Anda di halaman 1dari 5

Assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokaatuuh…

Alhamdulillahirobbil ‘alamin, washolatu wasalmu’ala ashrofil ambya’i walmursalin, wa ‘ala


alihi washohbihi aj’mangin. Ama ba’du…

Yang terhormat bapak ibu dosen , yang terhormat ketua dan wakil ketua hmp dan jajarannya ,
yang terhormat rekan2 sekalian yang di rahamati oleh allah swt

Bapak Ibu dan rekan2 sekalian yang dimuliakan Allah, marilah kita senantiasa meningkatkan
iman dan takwa kita, salah satunya dengan selalu mensyukuri nikmat Allah serta
menggunakannya untuk amal ibadah dan kebaikan.

Tak lupa salam dan shalawat semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa istiqomah.

Bapak ibu dan rekan2 sekalian yang dirahmati Allah, pada kesempatan kali ini saya akan
membacakan sebuah kultum dengan tema:

Kesedihan Orang Beriman Di Penghujung Ramadhan


Waktu begitu cepat berlalu. Kita kini telah berada di penghujung Ramadhan, yang artinya tinggal
beberapa hari lagi bulan suci ini akan pergi. Kalau kita perhatikan masyarakat di sekeliling kita,
sebagian mereka bahkan mulai disibukkan dengan hiruk pikuk Idul Fitri. Luapan kegembiraan
sudah terasa. Mall-mall menjadi padat. Lalu lintas lambat merayap. Banyak rumah berganti cat.
Baju baru dan makanan enak juga telah siap.

Jika demikian gempitanya masyarakat kita berbahagia di penghujung akhir Ramadhan, tidak
demikian dengan para sahabat dan salafus shalih. Semakin dekat dengan akhir Ramadhan,
kesedihan justru menggelayuti generasi terbaik itu. Tentu saja kalau tiba hari raya Idul Fitri
mereka juga bergembira karena Id adalah hari kegembiraan. Namun di akhir Ramadhan seperti
ini, ada nuansa kesedihan yang sepertinya tidak kita miliki di masa modern ini.

Mengapa para sahabat dan orang-orang shalih bersedih ketika Ramadhan hampir berakhir? Kita
bisa menangkap alasan kesedihan itu dalam berbagai konteks sebab.

Pertama, patutlah orang-orang beriman bersedih ketika menyadari Ramadhan akan pergi, sebab
dengan perginya bulan suci itu, pergi pula berbagai keutamaannya.

Bukankah Ramadhan bulan yang paling berkah, yang pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka
ditutup? Bukankah hanya di bulan suci ini syetan dibelenggu? Maka kemudian ibadah terasa
ringan dan kaum muslimin berada dalam puncak kebaikan,
Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa,
dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu…
(Hadis Riwayat. Ahmad)

Bukankah hanya di bulan Ramadhan amal sunnah diganjar pahala amal wajib, dan seluruh
pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada batasan?

Semua keutamaan itu takkan bisa ditemui lagi ketika Ramadhan pergi. Ia hanya akan datang
pada bulan Ramadhan setahun lagi. Padahal tiada yang dapat memastikan apakah seseorang
masih hidup dan sehat pada Ramadhan yang akan datang. Maka pantaslah jika para sahabat dan
orang-orang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan pergi.

Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah bahwa semestinya Ramadhan menjadikan seseorang
diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang
besar yang penuh keutamaan, namun masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar
orang itu sangat rugi. Bahkan celaka.

Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (Hadis Riwayat .
Hakim dan Thabrani)

Masalahnya adalah, apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu.
Sementara jika ia tidak dapat ampunan, ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini
menyentuh rasa khauf (takut) para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka takut sekiranya
menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan akan segera
pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat
agar amal-amalnya diterima, dengan berdoa :

Wahai Rabb kami… terimalah puasa kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud kami dan tilawah
kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

Para sahabat dan orang-orang shalih bukan hanya berdoa di akhir Ramadhan. Bahkan, konon,
rasa khauf membuat mereka berdoa selama enam bulan berturut-turut setelah Ramdhan, agar
amal-amal di bulan Ramadhan mereka diterima Allah . Lalu enam bulan setelahnya mereka
berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya.

Perbedaan tashawur (paradigma, persepsi) dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang
kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan generasi kita saat ini. Jika
sebagian masyarakat, seperti dikemukakan di atas, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri, para
sahabat asyik beri’tikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita bayangkan bahwa Madinah di era
Rasulullah di sepuluh hari terakhir Ramadhan layaknya seperti kota setengah mati. Sebab para
lelaki beri’tikaf di masjid-masjid. Bahkan begitu pula sebagian para wanitanya.
Jika kita sibuk menyiapkan kue lebaran, para sahabat dan salafus shalih sibuk memenuhi
makanan ruhaninya dengan mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh beribadah
sepanjang siang, terlebih lagi di waktu malam.

Jika kita mengalokasikan banyak uang dan waktu untuk membeli pakaian baru, para sahabat dan
salafus shalih menghabiskan waktu mereka dengan pakaian taqwa. Dengan pakaian taqwa itu
mereka menghadap Allah di masjid-Nya, bertaqarrub (mendekatkan diri) dalam khusyu’nya
shalat, tilawah, dzikir, dan munajat.

Masih ada waktu bagi kita sebelum Ramadhan pergi. Masih ada kesempatan bagi kita untuk
mengubah tashawur tentang akhir Ramadhan. Maka beberapa hari ke depan bisa kita perbaiki
sikap kita.

Pertama, kita lihat lagi target Ramadhan yang telah kita tetapkan sebelumnya. Mungkin target
tilawah kita. Masih ada waktu untuk mengejar, jika seandainya kita masih jauh dari target itu.
Demikian pula kita evaluasi ibadah lainnya selama 28 hari ini. Lalu kita perbaiki.

Kedua, kita lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan yang tersisa sedikit ini.
Mungkin kita tak bisa beri’tikaf penuh waktu seperti para sahabat dan salafus shalih itu. Namun
jangan sampai kita kehilangan malam-malam terakhir Ramadhan tanpa qiyamullail, tanpa
beri’tikaf –lama atau sebentar- di masjid-Nya.

Dari Aisyah RA berkata: “Rasulullah jika telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadhan
menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggang”.
(Muttafaq ‘alaih)

Apa rahasia perhatian lebih beliau terhadap sepuluh hari terakhir Ramadhan? Paling tidak ada
beberapa sebab utama:

Sebab pertama, karena sepuluh terakhir ini merupakan penutupan bulan Ramadhan, sedangkan
amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau akhirnya. Rasulullah berdoa:

“Ya Allah, jadikan sebaik-baik umurku adalah penghujungnya. Dan jadikan sebaik-baik amalku
adalah pamungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik hari-hariku adalah hari di mana saya berjumpa
dengan-Mu Kelak.”

Jadi, yang penting adalah hendaknya setiap manusia mengakhiri hidupnya atau perbuatannya
dengan kebaikan. Karena boleh jadi ada orang yang jejak hidupnya melakukan sebagian
kebaikan, namun ia memilih mengakhiri hidupnya dengan kejelekan. Na’udzubillahi min dzalik

Sepuluh akhir Ramadhan merupakan pamungkas bulan ini, sehingga hendaknya setiap manusia
mengakhiri Ramadhan dengan kebaikan, yaitu dengan mencurahkan daya dan upaya untuk
meningkatkan amaliyah ibadah di sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini.

Sebab kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan turunnya lailatul qadar.
Patut kita renungkan: “Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu Rabbaniyyan. Janganlah
kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba yang Rabbaniyah (hamba Allah yang
sesungguhnya).”

Karena ada sebagian manusia yang menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan ketaatan dan
qiraatul Qur’an, kemudian ia meninggalkan itu semua bersamaan berlalunya Ramadhan.

Kami katakan kepadanya: “Barangsiapa menyembah Ramadhan, maka Ramadhan telah mati.
Namun barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak akan pernah
mati.”

Allah Azza wa Jalla cinta agar manusia taat sepanjang zaman, sebagaimana Allah murka
terhadap orang yang bermaksiat di sepanjang waktu. Dan karena kita ingin mengambil bekal
sebanyak mungkin di satu bulan ini, untuk mengarungi sebelas bulan berikutnya.

Hal yang juga disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya diakhir-akhir bulan Ramadhan adalah
mengeluarkan zakat fitrah sebagaimana dalam riwayat Bukhari Muslim dari Abdullan bin
Mas’ud:

“Sesungguhnya Rasulullah saw mewajibkan zakat fithrah pada bulan Ramadhan kepada manusia
berupa satu sho’ kurma, atau satu sho’ gandum, baik orang yang merdeka, budak laki-laki atau
perempuan”.

Dalam hadis yang lain juga disebutkan

Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fithrah sebagai penyucian bagi
yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan keji, dan makanan untuk orang miskin, barang siapa
yang menunaikannya sebelum shalat ‘Ied maka itulah shadaqah (zakat fithrah) yang diterima,
dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah shadaqah dari macam-
macam shadaqah”.

Berdasarkan hadits ini jelas kiranya, bahwa yang berhak menerima zakat fithrah adalah orang-
orang miskin,dan dikeluarkan sebelum sholat ‘Idul Fitri, dalam lebih baik berupa bahan makanan
(beras) karena Rasulullah saw mewajibkan zakat berupa makanan.

Kita mungkin tidak bisa bersedih dan menangis sehebat para sahabat, namun selayaknya kita pun
takut sebab tak ada jaminan apakah amal kita selama 27 hari ini diterima, begitu pula tak ada
jaminan apakah kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita pun kemudian
memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih sungguh-sungguh kepada Allah
Azza wa Jalla.

Bergulirnya waktu tak terasa telah menghantarkan kita di pengungujung bulan suci Ramadhan.
Tamu agung itu kini akan berpamitan meninggalkan kita dengan sejuta pelajaran dan kebaikan
sebagai hadiah terbaik bagi kita semua. Deraian air mata kerinduan karena perpisahan dengan
tamu agung ini dirasakan oleh umat islam di seluruh dunia, sebagaimana para sahabat
meneteskan air mata kesedihan karena takut tidak bias bertemu kembali dengannya.

Andai Ramadhan bias berpesan pada kita, maka inilah yang mungkin dia akan sampaikan.

Pesan pertama : setelah aku pergi, jangan kau lupakan aku ( puasa ) karena aku akan dating
kembali menghampirimu selama 6 hari di bulan syawal itu tiada lain agar aku dan kamu
senatiasa dekat, aku akan lebih dekat lagi ketika kau melaksanakan puasa senin dan kamis, atau
puasa ayyaamul baidh ( tanggal 13,14,dan 15 setiap bulan qamariyah), puasa Arafah, puasa
Asyura, bahkan Rasulullah SAW menganjurkan untuk melaksanakan puasa Daud (sehari
berpuasa sehari berbuka). Itu semua tiada lain agar kau selalu mengingatku, sehingga aku pasti
menunggumu di pintu ar Rayyân.

Pesan kedua: setelah aku pergi, jangan kau biarkan kitab suci Alquran bersampulkan debu,
buatlah jadwal agar kamu bisa tetap membacanya seperti sediakala ketika aku ada bersamamu.

Ketahuilah bahwa Alquran itu salah satu gizi hatimu, dan Alquran merupakan salah satu yang
dapat memberimu syafaat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Puasa dan Alquran itu
akan memberikan syafa’at kepada hamba di hari kiamat. Puasa akan berkata, ‘Ya Rabbi, aku
telah menghalanginya dari makan dan syahwat, maka perkenankanlah aku memberikan syafa’at
untuknya.’ Sedangkan Alquran akan berkata, ‘Ya Rabbi, aku telah menghalanginya dari tidur di
malam hari, maka perkenankanlah aku memberikan syafa’at untuknya.’ Maka Allah SWT
memperkenankan keduanya memberikan syafa’at.” (HR Imam Ahmad dan Ath-Thabrani).

Pesan ketiga: setelah aku pergi, jangan kau tinggalkan shalat malam walaupun kamu sanggup
hanya melakukan beberapa rakaat saja, sungguh shalat malam mampu mendekatkanmu dengan
Raja-ku.

Pesan keempat: setelah aku pergi, jangan kau tinggalkan kebaikan-kebaikan yang sudah kamu
lakukan di saat aku ada di sisimu, ketahuilah bahwasanya Raja-ku senantiasa mencintai satu
amalan kebaikan yang dilakukan tanpa henti walaupun itu sedikit. Sebagaimana sebuah hadis
dari ’Aisyah RA, beliau mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Amalan yang paling
dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR Muslim).

Pesan kelima: saat aku pergi, duhai kasihku Muslimah jangan kau lepaskan kembali jilbabmu,
karena di situ kehormatan dan kemuliaanmu terjaga, jangan kau memakainya karena aku, tapi
pakailah ia karena Raja ku.

Pesan terakhir: Kun Rabbâniyyan walâ takun Ramadhâniyyan, jadilah kau insan yang senantiasa

Pesan akhir ramadan

beribadah kepada Allah, jangan kau beribadah hanya dibulan Ramadhan saja, karena sungguh
Allah itu Tuhan di seluruh waktu.

Anda mungkin juga menyukai