Anda di halaman 1dari 7

Segeram “Masih” Punya Pahlawan yang Tanpa Bertanda Jasa

Kisah Inspiratif KKN Riset Aksi PUSLITBANG PENDA KEMENAG RI

Tahun 2018

Oleh : Deni Novriansyah Adsumi

Mukhtarhadi, Singkat nama namun cukup tersohor karena perannya yang


boleh diperhitungkan serta kontribusinya dalam dunia pendidikan di tanah yang
“hampir” tak berpenghuni, yakni di Kampung Segeram, Kecamatan Bunguran
Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Pria dengan tinggi badan
kurang lebih 150 cm itu dan akrab disapa dengan panggilan Pak Adi, Lahir pada
tanggal 8 Agustus 1970, sehingga pada saat ini beliau sudah menginjak usia 48
tahun. Dalam silsilah keluarga, beliau adalah anak pertama dari 7 bersaudara
dan putra asli pulau Sedanau (dibaca : Sydney, tatkala masyarakat pulau Sedanau
sedang berbual atau sedang bercanda), salah satu pulau yang masuk ke dalam
wilayah administrasi Kabupaten Natuna, Kecamatan Bunguran Barat. Beliau
memulai pendidikan formalnya di SD Negeri Sedanau, dilanjutkan dengan
jenjang SLTP di Mts Sedanau dan berakhir di SPG (Sekolah Pendidikan
Guru)/PGN/PGA Kota Tanjung Pinang. Selang 2 tahun menyelesaikan
pendidikannya, ia bertemu dengan tambatan hatinya yaitu ibu rosminah.
Perempuan yang mempunyai tinggi badan tidak jauh beda dengan pak Adi itu
lahir pada tanggal 21 januari 1969 di pulau tetangga Sedanau, yakni pulau Midai
namun ia lama hidup dan berproses di Pulau Tarempa. Mereka mengikat janji
sucinya melalui akad pernikahan pada tanggal 31 Mei Tahun 1991 di pulau
kelahiran sang mempelai wanita. Dari hasil pernikahannya lahirlah 2 calon
penerus bangsa, perempuan dan laki-laki. Kurniati, anak sulung, yang lahir pada
tanggal 14 November 1998, dan Rian Iskandar yang lahir pada tanggal 17 juli
2000 dan dengan ini ia “dinobatkan” menjadi anak kedua sekaligus bergelar
bungsu.

Tahun 2001 merupakan awal karir di dunia pendidikannya, dimana pada


saat itu berbarengan dengan pemekaran dan terbentuknya kabupaten Natuna.
Sebelumnya, sedari awal membangun rumah tangga bersama ibu Rosminah
hingga lahirnya anak yang kedua, pak Adi bekerja mencari nafkah di jalur
bertani, kuli bangunan, yang istilah populernya “Kerja Serabutan”, dan beliau
bersama istri hidup berkeliling Provinsi Kepulauan Riau, hingga sampai pada
kota Tanjung Pinang dan kota Batam. Pada tahun 2002 ia turut serta terjun ke
dunia politik dengan menjadi salah satu kader Partai Amanat Nasional (PAN)
hingga penghujung tahun 2007. Tak tanggung-tanggung, ia menjabat ketua
ranting tingkat desa Batubi. Di dalam forum partai inilah ia juga berjuang untuk
membuka kembali Sekolah Dasar di Segeram yang sudah vacum sebelumnya
karena ia aktif menyampikan aspirasi dan masalah tersebut kepada teman-
teman se bendera yang duduk di kursi dewan. Perjuangan untuk menjadi
Pahlawan tanpa tanda jasa di mulai pada tahun 2001 , ia Memulainya dengan
menjadi guru honorer di desa Batubi selama 6 tahun, dengan gaji yang
diterimanya berasal dari pemerintah daerah dan bukan dari sekolah. Upah awal
yang didapatinya hanya sebesar 800 ribu. Dengan uang tersebut Ia harus
berfikir keras untuk mengelolanya. Cukup tidak cukup, harus bisa memenuhi
kebutuhan keluarga selama sebulan, mengingat harga bahan-bahan pokok di
desa Batubi tergolong mahal karena bahan tersebut berasal dari luar kabupaten
Natuna, seperti kota Batam sehingga harga melambung tinggi akibat biaya
akomodasi atau pengiriman.

Setelah bertahan selama 3 tahun di desa Batubi, pak Adi mendapatkan


sebuah penawaran “unik” , yakni tawaran untuk menjadi guru bahkan dengan
status “PNS” oleh salah satu teman seperjuangannya yang telah duduk di posisi
kabag kepegawaian dinas pendidikan kabupaten Natuna, yakni Pak Sabni. Pak
sabni yang sebelumnya menjabat sebagai kepala sekolah dasar di Batubi,
disekolah yang sama dengan pak Adi mengajar, memilih Pak Adi sebagai “calon”
pahlwan tanpa tanda jasa untuk kampung Segeram karena ia telah mengenal
bagaimana kompetensi dan kapabilitas yang dimiliki oleh pak Adi. Namun pak
Adi masih belum bisa “mengiyakan” tawaran pak Sabni karena dia pun tak tahu
“apa” itu kampung Segeram dengan segala seluk beluknya meskipun kampung
Segeram secara administrasi masuk kedalam kelurahan Sedanau, yakni
kampung kelahiran beliau. Namun, hati pak Adi pun luluh mengingat dan
menimbang cerita yang disampaikan oleh Pak Sabni bahwasannya di segeram
terdapat SD yang sama sekali tidak ada gurunya.

Cerita punya cerita, sudah beberapa guru masuk ke kampung Segeram,


bahkan beberapa diantaranya PNS, namun semuanya “kabur” secara satu
persatu dan pergi meninggalkan Segeram dengan tanpa rasa bersalah sama
sekali. Entah apa yang membuat mereka tega, namun berdasarkan penuturan
dari para “tersangka” mereka pergi meninggalkan Segeram lantaran tidak betah
dengan kondisi lingkungan disana, yang sebagian besar demografi wilayahnya
adalah hutan dan di kelilingti oleh sungai disertai dengan listrik yang belum
masuk. Akhirnya dengan dukungan istri tercinta pak Adi memberanikan diri
untuk berangkat menuju kampung Segeram meskipun SK CPNS nya belum
keluar pada saat itu. Dengan modal pengalaman mengendarai “pompong”
(sebutan untuk kendaraan sejenis perahu kayu bermotor di daerah Kepulauan
Riau) dan niat baiknya, akhirnya dia memboyong keluarganya untuk pergi
mencari kampung Segeram dengan menerjang ombak dan karang bertaruh
nyawa, serta dengan “meraba-raba” karena dia sama sekali belum pernah
menginjakkan kakinya kekampung tersebut. Dengan perjalanan yang sangat
menguras tenaga, akhirnya ia tiba. Kaget pun melanda batin pak Adi karena
ternyata benar bahwa kampung segeram “nyaris” tak berpenghuni. Hanya hutan
lah yang meramaikan suasana kampung tersebut, ditambah sapaan angin hulu
sungai yang turut serta menyambut kedatangan pak Adi. Sang calon pahlawan
tanpa tanda jasa itu ternyata datang di waktu yang sangat tepat, karena hampir
saja murid SD di kampung segeram punah. Hanya bersisa 1 anak saja dan
seandainya pak Adi berangkat keesokan harinya, maka anak itu sudah di
“impor” bapaknya ke pulau Sedanau. “Pucuk dicinta, ulam pun tiba” adalah
pribahasa yang sangat tepat untuk menggambarkan peristiwa tersebut.
Sesampainya di kampung Segeram, tempat yang pertama kali menjadi tujuan
pak Adi adalah sekolah dasar.

Alkisah, Sekolah Dasar tersebut memiliki nama awal Sekolah Dasar


Negeri 033 Sedanau. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa
kampung Segeram masuk kedalam wilayah adminstrasi kelurahan Sedanau
maka jelas SD tersebut “menggandeng” nama sedanau sebagai pelengkap nama.
SD tersebut memiliki catatan awal beroperasi pada tahun 2003-2005, dan tutup
total di tahun 2006 karena “hilangnya ” para tenaga pendidik. Hal ini berdampak
juga pada hilangnya anak murid, karena mau tidak mau masyarakat segeram
harus “mendeportasi” anak mereka ke luar pulau agar tetap bisa bersekolah.
Mereka memindahkan ke wilayah pulau Selaut, Sedanau dan bahkan ke daeraeh
ibukota daerah kabupaten natuna, yakni Ranai. Langkah pertama yang
dilakukan pak Adi adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat Segeram
bahwasannya SD 033 akan tetap dibuka kembali karena status SD tersebut
adalah SD Negeri. Dengan tradisi yang berkembang yakni masjid atau surau
sebagai pusat peribadatan sekaligus tempat yang “cocok” untuk musyawarah,
maka Pak Adi meminta kepada petugas surau setempat untuk dapat
mengumpulkan masyarakat segeram. Maksud dan tujuannya adalah ia ingin
memberitahukan bahwasannya SD 033 sudah dibuka kembali dengan dialah
satu-satunya tenaga pendidik yang akan mengajar disana. Namun bukan pujian
yang didapat, melainkan cemoohan atau ledekan dari masyarakat segeram
karena “trauma” akan guru yang suka “kabur” dari kampung Segeram masih
sangat melekat di benak mereka . Namun Pak Adi tak kehilangan semangat dan
bahkan membuatnya semakin tertantang hingga ia mendeklarasikan diri akan
setia mengabdi untuk segeram. Masyarakat pun memegang janji setia pak Adi.

Tiba saatnya perdana bagi Pak Adi untuk mengajar disekolah yang
muridnya sudah bertambah menjadi 3 orang karena 2 diantaranya adalah anak
pak Adi sendiri. Dengan pakaian dinas guru yang lengkap dan rapih berkat
tangan istri tercinta dan dengan sepatu yang juga sudah dipoles, hampir disebut
oleh istrinya “orang gila” karena melihat ekspetasi yang ada dilapangan yang
seperti mengajar privat namun dengan “kostum” PNS. Rasa bingung pun mampir
kedalam benak pak Adi, bingung ingin mengajarkan apa di SD yang hanya di
huni oleh 3 orang siswa saja. Ditambah tidak adanya inventaris sekolah, tidak
adanya buku dari sekolah yang sudah pernah berjalan 3 tahun tersebut. Hingga
Pak Adi harus pergi menemui kepala sekolah sebelumnya untuk meminjam
buku-buku lama yang sudah tidak di pakai lagi sebagai bekal dan bahan ajarnya.
Gambaran awal untuk sekolah itu terlihat dan lebih pantas disebut seperti
“kandang kambing”. Di depan halamannya penuh dengan deretan pohon pisang
dan pohon serai, yang membuat sekolah tersebut tak terlihat sama sekali
“paras”nya dari kejauhan. Disamping sekolah, ternyata tempat tinggal yang
disediakan untuk pak Adi dan keluarga juga tidak jauh berbeda dengan
“kandang sapi” yang berbahan dasarkan kayu dengan atap dari daun kelapa
yang sudah kering. Kondisi hidup seperti ini dijalani kurang lebih dalam kurun
waktu 6 tahun.

Dalam cerita dan perjalanan hidupnya, hal yang paling dikhawatirkan


adalah pada saat musim hujan. Atap rumah yang bocor menjadi “musuh” yang
sulit untuk dikalahkan. Dikala si hujan datang, maka atap rumah mulai
membiarkan air hujan “mampir” ke rumah Pak Adi. Hingga pernah suatu ketika,
hujan turun dikala malam hari, dimana semua sedang tidur nyenyak. Hujan
datang tanpa memberitahu. Akhirnya pak Adi dan sekeluarga terbangun, dan
mereka mencari bagian rumah yang tidak terjamah oleh tetesan-tetesan hujan.
Hanya ada satu bagian yang tidak disentuh oleh atap rumah yang bocor, yaitu
salah satu sudut ruangan rumah itu. Mau tak mau , muat tidak muat mereka
berempat harus menuju kesana. Mereka memang benar bisa tidur tanpa basah,
namun mereka tidur dengan posisi duduk. Rangkulan pak Adi yang mencoba
memberikan kehangatan pada keluarga kecilnya itu ternyata membuat mereka
merasa aman dan semakin “nyenyak” tidurnya. Hal ini terus terulang ketika
hujan kembali datang. Hingga akhirnya, pak Adi dibolehkan untuk tinggal
disalah satu ruangan kelas SD 033 tersebut. pak Adi tidak ingin “memakan” satu
kelas secara utuh untuk tempat tidur keluarganya, sehingga ia berikan sekat
yang terbuat dari kayu untuk memberikan batas dan hanya sebagian saja yang
digunakan olehnya dan sebagian lagi tetap berfungsi sebagai ruangan kelas
sebagai mana biasanya. Tugas mengajar tidak terbengkalai dengan kondisi
kehidupan yang demikian. Paginya mengajar, siang harinya ia mencoba untuk
membuat “gubuk” baru dengan gaji yang tentunya “pas-pa an”. Hingga dalam
kurun waktu satu tahun jadilah “gubuk” tersebut dan ia bersama keluarga sudah
bisa meninggalkan ruang belajar yang selama ini menjadi “hotel” bagi mereka.

Bertahun-tahun hidup dalam keadaan yang sangat sederhana disertai


dengan abdi dan baktinya “membangunkan” kembali SD di Segeram yang
sebelumnya sempat “tertidur” ternyata mampu menghantarkan putra dan
putrinya melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi negeri di Pontianak.
Bersyukur dan ikhlas adalah modal bagi pak Adi untuk dapat meluluhkan hati
Tuhan agar senantiasa memberkahi hidupnya bersama keluarga. Sekarang SD
033 telah berganti nama menjadi SD Negeri 10 Sedanau, yang mana pada tahun
2018 ini jumlah siswanya sudah mencapai 14 orang. Pada tahun ini juga, pak Adi
melakukan perjuangan yang serupa, bahkan bisa dikatakan lebih “nekat”. Ia
mencoba melobby pemerintah daerah dan pusat untuk dapat mendirikan SMP
Negeri di Kampung Segeram dengan jumlah calon siswa SMP yang hanya
berjumlah 5 orang saja. Berkat usaha dan do’a yang sering dilantunkan oleh pak
Adi, akhirnya pemerintah bersedia untuk mendirikan SMP di kampung Segeram.
Jelas pantas jika ia dinobatkan sebagai pahlawan pendidikan Segeram. Dia lah
“dalang” dibalik pewayangan dunia pendidikan Segeram. Dia lah perantara
Tuhan dalam menyelamatkan nasib anak-anak Segeram yang memiliki harapan
besar semoga kedepannya Segeram bisa menjadi desa dengan masyarakatnya
yang madani dan berkeadaban.

Anda mungkin juga menyukai