Anda di halaman 1dari 9

Tata Kelola Destinasi Pariwisata Berbasis Nilai: Telaah Teoritis &Implementatif Konsep DMO di

Indonesia

Abstraksi:Konsep Destination Management Organization (DMO) sebagai instrumen


manajemendiperlukan dalam sistem pembangunan destinasi pariwisata. Partisipasi,
komitmen,tanggungjawab, rasa memiliki merupakan kunci untuk membangun sinergi dan
konvergensistakeholder melalui optimalisasi peningkatan peran dan fungsi untuk mencapai
kesukesantata kelola destinasi pariwisata. Kualitas pengalaman wisata dan keberlanjutan
destinasipariwisata ditentukan oleh kompetensi dan kapasitas pengelolaan entitas
destinasi pariwisata.Penguatan tata kelola destinasi berbasis keseimbangan dengan muatan dimensi
ekonomi,estetika, etika diarahkan untuk terwujudnya pembangunan pariwisata kontekstual berbasisnilai.
1. Pendahuluan
Realitas praktik tata kelola pariwisata mendorong berbagai prakarsa untuk meningkatkankualitas
pengelolaan dan daya saing destinasi pariwisata. Indikator rendahnya kualitaspengelolaan destinasi
pariwisata dapat dilihat dari sejumlah praktik tata kelola yang belumberjalan secara optimal karena
besaran perolehan pariwisata (magnitude of tourism) yangmasih rendah. Konsep DMO sebagai
perwujudan prinsip tata kelola untuk memecahkanpersoalan pelik mengenai sinergi,
tanggungjawab, kolaborasi, dan hubungan kemitraan untuk membangun kualitas dan daya saing
destinasi (competitiveness). Destinasi pariwisata terbentuk dari konstruksi ruang, sosial, budaya,
lingkungan, dan sumberdaya pariwisata yang saling terkait dan saling melengkapi dalam rangka
menciptakanpengalaman pariwisata. Oleh karena itu, pengembangan destinasi dilakukan
melalui berbagaiintervensi dari sejumlah stakeloder untuk meningkatkan intensitas aktivitas
pariwisata.Berbagai upaya untuk membangun daya saing dilakukan melalui knowledge
creatingorganization and knowledge network sebagaimana diungkapkan oleh Nonaka dan Takeuchi
(1996). Intinya, daya saing ditentukan oleh bagaimana organisasi itu dapat ditrasnformasikandan
diberi penilaian (judgement) hingga menjadi ide dalam konteks, sehingga menjadipengetahuan
(knowledge). Pada akhirnya, produk unggul akan selalu bertumpu pada strategiyang berbasis
sumberdaya (resource-based) dan knowledge-based. Hal inilah yangdisinggung oleh Hamel (2000)
bahwa produk perlu dikelola dengan continous improvement. Refleksi perbaikan dan perubahan
pendekatan pengelolaan destinasi pariwisata dalam suatutata kelola destinasi pariwisata diperlukan
untuk menciptakan: kualitas tatakelola,
pertumbuhan magnitude of tourism (multiplier effect), kualitas pengelolaan dampak danmanajemen
resiko terhadap lingkungan dan sosial.2. Tinjauan Pustaka : Destination Management
OrganizationSecara teoritis, Buhalis (2000) mengemukakan bahwa destination as a geographical
regionwhich is understood by its visitors as a unique entity, with a political and legislativeframework for
tourism marketing and planning Destination is the focus of facilities andservices designed to meet the
needs of the tourist (Cooper, Fletcher, Gilbert, 1998). Darikonsep diatas, destinasi diartikan sebagai
kawasan geografis yang dipandang sebagai entitasyang unik dengan kerangka politis dan peraturan
untuk perencanaan dan pemasaranpariwisata.Hu and Ritchie (1993:26) merumuskan secara
konsepsional tentang destinasi sebagai: apackage of tourism facilities and services, which like any other
consumer product, iscomposed of a number of multi-dimensional attributes". Buhalis, (2000) claims
thatdestinations are amalgams of tourism products, offering an integrated experience toconsumers.
Based on the various models of tourism development outlined by Pearce (1992),it is sensible to define a
destination as an amalgam of products and services available in onelocation that can draw visitors
from beyond its spatial confines. Bieger (1998:7) specifies that" ...a destination can therefore be seen as
the tourist product that in certain markets competeswith other products". The Ritchie/Crouch model of
destination competitiveness differentiatesthe destination infrastructure (water, sewer, roads, etc.) from
the destination superstructure(tourist services such as hotels, restaurants, information centres, etc.) both
of which areobviously important to the concept of the destination.Dari pengertian diatas, destinasi
dipahami sebagai kesatuan fasilitas dan pelayanan yangterbentuk dari berbagai atribut multi-demensi.
Buhalis (2000) menyatakan bahwa destinasimerupakan elemen dari produk pariwisata yang
menawarkan pengalaman menyeluruh kepadakonsumen. Berdasarkan beberapa jenis pengembangan
pariwisata oleh Pearce (1992),destinasi merupakan gabungan dari produk dan pelayanan yang tersedia
di satu lokasi yangdapat menarik pengunjung diluar wilayah bersangkutan.Franch and Martini
menjelaskan pengertian manajemen destinasi: as the strategic,organizational and operative decisions
taken to manage the process of definition, promotionand commercialisation of the tourism product
[originating from within the destination], togenerate manageable flows of incoming tourists that are
balanced, sustainable and sufficientto meet the economic needs of the local actors involved in the
destination (2002:5). Intipemikiran diatas menegaskan bahwa manajemen destinasi berkenaan dengan
keputusan
strategis, organisasional dan operatif yang dilakukan untuk mengelola proses pendefinisian,promosi dan
komersialisasi produk pariwisata untuk mewujudkan arus turis yang seimbang,berkelanjutan dan
berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi disuatu destinasi.Pemikiran DMO diuraikan oleh
Bruen and Anderson (1998) yang mengemukakan bahwaDMO sebagai sistem pengelolaan terpadu
memiliki fungsi sebagai economic driver,community marketer, industry coordinator, quasi-public
representative dan builder of community pride. Pendapat Buhalis (2000) menekankan bahwa "the tourist
destinationmanagement organisation takes the entire responsibility for the tourist products of the
wholedestination, for their development through controlling, encouraging and other means and forthe
development of a partnership that is able to provide positive experience for the tourist.Hal ini sejalan
dengan pendapat Badan Pariwisata Dunia (WTO) pada tahun 2004 yangmengemukakan bahwa DMO
adalah badan yang bertanggungjawab atas tata kelola dan/ataupemasaran destinasi.Angelo Presenza,
Lorn sheehan, J.R.Brent Ritchie (2005) menegaskan bahwa: DMOactivities organized into two significant
functions: 1) External Destination Marketing (EDM): web marketing, events,conference and festivals,
cooperative programs, direct mail, directsales, sales blitzes, trade shows, advertising, familiarization
tours, publications and brochuresand 2) Internal Destination Development (IDD) : visitor management,
information/research,coordinating tourism stakeholders, crisis management, human resources
development,finance and venture capital, resource stewardship, quality of the visitor experience.
Secararingkas, pemahaman tentang DMO dikategorikan sebagai kegiatan pembenahan dan
penataanpengembangan destinasi secara internal dan pengembangan pemasaran
secara eksternal.Lebih lanjut, Angelo Presenza (2005) menjelaskan ada tiga komponen penting dalam
DMO,yaitu Coordination tourism stakeholder, yang merupakan inti sistem DMO. Komponen inimenjadi
kunci sukses karena menitik beratkan pada hubungan jejaring yang membentuk sistem DMO;
Destination crisis management memberikan pengawasan dari sistem denganpelaksanaan dan
pengelolaan mulai perencanaan hingga implementasi program; Destinationmarketing, menjadi ujung
tombak dalam komponen DMO. Lebih lanjut, UNWTO (2007)mengemukaan bahwa DMO is in charge of
the tourism destination "factory" and isresponsible for achieving an excellent return on investment, market
growth, quality products,a brand of distinction and benefits to all "shareholders" yet, the DMO does not
own thefactory, neither does it employ the people working in it, nor does it have control over
itsprocesses.Dengan konsep diatas dapat ditegaskan bahwa DMO merupakan salah satu
konseppengelolaan dalam sistem pengelolaan kawasan berbasis kewilayahan/daerah yang memiliki
kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai komponen secara internal dan eksternal,koalisi dan
kerjasama stakeholder serta sistem pengelolaan pariwisata. DMO secara esensibertugas dan bekerja di
dalam entitas fabrikasi (baca: pengelolaan) destinasi pariwisata, danbertanggungjawab untuk mencapai
pengembalian nilai investasi yang unggul, pertumbuhanpasar, produk yang berkualitas, merek yang
berbeda, serta manfaat bagi seluruh shareholders.DMO tidak memiliki pabrik tersebut, tidak
memperkerjakan orang-orang di dalamnya, danbukan pula mengontrol proses pelaksanannya di
lapangan (UNWTO, 2007: 12)Dalam konteks ini, DMO merupakan satu kesatuan yang melibatkan
berbagai pemangkukepentingan yang terlibat dalam suatu pariwisata seperti perusahan wisata, operator
wisata,provider pelayanan dan lainnya yang cukup kompleks. Dalam DMO terdapat satu tujuan
danarahan untuk mencapai pengelolaan dari sebuah destiniasi yaitu adanya sebuah kelembagaanyang
mengelola destinasi. Hal ini ditentukan oleh kapasitas pengembangan, pertumbuhanaktivitas wisata saa
ini yang merujuk pada tatanan daur hidup destinasi (destination life cycle(Butler, 1992) yaitu: (1)
perintisan; (2) pembangunan (3) pemantapan , (4)rejuvenasi/revitalisasi.3. Praktik Terbaik Tata
Kelola PariwisataBeberapa pola pengelolaan pariwisata di suatu negara dapat dijadikan referensi
denganpenyesuaian berdasarkan skala dan kepentingan sebagai berikut:Scotland Tourism BoardSTB
merupakan lembaga yang bekerjasama dengan pelaku usaha pariwisata, agen perjalanandan otoriras
lokal dalam mewujudkan kualitas berwisata di Skotlandia denganmemberdayakan sumberdaya wisata
yang ada. Langkah ini ditempuh melalui pemasaranpariwisata Skotlandia ke seluruh dunia, menyediakan
informasi dan arahan kepada wisatawansehingga wisatawan mendapatkan pengelaman yang terbaik
saat berkunjung, memberikan jaminan kualitas berwisata kepada wisatawan dan dukungan regulasi
terhadap pelaku industripariwisata lokal dan pada akhirnya mewujudkan sinergi antara kebutuhan
wisatawan, pelakuindustri pariwisata dan pemerintah.Maldives Tourism DepartmentMTD bertugas untuk
menyusun dan mengimplementasikan kebijakan pariwisata,perencanaan jangka panjang
pengembangan pariwisata dalam skala nasional,mengkoordinasikan kegiatan pengembangan yang
berlangsung, membuat sistem administrasi

dalam standard fasilitas dan pelayanan, memastikan adanya pengembangan yang tetapmemperhatikan
lingkungan, menyusun data statistik pariwisata, melakukan penelitian terkaitpengembangan pariwisata,
perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia dibidangpariwisata, menyusun standar
kompetensi dan pelatihan untuk tenaga kerja pariwisata,penyewaan lahan untuk kegiatan pariwisata dan
pendaftaran secara resmi fasilitas danoperator terkait pariwisata.Amsterdam Tourism and Convention
BoardATCB merupakan lembaga yang menyusun strategi pemasaran dan komunikasi dalamindustri
pariwisata untuk mendorong tingkat kunjungan ke Amsterdam melalui kegiatanpromosi, inovasi produk,
penelitian dan press-trips. Kegiatan ATCB bekerjasama denganAmsterdam Partner, Amsterdam
Convention Board, Amsterdam Cruise Port. Kegiatan ATCBditujukan untuk mengoptimalkan jumlah
pengeluaran wisatawan yang pada akahirnya akanmendorong pertumbuhan ekonomi dan penyediaan
lapangan pekerjaan. Beberapa kegiatanATCB lainnya adalah pembangunan citra pariwisata, kegiatan
pemasaran yangberkesinambungan dan pada tahun 2009 ATCB menetapkan standar minimum
kunjungan keAmsterdam akibat dari krisis ekonomi di Eropa.Victoria Tourism BoardVTB merupakan
partner industri pariwisata yang bertujuan untuk mengembangkan potensipasar wisatawan lokal dan
dunia sesuai dengan karakteristik sumber daya pariwisata Victoria.Tourism Victoria merupakan motor
pemerintah dalam kegiatan pariwisata dan industriperjalanan dengan tujuan memasarkan Victoria
sebagai destinasi pariwisata dalam skalanasional dan internasional, meningkatkan jumlah kunjungan,
meningkatkan pemanfaatanfasilitas pariwisata, meningkatkan kualitas fasilitas pariwisata, mendukung
danmengkoordinasikan jumlah fasilitas wisata, menyediakan cara yang efektif dan efisien
dalaminvestasi di bidang parwisata. Salah satu tujuan pokok VTB adalah memastikan
implementasikebijakan dan aturan pemerintah dalam kegiatan pariwisata.CTDC - CanadaCanadian
Tourism Development Corporation (CTDC) merupakan lembaga independen yangikut serta dalam usaha
menumbuhkan pengembangan industri pariwisata di Kanada. CTDCbekerjasama dengan rekan industri
untuk menyediakan tenaga ahli pariwisata bagianggotanya, menyediakan peluang pemasaran,
konsultasi dan dampingan dalam pengelolaankegiatan dan fasilitas wisata. Misi dari CTDC adalah
memfasilitasi pertumbuhan industripariwisata yang baik (kuat) melalui kerjasam dengan semua partner
strategis untuk memberikan dampak positif dalam pengembangan kegiatan pariwisata. CTDC tidak di
danaioleh pemerintah atau instansi lain terkait di bidang pariwisata.

Lucerne Tourism Ltd.Lucerne Tourism Ltd. merupakan pusat kompetensi dalam kegiatan positioning,
kehumasan,pemasaran dan menawarkan jasa pelayanan pariwisata di sekitar destinasi Lucerne-
WilayahDanau Lucerne, Swiss.4. PermasalahanPengembangan tatakelola destinasi pariwisata di
Indonesia masih belum dilakukan secaraoptimal. Berbagai permasalahan konkrit yang mempengaruhi
perkembangan kepariwisataanseperti belum optimalnya tata kelola, kurangnya sinkronisasi dan
koordinasi, cenderungbersifat parsial, kurangnya pengemasan produk wisata, terbatas penerapan dan
pemanfaatanICT, rendahnya SDM dan pelayanan umum dan pelayanan di bidang pariwisata,
terbatasnyapromosi, serta belum sinkronnya regulasi di tingkat daerah untuk invetasi dan
pembinaanindustri pariwisata.Pembahasan permasalahan dalam artikel ini bertujuan untuk
menggambarkan kerangkateoritis dan adaptasi model dalam konteks Indonesia dan difokuskan kepada
: (1) bagaimanapendekatan sistemik dan kovergensi dalam DMO, (2) bagaimana orientasi tata
keloladestinasi pariwisata ke depan, (3) bagaimana penguatan stakeholder pariwisata, dan
(4)sejauhmana optimasi keseimbangan dimensi ekonomi, estetika dan etika dalam tata
kelolapariwisata.5. Metode PenelitianUntuk mendalami permasalahan ini diperlukan metode kualitatif
melalui kajian literatur danpengamatan. Metode penelitian literatur dipakai untuk memahami pendekatan
DMO dinegara-negara lain sesuai dengan tingkat perkembangan destinasi. Literatur yang
digunakanterutama berkenaan dengan literatur yang membahas mengenai DMO
(DestinationManagement Organization). Karena sebelumnya, literatur DMO menggunakan
DestinationMarketing Organization (Morrison, 1998; Pike, 2004) serta publikasi DMO oleh UNWTO,dan
berbagai sumber referensi sejak tahun 1998. Teknik pengamatan awal dilakukan terhadappenerapan
konsep DMO di Indonesia tahun 2011.6. Pembahasan dan Implikasi

6.1. Pendekatan Sistemik dan KonvergensiPengelolaan kepariwisataan di suatu destinasi pariwisata


diarahkan secara sistemik,konvergen dan dikelola dalam kerangka mencapai tujuan. Untuk itu diperlukan
systemthinking yang menjelaskan kerangka sistem melalui mata rantai input, system, dan
output.Kompleksitas sistem diuraikan dalam urutan, keterkaitan, peran, fungsi yang salingmelengkapi
dan saling mempengaruhi dari hulu ke hilir (linkage). Konvergensi melibatkanberbagai pemangku
kepentingan yang diarahkan kepada fokus dan sinergi sistem yang dapatmenciptakan peluang untuk
meningkatkan kapasitas dan tata kelola destinasi pariwisata.Sistem manajemen destinasi menguraikan
setiap sel atau subsistem untuk membangunkualitas destinasi pariwisata. Sistem tersebut mengandung
pengertian adanya sub-sistem yangtidak bersifat sub-ordinat tapi memiliki pengaruh dalam
pembangunan pariwisata. Kualitasdestinasi ditentukan oleh bekerjanya suatu tatanan dan keteraturan
untuk mengelola setiapbagian (parsial) melalui komunikasi antar muka (interface, dialog, bilateral,
multilateral)sehingga tercipta suatu kesatuan. Analisis sistem kepariwisataan yang dikembangkan
olehLeiper (1990) menempatkan destinasi pariwisata sebagai bagian dari kerangka
manajemenpembangunan kepariwisataan harus didasarkan pada prinsip kolaboratif, berkelanjutan
danpartisipatif.Hal ini dilakukan melalui peningkatan akuntabilitas pengelolaan pariwisata, koordinasi
lintassektor, dan peran aktif masyarakat lokal. Untuk itu diperlukan sistem manajemen destinasiyang
mencakup sistem pengelolaan destinasi dengan melibatkan stakeholder melalui database, marketing,
dan visitor information dan manajemen (Cooper, 2005). Dengan demikiandiperlukan pemahaman
terhadap tingkat social carrying capacity, kualitas relasi, danpemahaman yang tepat terhadap penerapan
nilai-nilai dalam kepariwisataan yang terjadi disuatu destinasi (Cooper, et al., 1993) sehingga dapat
dibuatkan kebijakan dan manajemenpembangunan kepariwisataan dan tata kelola di daerah wisata
secara tepat sebagai tindakanantisipatif dan proaktif untuk meningkat kualitas kepariwisataan yang
sustainable,responsible, dan balanced. Untuk itu fragmentasi dan faksi-faksi di destinasi harus
direduksidan dihilangkan, sebaliknya harus terbangun inter-koneksi, keterkaitan dan matarantai (value-
chain) dari destinasi pariwisata dalam pembentukan dan pengembangan DMO. Misalnya,pertumbuhan
destinasi pariwisata di suatu tempat, perlu didukung dengan terbangunnyacluster ekonomi, dan terkait
dengan pembangunan wilayah sehingga tercipta suatuketerkaitan antar wilayah dalam mata rantai
pelayanan terhadap wisatawan.6.2. Orientasi Menuju Tata Kelola PariwisataTransformasi konsep DMO
di Indonesia diarahkan untuk pembentukan dan pengembangantata kelola pariwisata yang menerapkan
prinsip manajerial, akuntabel, berorientasi manfaatkepada masyarakat lokal serta terjaminnya
lingkungan fisik, sosial dan budaya (Budpar,

2010). Tata kelola mengandung pengertian governance : mengelola, mengatur, menata.Karena itu tata
kelola destinasi sebagai destination governance mengandung pengertian :rangkaian proses, kebiasaan,
kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan,pengelolaan, serta pengontrolan suatu
destinasi. Tata kelola destinasi juga mencakuphubungan antara para pemangku kepentingan
(stakeholder) yang terlibat serta tujuanpengelolaan destinasi. Pihak-pihak utama dalam tata kelola
destinasi adalah pemangkukepentingan termasuk masyarakat lokal di destinasi. Pemangku kepentingan
lainnya termasuk pemda, dunia usaha, pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator,
lingkungan, sertamasyarakat luas.Oleh karena itu, DMO sebagai produk kebijakan merupakan salah
satu alat manajemen untuk membangun keterkaitan (linkage) tersebut yang diibaratkan sebagai satu
kesatuan dalampersepktif orkestra pariwisata. Guru Manajemen Peter Drucker menekankan perlunya
tatakelola dalam pengembangan sumber daya ekonomi di daerah. Hal ini relevan denganpendekatan
pengelolaan destinasi pariwisata ke depan yang memperhatikan kecenderungandan fenomena pasar,
perubahan lingkungan, dan tata kelola yang bersumber dari unsursumber daya dan kapasitas lokalitas
(Susanto, 2010;Gunn, 2002; Cooper, 2005). Dalamperspektif ini, pengelolaan destinasi pariwisata
merupakan rangkaian tindakan dan upayauntuk meningkatkan kapasitas destinasi melalui perencanaan
yang matang, implementasiyang konsisten dan pengendalian yang cermat untuk mengoptimalkan daya
tarik,aksesibilitas, dan fasilitas serta masyarakat dalam rangka perolehan manfaat secara ekologis,sosial
dan ekonomis.Berbagai opsi model peningkatan tata kelola destinasi (destination management
governance)diperlukan untu meningkatkan koordinasi elemen destinasi dengan strategi
untuk menghubungkan berbagai rangkaian aktivitas secara sistematis tidak duplikatif berkenaandengan
promosi, pelayanan pengunjung, pelatihan, dukungan dunia usaha. Opsi jeniskelembagaan dapat
berupa : otoritas publik, kemitraan dengan publik, unit pengelolaan,outsourcing swasta, kemitraan
pubplik dan privat, dsbnya.Keberlanjutan organisasi/unit usaha/entitas bisnis ditentukan oleh kualitas titik
temu antarakebutuhan pasar dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu modal pengelolaan
destinasiadalah unsur lokalitas yang ada di destinasi termasuk masyarakat. Otoritas dan
kedaulatanlokalitas merupakan salah satu kunci sukses untuk meningkatkan kualitas
keberlanjutandestinasi. Kekuatan lokal ditentukan oleh kualitas kehidupan masyarakat lokal.
Unusrlokalitas ini berkenaal dengan relasi yang seimbang, kecukupan sarana dan prasaranakesehatan,
ketersediaan air minum, pendidikan, dll. Hal ini relevan dengan prinsip penerapancorporate social
responsibility (CSR) dan good governance tourism (Drucker, 2010).

Dalam konteks ini, diperlukan pola manajemen berbasis nilai yang oleh Drucker dalamPearce (2010),
dijelaskan sebagai upaya mengelola sumber daya secara arif dengan tantangankeberlanjutan sosial,
ekonomi dan lingkungan sebagai entitas yang saling berkaitan untuk meningkatkan kapasitas kegiatan
usaha ekonomi, masyarakat dan lingkungan. Dalamperspektif manajerial moderen, pemikiran yang
humanis dan membumi dalam praktik pengelolaan berbasis nilai tidak hanya berorientasi ekonomi ,
namun bekerja denganbertanggungjawab terhadap masyarakat. Dengan demikian, orientasi tata kelola
pariwisata kedepan memerlukan nilai organisasi yang mempertimbangkan manfaat
secara berkelanjutan.6.3. Penguatan Model Tripple Bottomline Stakeholder PariwisataModel
pengelolaan dengan menggunakan triple bottom line ditujukan untuk mengintegrasikan kemampuan
kewirausahaan setiap stakeholder di tingkat lokal dalamformat : manusia (people), bumi (planet) dan
keuntungan (profit) (Hammel dan Denhart,2006). Berdasarkan pendekatan ini, maka reposisi destinasi
dan produk pariwisataberorientasi kepada upaya menempatkan produk kepariwisataan lebih berfokus
pada kegiatanyang melibatkan masyarakat (inter-active tourism), kepariwisataan bertema produktif
yangberkelanjutan dan tidak konsumtif; keseimbangan kepentingan ekonomis dan pelestariannilai-nilai
lokal. Pengembangan kepariwisataan di Indonesia menyingkap tantangan danproblematika terhadap
upaya reposisi pengembangan kepariwisataan dan penataan strukturdan organic dalam rangka
menformulasikan nilai-nilai dalam kegiatan kepariwisataan.Dengan demikian tatanan
pluralistik,keanekaragaman sumber daya kepariwisataan dankebhinekaan merupakan salah satu modal
inovasi dan diversifikasi produk kepariwisataan.Dalam pandangan Page (2007), kerangka tata kelola
destinasi pariwisata mengandung fungsimanajerial dengan distribusi tanggungjawab, kewenangan,
kemitraan dengan berbagai tingkatdi level bisnis, pemerintah termasuk kontrol masyarakat. Cooper, et
al. (2005) dan UNWTO(2000) menegaskan konsep destinasi berkenaan dengan kawasan geografis yang
beradadalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata,fasilitas
umum, fasilitas kepariwisataan, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkaitdan melengkapi
terwujudnya kepariwisataan. Secara konsepsional, destinasi pariwisatamerupakan rangkaian
keterpaduan entitas ruang (geospasial), entitas bisnis (ekonomi), entitassosial (sosial budaya, politik),
entitas lingkungan (perubahan lingkungan dan pembangunanberkelanjutan).Dalam konteks penguatan
konsep sustainability dalam pengelolaan aktivitas usaha, Kotler(1997) menekankan strategi untuk
memperhatikan stakeholder seperti karyawan, pemerintah,supplier, dan lingkungan. Kotler menegaskan
agar perilaku prososial perusahaan diwujudkanmelalui pengelolaan lingkungan, kesehatan, pendidikan
dan produk organis atau ekologis.Hal ini perlu didukung dengan perilaku prososial konsumen yang antara
lain memperhatikan

dampak produk yang dikonsumsi, penghematan energi, melakukan daur ulang, membeliproduk organik
dan memanfaatkan secara cerdas dan bijak.Format tata kelola (Cooper, 2005;) yang lebih memfokuskan
penguatan struktur dan standarprosedur kerja dapat mendorong munculnya formalisme kelembagaan
destinasi yang ada.Bahkan disinyalir dapat menimbulkan benturan kepentingan dan bahkan akan
munculpersaingan yang tidak sehat di destinasi pariwisata. Kondisi tersebut selanjutnya
akanberpengaruh terhadap kualitas pengelolaan dan kualitas daya saing destinasi (Budpar, 2010).Selain
itu, penerapan informasi dan teknologi dalam pengelolaan destinasi harus dikaitkandengan mata rantai
kepariwisataan dan penguatan actor-aktor lokal yang ada di destinasidalam penciptaan pengalaman
(Gunn, 1988; Middleton and Clark, 2001).Namun, yang perlu dicatat disini, model ini dapat menjadi
dynamic model untuk menentukankualitas pengelolaan manajemen di destinasi pariwisata di Indonesia.
Pengelolaan destinasiyang tepat dan efektif merupakan salah satu pendekatan untuk meningkatkan
kinerjapengelolaan daya tarik (attraction management), pengunjung (visitor management)
danlingkungan sosial budaya di destinasi pariwisata. Pengembangan dan pengelolaan destinasitidak
saja dengan pendekatan nilai ekonomis namun berimbang menerapkan nilai ekonomi,nilai etika, dan
nilai estetika.Dalam pandangan Cooper (2005) dan Page (2007), prinsip dasar yang harus dijadikan
normadalam penyusunan kebijakan pengembangan destinasi kepariwisataan adalah mencakupdimensi
posisi kapasitas masyarakat, lingkungan, pelibatan masyarakat, dan pertimbanganpolitik pembangunan.
Lingkungan merupakan salah satu ekosistem yang sangat rawanterhadap intervensi yang menyebabkan
hilangnya daya tarik yang dimiliki (Inskeep, 1992).Untuk meminimalisasi dampak yang terjadi maka
konsep daya dukung (physical and socialcarrying capacity) mutlak diterapkan pada semua destinasi
pariwisata (Wall, 1994; Inskeep,1992).6.4. Optimasi Keseimbangan Dimensi Ekonomi, Estetika, Etika
Dalam Tata KelolaPariwisataPenguatan tata kelola pariwisata yang berkeseimbangan harus mampu
menerapkan tiga pilarnilai yaitu nilai ekonomi, estetika dan etika yang mendorong perwujudan
pariwisatakontekstual berbasis lokalitas. Dalam perspektif ini, keberlanjutan pengelolaan
destinasipariwisata ditentukan melalui penerapan nilai domestik atau nilai lokal yang ada dimasyarakat.
Karena itu, tata kelola berbasis keseimbangan nilai lokal terhadap intruisi nilai

terinduksi dan keseimbangan asimetris nilai ekonomi, nilai estetika dan etika merupakankunci
kesuksesan pengelolaan destinasi ke depan (Teguh, 2011).Penerapan dimensi nilai diadopsi sebagai
proses manajerial untuk menghasilkan kesuksesandestinasi pariwisata yang mempertahankan dan
melestarikan sumber daya lokal di destinasisebagai katalist pembangunan kepariwisataan di daerah.
Penerapan opsi pembangunanpariwisata berkelanjutan diarahkan pada pengembangan pariwisata yang
bertanggungjawabyang mempertimbangkan komponen komunitas sebagai unsur utama dalam
sistempengelolaan destinasi. Karena itu, dengan menerapkan opsi tersebut dapat dihasilkankontribusi
terhadap keseimbangan nilai terinduksi dan nilai lokal yang bertujuan untuk memperkuat penerapan
pariwisata berbasis masyarakat sebagai model pengelolaan detinasike depan.Kepuasan masyarakat
sebagai perwujudan persepsi masyarakat dan kepuasan wisatawanseyogyanya diperlakukan secara
berimbang dalam rangka mendorong peningkatan kontribusiterhadap kesuksesan pengelolaan
destinasi. Indikator kesuksesan destinasi sebagai gambarannyata kinerja pengembangan pariwisata di
daerah perlu memprioritaskan indicator-indikatorpenting seperti : daya dukung sosial, daya dukung fisik,
kualitas pelayanan dan peran sertamasyarakat. Nilai ekonomis lokal, estetis lokal dan etis lokal sebagai
bentuk otentisitas dankedaulatan masyarakat di destinasi perlu diterapkan sesuai pendekatan pariwisata
masyarakat,keberlanjutan domestic, dan praktik pariwisata yang berkeseimbangan.Destinasi
merupakan entitas sosial, budaya, ruang, ekonomis/bisnis, dan keseimbanganekosistem dan lingkungan
yang saling mempengaruhi, saling melengkapi dan salingberkaitan dengan kekuatan utama masyarakat.
Pendekatan metode untuk menilai persepsidengan pengukuran kuantitatif dapat dipertimbangkan
sebagai kontribusi ntu membuatberbagai keputusan dalam pembangunan destinasi. Kesuksesan
pengelolaan destinasiditentukan oleh faktor internal (pengembangan destinasi secara internal) dan
eksternal(komunikasi dan pemasaran). Karena itu, diperlukan penerapan pengelolaan
yangkomprehensif, sistemis, konvergen, berkaitan dan interkoneksi (Teguh, 2011).7. Implementasi
Program DMO di IndonesiaUntuk Indonesia, tata kelola pariwisata melalui DMO tidak dimaksudkan untuk
menciptakanstruktur dan tatanan organisasi baru, namun lebih diarahkan untuk meningkatkan pola
danstruktur yang ada, memperkuatkan basis masyarakat, memperkokoh fungsi dan optimasi

stakeholder, memberikan ruang inovasi dan kreatitivitas serta inisiatif lokal, juga melaluipemanfaatan
jejaring dan teknologi.Sebagai konsep kerja (working definition), DMO dipahami sebagai tata kelola
destinasipariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi koordinasi,
perencanaan,implementasi dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik
melaluipemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi yang terpimpin secara terpadu dengan peranserta
masyarakat, pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan,proses dan
kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volumekunjungan wisata, lama
tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagimasyarakat lokal (Budpar,
2009).Sedangkan pembentukan dan pengembangan DMO mengacu pada prinsip partisipatif,kolaboratif,
keterpaduan dan berkelanjutan yang dilakukan melalui pendekatan proses,manajerial dan sistemik.
Rangkaian aktivitas DMO mencakup konsultasi dan advokasi,standardisasi dan pelayanan, penelitian,
pemberdayaan masyarakat, investasi, pemasaran,kordinasi, kemitraan dan jejaring, manajemen krisis,
penyusunan program innovasi, surveyindeks pelayanan, dan monitoring dan evaluasi.Transformasi
pembentukan dan pengelolaan DMO di Indonesia tetap merujuk pada kapasitas,karakteristik destinasi
dan kondisi sosiologis serta analisis pasar (market intelligent). Karenaitu, untuk skema pengembangan
DMO tahun 2011, Indonesia mendorong pengembanganDMO di 15 titik (hotspot destinasi) yang juga
berkorelasi dengan pusat pertumbuhanekonomi secara nasional.Operasionalisasi pembentukan dan
pengembangan DMO di Indonesia dilakukan dengantahapan-tahapan sebagai berikut:(1) Tahap
Peningkatan Gerakan Kesadaran Kolektif Stakeholder:Intervensi aktivitas mencakup: assessment,
baseline destinasi, melakukan stakeholdermeeting, convergence meeting, membangun komitmen kerja
dalam bentuk rencana aksi.(2) Tahap Pengembangan Manajemen Destinasi:Intervensi aktivitas
mencakup: penyusunan destination management plan (Blue Print,Roadmap, Master Plan), sinkronisasi
kerjasama dengan pihak lain (badan/lembaga

internasional), penguatan kapasitas stakholder : pemerintah, dunia usaha dan masyarakatPelaksanaan


Bimtek, Penyusunan Alternatif Institusi/Kelembagaaan, Alat Monitoring danEvaluasi, Penataan Daya
tarik, aksesibilitas, fasilitas dan masyarakat.(3) Tahap Pengembangan Bisnis:Intervensi Aktivitas :
penyusunan business plan, mata rantai bisnis, financial sustainability,pengembangan kemasan, product
enchancement, quality control, supply-value chain daninvestasi.Dalam rangka menjabarkan transformasi
dan tahapan tersebut diatas, setiap cluster DMOmenyusun skema kerja pengembangan DMO di
Indonesia. Beberapa langkah dilakukanseperti :(1) penyusunan baseline destinasi yang digunakan untuk
memotret pemetaan dan profil,karakter, posisi dan kapasitas destinasi,(2) pemetaan stakeholder kunci
dan pendukung (key and supporting stakeholder)(3) penyelesaian blueprint, roadmap action plan dan
workplan,(4) model koordinasi dan sinkronisasi program termasuk project conference,(5) ketepatan
pelaksanaan dukungan dan fasilitasi, pengembangan model manajemen, (6)pembentukan dan
pengembangan komponen bisnis(7) mekanisme pemantauan dan eveluasi,(8) indikator keberhasilan
DMO dengan parameter magnitude of tourism, kualitas tata kelola,manfaat lokalitas,(9) Analisa dampak
(ekonomi, sosial, budaya, lingkungan)(10) exit strategy.8. PenutupPada tataran praksis implementatif,
penerapan DMO harus diterjemahkan secara konstektualsesuai kaidah yang berlaku, berbasis lokalitas
agar tidak menimbulkan friksi, perangkepentingan, egosektoral serta tidak kontraproduktif terhadap
eksistensi fungsi kelembagaanyang sudah ada. Sebagai konsep, DMO berperan menjadi katalisator,
motivator dan spirituntuk menggerakkan seluruh kontruksi dan entitas destinasi. Prasyaratnya adalah
: komitmendan tanggungjawab. Instrumen yang digunakan adalah melalui perencanaan
sinergis,koordinasi, konsistensi dalam implementasi dan audit dampak manfaat bagi masyarakat lokal

dan destinasi. Baik-buruknya pengelolaan ini akan menentukan seberapa kuat daya tarik suatu destinasi
bagi pasar wisatawan, pertumbuhan kerja, lama kerja, besaran pengeluaran,kunjungan berulang dan
seberapa lama manfaat dan keberlanjutannya (sustainability).Pendekatan quality control, quality
assurance dan quality management berfokus kepadapengendalian kualitas destinasi, manajemen,
produk dan pelayanan pada destinasi pariwisataserta peningkatan secara berkelanjutan produk dan jasa
kepariwisataan. Fakta membuktikanbahwa destinasi pariwisata yang dikelola dengan prinsip-prinsip
keberlanjutan sangat efektif memberikan keuntungan jangka panjang, baik secara ekonomi, sosial
maupun ekologi. Ditingkat yang lebih praksis, tata kelola destinasi pariwisata berbasis nilai merupakan
faktordetermin dan strategis terhadap peningkatan daya saing pariwisata. Untuk itu diperlukan poladan
kiat berbagai perangkat manajemen dalam pembangunan pariwisata termasuk tata keloladestinasi
pariwisata.

Anda mungkin juga menyukai