Anda di halaman 1dari 108

E-Book

Taman Hikmah Ramadan


Disarikan dari kitab Majalis Syahri Ramadhan al
Mubarak karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah
al Fauzan

Penyusun
Candra A.S. Prahastiwi
Saviera Yonita
Dimuroja’ah oleh
Ustadz Aris Munandar hafizhahullah
Desain Muka
Candra
Editor
Candra
Saviera
Tahun
2020
Taman Hikmah Ramadan
MUQADDIMAH
Segala puji bagi Allah,shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya.
Ramadan semakin dekat, maka seyogyanya seorang
muslim bersiap untuk menyambutnya dengan mengilmui
apa saja keutamaan serta pantangan di bulan ini,
sehingga harapannya tak ada satu pun bagian yang disia-
siakan di dalamnya yang kelak akan membuahkan sesal
tak terperi.
Hal itulah yang mendorong kami membuat ulasan
berkaitan dengan Ramadan di sosial media kami
(Instagram @candraprahastiwi dan
@alfawaaidblogspotcom). Kemudian dari tulisan -
tulisan tersebut kami gabungkan menjadi buku sederhana
ini. Sebagai pengingat diri sendiri bahwa bulan mulia di
hadapan kami ini bukanlah perkara main-main,
meskipun hanya ini yang sanggup kami tulis. Karena
sebagaimana yang disinggung oleh Syaikh Shalih Al
Fauzan dalam muqaddimah kitab beliau, “Orang yang
tidak dapat berbagi sedikit dari yang dimilikinya tidak
akan bisa berbagi dengan hal yang lebih besar”. Tentu
saja, secara umum kami ingin saudara muslim sekalian
juga mengambil faedah di sini.
Kami memilih sepuluh bab pertama dari kitab Majalis
Syahri Ramadhan al Mubarak karena bahasan per
majelisnya yang ringkas, bahasanya tidak begitu sulit,
dan faedahnya yang relevan dengan momentum saat ini.
Cocok bagi kami yang memiliki kemampuan bahasa
Arab yang belum mumpuni. Terlebih Ustadzuna Aris
Munandar hafizhahullah telah menyelesaikan mengkaji
kitab ini dan rekaman audionya mudah diakses dan
diselami faedahnya. Maka pelajaran yang ada di buku ini,
sebagian besar kami susun berdasarkan apa yang kami
dapat dari penjelasan beliau, di samping terjemahan
secara bebas dari kitab karya Syaikh Shalih bin Fauzan
bin Abdullah al Fauzan yang telah kami sebutkan
sebelumnya.
Tujuan lain dari penyusunan buku ini, yakni sebagai
bahan latihan agar terbiasa menulis, menyimak, serta
mendakwahkan apa yang kami dapatkan. Sebagaimana
langkah ini telah ditempuh oleh para pendahulu agama
Islam yang mulia.
Kami menyadari bahwa buku ini masih teramat jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik serta saran
membangun sangat kami harapkan. Teman-teman
pembaca sekalian dapat menghubungi kami di akun
sosial media kami.
Terkhusus kepada Ustadz Aris Munandar hafizhahullah,
kami haturkan Jazakumullahu khairan telah bersedia
mengoreksi buku ini. Semoga menjadi amal jariah yang
bermanfaat di akhirat nanti.
Jember, Yogyakarta
22 Sya'ban 1441 H/ 16 April 2020
搰৯�̳쁄 搰৯�̳쁄
Majelis Pertama
Kebahagiaan Berjumpa dengan Ramadan
Dua Kubu

Bagaimana seseorang dapat bersedih tatkala ia


senantiasa diliputi oleh nikmat Allah? Virus yang kecil,
sakit yang sebentar, atau kerikil ujian lainnya tidak dapat
dibandingkan dengan kesenangan dan kesehatan yang
dawam yang selama ini kita rasakan. Karena pada
hakikatnya, Allah mempergilirkan nikmat dan musibah
itu semata-mata agar kita merasakan pergantian musim
kesyukuran dan kesabaran. Sementara keduanya
membuahkan balasan pahala yang besar bagi mereka
yang menjalani setiap musimnya dengan ikhlas dan ridha.

Dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu ia


berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
⃇ Ϧ˶ϣ˸Ά˵ ⃇ Ϊ˴ β˸˵˴ β˸ϴ ϟΆϭ Ϫβ˶˵ ⃇ Ϧ˶ϣ˸˵ β˶ Ϧ
ϟ˵ Ϧβ˸ϴ 耀䁚 β 晦 ˯ β ϟ˸Θ 晦˵ ⃇˴ ϟ˵ Ϧβ˸ϴ 耀䁚 β耀˴ ˯ β ϟ˸Θ 晦˵

“Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin.


Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang
demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh
orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan
ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia
mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu
kebaikan baginya.” (HR Muslim)

Dan hari-hari ini adalah salah satu di antara hari yang


penuh kebaikan tersebut. Lebih-lebih lagi ketika Allah
membuka kesempatan istimewa bagi setiap hambanya,
yakni berjumpa dengan Ramadan yang diberkahi.

Keutamaan bulan Ramadan sudah terlalu masyhur. Pintu


surga dibuka, setan dibelenggu, dan dilipatgandakan
segala amalan yang dilakukan di bulan tersebut. Tapi
tetap saja, meski fitrah kita begitu mengenal keutamaan
Ramadan, ia dan hawa nafsu kerap kali tidak bersepakat.
Fitrah kita begitu mengenal Rabbnya dan mengajaknya
untuk bersegera memanfaatkan kesempatan emas
meraup pahala berlipat-lipat. Namun hawa nafsunya
tiada kenal lelah membisikinya untuk menyelisi fitrah
tersebut dan condong kepada hal - hal yang dibenci
Rabbnya serta menjauhkan dirinya dari jalan menuju
surga. Sehingga manusia akan selalu terbagi menjadi dua
kubu dan tidak ada yang di tengah-tengah.

K Θ ˶ ˴ K ˸䐀˸䁚 ϟ ΋ 䁚 ˴Ϊ ⃇ ˵ ϭ
“Semua orang di setiap paginya berjumpa dengan dua
pilihan. Maka barangsiapa yang mengorbankan dirinya
dalam kebaikan, dia telah memerdekakan jiwanya. Dan
barangsiapa yang mengorbankan dirinya dalam
keburukan, dia telah menghancurkan jiwanya.” (HR
Muslim)

Demikian kira kira makna yang disampaikan hadits di


atas.

Dari hadits tersebut kita mengetahui bahwa setiap orang


memiliki modal yang sama; usianya, tenaganya, dan
nikmat Allah lainnya yang ada padanya. Dan setiap
orang berdagang dengan modal tersebut. ada yang
membelanjakan usianya untuk melakukan kebaikan, ada
juga yang sebaliknya.
Saya terkenang dengan kata-kata ustadz ketika
membahas hadits ini.. "Orang berbuat maksiat itu juga
keluar modal. Justru seringkali maksiat itu berbayar,
sedangkan ketaatan itu gratis"

Maka manusia itu terbagi menjadi dua golongan.


Golongan pertama yaitu seseorang yang senantiasa
berusaha agar berada di dalam jalan kebenaran dan
menyeret raganya untuk berbuat ketaatan. Orang tersebut
mendidik dirinya sendiri dan menjaga agar ia senantiasa
mendapatkan kebaikan. Sedangkan golongan kedua
adalah orang yang menyia-nyiakan potensi yang ada
pada dirinya dengan mebiarkan dirinya berkubang dalam
lembah kemalasan atau kemaksiatan. Bagaimana
mungkin orang seperti ini dapat memperhatikan keadaan
orang lain? Sementara dirinya yang lebih penting untuk
dia selamatkan saja, dia lalai dan abai. Padahal jiwanya
adalah hal yang paling urgen untuk dia jaga.

Allah berfirman yang artinya,


“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. ”
(QS Asy Syams : 7-10)

Dalam ayat di atas, Allah bersumpah dengan jiwa. Ini


menandakan akan penting dan agungnya hal tersebut.
Lalu Allah memperkenalkan kepada dua jalan kemudian
bersaksi bahwa orang yang berada dalam golongan yang
pertama akan beruntung, sementara golongan kedua akan
merugi.

Kemudian Allah berfirman di surat An Nazi’at, yang


artinya,
“Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah
dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas
kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang
melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan
dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat
tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan
hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya).“ (QS An Naziat : 35-41)

Dalam tafsir Murohu Labid, penulis yaitu Syaikh


Muhammad Nawawi al Bantani menjelaskan makna
ayat-ayat di atas. Kelak akan ada satu hari dimana
manusia akan mengingat semua yang dia kerjakan di
dunia semasa hidupnya, semenjak balig hingga wafat.
Yang bahkan mungkin dia lupakan ketika dia masih
berada di dunia. Semua akan diingatnya dalam satu hari
saja. Ini menandakan betapa ngeri dan menegangkannya
hari kiamat kelak..

Neraka jahim yang hanya kita dengar ceritanya, dan


tidak dapat kita saksikan di dunia, akan ditampakkan di
akhirat kelak di hadapan kita. Dan kita akan melihatnya
dengan mata kepala kita sendiri.. sementara dunia yang
kita tinggali saat inilah yang akan jadi "cerita".
Barangsiapa yang bermaksiat semasa hidupnya di dunia,
dia akan dimasukkan ke dalam neraka. Adapun orang
yang takut kepada Rabbnya. Dia yakin bahwa ia akan
berjumpa dengan Rabbnya di hari kiamat kelak. Rasa
takut itu mendorongnya untuk semakin beramal dan
menahan hawa nafsunya untuk berbuat maksiat, maka
dia akan dimasukkan ke dalam surga.

Maka mari kita perhatikan dan renungkan ayat-ayat di


atas. Manusia terbagi menjadi 2 golongan. Yang satu
berada di surga dan yang lainnya di neraka. Dan apa
yang menjadi perbedaan antara keduanya? Sebabnya
adalah amalan mereka.

Pertanyaan besarnya adalah, kubu yang manakah kita?

Keutamaan Ramadan hanya untuk Orang yang


Beriman
Di bulan Ramadhan pintu - pintu surga dibuka, balasan
amalan dilipatgandakan, dan dimudahkan bagi manusia
jalan jalan untuk beramal kebajikan. Nabi sallallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “sesungguhnya pada bulan
Ramadhan dibuka pintu pintu surga, pintu - pintu neraka
dikunci, dan setan - setan dibelenggu” (HR. Bukhari &
Muslim)
Tapi mengapa masih temukan orang bermaksiat di bulan
yang begitu terang wibawa dan kemuliaannya? Karena
ternyata, keutamaan bulan Ramadan yang disebutkan
dalam hadits hanya diperuntukkan bagi orang orang yang
beriman dengan segala ketentuan Rabb mereka. Adapun
orang-orang munafik dan kafir, mereka tidak mengenal
dan tidak peduli betapa bernilainya kesempatan
berjumpa dengan bulan Ramadan, apalagi bulan selain
Ramadan. Pikiran mereka hanya berporos pada syahwat,
makanan, dan perkara duniawi lainnya. Wajar saja
apabila pintu neraka tetap terbuka lebar dan setan
senantiasa berkuasa membisikkan mereka untuk berbuat
kemunkaran.

Itu mengapa orang yang sebelum Ramadannya tidak


berhijab, ia tidak serta merta berhijab tatkala seruan
Ramadan bergema di telinganya. Orang yang berbuat
kesyirikan, tidak lantas meninggalkan kesyirikannya.
Tempat-tempat lokalisasi tetap tidak kehilangan
pelanggannya. Dan inilah sebab mengapa masih kita
temukan orang-orang bermaksiat di bulan Ramadan yang
mulia.

Maka, jika kita jujur dengan iman kita, sudah semestinya


kita menghargai kemuliaan bulan Ramadan dengan
seharusnya. Kita menjaga diri kita dari mengotori hari
hari puasa kita dengan rofats (berkata yang tidak
senonoh dan tidak baik), ghibah, mencaci maki, dsb.
Kita juga berusaha memanfaatkan potensi yang kita
miliki dan kesempatan amal yang terbuka lebar dengan
bersegera dan bersemangat di dalamnya.

Bayangkan sebuah sale atau diskon besar-besaran untuk


produk yang kita butuhkan. Apakah kita tidak tergerak
untuk membeli? Bagaimana dengan promo atau taster
gratis yang dibagikan di restoran-restoran yang terkenal
dengan kelezatan atau harganya yang mahal?
Mungkinkah kita dapat menahan untuk tidak ikut
mengantri?

Dengan merenungkan permisalan di atas, kita dapat


menyadari hakikat kehidupan kita. Bukankah di
sepanjang usia kita diberikan diskon 100% dari produk
yang dibutuhkan semua makhluk yang ada di dunia?
udara, alat pernafasan dan pencernaan yang sehat dan
gratis, waktu luang yang banyak, serta fasilitas tambahan
yakni berjumpa dengan Ramadan. Peluang mana yang
lebih besar dibandingkan bulan Ramadan, bulan penuh
kesempatan bertaubat, bulan yang dipenuhi dengan
waktu mustajab untuk berdoa, beramal, juga bulan yang
terdapat lailatul qadar di dalamnya, di mana beribadah di
malam tersebut pahalanya lebih besar dibandingkan
ibadah semisal yang dilakukan selama seribu bulan atau
sekitar 83 tahun!

Maka kita berdoa mudah-mudahan Alla mempertemukan


kita dengan bulan Ramadan dan diberi taufiq agar dapat
bersegera dan bersemangat menghidupkannya dengan
amalan-amalan ketaatan. Aamiin.
Majelis kedua
Kewajiban untuk Menyibukkan Waktu
Di Bulan Ramadan dengan Amalan Shalih
Layaknya bahasan pada majelis ini kita renungkan baik-
baik di tengah gegap gempitanya wabah yang entah
disadari atau tidak, telah menurunkan tempo beribadah
kita. Termaktub di judul bahwa kita wajib menyibukkan
waktu-waktu di bulan Ramadan dengan amalan shalih.
Inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita saat ini,
mengingat bahwa Ramadan akan datang sebentar lagi
dengan kondisi dunia yang tak seperti biasanya.
Sebagian besar muslim sepertinya merasakan bahwa
tantangan Ramadan di tahun ini akan lebih besar, maka
sepatutnya persiapannya pun haruslah lebih besar,bukan?

Disebutkan sebelunya bahwa judul majelis ini adalah


wajibnya menyibukkan waktu di bulan Ramadan, namun
uraian yang disampaikan nantinya
adalah fadhail (keutamaan-keutamaan) bulan ini.
Mengapa demikian?

Menurut pendapat kami pribadi, karena jika seorang


mampu memahami keutamaan-keutamaan bulan ini,
maka ia akan tahu betapa berharganya waktu-waktu di
dalamnya hingga tak akan terpikir baginya untuk
meluputkan amal shalih sekecil apapun di bulan
Ramadan. Dan ini selaras dengan maksud dari judulnya.
Asy Syaikh hafizhahullah juga menyampaikan dalam
kitabnya, bahwa ada dua macam manusia ketika
menjumpai Ramadan,

Pertama, adalah tipe orang yang totalitas, ingin meraup


seluruh amalan di bulan mulia ini. Kelompok ini adalah
para salafus shalih, yaitu orang-orang yang berbahagia
ketika bulan ini tiba. Mereka adalah orang-orang yang
menambah semangatnya dalam beribadah, mengerahkan
seluruh kemampuannya dalam kebaikan pada bulan
Ramadan. Meski sebenarnya di bulan lain amalan
mereka telah baik, namun itu kian bertambah ketika
Ramadan tiba.

Kedua, adalah orang mengambil faedah sekadar apa


yang Allah karuniakan, itu pun apabila ia tidak
terjerumus pada kelalaian dan kemaksiatan.
Dari kedua kondisi ini jelas bahwa penting bagi kita
untuk mengenal dengan baik keutamaan bulan Ramadan,
hingga hati kita bisa lekat padanya serta enggan
meninggalkan secuil pun kebaikan di dalamnya,
sebagaimana telah dicontohkan oleh para pendahulu kita
di kelompok yang pertama.

Di antara keutamaan bulan Ramadan adalah,

1. Puasa wajib selama satu bulan penuh.

2. Allah turunkan Al Qur’an di bulan ini.


Sebagaimana firman-Nya,

β ˵ ϟ˸䁚 DL ˵ ˵ ˶ βK˴

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan


(permulaan) Al Quran” (Al Baqarah: 185)

Dari ayat tersebut kita bisa memetik pelajaran bahwa


membaca Al Qur’an di bulan Ramadan memiliki
keistimewaan dibanding bulan-bulan yang lainnya.
Maka untuk memotivasi diri agar bersemangat membaca
Al Qur’an saat Ramadan kita perlu mengingat bahwa
setiap huruf dari Al Qur’an adalah kebaikan, dan
kebaikan tersebut akan dilipatgandakan sepuluh kali
lipat. MasyaAllah, ini menjadi kesempatan besar bagi
kita semua untuk memanen pundi-pundi kebaikan
sebanyak mungkin. Jangan sampai kita menjadi orang
yang merugi karena melewatkannya.

3. Terdapat satu malam yang lebih baik dari


seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qadr.

Jika kita konversikan seribu bulan maka malam Lailatul


Qadr setara dengan 80 tahun hidup kita. Tidakkah diri
tergugah mendengar berita hebat ini? Bayangkan, kita
bersedekah di malam ini, akan setara dengan bersedekah
sepanjang hari selama 80 tahun. MasyaAllah.. hal ini
berlaku bagi seluruh ibadah dan amal kebaikan yang kita
lakukan di malam itu, seperti shalat, dzikir, tilawah,
semua kebaikan yang dilakukan akan setara dengan 80
tahun melakukannya. Apabila kita diberi kesempatan
oleh Allah untuk menjumpai Ramadan lebih banyak,
kemudian beribadah dengan tekun di malam Lailatul
Qadr, tanpa kita sadari, kita telah memperpanjang usia
kita dengan limpahan kebaikan di dalamnya. Ini juga
akan menambal dosa-dosa buruk yang telah dilakukan di
hari-hari sebelumnya. Jadi, sungguh benar-benar merugi
orang yang menjumpai Ramadan namun tak ada banyak
kebaikan yang bisa ia dapatkan.

4. Amalan kebaikan kita dilipatgandakan.

Ini merupakan bukti bahwa Allah memuliakan waktu-


waktu di dalam bulan ini. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam yang kita ketahui merupakan manusia terbaik
yang dijamin surga oleh Allah pun tak menyia-nyiakan
waktu-waktu di dalamnya. Kenyataan bahwa beliau akan
masuk surga kelak sama sekali tidak menyurutkan
semangat beliau untuk menambah amal shalih di bulan
yang mulia ini. Disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia
mengisahkan bahwa,
耀⃇ ˶ Ω Ϯ˵ ϭ˴ β˸ϴ˵ Θ ˵ Ω Ϯ˵ Ά ˴ ϟ˸Ά Ά晦 ˵ ϭ
ϭ Ϫ Ά⃇ ϡ˴ ˵ ϟ˸Ά ⃇β Ϯ ϭ˴ ⃇β Ϯ Ϫ Ά⃇ Ϧ˸˴ ˶ 䁚
Ά ˴ ϟ˸Ά Ά晦 ˵ ϟ˸Ά νβ䐀⃇ ΦΆ ⃇ ˸˴ ˶ 䁚 ΔΆ˸˵
ϴ⃇β˵ Ϧ˶ β˸ϴ˵ Θ Ω Ϯ˵ ϭ ϡ˴ ˵ ϟ˸Ά ⃇β Ϯ ϟ˸ ˵ 䁚 β˵
ϟ˸Ά ˸˶ .ΔΆ β˸˵

“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah


manusia paling dermawan masalah kebaikan, dan
kedermawanan beliau mencapai puncaknya pada bulan
Ramadan di saat berjumpa dengan Malaikat Jibril. Dan
dahulu Malaikat Jibril ‘alaihissalam biasanya senantiasa
menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
setiap malam di bulan Ramadan hingga akhir bulan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al Qur’an
di hadapannya. Apabila beliau telah berjumpa dengan
Malaikat Jibril ‘alaihissalam beliau terasa begitu
dermawan dalam masalah kebaikan dibanding angin
sepoi-sepoi yang berhembus.” (Muttafaqun ‘alaih)
Kata �搰 ̳쁄(kebaikan) dalam hadits tidak terbatas pada
harta benda saja, tetapi juga tenaga, usaha, dan yang
lainnya. Beliau begitu totalitas, memberikan apa yang
beliau punya di bulan ini. Bagaimana dengan kita yang
tak terjamin akan memasuki surga-Nya?

5. Disyariatkan untuk mendirikan shalat


Tarawih di malam Ramadan di masjid secara
berjama’ah.

6. Allah menutup pintu-pintu neraka dan


membuka pintu-pintu surga bagi orang yang
beriman.

7. Allah membelenggu setan hingga tidak bisa


mengganggu orang yang beriman.

Sebab inilah mengapa sebagian besar muslim merasa


semangat mereka beribadah dan melakukan ketaatan
di bulan Ramadan lebih besar dibandingkan bulan
yang lainnya. Namun Allah hanya membelenggu
setan dari orang yang beriman saja. Ada pun pada
para Auliya’u Syaithan (kekasih setan) Allah tidak
membelenggunya. Siapa saja para kekasih setan?
Mereka adalah orang-orang kafir, orang munafik
(masuk Islam hanya berpura-pura untuk
mendapatkan kebaikan duniawi saja),
orang zindiq (seperti orang munafik, tapi tujuan
mereka masuk Islam untuk merusak agama ini dari
dalam), dan juga orang-orang fasiq. Sedangkan
kepada orang yang beriman, setan tak berkuasa di
bulan yang mulia ini.

Perlu kita tahu bahwa orang-orang yang melakukan


kesalahan lalu bertaubat, memohon ampunan Allah
adalah orang yang dibenci oleh setan. Ia kesakitan
ketika melihat manusia kembali kepada Allah. Untuk
itu kita harus banyak-banyak bertaubat, memohon
ampun kepada Allah sehingga bisa menjadi mukmin
dengan iman yang sempurna dan terhindar dari
golongan kekasih-kekasih setan.

Dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa bulan Ramadan


adalah bulan di mana Allah membuka kesempatan
seluas-luasnya kepada orang yang beriman untuk
memanen pahala. Banyak potensi amal yang bisa kita
kerjakan dengan ganjaran yang melimpah ruah di bulan
ini. karena inilah kita tak boleh bosan mempersiapkan
kedatangannya dengan mengilmuinya baik lahir mau pun
batin. Meski tampaknya kita hanya mengulang ilmu
yang sama dari tahun ke tahun, tak ada rugi sama sekali.
Sebab manusia memang tempatnya lupa, perlu nasihat
berulang hingga kebaikan dapat tertanam kuat dalam
benaknya.

Semoga uraian di atas bermanfaat. Ayo sibukkan diri


menuntut ilmu. Kita perlu waspada pada virus COVID19,
tapi itu bukan berarti kita boleh meninggalkan amalan-
amalan kebaikan. Semangat bersiap. Semoga kita
menjadi golongan orang-orang yang selamat. Aamiin
Majelis Ketiga
Penjelasan tentang Keutamaan Puasa
Kenapa Puasa itu Ibadah yang utama di sisi Allah?

Kita semua mengamini bahwa puasa adalah ibadah yang


sangat utama di sisi Allah. Begitu pula dari sisi manusia,
kita menghormati bahkan salut dengan orang-orang yang
berpuasa entah puasa wajib maupun puasa sunnah. Ini
menandakan kedudukan ibadah puasa di hati dan
mindset kita bukanlah seperti pandangan kita terhadap
kegiatan diet yang tidak memiliki nilai yang sakral sama
sekali. Tapi mungkin kita bertanya-tanya, apa yang
membuat puasa itu begitu spesial? Sampai sampai kita
kagum dengan orang yang suka melestarikannya, di
bulan Ramadan maupun di luar itu.

Pertama, orang yang berpuasa sejatinya ia sedang


mendahulukan Ridha Rabbnya dibandingkan hawa
nafsunya. Dia mengharamkan makanan dan minuman
bagi dirinya sendiri. Dia juga melarang dirinya sendiri
dari hal yang diinginkannya. Bahkan terkadang dia
sangat membutuhkan hal tersebut. Karena orang yang
berpuasa pastinya merasa lapar dan haus. Di sisi lain,
setiap orang terbiasa makan untuk menghilangkan
laparnya, atau minum untuk menghilangkan rasa haus,
dan tentunya dia mampu karena makanan dan minuman
tersebut ada di hadapannya. Akan tetapi semua itu dia
tahan dan dia tinggalkan kebiasaan tersebut. Ini adalah
sesuatu yang sangat berat. Dan inilah yang menjadi salah
satu sebab Allah sangat mencintai ibadah puasa.

Analogi yang sama juga berlaku pada hijrah. Kita semua


tahu bahwa balasan hijrah sangatlah besar. Hijrah
menghapuskan dosa-dosa seseorang di masa lampau
meski dosa tersebut setinggi gunung.

Shahabat ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu yang


menceritakan kisahnya ketika masuk Islam, beliau
Radhiyallahu anhu berkata yang artinya :
“… Ketika Allah menjadikan Islam dalam hatiku, aku
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku
berkata, ‘Bentangkanlah tanganmu, aku akan berbai’at
kepadamu.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membentangkan tangan kanannya. Dia (‘Amr bin al-
‘Ash Radhiyallahu anhu) berkata, ‘Maka aku tahan
tanganku (tidak menjabat tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam).’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya, ‘Ada apa wahai ‘Amr?’ Dia berkata, ‘Aku
ingin meminta syarat!’ Maka, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bertanya, ‘Apakah syaratmu?’ Maka aku
berkata, ‘Agar aku diampuni.’ Maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah engkau belum tahu
bahwa sesungguhnya Islam itu menghapus dosa-dosa
yang dilakukan sebelumnya, hijrah itu menghapus
dosa-dosa sebelumnya, dan haji itu menghapus dosa-
dosa sebelumnya?’” (HR Muslim)

Ini semua karena ibadah hijrah begitu sulit dilakukan.


Seseorang harus meninggalkan agama yang telah lama
dianutnya, gaya beribadah yang diajarkan orang tua dan
nenek moyangnya, dan menjadi terasing karena
agamanya berbeda dari segenap keluarga dan kerabatnya.
Dan semua itu dia lakukan karena mengutamakan ridha
Allah. Maka Allah balas dengan ampunan dan kebaikan
yang sangat besar.

Demikianlah pula ibadah puasa. Allah berfirman di


dalam hadits Qudsi yang artinya,
“Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan
membalasnya. Sesungguhnya ia meninggalkan
syahwatnya, makanan dan minuman karena Aku. Dan
bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi
Allah dibandingkan bau kasturi” (HR Bukhari & Muslim)

Perhatikan firman Allah di atas. Pada asalnya setiap


amalan anak Adam itu dia lakukan untuk kebaikan
dirinya sendiri. Berwudhu misalnya, maka itu untuk
menggugurkan dosanya atau untuk kesucian dirinya
sebelum ia mendirikan sholat. Shalat, itu kesempatan
bagi pelakunya untuk berbicara kepada Rabbnya dan
memohon kebaikan untuk diri dan keluarganya. Begitu
juga dengan ibadah-ibadah lainnya.

Terdapat suatu riwayat dari imam Al Bukhari yang


berbunyi, “Setiap amalan itu bisa menjadi kaffarah
(penebus dosa) kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu
untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya”.

Maka puasa yang dilakukan seseorang itu menjadi


persembahan yang istimewa untuk Rabbnya saja. Dia
meninggalkan hal-hal yang disukai dan dibutuhkannya
demi mendahulukan ridha Rabbnya. Dia mengharamkan
hal-hal yang pada asalnya mubah seperti makan, minum,
atau menggauli istrinya, demi mendekatkan dirinya
kepada Allah. Yang mubah saja menjadi haram, maka
apalagi perkara yang asalnya makruh atau sudah haram
(ghibah, mencaci atau mencela, berbohong, dsb), maka
lebih berlipat-lipat lagi larangannya. Dan Allah sendiri-
lah yang akan memilihkan balasan untuk orang yang
berpuasa.

Terkait dengan hadiah puasa, Allah tidak menyebutkan


secara spesifik balasan apa yang akan diterima oleh
orang yang berpuasa. Gaya bahasa seperti ini disebut
dalam bahasa arab dengan istilah “ib-ham”. Bentuk Ib-
ham dalam perkara hadiah bermaksud untuk memberi
kesan besar dan agungnya hadiah yang Allah siapkan.

Sebagaimana ancaman, tentunya kesan yang kita rasakan


akan berbeda tatkala kita diancam dengan kalimat
“Besok aku akan pukul tanganmu” dengan orang yang
berkata “Awas! Kalau aku ketemu kamu besok, aku akan
balas kamu!”. Maka ancaman kedua akan terdengar lebih
menakutkan dikarenakan dia tidak tau seperti apa
balasannya, sehingga dia tidak dapat mengantisipasi
balasan yang dimaksud orang tersebut.

Demikian pula dalam perkara hadiah. Semakin misterius,


semakin besar pula ekspektasi orang yang akan
menerimanya. Ditambah lagi bahwa besarnya hadiah itu
semestinya berbanding lurus dengan siapa yang
memberikannya. Semakin kaya, semakin tinggi
jabatannya, semakin dermawan orangnya, maka
ekspektasi kita tentang hadiah tersebut pasti akan
meningkat. Dan begitu pula dengan kenyataannya.

Tentunya hadiah yang dijanjikan oleh Raja Arab Saudi


misalnya, dengan hadiah yang mampu diberikan oleh
seorang tetangga atas kebaikan kita akan berbeda dari
segi nilainya. Maka Lebih lebih lagi tatkala yang
menjanjikan hadiah untuk puasa yang kita lakukan
adalah Allah. Allah Al Ghaniy, Yang Maha Kaya, Al
Jawwad, Maha Dermawan, dan Asy Syakur, Yang Maha
Membalas Kebaikan Hamba. Tentunya akal kita tidak
dapat membayangkannya.

Di sisi lain, bau yang dihasilkan dari mulut orang yang


berpuasa dikarenakan lambungnya kosong, merupakan
sesuatu yang dibenci manusia. Akan tetapi bau tersebut
sangat dicintai Allah karena ia adalah hasil dari ketaatan
kepada Allah. Dan ia rela dijauhi manusia karena bau
mulutnya demi ibadahnya kepada Allah. Ini menjadi
sebab mengapa Allah mencintai puasa yang
dilakukannya.

Kedua, Allah memerintahkan puasa kepada setiap


muslim bahkan mewajibkannya pada bulan Ramadan
sebagaimana firman Allah berikut, yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah :
183)
Tidak mungkin Allah mewajibkan suatu amalan
melainkan pasti Allah mencintai amalan tersebut. Maka
inilah sebab lain dari keutamaan ibadah puasa.

Di samping itu Rasulullah sendiri senang melakukan


puasa sunnah di luar bulan Ramadan karena Allah
menyukainya. Meski demikian Allah tidak memberatkan
hamba-Nya dan hanya mewajibkan puasa satu bulan saja
dan membiarkan hamba tersebut memilih untuk berpuasa
sunnah atau tidak di luar bulan Ramadan.

Ketiga, orang yang berpuasa pada hakikatnya sedang


melakukan ibadah sabar (dalam ketaatan dan
meninggalkan larangan Allah). Sementara sabar
memiliki balasan yang tidak berbilang, sebagimana
firman Allah dalam surat Az Zumar ayat kesepuluh yang
berbunyi,
˴ β˸ Θ βϮ˵ ˴βΘ ˵ 䁚 ⃇ ˸⃇
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah
yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”
Dalam kitabnya yang berjudul Baghiyyatul Insani fii
Wazhaa-ifi Ramadhan, Ibnu Rajab al Hanbali mengutip
beberapa riwayat,

“Puasa adalah setengah dari kesabaran” (HR At-Tirmidzi)

Dalam riwayat lain, Dzun Nun Al Mishri pernah ditanya,


“Kapan aku telah dikatakan telah mencintai Rabbku?”.
Beliau menjawab, “Ketika apa yang dibenciNya lebih
pahit bagimu untuk kau lakukan dibandingkan
kesabaran”. Selain itu beliau berkata, “Bukankah
termasuk tanda kecintaan jika engkau mencintai apa
yang dicintai kekasihmu?”.

Setelah bersabar, orang yang berpuasa itu juga


melakukan ibadah syukur, yakni ketika dia makan
kemudian bersyukur atas nikmat yang telah dihalalkan
baginya di waktu berbuka puasa.
"Orang yang makan dan bersyukur itu sama
kedudukannya dengan orang puasa yang bersabar." (HR
at Tirmidzi)
Dengan mengetahui ketiga sebab tersebut kita semakin
yakin bahwa Allah sangat mencintai ibadah Puasa. Oleh
karena itu hendaknya seseorang bersungguh-sungguh
dalam menjalankan ibadah tersebut dengan
memperbagus niatnya dan juga puasa itu sendiri. Karena
hakikat puasa bukan hanya terletak pada lapar dan haus
yang ia rasakan. Akan tetapi hakikat puasa itu terletak
pada perilaku menahan diri dari melakukan segala yang
Allah haramkan.

Dia menjaga diri untuk tidak melampiaskan syahwatnya


terhadap pasangan yang halal baginya (apalagi yang
tidak halal, maka berlipat-lipat lagi dosanya apabila ia
melanggar), berupaya lebih dalam menjaga
pandangannya, dan juga mengontrol lisannya agar tidak
mencaci, mencela, ghibah, namimah, dan semua yang
akan merusak puasa persembahannya kepada Allah.

Karena kedudukan puasa yang agung, ketika seseorang


telah memasuki waktu imsak, wajib baginya
menghindari perkara-perkara yang tidak berkaitan
dengan ibadah puasanya. Sebagaimana Dalam ibadah
haji dan umrah, ketika seseorang telah berihram, dia
wajib untuk meninggalkan segala sesuatu yang
dihalalkan baginya sebelum ihram. Contohnya, memakai
pakaian berjahit, memakai wewangian, menutup kepala
bagi laki laki, melakukan hubungan pasutri, atau
memotong rambut dan kuku. Maka disini ada perkara
perkara yang diharamkan dikala puasa saja seperti
makan, minum, dan jima’. Dan ada pula yang
diharamkan terus menerus akan tetapi pengharamannya
semakin berlipat manakala dilakukan di saat berpuasa.
Seperti menjaga lisan dari membalas makian atau celaan
seseorang. Karena rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Jika seserang mencelamu atau memakimu,
maka katakanlah : ‘Sesungguhnya aku sedang
berpuasa’.” (HR Bukhari & Muslim). Dari hadits
tersebut dapat dipahami, jika membalas celaan orang
terhadap kita saja tidak diperkenankan, apalagi jika kita
yang memulai mencela orang lain?!

Kita memohon kepada Allah agar memberi kita taufiq


untuk melaksanakan semua ibadah yang dicintai dan
diridhaiNya.
Majelis Keempat
Menjaga Puasa dari Hal yang Merusaknya
Bismillahirrahmanirrahim.

Jejak yang ditorehkan puasa adalah mendorong kita pada


akhlak yang terpuji, memudahkan kita melakukan
ketaatan serta menjauhi perkara yang haram dan makruh.
Dengan berpuasa, kita juga akan terhindar dari perkara-
perkara yang dapat merusak diri.

Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah


mengumpamakan puasa seperti pakaian. Apabila kita
menjaga pakaian dari kotoran, juga dari hal yang dapat
merusaknya, maka pakaian tersebut akan tetap nyaman
dikenakan. Jika mengenakannya, ia akan memperbagus
tampilan diri serta melindungi kita dari terpaan panas
dan dingin. Namun apabila kita tidak bisa menjaganya,
tentu pakaian tersebut akan rusak, koyak, tidak layak
dikenakan lagi. Malah apabila kita memaksakan diri
mengenakannya, ia hanya akan memperburuk tampilan.
Selain itu, fungsinya pun tak bekerja secara maksimal.
Begitulah pula yang terjadi pada puasa. Apabila
seseorang tak bisa menjaga puasa dari hal yang dapat
merusak dan mengotorinya, maka tak ada faedah yang
bisa diteguk dari puasanya selain kelelahan, rasa haus,
serta lapar saja.

Oleh sebab itu, disebutkan dalam sebuah hadits.


Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ϟ˶ ˸ Ϧ˶ ϟϴ˴ ΋ ˴ 䐀˵ ˴ ˴ ˵ ϟ˶ ˸晦 Ϧ˶ ϟϴ˴ ΋ 晦
βK ˵

“Betapa banyak orang yang berpuasa, hanya


mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja, dan
betapa banyak orang yang melakukan Qiyamul Lail
hanya mendapatkan darinya terjaga (begadang) saja.”1

Mengapa demikian?

Karena ia tidak dapat menjaga puasanya dari hal-hal


yang dapat merusaknya. Perusak inilah yang seringkali
di abaikan orang,

1. Tidak dapat menjaga lisannya dari hal-hal yang


Allah larang.

1
Dikeluarkan oleh Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak (431/1) dan
Ahmad dalam Al Musnad (373/2) dan Al Baihaqiy dalam Sunan Al
Kubra (270/4). Dishahihkan oleh Al Albani di Shahihul Jami’ no.
3488
Misalnya, ia berpuasa namun gemar menggunjing,
mencaci maki, mengumpat, mengucapkan kata-kata
kotor, dan hal lain yang diharamkan. Hal-hal ini, meski
tak membatalkan puasa seseorang, namun puasanya tak
lagi sempurna. Bahkan bisa menjadikan puasanya sia-sia
saja, sebab tak ada pahala yang didapatnya. Maka
sebaiknya kita menyibukkan lisan kita dengan berdzikir
kepada Allah, memperbanyak tilawah Al Qur’an,
bertasbih, dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang sesuai
dengan kondisi orang yang sedang berpuasa.

2. Tidak bisa menjaga pandangan dari hal-hal yang


diharamkan.

Berpuasa namun gemar mengumbar pandangannya ke


lawan jenis di tempat-tempat keramaian dan tidak
berusaha menjauhkan pandangannya dari hal-hal yang
diharamkan. Orang seperti ini meski ia tinggal di dalam
rumah pun, tak ada jaminan ia akan aman dari kerusakan.
Sebab masih banyak kesempatannya membuka hal-hal
yang tidak sesonoh melalui gawai dengan menonton
video-video yang isinya hanyalah sampah, hingga
membuatnya dikuasai nafsu, tak punya rasa malu lagi
menonton hal yang tak pantas disaksikan oleh seorang
muslim. Maka jika hal tersebut dilakukan, tak akan ada
yang tersisa dari puasanya selain hanya rasa lelah, lapar
dan haus saja. Sungguh sayang sekali.

3. Tidak bisa menjaga pendengaran.

Ini jamak di sekitar kita. Sedang berpuasa namun


mendengarkan musik, nyanyi-nyanyian, ghibah, dan
suara lain yang tidak Allah ridhai. Tak heran jika
puasanya tak akan memberi manfaat kepadanya.

Oleh karenanya, wajib bagi seseorang yang berpuasa


untuk memperhatikan perkara-perkara di atas. Tak hanya
perut yang berpuasa dari makan dan minum, kemaluan
yang berpuasa dari berhubungan suami istri, namun lisan
kita juga harus berpuasa dari ucapan-ucapan yang buruk,
mata berpuasa dari menyaksikan hal yang dilarang, serta
telinga berpuasa dari mendengarkan sampah-sampah
yang tidak sesuai dengan syariat.

Sebagai tambahan faedah. Bagi yang berpuasa, ada dua


macam hal yang diharamkan,
Pertama, hal yang sebelum puasa mubah (boleh)
dilakukan, menjadi haram ketika berpuasa. Contohnya:
makan, minum, jimak.

Kedua, hal yang memang haram sebelumnya, menjadi


bertambah keharamannya ketika berpuasa. Contohnya:
maksiat.

Sebab inilah, kita benar-benar harus menjaga diri kita


dari hal yang buruk selama Ramadan. Karena kerusakan
yang diakibatkan juga bertambah. Jika di bulan puasa
hanya diri yang terimbas dari keburukan yang dilakukan,
namun pada bulan Ramadan, selain diri, puasa kita turut
dirusaknya pula.

Selain itu, hal yang menjadi poin penting yang dibahas


oleh as Syaikh hafizhahullah di kitab beliau adalah
perkara pentingnya menjaga lisan. Bahkan ada hadits
yang menjelaskan apa yang harus kita lakukan ketika ada
orang yang mencaci maki kita saat sedang berpuasa.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

. ΋晦 ⃇, ΋晦 ⃇: ˸Ά䁚 ϟ˸ ˴ ˴˵ Ϊ˴˵ ϟΘ 䁚
“Apabila ada seorang yang mencaci makimu, maka
katakanlah: Aku berpuasa, Aku berpuasa.”2

Terdapat khilaf mengenai makna kalimat ΋ 晦 ⃇(aku


berpuasa) pada hadits di atas. Ada dua pendapat,

Pertama, kalimat ΋ 晦 ⃇ diucapkan kepada orang yang


mencaci maki secara langsung. Hal ini seakan
menunjukkan bahwa jika saja sedang tidak berpuasa,
sebenarnya diri punya kemampuan untuk membalas caci
maki tersebut.

Kedua, kalimat ΋ 晦 ⃇ diucapkan di dalam hati saja


sebagai pengingat diri.

Kedua pendapat di atas benar. Maka hendaknya


seseorang mengucapkan ΋ 晦 ⃇ (aku berpuasa) di
dalam hatinya dan juga di lisannya. Dalam hati untuk
mengendalikan amarahnya, dan dengan lisan untuk
menyampaikan udzur kepada orang lain mengenai alasan
mengapa ia tidak membalas.

Sebenarnya membalas cacian diperbolehkan dalam Islam,


namun dengan syarat harus setara (dalam hal kuantitas
2
Diriwayatkan oleh al Bukhari (1795, 1805) dan Muslim (3595)
dan kualitasnya) sebab ini juga bagian dari qishash.
Akan tetapi saat Ramadan, saat kondisi kita sedang
berpuasa, hal ini menjadi terlarang, karena akan
memengaruhi puasanya. Poin ini perlu kita ingat baik-
baik, membalas cacian saja tidak diperbolehkan, lebih-
lebih memulainya.

Terang bahwa uraian di atas menunjukkan wajibnya


menjaga lisan kita saat berpuasa. Karena perkara lisan ini
seringkali menjadi akar suatu masalah baik ketika
seorang berpuasa atau pun tidak. Sebagaimana dijelaskan
dalam sebuah hadits. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda,

Ϊ΋ ˴ ⃇ βϴ ˶ Ά : D ˴˵ K Ϯ˴ Ά ˵ 䁚 ˵ 耀⃇ ˴
K˸ ˵˵

“Tidaklah manusia tersungkur di Neraka pada wajah


mereka atau hidung mereka melainkan dengan sebab
lisan (ucapan) mereka.“3

3
Dikeluarkan oleh Ahmad (237, 233/5) dan At Tirmidzi no.2616,
dan Ibnu Majah no.3973. Dishahihkan oleh Al Albani di Shahihul
Jami’, no. 5137
Perkataan memang mudah sekali kita lontarkan, manusia
pun menikmati hidupnya dengan saling bercakap-cakap,
akan tetapi konsekuensinya ternyata berat sekali. Kita
bisa terhempas ke tempat yang hina karenanya. Maka
perhatikanlah hal ini dengan baik, Semoga Allah
menjaga lisan kita semua.

Demikianlah bahasan mengenai hal yang dapat merusak


puasa. Setelah mengetahui hal ini, semoga Allah
memberi taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua
sehingga di Ramadan -yang insyaallah akan datang
sebentar lagi- kita bisa menjadi golongan orang yang
mendapat ghanimah yang banyak, sehingga bisa
mengantarkan kita ke surga-Nya. Aamiin.
Majelis Kelima
Keutamaan Infaq di Bulan Ramadhan
Bukti Imanmu

Seseorang tidak dapat kehilangan objek yang dicintainya


kecuali demi seseorang atau sesuatu yang dia cintai -
melebihi kecintaannya terhadap objek pertama.
Sekiranya demikian makna suatu bait syarah bulughul
maram yang ditulis oleh Ibnu Utsaimin.

Dan sudah maklum bahwa manusia sejak zaman dahulu


kala memiliki keterpautan hati yang spesial dengan harta.
Dengan kata lain, sulit bagi kita untuk tidak gembira
tatkala jadwal gajian atau momen "rejeki nomplok" itu
tiba.

Itu mengapa Sedekah dalam bahasa arab disebut


Shadaqah yang penamaannya diambil dari kata Shidqu
(Ketulusan). Maknanya adalah, orang yang bersedekah
dan ikhlas dalam sedekahnya itu menandakan bahwa
imannya tulus. Dia membuktikan bahwa cintanya kepada
Allah melebihi cintanya kepada harta. (Fathul Qadir,
2/399)
Dalam Majelis ke 5 dalam kitab Majalis Syahri
Ramadhan al Mubarak, syaikh menjelaskan akan
keutamaan infaq atau sedekah secara umum,
pembagiannya, dan memberikan catatan-catatan penting
terkait sedekah yang dilengkapi dengan dalilnya.

Banyak faidah yang berhasil memikat hati saya, namun


saya tak dapat menuliskan seluruhnya. Jadi saya tulis
semampu saya.

Sepele untuk kamu, spektakuler untuk Allah

Rasulullah bersabda dalam hadits riwayat bukhari :


"Takutlah kepada neraka meski hanya dengan
(mendermakan) secuil kurma, jika kamu tidak
memilikinya, minimal dengan berkata yang baik"

Dari hadits ini kita diajari untuk tidak meremehkan


amalan sekecil apapun.

Bayangkanlah sebutir kurma yang tampak sepele, lebih-


lebih lagi secuilnya, ternyata dapat melindungi seseorang
dari api neraka yang begitu dahsyat manakala ia
disedekahkan. Apalagi jika kita bersedekah dengan yang
lebih besar atau lebih banyak!

Di antara sebab yang menjadikan sedekah (meski sedikit)


begitu spektakuler di sisi Allah karena jangkauan harta
itu begitu luas. Kebaikannya tidak berhenti di satu
tempat. Seperti ketika kita bersedekah untuk membangun
sekolah, maka dengan sekolah tersebut anak-anak belajar
dan memahami agama, kemudian mereka menyebarkan
kebaikan yang mereka dapat di sekolah ke penjuru
negeri.

Maka jangan tertipu dengan nilai yang tampak. Karena


ketika Allah menerima sedekah seorang hamba yang
ikhlas, Allah lah yang akan merawat dan
mengembangkan nilainya hingga ia terus berlipat ganda
sampai sebesar gunung.

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-


orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui."
(QS Al-Baqarah : 261)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Bukhari, Ibnu


Majah, dan yang lainnya, Rasulullah bersabda

"Sedekah kepada orang miskin dihitung satu amalan, dan


kepada kerabat dihitung dua yaitu : sedekah dan silah
(menyambung kekerabatan)"

Dari hadits di atas kita mengetahui urutan sedekah yang


lebih utama.. yakni mendahulukan keluarga
dibandingkan orang lain, lebih-lebih lagi jika keluarga
atau kerabat tersebut sangat membutuhkan. Dengan
demikian kita berharap mendapatkan 2 pahala, yakni
pahala sedekah dan juga pahala silaturahim.
Kenapa Enggan Bersedekah?

Kita saksikan begitu banyak orang yang senang


mengumpulkan harta. Tapi di sisi lain mereka benci
mendermakannya. Padahal hakikat harta tersebut adalah
pemberian dari Allah, bukan semata-mata milik mereka.
Maka apa yang orang cari dari menumpuk harta? Lelah
dan letih saja? Stress menjaganya agar tidak dicuri orang?
Sementara dia sadar bahwa ketika dia mati, dia tidak
akan membawa sesuatu apapun ke dalam kuburnya
selain kafan yang dikenakannya. Lantas apa yang tersisa
dari hartanya setelah ia wafat jika dia tidak
menginfakkannya di jalan Allah? Justru harta tersebut
beralih menjadi milik ahli warisnya dan manfaatnya pun
ikut berpindah.

Untuk itu Rasulullah mengajarkan kita cara untuk


mengekalkan manfaat suatu harta meski kita telah tiada.
Beliau bersabda

"Jika anak adam meninggal, terputuslah seluruh


amalannya kecuali 3 : sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, doa anak yg shalih" (HR. Muslim)

"Tangan akan binasa, Sedekah-lah yang abadi"


Bersedekah ≠ Buang sampah

Seperti yang kita tau sebelumnya, manusia begitu


mencintai harta. Tak banyak orang yang ringan
menginfakkannya begitu saja. Dan di antara bentuk
kecintaan lainnya terhadap harta adalah ketika seseorang
hanya akan bersedekah dengan sesuatu yang tidak begitu
berharga lagi baginya, atau dengan sesuatu yang bahkan
tidak disukainya. Misal seorang perempuan yang
menyumbangkan baju yang sudah sobek atau lusuh ke
orang lain, atau memberi makanan yang tidak disukainya
entah karena rasanya, atau keadaannya yang sudah tidak
baik. Padahal jika dia sendiri yang diposisikan sebagai
penerima tentulah dia sendiri tidak sudi untuk
menggunakan pemberian-pemberian tersebut.

Padahal Allah berfirman yang artinya,

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan


allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS Al-Baqarah :
267)
Kemudian di surat yang lainnya,
"Tidaklah kalian akan menuai kebaikan sampai kalian
berinfaq dengan sesuatu yang kalian sukai" (Ali Imran :
92)

Serta di dalam hadits Arba'in yang ke 10 yang ditulis


oleh imam An Nawawi, dari Abu Hurairah beliau
berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah
adalah baik dan tidaklah menerima kecuali yang baik."

Demikianlah faidah yang dapat kita petik dari majelis ke


5. Hendaknya kita mengamalkan apa yang telah kita
ketahui dari penjelasan dan dalil-dalil di atas. Mudah-
mudahan dengan mengamalkannya serta ikhlas di
dalamnya, kita turut membuktikan keimanan kita kepada
Allah. Kita juga berdoa agar Allah senantiasa memberi
kita taufiq dan melindungi hati kita dari penyakit yang
dapat merusaknya seperti kecintaan terhadap dunia dan
takut mati (Al Wahn). Karena tidaklah tegak segala
urusan kita kecuali karena pertolongan Allah semata.

˴ ˵⃇ Θβ ⃇ ˸ ˴˴ ⃇ Ϧ˸˵ ˴˴ ˴ ˵ ˵ ⃇ K˸

Allaahumma innii as-aluka hubbak wahubba liman


yuhibbuk wa hubba 'amalin yuqorribunii ilaa hubbik

"Ya Allah aku meminta kepada-Mu kecintaan terhadap


Engkau, dan kecintaan kepada orang-orang yang
mencintaiMu, serta terhadap amalan-amalan yang
mendekatkan diriku kepada cintaMu."
Majelis Keenam
Pembahasan Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di
Bulan Ramadan serta Keagungan Sifat-sifat Beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillaah, wasshalaatu wassalaamu ‘alaa
rasuulillaah.

Mengingat betapa agungnya akhlak Nabi Shallallahu


‘alaihi wasallam, maka tak heran jika para ulama
berlomba-lomba menorehkan pena untuk membukukan
keelokan sifat-sifat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kitab-kitab itu dinamai dengan asy Syamail al
Muhammadiyyah. Di antara yang masyhur adalah
kitab Syamail Nabi karya Abu Isa at
Tirmidzi rahimahullahu.

Indahnya sifat beliau memang sepatutnya kita resapi,


sebab Allah Ta’ ala telah mengaruniakan kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kebaikan yang
melimpah, yang tidak diberikan kepada makhluk-Nya
yang lain. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
rasul terbaik, pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa
serta anak cucu Adam seluruhnya. Tidak ada seorang
pun yang sanggup menyamai beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Namun ketahuilah kawan, menjadi yang
terbaik, janji ampunan Allah serta jaminan Surga-Nya
tak lantas membuat semangat beliau dalam beribadah
memudar. Kita bisa menengok betapa agungnya sifat
beliau melalui semangat beliau dalam beribadah. Di
antaranya ibadah-ibadah tersebut yaitu,

1. Qiyamul Lail

Akan kita dapati bahwa beliau melakukan Qiyamullail


dengan sungguh-sungguh hingga telapak kaki beliau
pecah-pecah. Melihat hal itu, Ibunda
Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,

Ϊ ϭ˵ ˴䁚˵: D βϴ ˶˴ Ϧ˶ ϡΪ ˶ ˵ β Ϊ˴ 䐀 ˵
4
耀˴

“‘Mengapa Engkau melakukan ini, padahal Allah telah


mengampuni dosa-dosamu yang akan datang dan yang
telah lalu?’ Rasulullah menjawab, ‘Bukankah sudah
sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR.
al Bukhari, Muslim)

MasyaAllah, demikianlah keagungan perangai beliau.


Andai kita yang mendapat iming-iming kenikamatan di
4
Dikeluarkan oleh al Bukhari (1130) dan Muslim (819)
awal, apakah semangat menghamba akan semakin
membara? Inilah di antara perbedaan kita dengan beliau,
manusia terbaik pilihan Allah. Selain itu, dari hadits di
atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa orang yang
besar syukurnya, maka dia akan rajin
melakukan Qiyamul Lail. Mari kita catat baik-baik
dalam benak kita mengenai hal ini. Agar semangat untuk
mendirikan shalat malam tak hanya berhenti di angan
saja.

Masih tentang Qiyamullail-nya Rasulullah, ada


penjelasan di hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, bahwa seorang sahabat bernama Hudzaifah bin
al Yaman radhiyallahu ‘anhu pernah shalat malam
bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mengira
akan sanggup mengimbangi shalatnya Rasulullah. Maka
shalatlah beliau lalu Rasulullah membaca surat al
Baqarah seluruhnya, dilanjut dengan membaca surat an
Nisa seluruhnya, lalu surat Ali Imran seluruhnya.
Tidaklah Rasulullah membaca ayat tentang rahmat,
kecuali beliau berhenti untuk berdoa agar mendapatkan
rahmat Allah. Juga beliau tidaklah membaca ayat
ancaman, kecuali beliau berhenti dan berdoa memohon
perlindungan Allah dari adzab tersebut. Akhirnya
Hudzaifah mengatakan, “Sampai-sampai aku
berkeinginan untuk duduk saja dan meninggalkan beliau
sendirian”5 sebab panjangnya shalat Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam.

Dari kisah ini, ada beberapa faedah yang bisa kita petik,
yaitu:

 Dalil bolehnya Qiyamullail berjamaah saat


Ramadan.
 Bolehnya membaca beberapa surat dalam satu
rakaat.
 Boleh membaca surat tanpa berurutan.

Demikianlah gambaran shalat beliau di malam hari. Dan


ruku’ beliau sama panjang dengan berdirinya, begitu pun
sujudnya.

2. Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

5
Dikeluarkan oleh al Bukhari (1135) dan Muslim (773)
Mengenai gambaran puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau banyak berpuasa hingga para sahabat
beranggapan beliau tidak ingin meninggalkan puasa, lain
waktu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berpuasa
hingga para sahabat beranggapan beliau tidak ingin
berpuasa. Begitulah adanya. Lain waktu beliau berpuasa,
lain waktu tidak.

Hikmah dari kadang beliau puasa dan kadang tidak


adalah dikarenakan beliau ingin agar ibadah yang
dilakukan tidak terasa mudah sebab telah terbiasa
melakukannya. Mengenai hal ini, ada tambahan
penjelasan dari Syarah Syamail Nabi karya Imam at
Tirmidzi berjudul Mawahib al Muhammadiyah yang
diuraikan oleh Ustadz Aris hafizhahullah di kajian kitab
serupa.

Terdapat hadits di Syamail Nabi, diriwayatkan oleh Anas


bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Beliau ditanya mengenai
puasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau
menyampaikan,
ϟ ˶ βϴ ⃇ ˴ ϟ ˶ β ⃇ ˵ Ϊ⃇β⃇ ˵ β Ϧ˵ ˸˴ βK ˵ Ϧ˶ ϡ ⃇ ϭ
˸Ά˵ Ϧ˶ Ϫβ ˵˯ ϭ˴ ˸˴ ϟ ˶ ϡ ⃇ ˵ Ϊ⃇β⃇ ˵ β ˸˴
˸΋ ϟ˸⃇˵ ⃇ ˸΋ ˴ ϟ˸⃇˵ ˸˴ ˸Ά ˶

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu bulan


memperbanyak puasa sampai-sampai kami beranggapan
bahwasanya Nabi tidak ingin untuk tidak berpuasa di
bulan ini, namun di bulan yang lain Nabi tidak berpuasa
sampai-sampai kami berpandangan bahwa Nabi tidak
ingin berpuasa pada bulan ini. Dan tidaklah engkau
berkeinginan melihat Nabi shalat di suatu malam,
kecuali engkau melihatnya dan tidaklah engkau ingin
melihat Nabi tidur (di malam hari) kecuali engkau akan
melihatnya”

Imam at Thibiy mengatakan bahwa ibadah Nabi adalah


pertengahan. Tidak kurang mau pun berlebihan.

Sebagian ulama menjelaskan faedah hadits di atas


bahwasanya Nabi tidaklah merutinkan waktu tidur
sekian jam dan waktu shalat di jam tertentu, karena bagi
orang-orang yang merutinkan suatu hal, maka hal itu
akan menjadi mudah baginya. Rasulullah tidak
melakukannya (memiliki jam biologis) agar beliau tetap
merasa kesulitan sehingga pahala yang beliau dapatkan
bertambah karena mendapatkan pahala masyaqqah. Hal
ini juga berlaku bagi puasa beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam.

Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Fathul


Bari menyampaikan, “Nabi tidak menentukan waktu
shalat tahajjud secara rutin di jam tertentu.”

3. Jihad fii sabilillah

Beliau adalah pendekar pemberani yang berdiri di garda


terdepan menghadapi musuh, hingga para sahabat
berlindung di balik tubuh beliau. Hal ini disampaikan
oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang
terkenal akan keberaniannya- bahwa para sahabat
berlindung di balik Nabi ketika perang sedang membara
pada puncaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah orang yang paling dekat dengan musuh.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Ali bin Abi
Thalib, ia menyampaikan,
Θβ ˵ ˴ Ά ˴ ϟ˸Ά Ά晦 D βΘ Ά Ϧ ˴ ΪΘ ϡ ⃇ ˸⃇˵ Ϊ ˵
Θ ˶ ⃇ ˵ Ϊ˴˵ Ϧ˶ ϭ˴ ˴Ϊ䐀˵ ˵⃇

“Kuperhatikan diri kami saat Perang Badar. Kami


berlindung pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Beliau adalah orang yang paling dekat dengan musuh
dan orang yang paling banyak ditimpa kesulitan“6

4. Sedekah dan kedermawanan

Beliau adalah manusia paling dermawan.


Beliau Shallallahu’ alaihi wasallam jarang menyimpan
harta meski banyak sumber kekayaan yang datang
kepada beliau; dari jihad, ghanimah, hadiah, dan harta-
harta lainnya. Semua beliau infakkan ke jalan Allah dan
kepada orang-orang yang membutuhkan, hingga di akhir
hayat beliau, masih ada utang yang belum terbayarkan.
Beliau menggadaikan baju perang kepada orang Yahudi
untuk ditukarkan dengan 30 sha’ gandum untuk keluarga
beliau. Hal ini disampaikan dalam hadits dari
Aisyah radhiyallahu’anha, ia mengatakan,

6
Dikeluarkan oleh Ahmad (156, 126, 86/1). Syaikh Ahmad Syakir
dalam Tahqiq Al Musnad : “Sanadnya Shahih” (654).
Ϧ˸a˴eΘ Ω K⃇ Ϊ Δ β˶ ϟ Ω˴ Ά ˴ ϟ˸Ά Ά晦 D 䁚
β˸䐀˴ Ϧ˶ 晦

“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat,


sedangkan baju perang beliau masih digadaikan kepada
seorang Yahudi dengan nilai tiga puluh sha’ gandum.”

Dari hadits di atas, kita bisa mengambil beberapa faedah


sebagai berikut:

 Masih ada orang Yahudi di Madinah di saat


mendekati Rasulullah wafat.
 Jaminan atau agunan diperbolehkan pada jual
beli nontunai di samping utang piutang.
 Bolehnya jaminan dalam utang piutang, meski
bukan dalam keadaaan safar.
 Boleh muamalah dengan orang kafir.
 Bolehnya jual beli nontunai.

Selain itu hidup Rasulullah tidaklah bergelimang


kemewahan. Kehidupan beliau sebagaimana kehidupan
orang-orang fakir. Beliau menyerahkan hartanya untuk
jalan Allah dan untuk menarik simpati orang agar masuk
Islam. Beliau juga tidak pernah menolak peminta-minta,
meski yang diminta adalah sandang yang padahal itu
beliau butuhkan. Dikisahkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu. Dia
menyampaikan,

“Seorang wanita telah datang kepada Nabi Shallallahu


‘alaihi wa sallam dengan membawa suatu pakaian,
berupa kain yang bermotif, lalu wanita itu berkata,
‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya
datang kepada anda untuk memberikan ini untuk anda’,
lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengambilnya, di mana beliau memang sangat
membutuhkannya hingga beliau memakainya, kemudian
kain itu dilihat oleh seseorang dari para sahabat beliau,
seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, betapa indahnya kain tersebut, maka berikanlah
kain itu kepadaku?’ Beliau berkata, ‘Ya’, dan ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak untuk
memberikannya, para sahabat yang lain mencela orang
tersebut seraya berkata, ‘Engkau tidak bersikap baik
ketika melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengambil kain itu dari wanita tadi karena
membutuhkannya, lalu engkau memintanya padahal
engkau tahu bahwa tidaklah beliau itu dimintai sesuatu
lalu beliau menolaknya’, dia berkata, ‘Demi Allah,
tidaklah ada hal lain yang mendorongku melakukan itu
melainkan karena aku berharap keberkahannya ketika
telah dipakai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan aku berharap agar dikafani dengan kain
tersebut.“

MasyaAllah, demikianlah gambaran betapa besar


kedermawanan beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam harta. Beliau menghabiskan hartanya
bukan untuk tabdzir (membelanjakan uang untuk
kemaksiatan), israf (boros), mau pun bermegah-megahan.
Dan kedermawanan ini bertambah ketika bulan Ramadan.

Setalah membaca gambaran ibadah dan sifat beliau, kita


dihadapkan pada realita bahwa kita tidak mungkin
mampu mengejar, apa lagi melampaui kebaikan
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Meski
demikian, kita diperintahkan untuk meneladaninya.
Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat al
Ahzab: 21,
Δ ˴Γ ˵‫ ؝‬D 䁚 耀˵ ϭΪ˵

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri


tauladan yang baik bagimu”

Oleh karena itu, tak selayaknya bagi kita beralasan “Aku


tidak bisa karena aku tidak seperti Rasulullah” untuk
berhenti mengupayakan kebaikan. Sebab ayat tersebut
telah jelas maksudnya. Yang benar, kita harus
meneladani beliau sesuai kadar kemampuan terbaik kita.
Kita harus tetap berpuasa, shalat, berjihad, bersedekah,
sesuai dengan kapasitas diri. Benar-benar tak layak bagi
seorang muslim berpangku tangan jika ada kebaikan di
hadapannya, sebab telah kita ketahui betapa agungnya
teladan yang harus kita ikuti.

5. Dalam hal dakwah amar ma’ruf nahi munkar

Beliau rela mempertaruhkan nyawanya untuk


mendakwahi kuffar, orang-orang munafik, orang Yahudi,
serta orang Nasrani. Beliau berdakwah di mana pun
namun tetap memahami situasi dan kondisi sebab beliau
bukanlah orang yang ceroboh. Beliau keluar dari
Mekkah lalu pergi ke Thaif untuk berdakwah. Pada
musim haji, beliau keluar untuk berdakwah pada
kabilah-kabilah di Mina, menyeru ke jalan Allah.
Padahal orang-orang tidak menyukai beliau, namun
beliau tetap mendakwahi mereka sebab tak ingin mereka
berada di jalan yang hina. Yang beliau inginkan ketika
berdakwah hanyalah kebaikan, keselamatan, serta
kemenangan bagi yang didakwahinya kelak di akhirat.

Seperti itulah gambaran sosok teladan kita. Menjelang


Ramadan, faedah semacam ini perlu kita ketahui atau
ingat-ingat kembali, agar semangat kita melambung
tinggi. Juga saat jiwa sudah mulai futur, kita punya
sosok teladan yang bisa dijadikan alasan untuk kembali
bangkit, setelah taufik dari Allah tentunya.

Semoga Allah memudahkan kita meneladani


beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, serta memasukkan
kita pada golongan-golongan yang berhasil. Aamiin.
Majelis Ketujuh
Keutamaan Membaca Al Qur’an
Buku Fenomenal Sepanjang Masa

Apa perasaanmu ketika membaca karya tulis yang


menakjubkan? Bagaimana responmu bila tau bahwa
penulis buku atau paper tersebut juga orang yang luar
biasa?

Kamu akan membacanya, mempercayai isinya,


membahasnya, mengutipnya, memujinya, bahkan meniru
jejak penulisnya. Itulah yang dilakukan hampir semua
orang yang menyukai suatu bacaan atau seorang penulis.

Tapi ada satu buku yang semua orang bersepakat akan


keindahan, kebenaran, keagungan, dan seluruh macam
kebaikan setiap sisinya, bahkan orang yang
menyelisihinya pun bersedia untuk menerima hal
tersebut, Al Qur'an.

Secara umum Al Qur’an berisi segala ilmu mengenai


Rabb kita, mengenai diri kita sendiri, dan juga tuntunan
yang mengantarkan kita kepada kehidupan surgawi
apabila kita mengamalkannya.
Ialah Furqon, pembeda antara yang haq dan bathil. Ia
berisi ketetapan-ketetapan dari Rabb yang maha
mengatur seisi jagad raya. Di dalamnya terdapat nasehat
dengan berbagai permisalan, keindahan, dan kebaikan.
Serta berisi berita tentang surga, neraka, dan alam yang
ghaib dari sisi manusia saat ini. Ia berisi janji dan
ancaman, penjelasan dan peringatan, juga perintah dan
larangan. Al Qur'an mengisahkan tentang manusia,
ciptaan Allah, dari kalangan nabi, orang shalih, mau pun
orang yang bermaksiat dan dijadikan pelajaran oleh
Allah bagi kita. Semua ilmu dan rambu-rambu yang kita
butuhkan untuk melalui dunia ini telah disebutkan
di dalamnya.
Tidakkah kita sadari, siapa yang menurunkan tiap ayat
dari Al Qur'an? Itulah Allah, Rabb dan pengatur semesta
alam, dan Al-Qur'an adalah kalam atau ucapan-Nya.

Kepada siapa Al-Qur'an diturunkan? Kepada manusia


yang paling amanah, bahkan dikenal dan dijuluki al amin
oleh musuhnya sekalipun. Beliau tidak pernah berdusta,
dan diakui sebagai manusia terbaik sepanjang masa oleh
setiap orang yang kau temui di dunia ini. Beliaulah Nabi
kita, dan pemimpin seluruh nabi-nabi dan rasul yang ada.
Muhammad Shalallahu alaihi wasallam. Al-Qur'an
diturunkan kepada beliau melalui perantara Jibril,
malaikat yang paling mulia di antara banyak malaikat
lainnya.

Akidah Islam mengajarkan untuk tidak menyebut Qur'an


dengan sebutan makhluk atau ciptaan. Karena jika kita
mengatakan Al Qur'an adalah makhluk, konsekuensinya
kita meniadakan sifat kalam/berbicara dari Allah. Dan
itu sangat berbahaya serta terhitung dosa besar. Di lain
sisi Al-Qur'an bukan makhluk karena kita dapat
menisbatkan sifat tercela kepada makhluk (seperti
berdosa, lusuh, jelek, dsb). Dan makhluk dapat
didustakan.

Akan tetapi Al Qur'an adalah untaian kalam yang


dinisbatkan kepada Dzat yang paling mulia, yang paling
indah, maha mengetahui dan menguasai segala ilmu
bahkan yang ghaib sekalipun, tentang yang telah lalu
maupun yang belum terjadi. Maka karya tulis mana yang
dapat menandinginya ketika penulisnya saja hanyalah
ciptaan Allah yang memiliki banyak kekurangan, yang
ilmunya tidak akan bisa mencapai satu tetes saja dari
luasnya samudera?

Lantas, bagaimana mungkin seseorang tidak merasa


bahagia saat membaca buku suci yang ada di rak atau
yang dia install di gawainya? Lebih-lebih lagi ketika dia
menyadari bahwa saat itu Allah sedang berbicara
kepadanya?

Bagaimana mungkin seseorang tidak merasa bangga


tatkala ia dapat menghafal setiap ayat dari Al-Qur'an?
Sementara membacanya saja diganjar dengan pahala
tidak berbilang, apalagi menghafalnya?

Bagaimana mungkin seseorang tidak mendapatkan


kebaikan dunia dan akhirat saat mengamalkannya?
Padahal sekedar membaca dan menghafalnya saja telah
menjadikan setiap detik waktunya sebagai momen
terbaik dalam hidupnya?

Tujuan diturunkannya Al-Qur'an


Allah berfirman yang artinya,
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-
orang yang mempunyai fikiran." (QS Shaad : 29)

Dari ayat tersebut kita dapat mempelajari banyak hal.


Yang pertama, Allah menurunkan Al-Qur'an, ini menjadi
dalil akidah dan menandakan bahwa Allah berada di atas.
Karena sifat nuzul atau turun pastilah dari atas ke bawah.
Allah bukan di mana-mana atau kesalahpahaman lainnya
yang beredar di masyarakat kita.
Kemudian Allah mengabarkan salah satu sifat dari Al-
Qur'an yakni Mubarok atau penuh berkah.
Di antara keberkahannya;
- setiap huruf dibalas pahala kebaikan dan
dilipatgandakan sebanyak 10x (HR. Tirmidzi)
- kita dipalingkan dari kegiatan yang tidak bermanfaat
bahkan merugikan
- Al-Qur'an merupakan kebenaran dan petunjuk sehingga
apabila kita mengikutinya kita dipastikan akan diliputi
dengan kebaikan dunia dan akhirat
- beberapa ayat di dalam Al-Qur'an dapat menjadi
tameng ketika dibaca sebagai dzikir harian, dzikir pagi
petang, dan momen tertentu lainnya yang diajarkan oleh
Nabi kita. Dsb.

Ayat tersebut juga mengajarkan kepada kita di antara 2


maksud diturunkannya Al-Qur'an yaitu tadabbur dan
tadzakkur.

Tadabbur yakni memahami pesan pesan dari kalam


Allah. Dan suatu pemahaman pasti bermula dari sebuah
kegiatan memasukkan informasi di antaranya dengan
membaca/tilawah atau mendengarkan pembacaan,
pengkajian tentang Al Qur'an. Kemudian dilanjutkan
dengan merenungkannya bahkan mengulang-ulang
proses-proses yang dapat mendatangkan pemahaman
tersebut.

Adapun tadzakkur, maka salah satu pendapat dalam


tafsirnya mengatakan bahwa maksudnya adalah
mengamalkan kandungan Al-Qur'an.

Siapa yang diinginkan untuk memenuhi 2 tujuan tersebut?


Itulah Ulul Albab. Dan yang dimaksud para mufassir
(ahli tafsir) dengan Ulul Albab adalah setiap jiwa yang
memiliki akal, salah satunya manusia. Dalam Tafsir Ibn
Katsir, Albab merupakan bentuk jamak dari Lubb yang
bermakna inti. Dan inti yang membedakan antara
manusia dan binatang terletak pada akalnya.

Maka kita ketahui bahwa membaca Al Qur’an itu disukai


dan berpahala, namun bukan tilawah yang menjadi
puncak atau tujuan akhirnya. Akan tetapi kita lebih
dituntut untuk memahami dan mengamalkan kandungan
Al Qur’an yang kita baca. Karena ia dapat menjadi
hujjah bagi kita atau atas diri kita, dan tidak ada pilihan
netral atau di tengah-tengah.

Dalam suatu hadits rasul kita bersabda,


“Dan Al Quran itu akan menjadi hujjah bagimu atau
terhadapmu” (HR Muslim)

Maksudnya, Al Qur’an bisa jadi pembela bagi orang-


orang yang telah membaca dan mengamalkannya di
hadapan Allah di hari persidangan kelak, atau sebaliknya.
Al Qur’an justru yang menuntut seseorang di hari kiamat
akibat kelalaian dan pendustaannya terhadap kebenaran
yang terdapat dalam Al Qur’an. Kita berlindung kepada
Allah agar tidak dimasukkan ke dalam golongan orang
yang kedua.

Al Qur'an takes less than a therapy does

Konon di tahun 2019, genre buku yang paling banyak


dicari berkisar pada tema pengembangan diri atau self
improvement. Sehingga banyak nama penulis yang
sekarang melejit dikarenakan karya mereka yang
mengangkat tema tersebut. Ini menyiratkan kepada kita
bahwa banyak orang yang resah dan jauh dari
ketenangan. Tak sedikit orang-orang datang ke psikiater
dan melakukan terapi ini dan itu demi mendapatkan
sebuah pencerahan atau solusi dari permasalahan yang
dialami.

Padahal di antara nama Al Quran yang kita kenal adalah


Asy Syifaa’ atau yang bermakna obat. Tidak hanya itu,
bahkan Allah sendiri menjajikan ketenangan dan
kebahagiaan jika kita iltizam atau berpegang teguh
dengan kitabNya. Allah berfirman yang artinya,
“ Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan
Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta.“ (QS Thaha : 124)

Terdapat dua penafsiran dari kata dzikri pada ayat di atas;


1. Yang dimaksud adalah kegiatan berdzikir mengingat
Allah.
2. Maknanya adalah peringatan atau wahyu yang berasal
dari Allah.
Kedua penafsiran tersebut berasal dari masdar yang
disandarkan (menjadi mudhaf) dan menyebabkan
mudhaf ilaih-nya yaitu mutakallim, dapat memiliki
dua makna yaitu, fa’il atau maf’ul bih. Dan yang
dikuatkan adalah makna yang kedua yakni, huruf yang
artinya ‘aku’ pada ayat tersebut bermakna fa’il. Sehingga
dzikr diartikan dengan ‘peringatan’, bukan ‘mengingat’
atau berdzikir. Ini adalah faidah nahwu yang
disampaikan oleh Ustadz Aris ketika membahas majelis
ketujuh.

Adapun pada kata 耀 maka yang dimaksud adalah


penghidupan yang sempit secara bahasa. Meski
seseorang itu diliputi dengan kekayaan atau hidup yang
penuh kelezatan, namun di lubuk hatinya dia tetap
merasakan sesak dan tidak bahagia. Dan orang yang
demikian di hari kiamat akan dibangkitkan dalam
keadaan buta. Semua itu terjadi karena sikapnya selama
hidup yang berpaling dari wahyu Allah. Dia
meninggalkan Al Qur’an yang ada di hadapannya, Al
Qur’an yang mudah diakses namun dia justru berpaling
dan tersibukkan dengan mencari ketenangan dan solusi
dari manusia.

Maka kita kembali berlindung kepada Allah dari segala


macam kegundahan, kegalauan, dan kesempitan. Kita
juga kembali kepada Al Qur’an yang tidak akan habis
dari penyelesaian, yang tidak pernah mendatangkan
kejenuhan, dan tidak lepas dari segala macam mukjizat
dan keajaiban yang ada padanya
Majelis Kedelapan
Minuman Penduduk Surga
Bismillah. Alhamdulillah, was shalaatu wassalaamu
‘alaa rasuulillaah.

Terkagum ketika mendapati ada pembahasan ini di


kitab Majalis Syahri Ramadhan al Mubarak. Kian sadar
bahwa memang seharusnya bahasan targhib
dan tarhib selalu berdampingan ketika sedang membahas
keutamaan suatu ibadah. Ini penting sekali. Ibarat
seorang anak yang dimintai tolong orang tuanya
melakukan sesuatu, dia akan lebih bersungguh-sungguh
menjalankan amanah ketika mengetahui detail balasan
kebaikan apa yang akan dia peroleh ketika
menyelesaikannya dan konsekuensi apa yang akan dia
dapatkan jika tidak. Begitu pula dalam hal ibadah. Tentu
kita akan lebih bersemangat, ketika mengetahui detail
balasan yang akan kita dapatkan kelak di akhirat jika
melakukan kebaikan atau sebaliknya. Nah, hal inilah
sepertinya yang menjadi tujuan dibubuhkannya bahasan
ini. Agar kita termotivasi dan bisa mengambil pelajaran.

 Minuman Penduduk Surga


Mengenai minuman penduduk surga, Allah telah
sebutkan di surat Muhammad ayat 15,

˵ Ϧ ˵ Ϧ˶ βK ˵˴ Ϧ ˯ β˸ ˯h ˶ Ϧ˶ βK ˵ h K˸䁚 ˸˸˵뙘 Ϊ ˴ ˸˵뙘 Δ ˵뙘 e˶


K˸䁚 K˵˴ ˶ Ϧ˶ βK ˵˴ Ϧ˸Θβ Ά˵ Γ ˵ β˸ϴ Ϧ˶ βK ˵˴ ϟ˸䐀 β˸ ˸⃇
Ϧ˸˸˸˴ Ϧ˯h ˶ ˴ ˵뙘 䁚 ΪΆϴ Ϧ˸ϭ KΘ Ϧ˶ Γβ ˶˴ β˸e˵뙘 ϭ Ϧ˶
˯h 䐀˶˵ 䁚

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang


dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di
dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah
rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak
berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat
rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu
yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya
segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb
mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam
dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga
memotong ususnya?”

bahwa minuman penduduk surga ada empat, yaitu:

1. Sungai air yang tidak berubah bau dan rasanya


2. Sungai susu yang tidak berubah rasanya
3. Sungai khamr yang lezat
4. Sungai madu yang disaring

Minuman-minuman ini telah kita jumpai pula di dunia,


namun sejatinya mereka tidak sama dengan minuman di
surga kelak. Hanya nama dan maknanya saja yang
serupa, namun bentuk dan hakikatnya tidaklah sama. Di
samping itu minuman-minuman di dunia tak setiap saat
ada di hadapan kita, jika menyimpannya terlalu lama pun,
maka akan berubah dan rusak. Sedangkan kelak di surga,
minuman-minuman itu akan mengalir terus, tak pernah
terputus selamanya.

Di antara kenikmatan di surga, Air di sana tak akan


pernah berubah selamanya dan tidak akan rusak. Begitu
pun susu di surga yang tidak akan basi dan menggumpal.
Khamr di surga tak akan merusak akal, tak membuat kita
mabuk, tak akan menimbulkan kerusakan sedikit pun,
dan tentu saja rasanya lezat. Sedangkan madu di surga
serupa dengan madu terbaik di dunia, namun tak ada
kekeruhan padanya. Madu-madu itu murni, tersaring
dengan sempurna. Dan kita tak perlu berlelah-lelah
mengusahakannya untuk ada di hadapan kita,
sebagaimana lelahnya petani madu yang melewati proses
yang panjang hingga bisa menghidangkan madu
terbaiknya. Sebab madu di surga berupa sungai yang
mengalir serta tersaring. sebagaimana firman Allah,

˶ Ϧ˶ K ˵˴

“sungai-sungai dari madu yang disaring”

Ada sebuah hadits dari Hakim bin Mu’wiyah yang


menyatakan bahwa di surga bukan hanya sungai, namun
juga lautan yang terpecah-pecah darinya sungai-sungai.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

a β˸ϴ˵ β Θ˴ Ϧ Ά˵ β Θ˴ 䐀˵ β Θ˴ ˯ ˸˵ β Θ Δ ˵ 䁚 ⃇
7
Ϊ䐀Θ K

“Sesungguhnya di surga ada lautan air, lautan madu,


lautan susu, dan lautan khamr. Lalu lautan itu terpecah
menjadi sungai-sungai”

MasyaAllah, ini adalah bagian dari tanda kekuasaan


Allah.

7
Dikeluarkan oleh at Timidzi (2576) dan beliau menyampaikan
hadits ini hasan shahih.
Kelak di surga kita juga akan menikmati buah-buahan
yang tentu berbeda dengan yang kita jumpai di dunia.
Memanglah ada buah di surga yang kita temukan pula di
dunia, namun ada juga yang Allah sembunyikan hingga
tiba kelak kita menjumpainya di surga. Dan tak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah. Sebagaimana firman-Nya,

Ά˸䐀⃇ ϭ ˸Θ Ϧ˯ LϮ Ϧ˸ ˵ Γβ Ϧ˶ K˵ ϴ˵ ˶ β Ά䐀 ˴䁚

“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang


menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi
mereka, atas apa yang mereka kerjakan.”

Kata Ά˸䐀⃇ pada ayat memberi faedah bahwa orang yang


mendapatkan kenikmatan bukanlah ia yang hanya
berangan-angan dan hanya berilmu saja. Namun
kenikmatan itu diperuntukkan bagi mereka yang
mengamalkannya.

Maka apa yang Allah jelaskan kepada kita ini, bertujuan


agar kita tahu bahwa semua itu ada. Sehingga kita
menginginkannya, memintanya kepada Allah. Yang
efeknya membuat kita ingin senantiasa menyusuri jalan
kebenaran dengan beramal shalih untuk menggapainya.
 Keadaan di Neraka

Demikian juga mengenai neraka. Allah menyebutkan


contoh kepada kita, supaya kita takut dan berusaha
menjauhi sebab-sebab yang mengantarkan kita ke neraka.
Sesungguhnya seluruh celaka, kesakitan, keburukan, api
yang membara di dunia, juga ada di neraka namun
berlipat-lipat lebih pedih, menyakitkan, serta kekal.
Idealnya jika manusia memahami bahwa di dunia saja
semua itu begitu pedihnya dirasa, apa lagi kelak di
akhirat, mereka akan ketakutan serta berlari menjauhi api
tersebut. Dan tak hanya panas, neraka juga memiliki
siksa dengan dingin yang menusuk, lebih-lebih dari yang
manusia rasakan di dunia. Allah ta’ala berfirman di surat
at Taubah: 81,

K ⃇ ϭ ˵ β˴ Ϊ˴˵ KϮ

“Katakanlah: “Api neraka jahannam itu lebih sangat


panas(nya)” jika mereka mengetahui.“

Rasa sakit di neraka juga jauh lebih menyiksa. Api


neraka menyakitkan yang kesakitannya tak ada yang
mengetahui kecuali Allah. Api neraka juga mampu
melelehkan gunung yang kokoh. Kabar buruknya, bagi
mereka yang tidak Allah ampuni di neraka, ia akan
mengalami pedihnya siksa itu selamanya.Tak akan
pernah mati. Selamanya. Ya Allah, menakutkan sekali.

Inilah mengapa kita harus senantiasa mengingat-ingat


tentang neraka. Supaya muncul rasa takut dalam diri,
yang konsekuensinya akan membuat manusia menjauh
dari dosa. Kita juga harus mengingat surga, sehingga
tumbuh pengharapan kepada Allah agar mencurahkan
rahmat-Nya kepada kita. Konsekuensi hal ini, kita akan
lebih bersemangat beribadah dan beramal shalih. Semua
ini adalah bagian dari hikmah Allah untuk menguji rasa
takut serta harap kita kepada-Nya.

Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita


semua. Aamiin.
Majelis Kesembilan
Adab Membaca Al Qur’an
Adab Membaca Al Qur’an
Jika seseorang sangat memperhatikan dirinya dari sisi
busana, intonasi, bahkan cara berdiri ketika akan
membaca puisi, atau mencari suasana tertentu untuk
dapat sekedar membaca buku dengan nyaman, maka
lebih lebih lagi manakala dia hendak membaca dan
merenungi Al Qur’an, kitab yang paling mulia.
Hendaknya setiap orang lebih mempersiapkan dirinya
sebelum dan ketika membaca Al Qur’an sebagai bentuk
adab dan pemuliaannya terhadap kalamullah yang agung.

Hendaknya ia berbusana yang menutup aurat, mencari


tempat dimana Al Qur’an tersebut akan disimak dengan
baik, tidak akan diabaikan atau dihinakan, di letakkan di
tempat yang tinggi, mengikuti cara-cara yang benar
ketika membacanya, berusaha memahaminya, dan
berkeinginan untuk mengamalkan pesan-pesan di
dalamnya.

Namun perlu dibedakan antara membaca Quran dalam


rangka tilawah, dengan membacanya untuk sekedar
mengutip ketika ceramah atau sedang mengajar. Adab
yang dimaksudkan dalam tulisan ini lebih condong
kepada adab yang harus dipersiapkan tatkala ingin
tilawah, bukan dalam ceramah. Semisal, adab membaca
taawwudz ketika akan memulai bacaan Al Qur’an, maka
ini hanya berlaku ketika tilawah, bukan ketika seseorang
menyampaikan cerama kemudian ingin berdalil dan
mengutip ayat Al Qur’an, ini tidak memerlukan dan
tidak pula disyariatkan membaca taawwudz.

Syahdan, di dalam majelis yang ke sembilan dari kitab


majalis syahri ramadan, syaikh Sholih al Fauzan
menyebutkan tujuh adab yang harus di persiapkan oleh
seseorang yang akan membaca Al Quran. Ketujuh adab
tersebut telah dirangkum pada gambar untuk
memudahkan mengingatnya, dan berikut penjelasan
untuk setiap poinnya.

1. Membaca taawwudz ketika memulai


Syaithon sangat senang mengganggu seorang hamba
tatkala ia akan melakukan suatu ibadah termasuk tilawah
Al Qur’an, maka hendaknya kita berlindung kepada
Allah dengan membaca “A’uudzubillaahi minasy
syaithoonirrajiim” atau boleh juga dengan lafadz
“A’uudzubillaahis samii’il ‘aliim minasy
syaithoonirrojiim min hamzihi wanaf-khi-hi wanaf-tsih”.
Allah juga telah memerintahkan hal tersebut di dalam
firmanNya yang artinya,
“Maka jika engkau membaca Al Qur’an, berlindunglah
kepada Allah dari gangguan syaithon yang terkutuk” (QS.
an Nahl : 98)

2. Membaca basmalah
Disunnahkan untuk membaca basmalah yakni
“bismillaahirrahmaanirrahiiim” di setiap awal surat
kecuali surat At Taubah.

3. Tartil
Banyak tafsir ulama terkait kata tartil yang disebutkan
dalam surat al Muzzammil ayat ke-4. Di antara
maknanya adalah membaca dengan perlahan sampai
seseorang dapat memenuhi hak-hak setiap huruf berupa
makhraj atau sifatnya. Kemudian tak lupa ia
memperhatikan tempat-tempat waqaf yang tepat
sehingga terhindar dari kesalahan makna, seperti dengan
berhenti di setiap akhir ayat, atau dengan memperhatikan
kepada tanda-tanda waqaf yang terdapat pada mushafnya.
Tartil dapat membantu seseorang untuk lebih memahami
apa yang dibacanya dibandingkan dengan bacaan yang
ngebut. Hal ini hendaknya dilakukan oleh setiap
pembaca Al Quran sesuai dengan kemampuan masing-
masing.

4. Memperbagus suara bacaanya


Bacaan Qur’an yang indah dapat membuat betah orang
orang yang mendengarnya. Dan ini juga adalah bentuk
syiar agama sehingga orang orang menjadi senang
menyibukkan diri dengan mendengar Al Qur’an
dibandingkan suara-suara lain yang tidak bermanfaat.
Akan tetapi hendaknya seseorang berusaha
memperbagus sesuai dengan kemampuannya, yakni
tidak memaksa sampai-sampai lalai dari hukum tajwid
yang lebih utama dan wajib, dikarenakan ia sibuk
memperhatikan nada.

5. Memperhatikan situasi dan lingkungan


Hendaknya seseorang tidak mengganggu orang lain
dengan suaranya meski yang diperdengarkan adalah
bacaan Al Qur’an yang mulia. Boleh jadi orang di
sekitarnya sedang tidur, bekerja dan membutuhkan
konsentrasi, atau bahkan sedang sholat. Maka jika
mengganggu dengan suara Al Qur’an saja dilarang,
bagaimana kalau kita mengganggu orang dengan nada
dering hape, musik, atau nyanyian ya??

Nabi kita pernah bersabda kepada para sahabat yang


mengeraskan bacaan mereka ketika mereka shalat malam,
“Kalian semua itu sedang berbisik kepada Rabb kalian,
maka janganlah kalian mengeraskan bacaan sehingga
mengganggu yang lain” (HR Ahmad)

6. Menghindari Lahn atau kesalahan


Hendaklah seseorang menghindari kesalahan manakala
sedang membaca Al Quran, seperti dengan mengubah
harakat dalam satu kata. Hal itu dapat mengubah i’rab
atau kedudukan suatu kata dalam kalimat, sehingga
makna Al Quran pun menjadi rusak.
7. Tadabbur
Maka ini termasuk adab yang paling agung. Karena
tadabbur akan mengantarkan seseorang kepada
pemahaman. Dan dengan memahami Al Quran dan
keutamaannya, diharapkan seseorang akan lebih mudah
dan senang untuk mengamalkan isinya.

Demikianlah ketujuh adab yang disampaikan oleh syaikh


dalam majelis ke-9. Mudah-mudahan kita diberi taufiq
oleh Allah untuk mencermati dan mempraktekkan apa
yang telah kita pelajari dari tulisan ini. Wa shallallaahu
wasallamu ‘alaa nabiyyinaa muhammad
Majelis Kesepuluh
Nasihat untuk Menjauhi Langkah-langkah Setan
Bismillahirrahmanirrahim.

Allah Ta’ala berfirman di surat an Nur ayat 21,

˸ ˵ ϴ 䐀˸ ˶ Ϧ⃇ ˵ K⃇˵ ⃇

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


mengikuti langkah-langkah setan”

Pada ayat di atas, Allah memanggil hamba-hambanya


yang beriman. Memerintahkan mereka untuk melakukan
perkara yang bisa mengantarkannya ke surga. Serta
menjauhi perkara yang menjadi penyebab mereka masuk
ke neraka.

Sebagai tambahan faedah poin di atas, ada hal menarik


yang patut kita simak. Bahwa ada dua makna dari kata
hamba Allah (Ϊ ), yaitu:

- Makna luas, kata Ϊ berarti Ϊ 䐀˶ (yang


ditundukkan). Berdasarkan makna ini, kata
hamba merujuk pada semua makhluk, yang
seluruhnya tunduk pada takdir (iradah kauniyah)
yang manusia tidak dapat menentangnya.
Penghambaan dalam makna ini adalah pada
rububiyah Allah dan tidak berpahala.
- Makna sempit, kata Ϊ berarti ΪΘ , yakni orang
yang menyembah Allah secara sukarela atas
kehendak dan pilihannya. Ia adalah orang-orang
yang tunduk pada syariat Allah (iradah syar’iyah).
Penghambaan di makna ini adalah pada uluhiyah
Allah.

Yang perlu direnungkan, bahwa Allah menyeru kepada


hamba-hamba-Nya padahal Allah tidak membutuhkan
kita. Ketahuilah bahwa Allah menyeru para hamba
bukan untuk kepentingan dan kebutuhan-Nya, bukan
juga agar ditaati, bahkan jika seluruh manusia kafir, itu
tidak akan mengurangi kekuasaan Allah sedikit pun. Dan
meski seluruh manusia beriman, itu juga tak setitik pun
menambah kuasa-Nya. Sebab kekuasaan dan kerajaan
Allah telah sempurna meski tanpa ketaatan para hamba-
Nya. Tapi kitalah yang membutuhkan iman dan amal
shalih. Kita pulalah yang merugi jika terjerumus pada
kesyirikan dan kemaksiatan. Sebab ini Allah menyeru
kita. Tak lain hanya untuk kepentingan kita sendiri. Ini
termasuk di antara bentuk kasih sayang Allah kepada
hamba-Nya dan merupakan anugerah yang paling agung.
Maka sungguh aneh jika kita sampai berpaling dari
seruannya.

Kita tahu bahwa tak semua manusia mengindahkan


seruan-Nya. Mengenai hal ini ada alasan mengapa
mereka berpaling dari Allah. Sebabnya adalah
pikirannya yang tidak benar serta akal sehatnya yang
telah rusak. Karena jika akal itu sehat, maka ia akan
mampu memahami hikmah dari setiap perintah dan
larangan Allah. Ia tahu bahwa seluruhnya itu akan
mendatangkan manfaat kepadanya, baik yang segera di
dunia atau kelak di akhirat. Serta keburukan yang ia
lakukan akan merusak dirinya sendiri. Jika memang akal
dan pikirannya sehat, tidakkah ia merenungkan hal ini?

Padahal Allah telah mengancam golongan orang-orang


yang rusak akal pikirnya. Allah berfirman di surat al
A’raf ayat 179,

K˵˴ KΘ K ⃇ Ά K˵ β Ϭ ˴ Ϧ ˵ Ϧ˶ Ϧβ˸eϭ K ˵ ˵ Ϊ ˵˴
KΘ 䐀˸ ⃇ K˵˴ KΘ ˴β ⃇ Ϧ˸ ˵
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka
Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah).”

Yakni mereka tidak memahami, tidak pula memandang,


dan tidak mendengar hal yang bermanfaat bagi mereka.
Yang demikian ini tak ubahnya seekor binatang saja.
Yang melihat, mendengar, namun tidak mengerti.
Bahkan bisa lebih buruk sebab binatang tidak dibebani
dengan syariat, lain halnya dengan manusia. Hal itu
bertambah buruk karena manusia akan dimintai
pertanggung jawabannya kelak di hari kiamat. Oleh
karena itu, Allah berfirman mengenai mereka orang-
orang kafir,

Ά䁚 ˵ ˵˴˵ ˵ Θϡ䐀 ϭ ˵˴˵


“Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Perlu kita ketahui beberapa hal berikut ini:

Akal itu ada dua macam:

 Aqlu idrak ( Ω⃇ ) memahami sesuatu,


semisal bisa berkomunikasi dua arah, memahami
ucapan.
 Aqlu Rusyd (Ϊ˴ ) membimbing untuk
melakukan hal bermanfaat dan menjauhi
kerusakan.

Sehingga bahasan mengenai akal sebelumnya yang


dimaksud adalah aqlu rusyd. Boleh jadi seseorang
memiliki kemampuan berbicara, berkomunikasi,
berdebat, tapi belum tentu dia berakal jenis kedua, yang
membimbingnya pada kebaikan dan ketaatan kepada
Allah.

Makna Mendengar ˸ ada dua macam:


 Mendengar; menangkap sesuatu dengan indera.
 Sam’ul ijabah (ΔΘ ϮϬ ˸ ), merespon apa yang dia
dengar; Memberikan tanggapan sesuai apa yang
didengar. Hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa
jenis yang pertama. Semisal, mampu merespon
seruan kebaikan yang didengarnya.

Oleh sebab itu, kita berdoa:

˯ Ϊ˵ ˸˸ ⃇

“Ya Allah sesungguhnya engkau dzat yang mendengar


doa.”

Maksud mendengar di sini adalah sam’ul ijabah.

Dan ingatlah juga, sebagaimana Allah menyeru kita ke


surga, setan pun menyeru kita ke neraka. Allah ta’ala
berfirman pada surat Fathir ayat 6,

晦˵ Ϧ˶ 耀˸˵ ϟΘL˴ Ϊ⃇ ˸ ⃇ ˴Ϊ Ϫ˴ ϴ 䁚 ˴Ϊ 耀˵ ˸ ˵ ⃇
β˸䐀 ˵

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka


anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-
setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka
menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.”

Makna dari mengajak golongannya menjadi penghuni


neraka pada ayat, bukan berarti menyampaikan kepada
mereka,”mari ke neraka”, jika demikian mana mungkin
ada manusia yang mau. Tapi setan mengajak manusia
tenggelam dengan hawa nafsunya dan perkara-perkara
nikmat yang diharamkan Allah. Mereka juga
menampakkan keburukan dengan sesuatu yang terlihat
baik dalam rangka menipu manusia. Dan mereka
menampakkan kepada manusia seakan keburukan itu
nasihat, kebaikan, dan tanda cinta. Padahal setan dan
bala tentara adalah musuh-musuh manusia yang paling
keras permusuhannya.

Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwa kita punya


dua pilihan. Hendak mengikuti seruan Allah ataukah
setan yang terkutuk. Maka pikirkanlah, seruan mana
yang kita ikuti. Jika kita menginginkan kebaikan yang
mengantarkan ke surga, maka ikuti perintah Allah.
Namun jika seseorang gemar meninggalkan kewajiban,
bermudah-mudah meninggalkan perkara yang
disunnahkan, terus melakukan maksiat dan perkara yang
diharamkan, maka sesungguhnya ia telah mengikuti
langkah-langkah setan. Maka wajib baginya untuk
bertaubat kepada Allah dan menghentikan segala
keburukan tersebut.

Semoga Allah menjauhkan kita dari jalan yang Dia


benci. Aamiin.

______________________________

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihat. Wa


shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wasallam.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa penulis, yang


memuroja’ah, dan yang membantu menyebarkan tulisan
ini. Semoga Allah menerima ibadah kita di Bulan
Ramadan ini. Aamiin

Anda mungkin juga menyukai