Anda di halaman 1dari 20

BAB V

HUJAN DAERAH

5.1. Pengertian Presipitasi:

Presipitasi diartikan sebagai air yang terdapat di dalam atmosfir,

yaitu berupa: embun, hujan, kabut, salju dan es. Karena di Indonesia

hampir tidak pernah dijumpai kabut, salju dan es, maka presipitasi

seringkali diartikan sebagai curah hujan. Sebagai gambaran, diberikan

informasi tinggi hujan tahunan di beberapa negara sebagai berikut:

Tabel 5.1. Hujan rata-rata tahunan di beberapa tempat di dunia :

Tempat Hujan Tahunan (mm)

Cherapoongee (India) 10.000


Buenaventura (Columbia) 7.310
Lereng Gunung Slamet 4.000
Singapura 2.320
Malang 2.000
Athena 750
Belanda 380
Teheran 220
Aden 55

5.2. Definisi-definisi

a. Intensitas ( i ), merupakan laju curah hujan (laju presipitasi)

 satuannya dalam mm/jam, mm/hari, mm/bulan, mm/tahun

b. Durasi (t), merupakan lama waktu curah hujan turun

 satuannya dalam menit atau jam


c. Tinggi Hujan ( d ), merupakan jumlah curah hujan dalam ketebalan (di

atas permukaan datar)  satuannya dalam mm

d. Frekuensi, merupakan banyaknya kejadian (biasanya dalam kala ulang)

 biasanya dinyatakan sebagai sekali dalam T tahun

e. Luas ( A ), merupakan luas geografis curah hujan A (luas di atas peta)

 satuannya dalam km2

Sedangkan hubungan antara Intensitas, Durasi dan Tinggi Hujan bisa

dinyatakan sebagai:

i
d =  i dt   i  Δt
0

d
intensitas rata-rata : i =
t

i
(mm/jam)
i maks Lengkung Intensitas

i = i rata-rata

tg  = 0

Lengkung Massa
d
(mm)
i = tg R
m i maks = tg m

R
5.3. Lengkung Massa (Lengkung d)
Lengkung massa (Lengkung d) merupakan diagram luas dari
lengkung t, dengan batasan sebagai berikut: (1) Lengkung massa tidak
mengenal garis turun; dan (2) Lengkung d adalah lengkung massa suatu
garis di mana luasnya = luas lengkung i. Hal tersebut bisa dijelaskan
sebagai berikut:
t
d =  i dt  i rata  rata  t
0

dengan
d = tinggi hujan (mm)
i = intensitas hujan (mm/jam)

Lengkung Massa

i i = 0  tg  = 0
(mm/jam) =0
i = konstan
i konstan
 tg  konstan
 konstan
t
i=0 i=0

tg  = 0 d =  i dt
=0
d i = tg 
(mm) 

=0 t
Contoh :
1. misal : i1 = 20 mm/jam
i1
i i2 = 0
(mm/j) i3 i3 = 10 mm/jam

i2=0

t
t1= t2 t3=
1j
1j 1j

d d1 = i1 * t1 = 20 mm
(mm) d2 = i2 * t2 = 0
d3
d3 = i3 * t3 = 10 mm
d = 30

d1 d = d 1 + d2 + d3
 = 30 mm
t
t

 = sudut dari lengkung massa dan i rata-rata


d1 = luas merah (i1 * t1)
d2 = luas biru (i1 * t2)
d = luas merah + luas biru

i
d1  d 2  d 3
i
d
t1  t 2  t 3 t
i
 d  30  10 mm/jam
t 3
30 mm
atau tg  =  10 mm / jam
3 jam
2.

i
(mm/j) Lengkung i

i rata-rata
i=0

im t
tm

Lengkung Massa

Lengkung massa i rata-rata

m
d

t
tm diketahui
im diketahui
lengkung massa = luas dari i = luas biru
lengkung i : dx = ½ ix . x
ix x

im tm
im
 ix = .x
tm
1 im 2
dx = . x
2 tm
(lengkung parabola)
Keterangan:
Luas merah = luas biru
Jika i = i rata-rata
5.4. Alat Penakar Hujan

Untuk mengukur curah hujan, ada dua jenis alat yang bisa dipakai,

yaitu alat pencatat hujan dan alat penakar hujan. Alat pencatat hujan

meliputi: (1) penakar hujan biasa; (2) penakar hujan rata tanah; (3)

penakar hujan Inggris; dan (4) interim reference precipitation gauge.

Sedangkan alat pencatat hujan meliputi: (1) pencatat jungkit; dan (2)

pencatat pelampung. Adapun frekuensi pengukuran bisa dilakukan (1)

sekali dalam sehari, atau (2) sekali dalam seminggu atau sebulan  hal

ini dilakukan dengan alat pencatat otomatis

5.5. Analisa Hujan Rata-Rata Daerah

Hujan rata-rata daerah pengaliran bisa digambarkan sebagai berikut:

terdapat Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan 10 stasiun hujan:

X3 * 3 x9* 9

X10*10
X7 *7
X2 *2 x8 *8

X4 *4

X5 *5
X1 *1
X6 *6

X = stasiun pencatat hujan

*1 = lokasi stasiun 1, dst

Untuk menentukan besarnya curah hujan daerah, ada 3 cara yang

umum dipakai, yaitu::


A. Cara Rata-Rata Hitung

B. Cara Poligon Thiessen

C. Cara Isohyet

A. Cara Rata-Rata Hitung

d1  d 2  d 3  ...  dn n
dn
d 
n i 1 n

dengan

d = tinggi curah hujan rata-rata daerah (DAS)  (mm)

d1,d2,…,dn = tinggi curah hujan pada pos penakar 1,2,..,n (mm)

n = banyaknya pos penakar

B. Cara Poligon Thiessen

d = A1 d1 + A2 d2 + …… + An dn
A1 + A2 + …… + An

dengan

A = luas daerah (DAS)  (km2)

d = tinggi curah hujan rata – rata daerah (DAS)  (mm)

d1, d2, d3, …, dn = tinggi curah hujan di pos 1,2,3, … n  (mm)

A1, A2, A3, …, An = luas daerah pengaruh pos 1,2,3, … n  (km2


Contoh kasus Cara Rata-Rata Hitung dan Cara Polygon Thiessen

Diketahui suatu DAS mempunyai 10 stasiun hujan yang tersebar secara


merata seperti pada tabel berikut:

Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jum-
Hujan lah

Pembagian 13.4 22.5 24.6 30.6 20.8 19.6 18.0 8.5 15.0 5.4 178.4
Luas Ai (km2)

Rasio 0.07 0.13 0.14 0.17 0.12 0.11 0.10 0.05 0.08 0.03 1.00
luas/bobot Wi

Curah hujan 156 164 174 168 178 197 185 180 188 212 -
Ri (mm)

Wi*Ri 10.9 21.3 24.4 28.6 21.4 21.7 18.5 9.0 15.0 6.4 177.2

Dengan Cara Thiessen, didapatkan harga curah hujan daerah sebesar


177,2 mm. Sedangkan menurut Cara Rata-Rata Aljabar didapat curah
hujan daerah sebesar 180,2 mm. Karena stasiun hujan diketahui tersebar
merata, maka Cara Rata-Rata Aljabar memberikan hasil lebih akurat.

C. Cara Isohyet

10 15 20 25 30 35 40 45 50
8*

A1 *15 *22 *42 *50


*7 A2 A3
17* 27 * *37 *52

*32 *35
12*
d0  d1 d1  d2 dn  dn  1
A1  A2  ...  An
d 2 2 2
A1  A2  ...  An

dengan

A1+A2+…+An = luas daerah (DAS)  (km2)

d = tinggi curah hujan rata-rata daerah (DAS)  (mm)

d0,d1,…,dn = curah hujan pada isohyet 0,1,2,..,n

A1,A2,…,An = luas bagian areal yang dibatasi oleh isohyet-isohyet

(km2)

Langkah-langkah pembuatan Garis Isohiet

Seperti telah disebutkan di atas, isohiet merupakan garis yang

menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai tinggi hujan yang sama.

Pada Cara Isohiet, daerah di antara 2 garis isohiet dianggap mempunyai

tinggi hujan yang merata yang beasrnya merupakan nilai rata-rata antara

2 garis isohiet tersebut. Sedangkan pembuatan garis isohiet dilakukan

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Lokasi stasiun hujan dan ketinggian hujan digambarkan pada peta

daerah yang ditinjau.

2. Dari nilai ketinggian hujan pada di stasiun yang berdampingan dibuat

interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan.

3. Dibuat kurva yang menghubungkan titik-titik interpolasi yang

mempunyai ketinggian hujan yang sama. Ketelitian bergantung pada

pembuatan garis isohiet dan intervalnya.


4. Diukur luas daerah antara 2 isohiet yang berurutan dan kemudian

dikalikan dengan nilai rerata dari nilai ketinggian hujan pada dua garis

isohiet tersebut.

5. Jumlah hitungan pada butir 4 untuk semua garis isohiet dibagi dengan

luas daerah yang ditinjau menghasilkan ketinggian hujan rerata daerah

tersebut. Secara matematis hujan daerah tersebut bisa dituliskan

sebagai berikut:

d0  d1 d1  d2 dn  dn  1
A1  A2  ...  An
d 2 2 2
A1  A2  ...  An

A = 50 mm
o

B=40 mm C=20mm
O o 50

35 30

25
D=30mm
O
45

o 50
45

45 40
30

40 O o 20 20

35 25

O 30

Gambar Isohiet
Contoh soal:

Lihat Gambar Isohiet di atas

Daerah Isohiet (mm) Luasan antara Rerata Hujan x


2 Isohiet 2 isohiet Luas
(An) ½ (dn-1 + dn) (3) x (4)
(1) (2) (3) (4) (5)
d0 = 15
I d1 = 20 12 17,5 210
II d2 = 25 50 22,5 1125
III d3 = 30 95 27,5 2613
IV d4 = 35 111 32,5 3608
V d5 = 40 140 37,5 5250
VI d6 = 45 170 42,5 2975
Jumlah 500 16826

Hujan daerah = (16826)/(500) = 33,65 mm


5.6. Hujan Harian Daerah Maksimum Tahunan

Hujan Harian Daerah Maksimum Tahunan dipakai untuk

menentukan Curah Hujan Rancangan di suatu DAS. Cara penentuan

akan diberikan dalam bentuk contoh soal sebagai berikut:

Pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) terdapat 4 stasiun hujan A, B, C

dan D, yang akan dipakai untuk menentukan Hujan Harian Daerah

Maksimum Tahunan pada tahun 1996. Pada tahun tersebut hujan

maksimum di A (bobot luas 60%: p1 = 0,6) terjadi pada tanggal 21

Februari sebesar 200 mm, di B (bobot luas 20%: p2 = 0,2) terjadi pada

tanggal 2 Maret sebesar 140 mm, di C (bobot luas 10%: p3 = 0,1) terjadi

pada tanggal 16 Februari sebesar 220 mm dan di D (bobot luas 10%: p4 =

0,1) terjadi pada tanggal 14 Januari sebesar 180 mm. Untuk mencari

Hujan Harian Daerah Maksimum Tahunan pada tahun 1996 di DAS

tersebut ditabelkan sbb.:

Tanggal Stasiun A Stasiun B Stasiun C Stasiun D Rmaks

(p,=0,6) (p2 = 0,2) (p3 = 0,1) (p4 = 0,1) (mm)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

21 Feb 200 120 180 150 177 *

2 Mar 100 140 120 140 114

16 Feb 180 110 220 160 168

14 Jan 140 120 150 180 141


Keterangan:

Data hujan yang dicetak tebal adalah hujan maksimum di stasiun ybs,

Contohnya: tahun 1996 terjadi hujan maksimum di stasiun A pada tanggal

21 Februari, kemudian pada tanggal tersebut dicari data hujan untuk

stasiun lain: B, C dan D. Kolom (6) = Kolom (1) x p1 + Kolom (2) x p2 +

Kolom (3) x p3 + Kolom (4) x p4. Pada kolom (6) hujan terbesar adalah 177

mm. Jadi Hujan Harian daerah Maksimum Tahun 1996 adalah 177 mm

dan terjadi pada tanggal 21 Februari.

5.7. Menambah Data Hujan Yang Hilang

Untuk keperluan analisa hujan daerah diperlukan data yang lengkap

dari masing-masing stasiun. Seringkali pada suatu daerah (DAS) ada

pencatatan data hujan yang tidak lengkap atau hilang datanya. Jika ini

terjadi, maka data hujan yang hilang tersebut harus dilengkapi lebih

dahulu. Hal ini bisa dilakukan jika : (1) Di sekitarnya ada stasiun penakar

(minimal 2) yang lengkap datanya; (2) Stasiun penakar yang datanya

hilang diketahui hujan rata-rata tahunannya

Cara:

A X satsiun A dan B: lengkap datanya


stasiun X: ada data yang hilang
B

Maka:
1 Anx Anx 
dx =  dA  dB 
2 An A An B 
1 n Anx
=  di
n i 1 Ani

dengan

n = banyak pos penakar hujan di sekitar X

Anx = tinggi hujan rata-rata tahunan di X  (mm)

Ani = tinggi hujan rata-rata tahunan di pos-pos penakar hujan yang

dipakai untuk mencari data X yang hilang  (mm)

Contoh soal:

Suatu DAS mempunyai luas 80 km2 dan mempunyai 4 pos hujan X, A, B

dan C. Ada data hujan di pos X yang tidak tercatat seperti pada tabel

berikut:

Pos Hujan Tinggi Hujan (mm) Hujan Tahunan


4 Januari 1997 (mm)
X - 2200
A 100 2500
B 120 2700
C 110 2600

Tinggi hujan di pos X tanggal 4 Januari 1997 =

1/3 [ (2200/2500)x100 + (2200/2700)x120 + (2200/2600)x110 ] =

122,28 mm

5.8. Lengkung Massa Ganda

Lengkung massa ganda dimaksudkan untuk melakukan uji

konsistensi data hujan. Dari pengujian tersebut dapat diketahui apakah

terjadi perubahan lingkungan atau perubahan cara menakar. Jika hasil uji

menyatakan data hujan di suatu stasiun konsisten berarti pada daerah


pengaruh stasiun tersebut tidak terjadi perubahan lingkungan dan tidak

terjadi perubahan cara menakar selama pencatatan data tersebut dan

sebaliknya.

Kom. menyimpang
(dA)

450
kom.rerata
1 
  3 dA  dB  dC

Catatan:

Jika data hujan di stasiun A konsisten, maka:

 grafik berupa garis lurus dengan gradient sudut= tg 450

Cara melakukan uji konsistensi

Misalkan yang akan diuji data hujan di pos Y, maka data hujan

tahunan komulatif di pos Y dibandingkan secara grafis dengan harga

komulatif dari rerata hujan tahunan dari pos A, B, C dan D dst yang

lokasinya ada di sekitar X. Data hujan tahunan di X dan sekitarnya

minimal 10 tahun. Kemudian data digambarkan pada kertas grafik

(millimeter) dengan data hujan komulatif pos Y sebagai sumbu tegak dan

komulatif dari rerata hujan tahunan dari pos di sekitarnya sebagai sumbu

mendatar
Dari perubahan pola (trend) pasangan data itu dapat disimpulkan

sebagai berikut: (1) Jika pola yang terjadi berupa garis lurus dan tidak

terjadi patahan arah garis itu, maka data hujan pos Y adalah konsisten,

sebaliknya (2) Jika pola yang terjadi berupa garis lurus dan terjadi patahan

arah garis itu, maka data hujan pos Y tidak konsisten dan harus dilakukan

koreksi. Secara rinci bisa digambarkan sebagai berikut:

Contoh Soal

Pencatatan hujan di 5 stasiun di suatu DAS sepaerti pada tabel di bawah

ini. Akan diuji konsistensi data hujan di stasiun A menggunakan Lengkung

Massa Ganda.
Hujan Tahunan di Suatu DAS

Tahun Hujan Tahunan (mm) Rerata St Kom


A B C D E B,C,D,E Rerata Kom A
B.C.D,E
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

2000 1375 1378 1286 1277 1483 1356 1356 1357


1999 2021 1561 1915 1987 1891 1839 3195 3378
1998 1874 1644 1994 1663 1991 1823 5018 5252
1997 2027 2025 1731 1558 1842 1789 6807 7279
1996 1517 1766 1567 1765 1835 1733 8540 8796
1995 1713 1253 1416 1579 1306 1389 9928 10509
1994 1523 1663 1229 1925 1796 1653 11582 12032
1993 1871 1298 1445 1667 1816 1557 13138 13903
1992 1214 1076 1310 1183 1594 1291 14429 15117
1991 1850 1545 1914 1603 1925 1747 16176 16967
1990 2336 1465 2494 2131 2222 2078 18254 19303
1989 950 1453 1469 1805 1262 1497 19751 20253
1988 1183 1597 1300 1386 1656 1485 21236 21436
1987 1341 1680 1618 1931 1681 1728 22963 22777
1986 1123 1235 1640 1541 1583 1500 24463 23900
1985 1314 1495 1228 1828 1590 1535 25998 25214

1990

Gambar Lengkung Massa Ganda


Keterangan:

Kolom (1) s/d (6) diketahui

Kolom (7): rerata kolom (3) s/d (6)

Kolom (8): komulatif kolom (7)

Kolom (9): komulatif kolom (2)

Tahapan yang dilakukan untuk uji konsistensi:

1. Data hujan tahunan disusun mulai tahun terbaru (acuan pada

pencatatan data terbaru)

2. Menghitung hujan rerata stasiun B, C, D, E (kolom 7)

3. Menghitung nilai komulatif rerata stasiun B, C, D, E (kolom 8)

4. Menghitung nilai komulatif rerata stasiun A (kolom 9)

5. Menggambar grafik hubungan antara kolom 8 dan kolom 9 (seperti

Gambar di atas: Gambar Lengkung Massa Ganda)

6. Pada grafik di atas terlihat garis patah mulai tahun 1990, sehingga data

mulai tahun 1990 ke depan perlu diperbaiki

7. Gradien garis mulai tahun 2000 s/d 1991 (garis acuan) =

(16967 – 1357)/ 16176 – 1356) = 1,053

8. Gradien garis mulai 1990 s/d 1985 (garis yang patah) =

(25214 – 19303)/ (25998 – 18254) = 0,763

9. Perbandingan gradien garis acuan dan garis patah =

1,053 / 0,768 = 1,35

10. Data sebelum tahun 1991 (mulai tahun 1990 ke depan) dikoreksi:

dengan dikalikan faktor koreksi 1,35

Anda mungkin juga menyukai