Anda di halaman 1dari 36

Cara Mendapatkan Pahala Berlimpah dari Ibadah Sholat di

Bulan Ramadhan
– Segala puji hanyalah bagi Allah semata, sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurah pada nabi junjungan kita: Muhammad SAW, yang senantiasa kita harap
syafaatnya pada hari kiamat kelak. Begitu pula kepada para sahabat dan keluarga
beliau yang mulia, serta seluruh pengikut risalahnya hingga akhir nanti.

Setiap hari kita menjalani sholat lima waktu. Setiap kita pasti mendambakan bisa
menjalankan sholat-sholat tersebut dengan optimal, agar kita bisa merasakan buah
dari keberkahan sholat yang digambarkan dalam firman Allah SWT:

‫صلةووةة ةتننةهوى ةعإن ٱنلةفنحةشاَإء ةوٱنلمۡمنةكرإر ةولةإذنكمۡر ٱنلإ أةنكةبرمۡر ةوٱنلمۡ ةينعلةمۡم ةماَ ةت ن‬
٤٥ ‫صةنمۡعوةن‬ ‫إإنن ٱل ن‬

Artinya: “Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS
Al-Ankabut: 45).

Jelas tersirat dari ayat tersebut, bahwa sholat kita seharusnya mampu menjaga diri
kita dari perbuatan dosa. Bukan sekedar sholat penggugur kewajiban saja. Namun
kenyataan menunjukkan hal berbeda, betapa banyak orang yang sholat tapi masih
terasa ringan dalam berbuat maksiat dan dosa.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita untuk berusaha meniti langkah dalam
mengoptimalkan sholat kita, terlebih lagi bulan ini adalah bulan ramadhan penuh
keberkahan yang di dalamnya dilipat gandakan segala amalan termasuk di
antaranya ibadah sholat. Setidaknya ada tiga langkah optimalisasi sholat bulan
Ramadhan yang perlu kita renungkan dan praktekkan dalam sholat kita sehari-hari,
antara lain sebagai berikut :

1. Optimalisasi dari Sisi Awal Waktu


Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS An-Nisa 103).

Sholat adalah kewajiban yang terikat dengan waktu. Karenanya, menjadi langkah
terbaik bagi seorang muslim untuk menjalankannya di awal waktu. Dalam riwayat
Bukhori, Rasulullah SAW pernah ditanya oleh Ibnu Mas’ud tentang amal yang paling
dicintai oleh Allah SWT, maka yang pertama beliau sebutkan adalah: “sholat pada
waktunya”.

Sebaliknya, bagi mereka yang meremehkan waktu sholat dengan menunda-nunda,


diancam dengan kecelakaan di akhirat nanti. Allah SWT berfirman:

‫ةفةونيلل للنلمۡم ة‬
‫ ٱلنإذيةن مۡه نم ةعن ة‬٤ ‫صلليةن‬
٥ ‫صةلإتإه نم ةساَمۡهوةن‬

Artinya: “Kecelakaan bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) yang lalai dari
sholatnya” (QS Al- Maun 4-5).

Selain itu, Rasulullah SAW juga mencela sekelompok munafik di Madinah yang
menundanunda waktu sholat ashar hingga menjelang terbenamnya matahari.
2. Optimalisasi dari Sisi Berjamaah
Langkah optimalisasi sholat berikutnya adalah menjaga sholat kita agar senantiasa
berjamaah. Hukum sholat berjamaah bagi kaum laki-laki adalah sunnah muakkadah
yang hampir mendekati wajib.

Dari sisi pahala dan keutamaannya, tak kurang Rasulullah SAW menyatakan dalam
haditsnya: “Sholat berjamaah lebih utama pahalanya dari pada sholat sendirian,
sebanyak dua pulun tujuh derajat” (HR Bukhori Muslim). Selain menambah pahala,
dengan sholat jamaah pun kita bisa merasakan hikmahnya berupa penguatan
ukhuwah antara kita, tetangga atau rekan kerja.

3. Optimalisasi dari sisi Kekhusyukan


Langkah berikutnya adalah menjaga kekhusyukan sholat kita. Syeikh Muhammad Ali
Tonthowi mengartikan khusyuk sebagai : ketakutan dalam hati kepada Allah SWT,
yang terlihat pada anggota badan, menjadikannya tenang dan merasakan bahwa ia
berdiri menghadap Allah SWT. Kekhusyukan dalam sholat adalah salah satu indikasi
keberuntungan seorang yang beriman. Allah SWT berfirman:

‫ةقدد أةدفةلةح ادلمۡمدؤإممۡنوةن النإذيةن مۡهدم إفيِ ة‬


‫صةلإتإهدم ةخاَإشمۡعوةن‬

Artinya: “Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) yang


khusyuk dalam sholat-sholat mereka”(QS Al-Mukminun 1-2).

Untuk mendapatkan kekhusyukan tentu banyak hal yang harus kita upayakan,
seperti : memahami fungsi dan hikmah sholat, mengenal keagungan Allah, dan
tentu saja dengan memahami ucapan dan doa yang kita lantunkan dalam sholat kita
(baca: tuntunan bacaan sholat lengkap).

Akhirnya, semoga sholat yang kita jalani setiap hari tidak lagi menjadi hiasan dan
penggugur kewajiban. Tetapi menjadi momentum yang dinanti-nanti untuk dijalani
dengan optimal, agar mendapatkan buah dan berkahnya, di dunia maupun akhirat.
Semoga Allah SWT memudahkan. Wallahu a’lam bisshowab.
Orang-Orang yang Rugi dalam Bulan Ramadhan
‫ب ةعةلى النإذيةن إمن ةقدبلإمۡكدم لةةعلنمۡكدم ةتنتمۡقوةن‬
‫صةياَمۡم ةكةماَ مۡكإت ة‬ ‫ةياَ أةييةهاَ النإذيةن آةممۡنوا مۡكإت ة‬
‫ب ةعلةديمۡكمۡم ال ل‬

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” [Al-Baqarah:
183]

Setiap muslim tentu senang menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Betapa
bahagiannya setiap kita masih disapa oleh bulan yang selalu dinanti dan diimpikan
kedatangannya, marhaban ya ramadhan. Ibarat orang yang telah lama berpisah
dengan kekasih tercinta, ia akan selalu menanti kehadirannya.

Rasa gundah sering timbul bilakah dapat berjumpa kembali. Maka, ketika bertemu,
rasa bahagiapun meluap bak buih dalam air yang melambung ke permukaan. Segala
sesuatu yang bisa mempertemukannya dengan sang kekasih-pun ditempuh.

Tidak peduli walau harus mendaki gunung yang tinggi atau menyeberangi lautan
yang luas, asal sang kekasih dapat tersenyum ceria melihat kesungguhan dan
ketulusan hatinya selama ini.

Bagi setiap muslim, bulan suci Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa, bulan
yang senantiasa dinanti-nantikan kehadirannya, rasa rindu yang selalu menggugah
hati untuk mengabdikan diri kehadirat Allah swt, telah tiba. Bagaimana agar
momen kemulian Ramadhan mendatangkan berkah dan tidak hanya menghasilkan
kesia-siaan, itulah yang semestinya selalu direnungkan setiap muslim.

Kegembiraan Saat Tamu Agung Datang


‫ت النشةياَإطيمۡن‬ ۡ‫ت أةدبةوا م‬
‫ب ةجةهننةم ةومۡسدلإسةل د‬ ۡ‫ت أةدبةوا م‬
‫ب ادلةجننإة ةومۡغللةق د‬ ‫إةذا ةدةخةل ةرةم ة‬
‫ضاَمۡن فمۡلتةح د‬

Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah saw bersabda:”Apabila datang bulan


Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-
setanpun dibelenggu”. [HR. Muslim].

Hadist ini menjadi salah satu motivasi bagi setiap muslim untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas pengabdiaannya kepada Allah ta’ala. Di bulan Ramadhan, Dia
tidak hanya membuka pintu-pintu kebaikan dan memberikan pahala yang berlipat-
lipat pada setiap amal kebaikan, melainkan Dia juga menutup – atau setidaknya
meminimalisir – hambatan dan rintangan yang menghalangi hamba-Nya untuk
meraih kebaikan dan pahala, yaitu dengan “membelenggu” setan, baik dari
kalangan jin ataupun manusia.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa nabi bersabda kepada Abu Dzar, “Wahai Abu
Dzar mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan, manusia dan jin”.
Abu Dzar bertanya, apakah ada manusia yang menjadi setan? Beliau menjawab,
“benar”.

Bahkan bisa jadi setan yang berbentuk manusia ini lebih berbahaya daripada setan
dan jin. Dalam hal ini, Malik bin Dinar pernah berkata, “Setan (berbentuk) manusia
lebih aku waspadai daripada setan jin. Karena ketika aku membaca ta’awudz,
enyahlah setan jin dariku, akan tetapi setan (berbentuk) manusia itu malah semakin
mendekat.”

Maka, sesungguhnya kabar gembira bulan Ramadhan sesungguhnya hanya akan


dirasakan muslim yang memang memiliki tekad kuat untuk menjadikan Ramadhan
sebagai lahan menanam amal dan mencurahkan segala keluh kesah kepada Yang
Maha Kuasa, sehingga – paling tidak – dapat mendekati derajat taqwa yang
merupakan tujuan akhir puasa Ramadhan.

Duri-duri di Bulan Suci (Waspada Terhadap Kerugian)


Hadist Nabi yang menggambarkan keistimewaan bulan Ramadhan, seperti
dibukanya pintu-pintu surga, ditutupnya pintu-pintu neraka dan terbelenggunya
para setan, seharusnya tidak hanya ditafsirkan secara tekstual melainkan dengan
konteks yang diinginkan teks hadist itu.

Dinyatakan bahwa di bulan Ramadhan pintu-pintu surga dibuka, maksudnya adalah


di bulan ini banyak lahan amal ibadah yang sengaja Allah sediakan agar dapat
digarap setiap muslim untuk meningkatkan kualitas keimanan dan keislaman.
Sedangkan pernyataan bahwa pintu-pintu neraka ditutup, maksudnya adalah
banyak hal di bulan suci ini yang dapat menghalangi seorang muslim untuk berbuat
maksiat.

Oleh karena itu, hadist itu ditambah dengan pernyataan bahwa setanpun ikut
terbelenggu. Ini adalah kiasan, yang artinya adalah; setan akan sangat kesulitan
untuk menggoda muslim ketika sedang berpuasa di bulan suci.

Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan seorang muslim tetap terjaga dari
godaan setan. Setan akan terus menggoda manusia dengan berbagai macam cara
termasuk dengan situasi dan kondisi sehari-hari pada bulan puasa itu. Walaupun
mungkin tidak sampai membuat puasa batal secara hukum, akan tetapi nilai-nilai
esensi yang terkandung dalam puasa akan hilang sehingga puasanya menjadi sia-
sia. Demikianlah seperti yang disabdakan oleh Nabi:

‫س ةلمۡه إمدن إقةياَإمإه إإنل النسةهمۡر‬ ‫صةياَإمإه إإنل ادلمۡجومۡع ةومۡر ن‬


‫ب ةقاَإئمم ةلدي ة‬ ‫س ةلمۡه إمدن إ‬
‫صاَإئمم ةلدي ة‬
‫ب ة‬
‫مۡر ن‬
“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa selain
lapar, dan berapa banyak orang sholat di tengah malam tidak mendapatkan apa-
apa selain begadang” [HR. Nasa’i].

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa tidak semua orang yang
menjalankan ibadah puasa akan mendapat apa yang dijanjikan secara sempurna.
Semua tergantung dari sejauh mana manusia menunaikan hak-hak puasa itu.

Ada yang mampu menjalankan ibadah puasa dengan sempurna, ia tidak hanya
mampu menjaga diri dari segala yang membatalkan dan merusak puasa, melainkan
ia mampu memakmurkannya dengan berbagai macam kebajikan.

Namun, lebih banyak lagi yang menyia-nyiakan hari-hari di bulan Ramadhan. Bulan
Ramadhan dijadikan sebagai bulan makan-makan dan tidur di siang harinya.
Sehingga menyelisihi hikmah disyariatkannya puasa yang telah digariskan dalam al-
Qur’an dan hadis.

Tiada aktivitas di siang hari selain menunggu datangnya berbuka. Tidur, bermain
atau menghibur diri (kendati dengan perkara mubah) agar waktu serasa cepat
berlalu dan waktu berbuka cepat datang. Ia justru tidak memanfaatkan Ramadhan
sebagai bulan amal, menambah pahala dan sarana merenungi dosa-dosa yang telah
dilakukan sebelumnya.

Ada pula sebagian orang – bahkan mungkin kebanyakan orang – yang menjadikan
bulan Ramadhan sebagai momentum pemborosan. Aneka ragam makanan diborong
untuk dijadikan bahan berbuka puasa, porsi makan pun berlipat, seakan ingin jatah
makan siang diambil pula untuk malam harinya. Demikianlah kiranya ironi orang
yang berpuasa, namun tidak benar-benar berpuasa sehingga tidak mendapatkan
apa-apa selain lapar dan haus.

Suatu tuntutan bagi setiap muslim untuk menyadari bahwa puasa adalah momen
yang sangat tepat untuk merenungi keberadaannya di dunia ini. Bahwa puasa di
bulan ramadhan adalah media yang Allah sediakan bagi setiap muslim untuk meraih
iman dan ihtisab dengan cara meningkatkan kualitas keimanan dan
ketaqwaan. Tiada yang lebih mulia dari pada bulan suci Ramadhan. Maka sungguh
sangat merugi bila kita termasuk orang yang menyia-nyiakan puasa Ramadhan.

Sebuah kata hikmah pernah tersimpulkan, bahwa; “Terkadang kita baru merasakan
nikmatnya suatu nikmat yang diberikan Allah ketika nikmat itu telah pergi dan
berlalu dari kita”. Semoga kita tidak termasuk orang merugi dengan menyia-nyiakan
momen bulan Ramadhan ini. Amin ya rabbal álamin.
Menghidupkan malam selama bulan ramadhan merupakan anjuran nabi SAW yang
banyak disebutkan dalam berapa hadis. Salah satunya dengan cara rutin
mengerjakan sholat tarawih sepanjang 30 hari ramadhan.

Fakta adanya pemberlakukan shalat Tarawih secara turun temurun sejak Nabi SAW
hingga sekarang merupakan dalil yang tidak dapat dibantah akan masyru’iyahnya.
Oleh karenanya para ulama menyatakan konsensus dalam hal tersebut. Rasulullah
SAW bersabda:

‫ضاَةن إمدن ةغديإر أةدن ةيأدمۡمةرمۡهدم إبةعإزيةممة ةوةيمۡقومۡل ةمدن ةقاَةم ةرةم ة‬
‫ضاَةن‬ ‫صنلى ن‬
ۡ‫ا ةعةلديإه ةوةسلنةم مۡيةرلغ م‬
‫ب إفيِ إقةياَإم ةرةم ة‬ ‫اإ ة‬ ‫ةعدن أةإبيِ مۡهةرديةرةة ةقاَةل ةكاَةن ةرمۡسومۡل ن‬
‫إإيةماَنناَ ةوادحإتةساَنباَ مۡغإفةر ةلمۡه ةماَ ةتةقندةم إمدن ةذدنإبإه‬

Dari Abu Hurairah menceritakan, bahwa Nabi SAW sangat menganjurkan qiyam
Ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi SAW bersabda: ”Siapa saja
yang mendirikan shalat di malam Ramadhan penuh dengan keimanan dan harapan
maka ia diampuni dosa-dosa yang telah lampau “(Muttafaq ‘alaihi, lafazh imam
Muslim dalam shahihnya: 6/40)

Sejarah Awal Mula Pelaksanaan Shalat Tarawih


Pada masa Nabi dan sahabat shalat yang dilakukan di malam hari di bulan
ramadhan disebut dengan “sholat malam”. Shalat tarawih dalam pengistilahan
zaman sekarang, peratama kali digunakan pada masa ulama-ulama fiqh. Sehingga
untuk memudahkan pembahasan ini, “sholat malam” kami ganti dengan “shalat
tarawih”.

Pada awalnya shalat Tarawih dilaksanakan Nabi SAW dengan sebagian sahabat
secara berjamaah di masjid Nabawi, namun setelah berjalan tiga malam, Nabi SAW
membiarkan para sahabat melakukan Tarawih secara sendiri-sendiri.

Hingga di kemudian hari, ketika Umar bin Khattab ra. menyaksikan adanya
fenomena shalat Tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabawi, terbesit
dalam diri Umar untuk menyatukannya sehingga terbentuklan shalat Tarawih
berjamaah yang dipimpin Ubay bin Kaab. Sebagaimana terekam dalam hadits
muttafaq alaihi riwayat ‘Aisyah (al-Lu’lu’ wal Marjan: 436). Dari sini, mayoritas
ulama menetapkan pemberlakukan shalat Tarawih secara berjamaah (lihat syarh
Muslim oleh Nawawi: 6/39)

Hukum Mendirikan Sholat Tarawih


Qiyam Ramadhan (shalat malam di bulan Ramadhan) hukumnya sunnah
mu’akkadah (ditekankan), yang sangat dianjurkan oleh Nabi SAW untuk dikerjakan.
Juga diamalkan oleh Khulafa’ Rasyidin dan para sahabat dan tabi’in. Karena itu,
seyogyanya seorang muslim senantiasa mengerjakan shalat tarawih pada bulan
Ramadhan, terutama shalat yang dilaksanakan pada sepuluh malam terakhir guna
mendapatkan kemuliaan lailatul qadar.

Bagaimana Hukum Sholat Tarawih Bagi Seorang Wanita?

Pada dasarnya, keutamaan wanita dalam menjalankan shalat (termasuk shalat


Tarawih) lebih baik dilaksanakan di dalam rumah. Namun jika dikhawatirkan tidak
memiiliki kesempatan untuk melaksanakannya maka kepergiannya ke masjid akan
memperoleh kebaikan yang sangat banyak. Tentu harus memperhatikan etika-etika
yang berlaku pada wanita saat berada diluar rumah.

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih Ramadhan 11, 13, 21, 23, 33,
36, 39, Bahkan 41. Manakah yang utama?
Dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan
Tarawih. Demikian juga riwayat ‘Aisyah ra.- yang menjelaskan tentang tiga malam
Nabi SAW mendirikan Tarawih bersama para sahabat- tidak menyebutkan jumlah
rakaatnya, sekalipun dalam riwayat ‘Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya
pembedaan oleh Nabi SAW tentang jumlah rakaat shalat malam baik di dalam
maupun di luar Ramadhan. Namun riwayat ini nampak pada konteks yang lebih
umum yaitu shalat malam.

Hal itu terlihat pada kecenderungan para ulama yang meletakkan riwayat ini pada
bab shalat malam secara umum, misalnya imam Bukhari meletakkannya pada bab
shalat tahajud, imam Malik dalam Muwatha’ pada bab shalat Witir Nabi SAW. ( lihat
Fathul Bari 4/250; Muwatha’ dalam Tanwir Hawalaik: 141). Hal tersebut
memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13,
21, 23, 36, bahkan 39 rakaat.

Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat sbb:

1. Hadits Aisyah :

‫ضاَةن ةوةل إفيِ ةغديإرإه ةعةلى إإدحةدىَ ةعدشةرةة‬


‫ةماَ ةكاَةن ةيإزيمۡد إفيِ ةرةم ة‬

Artinya: “Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di
dalam maupun di luar Ramadhan” ( al-Fath : ibid).

2. Imam Malik dalam Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab


menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari untuk melaksanakan shalat
Tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang. Namun dalam
riwayat Yazid bin ar-Rumman bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin
Khattab 23 rakaat (al-Muwatha’ dalam Tanwirul Hawalaik; 138)

3. Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar ra. dan Ali ra. serta sahabat lainnya
menjalankan shalat Tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir). Pendapat ini didukung
oleh ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan asy-Syafi’i (Lihat Fiqhu Sunnah:1/195)

4. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin shalat Tarawih hingga 36
rakaat ditambah Witir tiga rakaat. Hal ini dikomentari imam Malik bahwa masalah
tersebut sudah lama menurutnya (al-Fath: ibid ).

5. Imam asy-Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat


menyaksikan umat Islam melaksanakan Tarawih di Madinah dengan 39 rakaat, dan
di Makkah 33 rakaat, dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran
(al-Fath : ibid)

Dari riwayat diatas jelas akar persoalan dalam jumlah rakaat Tarawih bukanlah
persoalan jumlah melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan. Ibnu Hajar
berpendapat: “Bahwa perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat Tarawih muncul
dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam
mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang maka berakibat pada sedikitnya
jumlah rakaat dan demikian sebaliknya”.

Hal senada juga diungkapkan oleh Imam asy-Syafi’i: “Jika shalatnya panjang dan
jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika shalatnya pendek, jumlah
rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang
pertama”.

Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa orang yang menjalankan Tarawih 8


rakaat dengan Witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi SAW dan yang
melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar ra, sedang yang
menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh salafu saleh dari generasi
sahabat dan tabiin. Bahkan menurut imam Malik ra hal itu telah berjalan lebih dari
ratusan tahun.

Hal yang sama juga diungkapka imam Ahmad ra bahwa tidak ada pembatasan yang
signifikan dalam jumlah rakaat Tarawih melainkan tergantung panjang dan
pendeknya rakaat yang didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250 dst )

Imam az-Zarkani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibnu
Hibban bahwa Tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang
namun bergeser menjadi 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena
keberatan umat Islam dalam mendirikannya. Bahkan hingga bergeser menjadi 36
(tanpa witir) dengan alasan yang sama. (Lihat hasyiah Fiqhu Sunnah :1/195)
Dengan demikian tidak ada alasan yang mendasar untuk saling mendebatkan satu
dengan yang lain dalam jumlah shalat Tarawih apalagi menjadi sebab perpecahan
umat yang bersatunya adalah sesuatu yang wajib.

Catatan: yang menjadi konsen dalam shalat Tarawih adalah kualitas

Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi konsen dalam shalat
Tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut
benar-benar menjadi media komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin
sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu
bersama-Nya dimanapun berada.

Bagaimanakah Tata Cara Pelaksanaan Shalat Tarawih,


Apakah 4-4-3 atau 2-2-1?
1. Pertama 4-4-3

Dalam hadits Bukhari riwayat ‘Aisyah menjelaskan bahwa cara Nabi SAW dalam
menjalankan shalat malam adalah dengan melakukan tiga kali salam masing-masing
terdiri 4 rakaat yang sangat panjang ditambah 4 rakaat yang panjang pula ditambah
3 rakaat sebagai penutup (Lihat Fathul Bari: Ibid)

Pelaksanaa: 4 Rakaat, lalu 4 Rakaat dan Witir 3 Rakaat

2. Kedua 2-2-1

Bentuk lain yang mendapatkan penegasan secara qauli (perkataan nabi) dan fi’li
(perbuatan nabi) juga menunjukkan bahwa shalat malam dapat pula dilakukan dua
rakaat-dua rakaat dan ditutup satu rakaat.

Ibnu Umar ra menceritakan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah


SAW tentang cara Rasulullah SAW mendirikan shalat malam beliau menjawab:
“Shalat malam didirikan dua rakaat dua rakaat jika ia khawatir akan tibanya waktu
Shubuh maka hendaknya menutup dengan satu rakaat (Mutaffaq alaihi al-Lu’lu’ wal
Marjan : 432). Hal ini ditegaskan fi’liyah Nabi SAW dalam hadits Muslim dan Malik ra
(lihat Syarh Shaih Muslim 6/ 46-47; Muwatha’ dalam Tanwir: 143-144)

Dari sini Ibnu Hajar menegaskan bahwa Nabi SAW terkadang melakukan
Witir/menutup shalatnya dengan satu rakaat dan terkadang menutupnya dengan
tiga rakaat.

Pelaksanaan: 2 rakat, 2 rakaat, dst lalu ditutup 1 rakaat atau 2 rakat, 2 rakaat, dst
lalu ditutup witir 3 rakaat
Dengan demikian shalat malam termasuk Tarawih dapat didirikan dengan dua
rakaat dua rakaat dan ditutup dengan satu rakaat ataupun empat rakaat empat
rakaat dan ditutup dengan tiga rakaat.

Adakah Pedoman Khusus atau Hadis Nabi SAW terkait dengan Bacaan Bilal, Niat
Sholat Tarawih, dan Doa setelah Sholat?

Sejauh yang kami pahami, tidak ada satupun dalil khusus atau hadi shahih yang
menyebutkan hal demikian, sehingga untuk keterangan ini akan kami jelaskan pada
artikel selanjutnya.

Dalil-dalil Tambahan Terkait Keutamaan Shalat Tarawih


Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mendirikan shalat
malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah) niscaya
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. ” (Hadits Muttafaq ‘Alaih)

Dari Abdurrahman bin Auf bahwasanya Rasulullah SAW menyebut bulan Ramadhan
seraya bersabda: “Sungguh, Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan Allah
puasanya dan kusunnahkan shalat malamnya. Maka barangsiapa menjalankan
puasa dan shalat malam pada bulan itu karena iman dan mengharap pahala, niscaya
bebas dari dosa-dosa seperti saat ketika dilahirkan ibunya.” (HR. An-Nasa’i,
katanya: yang benar adalah dari Abu Hurairah),” Menurut Al Arna’uth dalam
“Jaami’ul Ushuul”, juz 6, hlm. 441, hadits ini hasan dengan adanya nash-nash lain
yang memperkuatnya.

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (maksudnya mereka tidak tidur di
waktu biasanya orang tidur, untuk mengejakan shalat malam), sedang mereka
berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan
sebahagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. ” (As-Sajdah: 16).

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka
momohon ampun (kepada Allah) “. (Adz-Dzaariyaat: 17-18).

“Dan orang-orangyang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan
mereka.” (Al-FuYqaan: 64).

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (dengan mengatakan: Hadits ini hasan shahih dan
hadist ini dinyatakan shahiholeh Al-Hakim) dari Abdullah bin Salam, bahwa Nabi
SAW bersabda :“Wahai sekalian manusia, sebarkan salam, berilah orang miskin
makan, sambungkan tali kekeluargaan dan shalatlah pada waktu malam ketika
semua manusia tidur, niscaya kalian masuk Surga dengan selamat. ”
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Bilal, bahwa Nabi SAW bersabda: “Hendaklah
kamu mendirikan shalat malam karena itu tradisi orang-orang shalih sebelummu.
Sungguh, shalat malam mendekatkan dirimu kepada Tuhanmu, menghapuskan
kesalahan, menjaga diri dari dosa dan mengusir penyakit dari tubuh”. (Hadits ini
dinyatakan shahih oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menyetujuinya, 1/308),

“Dan termasuk derajat: memberi makan, berkata baik, dan mendirikan shalat
malam ketika orang-orang tidur”. (dinyatakan shahih oleh Al-Bukhari dan At-
Tirmidzi). Lihat kitab Wazhaa’ifu Ramadhan, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 42, 43.

“Sebaik-baik shalat setelah fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim).

“Barangsiapa yang ingin melakukan witir dengan satu raka’at maka lakukanlah.”
(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).

“Barangsiapa yang ingin melakukan witir dengan tiga raka’at maka lakukanlah.”
(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)·

“Barangsiapa ingin melakukan witiu dengan lima raka’at maka lakukanlah.” (HR.
Abu Dawud dan An-Nasa’i).

“Nabi SAW biasanya shalat malam tiga belas raka’at, termasuk di dalamnya witir
dengan lima raka’at tanpa duduk di salah satu raka’atpun kecuali pada raka’at
terakhir. ” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).

“Nabi SAW biasanya melakukan witir dengan tujuh dan lima raka ‘at tanpa diselingi
dengan salam dan ucapan. “(HR, Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Demikian penjelasan Bacaan, Do’a, Serta Hukum Sholat Tarawih di Bulan


Ramadhan. Semoga Allah SWT memberkahi dan selalu mengkaruniakan kesatuan
dan persatuan umat melalui ibadah yang mulia ini.
Aspek Hukum Puasa Ramadhan dalam Qs Al-Baqarah Ayat
184 & 185
By

Tongkrongan Islami

Share

Advertisement
Aspek Hukum Puasa Ramadhan dalam Qs Al-
Baqarah Ayat 184 & 185
‫ضاَ أةدو ةعلةوى ةسةفمر ةفإعندةة إمدن أةنياَمم أ مۡةخةر ۚ ةوةعةلى النإذيةن مۡيإطيمۡقوةنمۡه إفددةيةة ةطةعاَمۡم إمدسإكيمن ۖ ةفةمدن‬ ‫ت ۚ ةفةمدن ةكاَةن إمدنمۡكدم ةمإري ن‬ ‫أةنياَنماَ ةمدعمۡدوةدا م‬
ۡ‫ةتةطنوةع ةخدينرا ةفمۡهةو ةخديةر ةلمۡه ۚ ةوأةدن ةت م‬
‫صومۡموا ةخديةر لةمۡكدم ۖ إإدن مۡكدنمۡتدم ةتدعةلمۡموةن‬

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 184]

‫[ ةفةمدن ةكاَةن إمدنمۡكدم ةمإري ن‬Maka barang siapa di antara kamu yang
َ‫ضا‬
menderita sakit]

Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis
besar dapat dibagi dua:

1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka;


2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau
keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.

Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh
seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah
ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari
telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci
persolan ini.

Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian


agaknya kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi
demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk
menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak.
Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan
sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia
tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.

‫[ أةدو ةعلةوى ةسةفمر‬atau dalam perjalanan]

Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang


yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90
kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga
seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,
maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).

Perbedaan lain berkaitan dengan ‘illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya
unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini,
dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh
dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini
dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau tidak.
Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.

Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang


membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak shalat).
Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan
kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk
juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan
sebagainya?

Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan


berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan
maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk
berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang
durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah Swt.?

Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir,


berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi’i menilai bahwa
berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian
besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi’i menilai bahwa hal ini sebaiknya
diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya,
maka itulah yang lebih baik dan utama.

Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim
melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, “Kami berada dalam
perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak
berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang
tidak berpuasa.”

Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi
orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa
berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak
izin dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, “Allah
menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan.”
Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi’ah mewajibkan berbuka, antara lain
berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas.

‫[ ةفإعندةة إمدن أةنياَمم أ مۡةخةر‬ganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari lain]

Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan


redaksi ini, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, “Barangsiapa
yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib
baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.”

Kalimat “lalu ia tidak berpuasa” adalah sisipan yang oleh ulama perlu
adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa
dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan
kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.

Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi’ah dan Zhahiriyah, sehingga
dengan demikian –buat mereka– menjadi wajib bagi orang yang sakit dan
dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada
hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.

APAKAH MEMBAYAR PUASA YANG


DITINGGALKAN ITU HARUS
BERTURUT-TURUT?
Ada sebuah hadis tetapi dinilai lemah yang menyatakan demikian. Tetapi ada
riwayat melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya
ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi’at, yang maksudnya
memerintahkan penggantian (qadha’) itu harus dilakukan bersinambung
tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan.

Tetapi kata mutatabi’at dalam fa ‘iddatun min ayyamin ukhar mutatabi’at


yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah
Swt. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang
tercantum dalam Mushaf sekarang.

Meng-qadha’ (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus


dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai
sebelum datangnya Ramadhan berikut?

Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun


umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa
semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya
sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada
kaffarat akibat keterlambatan itu?

Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia


harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin;
sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak
dicakup oleh redaksi ayat di atas.
‫[ ةوةعةلى النإذيةن مۡيإطيمۡقوةنمۡه إفددةيةة ةطةعاَمۡم إمدسإكيمن‬Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi
makan seorang miskin]

Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada
yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt. memberi alternatif bagi
orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar
fidyah.

Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir
dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan:
musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia
harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya
mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam
perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat
membayar fidyah.

Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas ulama.


Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau
orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat
memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali
pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk
tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah.

Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat
berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga
dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita hamil menyusui. Dalam
hal ini terdapat rincian sebagai berikut:

Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti
puasanya di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah janin
atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan
diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari
lain, tanpa harus membayar fidyah.
Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia
tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha’ (gantang)
atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada
juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada
lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang
berlaku pada setiap masyarakat.

َ‫ب ةعةلديمۡكدم ةوةعةفا‬ ‫ا مۡ أةننمۡكدم مۡكدنمۡتدم ةتدخةتاَمۡنوةن أةدنفمۡةسمۡكدم ةفةتاَ ة‬


‫س ةلمۡهنن ر ةعلإةم ن‬ ‫س ةلمۡكدم ةوأةدنمۡتدم لإةباَ ة‬ ۡ‫صةياَم النرةف م‬
‫ث إإةلوى إنةساَإئمۡكدم ۚ مۡهنن لإةباَ ة‬ ‫حنل ةلمۡكدم ةلديةلةة ال ل إ‬ ‫أ مۡ إ‬
ۖ ‫ض إمةن ادلةخديإط ادلةدسةوإد إمةن ادلةفدجإر‬ ۡ‫ط ادلةدبةي م‬ ۡ‫ا مۡ لةمۡكدم ۚ ةومۡكمۡلوا ةوادشةرمۡبوا ةحنتوى ةيةتةبنيةن لةمۡكمۡم ادلةخدي م‬ ‫ب ن‬ ‫ةعدنمۡكدم ۖ ةفاَدلةن ةباَإشمۡرومۡهنن ةوادبةتمۡغوا ةماَ ةكةت ة‬
‫س‬ ‫ك مۡيةبليمۡن ن‬
‫ا مۡ آةياَإتإه إللنناَ إ‬ ‫اإ ةفةل ةتدقةرمۡبوةهاَ ر ةكوةذلإ ة‬ ‫ك مۡحمۡدومۡد ن‬ ‫صةياَةم إإةلى اللنديإل ۚ ةوةل مۡتةباَإشمۡرومۡهنن ةوأةدنمۡتدم ةعاَإكمۡفوةن إفيِ ادلةمةساَ إ‬
‫جإد ر إتدل ة‬ ‫مۡثنم أةإتيموا ال ل‬
‫لةةعلنمۡهدم ةينتمۡقوةن‬

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. [QS. Al-Baqarah: 187]

ۡ‫صةياَم النرةف م‬
‫ث إإةلوى إنةساَإئمۡكدم‬ ۡ‫م‬
‫[ أإحنل ةلمۡكدم ةلديةلةة ال ل إ‬Dihalalkan kepada kamu pada
malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu]

Ayat ini membolehkan hubungan intimm (bersebadan) di malam hari bulan


Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan suami
istri tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan intim adalah
“mengeluarkan sperma” dengan cara apa pun (baca: Hukum Cumbuan
Suami Istri saat Puasa).

Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan antar
suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat
makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri, karena dapat
mengakibatkan keluarnya sperma.

Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium istrinya saat
berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan badan,
kemudian ternyata “basah”, maka puasanya batal; ia harus menggantinya
pada hari 1ain.

Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar


kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan badan (di siang hari), dan
kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi adalah berpuasa dua bulan
berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika
tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.

Bagi yang melakukan hubungan intim di malam hari, tidak harus mandi
sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya
matahari –paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat
subuh dalam keadaan suci pada waktunya. Demikian pendapat mayoritas
ulama.

‫ض إمةن ادلةخديإط ادلةدسةوإد إمةن ادلةفدجإر‬


ۡ‫ط ادلةدبةي م‬
ۡ‫[ ةومۡكمۡلوا ةوادشةرمۡبوا ةحنتوى ةيةتةبنيةن لةمۡكمۡم ادلةخدي م‬Makan
dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar]

Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan
hubungan intim) sampai terbitnya fajar.

Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan


azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan
fajar yang mengakibatkan larangan di atas.

Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak
lagi melakukan aktivitas yang terlarang (baca: batas imsak). Namun bila
dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat dipertanggungjawabkan
selama fajar (waktu subuh belum masuk).
Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan,
karena boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu
beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk
menghentikan aktivitas tersebut saat imsak.

‫[ مۡثنم أةإتيموا ال ل‬Kemudian sempurnakanlah puasa itu


‫صةياَةم إإةلى اللنديإل‬
sampai malam]

Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai
dengan datangnya fajar. Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir
dengan datangnya malam.

Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama adalah pengertian


malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari
walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang memahami malam
dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan.

Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat
kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan
“malam”. Kata lail berarti “sesuatu yang gelap” karenanya rambut yang
berwarna hitam pun dinamai lail.

Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. Untuk


mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat kedua
sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir magrib sebenarnya
belum masuk.

Demikian sedikit dari banyak Aspek hukum Puasa Ramadhan yang dicakup
oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan. Mudahan
Bermanfaat

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/aspek-hukum-puasa-ramadhan/
Berpuasa tapi Meninggalkan Sholat, Bagaimana Keadaan
Puasanya?

Tongkrongan Islami – Barangsiapa berpuasa tapi meninggalkan shalat,


berarti ia meninggalkan rukun terpenting dari rukun-rukun Islam setelah
tauhid. Puasanya sama sekali tidak bermanfaat baginya, selama ia
meninggalkan shalat. Sebab shalat adalah tiang agama, di atasnyalah agama
tegak. Dan orang yang meninggalkan shalat hukumnya adalah kafir. Orang
kafir tidak diterima amalnya.

Rasulullah SAW bersabda: “Perjanjian antara kami dan mereka adalah


shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad dan
Para penulis kitab Sunan dari hadits Buraidah) At-Tirmidzi berkata : Hadits
hasan shahih, Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menshahihkannya.

Jabir meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda:“(Batas) antara seseorang


dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, Abu Daud, At-
Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Tentang keputusan-Nya terhadap orang-orang kafir, Allah SWT berfirman:


“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqaan: 23).

Berbagai amal kebajikan yang mereka lakukan dengan tidak karena Allah
SWT, niscaya Kami hapus pahalanya, bahkan Kami menjadikannya sebagai
debu yang beterbangan. Demikian halnya dengan meninggalkan shalat 5
Waktu atau mengakhirkan shalat dari waktunya. Perbuatan tersebut
merupakan maksiat dan dikenai ancaman yang keras. Allah SWT
berfirman:”Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu) orang-
orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Maa’un: 4-5).

Mereka lalai dari shalat sehingga waktunya berlalu. Kalau Nabi SAW tidak
mengizinkan shalat di rumah kepada orang buta yang tidak mendapatkan
orang yang menuntunnya ke masjid, bagaimana pula dengan orang yang
pandangannya tajam dan sehat yang tidak memiliki udzur?

Berpuasa tetapi dengan meninggalkan shalat atau tidak berjamaah


merupakan pertanda yang jelas bahwa ia tidak berpuasa karena mentaati
perintah Tuhannya. Jika tidak demikian, kenapa ia meninggalkan kewajiban
yang utama (shalat)? Padahal kewajiban-kewajiban itu merupakan satu
rangkaian utuh yang tidak terpisah-pisah, bagian yang satu menguatkan
bagian yang lain.

Baca Juga:

BAGAIMANAKAH KEADAAN PUASA


ORANG YANG LALAI SHOLAT SUBUH?
SHOLAT 5 WAKTU?
Terkait dengan hukum meninggalkan sholat subuh telah kami singgung di
bagian awal tulisan ini, bahwa pelakunya termasuk dari golongan orang kafir
(HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah) Karena
kekafiran maka puasa orang tersebut menjadi tidak sah (baca: pengertian
kafir)

Puasa orang yang ketiduran saat sholat subuh sedang


berlangsung?

‫صلةنة أةدو ةناَةم ةعدنةهاَ ةفةكنفاَةرمۡتةهاَ أةدن مۡي ة‬


َ‫صللةيةهاَ إإةذا ةذةكةرةها‬ ‫ةمدن ةنإسةى ة‬

“Barangsiapa yang lupa atau tertidur dari shalat, maka kafaroh (tebusannya)
adalah dia shalat ketika dia ingat.” (Muttafaqun’ alaih, diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim. Lihat Misykatul Mashobih yang ditahqiq oleh Syaikh Al
Albani)

Menurut hadis ini, bagi orang yang tertidur dan meninggalkan sholat dengan
tidak sengaja maka untuk menebus dosanya, ia harus sholat saat terbangun
(ingat). Hal ini juga berlaku bagi orang yang lupa dan tidak mendengarkan
Adzan.

Perhatian: Karena ada hadis yang menyebutkan adanya pemaafan bagi


orang yang tidak sengaja meninggalkan sholat dengan cara menebusnya
(menurut kami berdampak pada pahala akan berkurang) maka hadis ini
tidak dapat dijadikan patokan untuk lalai dalam menjalankan sholat 5 waktu.
Misalnya waktu subuh hanya beberapa menit atau sejam maka tidak
dibenarkan jika ia tidur menjelang sholat subuh (berlaku juga bagi sholat
lain, Dzuhur, Ashar, Magrib dan Isya’).

Meskipun waktu sholat menyisakan beberapa jam menjelang sholat (2, 3


hingga beberapa Jam) Namun dikhawatirkan tidak bangun saat sholat akan
didirikan, maka tidak dibenarkan pula tidur dengan cara demikian.

Hukum Puasa bagi Orang yang Tidak Sholat Tarawih


Berjamaah?

Untuk penjelasan tentang Kemuliaan dan Perbedaan Pendapat terkait dengan


sholat tarawih, dapat Anda baca pada artikel kami Permasalahan Seputar
Sholat Tarawih. Terkait dengan permasalah ini, Akan kami Jelaskan secara
ringkas di bawah ini.

Hukum sholat tarawih adalah sunnah, seperti halnya dengan sholat sunnah
lainnya. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi SAW dimana Sholat Tarawih
hanya dilangsungkan selama 3 hari. Sebagaimana hadis yang dikeluarkan
oleh An-Nasai dan Ibnu Majah: Abu Dzar menceritakan,

‫َ ةفةقاَةم إبةناَ ةلديةلةة النساَإبةعإة ةحنتى‬،‫َ ةحنتى ةبإقةيِ ةسدبمۡع ةلةياَمل‬،‫َ ةفةلدم ةيقمۡدم إبةناَ ةشدينئاَ إمدنمۡه‬،‫ضاَةن‬‫صنلى ا مۡ ةعةلديإه ةوةسلنةم ةرةم ة‬ ‫اإ ة‬ ‫صدمةناَ ةمةع ةرمۡسوإل ن‬ ۡ‫م‬
‫َ مۡثنم ةقاَةم إبةناَ ةحنتى‬،َ‫ت ادلةخاَإمةسمۡة النإتيِ ةتإليةها‬ ‫َ ةحنتى ةكاَةن إ‬،َ‫َ ةفةلدم ةيقمۡدمةها‬،َ‫ت اللنديةلمۡة النساَإدةسمۡة النإتيِ ةتإليةها‬ ‫َ مۡثنم ةكاَةن إ‬،‫ث اللنديإل‬ ‫ضى ةندحةو إمدن مۡثل مۡ إ‬ ‫ةم ة‬
‫َ ةفإإننمۡه‬،‫ف‬
‫صإر ة‬ ‫ »إإننمۡه ةمدن ةقاَةم ةمةع ادلإةماَإم ةحنتى ةيدن ة‬:‫ ةفةقاَةل‬.‫اإ ةلدو ةننفدلةتةناَ ةبإقنيةة ةلديةلإتةناَ ةهإذإه‬ ‫ ةياَ ةرمۡسوةل ن‬:‫ت‬ ۡ‫َ ةفقمۡدل م‬،‫ضى ةندحةو إمدن ةشدطإر اللنديإل‬ ‫ةم ة‬
‫ ةفةجةمةع إنةساَةءهمۡ ةوأةدهةلمۡه ةوادجةتةمةع‬:‫َ ةقاَةل‬،َ‫ت النثاَلإةثمۡة النإتيِ ةتإليةها‬ ‫َ ةحنتى ةكاَةن إ‬،َ‫َ ةفةلدم ةيقمۡدمةها‬،َ‫ت النراإبةعمۡة النإتيِ ةتإليةها‬ ‫ةيدعإدمۡل إقةياَةم ةلديةلمة« مۡثنم ةكاَةن إ‬
‫ مۡثنم لةدم ةيقمۡدم إبةناَ ةشدينئاَ إمدن ةبإقنيإة النشدهإر‬:‫َ ةقاَةل‬،‫ ةفةقاَةم إبةناَ ةحنتى ةخإشيةناَ أةدن ةيمۡفوةتةناَ ادلةفةلمۡح‬:‫َ ةقاَةل‬،‫س‬ ۡ‫النناَ م‬
Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan
ramadhan. Beliau tidak pernah mengimami shalat malam sama sekali,
hingga ramadhan tinggal 7 hari. Pada H-7 beliau mengimami kami shalat
malam, hingga berlalu sepertiga malam. Kemudian pada H-6, beliau tidak
mengimami kami. Hingga pada malam H-5, beliau mengimami kami shalat
malam hingga berlalu setengah malam. Kamipun meminta beliau, ‘Wahai
Rasulullah, bagaimana jika kita tambah shalat tarawih hingga akhir malam?’
Kemudian beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang shalat tarawih berjamaah
bersama imam hingga selesai, maka dia mendapat pahala shalat tahajud
semalam suntuk.’ Kemudian H-4, beliau tidak mengimami jamaah tarawih,
hingga H-3, beliau kumpulkan semua istrinya dan para sahabat. Kemudian
beliau mengimami kami hingga akhir malam, sampai kami khawatir tidak
mendapatkan sahur. Selanjutnya, beliau tidak lagi mengimami kami hingga
ramadhan berakhir. (HR. Nasai 1605, Ibn Majah 1327 dan dishahihkan Al-
Albani).

Kesimpulan: Puasa tetap sah meskipun tidak sholat tarawih.

Catatan Penting Bagi Orang yang yang sedang menalankan


Ibdah Puasa

Setiap muslim wajib berpuasa karena iman dan mengharap pahala Allah,
tidak karena riya’ (agar dilihat orang), sum’ah (agar didengar orang), ikut-
ikutan orang, toleransi kepada keluarga atau masyarakat tempat ia tinggal.
Jadi, yang memotivasi dan mendorongnya berpuasa hendaklah karena
imannya bahwa Allah SWT mewajibkan puasa tersebut atasnya, serta karena
mengharapkan pahala di sisi Allah SWT dengan puasanya.

Demikian pula halnya dengan Qiyam Ramadhan (shaiat malam/tarawih), ia


wajib menjalankannya karena iman dan mengharap pahala Allah, tidak
karena sebab lain. Karena itu Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah,


niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, barangsiapa melakukan
shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala
Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan barangsiapa
melakukan shalat pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap
pahala Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq
‘Alaih).

2. Secara tidak sengaja, kadang-kadang orang yang berpuasa terluka,


mimisan (keluar darah dari hidung), muntah, kemasukan air atau bersin di
luar kehendaknya. Hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa. Tetapi orang
yang sengaja muntah maka puasanya batal, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha’ atasnya,


(tetapi) barangsiapa sengaja muntah maka ia wajib mengqadha’ puasanya.”
(HR. Imam Lima kecuali An-Nasa’i) (Al Arna’uth dalam Jaami’ul Ushuul, 6/29
berkata : “Hadits ini shahih”).

3. Orang yang berpuasa boleh meniatkan puasanya dalam keadaan junub


(hadats besar), kemudian mandi setelah terbitnya fajar. Demikian pula
halnya dengan wanita haid, atau nifas, bila sudi sebelum fajar maka ia wajib
berpuasa. Dan tidak mengapa ia mengakhirkan mandi hingga setelah terbit
fajar, tetapi ia tidak boleh mengakhirkan mandinya hingga terbit matahari.
Sebab ia wajib mandi dan shalat Shubuh sebelum terbitnya matahari, karena
waktu Shubuh berakhir dengan terbitnya matahari.

Demikian pula halnya dengan orang junub, ia tidak boleh mengakhirkan


mandi hingga terbitnya matahari. Ia wajib mandi dan shalat Shubuh sebelum
terbit matahari. Bagi laki-laki wajib segera mandi, sehingga ia bisa
mendapatkan shalat jamaah.

4. Di antara hal-hal yang tidak membatalkan puasa adalah: pemeriksaan


darah, (Misalnya dengan mengeluarkan sample (contoh) darah dari salah
satu anggota tubuh) suntik yang tidak dimaksudkan untuk memasukkan
makanan. Tetapi jika memungkinkan- melakukan hal-hal tersebut pada
malam hari adalah lebih baik dan selamat, sebab Rasulullah SAW bersabda:
“Tinggalkan apa yang membuatmu ragu, kerjakan apa yang tidak
membuatmu ragu.” (HR. An-Nasa’i dan At-Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan
shahih)

Dan beliau juga bersabda : “Barangsiapa menjaga (dirinya) dari berbagai


syubhat maka sungguh dia telah berusaha menyucikan agama dan
kehormatannya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Adapun suntikan untuk memasukkan zat makanan maka tidak boleh


dilakukan, sebab hal itu termasuk kategori makan dan minum. (Lihat kitab
Risaalatush Shiyaam, oleh Syaikh Abdul Azis bin Baz, hlm. 21-22)

5. Orang yang puasa boleh bersiwak pada pagi atau sore hari. Perbuatan itu
sunnah, sebagaimana halnya bagi mereka yang tidak dalam keadaaan
puasa.

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/berpuasa-tapi-meninggalkan-shalat/
Tips & Petunjuk Rasulullah SAW dalam Menjalankan Puasa
Ramadhan

Tips Rasulullah SAW dalam Menjalankan Puasa Ramadhan – Bulan


Ramadhan adalah salah satu bulan yang paling dinanti oelh seluruh umat
islam di dunia. Di dalamnya, dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah
karena segala pahala yang dikerjakan akan dilipatgandakan.

Salah satau ibadah utama bulan ramadhan yang harus diperhatikan adalah
puasa sebulan penuh. Bila dilakukan dengan sempurna akan mendapatkan
gelar maupun predikat takwa seperti yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam
Q.S Al-Baqarah ayat 183.

Untuk menggapai predikat tersebut, seorang muslim harus berupaya


memperhatikan etika dalam menjalankannya, termasuk mengikuti segala
anjuran yang diperintakan rasulullah SAW dalam hadis-hadisnya.

Petunjuk puasa dari Nabi SAW adalah petunjuk yang paling sempurna, paling
mengena dalam mencapai maksud, serta tips paling mudah penerapannya
bagi segenap jiwa. Di antaranya ada yang wajib dan ada pula yang sunnah.
Berikut beberapa diantaranya:

Mengakhirkan Sahur

Berupaya sedapat mungkin untuk sahur dan menundanya hingga di


pengujung waktunya. Rasulullah SAW bersabda: “Makan sahurlah kamu,
karena sahur itu mengandung berkah.”(1) Jadi, sahur adalah makanan yang
penuh dengan berkah dan sekaligus menyalahi kebiasaan Ahlul Kitab (baca:
perintah sahur). Dan sebaik-baik makanan sahur adalah kurma.(2)

Menyegerakan Berbuka

Etikan Berpuasa yang kedua adalah Segera berbuka (bila telah sampai
waktunya), karena Rasulullah bersabda: “Orang-orang akan masih mendapat
kebajikan selagi mereka segera berbuka.”(3) Dan ifthar (berbuka) dengan
memakan beberapa buah ruthab (kurma basah) sebagaimana disebutkan di
dalam hadits Anas ia menuturkan: “Rasulullah itu biasanya berbuka sebelum
melakukan shalat dengan makan beberapa ruthab, dan jika tidak ada ruthab
maka kurma kering, dan jika tidak ada kurma kering, maka beliau meneguk
beberapa teguk air minum.” (4)

Dan sesudah ifthar hendaknya mengucapkan bacaan seperti yang disebutkan


di dalam hadits Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW apabila telah berbuka
mengucapkan: “Hilanglah dahaga, urat-uratpun menjadi basah dan pahala
pun pasti –insya Allah SWT.”(5)

Menghindari Rafast

Selanjutnya dalam menjalankan ibadah puasa hendaklah ia Menghindari


rafats, karena Rasulullah SAW bersabda: “… Apabila pada hari seseorang
diantara kamu berpuasa, maka janganlah ia berbuat rafats ….” (6)

Rafats adalah jatuh di dalam perbuatan maksiat. Nabi SAW juga bersabda:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tetap
melakukannya, maka Allah SWT tidak akan menghiraukan orang itu
meninggalkan makanan dan minumannya (berpuasa).”(7)

Dan hendaklah orang yang berpuasa meninggalkan semua perbuatan haram,


seperti menggunjing, perkataan jorok dan dusta, karena perbuatan haram
tersebut dapat menghapus seluruh pahala puasanya; Rasulullah SAW telah
bersabda: “Betapa banyak orang yang berpuasa, ia tidak mendapatkan
apapun dari puasanya selain rasa lapar belaka.”(8)

Mengurangi Aktivitas Sia-sia

Dan di antara hal yang dapat mengurangi pahala kebajikan dan


mendatangkan dosa-dosa adalah sibuk dengan nonton perlombaan, film-film
sinetron, pertandingan, nongkrong-nongkrong yang tidak berguna, mondar-
mandir di jalan-jalan bersama-sama rekan-rekan buruk yang suka menyia-
nyiakan waktu, mobil-mobilan, berdesak-desakan di trotoar dan lorong-
lorong,
Bermalas shalat malam, dzikir dan ibadah–bagi kebanyakan orang)- menjadi
bulan ramadhan menjadi bulan tidur di siang hari agar tidak merasa lapar
yang menyebabkan terabaikannya shalat wajib dan shalat berjama`ah;
kemudian di malam hari yang ada hanya senda-gurau dan tengggelam di
dalam lembah nafsu syahwat, bahkan sebagian mereka ada yang
menyambut bulan Ramadhan dengan keluh-kesah karena akan kehilangan
berbagai kelezatan, dan sebagian lagi ada yang bepergian di bulan
Ramadhan ke negeri orang-orang kafir untuk menikmati liburan
panjangnya!!

Dan yang lebih fatal lagi adalah banyaknya kemunkaran terjadi di masjid,
seperti banyaknya wanita yang datang ke masjid dengan tabarruj (perhiasan
dan dandanan kecantikan) dan parfum, bahkan Baitullah pun tidak luput dari
bencana ini.

Sebagian di antara mereka ada yang menjadikan bulan suci Ramadhan


sebagai musim untuk berleha-leha, tidak butuh kepadanya; dan sebagian
lagi ada yang bermain dengan sesuatu yang membahayakan seperti petasan
dan kembang api; ada juga yang sibuk bertransaksi di pasar dan shoping di
swalayan dan super market; dan ada pula wanita-wanita yang sibuk dengan
menjahit pakaian dan mengumpulkan berbagai mode pakaian serta
mengolek-sinya pada sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadhan yang
merupakan hari-hari kemuliaan ramadhan, hingga membuat banyak orang
lalai dan tidak sempat untuk meraih pahala dan kebajikan.

Menahan Amarah dan Emosi

Hendaknya tidak teriak-teriak, karena Rasulullah SAW bersabda: “Dan jika


ada seseorang yang menyerangnya atau memakinya, maka hendaklah ia
(orang sedang berpuasa) mengatakan: Aku sedang berpuasa, aku sedang
berpuasa.”(9)

Yang pertama (ungkapan: Aku sedang berpuasa) sebagai teguran bagi


dirinya sendiri dan yang kedua sebagai teguran bagi lawannya. Orang yang
memperhatikan kepada moralitas kebanyakan orang-orang yang berpuasa
akan menemukan lawan dari akhlak mulia di atas.

Maka wajib (bagi kita) mengendalikan nafsu dan selalu menjaga ketenangan.
Namun yang anda lihat adalah sebaliknya, banyak para sopir yang melintas
cepat (dengan mobilnya) di waktu azan Maghrib berkumandang (baca:
hukum puasa tapi meninggalkan sholat).

Tidak Makan Berlebihan

Etika puasa selanjutnya adalah Tidak terlalu banyak makan, karena hadits
mengatakan: ”Tiada bejana yang dipenuhi oleh manusia yang lebih buruk
daripada perutnya ….”(10)

Hanyalah orang yang berakal yang makan untuk hidup, bukan hidup untuk
makan, dan sebaik-baik makanan adalah yang membantu dan seburuk-
buruknya adalah yang menyibukkan. Betapa banyak manusia yang
tenggelam di dalam pembuatan berbagai macam makanan, hingga menyita
banyak waktu kaum ibu di rumah dan para pembantu sampai membuat
mereka lalai beribadah, bahkan uang yang dihabiskan untuk membeli bahan-
bahan makanan jauh lebih besar daripada biasanya.

Dengan demikian bulan puasa menjadi bulan memupuk lemak dan berbagai
penyakit pencernaan, makan bagaikan orang yang tidak pernah makan dan
minum seperti orang yang tidak pernah minum, lalu apabila bangkit untuk
shalat lail/tarawih kemalasan pun menyelimutinya, sampai ada sebagian
mereka yang meninggalkan shalat tarawih pada raka`at yang pertama.

Mendermakan ilmu, harta, kemuliaan, badan dan akhlak.

Di dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra ia


berkata: “Rasulullah SAW itu merupakan manusia yang paling dermawan
(dengan kebaikan), dan lebih dermawan lagi apabila dibulan Ramadhan
ketika beliau ditemui oleh Jibril; Jibril biasanya menemui Nabi pada setiap
malam di bulan Ramadhan, di situlah Jibril mentadaruskan Al-Qur’an kepada
beliau. Sungguh, Nabi lebih dermawan dengan kebaikan daripada angin yang
bertiup kencang.”(11)

Memadukan puasa dan memberikan makanan itu merupakan faktor yang


menyebabkan pelakunya masuk surga, sebagaimana disabdakan oleh
baginda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya di surga itu ada kamar-kamar yang
luarnya terlihat dari dalam, dan bagian dalam tampak dari luar, yang
disediakan oleh Allah SWT bagi orang yang memberikan makanan,
memperlembut pembicaraan, menyambung puasa (Ramadhan dengan puasa
enam hari Syawal. pent) dan shalat di malam hari di waktu manusia sedang
istirahat.”(12)

Dan sabda beliau: “Barangsiapa yang memberi buka puasa kepada seorang
yang berpuasa, maka ia memperoleh sebesar pahalanya dengan tidak
berkurang sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu.”(13)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Yang dimaksud memberinya


makanan untuk berbuka puasa adalah sampai orang itu kenyang.”(14)

Para kaum salaf banyak yang lebih mementingkan kaum fakir miskin dari
pada diri mereka sendiri dengan memberikan persediaan buka puasa yang
mereka miliki kepada mereka. Seperti Abdullah bin Umar, Malik bin Dinar,
Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Dan Abdullah bin Umar tidak berbuka puasa
kecuali bersama anak-anak yatim dan orang-orang miskin. wallahu a’lam
bisshowab

Catatan Kaki

(1) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, 4/139.


(2) Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 2345, disebutkan dalam Shahihut
Targhib, 1/448.
(3) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, 4/198.
(4) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 3/79 dan lainnya, ia mengatakan: Hadits
hasan gharib. Ia men-shahih-kannya dalam Al-Irwa’ dengan no. 922.
(5) Diriwayatkan oleh Abu Daud, 2/765. Isnadnya dihasankan oleh Ad-
Daruquthni, 2/185.
(6) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1904.
(7) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1903.
(8) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, 1/539, disebutkan dalam Shahihut
Targhib, 1/453.
(9) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1894.
(10) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, no. 2380, ia mengatakan: Hadits hasan
shahih.
(11) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 6.
(12) Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/343 dan Ibnu Majah no. 2137. Dalam
komentarnya Al-Albani mengatakan: Isnadnya hasan li ghairihi.
(13) Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 3/171, disebutkan dalam Shahihut
Targhib, 1/451.
(14) Al-Ikhtibarat Al-Fiqhiyyah, h. 109.

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/petunjuk-rasulullah-dalam-berpuasa/
Para hadirin Sidang Jumat Rahimakumullah
sababaraha dinten deui urang bakal lebet kana sasih anu agung nyaeta sasih Ramadhan, dimana
dina sasih eta diwajibkeun ka satiap jalma muslim ngalaksanakeun ibadah puasa.
Dawuhan Allah dina surat AL-Baqarah:

‫ب ةعةلى النإذيةن إمدن ةقدبلإمۡكدم لةةعلنمۡكدم ةتنتمۡقوةن‬


‫صةياَمۡم ةكةماَ مۡكإت ة‬ ‫ةياَ أةييةهاَ النإذيةن آةممۡنوا مۡكإت ة‬
‫ب ةعلةديمۡكدم ال ل‬

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagiamana telah diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertaqwa”. (Al-Baqoroh:183)

Sasih Ramadhan sasih anu dimuliakeun ku Allah, sasih anu dilebetna seueur pisan kautamaan
sareng kaistimewaan. Sasih anu sagala rupi amal kasaean dilipat gandakeun pahalana. Sasih anu
dikabulkeun satiap do'a jeung pamaksadan satiap hamba. Sasih anu dilebetna dijembarkeun
pangampunan Alloh SWT, dina sasih eta dibuka panto surga saluas-luasna jeung ditutup panto
naraka

‫صلفةد إ‬
‫ت النشةياَإطيمۡن‬ ۡ‫ت أةدبةوا م‬
ۡ‫ب النناَإر ةو م‬ ۡ‫ت أةدبةوا م‬
‫ب ادلةجننإة ةومۡغللةق د‬ ‫إإةذا ةجاَةء ةرةم ة‬
‫ضاَمۡن فمۡلتةح د‬
“Apabila datang bulan Ramadhan maka dibuka pintu surga dan ditutup pintu neraka dan syetan-
syetan di belenggu” HR. Muslim

Dina hadits qudsi anu diriwayatkeun ku Abu Hurairah radhiallahu’anhu anjeuna nyarios, Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallalam ngadawuh:

‫َ ةقاَةل ن‬، ‫ف‬


ۡ‫ام‬ ‫ف ادلةحةسةنمۡة ةعدشمۡر أةدمةثاَلإةهاَ إإةلى ةسدبع إمةئة إ‬
‫ضدع م‬ ۡ‫ضاَةع م‬ ‫مۡكيل ةعةمإل ادبإن آةدةم مۡي ة‬
‫ص دوةم ةفإإننمۡه إليِ ةوأةةناَ أةدجإزيِ إبإه‬
‫ةعنز ةوةجنل إإنل ال ن‬
"Setiap amal anak Adam akan dilipat gandakan kebaikannya sepuluh kali hingga tujuh ratus kali lipat.
Allah 'Azza wajalla berfirman "Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku, maka Aku sendiri yang akan
memberikan balasannya"

Para hadirin sidang Jumat rahimakumullah

Allah anu maha Rohman maha Rohim, anu maha Gagah perkasa, anu henteu ngagaduhan batasan
dina sagala rupa perkara, anu ngagaduhan kakuasaan henteu aya batesna, anu nangtukeun kana
qodlo jeung qodarna satiap makhluk-Na, maka dina urusan puasa Allah henteu ngabatesan kana
ganjaran satiap jalma anu ngalaksanakeunana.

Dimana Allah ridho kana puasana hiji jalma, maka tangtu Allah bakal mere ganjaran anu saluas-
luasna bari henteu di kabarkeun sakumaha tingkatan darajatna.
Iyeu mangrupikeun perkara anu ngabedakeun antara ibadah puasa jeung ibadah anu sejenna,
bahkan Allah ngajangjikeun rupa-rupa kauntungan ganjaran dina salami bulan ramadhan, sakumaha
di kabarkeun melalui lisan Rasul-Na:
Dina salah sahiji hadits anu diriwayatkeun ku Salman RA, diterangkeun yen Rosululloh sallallahu
'alaihi wa sallalam dina hiji dinten di ahir sasih Sya'ban ngadugikeun Khutbah kalayan unggelna;

‫َ ةشدهةر إفديإه ةلديةلةة ةخديةر إمدن أةدل إ‬،‫ك‬


‫ف‬ ‫َ ةشدهةر مۡمةباَةر ة‬،‫َ ةقدد أةةظلنمۡكدم ةشدهةر ةعإظديةم‬،‫س‬
ۡ‫أةييةهاَ النناَ م‬
‫َةشدهمر‬،
Wahai manusia, sunguh telah dekat kepadamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan
keberkahan, yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan,

َ‫َ ةوإقةياَمۡم لةديلإإه ةتةطيونعا‬،‫ضةة‬


‫صةياَةممۡه ةفإردي ة‬
‫ةجةعةل امۡ إ‬
bulan yang mana Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardhu, dan shalat (tarawih) di
malamnya sebagai sunah.

‫َ ةكاَةن ةكةمدن أةندىَ ةفإردي ة‬،‫صةلمة إمةن ادلةخديإر‬


ۡ‫ضنة إفديةماَ إسةواهم‬ ‫ب إفديإه إبةخ د‬
‫ةمدن ةتةقنر ة‬
Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah di bulan ini dengan satu kebaikan (amalan sunnah),
maka pahalanya seperti dia melakukan amalan fardhu di bulan-bulan yang lain.

‫ضنة ةكاَةن ةكةمدن أةندىَ ةسدبإعديةن ةفإردي ة‬


ۡ‫ضنة إفديةماَ إسةواهم‬ ‫ةوةمدن أةندىَ إفديإه ةفإردي ة‬
Barangsiapa melakukan amalan fardhu di bulan ini, maka pahalanya seperti telah melakukan 70
amalan fardhu di bulan lainnya.

‫َ ةوةشدهةر مۡيدزةدامۡد إفديإه إردزمۡق‬،‫َ ةوةشدهمۡر ادلمۡمةواةساَإة‬،‫صدبمۡر ةثةوامۡبمۡه ادلةجننةة‬ ‫ةومۡهةو ةشدهمۡر ال ن‬
‫َ ةوال ن‬،‫صدبإر‬
‫ادلمۡم دؤإمإن‬
Inilah bulan kesabaran dan balasan atas kesabaran adalah surga, bulan ini merupakan bulan
kedermawanan terhadap sesama. Dan bulan dimana rizki orang-orang yang beriman ditambah.

‫َ ةوةكاَةن ةلمۡه إمدثمۡل أةدجإرإه‬،‫صاَإئنماَ ةكاَةن ةمدغإفةرنة لإمۡذمۡن دوإبإه ةوإعدتمۡق ةرةقةبإتإه إمةن النناَإر‬
‫ةمدن ةفنطةر إفديإه ة‬
‫ص إمدن أةدجإرإه ةشديِء‬ ‫إمدن ةغديإر أةدن ةيدنةتإق ة‬
Barang siapa memberi makan (untuk berbuka) orang yang berpuasa maka baginya pengampunan
atas dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka dan dia mendapatkan pahala yang sama
sebagaimana yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa .

‫جمۡد ةماَ مۡيدفإطمۡر ال ن‬


َ‫صاَإئةم؟‬ ‫ لةدي ة‬:‫ةقاَمۡلوا‬
‫س مۡكليةناَ ةن إ‬
Para sahabat berkata : "Wahai Rasulullah! tidak semua dari kami mempunyai sesuatu yang bisa
diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka."

‫َ أة دو ةمةذةقةة‬،‫شدرةبةة ةماَمء‬
ۡ‫َ أة دو م‬،‫صاَإئنماَ ةعلةى ةتدمةرمة‬
‫ب ةمدن ةفنطةر ة‬ ‫ مۡيدعإطيِ امۡ ةهةذا النثةوا ة‬:‫ةفإقديةل‬
ۡ‫َ ةوأة دوةس م‬،‫َ ةومۡهةو ةشدهةر أةنولمۡمۡه ةردحةمةة‬،‫لةةبمن‬
‫َ ةوآإخمۡرهمۡ إعدتةق إمةن النناَإر‬،‫طمۡه ةمدغإفةرةة‬
Rasulullah menjawab: "Allah akan memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka puasa
walaupun dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau setetes susu".

Sebagian ulama nyebatkeun yen iyeu hadits derajatna lemah, nanging sebagian deui menilai iyeu
hadits hasan, kumargi seueur anu ngariwayatkeunana
Dina hadits anu sanesa, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ngadawuh:
‫صاَإئمۡم ةحنتى مۡيدفإطةر‪ َ،‬ةوادلةمدظمۡلومۡم ةحنتى‬
‫ا أةدن ةل ةيمۡرند ةلمۡهدم ةددعةونة‪ :‬ال ن‬
‫ث ةحقق ةعةلى ن إ‬ ‫ةثةل ة‬
‫جةع‬‫صةر‪ َ،‬ةوادلمۡمةساَإفمۡر ةحنتى ةيدر إ‬‫ةيدنةت إ‬
‫‪“Tiga orang yang do’anya tidak akan ditolak oleh Allah, yaitu; orang yang sedang berpuasa sampai ia‬‬
‫‪berbuka, orang yang dizhalimi sampai ia mendapat pertolongan, dan orang yang sedang bepergian‬‬
‫‪hingga ia kembali”. (Musnad Al-Bazzar, no.8148).‬‬

‫‪Para hadirin kaum Muslimin Rohimakumulloh‬‬


‫‪Ku kituna hayu urang sami-sami siapkeun diri urang dina mayunan sasih romadhon, urang gunakeun‬‬
‫‪sasih romadhon samaksimal mungkin keur sarana urang ningkatkeun kaimanan jeung katakwaan ka‬‬
‫‪Alloh SWT.‬‬
‫‪Mudah-mudahan Allah ngajantenkeun urang sadayana hamba anu di pikaridho jeung di pikacinta ku‬‬
‫‪manten-Na.‬‬
‫‪Aamiin...‬‬

‫ت ةواللذدكإر‬‫باَةرةك ا لإديِ ةولةمۡكدم إباَدلقمۡدرآإن ادلةكإرديإم‪ َ،‬ةوةنةفةعإنديِ ةوإإنياَمۡكدم إبةماَ إفديإه إمةن ادلةياَ إ‬
‫ا لإديِ ةولةمۡكدم ةولإةساَإئإر ادلمۡمدسلإإمديةن إمدن مۡكلل ةذدن م‬
‫ب‪َ،‬‬ ‫ادلةحإكديإم‪ .‬أةقمۡ دومۡل ةق دولإديِ هذا ةوأةدسةتدغإفمۡر ة‬
‫ةفاَدسةتدغإفمۡر دوهمۡ إإننمۡه مۡهةو ادلةغفمۡ دومۡر النر إ‬
‫حديمۡم‬
‫‪KHUTBAH KEDUA‬‬

‫اةدلةحدممۡد إ‬
‫ل ةعلةى إادحةساَإنإه ةواليشدكمۡر ةلمۡه ةعلةى ةت دوإفديإقإه ةوإادمإتةناَإنإه‬
‫ك ةلمۡه ةواةدشةهمۡد اةنن ةسليةدةناَ مۡمةحنمندا ةعدبمۡدهمۡ‬ ‫ةواةدشةهمۡد اةدن لة إالةةه إالن امۡ ةوامۡ ةودحةدهمۡ لة ةشإردي ة‬
‫ةوةرمۡس دولمۡمۡه النداإعى إالةى إر د‬
‫ضةواإنإه‬
‫صةحاَإبإه ةوةسللدم ةتدسلإدينماَ إكثدينرا‬ ‫صلل ةعةلى ةسليإدةناَ مۡمةحنممد إوةعةلى اةلإإه ةواة د‬ ‫اللمۡهنم ة‬
‫ا إفديةماَ اةةمةر ةوادنةتمۡه دوا ةعنماَ ةنةهى ةوادعةلمۡم دوا اةنن اا اةةمةرمۡكدم‬ ‫س إانتمۡقوا ة‬ ‫اةنماَ ةبدعمۡد ةفياَ ة اةييةهاَ النناَ مۡ‬
‫إباَ ةدممر ةبةدأة إفديإه إبةندفإسإه ةوةثـَةنى إبةملَ إئةكإتإه إبقمۡددإسإه‬
‫صلي دوا ةعةلديإه‬ ‫صلي دوةن ةعلةى الننإبى ياَ اةييةهاَ النإذديةن آةممۡن دوا ة‬ ‫ا ةوةملَ إئةكةتمۡه مۡي ة‬ ‫ةوةقاَةل ةتعاَ ةةلى إانن ة‬
‫ةوةسللمۡم دوا ةتدسلإدينماَ‬
‫ت ةعةلى إإدبةراإهديةم‬ ‫ت وةسلادم ة‬ ‫صلل وةسللدم ةعةلى مۡمةحنممد ةوةعةلى آإل مۡمةحنممد‪ َ،‬ةكةماَ ة‬
‫صلندي ة‬ ‫اللنمۡهنم ة‬
‫ت ةعةلى إإدبةراإهديةم‬ ‫ةوةعةلى آإل إإدبةراإهديةم‪ َ،‬ةوةباَإردك ةعةلى مۡمةحنممد ةوةعةلى آإل مۡمةحنممد‪ َ،‬ةكةماَ ةباَةردك ة‬
‫ض اللنمۡهنم ةعدن مۡخلةةفاَإئإه‬ ‫جديةد‪ َ،‬ةوادر ة‬ ‫ك ةحإمديةد ةم إ‬ ‫ةوةعةلى آإل إإدبةراإهديةم‪ َ،‬إفيِ الةعاَلةإمديةن إإنن ة‬
‫صةحاَةبإة أةدجةمإعديةن‪ َ،‬ةوةعدن‬ ‫ت المۡم دؤإمإنديةن‪ َ،‬ةوةعدن ةساَإئإر ال ن‬ ‫جإه أ مۡنمةهاَ إ‬
‫النراإشإدديةن‪ َ،‬ةوةعدن أةدزةوا إ‬
‫حإمديةن‬‫ت إإةلى ةي دوإم اللدديإن‪ َ،‬ةوةعنناَ ةمةعمۡهدم إبةردحةمإتةك ةياَ أةدرةحةم النرا إ‬ ‫المۡم دؤإمإنديةن ةوالمۡم دؤإمةناَ إ‬
‫ت‬‫ت اةلةدحياَمۡء إمدنمۡهدم ةودالةدمةوا إ‬ ‫ت ةودالمۡمدسلإإمديةن ةودالمۡمدسلإةماَ إ‬ ‫ةاللمۡهنم ادغإفدر لإدلمۡم دؤإمإنديةن ةودالمۡم دؤإمةناَ إ‬
‫ف ةوالإغةنى‬ ‫ك ادلمۡهةدىَ ةواليتةقى ةوالةعةفاَ ة‬ ‫اللنمۡهنم إإنناَ ةندسأ ةلمۡ ة‬
‫صاَإدنقاَ ةذاإكنرا‪ َ،‬ةوةقدلنباَ ةخاَإشنعاَ مۡمإندينباَ‪ َ،‬ةوةعةملن‬ ‫اللنمۡهنم إإنناَ ةندسأ ةلمۡةك أةدن ةتدرمۡزةق مۡكلنا إمنناَ لإةساَنناَ ة‬
‫صاَإدنقاَ ةخاَلإ ن‬
‫صاَ‪َ،‬‬ ‫صاَلإنحاَ ةزاإكنياَ‪ َ،‬ةوإعدلنماَ ةناَإفنعاَ ةراإفنعاَ‪ َ،‬ةوإإديةماَنناَ ةراإسنخاَ ةثاَإبنتاَ‪ َ،‬ةوةيإقدينناَ ة‬ ‫ة‬
‫ةوإردزنقاَ ةحلةلنةطلينباَ ةواإسنعاَ‪ َ،‬ةياَ ةذا ادلةجلةإل ةوالإدكةراإم‪ .‬اللنمۡهنم أةإعنز الإدسلةةم ةوادلمۡمدسلإإمديةن‪َ،‬‬
‫ب‬‫صفمۡ دوةفمۡهدم‪ َ،‬ةوأةدجإمدع ةكلإةمةتمۡهدم ةعةلى الةحلق‪ َ،‬ةوادكإسدر ةش دوةكةة النظاَلإإميةن‪ َ،‬ةوادكمۡت إ‬ ‫ةوةولحإد اللنمۡهنم مۡ‬
‫النسلةةم ةوالةدمةن لإإعباَإدةك أةدجةمإعيةن‬
‫اللمۡهنم اددةفدع ةعنناَ دالةبلةةء ةودالةوةباَةء ةوالنزلةإزةل ةودالإمةحةن ةومۡس دوةء دالإفدتةنإة ةودالإمةحةن ةماَ ةظةهةر إمدنةهاَ‬
‫ب دالةعاَةلإمديةن‬ ‫صنة ةوةساَإئإر دالمۡبدلةداإن دالمۡمدسلإإمديةن عاَنمنة ةياَ ةر ن‬ ‫ةوةماَ ةبةطةن ةعدن ةبةلإدةناَ إادنمۡدوإنديإسنياَ خاَ ن‬
‫ب‬‫اللنمۡهنم ةرنبةناَ ادحةفدظ أة دوةطاَةنةناَ ةوأةإعنز مۡسدلةطاَةنةناَ ةوأةليددهمۡ إباَدلةحلق ةوأةليدد إبإه ادلةحنق ةياَ ةر ن‬
‫الةعاَةلإمديةن‬
‫ض‪ َ،‬ةوةباَإردك لةةناَ فيِ‬ ‫ت الةدر إ‬ ‫ت النسةماَء ةوأةدخإردج لةةناَ إمدن ةخديةرا إ‬ ‫اللنمۡهنم أةدنإزدل ةعلةديةناَ إمدن ةبةرةكاَ إ‬
‫إثةماَإرةناَ ةومۡزمۡر دوإعةناَ ومۡكلل ةأرةزاإقةناَ ةياَ ةذا ادلةجلةإل ةوالإدكةراإم‬
‫ب النناَإر‬ ‫خةرإة ةحةسةننة ةوإقةناَ ةعةذا ة‬ ‫ةرنبةناَ آإتناَ ة إفى اليددنةياَ ةحةسةننة ةوإفى دال إ‬
‫ةرنبةناَ ةظةلدمةناَ اةدنفمۡةسةناَةوإادن ةلدم ةتدغإفدر ةلةناَ ةوةتدرةحدمةناَ ةلةنمۡك دوةننن إمةن دالةخاَإسإرديةن‬
‫ا ةيأدمۡممۡرةناَ إبداَلةعددإل ةودالإدحةساَإن ةوإإديتاَإء إذىَ دالقمۡدربةى ةوةيدنةهى ةعإن دالةفدحشاَإء‬ ‫ا ! إانن ة‬ ‫إعةباَةد إ‬
‫ا دالةعإظديةم ةيدذمۡكدرمۡكدم ةوادشمۡكمۡر دوهمۡ ةعلةى‬
‫ظمۡكدم ةلةعلنمۡكدم ةتةذنكمۡر دوةن ةوادذمۡكمۡروا ة‬ ‫ةودالمۡمدنةكر ةودالةبدغيِ ةيإع مۡ‬
‫إ‬
‫ا اةدكةبدر‬ ‫إنةعإمإه ةيإزددمۡكدم ةوةلإذدكمۡر إ‬
‫‪Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook‬‬

‫‪Related Posts:‬‬

Anda mungkin juga menyukai