Anda di halaman 1dari 21

Jurnal Kepariwisataan Indonesia

Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Destination Management Organization (DMO)


- Diskursus Konsep Dasar Tata Kelola Kawasan Pariwisata dalam konteks
Collaborative Governance di Indonesia -

Oleh: Benjamin Abdurahman 1

Abstrak

Dinamika persaingan global saat ini menuntut daerah untuk senantiasa berinovasi dalam upaya
menguatkan dan mengembangkan daya saingnya, termasuk dalam konteks pariwisata. Pemanfaatan
pendekatan konvensional yang didominasi dengan mekanisme top down, birokratis dengan ciri
pengelolaan struktural-hirarkis di masa lalu tidak lagi dapat mendominasi tata kelola kawasan
destinasi untuk menjawab tantangan pembangunan yang semakin kompleks. Dalam dua dekade
terakhir -pada perspektif internasional- menunjukan bahwa pola collaborative governance semakin
mengemuka, termasuk dalam konteks pariwisata. Dalam konteks Indonesia, salah satu contohnya
dapat dilihat pada pemanfaatan DMO (Destination Management Organization). Pendekatan ini giat
diperkenalkan dan diinisiasi pelaksanaannya sejak tahun 2011 oleh Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di 16 kawasan destinasi. Salah satu ciri khas pelaksanaan DMO
adalah pemanfaatan pola jejaring yang terdiri dari para pelaku kunci pariwisata dalam membangun
komunikasi pembangunan pariwisata di daerah. Aspek kepemilikan (ownership) terhadap
pengelolaan berkelanjutan di kawasan destinasi menjadi salah satu faktor penting dalam penguatan
daya saing. Penguatan komunikasi lintas pelaku dalam berbagi peran dan fungsi melalui
pengelolaan kolaboratif pola DMO ini diharapkan juga dapat semakin mengikis ego- lokal
dan sektoral yang telah menjadi implikasi dari penerapan otonomi daerah (otda). Kekuatan
kolaborasi dalam konteks tata kelola pembangunan (governance), menggarisbawahi terbangunnya
komunikasi, kerja sama dan koordinasi yang kondusif di kawasan destinasi. DMO sebagai aplikasi
dari konsep pengelolaan kolaboratif tergolong baru di Indonesia. Bila dimensi pengelolaan
digambarkan dalam tiga bagian, yaitu struktural (publik), nonstruktural (sosial-budaya masyarakat)
dan pasar (dunia usaha), maka arena bermain DMO terletak pada dimensi nonstruktural. DMO
bukanlah sebuah pendekatan yang menggantikan konsep pengelolaan yang ada, namun justru
sebagai penguat dan pemberdaya dari pola pengelolaan yang sudah ada. Oleh karena itu DMO
bersifat komplementer terhadap mekanisme tata kelola struktural di sektor publik dan pasar/bisnis
pada dunia usaha (swasta). Melalui pembelajaran pelaksanaan dan pengembangan DMO di
berbagai daerah diharapkan semakin memperkuat pemahaman terkait konsep dasar DMO sebagai
upaya penguatan pembangunan kawasan pariwisata di daerah pada khususnya dan nasional pada
umumnya.

Kata Kunci: Destination Management Organization (DMO), Pengelolaan Pariwisata, Kawasan


Pariwisata, Daya Saing Pariwisata.

1 Penulis bekerja sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan & Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah (LEKAD) dan telah
menjalankan profesinya sebagai perencana pembangunan wilayah & kota selama lebih dari dua dekade. Berpengalaman sebagai
tenaga ahli dan senior advisor diberbagai Kementerian/Lembaga, seperti Kementerian Koperasi & UMKM, Kementerian Dalam Negeri,
Bappenas, Kementerian PDT, Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif serta diberbagai lembaga pembangunan internasional, seperti
a.l. World Bank, FAO, WWF, GIZ dan Swisscontact. Alamat Email: benrahman@yahoo.com wesite: www.lekad.org
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Abstract

Global challenge has urged the regions in Indonesia to continuously innovate to strengthen
and develop their competitiveness, particularly in tourism sector. Conventional approach no
longer answers the complex challenges of development. In the last two decades shown that
collaborative governance has emerged, including in tourism sector. For instance is the use
of DMO (Destination Management Organization) in Indonesia. This approach has been
implemented since 2011 by the Ministry of Tourism and Creative Economy in 16 destination
clusters. One of the characteristics of DMO is the utilization of network approach consisted
of key agents of tourism in developing communication on tourism development in the area.
Ownership on sustainable management in destination area has become one of the important
aspects in competitiveness improvement. Such improvement is hoped to minimize the local
and sectoral ego appeared from the implementation of regional autonomy. The power of
governance development collaboration creates the helpful communication, partnership, and
coordination in destination area i.e. also region. DMO is considerably new in Indonesia. If
management is divided into three dimensions; structural (public), nonstructural
(sociocultural, community) and market (business), then DMO is a part of the nonstructural
dimension. The role of DMO is to reinforce and empower the existing management pattern,
thus it complement the structural governance in public and private sector. Through the
implementation and development of DMO in many regions, it is hoped that it can improve
the perception about DMO basic concept as an effort to strengthen the tourism development
in the region and nation as a whole.

Keywords: Destination Management Organization (DMO), Tourism Management, Tourism


Competitiveness.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Pendahuluan

Bila dalam UU No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan ditegaskan bahwa kepariwisataan
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana,
terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab, maka pemanfaatan seluruh dimensi pengelolaan
menjadi relevan. Dalam rangka menghadapi tantangan dinamika pembangunan lokal, nasional, dan
global dibutuhkan pemberdayaan berbagai pola pengelolaan dengan tetap mengacu pada nilai-nilai
agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta
kepentingan nasional.

Realita persaingan global menunjukan semakin pentingnya kekuatan daya saing sebagai salah satu
kunci keberhasilan pengembangan kawasan pariwisata. Kekuatan daya saing pariwisata diyakini
dapat terwujud apabila berbagai kapasitas yang ada di sektor publik, swasta dan masyarakat dapat
bekerjasama secara sinergis. Dalam rangka memadupadankan berbagai potensi yang ada di kawasan
destinasi tersebut, maka dibutuhkan tata kelola yang tepat.

Bila digambarkan bahwa kegiatan pariwisata dilakukan oleh para subyek dari sektor publik, swasta
dan masyarakat, maka pembagian dimensi pengelolaan dapat digambarkan seperti dibawah ini.

Gambar 1.

Benjamin Abdurahman, 2014

Pembagian tiga dimensi pengelolaan di atas didasarkan pada pertimbangan proses pengambilan
keputusan pada setiap pengelolaannya. Bila proses pengelolaan berlandaskan ex mandato (perintah
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

atau mandat peraturan dan perundangan ‘dari atas’), maka masuk dalam dimensi struktural.
Pengelolaan seperti yang ada di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Pariwisata
dari provinsi hingga kabupaten/kota berada pada dimensi struktural. Beberapa karakteristik
pengelolaan pada dimensi struktural adalah a.l. organigram yang hirarkis, praktek koordinasi yang
direktif, dan pola komunikasi antar bidang yang bersifat formal-prosedural.

Sedangkan proses pengelolaan berdasarkan norma-norma sosial/kultural kemasyarakatan yang


mengedepankan konsensus dan kebersamaan karena keingingan dari para subjek sendiri (ex mera
mutu) dengan latar belakang sukarela, saling membutuhkan dan atau berdasarkan saling
ketergantungan (interdependensi), digolongkan dalam dimensi nonstruktural (contohnya:
paguyuban wisata, tari, LSM pariwisata dstnya). Seluruh pelaku usaha yang berorientasi profit
masuk dalam dimensi pasar, seperti tarvel agents, guides dstnya. Masing-masing dimensi memiliki
ciri khas pengelolaan tersendiri (periksa: Abdurahman 2005).

Seiring dengan inovasi pembangunan yang berkembang dengan berbagai dinamikanya - terutama
sejak dua dekade terakhir - muncul pendekatan collaborative governance sebagai salah satu
pendekatan yang melengkapi pola pengelolaan tradisional yang ada. Sebagai pengelolaan
tradisional pembangunan yang dimaksud di sini adalah berbagai upaya perencanaan, pelaksanaan
dan pengembangan pembangunan yang mengandalkan satu dimensi pengelolaan saja, yaitu dimensi
struktural. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aplikasi pembangunan yang terwujud hanya dengan
mengandalkan mekanisme struktural dalam pengelolaan pembangunan.

Agranoff dan McGuire (2003) menggambarkan collaborative governance sebagai ‘the process of
facilitating and operating in multi-organizational arrangements to solve problems that cannot be
solved, or solved easily, by single organizations’. Proses fasilitasi yang melibatkan banyak pihak ini
menggarisbawahi pentingnya komunikasi, kerja sama dan koordinasi lintas sektor untuk menjawab
berbagai permasalahan pembangunan. Selanjutnya Emerson, et. al. (2011) mendefinisikannya
sebagai ‘the processes and structures of public policy decision making and management that
engage people constructively across the boundaries of public agencies, levels of government, and/
or the public, private and civic spheres in order to carry out a public purpose that could not
otherwise be accomplished. Definisi ini menegaskan tentang proses pengelolaan yang
memberdayakan berbagai pelaku dari dimensi publik, swasta dan masyarakat untuk menyelesaikan
permasalahan pembangunan.

Salah satu perbedaan yang mencolok antara collaborative governance yang berkarakteristik
nontruktural dengan pola struktural di sektor publik/birokrasi adalah, dimana proses pengambilan
keputusan saat penyusunan konsep/perencanaan dilakukan secara terbuka (DACO Model). Pada
dimensi struktural justru proses pengambilan keputusan saat penyusunan konsep/perencanaan
biasanya dilakukan secara tertutup (periksa: Selle; 1994, yang ditambahkan oleh Abdurahman;
2005 ) pada Gambar 2 & 3.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Gambar 2.

Gambar 3.

Dimensi pengelolaan DMO dengan berbagai prinsip dasar dan karakteristikanya yang khas,
dipastikan disini masuk pada kategori nonstruktural. Oleh sebab itu pemahaman tentang apa yang
dimaksud dengan pengelolaan kolaboratif dalam konteks DMO harus diperjelas. Seluruh
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

pembahasan mengenai hal ini diharapkan menjadi diskursus dan pencerahan bersama tentang DMO
berikut dinamika pelaksanaannya di Indonesia.

Globalisasi dimaklumi membawa berbagai tantangan, diantaranya adalah persaingan yang semakin
ketat di segala bidang termasuk persaingan antar kawasan destinasi. Persaingan ini terjadi terutama
dalam menarik wisatawan. Sebagai konsekuensi logisnya adalah tumbuh kebutuhan daerah untuk
melakukan penguatan daya saing. Kekuatan daya saing ini diyakini mampu menarik masuknya
wisatawan yang membawa secara langsung dana dan memberikan dampak pada peningkatan
permodalan/investasi, perusahaan dan tenaga terampil ke kawasan destinasi. Dengan demikian,
masing-masing komponen yang berada pada sektor publik, dunia usaha dan masyarakat perlu
bersinergi untuk memperoleh daya saing destinasi yang kuat.

Keterbatasan sumber daya, potensi, dan letak geografis adalah beberapa faktor yang semakin
menguatkan aspek ‘saling ketergantungan’ di antara komponen (publik, swasta dan masyarakat)
yang terkait. Pengelolaan kolaboratif dalam pola jejaring kerja sama di antara subjek pembangunan
dengan demikian semakin dibutuhkan. Di sinilah peran DMO dalam konteks pengelolaan kawasan
destinasi menjadi strategis.

Koalisi pembangunan (meminjam istilah politik) yang melibatkan sektor publik, swasta dan
masyarakat dalam mewujudkan tata kelola destinasi yang berdaya saing, berkeadilan dan
berkelanjutan menjadi paradigma yang aktual dan melekat. UNWTO (2007) dalam A Practical
Guide to Tourism Destination Management dijelaskan, bahwa ‘DMOs have typically undertaken
marketing activities, their remit is becoming far broader, to become a strategic leader in destination
development’. Penerimaan ‘marketing’ sebagai aktifitas utama oleh para pelaku dan stakeholders
sebagai faktor perekat kerja sama (kolaborasi) menjadi penting. Hampir tidak akan ada pihak yang
berkeberatan untuk memperoleh manfaat (benefit) dari kegiatan pemasaran kawasan. Dengan
demikian konsep pelaksanaan yang bersifat saling menguntungkan (win-win) diantara pihak terkait
dapat terbentuk (consensus building). Bila aspek ‘manfaat’ sudah diperoleh, maka diharapkan
tumbuh kepemilikan (ownership) yang ditandai dengan komitmen terkait program/kegiatan yang
dilakukan. Adanya komitmen ini dapat dilihat dari berapa besar partisipasi dan pemberdayaan
dapat diwujudkan. Konsekuensi logis dari pemilihan ‘marketing’ sebagai faktor perekat dari
pengelolaan kolaboratif tersebut adalah mengkoordinasikan seluruh komponen agar terjadi
sinergitas yang membawa kepada penguatan daya saing kawasan destinasi. Bagaimana mungkin
memasarkan kawasan bila masih banyak ditemui disparitas pelayanan, overlapping, miskoordinasi
dan miskomunikasi antarpelaku? Hal ini kembali menggarisbawahi bahwa pengelolaan destinasi
membutuhkan kolaborasi diantara para organisasi dan pelaku terkait dalam sebuah strategi
pengembangan kawasan secara terpadu.

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pembentukan dan pengembangan DMO di Indonesia


memperlihatkan karakteristik pengelolaan kolaboratif, yaitu partisipatif, keterpaduan, kolaboratif
dan berkelanjutan (Petunjuk Teknis Operasional 2011 & 2013). Berbagai prinsip yang digunakan
ini perlu dipahami pemanfaatannya dalam dimensi pengelolaan nonstruktural.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Pemahaman Kolaborasi

Ada perbedaan yang mendasar saat melakukan ‘kolaborasi’ antara pola pengelolaan struktural,
nonstruktural dan pasar, khususnya bila dilihat dari faktor ‘kesetaraan’ terkait para subyek yang
terlibat. Ternyata kolaborasi dapat terwujud baik saat terpenuhinya faktor kesetaraan maupun tidak
(equal- & inequal kolaboratif) diantara para subyek yang terlibat. Pada dimensi pengelolaan
struktural yang bersifat hirarkis, maka koordinasi dilakukan secara direktif. Kerja sama para subyek
dalam sebuah pola inequal kolaboratif menjadi wajib. Skema konektifitas pola kerja sama inequal
kolaboratif seperti ini dapat dilihat seperti pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4.

Gambar diatas memperlihatkan, bahwa subjek A, B1, dan B2a memiliki posisi pada hirarki yang
berbeda. Kegiatan kolaboratif dapat dilakukan berdasarkan arahan imperatif dari koordinator.
Hubungan antarsubjek dilakukan melalui mekanisme direktif-koordinatif oleh koordinator yang
sekaligus berkedudukan sebagai pimpinan. Dengan demikian proses pengambilan kebijakan
strategis tetap berada pada koordinator. Kerja sama inequal kolaboratif seperti ini sering
memanfaatkan proses pengambilan keputusan secara tertutup (periksa penjelasan tentang DEAD
Model sebelumnya).

Berbeda halnya bila kerja sama dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan saling
menguntungkan. Secara garis besar hubungan kerja sama dengan pola equal kolaboratif, dimana
masing-masing subjek memiliki posisi yang setara dapat digambarkan sebagai berikut.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Gambar 5.

Skema diatas memperlihatkan, bahwa subjek A dan B (atau subjek setara lainnya) menjadi
subordinat pada masing-masing ruang/sektor, namun koordinator memiliki fungsi moderasi,
fasilitasi, dan mediasi serta pembagi peran. Keberadaan subjek lainnya, yakni C, D dan seterusnya,
masih dimungkinkan sesuai kebutuhan dan kesepakatan bersama. Dalam konteks collaborative
governance, sebuah kerja sama akan tumbuh dan berkembang (khususnya secara kuantitatif pelaku)
bila manfaatnya terbukti besar (Mandell & Keist, 2009). Pemahaman koordinasi pada pola ini
bukan sebagai pimpinan dalam mengambil kebijakan, namun sebagai interface untuk para subjek.
Kebijakan strategis yang disampaikan oleh koordinator merupakan hasil konsensus para subjek.
Koordinator dapat menjadi bagian atau terpilih dari subjek yang bekerja sama berdasarkan
konsensus dan atau dari unsur profesional. Pada praktek di luar negeri, DMO berasal dari unsur
profesional/swasta yang diberi tugas untuk berperan memoderasikan partisipasi dan pemberdayaan
para subjek yang terkait. Kualitas kerja sama yang dibangun sangat tergantung kapabilitas
koordinator dalam melakukan fasilitasi dan moderasi. Kewenangan pengambilan kebijakan oleh
koordinator terbatas pada aspek administratif pengelolaan kerja sama/kesekretariatan.

Penjelasan diatas menegaskan, bahwa aspek ‘struktur kelembagaan’ dalam rangka kerja sama perlu
mendapat perhatian khusus. Pola kolaborasi ditentukan oleh bagaimana kerja sama antar subyek
akan dibangun dan otomatis tertuju pada pilihan antara hirarkis atau jejaring. Keduanya bertumpu
pada bagaimana proses pengambilan keputusan sesuai maksud dan tujuan pengelolaan akan
dibangun dan dilaksanakan.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Pada dasarnya pemahaman kerja sama inequal dan equal kolaboratif, seperti yang dijelaskan di
atas, juga terkait dengan aspek koordinasi dan komunikasi. Artinya bentuk koordinasi pada struktur
kelembagaan hirarkis dengan pola kerja sama inequal kolaboratif dipastikan berpola direktif
koordinatif. Selanjutnya bentuk komunikasi pada struktur hirarkis, aspek kerja samanya dilakukan
melalui prosedur formal.

Bagaimana jenis komunikasi dan koordinasi dalam konteks kolaborasi inequal- dan equal dilakukan
dapat disimak dalam tabel berikut:

Tabel 1.
Karakteristik Kerja Sama Inequal- & Equal Kolaboratif

Kerja Sama

Inequal Kolaboratif Equal Kolaboratif

Struktur Pengelolaan Hirarkis Jejaring

Prinsip Pelaksanaan Imperatif, Top Down Sukarela, Mutualistik

Koordinasi Direktif Koordinatif Partisipatif-Pemberdayaan

Komunikasi Normatif dan Tertutup Cair/Luwes dan Terbuka

Benjamin Abdurahman 2014

Kegiatan koordinasi pada struktur jejaring dipastikan memiliki karakteristik partisipatif-


pemberdayaan (voluntary base) berdasarkan komitmen dari pihak terkait. Kegiatan komunikasi
pada struktur jejaring ini cenderung memiliki karakteristik komunikasi yang cair dan terbuka
sehingga tidak terbelenggu pada prosedur formal. Di lain pihak, kerja sama inequal kolaboratif
pada dimensi struktural (hirarkis) menggunakan pendekatan koordinasi yang direktif. Dan model
komunikasi yang dilakukan bersifat normatif-prosedural dan pada proses pengelolaan tergolong
tertutup. Sebuah kolaborasi - bila dilihat dari perspektif orientasi proses, maka akan selalu
dikaitkan dengan problem setting, direction setting, dan structuring (Gray; 1989).

Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah apabila terdapat unsur yang berasal dari dimensi
pasar atau nonstruktural terlibat di dalam kerja sama dengan unsur struktural, maka dipastikan
mekanisme pengelolaan mengacu pada dimensi pasar atau nonstruktural. Sungguh mustahil apabila
unsur yang berasal dari dimensi pasar atau nonstruktural dapat/bersedia masuk dalam dimensi
struktural dengan segala konsekuensi pengelolaannya. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa dalam
dimensi pasar berorientasi pada perolehan profit, dan dalam dimensi nonstruktural berlandaskan
motivasi perolehan benefit, sedangkan dalam dimensi struktural berorientasi pada keseimbangan
antara kepentingan dunia usaha dan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan yang berkeadialan
dan berkelanjutan dalam konteks bernegara (equilibrium antarswasta-masyarakat). Penjelasan ini
menggambarkan skema deliniasi pemanfaatan antara inequal dan equal kolaboratif terkait dimensi
struktural, nonstruktural, dan pasar.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Tabel 2.
Pola Kerja Sama Berdasarkan Dimensinya

DIMENSI

Struktural Nonstruktural Pasar

Dilakukan oleh para Dilakukan oleh para Dilakukan oleh para


subyek secara Inequal subyek secara Equal subyek secara:
Kolaboratif Kolaboratif (1) Equal Kolaboratif
berdasarkan azas berdasarkan dan dimungkinkan
demokrasi konsensus, namun pemanfaatan inequal
KERJA SAMA: dimungkinkan kolaboratif sebagai
pemanfaatan inequal subordinat
kolaboratif sebagai (2) Inequal
subordinat tata kelola Kolaboratif
kerja sama. berdasarkan azas
pasar

Benjamin Abdurahman 2014

Pada setiap pengelolaan berdimensi struktural maka dipastikan landasan utama pelaksanaan
koordinasi, kerja sama dan komunikasi (3K) berpola inequal kolaboratif. Sedianya tidak ada
polemik tawar-menawar yang menjadi tumpuan pertimbangan di antara para subjek terkait saat
melakukan koordinasi. Aspek 3K dijalankan sesuai prosedur dan standar normatif yang ada. Secara
konsepsi bila terdapat masalah maka diputuskan secara top down (hirarkis) karena koordinator
memiliki posisi kewenangan dalam pengambilan keputusan. Pada dimensi struktural masalah
koordinasi muncul saat komponen/unit-unit kerja semakin terspesialisasi. Masing-masing
komponen/unit memiliki berbagai perbedaan dalam pemanfaatan metode, orientasi waktu, orientasi
pencapaian tujuan, orientasi kelembagaan, dan formalitas struktur kelembagaan. Lazimnya para
subjek memiliki pandangan sendiri tentang bagaimana cara mencapai kepentingan institusi yang
baik. Misalnya, sektor keuangan menghitung skala ekonomi dari besaran investasi, sedangkan
sektor ketenagakerjaan lebih memprioritaskan untuk menghitung jumlah tenaga kerja yang terserap.
dan seterusnya. Masing-masing sektor dan komponen/unit memiliki pola dan iklim kerjanya sendiri
yang kadang tidak sesuai dengan sektor/unit lain. Beberapa perbedaan tersebut sedikit banyak
memberi gambaran masalah koordinasi atau miskoordinasi dalam konteks pengelolaan dimensi
struktural. Pembagian kewenangan/urusan berimplikasi pada penguatan spesialisasi yang berpotensi
mempertajam kesulitan pada aspek 3K. Hal yang menarik juga telah diingatkan oleh hasil survey
yang dilakukan oleh Karl-Erik Sveiby dalam konteks internasional bahwa ‘collaborative climate in
the private sector is generally better than in the public sector’. Dengan demikian kerja sama yang
terkait sektor publik membutuhkan perhatian yang lebih.

Aspek 3K pada setiap dimensi memang bervariasi. Artinya, pemahaman 3K pada masing-masing
dimensi pengelolaan dipastikan berbeda. Pada dimensi nonstruktural upaya koordinasi melibatkan
bentuk equal kolaboratif dari para subjek berikut karakteristikanya yang melekat. Para subjek
terkait kerja sama sekali lagi berbeda dalam memanfaatkan metode, orientasi waktu, orientasi
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

pencapaian tujuan, orientasi kelembagaan, dan SOP kelembagaan. Namun yang lebih penting untuk
dipahami adalah perbedaan terkait faktor kohesifitas 2. Faktor kohesif pada inequal kolaboratif
adalah garis komando kepada pimpinan sebagai amanat kegiatan (prosedur/regulasi) sedangkan
pada equal kolaboratif adalah komitmen yang lahir berdasarkan pertimbangan cost and benefit (nilai
manfaat).

Dimensi pengelolaan nonstruktural memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh dimensi struktural,
yaitu kekuatan komunikasi, kerja sama dan koordinasi (3K). Ketiga komponen utama dalam
management itu sering diartikan sebagai hal yang ‘mudah diucapkan, namun sulit diterapkan’. Lain
halnya pada pengelolaan di dimensi nonstruktural, dimana kekuatannya justru berada pada 3K.
Dalam konsep collaborative governance, aspek (1) komunikasi merupakan sarana utama dalam
pengelolaan yang kemudian disusul dengan aspek (2) kerja sama antar pihat terkait yang
berkepentingan, khususnya dalam berbagi peran dan fungsi; kemudian menggunakan (3) koordinasi
sebagai aplikasi kerja sama para pihak yang terkait. Ketiga aspek tersebut dijalankan berlandaskan
komitmen bersama yang dimotivasi oleh aspek manfaat bagi para pihak. Berikut adalah perbedaan
3K dalam konteks pengelolaan struktural dan nonstruktural.

Gambar 6.

Benjamin Abdurahman, 2014

Kedua skema diatas memperlihatkan perbedaan yang mencolok diantara pengelolaan berikut
pemahaman 3K terkait pada masing-maing dimensi. Pengelolaan pada dimensi struktural yang
hirarkis memperlihatkan aspek koordinasi menjadi sarana utama dalam berkegiatan. Koordinasi
dilakukan secara direktif, sehingga peran koordinator menjadi sentral dan menentukan, khususnya
dalam mengambil berbagai keputusan penting. Karakteristik yang khas lainnya adalah pemanfaatan
perencanaan dengan DEAD Model (periksa: Gambar 2). Aspek kerja sama diantara para pihak yang
terkait dilakukan melalui prosedur yang sudah ditetapkan dengan komunikasi yang bersifat formal.
Seluruh aspek 3K dilakukan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam regulasi/kebijakan.
Beberapa kata kunci berikut ini biasa dikaitkan dengan pengelolaan struktural, yaitu birokratis
dalam berkoordinasi, prosedural dalam bekerja sama dan, formal dalam berkomunikasi. Perlu

2cohesive atau kohesif secara etimologis adalah menyatukan, memadukan, mengintegrasikan atau
membuat kompak. Faktor kohesif yang dimaksud di sini adalah faktor yang membuat 3K dalam sebuah
kolaborasi dapat berjalan kompak dan memiliki keterpaduan.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

digarisbawahi pula bahwa pada pengelolaan struktural pola kerja sama dilakukan secara inequal
kolaboratif. Artinya, kesetaraan diantara subyek yang bekerja sama tidak menjadi komponen utama.
Hal ini berbeda dengan pengelolaan nonstruktural yang menjadikan equal kolaboratif sebagai
komponen utamanya. Dengan demikian pola pengelolaan berikut pemahaman 3K nya antara
dimensi publik (public) dan masyarakat (civic sphere) perlu diperhatikan.

Bila kerja sama dalam konteks DMO mengedepankan pola equal kolaboratif, maka berbagai kata
kunci yang melekat seperti partisipasi-pemberdayaan, konsensus, negosiasi dan komitmen bersama
menjadi unsur-unsur yang tidak terpisahkan dalam pengelolaannya. Aspek komunikasi menjadi
sarana utama dalam berkegiatan, baik dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan/evaluasi
(monev). Oleh sebab itu know how dan skill dari kapasitas komunikasi kelembagaan DMO menjadi
sangat penting. Kontaminasi pola pengelolaan struktural dengan berbagai pendekatannya terhadap
DMO justru berpotensi kontraproduktif dan membebani efektifitas pelaksanaan.

Fenomena Pengelolaan Kolaboratif di Indonesia

Pemanfaatan DMO sebagai sebuah pendekatan pengembangan kawasan di Indonesia masih


tergolong baru. Sosialisasi dan inisiasi pelaksanaannya dalam konteks pariwisata baru dimulai pada
tahun 2011 seiring dengan adanya program DMO oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif. Sejak saat itu mulai terbangun 16 wilayah kerja yang dipayungi oleh program ini. Berbagai
dinamika di daerah menunjukan beberapa perbedaan yang mencolok antara praktek DMO di
Indonesia dan luar negeri.

Di luar negeri komponen profesional yang berperan dalam melakukan kegiatan pemasaran kawasan
sangat menonjol. Lebih lanjut peran kepemimpinan institusi profesional dalam mengkoordinasikan
pembagian peran antar pelaku/stakeholders dalam sebuah strategi pengembangan kawasan menjadi
dominan. Fungsi koordinasi yang dimaksud di sini bukan layaknya dalam sebuah struktur
pengelolaan vertikal, melainkan dalam konteks horisontal. Oleh sebab itu koordinasi yang
dimaksud adalah terkait bentuk-bentuk moderasi, negosiasi, mediasi, dan fasilitasi. Kapabilitas
institusi pelaksana dalam melakukan komunikasi pembangunan menjadi sangat penting. Di luar
negeri institusi pelaksana biasanya juga memiliki fungsi konsultasi dan advokasi dalam batasan
tertentu sejauh tidak menimbulkan distorsi pasar. Institusi pelaksana inilah yang berperan
memobilisasi berbagai potensi yang ada untuk mencapai visi bersama pengembangan kawasan
destinasi. Dengan demikian orientasi kegiatan institusi pelaksana adalah menciptakan benefit untuk
kawasan destinasi dan bukan pada profit bagi institusi. Pembiayaan untuk institusi pengelola yang
profesional ini biasanya diperoleh dari sektor publik dan swasta.

Pelaksanaan DMO seperti contoh-contoh di luar negeri belum/tidak dapat diadopsi sepenuhnya di
Indonesia. Sistem tata pemerintahan di Indonesia saat ini belum mampu mendorong inovasi daerah
untuk melakukan pengembangan kawasan dengan konsep diatas secara utuh. Dari aspek regulasi
dan kebijakan -baik pusat maupun daerah- yang masih diwarnai dengan permasalahan seperti
tumpang tindih peraturan dan kebijakan, praktek ego sektoral sampai pada perbedaan pemanfaatan
paradigma menjadi kendala yang ditemui dilapangan. Seiring dengan permasalahan tersebut, masih
banyak kendala lain, seperti keterbataasan sumber daya manusia untuk melaksanakan konsep DMO
yang membutuhkan know how dan skill tertentu ini. Pendekatan DMO di Indonesia hingga saat ini
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

menitikberatkan pada kekuatan forum sebagai interface3 dalam komunikasi pembangunan kawasan
destinasi. Bila diluar negeri faktor ‘O’ (Organization)4 dalam konteks DMO, khususnya lembaga
pelaksana menjadi komponen yang menonjol dalam konsep pengembangan kawasan destinasi,
maka di Indonesia faktor ‘M’ (Management) atau pengelolaan menjadi perhatian utama. Hal ini
tampak pada proses transformasi (pencarian bentuk ideal) yang terjadi pada praktek DMO di
Indonesia, seperti yang digambarkan dalam gambar berikut.

Gambar 7.

Sumber: Pedoman Umum Kelembagaan DMO 2014

Pada awal pelaksanaan program DMO diluncurkan oleh pusat, digunakan Local Working Group
(LWG) atau kelompok kerja lokal pariwisata (KKLP) sebagai pintu masuk untuk membangun
kesadaran kolektif para pelaku/stakeholders dalam menyepakati tujuan bersama di kawasan
destinasi. Dinamika pelaksanaan konsep DMO dilapangan menunjukan berbagai pembelajaran yang
berharga dan menjadi bahan penyempurnaan program oleh Kemenparekraf pada setiap tahunnya.

Fenomena pengelolaan kolaboratif juga ditemui dalam konteks pembangunan kewilayahan di


Indonesia, khususnya pasca reformasi. Telah dimaklumi, bahwa pelaksanaan otda telah menggiring
daerah untuk melakukan berbagai terobosan. Salah satunya melalui upaya untuk menjawab

3Interface yang dimaksud di sini adalah penghubung antara sektor publik, swasta dan masyarakat dalam
melakukan komunikasi pembangunan dengan cara berbagi peran secara sinergis untuk mencapai visi
bersama.
4Faktor ʻOʼ atau organisasi dalam DMO diluar negeri direpresentasikan melalui institusi pelaksana yang
profesional dan biasanya diambil dari sektor swasta.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

disparitas, miskoordinasi, ego- lokal dan sektoral digunakan pendekatan Regional Management
(RM). Pembentukan RM merupakan fakta empiris terjadinya sebuah regionalisasi desentralistik5
yang pengelolaannya berada pada dimensi nonstruktural (periksa: PP No. 50 Tahun 2007). RM
adalah bentuk aliansi pembangunan antardaerah yang mengandung prinsip-prinsip a.l. kesetaraan
diantara daerah terkait, win-win (saling menguntungkan), komitmen bersama, dan pengelolaan yang
profesional. Inovasi daerah bentuk ini dapat dilihat pada kerja sama antardaerah yang inisiasinya
telah dimulai sejak tahun 2002, seperti yang terjadi di BARLINGMASCAKEB (meliputi Kabupaten
Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen), dan SAMPAN (Sapta Mitra Pantura/
meliputi daerah-daerah di wilayah eks Karesidenan Pekalongan) di Jawa Tengah. Sejak tahun 2005
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal juga telah berupaya mensosialisasikan pendekatan
Regional Management (RM) dibeberapa wilayah di Indonesia dengan segala keterbatasannya.
Pendekatan ini mengedepankan komitmen bersama melalui konsensus diantara para subyek (pemda
terkait) dan hal ini menunjukan salah satu ciri khas utama dari pengelolaan kolaboratif. Terlepas
dari perdebatan tentang keberhasilan dan berbagai kendala yang masih ditemui dalam
pelaksanaannya, pendekatan ini telah diaplikasikan dan terus mengalami pengembangan di
Indonesia. Berbagai prinsip utama terkait RM identik dengan konsep DMO. Perbedaan yang
mencolok diantara kedua konsep tersebut berada pada aspek keruangan. Bila pendekatan RM bisa
dipastikan terkait aspek kerja sama antardaerah secara kewilayahan (regional), maka batasan
wilayah kerja DMO dapat berupa kawasan yang berada dalam sebuah daerah (kabupaten/kota) dan
atau lintas daerah (regional).

Penjelasan diatas memperlihatkan bahwa fenomena collaborative governance di Indonesia mulai


berkembang, khususnya dimasa pasca reformasi. Masa orde baru identik dengan aplikasi pola
pembangunan sentralistik yang mencerminkan pengelolaan direktif koordinatif (top down). Saat itu
kekuatan koordinasi melalui Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dianggap cukup efektif
dalam mensinergikan sektor-sektor yang terkait dalam pembangunan. Namun pola pembangunan
sentralistik ternyata tidak sanggup menghadapi arus globalisasi, terutama yang ditandai dengan
dampak krisis ekonomi dunia pada akhir tahun 90an. Seiring dimulainya era reformasi terjadi pula
perubahan paradigma pembangunan. Melalui otonomi daerah dimulai pemberdayaan yang ditandai
dengan pembagian kewenangan (baca: otonomi) antara pemerintah (baca: pusat) dan daerah untuk
mencapai kesejahteraan melalui pemerataan kualitas pelayanan publik (periksa: PP No. 38 Tahun
2007). Paradigma pembangunan desentralistik menggiring ke berbagai opsi pengelolaan dengan
berbagai pola, khususnya yang bersifat equal kolaboratif.

Tantangan Pengembangan DMO

Sebagai catatan, pendekatan collaborative governance memiliki beberapa kunci sukses yang perlu
diperhatikan. Beberapa variable penentu keberhasilan, yaitu latarbelakang konflik atau kerja sama,
aspek manfaat untuk stakeholder dalam bekerja sama, keseimbangan kewenangan dan sumber daya
serta kepemimpinan (Ansell C & Gash A, 2006). Seluruh elemen tersebut berkaitan erat dengan
aspek kelembagaan. Oleh sebab itu perlu kiranya membahas berbagai elemen tersebut dalam
konteks kelembagaan DMO.

5Regionalisasi desentralistik adalah proses terbentuknyanya kesatuan wilayah yang terdiri dari beberapa
daerah otonom melalui mekanisme kerja sama antardaerah berdasarkan prinsip-prinsip yang khas, seperti
kesetaraan, saling menguntungkan, dan pengambilan keputusan secara konsensus. (periksa Abdurahman,
2005).
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Latarbelakang Kerja Sama

Kerja sama dalam konteks DMO membutuhkan situasi win-win diantara para subyek. Konflik dan
disparitas kepentingan diantara para subyek akan membebani perolehan komitmen bersama.
Disinilah peran negosiasi untuk memperoleh konsensus diantara para subyek menjadi penting.
Pihak mayoritas ‘mengajak’ minoritas untuk bersedia menerima konsep kegiatan dengan berbagi
argumentasi yang mendasar. Saling memperlihatkan ‘manfaat’ kegiatan menjadi salah satu
komponen utama dalam bernegosiasi. Bila perlu mayoritas menyantuni ‘kebutuhan’ minoritas agar
mencapai konsensus. Mekanisme pengambilan keputusan melalui penghitungan suara terbanyak
(voting) di sini tidak menjadi pilihan.

Identifikasi awal terkait faktor perekat kerja sama menjadi salah satu aspek yang menentukan. Tools
perencanaan harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar yang melekat. Pemanfaatan pola
perencanaan konvensional tidak serta merta cocok digunakan dalam pengelolaan kolaboratif.

Aspek Manfaat

Seluruh kegiatan hendaknya mempertimbangkan manfaat (benefit) yang akan diperoleh melalui
pengelolaan kolaboratif. Pada evaluasi kegiatan DMO tidak dinilai berapa keuntungan (profit) yang
diterima oleh lembaga pengelola DMO, namun keluaran kegiatan berupa manfaat langsung maupun
tidak langsung yang diperoleh. Oleh sebab itu, kegiatan pengelolaan kolaboratif senantiasa
berorientasi non-profit. Hal ini dapat dilihat pada praktek DMO di luar negeri. Institusi pelaksana
akan dilihat keberhasilannya (performance) berdasarkan, a.l. berapa besar peningkatan pendapatan
(kesejahteraan para pelaku wisata dan masyarakat), berapa besar peningkatan citra kawasan
destinasi, berapa besar investasi publik dan swasta yang masuk melalui keberadaan DMO dan
seterusnya.

Berdasarkan stakeholder mapping dpat diidentifikasi siapa saja yang terkait dan akan memperoleh
manfaat dari kegiatan-kegiatan dalam konteks DMO. Disamping itu, perhitungan cost and benefit
menjadi instrumen penting untuk memperlihatkan manfaat keterlibatan para subyek dalam kegiatan
DMO.

Keseimbangan Kewenangan

Keseimbangan merupakan salah satu prinsip dasar DMO. Walaupun tingkat manfaat antara subyek
yang terlibat dapat saja berbeda, namun kontribusi yang proporsional (berkeadilan) menunjukan
keseimbangan dan kejelasan tentang peran dan fungsi masing-masing subyek yang berkolaborasi.
Kemampuan menjaga keseimbangan dan kejelasan peran dan fungsi secara produktif akan
memperkuat efektifitas dan capaian pengelolaan.

Tata kelola destinasi perlu dilihat sebagai satu kesatuan sistem, dimana berbagai komponen dan
unsur terkait memastikan diri untuk saling bekerja sama. Telah menjadi maklum, bahwa keberadaan
forum (Forum Tata Kelola Pariwisata/FTKP) tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan
kesekretariatan/pengelola harian yang ‘day to day’ menjalankan perannya sebagai pengelola dari
kolaborasi antarpelaku di kawasan pariwisata. DMO perlu dilihat sebagai sebuah kesatuan sistem
tata kelola yang melibatkan dan memberdayakan seluruh komponen terkait.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Sebagai diskursus pengembangan kelembagaan dapat dilihat usulan pola hubungan antara FTKP
dengan pengelola harian berdasarkan intensitas komunikasi yang dibutuhkan.

Gambar 8.

Transformasi keberadaan pengurus harian yang kini masih bersifat voluntary menjadi professional
sangat disarankan pada pelaksanaa DMO ke depan. Aktifitas pengurus harian saat ini ditopang oleh
Sekretariat DMO di Kemenparekraf. Melalui program DMO ini tersedia fasilitator destinasi dan
lokal pada setiap kawasan DMO. Dengan demikian kegiatan harian dapat terselenggara berdasarkan
program pendampingan dari pusat. Scalling up kelembagaan dari pendampingan pusat menuju
kemandirian lokal perlu dilakukan secara bertahap. Kontribusi DMO terhadap pembangunan yang
berkelanjutan dan berkeadilan di setiap kawasan DMO tentu menjadi tolok ukur keberhasilannya.
Keberlanjutan DMO sebagai sebuah tata kelola pembangunan dan pengembangan pariwisata dapat
dipastikan apabila ownership telah terbangun.

Penguatan Daya Tarik

Menurut UNWTO (2007), daya tarik destinasi dipengaruhi oleh (1) atraksi, (2) fasilitas publik dan
swasta, (3) aksesibilitas, (4) sumber daya manusia (SDM), (5) citra/keunikan lokal, dan (6) harga
yang kompetitif. Namun daya tarik wisata tersebut tidak berdiri sendiri dan membutuhkan kekuatan
daya saing kawasan yang meliputi berbagai komponen, seperti digambarkan sebagai berikut.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Gambar 9.

Termasuk dalam kategori sumber daya juga di sini adalah keberadaan konsep atau strategi yang
telah disepakati bersama dalam rangka mencapai visi dan target-target pembangunan kawasan
pariwisata. Konsep visioner ini merupakan skenario pembangunan kawasan pariwisata yang telah
mengandung pembagian peran dan fungsi dari pelaku kunci dan stakeholders terkait. Pencapaian
target-target merupakan tolok ukur dari kekuatan daya saing wisata di sebuah kawasan destinasi.

Aspek Kepemimpinan

Yang dimaksud dengan kepemimpinan di sini adalah bagaimana DMO dapat berperan untuk
memastikan bahwa komunikasi pembangunan di kawasan destinasi berjalan dengan optimal. Peran
penting DMO dalam membangun dan mengembangkan komunikasi lintas pelaku melalui berbagai
kegiatan fasilitasi, moderasi, mediasi, advokasi dan konsultasi inilah yang memposisikan DMO
sebagai komponen strategis dalam konteks tata kelola kawasan. Mambangun kebersamaan
membutuhkan leadership yang mampu meyakinkan stakeholders untuk bersinergi secara optimal.
Peran kepemimimpinan DMO dalam melakukan komunikasi pembangunan lintas sektoral dapat
terwujud apabila DMO diterima sebagai koordinator dalam memoderasikan komunikasi
pembangunan dan bukan sebagai koordinator dalam pengertian yang direktif.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Penutup
Dinamika otonomi daerah dan tantangan persaingan global saat ini ‘memaksa’ daerah untuk
melakukan inovasi. Pemanfaatan DMO sebagai salah satu instrumen inovatif pembangunan
kepariwisataan merupakan konsekuensi logis dari tekanan globalisasi dan dinamika otda.
Paradigma pembangunan partisipatif yang diwujudkan dalam pendekatan DMO ditengarai selaras
dengan kebutuhan dan kearifan lokal di daerah. Tradisi gotong royong yang melekat di masyarakat
bahkan menjadi salah satu modal penting pada aplikasi DMO. Justru pendekatan collaborative
governance pada tingkat lokal yang ditandai dengan pola musyawarah dalam proses pengambilan
keputusan bukanlah hal yang asing di Indonesia. Pengelolaan pada dimensi nonstruktural di
kawasan destinasi, khususnya di daerah yang memiliki latar belakang budaya musyawarah
(kelompok adat) yang kuat bukan hal yang baru. Namun dalam konteks pembangunan nasional,
pemanfaatan pola struktural lebih mendominasi dan hingga saat ini masih lamban dalam
mendukung dan memanfaatkan berbagai pola pengelolaan nonstruktural (jejaring). Hal ini dapat
dilihat dari regulasi dan kebijakan yang sangat tidak kondusif untuk mampu menggerakan berbagai
pola pengelolaan nonstruktural pada saat ini.

Tumpang tindih dan ambivalensi panduan kebijakan masih sering ditemui. Sebagai contoh, disatu
sisi pusat selalu menekankan kepada daerah agar melakukan inovasi pembangunandengan pola
collaborative governance, namun di sisi lain tidak didukung dengan payung kebijakan yang tepat.
Sebagai contoh, kerja sama antardaerah (KAD) kewilayahan melalui konsep Regional Management
tergolong pendekatan collective governance seperti halnya dengan DMO. Namun produk regulasi
dan kebijakan yang terkait KAD justru kontradiktif dan bahkan banyak ditemukan kerancuan,
sehingga membuat inovasi daerah menjadi mandul. Sinkronisasi kebijakan, khususnya yang bersifat
lintas K/L sangat dibutuhkan bila inovasi daerah diharapkan tumbuh dan berkembang dalam rangka
memperkuat daya saing pembangunan daerah. Sektor pariwisata di bawah Kemenparekraf sendiri
dipastikan memiliki keterbatasan dalam mengkoordinasi pengelolaan kawasan dalam dimensi
struktural. Oleh karena itu, DMO merupakan instrumen strategis dalam menciptakan sinkronisasi
dan harmonisasi baik secara vertikal maupun horisontal. Demikian pula untuk K/L terkait, dimana
DMO menjadi platform komunikasi pembangunan lintas sektoral/pelaku yang sangat diperlukan
untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kebijakan. Pemanfaatan, dan pemberdayaan DMO oleh
K/L dapat meringankan beban pembangunan sektoral yang masih diliputi dengan permasalahan
klasik, seperti miskoordinasi, miskomunikasi, overlapping, disparitas dan berbagai permasalahan
pembangunan daerah lainnya. Namun arahan regulasi dan kebijakan tentang hal ini sangat lemah,
sehingga sinergitas K/L masih belum optimal.

Tantangan ke depan bagi para regulator adalah bagaimana memproduksi regulasi yang dapat
menciptakan iklim kondusif untuk berkembangnya inovasi pembangunan di daerah. Pembenahan
tumpang tindih dan kontradiksi diantara peraturan dan perundangan perlu senantiasa dilakukan.
Perbaikan regulasi perlu diikuti dengan terobosan kebijakan, seperti dalam bentuk insentif dan
disinsentif. Bagi daerah yang memanfaatkan kekuatan komitmen bersama secara terpadu, seperti
dalam aplikasi DMO perlu dibantu dan diberi reward yang memadai. Sedangkan bagi daerah yang
tidak mampu menekan kepentingan sektoral/kedaerahan (baca: ego sektoral dan atau ego daerah)
diberi disinsentif agar pada gilirannya mampu untuk berinovasi sesuai dengan kebutuhan dinamika
pembangunan. Salah satu bentuk disinsentif yang tergolong efektif biasanya terkait dengan
kebijakan alokasi anggaran, termasuk pemotongan/penangguhan program dari pusat.

Para pengambil kebijakan di K/L hendaknya mulai membuka peluang pemberdayaan DMO sebagai
platform untuk mensinergikan program-program yang tersedia, sehingga memperkuat efektifitas
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

investasi publik yang di alokasikan ke daerah. Dalam konteks perencanaan program, maka K/L juga
dapat memanfaatakan DMO sebagai media perolehan input terkait kebutuhan nyata di daerah.
Pembagian peran antara para pelaku pembangunan sekaligus K/L diharapkan akan semakin jelas
sesuai masing-masing tugas pokok dan fungsi, sehingga keterpaduan konsep pembangunan
kawasan pariwisata dapat berjalan secara optimal.

Pemanfaatan berbagai tools yang kental dengan karakter nonstruktural, seperti pemanfaatan media
sosial, internet marketing di masa mendatang perlu semakin diberdayakan. Terobosan juga perlu
dilakukan untuk memperkuat keberlanjutan DMO, khususnya terkait aspek penganggaran.
Bagaimana peran sektor publik, swasta dan masyarakat untuk berkontribusi dalam menjamin
keberlanjutan DMO masih menjadi pekerjaan rumah bersama.

Telaah kritis terkait konsep dasar DMO sebagai salah satu pendekatan inovatif pembangunan
daerah perlu dilakukan melalui diskursus publik dan teknis seiring dengan proses pengembangan
DMO ke depan. Salah satu contoh, hingga saat ini aspek ‘penilitian’ masih masuk sebagai salah
satu peran yang dilakukan oleh DMO. Seberapa jauh dan dalam penilitian yang dimaksud? Sesuai
trend aplikasi collaborative governance justru kegiatan penilitian yang bersifat in depth justru
dihindari, karena biasanya sudah ada institusi yang berperan dalam hal tersebut - baik dari sektor
publik maupun swasta. Perlu diingat, bahwa keberadaan DMO bukan untuk mengambil alih peran
pelaku yang ada. Namun bila terkait penilitian yang bersifat singkat, layaknya rapid assessment
sebagai hasil kajian kolaboratif untuk mencapai komitmen bersama justru menjadi salah satu
bentuk yang lazim digunakan. Limitasi terhadap beberapa jenis kegiatan DMO perlu dipertegas
agar tidak melahirkan berbagai kesalahpahaman.

Penyamaan persepsi tentang berbagai pemahaman dasar sesuai rangkaian pembahasan diatas perlu
dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan kapasitas terkait pelaksanaan DMO ke depan.
Kesimpangsiuran penggunaan istilah dan kerancuan pemahaman konsep perlu dihindari agar
pemanfaatan DMO dapat berjalan sesuai fungsinya yang strategis dalam rangka penguatan daya
saing kepariwisataan nasional dan sekaligus sebagai langkah percepatan pembangunan di daerah.

Berbagai kajian dan diskursus mengenai pelaksanaan DMO di Indonesia perlu terus didorong dan
dikembangkan, khususnya oleh Kemenparekraf. Berbagai pengalaman terbaik dan pembelajaran
yang diperoleh berdasarkan perjalanan proses pelaksanaan DMO di banyak daerah akan menjadi
modal penting perbaikan DMO ke depan. Kalangan perguruan tinggi perlu semakin digerakan
untuk turut memberikan sumbang pikiran sehingga dapat memperkaya landasan teori & praktek
pemanfaatan DMO di masa mendatang.
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Daftar Pusataka

Abdurahman, Benjamin (2005), Regional Management & Regional Marketing - Pemahaman


Dasar, IAP Jateng, 2005. Download: www.lekad.org
------------------------------ (2012) ‘Penguatan Kelembagaan dalam Kerja Sama di Kawasan
Perkotaan” Jurnal Pembangunan Daerah,Vol. XVIII./Edisi 02/2012
Agranoff R & McGuire M. 2003. Collaborative public management. Washington, DC:
Georgetown University Press.
Ansell C & Gash A. (2006). ‘Collaborative Governance in Theory and Practice’. Working paper
research in progress. Berkeley: Department of Political Science. University of California.
Bryson, John. 2011. Strategic Planning for Public and Non-Profit Organizations, 4 ed. San
Francisco: Jossey-Bass.
Emerson Kirk, Tina Nabatchi & Stephen Balogh. 2011. An Integrative Framework for
Collaborative Governance. Journal of Public Administration Research and Theory. Published
May 2, 2011
Gray B. 1989. Collaborating: Finding common ground for multiparty problems. San Francisco:
Jossey Bass Publishers.
Karl-Erik Sveiby, Roland Simons, (2002) "Collaborative climate and effectiveness of knowledge
work – an empirical study", Journal of Knowledge Management, Vol. 6 Iss: 5,
Mandell MP & Keast R. 2009. A new look at leadership in collaborative networks: Process
catalysts. In Public Sector Leadership: International challenges and perspectives (eds) JA Raffle,
P Leisink, AE Middlebrook (eds) Edward Elgar Pub Cheltenham UK. Hal.163–178.
UNWTO, 2007. A Practical Guide to Tourism Destination Management. Published and printed
by the World Tourism Organization, Madrid, Spain. First printing 2007

Buku Pedoman & Petunjuk Teknis


Pedoman Koordinasi Perencanaan Pembangunan Pariwisata Daerah, Direktorat Jenderal
Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan Dan Pariwisata, 2009
Petunjuk Teknis Operasional Pembentukan Dan Pengembangan Destination Management
Organization, Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan
Dan Pariwisata, 2011
Destination Intelligent, Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian
Kebudayaan Dan Pariwisata, 2011
Blueprint Skema Pembentukan Dan Pengembangan Destination Management Organization
(DMO), Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan Dan
Pariwisata, 2011
Petunjuk Teknis Operasional Pembentukan Dan Pengembangan Destination Management
Organization, Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata Dan
Ekonomi Kreatif, 2013
Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 9 N0.2 Juni 2014 ISSN 1907-9419

Peraturan Perundangan

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.


Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

Anda mungkin juga menyukai