Indonesia
dalam standard fasilitas dan pelayanan, memastikan adanya pengembangan yang tetapmemperhatikan
lingkungan, menyusun data statistik pariwisata, melakukan penelitian terkaitpengembangan pariwisata,
perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia dibidangpariwisata, menyusun standar
kompetensi dan pelatihan untuk tenaga kerja pariwisata,penyewaan lahan untuk kegiatan pariwisata dan
pendaftaran secara resmi fasilitas danoperator terkait pariwisata.Amsterdam Tourism and Convention
BoardATCB merupakan lembaga yang menyusun strategi pemasaran dan komunikasi dalamindustri
pariwisata untuk mendorong tingkat kunjungan ke Amsterdam melalui kegiatanpromosi, inovasi produk,
penelitian dan press-trips. Kegiatan ATCB bekerjasama denganAmsterdam Partner, Amsterdam
Convention Board, Amsterdam Cruise Port. Kegiatan ATCBditujukan untuk mengoptimalkan jumlah
pengeluaran wisatawan yang pada akahirnya akanmendorong pertumbuhan ekonomi dan penyediaan
lapangan pekerjaan. Beberapa kegiatanATCB lainnya adalah pembangunan citra pariwisata, kegiatan
pemasaran yangberkesinambungan dan pada tahun 2009 ATCB menetapkan standar minimum
kunjungan keAmsterdam akibat dari krisis ekonomi di Eropa.Victoria Tourism BoardVTB merupakan
partner industri pariwisata yang bertujuan untuk mengembangkan potensipasar wisatawan lokal dan
dunia sesuai dengan karakteristik sumber daya pariwisata Victoria.Tourism Victoria merupakan motor
pemerintah dalam kegiatan pariwisata dan industriperjalanan dengan tujuan memasarkan Victoria
sebagai destinasi pariwisata dalam skalanasional dan internasional, meningkatkan jumlah kunjungan,
meningkatkan pemanfaatanfasilitas pariwisata, meningkatkan kualitas fasilitas pariwisata, mendukung
danmengkoordinasikan jumlah fasilitas wisata, menyediakan cara yang efektif dan efisien
dalaminvestasi di bidang parwisata. Salah satu tujuan pokok VTB adalah memastikan
implementasikebijakan dan aturan pemerintah dalam kegiatan pariwisata.CTDC - CanadaCanadian
Tourism Development Corporation (CTDC) merupakan lembaga independen yangikut serta dalam usaha
menumbuhkan pengembangan industri pariwisata di Kanada. CTDCbekerjasama dengan rekan industri
untuk menyediakan tenaga ahli pariwisata bagianggotanya, menyediakan peluang pemasaran,
konsultasi dan dampingan dalam pengelolaankegiatan dan fasilitas wisata. Misi dari CTDC adalah
memfasilitasi pertumbuhan industripariwisata yang baik (kuat) melalui kerjasam dengan semua partner
strategis untuk memberikan dampak positif dalam pengembangan kegiatan pariwisata. CTDC tidak di
danaioleh pemerintah atau instansi lain terkait di bidang pariwisata.
Lucerne Tourism Ltd.Lucerne Tourism Ltd. merupakan pusat kompetensi dalam kegiatan positioning,
kehumasan,pemasaran dan menawarkan jasa pelayanan pariwisata di sekitar destinasi Lucerne-
WilayahDanau Lucerne, Swiss.4. PermasalahanPengembangan tatakelola destinasi pariwisata di
Indonesia masih belum dilakukan secaraoptimal. Berbagai permasalahan konkrit yang mempengaruhi
perkembangan kepariwisataanseperti belum optimalnya tata kelola, kurangnya sinkronisasi dan
koordinasi, cenderungbersifat parsial, kurangnya pengemasan produk wisata, terbatas penerapan dan
pemanfaatanICT, rendahnya SDM dan pelayanan umum dan pelayanan di bidang pariwisata,
terbatasnyapromosi, serta belum sinkronnya regulasi di tingkat daerah untuk invetasi dan
pembinaanindustri pariwisata.Pembahasan permasalahan dalam artikel ini bertujuan untuk
menggambarkan kerangkateoritis dan adaptasi model dalam konteks Indonesia dan difokuskan kepada
: (1) bagaimanapendekatan sistemik dan kovergensi dalam DMO, (2) bagaimana orientasi tata
keloladestinasi pariwisata ke depan, (3) bagaimana penguatan stakeholder pariwisata, dan
(4)sejauhmana optimasi keseimbangan dimensi ekonomi, estetika dan etika dalam tata
kelolapariwisata.5. Metode PenelitianUntuk mendalami permasalahan ini diperlukan metode kualitatif
melalui kajian literatur danpengamatan. Metode penelitian literatur dipakai untuk memahami pendekatan
DMO dinegara-negara lain sesuai dengan tingkat perkembangan destinasi. Literatur yang
digunakanterutama berkenaan dengan literatur yang membahas mengenai DMO
(DestinationManagement Organization). Karena sebelumnya, literatur DMO menggunakan
DestinationMarketing Organization (Morrison, 1998; Pike, 2004) serta publikasi DMO oleh UNWTO,dan
berbagai sumber referensi sejak tahun 1998. Teknik pengamatan awal dilakukan terhadappenerapan
konsep DMO di Indonesia tahun 2011.6. Pembahasan dan Implikasi
2010). Tata kelola mengandung pengertian governance : mengelola, mengatur, menata.Karena itu tata
kelola destinasi sebagai destination governance mengandung pengertian :rangkaian proses, kebiasaan,
kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan,pengelolaan, serta pengontrolan suatu
destinasi. Tata kelola destinasi juga mencakuphubungan antara para pemangku kepentingan
(stakeholder) yang terlibat serta tujuanpengelolaan destinasi. Pihak-pihak utama dalam tata kelola
destinasi adalah pemangkukepentingan termasuk masyarakat lokal di destinasi. Pemangku kepentingan
lainnya termasuk pemda, dunia usaha, pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator,
lingkungan, sertamasyarakat luas.Oleh karena itu, DMO sebagai produk kebijakan merupakan salah
satu alat manajemen untuk membangun keterkaitan (linkage) tersebut yang diibaratkan sebagai satu
kesatuan dalampersepktif orkestra pariwisata. Guru Manajemen Peter Drucker menekankan perlunya
tatakelola dalam pengembangan sumber daya ekonomi di daerah. Hal ini relevan denganpendekatan
pengelolaan destinasi pariwisata ke depan yang memperhatikan kecenderungandan fenomena pasar,
perubahan lingkungan, dan tata kelola yang bersumber dari unsursumber daya dan kapasitas lokalitas
(Susanto, 2010;Gunn, 2002; Cooper, 2005). Dalamperspektif ini, pengelolaan destinasi pariwisata
merupakan rangkaian tindakan dan upayauntuk meningkatkan kapasitas destinasi melalui perencanaan
yang matang, implementasiyang konsisten dan pengendalian yang cermat untuk mengoptimalkan daya
tarik,aksesibilitas, dan fasilitas serta masyarakat dalam rangka perolehan manfaat secara ekologis,sosial
dan ekonomis.Berbagai opsi model peningkatan tata kelola destinasi (destination management
governance)diperlukan untu meningkatkan koordinasi elemen destinasi dengan strategi
untuk menghubungkan berbagai rangkaian aktivitas secara sistematis tidak duplikatif berkenaandengan
promosi, pelayanan pengunjung, pelatihan, dukungan dunia usaha. Opsi jeniskelembagaan dapat
berupa : otoritas publik, kemitraan dengan publik, unit pengelolaan,outsourcing swasta, kemitraan
pubplik dan privat, dsbnya.Keberlanjutan organisasi/unit usaha/entitas bisnis ditentukan oleh kualitas titik
temu antarakebutuhan pasar dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu modal pengelolaan
destinasiadalah unsur lokalitas yang ada di destinasi termasuk masyarakat. Otoritas dan
kedaulatanlokalitas merupakan salah satu kunci sukses untuk meningkatkan kualitas
keberlanjutandestinasi. Kekuatan lokal ditentukan oleh kualitas kehidupan masyarakat lokal.
Unusrlokalitas ini berkenaal dengan relasi yang seimbang, kecukupan sarana dan prasaranakesehatan,
ketersediaan air minum, pendidikan, dll. Hal ini relevan dengan prinsip penerapancorporate social
responsibility (CSR) dan good governance tourism (Drucker, 2010).
Dalam konteks ini, diperlukan pola manajemen berbasis nilai yang oleh Drucker dalamPearce (2010),
dijelaskan sebagai upaya mengelola sumber daya secara arif dengan tantangankeberlanjutan sosial,
ekonomi dan lingkungan sebagai entitas yang saling berkaitan untuk meningkatkan kapasitas kegiatan
usaha ekonomi, masyarakat dan lingkungan. Dalamperspektif manajerial moderen, pemikiran yang
humanis dan membumi dalam praktik pengelolaan berbasis nilai tidak hanya berorientasi ekonomi ,
namun bekerja denganbertanggungjawab terhadap masyarakat. Dengan demikian, orientasi tata kelola
pariwisata kedepan memerlukan nilai organisasi yang mempertimbangkan manfaat
secara berkelanjutan.6.3. Penguatan Model Tripple Bottomline Stakeholder PariwisataModel
pengelolaan dengan menggunakan triple bottom line ditujukan untuk mengintegrasikan kemampuan
kewirausahaan setiap stakeholder di tingkat lokal dalamformat : manusia (people), bumi (planet) dan
keuntungan (profit) (Hammel dan Denhart,2006). Berdasarkan pendekatan ini, maka reposisi destinasi
dan produk pariwisataberorientasi kepada upaya menempatkan produk kepariwisataan lebih berfokus
pada kegiatanyang melibatkan masyarakat (inter-active tourism), kepariwisataan bertema produktif
yangberkelanjutan dan tidak konsumtif; keseimbangan kepentingan ekonomis dan pelestariannilai-nilai
lokal. Pengembangan kepariwisataan di Indonesia menyingkap tantangan danproblematika terhadap
upaya reposisi pengembangan kepariwisataan dan penataan strukturdan organic dalam rangka
menformulasikan nilai-nilai dalam kegiatan kepariwisataan.Dengan demikian tatanan
pluralistik,keanekaragaman sumber daya kepariwisataan dankebhinekaan merupakan salah satu modal
inovasi dan diversifikasi produk kepariwisataan.Dalam pandangan Page (2007), kerangka tata kelola
destinasi pariwisata mengandung fungsimanajerial dengan distribusi tanggungjawab, kewenangan,
kemitraan dengan berbagai tingkatdi level bisnis, pemerintah termasuk kontrol masyarakat. Cooper, et
al. (2005) dan UNWTO(2000) menegaskan konsep destinasi berkenaan dengan kawasan geografis yang
beradadalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata,fasilitas
umum, fasilitas kepariwisataan, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkaitdan melengkapi
terwujudnya kepariwisataan. Secara konsepsional, destinasi pariwisatamerupakan rangkaian
keterpaduan entitas ruang (geospasial), entitas bisnis (ekonomi), entitassosial (sosial budaya, politik),
entitas lingkungan (perubahan lingkungan dan pembangunanberkelanjutan).Dalam konteks penguatan
konsep sustainability dalam pengelolaan aktivitas usaha, Kotler(1997) menekankan strategi untuk
memperhatikan stakeholder seperti karyawan, pemerintah,supplier, dan lingkungan. Kotler menegaskan
agar perilaku prososial perusahaan diwujudkanmelalui pengelolaan lingkungan, kesehatan, pendidikan
dan produk organis atau ekologis.Hal ini perlu didukung dengan perilaku prososial konsumen yang antara
lain memperhatikan
dampak produk yang dikonsumsi, penghematan energi, melakukan daur ulang, membeliproduk organik
dan memanfaatkan secara cerdas dan bijak.Format tata kelola (Cooper, 2005;) yang lebih memfokuskan
penguatan struktur dan standarprosedur kerja dapat mendorong munculnya formalisme kelembagaan
destinasi yang ada.Bahkan disinyalir dapat menimbulkan benturan kepentingan dan bahkan akan
munculpersaingan yang tidak sehat di destinasi pariwisata. Kondisi tersebut selanjutnya
akanberpengaruh terhadap kualitas pengelolaan dan kualitas daya saing destinasi (Budpar, 2010).Selain
itu, penerapan informasi dan teknologi dalam pengelolaan destinasi harus dikaitkandengan mata rantai
kepariwisataan dan penguatan actor-aktor lokal yang ada di destinasidalam penciptaan pengalaman
(Gunn, 1988; Middleton and Clark, 2001).Namun, yang perlu dicatat disini, model ini dapat menjadi
dynamic model untuk menentukankualitas pengelolaan manajemen di destinasi pariwisata di Indonesia.
Pengelolaan destinasiyang tepat dan efektif merupakan salah satu pendekatan untuk meningkatkan
kinerjapengelolaan daya tarik (attraction management), pengunjung (visitor management)
danlingkungan sosial budaya di destinasi pariwisata. Pengembangan dan pengelolaan destinasitidak
saja dengan pendekatan nilai ekonomis namun berimbang menerapkan nilai ekonomi,nilai etika, dan
nilai estetika.Dalam pandangan Cooper (2005) dan Page (2007), prinsip dasar yang harus dijadikan
normadalam penyusunan kebijakan pengembangan destinasi kepariwisataan adalah mencakupdimensi
posisi kapasitas masyarakat, lingkungan, pelibatan masyarakat, dan pertimbanganpolitik pembangunan.
Lingkungan merupakan salah satu ekosistem yang sangat rawanterhadap intervensi yang menyebabkan
hilangnya daya tarik yang dimiliki (Inskeep, 1992).Untuk meminimalisasi dampak yang terjadi maka
konsep daya dukung (physical and socialcarrying capacity) mutlak diterapkan pada semua destinasi
pariwisata (Wall, 1994; Inskeep,1992).6.4. Optimasi Keseimbangan Dimensi Ekonomi, Estetika, Etika
Dalam Tata KelolaPariwisataPenguatan tata kelola pariwisata yang berkeseimbangan harus mampu
menerapkan tiga pilarnilai yaitu nilai ekonomi, estetika dan etika yang mendorong perwujudan
pariwisatakontekstual berbasis lokalitas. Dalam perspektif ini, keberlanjutan pengelolaan
destinasipariwisata ditentukan melalui penerapan nilai domestik atau nilai lokal yang ada dimasyarakat.
Karena itu, tata kelola berbasis keseimbangan nilai lokal terhadap intruisi nilai
terinduksi dan keseimbangan asimetris nilai ekonomi, nilai estetika dan etika merupakankunci
kesuksesan pengelolaan destinasi ke depan (Teguh, 2011).Penerapan dimensi nilai diadopsi sebagai
proses manajerial untuk menghasilkan kesuksesandestinasi pariwisata yang mempertahankan dan
melestarikan sumber daya lokal di destinasisebagai katalist pembangunan kepariwisataan di daerah.
Penerapan opsi pembangunanpariwisata berkelanjutan diarahkan pada pengembangan pariwisata yang
bertanggungjawabyang mempertimbangkan komponen komunitas sebagai unsur utama dalam
sistempengelolaan destinasi. Karena itu, dengan menerapkan opsi tersebut dapat dihasilkankontribusi
terhadap keseimbangan nilai terinduksi dan nilai lokal yang bertujuan untuk memperkuat penerapan
pariwisata berbasis masyarakat sebagai model pengelolaan detinasike depan.Kepuasan masyarakat
sebagai perwujudan persepsi masyarakat dan kepuasan wisatawanseyogyanya diperlakukan secara
berimbang dalam rangka mendorong peningkatan kontribusiterhadap kesuksesan pengelolaan
destinasi. Indikator kesuksesan destinasi sebagai gambarannyata kinerja pengembangan pariwisata di
daerah perlu memprioritaskan indicator-indikatorpenting seperti : daya dukung sosial, daya dukung fisik,
kualitas pelayanan dan peran sertamasyarakat. Nilai ekonomis lokal, estetis lokal dan etis lokal sebagai
bentuk otentisitas dankedaulatan masyarakat di destinasi perlu diterapkan sesuai pendekatan pariwisata
masyarakat,keberlanjutan domestic, dan praktik pariwisata yang berkeseimbangan.Destinasi
merupakan entitas sosial, budaya, ruang, ekonomis/bisnis, dan keseimbanganekosistem dan lingkungan
yang saling mempengaruhi, saling melengkapi dan salingberkaitan dengan kekuatan utama masyarakat.
Pendekatan metode untuk menilai persepsidengan pengukuran kuantitatif dapat dipertimbangkan
sebagai kontribusi ntu membuatberbagai keputusan dalam pembangunan destinasi. Kesuksesan
pengelolaan destinasiditentukan oleh faktor internal (pengembangan destinasi secara internal) dan
eksternal(komunikasi dan pemasaran). Karena itu, diperlukan penerapan pengelolaan
yangkomprehensif, sistemis, konvergen, berkaitan dan interkoneksi (Teguh, 2011).7. Implementasi
Program DMO di IndonesiaUntuk Indonesia, tata kelola pariwisata melalui DMO tidak dimaksudkan untuk
menciptakanstruktur dan tatanan organisasi baru, namun lebih diarahkan untuk meningkatkan pola
danstruktur yang ada, memperkuatkan basis masyarakat, memperkokoh fungsi dan optimasi
stakeholder, memberikan ruang inovasi dan kreatitivitas serta inisiatif lokal, juga melaluipemanfaatan
jejaring dan teknologi.Sebagai konsep kerja (working definition), DMO dipahami sebagai tata kelola
destinasipariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi koordinasi,
perencanaan,implementasi dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik
melaluipemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi yang terpimpin secara terpadu dengan peranserta
masyarakat, pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan,proses dan
kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volumekunjungan wisata, lama
tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagimasyarakat lokal (Budpar,
2009).Sedangkan pembentukan dan pengembangan DMO mengacu pada prinsip partisipatif,kolaboratif,
keterpaduan dan berkelanjutan yang dilakukan melalui pendekatan proses,manajerial dan sistemik.
Rangkaian aktivitas DMO mencakup konsultasi dan advokasi,standardisasi dan pelayanan, penelitian,
pemberdayaan masyarakat, investasi, pemasaran,kordinasi, kemitraan dan jejaring, manajemen krisis,
penyusunan program innovasi, surveyindeks pelayanan, dan monitoring dan evaluasi.Transformasi
pembentukan dan pengelolaan DMO di Indonesia tetap merujuk pada kapasitas,karakteristik destinasi
dan kondisi sosiologis serta analisis pasar (market intelligent). Karenaitu, untuk skema pengembangan
DMO tahun 2011, Indonesia mendorong pengembanganDMO di 15 titik (hotspot destinasi) yang juga
berkorelasi dengan pusat pertumbuhanekonomi secara nasional.Operasionalisasi pembentukan dan
pengembangan DMO di Indonesia dilakukan dengantahapan-tahapan sebagai berikut:(1) Tahap
Peningkatan Gerakan Kesadaran Kolektif Stakeholder:Intervensi aktivitas mencakup: assessment,
baseline destinasi, melakukan stakeholdermeeting, convergence meeting, membangun komitmen kerja
dalam bentuk rencana aksi.(2) Tahap Pengembangan Manajemen Destinasi:Intervensi aktivitas
mencakup: penyusunan destination management plan (Blue Print,Roadmap, Master Plan), sinkronisasi
kerjasama dengan pihak lain (badan/lembaga
dan destinasi. Baik-buruknya pengelolaan ini akan menentukan seberapa kuat daya tarik suatu destinasi
bagi pasar wisatawan, pertumbuhan kerja, lama kerja, besaran pengeluaran,kunjungan berulang dan
seberapa lama manfaat dan keberlanjutannya (sustainability).Pendekatan quality control, quality
assurance dan quality management berfokus kepadapengendalian kualitas destinasi, manajemen,
produk dan pelayanan pada destinasi pariwisataserta peningkatan secara berkelanjutan produk dan jasa
kepariwisataan. Fakta membuktikanbahwa destinasi pariwisata yang dikelola dengan prinsip-prinsip
keberlanjutan sangat efektif memberikan keuntungan jangka panjang, baik secara ekonomi, sosial
maupun ekologi. Ditingkat yang lebih praksis, tata kelola destinasi pariwisata berbasis nilai merupakan
faktordetermin dan strategis terhadap peningkatan daya saing pariwisata. Untuk itu diperlukan poladan
kiat berbagai perangkat manajemen dalam pembangunan pariwisata termasuk tata keloladestinasi
pariwisata.