ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pengukuran kinerja perusahaan menjadi hal yang sangat penting bagi manajemen
untuk melakukan evaluasi terhadap performa perusahaan dan perencanaan tujuan di masa
mendatang. Berbagai informasi di himpun agar pekerjaan yang dilakukan dapat
dikendalikan dan dipertanggungjawabkan. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi
dan efektivitas pada seluruh proses bisnis perusahaan. Namun selama ini, pengukuran
kinerja perusahaan cenderung lebih memfokuskan terhadap sisi keuangan saja.
Kecenderungan seperti ini berdampak kurang baik terhadap sustainbilitas bisnis
perusahaan. Sebab hasil pengukuran kinerja secara parsial tersebut cenderung akan
mengaburkan bahkan menyembunyikan kemampuan perusahaan sebenarnya dalam
mencapai nilai ekonomis di masa datang. Banyak pimpinan perusahaan dinilai sukses
jika berhasil mencapai suatu tingkat keuangan tertentu. Oleh karena itu, banyak
perusahaan yang berusaha untuk meningkatkan keuntungan dengan cara apapun. Hal ini
dapat menyebabkan perusahaan terjebak pada orientasi jangka pendek dan mengabaikan
kelangsungan bisnis jangka panjang dari perusahaan tersebut.
Sementara itu, metode pengukuran kinerja (performance measurement) telah
berkembang pesat. Para akademisi dan praktisi telah banyak mengimplementasikan
model-model baru dari sistem pengukuran kinerja perusahaan, antara lain Balanced
Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996), Integrated Performance Measurement System
(IPMS) (Bititci et al, 1997), dan SMART System (Galayani et al, 1997). Implementasi
sistem pengukuran kinerja dalam konteks perusahaan di Indonesia telah banyak
dilakukan. Akan tetapi aplikasi pengukuran kinerja pada perusahaan industri kecil dan
menengah dirasa kurang, padahal perusahaan industri kecil dan menengah di Indonesia
sangat signifikan jumlahnya dan memiliki tingkat kontribusi yang relatif besar dalam
perekonomian Indonesia serta daya tahan ketika guncangan krisis moneter, industri kecil
dan menengah lebih baik dibanding industri besar.
Pada umumnya, hingga saat ini di Indonesia masih banyak perusahaan berskala
kecil dan menengah (UKM) menjalankan bisnisnya tanpa memiliki visi, misi, dan strategi
manajemen yang jelas. Bahkan tidak sedikit dari perusahaan-perusahaan tersebut tidak
pernah melakukan penilaian terhadap kinerja bisnisnya. Sehingga meskipun daya tahan
terhadap guncangan ekonomi terbukti kuat, tetapi daya saing bisnisnya di pasar domestik
maupun internasional tergolong rendah. Kondisi seperti ini tidak menguntungkan bagi
upaya pengembangan UKM dan mewujudkan UKM sebagai pilar ekonomi yang kuat
untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan kondisi itulah, perlu dilakukan upaya penelaahan terhadap strategi
bisnis UKM dalam kerangka pengembangan kinerja UKM yang berfokus pada
peningkatan daya saing di masa datang. Untuk itu perlu model pengembangan kinerja
UKM berdasarkan sistem penilaian kinerja yang sesuai dengan sifat dan karakteristik
UKM. Gambaran mengenai kinerja perusahaan bisa didapatkan dari dua sumber, yakni
informasi finansial dan informasi nonfinansial. Informasi finansial didapatkan dari
penyusunan anggaran untuk mengendalikan Biaya. Sedangkan informasi nonfinansial
merupakan faktor kunci untuk menetapkan strategi yang dipilih guna melaksanakan
tujuan yang telah ditetapkan. Kedua informasi diatas dapat dianalisa menggunakan
beberapa model pengukuran kinerja perusahaan, salah satunya dengan menggunakan
metode SMART ( Strategic Management Analysis and Reporting Technique ) System
dengan menggunakan strategi objektif sebagai titik awal perancangannya. Perspektif
berdasarkan strategi objektifnya diyakini mampu menunjang operasional perusahaan.
Susunan strategi objektif disusun sesuai tingkatan dalam manajemen perusahaan
manufaktur sehingga tersusun seperti piramida. Banyak perusahaan kecil dan menengah
tidak memiliki visi, misi dan strategi yang jelas, orientasi yang lebih terfokus pada
kinerja operasional lebih mendominasi. Oleh karena itu, model ini sering dipakai oleh
perusahaan kecil dan menengah untuk mengukur kinerja organisasinya.
Tidak adanya visi, misi dan strategi, serta sulitnya mengidentifikasi stakeholder
perusahaan dan lebih berorientasinya pihak manajer pada kinerja operasional adalah
alasan utama memilih SMART system sebagai metode pengukuran kinerja yang
dipandang cocok untuk UKM di Indonesia.
TELAAH PUSTAKA
Pengertian Kinerja
Indikator Kinerja
Visi
Objektivitas
Ukuran
Ukuran Ukuran Unit Bisnis
Pasar Keuangan
Unit
Operasi
Kepuasan Fleksibi Produk Bisnis
Pelanggan litas tivitas
Departemen
dan Pusat Kerja
Pengi Waktu
Kualitas riman Proses Biaya
Operasi
METODE PENELITIAN
d. Penilaian Kinerja
Proses pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui apakah selama
pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang telah ditentukan, atau apakah
kinerja dapat dilakukan sesuai target yang ditetapkan atau diharapkan pada tahun
pengukuran (2007 dan 2008). Data yang di perlukan dalam pengukuran berupa data
sekunder dari pihak manajemen yang berkompeten. Data yang di peroleh tersebut
dikonversikan dalam bentuk angka atau skor. Adapun sistem penyekoran yang digunakan
dalam penelitian ini adalah OMAX (Objective Matrix) untuk setiap KPI. Skor OMAX
terletak pada rentang 1 s.d. 10 dimana Nilai 1 menunjukkan bahwa kinerja KPI sangat
jauh dibawah target atau dapat dikatakan kinerja terjelek, nilai 7 menunjukkan kinerja
KPI sama dengan yang telah ditargetkan, dan nilai 10 menunjukkan KPI telah mencapai
target dan jauh melampaui target. Nilai 2,3,4,5, dan 6 merupakan nilai interpolasi dalam
rentang 1 s.d. 7, dan nilai 8 dan 9 adalah nilai interpolasi antara nilai 7 dan 10. Nilai
kinerja KPI perusahaan dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini untuk masing-masing
KPI sesuai dengan level dan perspektif.
Pada saat pengukuran digunakan konsep Traffic Light System dengan
menggunakan tiga warna, yaitu warna hijau dengan ambang batas 7,1 s.d. 10 artinya
kinerja KPI telah mencapai target bahkan melampaui target, warna kuning dengan
ambang batas 3,1 s.d. 7,0 artinya kinerja KPI belum mencapai target tetapi telah
mendekati target yang hendak dicapai, dan warna merah dengan ambang batas lebih kecil
atau sama dengan 3,0 artinya kinerja KPI benar-benar dibawah target dan KPI ini perlu
dapat perhatian khusus pada saat periode berikutnya.
Alat Bantu Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan perangkat lunak Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4
Student Version membantu proses pengolahan data pada tahap pembobotan Key
Performance Indicators dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) didasarkan pada
struktur hierarki sistem pengukuran kinerja.
PEMBAHASAN
Dengan mengacu pada kerangka kerja SMART system, strategi objektif UKM
Hentoro Leather dilihat dari level bisnis dan perspektif masing-masing level bisnis.
Melalui metode wawancara dengan pihak manajer, maka strategi objektif dapat
ditentukan. Strategi objektif belum dapat menunjukkan seberapa berhasilnya
mewujudkan tujuan. Oleh karena itu, perlu metrik yang dapat diukur serta mampu
mempresentasikan keberhasilan dari strategi objektif, metrik yang dimaksud adalah key
performance indicators (KPI), yang selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.
Gambar 3. Output Proses Pembobotan KPI pada level Unit Bisnis dengan AHP
Sumber : Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version
Gambar 4. Output Proses Pembobotan KPI Pada Level Business Operating Units
dengan AHP
Sumber : Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version
Gambar 5. Output Proses Pembobotan KPI Pada Level Departements and Work
Centers
Sumber : Output software Criterium DecisionPlus(R) 3.0.4 Student Version
Tabel 2 menunjukkan besar pembobotan dan nilai kinerja dari setiap masing-masing KPI.
Pada sub bab ini penulis memfokuskan analisis pada KPI yang memiliki besar pembobotan
paling tinggi dan nilai kinerjanya, pada level yang berbeda. Level unit bisnis, di level ini
terdapat dua KPI yang memiliki besaran bobot paling tinggi diantaranya KPI persentase jumlah
pesanan dan jumlah produk terjual dengan bobot masing – masing sebesar 50.8% dan 18.7%.
Kedua KPI tersebut tergabung dalam satu perspektif, yakni perspektif ukuran pasar. Nilai
kinerja KPI tersebut belum mencapai target karena masih dibawah angka 7 ( skore ≤ 7 ), untuk
KPI persentase jumlah pesanan masih berwarna kuning, sedangkan untuk KPI jumlah produk
terjual masih berwarna merah tetapi keduanya berpeluang untuk mencapai target di periode
berikutnya.
Level Unit Operasi Bisnis, untuk level ini perusahaan dapat dikatakan masih cenderung
mendekati target yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan oleh skore yang diperoleh KPI dari
setiap perspektif yang rata – rata skorenya masih dibawah 7 (skore ≤ 7), dan berwarna kuning.
Pada level ini KPI yang mempunyai bobot paling tinggi adalah KPI persentase pemeliharaan
alat produksi dari perspektif fleksibilitas dengan bobot 22.5%. sedangkan untuk KPI jumlah
produk inovasi dan persentase keluhan pelanggan nilai kinerja KPInya sudah mencapai target
dengan skore diatas 7 ( skore ≥ 7 ) dan berwarna hijau, walaupun bobot yang dimiliki tidak
setinggi KPI persentase pemeliharaan alat produksi dari perspektif fleksibilitas
Level selanjutnya yaitu Level Department dan Pusat Kerja, dalam level ini KPI yang
memiliki besar bobot tertinggi adalah ketersediaan data base dengan bobot 22.3%. Namun nilai
kinerja KPI tersebut belum mencapai target karena masih dibawah angka 7 ( skore ≤ 7 ).
Sedangkan 2 KPI dari perspektif pengiriman dan perspektif kualitas yaitu KPI ketepatan waktu
pengiriman produk dan banyaknya produk cacat, kinerja KPInya sudah mencapai target dengan
skore ≥ 7.5 dan berwarna hijau. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa pada level ini
perusahaan menitikberatkan terhadap masalah kualitas produk dan pengiriman produk,
dikarenakan dengan kualitas sesuai standar dan pengiriman yang tepat waktu maka akan
meningkatkan kepuasan dari konsumen. Kemudian 8 KPI lainnya yang terdistribusi ke dalam
tiga perspektif yaitu perspektif biaya, perspektif waktu proses dan perspektif pengiriman, nilai
kinerja KPInya belum mencapai target atau bisa juga dikatakan cenderung mendekati target,
karena skorenya masih di bawah angka 7 ( skore ≤ 7 ). KPI yang masih di bawah target cukup
sulit bila harus mencapai target, seperti misalnya KPI harga pokok produksi dari perspektif
biaya, dikarenakan harga-harga faktor produksi saat ini cenderung naik dan fluktuatif. Tetapi
hal ini tidak menutup kemungkinan bagi perusahaan ( UKM Hentoro Leather ) untuk berbenah
memperbaiki serta meningkatkan performance pada periode mendatang.
Untuk memperbaiki kinerja perusahaan tersebut, maka perlu dilakukan perbaikan dan
peningkatan strategi objektif pada setiap level, sehingga diharapkan KPI yang pencapaiannya
masih dibawah target (berwarna kuning dan merah) dapat ditingkatkan kinerjanya. Perbaikan
dan peningkatan strategi objektif tersebut ditentukan dengan mengkombinasikan hasil
pembobotan dan hasil pengukuran kinerja KPI (lihat tabel 4.9). Sebagai prioritas pertama,
perbaikan dan peningkatan strategi objektif dikonsentrasikan pada level departemen dan pusat
kerja. Level ini merupakan pondasi dari perspektif pada metode SMART System, yang
mengawali keberhasilan level unit operasi bisnis dan level unit bisnis. Pada level ini yang
menjadi prioritas utama adalah peningkatan kualitas sistem informasi, diikuti oleh peningkatan
kemampuan proses produksi, peningkatan layanan distribusi, penurunan harga pokok produksi,
pengoptimalan penggunaan bahan baku / material, peningkatan kualitas produk, pengoptimalan
penggunaan alat produksi, dan peningkatan jumlah karyawan terlatih.
Prioritas kedua adalah perbaikan dan peningkatan strategi objektif dikonsentrasikan
pada level unit operasi bisnis, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan
pemeliharaan peralatan produksi, diikuti oleh peningkatan kepuasan pelanggan, pengembangan
inovasi produk, mempertahankan kesetiaan pelanggan, peningkatan produktivitas karyawan,
peningkatan kemampuan produksi, peningkatan jumlah pelanggan, dan penggunaan teknologi.
Prioritas ketiga adalah perbaikan dan peningkatan strategi objektif dikonsentrasikan
pada level unit bisnis, pada level ini yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan
pemesanan hasil produksi, diikuti oleh peningkatan jumlah produk terjual, peningkatan pangsa
pasar, peningkatan profit, peningkatan pendapatan penjualan dan peningkatan likuiditas. Upaya
perbaikan dan peningkatan strategi objektif pada setiap level dengan skala prioritasnya
sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, sebagai analisis terhadap pengukuran kinerja
perusahaan dengan metode SMART system.
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar Arif., dan Wibowo. 2005. Akuntansi untuk Bisnis Usaha Kecil dan Menengah.
PT Grasindo: Jakarta.
Antony, R & Vijay Govindarajan.2005. Sistem Pengendalian Manajemen. Salemba
Empat: Jakarta.
Bititci, U.S., Carrie, A.S. McDevitt and Turner, T. 1997. Integrated Performance
Measurement Systems: A Reference Model. Proceeding of IFIP-WG5.7 1997
Working Conference, Ascona Ticono-Switzerland, 15-18 September 1997.
Budiarti, Isniar. 2005. Balanced Scorecard Sebagai Alat Ukur Kinerja dan Alat
Pengendali Sistem Manajemen Strategis. Majalah Ilmiah Unikom, vol. 6, hlm. 51
– 59.
Cross, K.E. and Lynch, R.L. 1997. ’The SMART Way to define anda sustein success’.
National Productivity Revies, New York.
Ghalayani, A.M. and Noble, J.S. 1998. ’The changing of performance Measurement’
Univesity of Missouri, Columbia, USA.
Hill, Terry. 1994. Manuacturing Stretegy. Mc. Graw Hill, New York.
Kaplan, Robert S. And Norton, David P. 1996. Translating Stretegy Into Action The
Balanced Scorecard. Harvard Business Scholl Press. Boston, Massachusetts.
Mulyadi. 2000. Akuntansi Biaya. Aditya Media: Yogyakarta
Naniek Utami Handayani, Haryo Santoso, dan Rochmawati. 2005. Perancangan Sistem
Pengukuran Kinerja Menggunakan Metoda Performance Prism. Jurnal Tekhnik
Industri , vol. 10, No. 4 : 295 – 303.
Putri, Vicky Rahma dan Lukviarman, Niki. 2008. Pengukuran Kinerja Bank Komersial
dengan Pendekatan Efisiensi : Studi Terhadap Perbankan Go-Public di Indonesia.
JAAI, vol. 12, No. 1 : 37 – 52.
Saaty, ST.L. 1993. the Analytic HierarchyProsess. McGraw-Hill, New York.
Sujoko Efferin., dan Bonnie Soeherman. 2005. “Analisis Empiris Tentang Peran
Akuntansi Manajemen Dalam Perencanaan Dan Pengendalian UKM”, Jurnal
Akuntansi dan Teknologi Informasi, Vol. 4, No. 2: 71-91.
Supriono, R.A dan Suparwoto. 1983. Akuntansi Keuangan Dasar. Yogyakarta.
Toto Sugiharto, Susy Suhendra, Budi Hermana, dan Adang Suhendra. 2007. Model
Adopsi E-Business oleh Pengusaha Kecil : Metode Pengukuran dengan
Webstatistic dan Self Reported. SNT 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, Bab IV Kriteria, Pasal 6.
Vanany, Iwan. 2002. ’Studi Awal SistEm Pengukuran Kinerja Baru bagi Industri Kecil
dan Menengah (Perusahaan-perusahaan Industri Manufaktur Kecil dan Menengah
(IMKM))’. Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia, PPM UI.
Vanany, Iwan. 2002. ’Pilihan Stretegi Unggulan Perusahan Industri Kecil dan Menengah
(IMKM) di Jawa Timur’. Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia, PPM UI.
Vanany, Iwan. dan Sugianto, Agus. 2007. ’Perancangan dan Pengukuran Kinerja
Perusahaan Kecil dan Menengah dengan Metode Smart System. Jurnal
Manajemen Usahawan Indonesia, PPM UI.
Vanany, Iwan dan Tanukhidah, Dian. 2004. Perancangan dan Implementasi Sistem
Pengukuran Kinerja dengan Metode Performance Prism ( Studi Kasus Pada Hotel
X ). Jurnal Tekhnik Industri, vol. 6, No. 2 : 148 – 155.
Venkatraman, &V.Ramanujam. 1986. Measurement of Business Performance in Strategy
Research: a Comparison of Approaches. Academy of Management Review, Vol
11, pp801-814.
Wibowo. 2008. Manajemen Kinerja. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Yudi Hardiyanto, Achmad Holil Noor Ali, dan Her Arsa Pambudi. 2005. Perancangan
dan Pembuatan Sistem Informasi Pengukuran Kinerja Pemasaran dengan Metode
Balanced Scorecard Studi Kasus PT. Semen Gresik. Jurnal Tekhnologi Informasi.
http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_glossary&func=display&letter=U&Ite
mid=73&catid=43&page=1
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_7.htm
www.menlh.go.id/usaha-kecil/top/kriteria.htm
http://www.depperin.go.id/kebijakan/05KPIN-Bab1.pdf