingkungannya. Anak-anak yang merasa kurang diperhatikan oleh orang tuanya ada yang kemudian melakukan hal-hal yang bersifat menyakiti diri sendiri agar memperoleh perhatian dari orang tuanya. Di sanping orang tua selayaknya membantu anak-anak dalam proses perkembangannya. Orang tua selayaknya memberikan perhatian yang cukup pada anaknya termasuk didalamnya memperhatikan makanan, pakaian, serta kegiatan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Namun adakalanya orang tua mengabaikan

30

kondisi anaknya, sehingga anak mengalami kecelakaan fatal, misalnya. Hal ini kemudian juga digolongkan sebagai Child Neglect (tidak mempedulikan anak). Semua hal tesebut merupakan tindakan, yang menimbulkan perasaan sakit pada diri anak, dan rasa sakit ini cenderung akan menyertai kondisi psikis anak pada perkembangan mereka selanjutnya. Anak akan senantiasa mengingat perlakuan orang tua mereka di masa kecil, dan secara tidak disadari anak akan mengalami tekanan psikis berlebihan yang memungkinkannya mengalami gangguan emosional kelak. Dari sudut teori, psikiater Terry E. Lawson merumuskan empat macam child abuse, pertama emotional abuse, terjadi ketika orang tua atau pengasuh mengabaikan anak setelah mengetahui anaknya itu meminta perhatian. Kedua, verbal abuse, terjadi ketika orang tua atau pengasuh mengetahui anaknya meminta perhatian, tapi kemudian menyuruh anak itu untuk diam dengan melontarkan bahasa verbal yang kasar seperti, dasar cerewet, atau berhenti menagis atau kuhukum!. Ketiga, phsycal abuse, terjadi ketka orang tua atau pengasuh memukul anak, padahal ketika itu si anak sebenarnya memerlukan perhatian. Dan yang keempat, sexual abuse, berupa pencabulan, pemerkosaan, dan sebagainya. Jenis kekerasan tersebut biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama.dalam kehidupan anak. Kekerasan dalam rumah tangga (Domestic Violence) Menurut Undangundang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), pengertian KDRT adalah :

31

"Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga". Lebih lanjut didalam penjelasan pasal 1 UU PKDRT, dijelaskan yang dimaksud dengan korban adalah: "orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga". Kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak selamanya mengakibatkan perempuan sebagai korbannya, ada kalanya kaum laki-laki pun dapat menjadi korban dalam permasalahan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam perilaku tersebut yang paling sering terjadi adalah tindak kekerasan terhadap terhadap perempuan (Harkrisnowo, 2000). Dari beberapa pengertian tentang kekerasan dalam rumah tangga maka dapat di simpulkan bahwa yang di maksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang perempuan atau pihak tersubordinasi lainnya, yang dapat menimbulkan kesengsaraan ataupun penderitaan baik secara fisik maupun non fisik termasuk perampasan kemerddekaan secara sewenangwenang dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan menurut menteri Negara pemberdayaan wanita mengatakan KDRT adalah singkatan dari kekerasan dalam rumah tangga yaitu tindakan yang mengakibatkan suatu penderitaan-penderitaan dan kesengsaraan baik secara psikologis, fisik, dan seksual termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan dan

32

perampasan kemerdekaan dengan sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum dan di dalam lingkungan pribadi.18 Syafiq Hasyim dalam bukunya menakar harga perempuan mengatakan KDRT (Domestic Violence) adalah suatu bentuk penganiayaan (abuse) baik secara fisik maupun emosional, psikologis yang merupakan suatu pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga.19 Yang biasanya mempunyai mempunyai ciri antara lain: dilakukan di dalam rumah, dibalik pintu tertutup dengan kekerasan/penyiksaan fisik maupun psikis oleh orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban (suami). Biasanya pelaku kekerasan mempunyai status dan kekuasaan yang lebih besar baik dari segi ekonomi, kekuatan fisik maupun status sosial dan keluarga. Dari pengertian-pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan pendaritaan-penderitaan dan kesengsaraan baik dari segi fisik, psikis, dan seksual yang dilakukan secara paksa oleh individu terhadap hubungan rumah tangga atau hubungan yang intim (karib). 2. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan suami terhadap istri Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa pada siapa saja, termasuk ibu, bapak, istri, suami, anak atau pembantu rumah tangga. Akan tetapi kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah istri. Sebagaimana

18. Cahyati Takariawan, Pernak-Pernik Dalam Rumah Tangga, (Solo: Inter Media, 2006). hal. 28-29 19. Syafiq Hasyim, Menakar Harga Perempuan, hal 209.

33

yang di ungkapkan Gelles dan Cornell hamper semua kasus kekerasan domestic di alami perempuan, terbukti lewat luka-laka yang di derita oleh para istri.20 Secara fisik perempuan dan anak memang lebih lemah jika dibanding dengan laki-laki, stereotype masyarakat bahwa perempuan adalah lemah tersebut sering dimanfaatkan laki-laki untuk melakukan diskriminasi terhadap perempuan, seoalah-olah perempuan merupakan manusia kelas dua. Kekuatan fisik laki-laki sering dipergunakan sebagi lambang supremasi yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak yang lebih lemah. Disamping karena kekuatan fisik, kekerasan juga muncul karena kekuasaan yang diabsahkan secara hukum dalam pengertian yang luas. Kekuasaan dalam berbagai wilayahnya, kecil maupun besar selain memiliki hak untuk mengatur, bertanggung jawab, dan melindungi kemaslahatan (kepentingan), komunitas kekuasaannya, juga memiliki otoritas untuk

menggunakan kekuatan dan kekerasan terhadap warga yang berada di bawah kekuasaannya dari kepentingan umum. Secara sederhana faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap istri dapat di rumuskan menjadi dua faktor: pertama faktor eksternal, kedua faktor internal. -Faktor Eksternal Penyebeb eksternal timbulanya tindak kekerasan terhadap istri berkaitan dengan hubungan kekuasaan suami istri dan diskriminasi gender dikalangan masyarakat. Kekuasan merupakan kata serapan dari kata potene bermakna saya
20 Shaleh Shadami, Konflik Suami Istri, Jakarta: Rineka Cipta, 2003). hal. 112

34

dapat yang secara esensi berarti menguasai, saya dapat melakukan sesuatu untuk mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan dalam perkawinan diekspresikan dalam dua area, kelompok. Pertama, dalam hal pengambilan keputusan dan control atau pengaruh. Kelompok kedua yang ada dibelakang layar seperti ketegangan konflik dan penganiayaan. -Faktor Internal Faktor internal timbulanya kekerasan terhadap perempuan adalah kondisi pesikis dan kepribadian suami sebagai perilaku tindakan kekerasan. R. Langlai dan Levy mengatakan bahwa timbulanya kekerasan suami terhadap istri dikarenakan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Sakit mental Pecandu alkohol dan obat bius Penerimaan masyarakat terhadap kekerasan Kurangnya komunikasi Penyelewengan seks Citra diri yang rendah Frustasi Perubahan situasi dan kondisi Kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah.21 Dari kedua faktor diatas, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapan beberapa faktor yang menyebebkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, yaitu:
21.Istiadah, Rumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Solidaritas Perempuan, 1999). hal. 4

35

1. Faktor bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. 2. Masyarakat masih membesarkan anak laki-laki dengan didikan yang bertumpukan kepada kekuatan fisik, yaitu untuk menumbuhkan keyakinan bahwa mereka harus kuat dan berani serta tidak toleran.22 3. Persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tanggga yang dianggap harus ditutup karena termasuk wilayah prifat suami istri dan bukan sebagai masalah sosial. 4. Budaya yang mengkondisikan perempuan atau istri tergantung kepada laki-laki atau kepada suami, khususnya secara ekonomi. 5. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang perhormatan kepada posisi suami, tentang aturan mendidik istri, dan tentnag ajaran kepatuhan istri kepada suami. 6. Kondisi kepribadian dan pesikologis suami yang tidak stabil dan tidak benar. 7. Budaya patrikati budaya ini menyakini bahwa laki-laki adalah superior dna perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. 8. Sistem legal kita yang tidak mempunyai kekuatan khusus guna menekan perilaku kekerasan dalam rumah tangga agar menghentikan perbuatan sekaligus memberikan perlindungan.

22. Farsha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Jakarta: The Asian Fundation, 1999). hal. 20-22

36

9. Pengaruh role model, anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang ayahnya suka memukul atau kasar kepada ibunya, cenderung akan meniru pola-pola tersebut kepada pasangannya, karena secara kultural hal tersebut diperbolehkan bagi laki-laki.23 Disamping itu ada beberapa faktor yang menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga dalam beberapa kasus terjadi secara berlarut-larut disebabkan karena istri sebagai korban tidak melakukan upaya apa-apa (pasif) untuk keluar dari kondisi ini antara lain karena: a. Takut pembalasan suami, banyak istri diancam dengan penganiayaan yang lebih kejam, bahkan pembunuhan, jika mereka berupaya meninggalkan rumah. b. Tidak ada tempat berlindung, banyak isri bergantung secara ekonomi kepada suami. Sehingga tidak ada piliha lain kecuali mencoba bertahan dalam derita yang berkepanjangan. c. Takut dicerca masyarakat, banyak perempuan takut dicap sebagai perempuan yang tidak baik karena diketahui sebagai korban kekerasan akibat didera suami, sebagian tidak siap sebagai dengan setatus sosial sebagai janda, karena masyarakat menggangap rendah. d. Rasa percaya diri yang rendah akibat penganiayaan baik secara jasmani, rohani maupaun seksual, istri merasa tidak berarti dan tidak percaya mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah.

23. Jurnal Ulummuna, Volume 5 No: 2, 2002 (STAIN Mataram). hal. 8

37

e. Untuk kepentingan anak, istri khawatir anak-anaknya akan mengalami penderitaan yang lebih buruk,jika berpisah dengan ayah mereka. f. Sebagai istri tetap mencintai suami mereka, mereka mendambakan berhentinya kekerasan bukan putusnya perkawinan, mereka berharap suaminya berubah menjadi baik kembali. g. Mempertahankan perkawinan, banyak istri yang percaya bahwa perkawinan itu sesuatu yang luhur dan perceraian adalah sesuatu yang buruk sehingga harus dihindari. Mereka beraggapan lebih baik tetap menderita dalam perkawinan daripada bercerai karena tabu atau dilarang oleh agama.24 Salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga, ialah adanya dominasi pihak kuat terhadap yang lemah, bila dilihat secara konteks, jelas yang sering menjadi korban adalah, perempuan (istri), dan anak-anak. Menurut analisis gender, tujuan perkawinan akan tercapai jika didalam keluarga tersebut dibangun atas dasar berkesetaraan dan berkeadailan gender. Kesetaraan dan keadailan gender merupakan kondisi dinamis, dimana lakilaki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati, menghargai, dengan Bantumembantu di berbagai sektor kehidupan. Untuk mengetahui apakah laki-laki dan perempauan dalam keluarga telah setara dan berkeadilan, dapat dilihat pada hal-hal berikut :

Henny Wiludjeng, Peran Gender Terhadap Dalam Keluarga, (Jakarta: LBH APIK, 2005).hal. 88

24

38

a.

Seberapa besar partisipasi aktif perempuan baik dalam, perumusan dalam pelaksanaan segala kegiatan keluarga baik dalam wilayah domestik maupun publik.

b.

Seberapa besar manfaat yang diperoleh perempuan dari hasil pelaksanaan berbagai kegiatan. Baik sebagai pelaku maupun sebagai pemanfaat dan pengikat hasilnya, khususnya dalam relasi keluarga.

c.

Seberapa besar akses dan kontrol serta penguasaan perempuan dalam bernagai sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang menjadi aset keluarga, seperti hak waris, hak memperoleh pendidikan, dan pengetahuan, jaminan kesehatan, hak-hak reproduksi dan sebagainya.

Menyadari pentingnya relasi gender dalam upaya meningkatkan keadilan gender, dewasa ini fokus penanganannya tidak hanya melibatkan perempuan (istri), tetapi lebih ditujukan, krapada keduanya (suami-istri) yang kemudian dikenal dengan istilah relasi gender. Dari relasi yang berkeadilan gender, muncul peran-peran komunitas antara keduanya, yang dapat dilakukan sepanjang tidak melampaui kodrat keduanya baik peran domestik maupun publik. Misalnya, merawat dan mendidik anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mencarai nafkah, pengambilan keputusan dan lain sebagainya.

39

Mansour Fakih (1997), dalam bukunya analisis gender dan transformasi sosial, menegaskan bahwa ketidakadilan gender dapat mengakibatkan : marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja. Kekerasan dalam rumah tangga (domestik violence), pelakunya misalnya, suami terhadap istri, orang tua terhadap anak, kakak terhadap adik (sebaliknya), dan majikan terhadap pembantu rumah tangga. Data ststistik yang lengkap mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang terjadi di seluruh Indonesia tidak tersedia, sedikitnya ada tiga alasan yang saling berkaitan. Untuk menjawab mengenai kekosongan data tersebut, yakni sebagai berikut : a. KDRT, sejauh ini tidak dikenal sebagai kejahatan dalam masyarakat meskipun terjadi disejumlah tempat seperti dalam bentuk perkosaan, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap anak, incest, pemasungan, pembunuhan, dan bentuk kekerasan lainnya. Persepsi yang berkembang di masyarakat selama ini menganggap maslah KDRT sebagai urusan pribadi (personal), karena itu pihak-pihak lain (pihak luar termasuk aparat penegak hukum atau polisi), tidak sepatutnya atau tidak boleh ikut campur didalamnya (intevensi). b. Kebanyakan korban tidak bisa berbicara secara terbuka mengenai kasus yang dialaminya dalam keluarga. Hal ini bisa dimengerti karena selama ini kasus-kasus tersebut tidak dianggap atau diremehkan oleh masyarakat sekitarnya. Para tetangga atau saksi

40

lainnya, biasanya tidak serta-merta membantu korban. Korbanlah yang banyak menaggung kerugian seperti biaya pengobatan untuk pemulihan, mencari perlindungan diri, atau menanggung aib. c. Kekeliruan dalam memahami antara mitos dengan fakta KDRT dimasyarakat. Menurut mitos yang berkembang di masyarakat, KDRT sering dicarikan alasan yang menyudutkan perempuan. Misalnya, istri dipukul karena membantah suami dan melakukan kesalahan besar. 3. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dilihat dari bentuknya KDRT (domestic violence) terdiri dari empat macam yang meliputi: 1. Kekerasan ekonomi yaitu, perbuatan yang membatasi si istri untuk bekerja didalam atau diluar rumah yang menghasilkan uang atau barang dan membiarkan si istri bekerja untuk dieksploitasi atau melantarkan anggota keluarga, dalam arti tidak memenuhi ekonomi keluarga, memakai uang yang menjadi hak istri, menggunakan uang untuk judi dan merampas harta warisan istri. 2. Kekerasan fisik yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cidera, luka atau cacat pada tubuh seseorang atau menyebabkan kematian bentuknya memukul, menampar, menjambak, menendang, menyudutkan rokok, dan lainlain. 3. Kekerasan psikologis atau psikis yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang menyebabkan hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

41

bertindak, rasa tidak berdaya, serta rasa ketakutan pada istri. Bentuknya berupa celaan terhadap istri, pelecehan, memaki istri mengisolasi, mengintimidasi, atau tindakan-tindakan lain yang menyakitkan hati serta perasaan. Dampak dari kekerasan pesikologis ini adalah perasaan terancam, tidak aman, tidak terlindungi, perasan khawatir, cemas dan takut. Pada tahapan lebih lanjut bisa berkembag menjadi trauma yang menghalangi dan menghambat aktifitas keseharian. 4. Kekerasan seksual yaitu, tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksula, memaksa istri baik secara fisik untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan dan disaat istri tidak menghendaki melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai istri, maupun menjauhkan atau tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.25 Menurut undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rmah Tangga Nomor 23 tahun 2004, bentuk-bentuk KDRT meliputi: 1. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.26 2. Kekerasan psikis adalah hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atu penderitaan psikis berat pada seseorang.27 3. Kekerasan seksual adalah:

26 27

Undang-Undang KDRT Nomor 23 tahun 2004 pasal 6 Ibid, pasal 7

42

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (Pasal 8) b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang yang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan konersial dan atau tujuan tertentu (Pasal 8). 4. Penelantaran Rumah tangga: a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (Pasal 8) b. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atu melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. (Pasal 9) 4. Hak Korban Kekerasan Didalam Undang-undang Kekerasan Dalamn Rumah Tangga Pasal 10, Korban kekerasan berhak mendapatkan: i.Perlindungan dari pihak keluarga, kejaksaan, Pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan. ii.Pelayanan kesehatan sesuai dengan dari pengadilan. iii.Penanganan secara khusus dengan kebutuhan medis.

43

iv.Pendampingan oleh pekerja osial dan bantuan hokum pada setiap tingkat proses pemeeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. v.Pelayanan bimbingan rohani. 5. Perlindungan Korban Kasus Kekerasan Perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga tertulis dalam pasal 16-38 UU PKDRT. Ringkasan pasal 16-38 UU PKDRT mengenai perlindunagn terhadap korban yaitu sebagai berikut: a. Perlindungan sementara diberikan oleh kepolisian dalam waktu 1 X 24 jam sejak kasusnya diketahui atau dilaporkan (pasal 16 ayat 1). Perlindungan semetara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani (pasal 16 ayat 2), b. Permohonan untuk memperoleh surat printah perlindungan ini dapat diajukan oleh: korban atau keluarga korban; teman korban; kepolisian; relawan pendamping; pimpinan rohani (pasal 29). Permohonan perintah perlindungan dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Apabila permohonan diajukan oleh selain korban, maka korban harus memberikan persetujuannya. Dalam keadaan tertentu,

permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (pasal 30 ayat 1,3, dan 4). c. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan bisa diperpanjang atas penetapan pengadilan yang diajukan tujuh hari sebelum berakhir masa berlakunya (pasal 32).

44

6. Dampak KDRT Setiap negara di dunia ini hampir mengalami permasalahan KDRT hanya saja permasalahan ini tidak mendapatkan ruang yang cukup untuk panataan secara akurat, padahal masalah KDRT ini merupakan persoalan yang sangat serius dan tidak bisa kita anggap remeh. Mengingat salah satu faktor penyebab terbesar atas kematian perempuan dikarenakan oleh kekerasan dalam rumah tangga yang biasanya pelakunya adalah suminya sendiri a. Dampak Bagi Istri Berdasarkan realita yang diseluruh dunia, istri yang menjadi korban KDRT berasal dari semua lapisan masyarakat. Data tentang para korban ini menunjukkan dengan jelas bahwa semia peempuan dari berbagai lapisan, golongan pekerja suku dan agama perlakuan kejam yang dialmi oleh para korban itu mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan, akibat penderitaan tersebut antara lain secar fisik sehingga korban mengalami patah tulan, kulit tersayat, kelainan syraf dan sebagainya. b. Dampak Bagi Anak Anak sering kali diam terpaku, ketakutan dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa mereka. Oleh sebab itu KDRT merupakan pelajaran kepada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan merupakan bagian yang wajar dalam sebuah kehidupan. Sehingga anak akan belajar untuk menghadapi persoalan dalam penyelesaiannya dengan cara kekerasan, ini merupakan sesuatu yang biasa dan wajar, padahal hal ini tidak baik untuk di aplikasikan dalam kehidupan rumah tangga Islam.

45

KDRT memberikan pelajaran kepada anak laki-laki untuk tidak menghormati perempuan .kebanyakan anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan pada akhirnya akan menjelma menjadi manusi yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50 % sampai 80 % suami yang memukul istrinya dan anakanaknya dibesarkan dalam rumah tangga yang yahnya memukul ibunya.28 B. Bimbingan Belajar. 1. Pengertian Bimbingan Belajar Bimbingan dan konseling merupakan terjemahan dari guidance dan counseling dalam bahasa inggris. Secara harfiah istilah guidance dari akar kata guide berarti: (1) mengarahkan (to direct), (2) memandu (to pilot), (3) mengelola (to manage), dan (4) menyetir (to steer). Banyak pengertian bimbingan yang dikemukakan oleh para ahli, di antaranya sebagai berikut.29 Donald G. Mortensen dan Alan M. Schmuller (1976) mengemukakan bahwa: guidance may be defined as that part of the total educational program that helps provide the personal opportunities and specialized staff services by which each individual can develop to the fullest of his abilities and capacities in terms of the democratic idea Shertzer dan Stone (1971: 40) mengartikan bimbingan sebagai: process of helping an individual to understand himself and his world (proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami diri dan lingkungannya).

28 29

FArha Cicek, ikhtiar Mengatsi Kekerasan dalam Rumah Tangga 35 Syamsu Yusuf L.N dan A. Juntika Nurihsan. 2005, Landasan Bimbingan Dan

Konseling, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya). Hal. 17

46

Sunaryo Kartadinata (1998: 3) mengartikan sebagai proses membantu individu untuk mencapai perkembangan optimal. Sementara Rochman Natawidjaja (1987: 37) mengartikan bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan kehidupan pada umumnya. Dengan demikian dia akan dapat menikmati kebahagiaan hidupnya, dan dapat memberi sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat pada umumnya. Bimbingan membantu individu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial. Dari definisi di atas dapat diangkat makna sebagai berikut. a. Bimbingan merupakan suatu proses, yang berkesinambungan, bukan kegiatan yang seketika atau kebetulan. Bimbingan merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang sistematis dan berencana yang terarah kepada pencapaian tujuan. b. Bimbingan merupakan helping, yang identik dengan aiding, assisting, atau availing, yang berarti bantuan atau pertolongan. Makna bantuan dalam bimbingan menunjukkan bahwa yang aktif dalam mengembangkan diri, mengatasi masalah, atau mengambil keputusan adalah individu atau Anak sendiri. Dalam proses bimbingan, pembimbing tidak memaksakan kehendaknya sendiri, tetapi berperan sebagai fasilitator. Istilah bantuan dalam bimbingan dapat juga dimaknai sebagai upaya untuk (a) menciptakan lingkungan (fisik, psikis, sosial,

47

dan spiritual) yang kondusif bagi perkembangan siswa, (b) memberikan dorongan dan semangat, (c) mengembangkan keberanian bertindak dan bertanggung jawab, dan (4) mengembangkan kemampuan untuk memperbaiki dan mengubah perilakunya sendiri. c. Individu yang dibantu adalah individu yang sedang berkembang dengan segala keunikannya. Bantuan dalam bimbingan diberikan dengan pertimbngan keragaman dan keunikan individu. Tidak ada teknik pemberian bantuan yang berlaku umum bagi setiap individu. Teknik bantuan seyogyanya disesuaikan dengan pengalaman, kebutuhan, dan masalah individu. Untuk membimbing

individu diperlukan pemahaman yang komprehensif tentang karakteristik, kebutuhan, atau masalah individu. d. Tujuan bimbingan adalah perkembangan optimal, yaitu perkembangan yang sesuai dengan potensi dan sistem nilai tentang kehidupan yang baik dan benar. Perkembangan optimal bukanlah semata-mata pencapaian tingkat kemampuan intelektual yang tinggi, yang ditandai dengan penguasaan pengetahuan dan ketrampilan, melainkan suatu kondisi dinamik, di mana individu (1) mampu mengenal dan memahami diri; (2) berani menerima kenyataan diri secara obyrktif; (3) mengarahkan diri sesuai dengan kemampuan, kesempatan, dan sistem nilai; dan (4) melakukan pilihan dan mengambil keputusan atas tanggung jawab sendiri. Dikatakan sebagai kondisi dinamik, karena kemampuan yang disebutkan diatas akan berkembang terus dan hal ini terjadi karena individu berada di dalam lingkungan yang terus berubah dan berkembang.

48

2. Tujuan Bimbingan Belajar. Tujuan pemberian layanan bimbingan ialah agar individu dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir, serta

kehidupannya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat, serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat maupun lingkungan kerja. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugastugas perkembangannya, (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada dilingkungannya, (3) mengenal dan menetukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitankesulitan sendiri (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan dan tuntutan dari lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatannya yang dimilikinya secara tapat dan teratur secara optimal. Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu Anak agar dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir. Tetapi dalam skripsi ini hanya ditekankan pada efektivitas atau kelancaran bimbingan belajar yang dilakukan oleh orang tua (di dalam keluarga) terhadap anaknya, yang dalam hal ini dikaitkan dengan adanya kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik

49

ataupun suasana keluarga yang penuh dengan kekerasan (ketidakharmonisan), keadaan atau situasi semacam itulah yang akan menganggu konsentrasi belajar anak didik (belajar sendiri atau dibimbing oleh orang tua), yang tidak menutup kemungkinan juga akan mempengaruhi perkembangan mental anak dikemudian hari. a. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadisosial individu adalah sebagai berikut. 1. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya. 2. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing. 3. memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenagkan (anugrah) dan yang tidak menyenagkan (musibah), serta mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut. 4. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara obyektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik dan psikis. 5. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain. 6. Memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat. 7. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya.

50

8. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya. 9. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau

silahturahmi, dengan sesama manusia. 10. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik yang bersifat internal (dalam diri sendiri), maupun dengan orang lain. 11. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif. b. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah sebagai berikut. 1. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan. 2. Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat. 3. Memiliki ketrampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti ketrampilan membaca buku, menggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri mengahadapi ujian. 4. Memiliki ketrampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas. 5. Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk mengahadapi ujian.

51

c. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah sebagai berikut. 1. Memiliki pemahaman diri (kemampuan dan minat) yang terkait dengan pekerjaan. 2. Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama. 3. Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan), yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja. 4. Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yautu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi. 5. Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. apabila seorang siswa bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut. 6. Mengenal ketrampilan, kemampuan dan minat. keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki. oleh karena itu, setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang pekerjaan apa dia mampu dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut.

52

3. Fungsi Bimbingan Belajar. a. Pemahaman, yaitu membantu Anak (siswa) agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahanan ini, individu diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif. b. Preventif, yaitu upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh Anak. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada siswa tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah layanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para siswa dalam mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, di antaranya: bahayanya minuman keras, merokok,

penyalahgunaan obat-obatan terlarang, drop out, dan pergaulan bebas (free sex). c. Pengembangan, yaitu konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan siswa. Konselor dan personel sekolah lainnya bekerja sama merumuskan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membntu siswa mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan di sini adalah layanan informasi, tutorial, diskusi kelompok, atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.

53

d. Perbaikan (penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling dan remedical teaching. e. Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciriciri kepribadian lainya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerjasama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan. f. Adaptasi, yaitu, fungsi membantu para pelaksana pendidikan khususnya konselor, guru, atau dosen, untuk mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan individu (siswa). Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai individu.

Pembimbing/konselor dapat membantu para guru/dosen dalam memperlakukan individu secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi perkuliahan, memilih metode dan proses perkuliahan, maupun mengadaptasikan bahan perkuliahan sesuai dengan kemampuan dan kecepatan individu. g. Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu (siswa) agar dapat menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah, atau norma agama.

54

4. Prinsip Bimbingan belajar. Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fondasi atau landasan bagi layanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian layanan bantuan atau bimbingan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut. a. Bimbingan diperuntukkan bagi semua individu (guidance is for all individuals). Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua individu atau Anak, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan diri pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual). b. Bimbingan bersifat individualisasi. Setiap individu bersifat unik (berbeda satu dengan lainnya), dan melalui bimbingan individu dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikan tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah individu, meskipun layanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok. c. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada individu yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan

55

merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang. d. Bimbingan merupakan usaha bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala sekolah. Mereka sebagai tamwork terlibat dalam proses bimbingan. e. Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensisal dalam bimbingan Bimbingan diarahkan untuk membantu individu agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasehat kepada individu. Yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan individu diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi incividu untk mempertimbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputsan yang tepat. Jones et.al. (1970) berpendapat bahwa kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan individu untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan. f. Bimbingan berlangsung dalam berbagai setting (adegan) kehidupan. Pemberian layanan bimbingan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di dalam lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga

pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang layanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

56

Peters dan farwell mencatat 18 prinsip khusus bimbingan di lingkungan sekolah yaitu sebagai berikut. c. Bimbingan ditujukan bagi semua siswa. d. Bimbingan membantu perkembangan siswa ke arah kematangan. e. Bimbingan merupakan proses layanan bantuan kepada siswa yang berkelanjutan dan terintegrsai. f. Bimbingan menekankan berkembangnya potensi siswa secara maksimum. g. Guru merupakan co-fungsionaris dalam proses bimbingan. h. Konselor merupakan co-fungsionaris utama dalam proses bimbingan. i. administrtator merupakan co-fungsionaris yang mendukung kelancaran proses bimbingan. j. Bimbingan bertanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran siswa akan lingkungan (dunia di luar dirinya) dan mempelajari secara efektif. k. Untuk mengimplementasikan berbagai konsep bimbingan diperlukan program bimbingan yang terorganisasi dengan melibatkan pihak administrator, guru, dan konselor. l. Bimbingan perkembangan membantu siswa untuk mengenal, memahami, menerima, dan mengembangkan dirinya sendiri. m. Bimbingan perkembangan berorientasi kepada tujuan. n. Bimbingan perkembangan menekankan kepada pengambilan keputusan. o. Bimbingan perkembangan berorientasi masa depan. p. Bimbingan perkembangan melakukan penilaian secara periodic terhadap perkembangan siswa sebagai seorang pribadi yang utuh.

57

q. Bimbingan perkembangan cenderung membantu perkembangan siswa secara langsung. r. Bimbingan perkembangan difokuskan kepada individu dalam kaitannya dengan perubahan kehidupan sosial budaya yang terjadi. s. Bimbingan perkembangan difokuskan kepada pengembangan kekuatan pribadi. t. Bimbingan perkembangan difokuskan kepada proses pemberian dorongan. Senada dengan prinsip-prinsip diatas, Biasco (Syamsu, 1998: 10) mengidentifikasi lima prinsip bimbingan, yaitu sebagai berikut. 1. Bimbingan, baik sebagai konsep maupun proses merupakan bagian integral program pendidikan di sekolah. Oleh karena itu bimbingan dirancang untuk melayani semua siswa, bukan hanya anak yang berbakat atau yang mempunyai masalah. 2. Program bimbingan akan berlangsung dengan efektif apabila ada upaya kerja sama antarpersonel sekolah, juga dibantu oleh personel dari luar sekolah, seperti orang tua siswa, atau para spesialis. 3. Layanan bimbingan didasarkan kepada asumsi bahwa individu memiliki peluang yang lebih baik untuk berkembang melalui pemberian bantuan yang terencana. 4. Bimbingan berasumsi bahwa individu, termasuk anak-anak memiliki hak untuk menentukan sendiri dalam melakukan pilihan. Pengalaman dalam melakukan pilihan sendiri tersebut memiliki kontribusi kepada perkembangan rasa tanggung jawabnya.

58

5.

Bimbingan ditujukan kepada perkembanagan pribadi setiap siswa, baik yang menyangkut aspek akademik, sosial, pribadi, maupun vokasional.

C. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Proses Kegiatan Belajar Anak. Untuk memelihara keutuhan atau keharmonisan keluarga memang tidaklah mudah, karena banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal (dalam keluarga itu sendiri), maupun faktor eksternal. Ketidaksiapan atau

ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan atau menghadapi faktor-faktor tersebut akan menjerumuskannya ke lembah keretakan (broken home) atau ketidakberfungsian keluarga.30 Faktor internal terkait dengan sikap dan perlakuan orang tua, atau keberfungsian keluarga. Sehubungan dengan hal itu, Djawal Dahlan (1989) mengemukakan bahwa termanifestasikannya rasa cinta dalam tingkah laku setiap anggota keluarga ang tanpa pamrih akan dirasakan anak didik sebagai contoh atau teladan dari orang tuanya yang memberi arti bagi kehidupan pribadi anak yang mandiri. Keluarga seperti ini akan memperlihatkan pamornya sehingga anak akan merasa aman hidup bersama orangtuanya yang berwibawa. Kekerasan adalah sebuah keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi keberadaan anak yang memiliki posisi paling lemah dan tidak berdaya terutama dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Terlebih jika dikaitkan dengan kebutuhan belajar anak. Skinner, seperti yang dikutip Barlow (1985) dalam

30

Ibid.,hal. 121

59

bukunya Educational Psychologi: The Teaching-Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif. Pendapat ini diungkapkan dalam pernyataan ringkasnya a Process of progressive behavior adaptation. Berdasarkan

eksperimennya, B.F. Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer). Skinner, seperti juga Pavlov dan Guthrie, adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses conditioning yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara stimulus (rangsangan), dengan respons. Dari uraian tersebut diatas, sangat jelas bahwa proses kegiatan belajar anak, khusunya dalam lingkungan keluarga, disamping perhatian dan bimbingan dari orang tua, Susana yang tenang, dan kondisi ang mendukung mutlak dibutuhkan, (termasuk kekerasan dan suasana yang menimbulkan kekerasan). Adanya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, ada beberapa alasan kecenderungan orang melakukan kekerasan secara berkelanjutan antara lain : 1. Budaya patriarki 2. Stereotip negatif 3. Interprestasi agama bias gender 4. Tumpang tindih dengan legitimasi budaya31

Mufidah, C.h, Haruskah Perempuan Dan Anak Dikorbankan? (Malang:PSG Publishing dan Pilar Media 2006), hal. 8

31

60

Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, sering yang menjadi korban adalah perempuan dan anak. Kekerasan terhadap anak juga menjadi masalah yang serius. Anak merupakan makhluk ciptaan Allah yang wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak anak dalam berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus dihapus tanpa kecuali, termasuk kekerasan yang ditimbulkan oleh adanya ketidakharmonisan dalam rumah tangga seperti pertengkaran orang tua yang acap kali memberikan suguhan kekerasan. (suami memukul istri), dimana kondisi seperti itu akan mengganggu jiwa perkembangan anak, terlebih jika diakitkan dengan proses kegiatan belajar anak. Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dalam hal ini, ada kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik, seperti dipukul ayah, dimarahi ibu dengan kata-kata kasar, atau kekerasan yang diakibatkan oleh adanya pertengkaran orang tua (suami memukul istri di depan anak-anak) dimana situasi tersebut akan mempengaruhi anak dalam proses kegiatan belajarnya dirumah. Baik dalam hal ini anak mendapat bantuan bimbingan belajar dari orang tuanya atau belajar dengan sendiri/autodidak, kalau kekerasan, baik yang langsung dialami oleh anak atau suasana kekerasan masih menyelimuti dalam keluarga tersebut, maka dapat dipastiakan anak akan mengalami berbagai macam kesulitan. Di bawah ini akan diuraikan beberapa dampak dari adanya kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak, diantaranya.

61

1. Dampak kekerasan dalam rumah tangga yang berhubungan dengan akademik (proses kegiatan belajar anak). 2. Dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap fisik anak. 3. Dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap psikis anak. 4. Dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap proses sosialisasi anak, (hubungan sosial bermasyarakat). 1. Dampak kekerasan dalam rumah tangga yang berhubungan dengan akademik (proses kegiatan belajar anak). Keberhasilan belajar juga sangat dipengaruhii oleh faktor-faktor di luar diri siswa, baik faktor fisik maupun sosial-psikologis yang berada pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.32 Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam pendidikan, memberikan landasan dasar bagi proses kegiatan belajar pada lingkungan sekolah dan masyarakat. Faktor-faktor fisik dan sosial psikologis yang ada dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan belajar anak. Termasuk faktor fisik dalam lingkungan keluarga adalah: keadaan rumah dan ruangan tempat belajar, sarana dan prasarana belajar yang ada, suasana dalam rumah, apakah tenang atau banyak kegaduhan, termasuk dalam hal ini pertengkaran orang tua yang sering menyuguhkan kekerasan (seperti ayah memukul ibu), juga suasana lingkungan disekitar rumah (slum area).

Nana Syaodih Sukmadinata, , Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosda Karya 2005), hal. 163

3232

62

Suasana lingkungan rumah di sekitar pasar atau terminal atau tempat-tempat hiburan berbeda dengan di daerah khusus pemukiman. Suasana lingkungan rumah di lingkungan pemukiman yang padat dan kurang tertata, juga berbeda dengan pemukiman yang jarang dan tertata. Tak kalah pentingnya dengan lingkungan fisik adalah kondisi dan suasana sosial psikologis dalam keluarga. Kondisi dan suasana ini menyangkut keutuhan keluarga, iklim psikologis, iklim belajar dan hubungan antar anggota keluarga. Keluarga yang tidak utuh, baik secara structural maupun fungsional, kurang memberikan dukungan yang positif terhadap perkembangan belajar. Adanya kekerasan yang terjadi dalam keluarga secara otomatis, akan mempengaruhi kelancaran dan menganggu konsentrasi anak dalam proses kegiatan belajarnya di rumah, baik itu dengan bantuan bimbingan belajar yang diberikan oleh orang tua maupun tanpa bimbingan belajar, atau belajar dengan sendiri. Gangguan suasana belajar dan ketidakutuhan dalam keluarga akan menimbulkan

kekurangseimbangan baik dalam pelaksanaan tugas-tugas keluarga maupun dalam memikul beban-beban sosial psikologis keluarga. Hal-hal di atas akan menimbulkan efek negatif terhadap pemahaman anak tentang kekerasan dan membentuk citra dalam diri anak, melalalui kekerasan yang sering dialaminya serta pertengkaran orang tua yang sering dilihatnya kedalam pola pikir anak tentang konsep kekerasan, terlebih jika dikaitkan dengan perkembangan mental serta proses kegiatan belajar anak. Iklim psikologis berkenaan dengan suasana afektif atau perasaan yang meliputi keluarga. Iklim psikologis yang sehat akan diwarnai oleh adanya rasa

63

kasih syang, percaya mempercayai, keterbukaan, keakraban, rasa saling memiliki dan sebagainya antar anggota keluarga. Ketidakadaan ciri-ciri di atas menunjukkan iklim psikologis yang kurang sehat. Iklim psikologis yang sehat akan mendukung kelancaran dan keberhasilan belajar, sebab suasana yang demikian dapat memberikan ketenangan, kegembiraan, rasa percaya diri, dorongan untuk berprestasi dan lain-lain. Iklim belajar berkenaan dengan gairah untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan pendidikan di antara anggota keluarga. Keluarga yang memiliki banyak sumber bacaan dan anggota-anggota keluarganya gemar belajar dan membaca akan memberikan dukungan yang positif terhadap perkembangan belajar dari anak. Sebaliknya keluarga yang miskin dengan sumber bacaan dan tidak senang membaca tidak akan mendorong anakanaknya untuk senang belajar. Hubungan antar anggota keluarga juga memegang peranan penting dalam belajar. Hubungan yang akrab, dekat, penuh rasa sayangmenyayangi, saling mempercayai, saling membantu, saling tenggang rasa, saling mengerti dan sebagainya. 2. Dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap fisik anak. Disamping anak mengalami cedera dan trauma karena mengalami kekerasan fisik, seperti pemukulan, penganiayaan, penganiayaan berat yang menyebabkan jatuh sakit, bahkan kematian.33 Kekerasan yang sering dialami oleh anak dalam lingkungan keluarga akan mengakibatkan pembentukan perilaku buruk pada anak

33

Mufidah, op. cit., hlm. 18

64

sebagai fase identifikasi dalam proses sosialisasi anak, terutama dalam lingkungan keluarga. Sebagaian anak berperilaku buruk pernah menjadi korban tindakan kekerasan atau agresif, baik dari orang tua, saudara, teman, maupun pengasuhnya sehingga anak kadang-kadang meniru perbuatan tersebut. Kekerasan bisa dilakukan dalam bentuk yang bermacam-macam. Diantaranya kekerasan dapat dilakukan secara fisik maupun verbal (kata-kata). Anak korban kekerasan akan membuat anak lain menjadi korbannya, meskipun tidak selamanya anak yang berperilaku buruk merupakan korban tindak kekerasan. Kekerasan dari keluarga dapat berupa sikap orang tua merendahkan anak, mengucapkan kata-kata kasar, atau memukul anak. Atau kekerasan yang tidak langsung dialami oleh anak, akan tetapi situasi tersebut sangat mempengaruhi perkembangan mental anak. Seperti kekerasan yang ditimbulkan dari adanya pertengkaran orang tua, dimana sering kita jumpai ayah dengan sewenang-wenang memukul ibu didepan anak-anaknya. Perlakuan kasar yang setiap hari diterima dari anggota keluarga bisa memicu anak untuk berperilaku buruk karena ia mengalami tragedi yang traumatis dan ingin membalas dendam dengan masa-masa yang menyakitkan itu. 3. Dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap psikis anak. Banyak orang tua beranggapan bahwa mendisiplinkan anak adalah mendidik mereka dengan kekerasan. Namun kekerasan tidak sama dengan disiplin. Disiplin dilandasi dengan ketegasan dalam menentukan sikap dan ketaatan berperilaku

65

sesuai dengan rencana, namun ketegasan serta ketaatan tersebut tidak didasari rasa takut adanya ancaman melainkan didasari adanya kesadaran bahwa hal tersebut membawa manfaat besar bagi dirinya. Kekerasan juga mencakup ketaatan, namun ketaatan ini dilandasi perasaan takut. Karena jika seseorang berlaku tidak taat maka ia akan terkena perlakuan keras yang meyakitkan dirinya baik secara fisik, verbal, ataupun emosional34. Kekerasan belum tentu disertai kesadaran adanya manfaat suatu perilaku tertentu. Bahkan kekerasan cenderung menimbulkansikap keras pula pada individu yang diperlakukan dengan keras. Karena perilaku kekerasan itulah yang dijadikan contoh atau model perilaku yang dipelajari oleh individu yang bersangkutan. Seorang anak yang diperlakukan dengan keras oleh orang tuanya akan belajar bahwa dengan cara itulah ia jelas akan meminta orang lain untuk berperilaku, jika sikap orang tua kepadanya demikian keras. Kelak sikap keras itu pula yang akan ditirunya. Kekerasan yang sering dialami oleh si anak (baik pada laki-laki maupun permpuan). Dapat membawa akibat secara mental atau psikis yaitu anak merasa rendah diri, minder. Perilaku minder pada anak selain hal tersebut diatas, secara keseluruhan juga akan membawa beberapa akibat baik saat ini maupun saat dewasa nanti. Antara lain sebagai berikut : 1. Anak cenderung menggunakan kekerasan saat dia menjumpai masalah. Anak menjadi tidak terampil dalaam menyelesaikan masalah. Jika, ia

34

Ibid., hlm. 124

66

berkonflik dengan orang lain. Karena pengalaman yang ia dapatkan adalah jika ada masalah selalu ditangani dengan kekerasan. 2. Saat dia menjadi orang tua nanti, ada kemungkinan anak juga akan menggunakan cara kekerasan pada anaknya. Samata-mata karena saat masa kecilnya model yang dilihatnya terbatas hanya pada kekerasan. Bila ini terjadi maka kekerasan kembali terulang dan kita kembali melehirkan generasi yang terluka akibat kekerasan. 3. Kekerasan pada umumnya menimbulkan kecemasan padaanak. Hal ini kemudian dapat mempengaruhi anak, dalam berbagai hal, misalnya prestasi belajarnya. Kecemasan yang terus-menerus ternyata dapat mengurangi kemamapuan anak menagkap stimulasi dari luar karena rusaknya sel-sel di otak. 4. Kecemasan dan kondisi yang selalu mendudukkan anak dalam posisi yang salah dapat membentuk konsep dirinya yang buruk sehingga ia cenderung minder dan menarik diri dari teman-temannya. Agar anak tumbuh dengan rasa percaya diri, anak butuh merasa aman dan nyaman, hal ini dapat diperoleh bila anak diterima apa adanya dan dilimpahi kasih sayang. Bila ada permasalahan biasakan untuk mengajak anak berdiskusi. Diperlukan pula konsistensi kedua orang tua untuk mendidik anak dengan pola asuh yang sama agar anak tidak mengalami kebingungan. Selain hal tersebut diatas, dampak psikis yang diakibatkan oleh adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah sering menangis, sering melamun, tidak bisa bekerja, sulit konsentrasi, gamgguan makan, gangguan tidur, mudah lelah,

67

tidak bersamangat, takut/trauma, membenci setiap laki-laki, panic, mudah marah, resah dan gelisah, bingung, menyalahkan diri sendiri, malu, perasaan ingin bunuh diri, merasa tidak berguna, menutup diri, menarik diri dari lingkungan dan pergaulan sosial, melampiaskan dendam pada orang lain termasuk anak, melakukan usaha bunuh diri, depresi atau menjadi gila. 4.Dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap proses sosialisasi anak, (hubungan sosial bermasyarakat). Kekerasan yang tidak langusung dialami oleh anak dalam rumah tangga diantaranya kekerasan yang diakibatkan oleh adanya pertengkaran orang tua karena ketidakharmonisan dalam keluarga tersebut. Pertengkaran orang tua adalah kondisi yang tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Orang tua yang frustasi terhadap pasangan sering melampiaskan kemarahan kepada anak dengan alasan untuk mendisiplinkannya. Akibatnya, anak merasa cemas dan menganggap dunia tempat tinggalnya bukan tempat yang aman sehingga anak bertindak berlebihan agar tampil sempurna atau sebaliknya bersikap melawan dengan sikap tidak disiplin. Sebaiknya orang tua menghindari pertengkaran di depan anak, karena katakata dan perbuatan kadang-kadang dapat menimbulkan trauma yang mengerikan dalam memori sang anak sehingga menghambat perkembangannya. Anak-anak yang pemalu biasanya, mengerti bahwa tingkah lakunaya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Namun, umumnya mereka tidak bisa mengatasi perasaannya karena sering takut, curiga, segan, dan ragu-ragu. Akibatnya, mereka cenderung menghindar untuk berhubungan dengan orang lain.

68

Rasa malu dalam diri anak bisa disebabkan, antaara lain, perasaan tidak aman sebagai akibat pola-asuh yang keliru, pemberian label sebagai pemalu, dan merasa berbeda dari anak yang lain (cacat atau sebab lain). Umumnya anak-anak senang bergaul, anak-anak memerlukan kebersamaan, petunjuk, dan cinta dari orang tua atau pengasuhnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut, misalnya broken home atau ketidakhadiran orang tua dalam waktu lama, membuat anak berpaling dan mencari sendiri tempat yang dapat memenuhi kebutuhannya tersebut. Hubungan penting menjadi terputus, dan anak tidak tahu cara menagatasinya, kecuali melawan masyarakat. Anak tidak mampu menoleransi rasa sedih dan putus asa sehingga melakukan hal-hal yang melawan masyarakat atau norma untuk menutupi perasaan. Menurut ahli, rasa sedih atau depresi merupakan dasar dari berbagai permasalahan anak, dari tindakan memaki, mengamuk, sampai bolos sekolah.

69

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang dikaitkan dengan topic yang diteliti, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriftif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapt diamati, (Meleong, 2001 : 3). Pendekatan ini diarahkjan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi dalam hal ini penelitian yang dilakukan tidak mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis tetapi memandangnya sebagai suatu keutuhan, berdasarkan pada sifat dan tujuan penelitian, maka metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk memaparkan damapak yang ditimbulkan dari adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Anak, terlebih jika dikaitkan denagn proses belajarnya (bimbingan belajar). Dalam hal ini, penulis menggunakan jenis penelitian studi kasus (case study). Studi kasus adalah sebagai salah satu jenis penelitian yang termasuk sebagai peneliyian dengan pendekatan diskriftif. Contoh khas studi kasus adalah suatu penyelidikan intensif tentang seorang individu. Akan tetapi, studi kasus kadang-kadang juga digunakan untuk menyelidiki unit sosial yang kecil, seperti keluarga, klub, sekolah, atau gang anak remaja.

70

Dalam studi kasus, peneliti berusaha menyelidiki seorang individu atau suatu unit-sosial secara mendalam. Peneliti mencoba menemukan semua variable penting dalam sejarah atau perkembangan subyek tersebut. Yang ditekankan adalah pemahaman mengapa individu tersebut berbuat demikian dan bagaimana perilaku berubah, ketika individu tersebut, memberikan tanggapannya terhadap lingkungan. Hal ini memerlukan studi terperinci dalam waktu yang cukup lama, peneliti mengumpulkan data tentang keadaan subyek pada saat ini,

pengalamannya dimasa lalu, lingkungannya, dan bagaimana kaitan faktor-faktor ini satu sama lain. Sejalan dengan hal tersebut diatas, maka penulis meneliti didalam sebuah keluarga yang terletak di desa pesantren, kecamatan pesantren, kota Kediri. Dalam skripsi ini penulis ingin mengetahui lebih mendalam, bagaimana dampak atau pengaruh kekerasan yang terjadi diadalam lingkungan keluarga dimana anak tersebut berada, terhadap kelancaran proses belajar si anak didik, trlebih bila dikaitkan dengan proses penerimaan pelajaran dalam bimbingan belajar, yang dilakukan oleh orang tuanya dirumah (keluarga). Kekerasan yang dimaksudkan penulis yang terjadi dalam lingkungan keluarga, yang dapat mempengaruhi proses bimbingan belajar anak didik, bukan saja kekerasan yang sering dilakukan orang tua atau anggota keluarga lainnya kepada si anak didik, baik itu kekerasan fisik, verbal, psikis, intimidasi, intervensi, dan sosial, tetapi juga lingkunagn sosial Anak yang secara tidak langsung memberikan wacana kekerasan kepada si anak didik.

71

Seperti keluarga broken home, percekcokan, bahkan perceraian yang tidak jarang orang tua sering meluapkan emosinya didepan anak-aank (seperti ayah sering memukul istri, atau sebaliknya, ucapan-ucapan bernada provokatif dan kasar, meluapkan emosi dengan merusak atau membanting barang-barang). Hal inilah yang secara tidak langsung bisa mempengaruhi stabilitas belajar si anak (karena hal ini menyangkut kondisi lingkunagnbelajar si anak, yang seharusnya kondisi lingkunagan harus ramah dan bebas deari aroma kekerasan atau keributan). B. Fokus Penelitian Fokus penelitian pada dasarnya adalah masalah ang diperoleh melalui kepustakaan ilmiah ataupun kepustakaan yang lainnya (Moleomg, 2001 : 65). Ada dua maksid tertentu yang peneliti ingin mencapainya dalam menetapkan fokus. Prtama, penetapan fokus dapat membatasi studi, jadi dalam hal ini fokus akan membatasi bidang inkuiri. Kedua, penetapan fokus berfungsi untuk memenuhi criteria inkuiri-eksklusi atau memasukkan-mengeluarkan (inclusion-exclusion) suatu informasi yang baru diperoleh di lapangan. Dalam penelitian ini fokus dibatasi : 1. Dampak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap kelncaran dalam proses bimbingan belajar oleh orang tua kepada anak didiknya. a. Kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik (baik kekerasan fisik, psikis, verbal, sosial) b. Lingkungan sosial yangsering menampilkan suasana kekerasan :

72

2. Percekcokan dalan rumah tangga (suami memukul istri, sering marah, dan membanting barang). 3. Media (cetak atau elekrtonik) 4. Lingkungan sosial masyarakat (masyarakat kumuh, pasar, lokalisasi, kolong jembatan, gang atau kelompok preman) 2. Bimbingan belajar yang dilakukan oleh orang tua kepada anak didiknya didalam lingkungan keluarga. a. Orang tua acuh tak acuh kepada anaknya, terlebih jika dikaitkan dengan bimbingan belajar yang diberikan dalam lingkungan keluarga. b. Orang tua dsangat antusias dalam membimbing putra-putrinya untuk belajar. C. Situs Penelitian Yang dimaksud dengan situs penelitian adalah letak atau tempat peneliti mengungkapkan keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti, peneliti ini dilakukan dalam sebuah keluarga di desa Pesantren, Kecamatan Pesantren kota Kediri, tepatnya di J.l Brig. Pol. H. Imam Bachri No : pesantren, kecamatan pesantren, kota kediri. Secara umum situs pemnelitian ini didasarkan atas pertimbnagan sebagai berikut : 1. kesesuaian dengan substansi penelitian RT 14/02, keluraahan

73

2. mampu memebrikan entry, baik berupa orang, interaksi, dan sebagainya yang kaya. Ssuai dengan kebutuhan deskripsi mendalam (Stranss dalam Islamy, 1993 : 50-51) 3. desa pesantren, yang terletak di kota kediri, memiliki kultur yang unik dan representative. 4. terlepas dari subyektifitas peneliti sudah banyak mngetahui kutur di desa pesantren karena peneliti juga bertempat tinggal didaerah trsbut, hal ini dilakukan demi efisiensi dan efektivitas penelitian yang dilakukan. D. Informan Pengertian informan didini adalah menyangkut tentang sumber-sumber informasi berupa orang-orang yang bisa memperkaya dan memperpadat informasi tentang permasalahan yang menjadi pusat perhatian penelitian. Dengan demikian informasi penelitian ini mengambil beberapa orang yang dianggap representative untuk menggali informasi yang diperlukan dalam sebuah keluarga. Dalam penelitian ini menggunakan informan, ayah sebagai kepala keluarga, ibu sebagai ibu rumah tangga, anak-anak, dan beberapa tetangga, yang dianggap bisa mewakili yang sebenarnya. E. Tekhnik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah laangkah yang sngat penting dalam metode ilmiah, karena data yang dihasilkan ini diusahakan dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah yang ada. Oleh karena itu, data tersebut harus valid yaitu dengan menggunakan metode penelitian lapangan (field research). Adapun cara yang akan digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah :

74

1. interview atau wawancara dalam penelitian ini digunakan pendekatan petunjuk umum wawancara. Jenis wawncara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawncara (Patton dalam Moleong, 2002 : 136). 2. dokumentasi suatu telhnik pengumpulan data ang mengambil data dari dokumen, arsip, brosur, majalah, Koran, kliping, dan internet yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Dokumen yang didapatkan diantaranya dari internet, tentang dampak psikologis, anak korban KDRT, serta pentingnya kontribusi bimbingan belajar oleh orang tua kepada anak didiknya di lingkungan keluarga. 3.observasi Observasi atau pengamatan dilakukan didalm sebuah keluarga sebagai obyek penelitian. Dalam penelitian studi kasus, di desa pesantren, kecamatan pesantren kota kediri, tepanya di J.l Brig. Pol. H. Imam Bachri No : 121 14/02, keluraahan pesantren, kecamatan pesantren, kota kediri. F. Analisis Data Pengertian analisis data, sebagaimana diungkapkan Singarimbun dan Effendi (1989) adalah : RT

analisis data merupakan proses penyederhanaan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diimplementasikan, setelah data trsebut disajikan dalam bentuk table guna kepentingan analisis, maka selanjutnya peneliti membuat kesimpulan dari hasil penelitian secara menyeluruh berdasarkan temuan khusus dilapangan.

75

Tekhnik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis dengan menggunakan model interaktif, dalam model ini terdapat tiga komponene analisis yaitu reduksi, sajian data, penarikan kesimpulan (Miles dan Hoderman, 1992 : 20). Selanjutnya analisis dilakukan dengan memadukan (secara interaktif), ketiga komponen utama tersebut. 1. Reduksi data Data lapangan diuraikan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, kemudian dicari tema atau polanya. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama proses penelitian berlangsung. 2. Penyajian data. Penyajian data dimaksudkan untuk memudahkan bagi penelitian guna melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertntu dari penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti menyajikan data dalam bentuk uraiaan yang naratif. 3. Menarik kesimpulan atau verifikasi Peneliti berusaha untuk menggambarkan dari data yang dikumpulkan yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentative akan tetapi, dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus akan dapa ditarik kesimpulan.

76

G. Keabsahan Data Agar hasil penelitian ini benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, maka diperlukan pengecekan keabsahan temuan atau keabsahan data. Derajat kepercayaan atau kebenaran suatu penilaian akan ditentukan oleh standart yang digunakan, yang disebut keabsahan data, Moleong (2001 : 173-180), mengemukakan bahwa ada empat criteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yairu : 1. Memperpanjang keikutsertaan di lapangan Keikutsertaan peneliti dsangat menentukan dalam mengumpulkan data. Perpanjangan keikutsertaan peneliti akan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Sedangkan, penelitian ini memakan waktu kurang lebih tiga minggu. 2. Melakukan pengamatan secara intensif Ketekunan pengamatan dimaksudkan untuk mnemukan ciri-ciri dan unsureunsur dalam situasi factual dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. 3. Melakukan peer debriefing Tekhnik ini dilakukan untuk mendpatkan berbagai masukan baik berupa kritik dan saran dari rekan-rekan sejawat yang diperoleh melalui sharing pendapat dan diskusi. 4. Trianggulasi Yaitu tekhnik pemeriksaaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap

77

data itu. Menurut Denzin (Moleong, 2001 : 178) ada empat trianggulasi sebagai tekhnik pemeriksaan yaitu memanfaatkan penggunaan sumber metodde, penyidik dan teori, dalam penelitian ini tekhnik trianggulasi yang digunakan adalah mmanfatkan penggunaan sumber, metode, dan teori.

78

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum lokasi penelitian 1. Gambaran umum keadaan Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. Manusia sebagai individu merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat manusia. Sejak lahir sampai pada akhir hidupnya, manusia hidup ditengah-tengah kelompok yang merupakan kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial dan juga dalam situasi-situasi sosial yang merupakan bagian dari ruang lingkup suatu kesatuan sosial atau kelompok sosial, sudah tentu inividu tidak mampu berdiri sendiri, melainkan hidup dalam suatu antar hubungan sesama manusia, yang disebut sebagai masyarakat.35 Hal itulah yang bisa di lihat di dalam masyarakat di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. Seperti halnya masyarakat yang di bentuk di Kelurahan-Kelurahan lain, masyarakat Kelurahan Pesantren, dalam kehidupan sehari-hari menyadari adanya kenyataan bahwa manusia sebagai makhluk sosial ada kecenderunagn untuk melakukan kesalahan-kesalahan sesama manusia. Kecenderuungan yang bersifat sosial ini selalu timbul karena pada diri setiap manusia ada sesuatu saling membutuhkan. Dari lingkungan tersebut, kemudian timbullah suatu struktur antar hubungan yang beraneka ragam. Keragaman itu dalam bentuk kolektivitas- kolektivitas serta

35

Bunyamin Maftuh dan Yadi Ruyadi,Pengantar Sosiologi (Bandung: Ganeca Exact,

1996), hal. 151

79

kelompok- kelompok dan pada tiap-tiap kelompok tersebut terdiri dari kelompokkelompok yang mengadakan persekutuan dalam bentuk yang lebih besar,36 maka terbentuklah masyarakat, kelurahan pesantren yang cukup heterogen. Mengenai dipilihnya Kelurahan Pesantren yang menjadi obyek penelitian yang dalam skripsi ini, penulis menggunakan studi kasus terhadap sebuah keluarga. Penulis mempunyai alasan tersendiri, diantaranya latar belakang sosial Di Kelurahan Pesantren sudah penulis pahami sebelumnya, karena memang penulis bertempat tinggal Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri.37 Terlepas dari unsur subyektivitas, penulis berusaha melakukan penelitian secara terbuka, tanpa adanaya intervensi di dalamnya. Mengenai sebuah keluarga yang menjadi subyek pokok dalam skripsi ini (sebagai studi kasus). Penulis menganggap kasus dan problematika yang terjadi dalam keluarga terdebut, menyimpan berbagai macam fenomena unik, dan menarik untuk diteliti serta dicarikan alternatif solusi pemecahannya.karena kasus tersebut menyangkut masa depan kehidupan seorang anak (anak didik), dalam sebuah keluarga, yang setiap harinya tidak asing lagi dengan kekerasan. Penulis melalui penelitian ini, hanya ingin mengungkap dampak dari adanya kekerasan yang dialami oleh seorang anak dalam sebuah keluarga tersebut Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, terhadap kelancaran

36 37

Ibid.. Penulis beralamat Jl Mauni No:117, RT14/02 Kelurahan Pesantren.

80

dalam proses bimbingan belajar oleh orang tuanya, apakah ada kendala yang signifikan atau tidak. Hubungan antar norma, dan interaksi sosial yang ada di kelurahan pesantren, kecamatan pesantren, Kota Kediri, terjalin kuat, karena disamping kesadaran para warganya juga dukungan dari tokoh masyarakat Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. Mata pencaharian secara umum Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, adalah petani, ada juga pegawai pabrik gula, karena memang di kelurahan pesantren, ada pabrik gula (PT Pabrik Gula Pesantren Baru, Tbk), juga ada buruh, pegawai negeri sipil, guru, serta wiraswasta.38 Mayoritas masyarakat di Kelurahan Pesantren memeluk agama Islam, tetapi ada juga agama lain seperti agama Kristen, dan penganut aliran kepercayaan. Dalam hal pendidikan dan kesehatan Di Kelurahan Pesantren, sudah cukup memadai, terbukti dengan berkembangnya sarana atau fasilitas pendidikan dan kesehatan. Untuk lebih melengkapi data-data tersebut diatas dibawah ini akan diuraikan 1. Struktur organisasi Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. (lihat lampiran) 2. Program kerja Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. (lihat lampiran) 3. Visi dan misi Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. (lihat di lampiran)

38

Data diambil dari pengamatan dilakukan pada tanggal (3/07).

81

2. Profil sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. a. Keadaan Lingkungan Keluarga Secara Umum Dimana dalam hal ini, penulis akan menguraikan beberapa hal sebagai berikut : Dalam penelitian studi kasus untuk penulisan skripsi ini, penulis meneliti sebuah keluarga yang terletak Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren Kota Kediri. Tepatnya terletak di wilayah RT14/02 yaitu keluarga Bapak Djunaidi Sholich. Bapak Djunaidi Sholich dikaruniai 3 orang anak dari hasil pernikahannya dengan Ibu Nurul Hidayati. Bapak Djunaidi lahir di Kediri tepatnya tanggal 2 Juli 1971. berarti sekarang umur beliau 36 tahun. Sedangkan Ibu Nurul Hidayati lahir di Palembang, Kalimantan Barat tepatnya tanggal 21 April 1973, yang sekarang umur 33 tahun. Bapak Djunaidi lahir dari pasangan Bapak M. Solehan dan Ibu Siti Nafsiah, sedangkan Ibu Nurul lahir dari pasangan Bapak Asmungi dan Ibu Suharni. Keduanya membangun bahtera rumah tangga selama kurang lebih 20 tahun. Keluarga tersebut hidup berdampingan dengan tetangga disekitarnya, komunikasi atau hubungan interaksi sosial pun terjadi cukup erat. 39 Menurut keterangan dari beberapa tetangga dalam kesehariannya, pak Djunaidi memiliki kebiasaan yang buruk yaitu suka bertengkar dengan istrinya, tatapi intensitasnya saja yang agak jarang, entah hal itu terjadi karena kesalah

39

Data diambil dari wawancara ke responden (Bapak Djunaedi) pada tanggal

(28/07)

82

pahaman diantara mereka atau dikarenakan oleh hal-hal yang sepele, atau urusan pribadi diantara mereka.40 Kadang-kadang juga terjadi pertengkaran yang hebat diantara keduanya, sehingga tak jarang suasana yang demikian, membuat anggota keluarga yang lain, mengalami trauma, penderitaan batin, atau tekanan mental, terutama bagi anakanak mereka yang hanya bisa menonton dan bersembunyi ketika terjadi pertengkaran diantara keduanya. Sebenarnya tipe atau karakter Pak Djunaidi, tidak begitu temperamental, dalam hal hubungan sosial, beliau juga sangat akrab dengan masyarakat, hal ini terbukti dengan seringnya melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh anggota masyarakat, seperti bergotong royong, kerja bakti, dan kegiatan yang diadakan di kelurahan yang lainnya.41 Tetapi sifat ramah Pak Djunaidi tidak terlihat dalam rumah tangga beliau. Sifat emosional atau pemarah akan selalu sering menonjol. Tetapi walaupun demikian beliau tidak serta merta mengakibatkan kekerasan fisik, bagi istrinya. (jika terjadi pertengakaran). Tetapi berupa kata-kata kasar yang menyakitkan dan atau melampiaskannya dengan membanting-banting barang, seperti pintu, kursi dan lain-lain.42 Hal tersebut juga berlaku kepada anak-anaknya. Tak segan Pak Djunaedi, melarang anak-anak untuk melakukan kegiatan yang sekiranya tidak sesuai dengan keinginanya, maka anak-anak akan dimarahi. Untuk kasus dalam keluarga
Data diambil dari wawancara ke responden (Bapak Suratmono, selaku tetangga) pada tanggal (31/07) 41 Data diperoleh dari wawancara pada (Bapak Eddy, selaku tetangga), pada tanggal (31/07) 42 Data diperolrh dengan pengamatan dan wawanara pada tanggal (04/08)
40

83

tersebut, penulis hanya meneliti salah satu dari anak mereka yaitu yang bernama Pangestu Ryan Adhika, yang sekarang duduk di bangku SMP kelas 2. Penulis ingin mengetahui lebih jauh dampak yang diakibatkan dari adanya kekerasan dalam rumah tangga (keluarga) tersebut, jika dikaitkan dengan kegiatan belajar anak. Walaupun keluarga tersebut sering diwarnai pertengkaran maupun bantakanbentakan atau kekerasan fisik (ringan), kepada anak, tetapi dalam masalah kegiatan belajar, orang tua tersebut selalu mengawasinya, meskipun tidak setiap hari membibing mereka. Kadang-kadang juga anak-anak belajar sendiri. Sikap keras, tidak saja dari ayah mereka. Sang ibu pun juga sering memarahi anak-anaknya seperti misalnya anak melakukan kesalahan sedikit saja, tetapi sang ibu memarahi dengan kata-kata yang dapat membuat jiwa anak menjadi kerdil. Juga tak jarang dengan kekerasan fisik (ringan), seperti mencubit atau menjewer43. Menurut penulis, hal tersebut mungkin dikarenakan istri sering mendapat perlakuan kasar, dari suaminya dan istri merasa dalam tekananan-tekanan yang hebat. Maka anak-anak menjadi sasaran emosional sang ibu. Hal tersebut juga dengan pola-pola kekerasan. Walaupun secara fisik tidak ada dampaknya yang signifikan, tetapi hal tersebut akan mempengaruhi perkembangn anak, dalam kehidupan (masa depan) anak selanjutnya. Itulah, sekilas tentang gambaran umum yang terjadi dalam lingkungan keluarga Bapak Djunaedi. Yang telah bersedia menceritakan pengalaman atau

43

Data dipeoleh dari pengamatan dan wawancara pada tanggal (04/08).

84

gambaran kehidupannya, walaupun hal tersebut sebenarnya aib dan sudah masuk dalam wilayah privasi beliau, tetapi dengan itikad baik dan beliau sudah menyadari akan bahayanya kekerasan terhadap proses perkembangan anak, serta berharap hal tersebut dapat dijadikan sebuah pengalaman berharga atau dapat dipetik sebuah pelajaran yang terkandung hikmah yang amat besar didalamnya. Penulis mengangkat hal tersebut,. Karena memang menarik untuk ditampilkan. Mengingat dalam hal ini kebutuhan suasana dan kondisi belajar bagi anak terutama dalam lingkungan keluarga, akan sangat mnentukan. Entah itu dibimbing oleh orang tua atau tidak (belajar sendiri). Tetapi yang jelas, bahwa kekerasan yang dialami oleh anak didik, dan suasana kekerasan

(ketidakharmonisan ), keluarga akan sedikit banyak mempengaruhi anak dalam hal pendidikannya (belajar). b. Pendidikan Orang Tua Pendidikan umum terakhir dari Bapak Djunaidi adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Sedangkan pendidikan umum yang pernah dijalani oleh Ibu Nurul (sebagai istri), juga SLTA. Sebenarnya kalau dilihat dari pendidikan umum yang pernah dinikmati, serta pengalaman akademis dari Bapak Djunaidi dan istrinya termasuk telah mempunyai bekal dan potensi yang memadai, untuk bisa berkarir dan bersaing di dunia kerja. Belum lagi pendidikan ketrampilan yang pernah mereka lakukan diluar pendidikan umum (formal). Pengalaman akademis dan tingkat intelektualitas seseorang tidak selamanya linier dengan kemampuan dan ketrampilan seseorang dalam mengelola persoalan rumah tangga yang acap kali melibatkan perasaan emosional. Banyak terjadi

85

kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga diakibatkan oleh adanya permasalahan dalam lingkungan kerja suami, dimana dalam lingkungan kerja tersebut tidak adanya komunikasi yang harmonis antara atasan dan bawahan, atau juga telah terjadi kesalahpahaman antara personalia dalam kantor tempat suami bekerja. Sehingga kekecawaan dan perasaan emosional suami dilampiaskan kepada keluarga, yang didalamnya termasuk anak-anak dimana mereka tidak mengetahui dan paham tentang duduk persoalan yang dialami oleh orang tua. Hal tersebut juga sering dialami istri dalam sebuah keluarga. Perasaan amarah dan emosional karena persoalan di lingkungan kerja bisa dibawa dalam lingkungan keluarga, dan bisa dipastikan kalau dalam keluarga tersebut tidak bisa saling memahami, maka pertengakaran hebat antara suami istri tak dapat terelakkan, dan yang tetap menjadi korban adalah anak-anak mereka. Mengingat kebutuhan mereka akan ketenangan suasana begitu besar, karena menyangkut proses kegiatan belajar di rumah, yang memang membutuhkan dukungan termasuk ketenangan suasana dan bimbingan dari orang tua.44 c. Profesi Orang Tua Profesi atau pekerjaan dari Bapak Djunaidi adalah sebagai sopir. Pekerjaan hal ini sudah digelutinya sekitar hampir 10 tahun. Sebelum menjadi sopir beliau bekerja serabutan. Dalam hal ini beliau menjadadi sopir dan bekerja di Perusahaan

Analis didasarkan ulasan Yanuar Lazzuardi, dalam seminar bertajuk korelasi kekerasan dalam rumah tangga dengan lingkungan kerja dan korelasi intelektualitas dengan kemampuan mengelola emosi di gedung Bhagawanta Sasana Krida, Jl Soekarno-Hatta No:23 B, Sidoarjo (11/05/2006). Dikutip dari harian pagi Jawa Pos (12/05/2006), hal. 18

44

86

swasata angkutan umum (bus), Kawan Kita (jurusan Surabaya-Kediri). Sedangkan istri beliau menjadi seorang ibu rumah tangga, dalam kehidupan sehari-hari.45 Tugas dan pekerjaan yang diemban oleh Ibu Nurul sebagai istri sekaligus ibu dari anak-anak mereka sungguh berat. Penghasilan dari pekerjaannya, Pak Djunaidi bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Dalam hal ini termasuk mampu menyekolahkan anak-anaknya. d. Kultur Yang Dibentuk Kultur atau kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam kehidupan keluarga tersebut, seperti halnya kultur yang dibentuk yang ada dalam keluarga lain. Yaitu peran ayah masih dominan dalam kehidupan keluarga tersebut. 46 Budaya patriarki, yaitu superioritas laki-laki lebih dominan daripada perempuan, lebih terlihat dalam keluarga tersebut. Sehingga aturan-atauran atau kebijakan keluarga masih terpusat hanya pada sosok sang ayah. Dalam masalah mendidik anak-anaknya dalam hal ini termasuk memberikan perhatian dan bimbingan dalam keluarga tersebut cukup memeberikan respons positif, anak-anak mereka dibiasakan dengan pola hidup sederhana dan disiplin. e. Pendidikan Anak Pendidikan anak merupakan salah satu hal yang vital, dalam setiap keluarga. Karena memang peranan pendidikan sangat dibutuhkan bagi proses pertumbuhan dan perkembangan untuk meningkatkan potensi, minat, bakat, kemampuan serta orientasi anak47. Begitu juga pendidikan anak dalam keluarga Bapak Djunaedi.
45 46

Data diperoleh dengan wawancara pada tanggal (04/08). Data diperoleh melalui pengamatan pada ranggal (04/08).

87

Pendidikan yang sekarang ditempuh oleh anak-anak Bapak Djunaidi adalah: anak pertama lahir pada tanggal 4 januari 1994,bernama Pangestu Ryan Adhika duduk di bangku SMP kelas 2, sedangkan anak kedua, yang lahir pada tanggal 12 Juli 1998 bernama Restu Yulian Adtya Darlis duduk di bangku SD kelas 3 sedangkan anak ketiga lahir tanggal 28 Juli 2004 belum memasuki usia sekolah.48 Selain menyerahkan anak-anak dalam suatu lembaga pendidikan, kebutuhan belajar anak di rumah selalu diperhatikan dengan memberi waktu luang untuk mendampingi atau membimbing mereka. Dalam hal ini sang ibu yang sering melakukannya karena memang sudah kewajiban menjadi seoraang ibu rumah tangga yang selalu mengurusi segala keperluan rumah tangga, dalam hal ini termasuk kebutuhan pendidikan anak-anaknya (bimbingan belajar). f. Pola Pengasuhan Pola pengasuhan anak yang diterapkan dalam keluarga Bapak Djuanaedi menggunakan pola pengasuhan yang keras, dalam hal ini selain lingkungan rumah tangga yang kerap menampilkan kekerasan (pertengakaran/percekcokan) serta sikap kasar orang tua terutama ayah, kepada anak-anaknya.49 Dalam keluarga tersebut menggunakan kekerasan dengan alasan mendisiplinkan, menurut analisis penulis kekerasan juga mencakup ketaatan, namun ketatan ini dilandasi perasaan takut. Karena jika seseorang berlaku tidak taat maka ia akan terkena perlakuan
47

A. Juntika, Nurihsan, Landasan Dan Pola Pendidikan Dalam Keluarga (Bandung:

Remaja Rosda Karya, 2005), hal. 137


48

Data diperoleh dari dokumentasi (surat keterangan keluarga), dan wawancara pada

tanggal (13/08)
49

Data diperoleh dengan pengamatan dan wawancara pada tanggal (13/08).

88

keras yang menyakitkan dirinya baik secara fisik, verbal, ataupun emosional. Kekerasan belum tentu disertai kesadaran adanya manfaat suatu perilaku tertentu. Bahkan kekerasan cenderung menimbulkan sikap keras pula pada individu yang diperlakukan dengan keras. Karena perilaku kekerasan itulah yang dijadikan contoh atau model perilaku yang dipelajari oleh individu yang bersangkutan.50 g. Lingkungan Sosial Persepsi yang berkembang di masyarakat selama ini meganggap masalah KDRT, sebagai masalah pribadi dan menjadi aib jika diceritakan kepada orang lain.51 Begitu juga persepsi yang berkembang di daerah Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri. Lingkungan sosial atau keadaan masyarakat di sekitar rumah Bapak Djunadi dilihat dari hubungan dan interaksi sosialnya cukup erat. Masyarakat masih memegang nilai-nilai keberasamaan. Lingkungan sosial secara keseluruhan disekitar rumah Bapak Djunaidi, sebenarnya tidak menampakkan budaya kekerasan. 52 Kekerasan hanya mewarnai dalam lingkungan keluarga pribadi Bapak Djunaidi, itupun kekerasan yang hanya mengakibatkan tekanan psikologis. Serta asumsi dari masyarakat yang menganggap bawa kekerasan sebagai masalah
50

Analisis didasarkan pada catatan Rudi Suswadi, pada seminar bertajuk Pola

Pengasuhan Anak Dengan Pendekatan Kekerasan Dan Kecemasan, di hotel Sarita Tulungagung (22/03)
51 52

Mufidah, Ch, op.cit., hlm. 8. Data diperoleh dengan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari dari penulis (yang

bertempat tinggal didaerah tersebut).

89

pribadi, kondisi seperti itulah memperkuat bahwa, ketika terjadi kekerasan di dalam masyarakat. Maka hal tersebut menjadai hal yang biasa. Kekerasan dipandang sebagai fenomena sosial yang berada di luar dirinya, bukan menjadi masalah serius karena korban adalah perempuan yang memang lemah. B. Tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap Anak. Kekerasan yang terjadi terhadap anak juga menjadi masalah yang serius, anak merupakan makhluk ciptaan Allah SWT, yang wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, dan harga dirinya secara wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Segala bentuk perlakuan yang menganggu dan merusak hak-hak anak dalam berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi yang tak

berperikemanusiaan harus dihapuskan tanpa kecuali.53 Posisi anak dalam rumah tangga kerap berada pada posisi lemah. Dibawah kontrol orang yang memiliki wewenang dalam menentukan kehidupannya misalnya, ayah, ibu, saudara yang lebih tua atau kuat yang seharusnya memberikan kasih sayang dan mendidiknya dengan cara-cara yang bijak, tetapi kekuasaan tersebut sering disalahartikan, sehingga anak menjadi rentan mendapat kekerasan.54 Sebagaimana yang penulis amati dalam penelitian studi kasus dalam sebuah keluarga di kelurahan pesantren, kecamatan pesantren, Kota Kediri tersebut, dalam hal ini penulis harus bekerja ekstra untuk menggali keterangan kepada anak
53 54

Mufidah, Ch, op.cit., hlm.14. Gadis, Arivia, op.cit., hlm. 198.

90

(informan) sebagai korban kekerasan. Di dalam lapangan penulis agak kesulitan dalam menggali informasi, dikarenakan si anak enggan atau malu, bahkan takut, dengan perlakuan kasar yang pernah dialami dari orang tuannya kepada dirinya, yang dalam hal ini penulis kategorikan dalam dua keadaan yaitu : 1. Kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik : a. Kekerasan fisik Dari informasi yang penulis dapatkan dalam penelitian ini kekerasan fisik yang dialami oleh anak didik di dalam keluarga tersebut, tergolong kekerasan sedang, artinya kekerasan fisik yang dilakukan tidak cukup berbahaya, tetapi meiliki intensitas yang tinggi, biasanya tanpa ada alasan yang jelas, ia sering dipukul atau dijewer oleh ayahnya.55 Tetapi kadang-kadang juga oleh ibunya.tetapi kalau dalam hal kekerasan fisik ayahnyalah yang sering melakukannya, umpamanya ketika si anak, merengek meminta uang jajan, maka tak segan ayahnya sering menghardiknya dengan kasar. (memang kalau penulis amati pola pengasuhan yang terjadi di dalam keluarga ini cukup keras, entah itu dipengaruhi oleh faktor pribadi atau watak individu seorang ayah yang memang kasar dan keras, ataupun faktor-faktor lain yang mendorongnya untuk berbuat kasar, baik itu faktor ekonomi, tekanan psikis, atau himpitan masalah keluarga atau kehidupan).56 Kalau sang anak bermain agak kelewatan, umpamanya mengajak teman-teman bermain dirumah, maka tak jarang ayahnya memarahi si
55 56

Data diperoleh dengan wawancara pada responde (anak), pada tanggal (20/08) Analisis didasarkan pada catatan Hendra Waringin dalam seminar sehari bertajuk

Kekerasan Antara Mitos Dan Fakta. di Balai Deasa Mojoroto-Kediri (14/05)

91

anak di depan teman-temannya,57 mungkin karena terlalu berisik arau kegaduhan lainnya. Hal inilah rupanya menyebabkan gangguan dalam perkembangan mental si anak. Kekerasan fisik yang juga dialami anak didik adalah apabila ketika selesai belajar, si anak lalai untuk mebereskannya, maka maka ayahnya tak segan untuk melemparkan buku-bukunya tersebut kearahnya.58 Sebenarnya tujuan si ayah dalam hal ini benar, yaitu agar setiap habis belajar, si anak memiliki tanggung jawab untuk merapikannya, tetapi sikap atau cara ayah untuk menanamkan kedisiplinan tersebut yang perlu digarisbawahi. Itulah beberapa contoh kecil dari adanya kekerasan (fisik), yang dialami oleh anak didik dalam lingkungan keluarga, ketertutupan anak didik, yang dalam hal ini sebagai korban kekerasan, juga sebagai informan penelitian, membuat penulis agak sulit menerjemahkan maksud, dan bahasa yang dicerna oleh si anak. Tetapi penulis berusaha menyampaikan pesan yang ingin diungkap si anak dengan bahasa yang informasi. b. Kekerasan psikis Mencegah perilaku anak yang tak kita inginkan memang tidak mudah, ancaman atau kekerasan kelihatnnya memang menjadi cara yang paling efektif karena hasilnya nampak dengan segera. Namun, tentunya kita tidak boleh berhenti pada hasil yang segera saja, karena nyatanya kehidupan anak masih snagat panjang.59

57 58

Data diperoleh melalui wawancara pada responden (anak), pada tanggal (20/08) Data diperolrh melalui wawancara pada responden (anak), pada tanggal (20/08) 59 Elga, Andriana, op.cit., hlm. 142.

92

Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis memperoleh keterangan bahwa, kekerasan yang sering ia alami di dalam lingkungan keluarga, membuatnya sering malu, atau rendah diri dan merasa minder. Selain hal tersebut diatas, pola pengasuhan yang keras membuat anak merasa tidak memiliki kebebasan, dan seakan-akan orang tua telah merampas fase atau masa pertumbuhan dan perkembangan psikis si anak. Lebih lanjut penulis mengamati informan, sebagai obyek penelitian, dalam hal ini adalah anak didik dalam lingkungan keluarga yang sering mendapatkan tekanan psikis dan kekerasan, akan mempengaruhi mental si anak didik.60 Kekerasan yang sering ia alami itu akan terekam lama (long term memory), yang akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak, seperti haga diri rendah, dan akan dibawa ketika anak sudah beranjak dewasa. Anak akan memiliki perasan depresi, juga bisa menderita akibat gangguan stress pasca trauma, kecemasan, kapasitas berbicara menurun, begitu juga kemampuan kognitif dan psikomotorik-nya terganggu, terbukti bila anak sedang belajar dengan dibimbing oleh ibunya, maka ia akan merasa sulit untuk menerima materi pelajaran, karaena kekerasan yang ia alami terekam dengan jelas dalam psikisnya, sehingga akan mengaggu ketenangan dan konsentrasinya dalam belajar61 (sendiri atau dibimbing). Menurut analisis penulis, kekerasan yang sering dialami oleh anak, akan menghambat proses psikis dan sosial anak. Dalam halini, kekerasan yang diterima
60

Analisi penulis didasarkan pendapat Imran Razak, tentang keadaan psikis anak

ketika mendapatkan tekanan (kekerasan). (Jawa Pos 04/03/2006)


61

Anne Marie, Albana, op.cit., hlm.61.

93

akan membuat anak menjadi minder dalam interaksi sosialnya (baik pada anak laki-laki maupun perempuan). Dapat membawa beberapa akibat baik saat ini maupun saat dewasa nanti. Antara lain sebagai berikut : 1. Anak cenderung menggunakan kekerasan saat dia menjumpai masalah. Anak menjadi tidak terampil dalaam menyelesaikan masalah. Jika, ia berkonflik dengan orang lain. Karena pengalaman yang ia dapatkan adalah jika ada masalah selalu ditangani dengan kekerasan. 2. Saat dia menjadi orang tua nanti, ada kemungkinan anak juga akan menggunakan cara kekerasan pada anaknya. Samata-mata karena saat masa kecilnya model yang dilihatnya terbatas hanya pada kekerasan. Bila ini terjadi maka kekerasan kembali terulang dan kita kembali melehirkan generasi yang terluka akibat kekerasan. 3. Kekerasan pada umumnya menimbulkan kecemasan pada anak. Hal ini kemudian dapat mempengaruhi anak, dalam berbagai hal, misalnya prestasi belajarnya. Kecemasan yang terus-menerus ternyata dapat mengurangi kemamapuan anak menagkap stimulasi dari luar karena rusaknya sel-sel di otak. 4. Kecemasan dan kondisi yang selalu mendudukkan anak dalam posisi yang salah dapat membentuk konsep dirinya yang buruk sehingga ia cenderung minder dan menarik diri dari temantemannya.62

62

Elga, Andriana, op.cit., hlm. 145-146.

94

Agar anak tumbuh dengan rasa percaya diri, anak butuh merasa aman dan nyaman, hal ini dapat diperoleh bila anak diterima apa adanya dan dilimpahi kasih sayang. Bila ada permasalahan biasakan untuk mengajak anak berdiskusi. Diperlukan pula konsistensi kedua orang tua untuk mendidik anak dengan pola asuh yang sama agar anak tidak mengalami kebingungan.63 c. Kekerasan verbal Kekerasan yang dialami anak akan, mempengaruhi anak tentang konsep kekerasan itu sendiri. Sebagian anak berperilaku buruk pernah menjadi korban tindakan agresif atau kekerasan, baik dari orang tua, saudara, teman, maupun pengasuhnya, sehingga anak kadang-kadang meniru perbuatan tersebut. Kekerasan dapat dilakukan secara fisik maupun verbal (kata-kata). Dalam hal ini, penulis ingin memaparkan kekerasan verbal yang sering dialami oleh anak didik dalam sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri yang menjadi obyek penelitian dalam skripsi ini. Kekerasan verbal (verbal abuse), sering diterima oleh anak, ketika anak meminta perhatian kepada orang tuanya, reaksi yang spontan muncul, dari otrang tuanya adalah membentak anak dan menyuruhnya diam, jika anak terus rewel, orang tua biasanya melontarkan bahasa verbal yang kasar, yang dapat menjatuhkan psikis si anak.64 Tak jarang orang tua sering merendahkan kemampuan anak, dalam berbagai bidang kehidupan, terutama, yang menuntut anak untuk berinteraksi dengan

63 64

Elga, Andriana, loc. Cit. Monty P. Satiadarma, op.cit., hlm. 75.

95

lingkungan alam atau sosialnya, anak tidak diberi kesempatan, dan sering menganggap remeh atas kemampuan anak.65 Hal lain, yang juga dialami oleh anak dalam keluarga ini adalah, pola hubungan interaksi antara anak dan orang tua cenderung tidak komunikatif dan kurang familiar. Sehingga terkesan percakapan tampak kaku, dan pesan anak tidak tertangkap dengan jelas, karena memang ada jarak yang cukup lebar antara bahasa orang tua dan bahasa anak. Disamping kekerasan verbal lainnya, seperti anak sering dicaci, dimarahi, dengaan kata-kata yang menyudutkan posisi anak, dan sering juga orang tua membesar-besarkan masalah yang telah dibuat oleh anak. Walaupun masalah tersebut sebenarnya kecil.66 2. Kekerasan yang ditimbulkan dari lingkungan Tanpa disadari lingkungan, tempat dimana anak berinteraksi, bersosialisasi dengan alam dan lingkungan sosialnya, acapkali tidak bersahabat dengan kondisi ideal anak. Dimana pada masa pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental anak, seharusnya lingkungan harus menunjukkan sikap yang ramah, bersahabat, serta mendidik sehingga cocok sebagai tempat untuk mengembangkan potensi anak melalui belajar dalam lingkungan terdekat.67

65 66 67

Wawan Aria, Saputra (Jawa Pos 11/07/2006), hlm. 5 Data diperoleh dari wawancara pada responden (anak) pada tanggal (20/08) Said Ginting, Menciptakan Lingkungan Yang Paedagogik Pada Anak, (Jawa Pos,

11/02/2005), hlm. 9

96

Tetapi kenyataannya, anak mengalami disposisi atau suasana yang dilematis, dalam lingkungan keluarga orang tua mengajarkan kasih sayang, cinta kasih, tetapi kenyataannya tak jarang orang tua, justru memperlihatkan perbuatan yang tidak pantas untuk dikonsumsi oleh anak. Seringkali kita jumpai, anak menyaksikan ibunya dipukul atau bersama ibu menjadi bagian dari korban beruntun kekerasan domestik. 68 Hal tersebut juga berlaku dilingkungan sosial yang lebih luas, masyarakat misalnya. Juga berperan sanagat besar dalam membentuk pola perilaku anak. Terlebih jika anak tersebut hidup dalam komunitas masyarakat yang terbiasa dengan tindakan kekerasan. Seperi masyarakat gang, masyarakat kumuh, masyarakat kolong jembatan, masyarakat lokalisasi yang identik dengan pola kehidupan yang keras. Keadaan masyarakat seperti itulah yang sangat rentan dengan tindakan kekerasan (kriminalitas).69 Selain hal tersebut diatas, juga peran media, tentunya yang setiap hari menyuguhakan berita atau adegan kekerasan. Yang apabila tidak ada kontrol yang kuat dari orang tua, bahkan kemungkinan, konsep kekerasan dengan mudah dipahami dan dicontoh oleh anak sebagai sesuatu hal yang biasa. Didalam penelitian ini, penulis menemukan berbagai macam lingkungan sosial yang secara kuat dan teoritis mengindikasikan dapat mempengaruhi anak. Khususnya lingkungan sosial yang secara tidak langsung lebih cenderung

68

Mufidah, Ch, op.cit., hlm. 79. 69 Kartini, Kartino, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja (Jakarta: Rajawali Pers,

2005), hal. 101

97

mengajarkan anak tentang kekerasan (baik anak sebagai korban atau pelaku kekerasan). a. Pertengkaran atau percekcokan orang tua Keributan ataupun pertengkaran di dalam keluarga yang melibatkan kedua orang tua, bisa timbul ketika orang tua tidak bisa mengkomunikasikannya dengan baik, dan cenderung lebih mengedepankan emosional mereka masing-masing. ataupun penyebab lainnya, seperti depresi atau stres, faktor ekonomi, karena menghadapi persoalan hidup.70 Didalam keluarga, pihak laki-laki yang yang cenderung memiliki otoritas lebih dominan tak jarang memanfaatkan

superioritasnya untuk menekan pihak yang lebih lemah, dalam konteks ini, istri dan anak menjadi korban yang sangat rentan dalam lingkungan domestik. Secara psikologis, pertengkaran orang tua yang terjadi dalam lingkungan keluarga, bisa menimbulkan efek yang negatif terhadap proses pertumbuhan mental anak. Karena memang anak adalah makhluk yanaag sangat peka sekaligus rentan terhadap kejadian yang menyakitkan yanag dialaminya dilingkungan terdekat dalam kehidupan mereka seperti lingkungan keluarga. Pertengkaran orang tua merupakan salah satu hal yang menyakitkan bagi anak, walaupun anak tidak tidak terlibat secara langsung, dalam pertengkaran tersebut, karena memang itu adalah masalah pribadi antara kedua orang tua, tetapi emosi yang dilampiaskan oleh orang tua, kerap kali ditujukan kepada anak, karena memang posisi anak sangat lemah. Dan keadaan seperti itulah, yang ingin penulis

70

Singgih D. Gunarsa, Psikologi Keluarga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal

195

98

teliti lebih dalam di sebuah keluarga, Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri sebagai obyek penelitian dalam skripsi ini. Dari informasi yang penulis dapatkan, kehidupan rumah tangga di dalam keluarga ini sebenarnya cukup harmonis, terbukti mereka berhasil menjaga keutuhan rumah tangganya hampir selama kutang lebih, 30 tahun, dengan memiliki tiga orang anak.71 Walaupun dalam perjalanan kehidupan rumah tangga mereka, tak jarang terjadi pertengkaran antara keduanya, tetapi intensitasnya agak rendah. Dan mereka jarang melampiaskan kemarahan kepada anak secara fisik, pelampiasan emosi cenderung kepada bentuk amarah, caci maki, bentakan (antara keduanya dalam lingkungan keluarga), dan juga membanting-banting yang ada dalam rumah tangga tersebut.72 Tetapi, walaupun tidak pernah melampiaskan kemarahan kepada anak dalam bentuk fisik, perasaan emosional yang tergambar dari tingkah laku dan bahasa ataupun ucapan, sudah cukup menyakitkan bagi anak. Karena secara tidak langsung anak akan mencontoh dari perbuatan orang tua mereka. Anak tak jarang melihat sendiri ibunya dipukul oleh ayahnya.yang tentu saja hak tersebut bearakibat buruk bagi perkembangan psikis anak. b. lingkungan sosial yang mencontohkan kekerasan. Lingkungan sosial atau masyarakat, secara umum disekitar lokasi keluarga yang menjadi obyek penelitian bukanlah termasuk masyarakat yang menjadikan

Data diperoleh melalui pengamatan dan wawancara pada responden (Bapak Djunaedi dan Ibu Nurul), pada tanggal 22/08) 72 Data diperoleh pada responden (Bapak Djunaedi) pada tanggal (22/08)

71

99

kekerasan sebagai bagian dari kehidupan yang ada didalam masyarakat Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri.73 Hubungan antara warga Di Kelurahan Pesantren juga masih dilandasi oleh rasa tanggung jawab dan persaudaraan serta rasa toleransi yang cukup tinggi. Jadi secara umum tindakan kekerasan masih menjadi hal yang tidak nampak.74 Memang secara keseluruhan lingkunagan sosial di kelurahan pesantren masih mendukung untuk proses sosialisasi anak didik serta nilai-nilai yang telah menjadi norma dan berkembang di masyarakat. Kalau dalam lingkungan yang menjadikan kekerasan sebagai suatu kebiasaan, seperti lingkungan preman, lingkungan kumuh, lingkungan lokalisasi, memiliki korelasi positif, antara kekerasan yang dialami oleh anak dengan kekersan yang terjadi dalam lingkungan tersebut. Tetapi dalam hal ini, bukan berarti lingkungan masyarakat yang jauh dari kekerasan, bisa menjamin anak untuk tidak menjadi korban ataupun perilaku kekerasan. Penulis melihat, lingkungan keluarga sudah cukup menjadi barometer tentang konsep kekrasan yang diterima oleh anak. c. Media massa. Kekerasan terhadap anak bisa terjadi dimana saja, mulai lingkungan sekitar, sekolah hingga rumah. Pelakunaya pun tak selalu orang dewasa, banyak pula

Data diperoleh dengan pengamatan dan dengan wawancara dengan responden (Bapak Nur Ali, selaku tokoh di masyarakat Kelurahan Pesantren), pada tanggal (23/08) 74 Data diperoleh dari wawancara dengan responden (Bapak Ridwan, selaku Kepala Kelurahan Pesantren) pada tanggal (24/08)

73

100

anak-anak yanag melakukan kekerasan terhadap rekan sebaya. Kondisi ini potensial terjadi jika anak sering mengkonsumsi tayangan kekerasan di media.75 Dari penelusuran yang penulis lakukan, selain anak sering mengalami kekerasan dari orang tuanya, kontrol orang tua yang lemah terhadap pengawasan anak dalam memilih tayangan di telivisi, menambah penguatan pola pikir anak tentang arti kekerasan. Karena kesibukan masing-masing orang tua bekerja maka, anak memiliki peluang besar untuk menonton televisi, terutama tayangan televisi yang berbau sadisme, dan kekerasan anak. Sering melihat acara berita khusus kriminal, seperti, Patroli, Buser, Jejak Kasus,76 dan berita lainnya yang menyuguhkan aroma kekerasan. Secara psikologis, anak yang sering mendapat perlakuan kasar dari orangorang disekitar lingkungannya serta mendapat informasi ataupun tayangan kekerasan. Akan membuat anak memahami kekerasan sebagai sebuah bentuk interaksi. Sehingga kelak, baik anak sebagai korban kekerasan atau pelaku kekerasan, bukanlah hal yanag asing dalam kehidupan sang anak. Terlebih jika kekersan tersebut memiliki kesan dan latar belakang yang traumatis dalam sejarah kehidupan masa lalu anak.77

Sarah Jones, dalam seminar bertajuk Media, Sumber Sekaligus Solusi Kekerasan, dan peluncuran buku Eliminating Violence Against Children (Menghapus Kekerasan Terhadap Anak), di hotel Westin, Nusa Dua , Bali. Dalam proyek kerja sama dengan Inter Parliamentary Union (IPU), seperti dikuti Jawa Pos (15/09/2006) Beberapa nama acara program tayangan yang menyiarkan berita-berita kekerasan di sejumlah stasiun televisi. 77 Mira Yanuar, Tinjauan Psikologis Tentang Tayangan Kekerasan Di Televisi (http://awan 965.wordpress. com, diakses 27 Agustus 2007)
76

75

101

C. Proses bimbingan belajar yang dilakukan orang tua kepada anak didiknya, di dalam keluarga. Sebenarnya, keluarga yang menjadi obyek penelitian Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri tersebut, memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap pendidikan anak-anaknya. Hal tersebut terbukti dengan, diperhatikannya kebutuhan pendidikan anaknya, seperi mrndampingi anak ketika belajar, mendiskusikannya, ketika ada pertannyaan dari anak. Dan memberikan fasilitas yang cukup untuk kelancaran belajar anak dengan membelikan buku penunjang, lembar kerja siswa (LKS), dan keperluan lainnya.78 Dalam memberikan bimbingan belajar biasanya, orang tua melihat kondisi dan situasi, bila orang tua sedang ada kegiatan baik itu Di Kelurahan, maupun acara lainnya, maka anak disuruh belajar sendiri, tapi bila tidak ada kegiatan, orang tua akan mengawasi dan memberikan bimbingan kepada anaknya. Pola bimbingan belajaryang dilakukan orang tua kepada anaknya, biasanya dilakukan sekitar jam 8 malam sampai jam 9. itupun, tidak setiap hari, karena memang kalau anak membutuhkan bantuan, baru kemudian orang tua memberikan pendampingan dan bimbingan kepada, anaknya.79 Didalama kajian teori tersebut diatas, penulis mengungkapkan situasi bimbingan oleh orang tua kepada anaknya di dalam keluarga dengan dua tipe karakter orang tua yang melakukan pendampingan dan bimbingan belajar kepada anaknya. Yaitu orang tua yang cenderung acuh tak acuh terhadap perkembangan

78 79

Data diperoleh pada responden (Ibu Nurul) pada tanggal (23/08) Data diperoleh pada responden (Ibu Nurul) pada tanggal (23/08)

102

belajar anaknya. Dan tipe orang tua yang cenderung mengontrol dan melakukan bimbingan belajar kepada anaknya. Terkait hal tersebut diatas, keluarga Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri yang menjadi obyek penelitian dalam skripsi ini, termasuk dalam tipe kedua yaitu orang tua yang senantiasa memberikan pendampingan dan bimbingan belajar kepada anaknya. Walaupun toh, suasana kekerasan masih akrab dengan lingkungan dimana tempat anak-anak tinggal, baik itu kekerasan yang langsung dialami oleh anak dalam keluarga, ataupun pertengkaran orang tua yang acap kali menimbulkan kekerasan, maupun lingkungan sosial yang kebih luas, dalam hal ini masyarakat dan juga pengaruh media. Sebagai sarana informasi, yang keberadaannya untuk saat ini tidak bisa dipungkiri, baik itu media cetak maupun elektronik, yang memeberikan berita-berita atau tayangan-tayangan tentang kekerasan yang secara tidak langsung memberikan citra atau stigma yang dapat mempengaruhi dan memebentuk pola-pikir anak tentang konsep kekerasan.baik anak sebagai korban atau pelaku kekerasan, sudah saatnyalah anak dilindungi dari berbagai macam tindak dan bentuk serta keadaaan kekerasan, baik ltu yang ditimbulkan dari pola pengasuhan yang keras atau lingkungan yang tidak mendukung untuk tempat sosialisasi anak serta tempat yang tidak mendukung dalam memaksimalkan potensi anak dan pertumbuhan serta perkembanagn fisik maupun mental anak.80

Alfie Kohn, Jangan Pukul Aku (Paradigma Baru Pola Pengasuhan Anak), terj., M. Rudi Atmoko (Bandung: MLC, 2005), hlm. 147.

80

103

D. Dampak tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDTR) terhadap kelancaran proses bimbingan belajar yang diberikan oleh orang tua kepada anak didiknya. Dari berbagai macam fenomena kekerasan seperti tersebut diatas, khusunya yang terjadi dalam lingkup keluarga (rumah tangga), disini penulis hanya menekankan dampak yang dialami oleh anak didik (anak dalam keluarga tersebut), dengan mengadakan penelitian studi kasus dalam sebuah keluarga yang terletak Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri. Penulis melihat posisi anak sebagai korban, dari adanya kekerasan baik yang langsung dialami oleh si anak didik (dipukul ayah, dicubit ibu), ataupun suasana dalam lingkungan keluarga, yang tidak harmonis (sering terjadi pertengkaran atau percekcokan), sehingga seringkali pertengkaran yang terjadi akan meyuguhkan kekerasan. Yang sebenarnya, situasi seperti inilah tentunya akan menimbulkan tekanan psikis dan berbahaya bagi perkembangan mental maupun sosial anak. Keadaan keluarga yang sering diwarnai pertengkaran dan percekcokan memberikan suguhan, yang sebenarnya tidak pantas dikonsumsi oleh anak. Karena lingkungan keluarga memiliki akses lebih banyak untuk media berkomunikasi dan berinteraksi antar anggotanya. Dengan suasana ang diliputi oleh kasih sayang, sebagai sarana awal untuk proses sosialisasi anak untuk bekal positif, sebelum terjun kelingkungan sosial yang lebih luas, seperti sekolah dan masyarakat.

104

Instansi keluarga juga memiliki tanggung jawab dalam hal pendidikan anak, selain orang tua memepercayakan pendidikan anak di lembaga pendidikan umum (sekolah), tentunya orang tua juga dituntut, untuk harus selalu memperhatikan dan mengawasi serta peduli tentang kemajuan perkembangan belajarnya. Dalam hal ini, tentunya di lingkungan keluarga, orang tua harus peka dan selalu mendampingi ataupun membimbing anak dalam kegiatan belajarnya di rumah.81 Namun, persoalan muncul, ketika lingkungan keluarga tidak mendukung bagi si anak untuk lebih berkonsentrasi dalam hal kegiatan belajarnya, baik itu dibimbing ataupun tidak dari orang tuanya. Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa pola pengasuhan yang keras, dari orang tua yang hal tersebut tidak jarang mengarah terjadinya tindakan kekerasan kepada si anak (kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik), ataupun gambaran suasana keluarga yang tidak mendukung. Dalam hal ini, orang tua sering bertengkar (ayah memukul ibu atau ibu membanting barang-barang). Kondisi seperti itulah yang bisa menganggu anak dalam hal (pendidikan) belajarnya dirumah. Yang dalam hal ini penulis mengistilahkannya sebagai kekerasan lingkungan. Dimana anak hanya sebagai penonton (kekerasan yang tak langsung dialami oleh anak). Tetapi sangat jelas, bahwa secara psikologis suasana tersebut akan sangat mempengaruhi

perkembanagn serta pertumbuhan mental dan emosi anak. Dari sebuah keluarga Di Kelurahan Pesantren, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri sebagai obyek studi kasus dalam penelitian ini. Penulis, berusaha memaparkan dampak yang dialami oleh anak didik sebagai korban kekerasan
Maulana Musa Akmad Olgar, Tips Mendidik Anak Bagi Orang Tua Muslim, terj., Supriyanto Abdullah Hidayat, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), hlm. 101.
81

105

yang terjadi dalm keluarga tersebut. Maupun dampak yang ditimbulkan dari suasana keluarga tersebut yang tidak harmonis, (yang acapkali memperlihatkan kekerasan sebagai akibat dari pertengkaran antara ayah-ibu/suami-istri), terhadap kelancaran proses belajar anak di rumah, baik dengan bantuan bimbingan orang tua atau tidak (belajar sendiri). Tetapi dalam hal ini, keluarga yang menjadi obyek penelitian, cenderung untuk memeberikan bimbingan belajar kepada anaknya, walaupun suasana lingkungan keluarga masih sering diwarnai dengan kekerasan (mendominasi), dalam pola-hubungan pengasuhan orang tua-anak. (lingkungan keluarga yang sudah terbiasa dengan suasana kekerasan). Dari sejumlah beberapa informasi yang berhasil penulis kumpulkan, melalui wawancara dengan si anak dalam keluarga tersebut. Bahwa memang, dampak secara signifikan dari adanya kekerasan fisik, tidak ada atau bahkan bisa dikatakan tidak berdampak sama sekali, artinya walaupun orang tua sering melakukan tindakan agresif atau kekerasan, tetapi hal tersebut dinilai masih dalam batasbatas kewajaran. Tetapi mungkin intensitasnya saja yang agak terlalu sering.82 Walaupun demikian, pola pengasuhan orang tua yang keras tersebut, tentunya akan sangat berdampak pada kegiatan pendidikannya dirumah (proses belajar), si anak. Anak merassa tertekan, dengan situasi atau kondisi keluarga tersebut. Sehingga anak tidak begitu maksimal dalam belajarnya, walaupun hal tersebut sudah didampingi atau dibimbing oleh orang tuanya. 83

82 83

Data diperoleh melalui pada responden (anak) pada tanggal (25/08) Data diperoleh melalui wawancara pada responden (anak) pada tanggal (25/08)

106

Selain hal tersebut diatas, dampak lain dari adanya kekerasan yang dialami ataupun suasana keluarga yang penuh dengan kekerasan, membuat si anak kesulitan untuk, beradaptasi, gangguan dalam berinteraksi sosial, serta tekanan psikis, sehingga keadaan seperti itulah yang membuat anak mengalami kesulitan dalam belajarnya 84(walaupun dengan dibimbing oleh orang tua), yang kemudian akan memepengaruhi pola pikir dan konsep hidupnya tentang hakekat, makna, dan arti dari kekersan itu sendiri, yang notabene-nya selama ini ia lihat, ia dengar, ia alami, ia rasakan, ia hayati, khususnya di dalam lingkungan keluarga. Itulah beberapa dampak yang diakibatkan dari adanya kekerasan yang dialami oleh anak, baik itu kekerasan yang langsung dialaminya atau keadaan yang menimbulknan adanya kekerasan seperti pertengkaran anatara orang tua. ternyata kondisi seperti itulah yang menjadi kendala anak dalam proses belajarnya dirumah, walaupun dengan bantuan bimbingan orang tua, serta perhatian yang cukup. Tetapi kekerasan verbal yang ia alami dan tekana psikis dari adanya kekerasan yang dirtimbulkan dari pertengkaran orang tua sedikit banyak akan menganggu proses belajar anak, baik itu dibimbing oleh orang tua terlebih tidak dibimbing oleh orang tua atau belajar sendiri.

84

Data diperoleh melalui pengamatan dan wawancara pada responden (anak) pada

tanggal (25/08)

107

BAB V ANALISIS HASIL PENELITIAN Dari paparan data diatas, mengenai sebuah keluarga yang menjadi obyek dalam penelitian studi kasus, dapat dianalis sebagai berikut: 1. Analisis bentuk kekerasan yang dialami oleh anak didik dalam sebuah keluarga di Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri. Bahwa bentuk kekerasan yang dialami oleh anak didik dalam sebuah keluarga di kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren kota Kediri, adalah bentuk

kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik. Seperti kekerasan fisik, psikis, dan verbal, serta ada kekerasan yang tidak langsung dialami oleh anak didik, seperti suasana dalam keluarga yang mencerminkan adanya kekerasan (pertengkaran orang tua, dan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri karena adanya budaya patriarki). Hal seperti itulah yang secara keseluruhan akan mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan fisik maupun psikis anak. Diantara dampak dari adanya kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik, baik kekerasan fisik, psikis, dan verbal adalah: Dari adanya kekerasan fisik yang dialami langsung oleh anak didik, seperti sering dipukul, sering dicubit oleh kedua orang tuanya, secara fisik kekerasan yang langsung dialami tersebut tidak mempengaruhi atau tidak berdampak secara signifikan. Karena memang kekerasan fisik yang yang dialami anak cenderung tidak terlalu kasar dan masih tergolong kekerasan fisik dalam kategori sedang, karena hal tersebut dilakukan oleh orang tua atas dasar menanamkan kedisiplinan

108

kepada anak, dan kalaupun kekerasan yang dilakukan kepada anak didik secara tiba-tiba atau tidak ada alasan yang jelas, hal itu dikarenakan emosi atau kemarahan dari orang tua karena berbagai macam sebab dan faktor yang mendorongnnya untuk melakukan hal tersebut. Seperti masalah yang terjadi di lingkungan kerja, masalah tekanan hidup, yang kesemuanya tidak ada penyelesaiannya dan akhirnya kekecewaan tersebut dilampiaskan dengan amarah kepada anggota keluarga di rumah termasuk dalam hal ini adalah anak-anak. 2.Analisis efektivitas bimbingan belajar yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak didik dalam suasana ketidakharmonisan dalam sebuah keluarga di Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri. Walaupun kekerasan dan suasana kekerasan masih mewarnai dalam keluarga tersebut, akan tetapi pola pendidikan yang diterapkan oleh orang tua kepada anakanaknya cukup diperhatikan, dari hasil wawancara dengan ibu Nurul, kebutuhan akan pendidikan anak selalu diperhatikan dalam keluarga tersebut, walaupun agak kesulitan dalam membimbing anak, karena memang kurikulum sistem belajar anak sekarang sudah berbeda dengan kurikulum sistem belajar dahulu. Bimbingan belajar yang dilakukan dalam keluarga tersebut agak terganggu, karena masih adanya anak balita, dalam keluarga tersebut. Sehingga pola bimbingan belajar yang dilakukan ibu Nurul juga agak tertaganggu atau kurang optimal. Bimbingan belajar yang dilakukan ibu Nurul adalah berupa juga sering mendampingi, mengawasi, dan mengevaluasi hasil belajar anaknya. Dalam masalah membimbing anaknya dalam kegiatan proses belajar, ibu Nurul yang sebagai ibu rumah tangga, jadi lebih mudah dalam mengawasi anak didik dalam

109

belajar karena kalau, dalam memberikan belajar kepada anak adalah waktu belajar malam yaitu mulai pukul 20.00 sampai selesai. 3.Analisis dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan, baik yang langsung dialami oleh anak dalam keluarga yang diliputi kekerasan terhadap kelancaran anak dalam kegiatan belajarnya dirumah. a. Dampak dari adanya kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik dalam keluarga tersebut, adalah berupa kekerasan fisik, psikis, dan verbal. Kekerasan yang dialami oleh anak didik dalam keluarga tersebut sering dilakukan oleh ayah ataupun ibu. Secara fisik kekerasan yang dialami oleh anak tidak berdampak terhadap perkembangan dan pertumbuhan fisik anak, karena kekerasan yang dilakukan oleh orang tua masih dalam taraf yang dapat ditolerir serta tidak mengakibatkan efek yang signifikan dan tidak menimbulkan trauma. Sedangkan dampak secara psikis terhadap anak tersebut adalah anak sering minder, kurang percaya diri, hubungan dengan teman sebaya yang kurang terjalin, hal ini dikarenakan efek dari kekerasan yang berupa amarah, cacian, bentakan dari orang tua sehingga mempengaruhi psikis anak dan tidak menutup kemungkinan konsep kekerasan yang diterima oleh anak akan menjadi sigma dalam pikiran anak-anak, akibat yang ditimbulkan adalah anak akan bersifat keras, anti sosial, agresif dan tidak memiliki kepedulian sosial atau antipati. b.Dampak dari adanya kekerasan yang tidak langsung dialami oleh anak, seperti suasana kekerasan dalam rumah tangga. Suasana kekerasan dalam rumah tangga seperi pertengakaran antara kedua orang tua, dimana kondisi dan situasi tersebut tidak layak untuk dikonsumsi oleh

110

anak-anak, serta adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga seperti ayah menganiaya ibu, atau ayah mencaci-maki ibu, hal tersebut bisa terjadi karena adanya budaya patriarki, yang berkembang di dalam masyarakat seperti saat ini, alasan seperti itulah yang secara tidak langsung akan mempengharuhi seseorang untuk selalu bertindak sewenang-wenang terhadap perempuan (istri). Kondisi atau keadaan seperti itulah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Anak yang sering melihat dan mendengar pertengakaran yang terjadi antara kedua orang tuanya, akan mengalami goncangan jiwa yang hebat, hal ini dikarenakan emosi dan jiwa anak masih labil untuk dihadapkan dengan persoalan-persoalan tersebut. Dan jika keadaan ini dibiarkan terus-menerus maka anak akan merasa kehilangan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. c.Dampak yang diakibatkan dari adanya kekerasan dalam rumah tangga

terhadap proses bimbingan belajar Anak di dalam sebuah keluarga di Kelurahan Pesantren Kecamatan Pesantren Kota Kediri. Adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, baik itu kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik dalam sebuah keluarga maupun kekerasan yang tidak langsung dialami oleh anak didik dalam sebuah keluarga, seperti suasana kekerasan yang diakibatkan oleh adanya pertengakaran orang tua, hal tersebut disamping mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak, juga bisa mempengaruhi anak didik jika dikaitkan dengan proses kegiatan belajarnya dirumah, terlepas apakah anak didik tersebut mendapat bantuan dari orang tua, ataukah dengan belajar sendiri, tetapi yang pasti bahwa kekerasan yang dialami,

111

maupun suasana kekerasan yang diakibatkan oleh adanya pertengakaran antara kedua orang tua bisa membuat proses kegiatan belajar anak terganggu, karena idealnya dalam hal ini (proses kegiatan belajar) anak dalam lingkungan rumah tangga (keluarga), harus kondusif dan jauh dari kebisingan, kegaduhan, bentakan, amarah, kata-kata kotor, cacian dan hal-hal lain yang dapat menganggu anak didik dalam proses kegiatan belajarnya. Komunikasi yang dibangun antara orang tua juga akan sedikit terganggu jika kekerasan masih mendominasi dalam keluarga tersebut. Selain hal tersebut diatas, kekerasan yang sering terjadi dapat mengakibatkan kurangnya konsentrasi anak dalam masa proses bimbingan belajarnya, karena pada proses bimbingan belajar selain diperlukan suasana yang penuh ketenangan, ikatan emosional antara anak dan orang tua harus dijaga. Baik anak didik mendapat bantuan bimbingan belajar dari orang tua maupun belajar sendiri, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, baik itu kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik maupun suasana kekerasan yang ditimbulkan dari adanya pertengkaran orang tua, maupun dari adanya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, hal tersebut baik secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan psikis anak terlebih jika dikaitkan dengan proses kegiatan belajar anak, maupun proses kegiatan bimbingan belajar yang diberikan oleh orang tua.

112

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan. Dari paparan data diatas, mengenai sebuah keluarga yang menjadi obyek dalam penelitian studi kasus, dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa bentuk kekerasan yang dialami oleh Anak dibagi menjadi dua yaitu, kekerasan yang langsung dialami oleh Anak dan kekerasan yang tidak langsung dialami oleh Anak. Kekerasan yang langsung dialami oleh Anak dalam studi kasus dalam keluarga tersebut, ada tiga macam bentuk kekerasan, yaitu diantaranya kekerasan fisik, (dipukul, dijewer, dicubit), kekerasan psikis, (dicaci-maki, dibentak-bentak, dimarahi, disudutkan), serta kekerasan verbal, (dimarahi dengan kata-kata kasar dan kotor). Sedangkan kekerasan yang tidak langsung dialami oleh Anak adalah seperti adanya suasana kekerasan yang terjadi dalam lingkup keluarga (rumah tangga), seperti pertengkaran orang tua, adanya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga seperti suami sering memukul istri. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. 2. Terkait dengan kelancaran dan efektivitas bimbingan belajar yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya, dalam keluarga tersebut selalu memberikan perhatian dalam masalah kebutuhan pendidikan anaknya. Bimbingan belajar biasanya diberikan oleh ibunya, karena sebagai ibu rumah tangga, yang selalu berada di rumah, biasanya bimbingan dilakukan dengan

mendampingi, mengawasi, dan mengevaluasi hasil belajarnya.

113

3. Dampak dari adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga terhadap proses bimbingan belajar terhadap Anak adalah, tidak optimalnya proses bimbingan belajar, hal tersebut dikarenakan suasana dalam rumah yang sering diwarnai dengan kekerasan. Keadaan atau situasi ini secara tidak langsung akan mempengaruhi anak dalam belajarnya, serta mengganggu konsentrasi anak dalam belajartnya. Disamping hal tersebut, secara keseluruhan kekerasan yang dialami oleh anak akan menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan anak B. Saran. Setelah melihat fenomena kekerasan yang akhir-akhir ini merebak ditengah masyarakat, yang sebagian korbannya adalah perempuan dan anak-anak, maka disini penulis menghimbau kepada seluruh para orang tua, dan calon orang tua serta para Steak Holder, untuk segera mengakhiri segala bentuk kekerasan, baik kekerasan yang terjadi di lingkungan rumah tangga, maupun kekerasan dalam lingkungan umum (publik), seperti sekolah dan masyarakat. Selain hal tersebut diatas, seyogyanya harus: 1. Sebaiknya para orang tua, (khususnya pihak laki-laki atau suami), tidak menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap anggota keluarga yang lain (perempuan dan anak). 2. Sebaiknya para orang tua tidak melakukan pertengkaran di depan anakanaknya, karena hal tersebut bisa berakibat tekanan psikis pada anak-anak.

114

3. Sebaiknya para orang tua dalam mendidik anak-anaknya tidak menggunakan kekerasan. Jika terpaksa menggunakan kekerasan, maka hendaklah menggunakan hukuman yang proporsional dan mendidik. 4. Sebaiknya para orang tua selalu memperhatikan perkembangan dan kebutuhan pendidikan anaknya, yaitu diantaranya dengan melalui bimbingan belajar.

Anda mungkin juga menyukai