Anda di halaman 1dari 10

Moving Average

By : Etuz

1. Pengenalan Dasar
Di dalam dunia trading, kita mengenal apa yang disebut dengan indikator. Indikator pada dasarnya
merupakan turunan dari harga (open,high,low,close) dan atau volume yang terjadi di masa lalu, yang dapat
digunakan untuk memprediksi masa depan. Ada banyak sekali pilihan indikator yang bisa kita gunakan, bahkan
terkadang hal itu membuat trader menjadi pusing sendiri, indikator mana yang harus digunakan ? Tak ayal,
banyak trader yang menggunakan banyak sekali indikator dalam melakukan analisa suatu saham, yang boro-
boro membantu analisa, tapi malah membuat analisa semakin rumit karena sinyal yang diberikan saling
bertolak belakang. Nah, guna menghindari hal tersebut, tentu trader perlu paham mengenai dasar dari
indikator itu sendiri, apa kelebihan dan kekurangannya dan yang paling penting adalah bagaimana trader
dapat menggunakannya untuk membantu menganalisa dalam pengambilan keputusan buy maupun sell.
Untuk itu, mari kita pelajari terlebih dahulu penggolongan indikator teknikal secara umum. Secara
garis besar, ada banyak cara untuk menggolongkan indikator ke dalam berbagai macam grup, tetapi dari yang
penulis baca dari berbagai sumber sejauh ini, paling tidak sedikitnya ada 4 penggolongan indikator secara
umum, yaitu :
1. Indikator Trend
Indikator trend digunakan untuk mengukur arah dan kekuatan dari sebuah trend. Indikator Trend
merupakan lagging indikator, artinya bahwa trend indikator hanya mengikuti pergerakan harga saja,
sehingga hanya mencerminkan harga di masa lampau. Contoh indikator yang masuk dalam grup ini
adalah moving average (MA), MACD, Average Directional Index (ADX), DMI, Parabolic SAR, Elliot
Wave, dll.

2. Indikator Momentum
Indikator momentum digunakan untuk mengetahui perubahan kecepatan dari naik turunnya harga.
Momentum indikator merupakan leading indikator, karena indikator ini mengukur perubahan
kecepatan yang biasanya mendahului sebuah reversal harga. Contoh indikator yang masuk dalam
grup ini adalah Commodity Channel Index (CCI), Relative Strength Indicator (RSI), Stochastic, William%
R, dll.

3. Indikator Volatilitas
Indikator volatilitas memberikan informasi mengenai range dari harga berikut percepatan dan
perlambatan yang terjadi. Yang termasuk dalam grup ini adalah Averafe True range (ATR), Bollinger
Band (BB), Envelope, dll.
4. Indikator Market Strength
Indikator ini digunakan untuk mengukur kekuatan pasar yang sedang terjadi. Contoh indikator dalam
grup ini adalah On Balance Volume (OBV), Chaikin Oscillator, Money Flow Index (MFI),
Accumulation/Distribution, dll.

Nah, setelah kita tahu penggolongan berbagai macam indikator itu, lantas apa ? Perlu disadari bahwa
tidak ada indikator yang bisa akurat dan tepat menggambarkan kondisi pasar di setiap waktu. Untuk itu,
kombinasi dari berbagai macam grup indikator yang sudah diuraikan di atas diharapkan dapat membantu
trader dalam mengambil keputusan buy dan sell dalam segala situasi. Namun perlu diingat bahwa semakin
banyak indikator yang digunakan, maka semakin besar derajat kebebasan (degree of freedom) yang berupa
variabel-variabel yang digunakan dalam interpretasi indikator tersebut.
Ambil contoh moving average, mempunyai 1 derajat kebebasan karena ada 1 variabel subjektif yang
mempengaruhi output dari moving average itu, yaitu lookback periode dari moving average itu sendiri.
Bagaimana dengan MACD ? MACD mempunyai 3 variabel subjektif yang dapat mempengaruhi output dari
MACD itu sendiri. Jadi dengan melihat fakta ini, penulis menyarankan untuk tidak menggunakan indikator yang
berada dalam satu grup secara bersamaan. Contohnya menggunakan CCI dan RSI bersamaan, hal ini kurang
efektif karena kedua indikator sama-sama berasal dari grup momentum indikator, yang kurang lebih akan
memberikan hasil yang sama, apabila di setting menggunakan periode yang sama.
Dan alangkah baiknya apabila trader menggunakan minimal 1 indikator dari masing-masing grup
untuk digunakan sebagai tools dalam menganalisa. Untuk itu,pada kesempatan kali ini penulis akan fokus
membahas secara mendalam mengenai moving average yang merupakan indikator yang paling simpel namun
sekaligus powerfull dan sudah banyak digunakan oleh para trader di seluruh dunia.

2. Moving Average
Moving average, dari kata-katanya saja kita sudah bisa menebak artinya. Average berarti rata-rata,
artinya indikator ini menggunakan nilai rata-rata. Misalnya MA20, artinya menggunakan nilai rata-rata 20
candle/bar ke belakang. Moving artinya bergerak, hal ini menandakan bahwa indikator ini bersifat dinamis dan
akan terus berubah mengikuti harga terakhir. Ada beberapa pertanyaan mendasar mengenai moving average,
seperti :
- berapa lama periode yang harus digunakan ?
- Apakah harus menggunakan yang short (misalnya MA5), ataukah yang longterm average
(misalnya MA200) ?
- Apakah harga closing adalah harga yang paling baik untuk digunakan, ketimbang open, high dan
low ?
- Apakah akan lebih baik kalau menggunakan multiple moving average ?
- Apa tipe yang harus digunakan , apakah yang simple, weighted atau exponential moving average
?
Mari kita coba bahas satu per satu.
a. Berapa periode yang harus dipakai dalam moving average ??
Moving average pada dasarnya adalah trend indikator. MA merupakan trend follower, bukan trend
leader, sehingga MA adalah indikator yang bersifat lagging(terlambat). MA tidak pernah mengantisipasi
pergerakan harga, MA hanya bereaksi terhadap pergerakan harga yang terjadi. Moving average intinya
mengikuti pergerakan harga dan dapat memberikan indikasi apakah suatu trend sudah dimulai atau sudah
berakhir.
Selain sebagai indikasi trend, moving average juga berguna untuk memperhalus pergerakan harga,
sehingga pergerakan harga yang tidak smooth bisa diwakilkan dengan garis yang lebih enak untuk diihat.
Untuk periode yang digunakan, semua tergantung trader mau memakai periode yang mana, hanya saja secara
umum periode yang sering digunakan adalah MA20, MA50, MA100 dan MA 200. Ada juga trader yang memilih
menggunakan periode dari angka angka fibonacci seperti MA5, MA8, MA13, MA21, MA34, dll. Bahkan
beberapa trader melakukan backtesting untuk menentukan berapa periode MA terbaik yang menghasilkan
keuntungan maksimal. Semakin kecil periode yang digunakan, maka semakin kecil lagging yang ditunjukkan
oleh moving average, seperti ditunjukkan pada gambar 2.1 di bawah ini.

MA 50
MA 20

MA 200

MA 100

Gambar 2.1
Terlihat pada gambar 2.1 di atas, MA20 lebih dekat dengan candle dibanding dengan MA50, begitu
juga MA50 lebih dekat dengan candle dibanding MA100. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa trader
dapat menentukan berapa periode yang harus digunakan, dengan mengacu pada timeframe waktu yang
digunakan. Apabila untuk short term, bisa menggunakan MA20, bahkan bisa menggunakan MA5, namun perlu
diingat semakin kecil periode yang digunakan, maka semakin rentan moving average mengalami volatilitas
pergerakan harga. Untuk mid sampai long term timeframe, misalnya weekly, trader bisa menggunakan MA100
dan MA200.
Pada gambar 2.1 di atas juga terlihat fungsi lain dari moving average, yaitu sebagai support dan
resisten. Terlihat bahwa MA20 menjadi support kuat untuk beberapa waktu, sampai akhirnya ditembus dan
sekarang harga masih berkutat di MA50. Salah satu cara membacanya adalah sebagai berikut :
- Apabila harga menembus MA20 dari bawah ke atas, maka bisa dikatakan saham tersebut
mengalami uptrend untuk waktu yang singkat (short term uptrend)
- Apabila harga di atas MA50 dan MA20 crossing MA50 dari bawah ke atas,g maka bisa dikatakan
saham tersebut mengalami mid term uptrend
Apabila harga di atas MA 100 dan MA20 berada di atas MA50, serta MA50 crossing MA100 dari
bawah ke atas maka bisa dikatakan saham tersebut mengalami longterm uptrend. Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat di gambar 2.2 di bawah ini.

Long term
Uptrend
Mid term
Short term Uptrend
Uptrend
Gambar 2.2
Dengan demikian, trader dapat mengambil posisi buy ketika harga sudah menembus MA20 dari
bawah ke atas, yaitu ketika memasuki fase short term uptrend. Kemudian menambah posisi buy ketika
terbentuk mid term uptrend dan long term uptrend. Sedangkan posisi sell di lakukan ketika harga sudah
menembus MA20 dan MA50 dari atas ke bawah atau ketika MA20 cross MA50 dari atas ke bawah.

b. Yang manakah dipakai dalam moving average, harga close,open, high atau low ??
Secara default, biasanya digunakan harga closing untuk perhitungan moving average, dan biasanya ini
digunakan oleh online trading platform yang ada sekarang. Tapi sebenarnya trader bisa juga menggunakan
beberapa data berikut ini, antara lain :
- midpoint, yaitu menggunakan nilai (High+Low)/2
- Typical , yaitu menggunakan (H+L+C)/3
- Range, yaitu menggunakan (H-L)
Namun pada prakteknya, yang paling sering digunakan tetap closing price, sehingga lebih disarankan untuk
menggunakan closing price sebagain acuan.
c. SMA, WMA, EMA dan VWMA
Ada 4 tipe moving average secara umum, yaitu Simple Moving Average (SMA), Weighted Moving
Average (WMA), Exponential Moving Average (EMA) dan Volume Weighted Moving Average (VWMA).
Perbedaan keempatnya adalah dari pembobotan yang diberikan kepada tiap data.
Simple Moving Average (SMA) menggunakan pembobotan yang sama untuk setiap data, misalkan
MA10, berarti kesepuluh data masing-masing mempunyai bobot yang sama, yaitu 10%. Banyak trader
menganggap SMA memiliki kelemahan karena pembobotan yang diberikan ke data 10 hari lalu, sama dengan
pembobotan yang diberikan ke data hari ini. Hal ini kurang tepat karena data hari ini seharusnya mendapat
bobot lebih banyak karena data hari ini tentunya lebih penting dalam menentukan arah harga ke depannya,
dibanding dengan data 10 hari yang lalu.
Weighted Moving Average (WMA) menggunakan pembobotan yang berbeda untuk setiap data,
misalkan MA10, maka data pada hari yang ke 1 (data hari ini) diberikan pembobotan lebih banyak daripada
data pada hari ke 10 (data 10 hari yang lalu). Untuk lebih jelasnya dapat dlihat perbedaan pembobotan antara
SMA dan WMA pada tabel 2.1 di bawah ini

Tabel 2.1

Exponential Moving Average (EMA) menggunakan pembobotan yang berbeda untuk setiap data, sama
seperti WMA. Hanya saja pembobotan yang diberikan berbeda dengan WMA. Penulis tidak akan menjabarkan
formula yang panjang di tulisan ini, namun perlu diketahui bahwa pembobotan EMA terlihat seperti tabel 2.2
di bawah ini.

Tabel 2.2
Pertanyaannya, manakah yang harus kita gunakan ? manakah yang lebih akurat diantara SMA, WMA
dan EMA ? Perhatikan gambar 2.3 di bawah ini sebagai perbandingan antara SMA, WMA dan EMA.

Gambar 2.3
Dari gambar 2.3 terlihat jelas bahwa SMA 20 hampir sepanjang waktu berada di posisi paling bawah
dari antara ketiga moving average. Hal ini membuktikan bahwa SMA merupakan indikator moving average
yang paling lagging. Namun hal ini juga memberikan keuntungan karena untuk trading jangka panjang, maka
SMA seperti terlihat di gambar di atas hampir tidak pernah tersentuh oleh harga di saat sedang uptrend.
Artinya SMA bisa digunakan sebagai support ataupun resisten yang cukup akurat.
Bagaimana dengan EMA ? Terlihat bahwa EMA lebih mendekati candle yang ada, dibandingkan
dengan SMA, tapi masih lebih dekat WMA terhadap candle daripada EMA. Hal ini menandakan bahwa EMA
lebih leading daripada SMA, tetapi masih tetap lagging bila dibandingkan dengan WMA. Tetapi perlu diingat
bahwa semakin leading suatu line terhadap price, maka makin rawan line itu mengalami volatilitas yang
disebabkan oleh fluktuasi harga. Berarti WMA lebih rawan terhadap volatilitas bila dibandingkan dengan EMA.
Kesimpulannya, EMA dan WMA lebih cocok digunakan untuk short term.
Maka dapat disimpulkan bahwa:
- SMA lebih cocok digunakan sebagai support resisten jangka panjang
- EMA lebih cocok digunakan untuk support resisten short term
- WMA, karena sifatnya yang paling leading, cocok digunakan untuk mengambil keputusan entry
dan exit.
Lantas apakah ketiga MA itu harus digunakan ? menurut penulis pribadi tidak perlu, karena cukup pakai salah
satu saja yang terasa lebih pas dan sreg di hati. Bagaimanapun, MA hanyalah indikator, fakor psikologis trader
lah yang memainkan peranan penting, lagipula selisih antara SMA, WMA dan EMA tidak terlalu banyak.
Maka pilihan diserahkan ke masing-masing trader untuk menggunakan yang mana, asal sesuai dengan trading
sistem masing-masing, maka hasilnya tentu akan optimal.
Ada juga yang disebut dengan Volume Weighted Moving Average (VWMA), yaitu moving average
yang pembobotannya di dasarkan pada volume transaksi. Semakin besar volume pada suatu harga, maka akan
semakin besar pula nilai dari moving average tersebut. Hasil dari moving average ini biasa disebut dengan
Volume Weighting Average Price (VWAP). VWAP bisa digunakan sebagai support dan resisten, bila harga
berada di bawah VWAP bisa dikategorikan dalam kondisi bearish, sedangkan bila harga berada di atas VWAP
bisa dikategorikan dalam kondisi bullish. Perhatikan gambar 2.4 di bawah ini.

Gambar 2.4
Terlihat pada gambar 2.4 bahwa garis VWAP sangat menyimpang jauh sekali dari garis SMA, hal ini
dikarenakan lonjakan volume yang tinggi pada beberapa harga, sehingga VWAP bisa juga dijadikan acuan
untuk menentukan titik support dan resisten.

3. Aplikasi Moving Average


Setelah membahas beberapa hal penting di atas, tibalah saatnya mempraktekkan cara menggunakan
moving average guna mengambil keputusan buy dan sell. Penulis memilih menggunakan EMA 20, EMA 50 dan
EMA 100 sebagai dasar dalam analisa. Perhatikan beberapa contoh di bawah ini dan penjelasannya :
a. Seperti terlihat pada gambar 2.5, adalah daily chart dari sebuah saham. Posisi buy dapat
dilakukan pada harga closing setelah candle menembus EMA 20, kemudian stop loss diletakkan
pada harga open candle tersebut. Terlihat pada gambar bahwa harga terus naik dan stop loss
tidak pernah tersentuh. Ketika EMA 20 sudah crossing EMA 50 dari bawah ke atas, maka trader
dapat menaikkan posisi sell (trailing stop) ke titik EMA 50 nya, guna mengamankan cuan. Terlihat
di gambar juga bahwa trader dapat menambah posisi (average up), setiap kali harga menyentuh
EMA 20. Hal ini membuktikan bahwa EMA 20 juga bisa berfungsi sebagai support. Terlihat bahwa
EMA 50 baru tersentuh 5 bulan setelah posisi buy, di sini trader bisa memutuskan apakah akan
menjual semua kepemilikan sahamnya, atau hanya menjual sebagian, dan akan menjual sisanya
ketika harga menyentuh EMA 100.

Gambar 2.5

b. Perhatikan gambar 2.6 yang merupakan gambar daily chart dari sebuah saham. Posisi buy dapat
dilakukan pada harga closing setelah candle menembus EMA 20, kemudian stop loss diletakkan
pada harga open candle tersebut. Terlihat pada gambar bahwa harga terus naik dan stop loss
tidak pernah tersentuh. Ketika EMA 20 sudah crossing EMA 50 dari bawah ke atas, maka trader
dapat menaikkan posisi sell (trailing stop) ke titik EMA 50 nya, guna mengamankan cuan. Terlihat
di gambar juga bahwa trader dapat menambah posisi (average up), setiap kali harga menyentuh
EMA 20. Hal ini membuktikan bahwa EMA 20 juga bisa berfungsi sebagai support. Terlihat bahwa
EMA 50 baru tersentuh 5 bulan setelah posisi buy, di sini trader bisa memutuskan apakah akan
menjual semua kepemilikan sahamnya, atau hanya menjual sebagian, dan akan menjual sisanya
ketika harga menyentuh EMA 100.
Perlu diingat bahwa diperlukan money management yang baik sebelum mengambil keputusan
untuk tambah posisi (average up), dikarenakan seperti pada gambar 2.5 dan 2.6, bisa saja terjadi
setelah trader average up, harga turun ke EMA 50,sehingga apabila tidak diterapkan money
management yang baik, maka bisa saja trader malah mengalami kerugian setelah average up.
Salah satu prinsip yang baik dalam average up adalah menggunakan sistem piramida. Jadi
misalnya uang 100 juta akan dibelanjakan untuk membeli suatu saham, maka ketika entry
pertama hanya 50 juta yang digunakan, dan average up berikutnya berturut turut adalah 30 juta,
15 juta, dan 5 juta. Perlu juga dipertimbankan jarak harga antar average up, jangan sampai terlalu
lebar namun jangan juga terlalu sempit. Untuk hal ini akan dibahas di lain kesempatan pada
bahasan mengenai money management.

Gambar 2.6

c. Perhatikan gambar 2.7 di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan moving average pada kondisi
sideways. Terlihat bahwa kalau kita mengambil posisi buy dan sell dengan berpatokan bahwa buy
ketika candle menembus EMA20 dan sell ketika candle menembus EMA20, maka keuntungan
masih bisa didapatkan, tetapi hasilnya tidak maksimal. Maka dari itu moving average kurang
cocok untuk menganalisa kondisi yang sidewayas.

Gambar 2.7
4. Kesimpulan
Dari uraian di atas, ada beberapa kesimpulan tentang keunggulan dari Moving average :
1. Moving average berfungsi sebagai filter, sehingga dapat menghilangkan noise akibat fluktuasi
pergerakan harga.
2. Moving average berfungsi sebagai sinyal jual beli, yang ditunjukkan dengan :
- Cross antara candle dan moving average, buy bila harga cross moving average dari bawah ke atas
dan sell bila harga cross moving average dari atas ke bawah.
- Cross antara dua atau lebih moving average, seperti ditunjukkan pada beberapa contoh di atas.
3. Moving average berfungsi sebagai penunjuk trend, apakah sedang uptrend, downtrend ataupun
sideways, seperti terlihat pada Gambar 2.7 di bawah ini.

Gambar 2.8

4. Moving average berfungsi sebagai support dan resisten, terlihat pada beberapa contoh seperti
gambar 2.5 dan 2.6.

Selain keunggulan, ternyata moving average juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya :
1. Moving average adalah lagging indikator, sehingga hanya berfungsi mengikuti pergerakan harga,
tentu saja selain moving average, trader juga harus menggabungkan hasil analisa dengan indikator
lain, sehingga keputusan analisa bisa lebih akurat.
2. Moving average kurang cocok digunakan pada waktu kondisi harga sideways, karena tidak akan
memberi hasil yang maksimal. Ketika kondisi sedang dalam trend, maka moving average akan sangat
membantu dalam pengambilan keputusan buy dan sell.

Anda mungkin juga menyukai