Anda di halaman 1dari 14

Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai .....

(Evi Tahapari)

KERAGAAN REPRODUKSI IKAN PATIN NASUTUS (Pangasius


nasutus Bleeker, 1863) SEBAGAI KANDIDAT IKAN BUDIDAYA

Evi Tahapari, Bambang Iswanto, dan Sularto

Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar


Jl. Raya 2 Sukamandi, Subang-Jawa Barat 41256
E-mail: evitahapari@yahoo.co.id

(Naskah diterima: 22 Juni 2010; Disetujui publikasi: 14 April 2011)

ABSTRAK

Patin nasutus merupakan salah satu spesies patin Indonesia yang potensial untuk
dikembangkan sebagai komoditas baru perikanan budidaya. Upaya pengembangan
patin nasutus memerlukan informasi-informasi biologi-reproduksi berkaitan dengan
kapasitas produksi massalnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan
reproduksi patin nasutus. Hasil pengamatan perkembangan gonad menunjukkan bahwa
oosit intraovarian patin nasutus dapat dibagi dalam lima tahap, yakni tahap 1 (kromatin
nukleolar dan perinukleolar) dengan diameter oosit kurang dari 0,125 mm, tahap 2
(vesikula kuning telur dan alveoli korteks) dengan diameter oosit 0,125-0,500 mm,
tahap 3 (granula kuning telur) dengan diameter oosit 0,700-1,850 mm, tahap 4 (migrasi
nukleus dan hidrasi) dengan diameter oosit 1,250-1,900 mm dan tahap 5 (atresis)
dengan diameter oosit 0,300-1,700 mm. Perkembangan oosit patin nasutus bersifat
sinkronis grup, ditandai dengan adanya dominasi dua kelompok oosit intraovarian
pada ikan dengan tingkat kematangan yang tertua, yakni kelompok oosit tertua (oosit
tahap 3) yang akan segera dikeluarkan pada saat pemijahan dan kelompok oosit stok
yang belum berkuning telur dan berukuran kecil (oosit tahap 1) yang merupakan telur
cadangan untuk proses pemijahan berikutnya. Oosit tahap 3 merupakan tahap
perkembangan oosit tertua yang dapat terjadi secara sempurna dan responsif terhadap
induksi stimulasi hormonal. Tipe perkembangan testis patin nasutus bersifat asinkronis,
ditandai dengan keberadaan berbagai tahap perkembangan sel-sel gamet jantan.
Fekunditas relatif patin nasutus berkisar 26-67 butir telur per gram bobot induk, lebih
tinggi daripada patin jambal, tetapi lebih rendah daripada patin siam. Derajat penetasan
patin nasutus berkisar 44,16-79,05% dengan lama inkubasi 22-25 jam pada suhu
inkubasi 29-30oC. Ukuran panjang total larva yang baru menetas berkisar 4,700-5,200
mm.

KATA KUNCI: reproduksi, oosit, fekunditas relatif, Pangasius nasutus

ABSTRACT: Reproductive performances of patin nasutus (Pangasius nasutus


Bleeker, 1863) as a potential candidate for fish culture. By:
Evi Tahapari, Bambang Iswanto, and Sularto

Pangasius nasutus is one of Indonesian pangasiid catfish species and has the
potential as a new candidate for fish culture. In developing the culture potential of P.
nasutus, its reproductive biology information in relation to its reproductive capacity
has to be determined. The aim of the present study was to investigate the
characteristics of reproductive/gonadal development. The result of gonadal
development observation shows that intraovarian oocytes of P. nasutus comprises
of five stages, i.e. stage 1 (chromatin nucleolar and perinucleolar) with oocytes
diameter less than 0.125 mm, stage 2 (yolk vesicles and cortical alveolar) with

17
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30

oocytes diameter of 0.125-0.500 mm, stage 3 (yolk granules) with oocytes diameter
of 0.700-1.850 mm, stage 4 (migratory nucleus and hydrated oocytes) with oocytes
diameter of 1.250-1.900 mm and stage 5 (atretic oocytes) with oocytes diameter of
0.300-1.700 mm. The development of the oocytes was categorized as group
synchronism, marked by the dominance of two oocyte groups within the mature
ovaries, i.e. the most advanced oocytes (stage 3) which will be released during the
spawning and the immature ones which is still unyolked (stage 1) as oocytes stock for
the next spawning. Stage 3 was the most normally advanced oocytes stage which
could develope perfectly and responsive to hormonal inducement. Rythm of the
testicular development was asynchronism, characterized by the presence of male
germ cells at various stages of development. The relative fecundity varied between
26-67 eggs per gram body weight of fish, higher than that of P. djambal, but lower
than that of P. hypophthalmus. The hatching rates varied between 44.16-79.05%
with the incubation period of 22-25 hours at 29-30oC. Total length of the newly hatched
larvae was 4.700-5.200 μm.

KEYWORDS: reproductive, oocytes, relative fecundity, Pangasius nasutus

PENDAHULUAN warna dagingnya yang kuning, sehingga


nilainya sebagai komoditas ekspor relatif
Patin merupakan salah satu komoditas rendah (Lambert, 2001; Jalabert, 2008).
perikanan budidaya yang diunggulkan oleh
Patin jambal merupakan spesies patin yang
Kementerian Kelautan dan Perikanan, terutama
diminati oleh konsumen (Sadili, 1998). Patin
sebagai komoditas ekspor patin daging putih
jambal berhasil dipijahkan dengan teknik
(Nurdjana, 2006). Indonesia memiliki 14
pemijahan buatan pada tahun 1997 di Jambi,
spesies dari 28 spesies patin yang telah
dan pada tahun 1999 di Sukamandi melalui
diidentifikasi (Gustiano, 2009), dan diantara
proyek Catfish Asia (Legendre et al., 2000a).
spesies-spesies patin tersebut terdapat
Teknologi pemijahan buatan dan aspek biologi
spesies-spesies yang potensial untuk patin jambal telah telah dipublikasikan oleh
dikembangkan sebagai komoditas perikanan Slembrouck et al. (2003a; 2003b), Sudarto
budidaya, yakni patin jambal (Pangasius (1999); Legendre et al. (1998a; 2000a), dan
djambal), patin nasutus (P. nasutus) dan patin LRPTBPAT (2006). Namun demikian, patin
kunyit (P. kunyit) (Pouyaud et al., 1999; jambal berfekunditas rendah sehingga upaya
Legendre et al., 2000a; Legendre, 2008; IRD, pengembangan budidayanya untuk memenuhi
2009). Namun demikian, spesies patin yang kebutuhan ekspor patin daging putih
dibudidayakan di Indonesia hingga saat ini terkendala karena kesulitan dalam upaya
terutama hanya patin siam (Pangasianodon penyediaan benih dalam jumlah besar secara
hypophthalmus) yang merupakan spesies berkelanjutan (LRPTBPAT, 2006).
patin introduksi dan patin jambal yang telah
berhasil didomestikasikan, sedangkan patin Spesies patin daging putih Indonesia
nasutus dan patin kunyit belum menjadi lainnya yang potensial untuk dikembangkan
adalah patin nasutus. Uji coba pemijahan
komoditas perikanan budidaya (pengamatan
buatan patin nasutus telah berhasil dilakukan
pribadi).
di Sukamandi (Legendre et al., 2000a), tetapi
Budidaya patin di Indonesia dimulai sejak hingga saat ini masih dalam tahap domestikasi.
introduksi patin siam dari Thailand pada tahun Upaya pengembangan patin nasutus sebagai
1972 yang berhasil dipijahkan secara buatan komoditas baru perikanan budidaya
sejak tahun 1976 (Hardjamulia et al., 1978; memerlukan informasi-informasi biologi-
1981). Keunggulan patin siam adalah daya reproduksi berkaitan dengan kapasitas
toleransinya yang tinggi terhadap berbagai produksinya. Informasi mengenai aspek
kondisi kualitas air, fekunditasnya tinggi dan biologi-reproduksi patin nasutus belum
teknik pemijahan buatannya mudah dilakukan diketahui. Penelitian ini dilakukan dengan
serta dapat dipijahkan sepanjang tahun, tujuan untuk mendapatkan informasi keragaan
sehingga budidayanya telah meluas (Cacot, reproduksi (perkembangan gonad) patin
1998; Legendre et al., 1998b; 1998c; 2000b; nasutus dengan harapan dapat dikembangkan
Jalabert, 2008). Kekurangan patin siam adalah sebagai komoditas baru perikanan budidaya.

18
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)

BAHAN DAN METODE bedahan dimasukkan dalam botol sampel berisi


larutan fiksatif untuk keperluan identifikasi
Pengamatan Mikroskopis secara histologis.
Perkembangan Gonad
Induksi Stimulasi Hormonal
Ikan sampel yang dipergunakan pada
penelitian ini adalah koleksi patin nasutus Induksi stimulasi hormonal dilakukan
yang dipelihara di kolam percobaan Loka Riset terhadap induk betina dan jantan patin nasutus
Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan yang matang gonad. Penyuntikan untuk induk
Air Tawar (LRPTBPAT) Sukamandi. Sebanyak 14 betina dilakukan dua kali dengan selang waktu
ekor betina dan 13 ekor jantan patin nasutus penyuntikan selama 24 jam. Penyuntikan
dengan ukuran panjang standar 45,0-54,5 cm pertama dilakukan dengan hormon gonadot-
dan bobot 1,2-3,0 kg dipelihara dalam kolam ropin, yakni hCG (human chorionic gonadot-
tanah berukuran 200 m2. Pakan yang diberikan ropin) menggunakan CHORULON® (Intervet
selama pemeliharaan berupa pelet komersial International B.V., European Union) dengan
dengan kadar protein 28% sebanyak 2% bobot dosis 500 IU/kg induk. Penyuntikan kedua
induk perhari, diberikan dua kali sehari, yakni dilakukan dengan gonadotropin releasing
pada pagi dan sore hari. Pengamatan keragaan hormone analogue (GnRHa) menggunakan
reproduksi dilakukan melalui sampling setiap OVAPRIM® (Syndel Laboratories Ltd. Qualicum
bulan selama periode Desember 2009 sampai Beach, BC Canada, www.syndel.com) dengan
Februari 2010. dosis 0,6 mL/kg induk. Penyuntikan induk
jantan dilakukan satu kali bersamaan dengan
Identifikasi perkembangan ovari patin
penyuntikan kedua induk betina meng-
nasutus dilakukan melalui pengamatan oosit
gunakan OVAPRIM® 0,2 mL/kg induk.
intraovarian secara mikroskopis. Pengambilan
sampel oosit intraovarian dilakukan melalui Fertilisasi Buatan
kanulasi menggunakan kateter khusus (Pipelle
de Cornier™, Laboratoire CCD, Paris, Perancis, Pengambilan sperma dilakukan melalui
www.ccd-lab.com). Sampel hasil kanulasi pengurutan 10 jam setelah penyuntikan.
sebagian langsung diamati dengan meng- Sperma hasil pengurutan yang diperoleh
gunakan mikroskop medan terang (Nikon SE™, diencerkan dengan 0,9% NaCl fisiologis
Nikon China) yang telah dilengkapi mikrometer dengan perbandingan volume sperma dengan
(KS™, Tokyo, Jepang) dan kamera digital (Nikon volume larutan garam fisiologis sebanyak 1:5
CoolPix A2100™, Jepang), sedangkan dan disimpan pada suhu 4 o C hingga
sebagian lagi dimasukkan dalam botol sampel dipergunakan dalam proses fertilisasi.
berisi larutan fiksatif Bouin’s untuk keperluan Pengecekan dan pengurutan telur dilakukan
identifikasi secara histologis. 10-15 jam setelah penyuntikan kedua.
Karakteristik oosit intraovarian yang diamati Fertilisasi dilakukan dengan metode
antara lain adalah diameter dan tahap per- kering. Sebanyak masing-masing 0,4-0,6 g telur
kembangan oosit. Pembagian tahap per- hasil pengurutan ditempatkan dalam wadah-
kembangan oosit sampel dilakukan dengan wadah plastik bervolume 300 mL dan segera
mengacu pada hasil penelitian Hardjamulia et dicampur dengan sperma dengan cara diaduk
al. (1995) yang membagi perkembangan oosit menggunakan bulu ayam. Aktivasi proses
ikan Tor douronensis menjadi lima tahap, yakni fertilisasi dilakukan dengan menambahkan 10
tahap I (growth phase= chromatin and mL air mineral dan diaduk dengan bulu ayam
perinucleolus, tahap pertumbuhan= kromatin selama sekitar satu menit. Inkubasi dilakukan
dan perinukleolus), tahap II (yolk vesicles, secara laboratoris dengan media air mineral
vesikula kuning telur), tahap III (yolk vesicles pada suhu 29-30oC.
and yolk granules, vesikula kuning telur dan
granula kuning telur), tahap IV (yolk granules Pemeliharaan Larva
and cortical alveoli, granula kuning telur dan Larva patin nasutus hasil penetasan
alveoli korteks) dan tahap V (atretic oocytes, dipelihara dalam akuarium bervolume 40 L
oosit atresis). dengan kepadatan 20 ekor larva perliter.
Identifikasi perkembangan testis dilakukan Selama pemeliharaan, larva diberi pakan
melalui pengurutan dan pembedahan testis. berupa nauplii Artemia sp., cacing sutera (Tu-
Cairan sperma yang diperoleh diamati dengan bifex sp.) dan pakan komersial bentuk remah
mikroskop medan terang. Testis hasil pem- dengan kadar protein 40% secara ad libitum.

19
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30

HASIL DAN BAHASAN Pahang tersebut secara umum bersesuaian


dengan karakteristik histologis pada
Perkembangan Oosit dan Ovari penelitian ini. Melalui pengamatan pada
preparat histologis dapat diperoleh
Berdasarkan pengamatan dan karakterisasi
karakteristik yang lebih detail dan lengkap,
secara langsung terhadap sampel oosit
sehingga tahap perkembangan oosit
intraovarian patin nasutus hasil kanulasi dan
intraovarian yang diperoleh juga lebih banyak.
terhadap preparat histologis, maka per-
Namun demikian, hasil pengamatan preparat
kembangan oosit intraovarian patin nasutus
histologis tersebut lebih berupa informasi
pada penelitian ini dapat dibagi dalam lima
yang tidak dapat langsung diaplikasikan dalam
tahap, yakni tahap 1 (tahap kromatin nukleolar
upaya domestikasi dan budidaya (terutama
dan perinukleolar, chromatin nucleolar and
dalam kegiatan seleksi induk dan pemijahan
perinucleolar stages), tahap 2 (tahap vesikula
buatan), sehingga informasi tersebut perlu
kuning telur dan alveoli korteks, yolk vesicles
dipadukan dengan informasi karakteristik oosit
and cortical alveolar stages), tahap 3 (tahap
intraovarian hasil kanulasi yang langsung
granula kuning telur, yolk granules stage),
dapat diaplikasikan dalam kegiatan domestikasi
tahap 4 (tahap migrasi nukleus dan hidrasi,
dan budidaya. Dengan kata lain, pengamatan
migratory nucleus and hydrated stages) dan
secara langsung terhadap sampel oosit
tahap 5 (tahap atresis, atretic oocytes stage).
intraovarian hasil kanulasi merupakan
Tahap-tahap perkembangan oosit intraovarian
pengamatan yang lebih bersifat eksternal dan
patin nasutus tersebut dapat dibedakan karena
bertujuan untuk mendapatkan informasi awal
masing-masing tahap perkembangan memiliki
dari tahap perkembangan oosit intraovarian
karakteristik yang berbeda, terutama ukuran
patin nasutus. Selanjutnya, informasi tersebut
(diameter) dan penampakannya. Berbeda
perlu dibandingkan dengan hasil pengamatan
dengan hasil pada penelitian ini, Hassan (2006)
secara internal terhadap preparat histologis
membagi perkembangan oosit intraovarian
sebagai pembanding dan penegasan agar
patin nasutus di Sungai Pahang, Malaysia
hasil-hasil karakteristik tahap perkembangan
menjadi sembilan tahap berdasarkan
oosit intraovarian yang diperoleh tersebut
pengamatan secara histologis, yakni tahap
bersesuaian dan lebih akurat serta lebih de-
oogonia (oogonia stage), tahap folikel primer
tail. Setelah informasi tahap perkembangan
(primary follicles stage), tahap kromatin
oosit intraovarian patin nasutus secara akurat
nukleolar (chromatin nucleolar stage), tahap
dan detail telah diperoleh, maka dalam aplikasi
perinukleolar (perinucleolar stage), tahap
kedepannya kegiatan seleksi induk betina
alveoli korteks (cortical alveoli stage), tahap
yang akan dipergunakan dalam pemijahan
vitelogenesis awal (early vitellogenic stage),
buatan dapat dilakukan hanya melalui
tahap vitelogenesis (vitellogenesis stage),
pengamatan mikroskopis terhadap sampel
tahap vitelogenesis akhir (late vitellogenesis
oosit hasil kanulasi secara langsung.
stage) dan tahap atresis (atretic oocytes
stage). Oosit tahap 1 patin nasutus berdasarkan
pengamatan secara langsung terhadap oosit
Perbedaan pembagian tahap perkem-
intraovarian segar hasil kanulasi ditandai
bangan oosit intraovarian patin nasutus
dengan penampakan oosit yang tampak jernih
tersebut terutama dikarenakan perbedaan
seperti kaca (translucent) sampai terlihatnya
metode pengamatan yang dipergunakan.
nukleus yang tampak bergranula dan saling
Pembagian perkembangan oosit intraovarian
berlekatan satu sama lain (Gambar 1A). Oosit-
patin nasutus di Sungai Pahang dilakukan
oosit tahap 1 patin nasutus tersebut berdia-
berdasarkan pada pengamatan secara
meter kurang dari 0,125 mm. Penampakan oosit
mikroskopis terhadap preparat histologis,
tahap 1 patin nasutus tersebut serupa dengan
sedangkan pembagian perkembangan oosit
karakteristik oosit utuh (whole oocytes) tahap
intraovarian pada penelitian ini dilakukan
1 yang dilaporkan pada ikan Mugil cephalus
berdasarkan perpaduan antara pengamatan
(Kuo et al., 1974), ikan Lutjanus vittus (Davis
secara mikroskopis terhadap preparat
& West, 1993), ikan Selar crumenophthalmus
histologis dan pengamatan secara mikroskopis
(Suwarso & Sadhotomo, 1995) dan ikan
terhadap sampel oosit intraovarian segar (fresh
Hyperogliphe antartica (Baelde, 1996).
oocytes) hasil kanulasi. Namun demikian,
karakteristik histologis tahap perkembangan Berdasarkan pengamatan terhadap
oosit intraovarian patin nasutus di sungai preparat histologis pada penelitian ini, oosit

20
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)

A B C

Gambar 1. Oosit tahap 1 hasil kanulasi (A) dan secara histologis (B dan C) (skala batang = 0,1 mm)
Figure 1. Stage 1 of the intraovarian oocytes based on biopsy (A) and histological slides (B and
C) samples (bar scale = 0.1 mm)

tahap 1 patin nasutus ditandai dengan bentuk penelitian ini ditandai dengan ooplasma yang
oosit yang kurang teratur, ooplasma yang terisi vesikula-vesikula kuning telur (yolk
berwarna merah-cokelat gelap seluruhnya vesicles) berwarna merah-kebiruan seluruhnya,
dengan nukleus berukuran besar dan berisi kecuali pada bagian tepian oosit yang terisi
beberapa nukleoli yang tersebar secara acak vesikula-vesikula putih (cortical alveoli)
di dalamnya (tahap kromatin nukleolar, chro- (Gambar 2B). Diameter oosit histologis tahap 2
matin nucleolar stage) (Gambar 1B) dan patin nasutus berkisar 0,100-0,475 mm. Tahap
tersusun di perifernya (tahap perinukleolar, 2 perkembangan oosit intraovarian patin
perinucleolar stage) (Gambar 1C). Diameter nasutus tersebut merupakan awal tahap
oosit histologis tahap 1 patin nasutus tersebut pertumbuhan oosit melalui pembentukan
berdiameter kurang dari 0,100 mm. material kuning telur (vesikula kuning telur)
Karakteristik histologis patin nasutus tersebut yang disintesis secara endogen di dalam oosit
serupa dengan karakteristik oosit histologis (direview oleh Nagahama, 1983). Karakteristik
patin nasutus di Sungai Pahang (Hassan, 2006) histologis oosit tahap 2 patin nasutus tersebut
dan juga serupa dengan oosit histologis ikan serupa dengan kerakteristik histologis oosit
Mugil cephalus (Kuo et al., 1974), ikan tahap alveoli korteks patin nasutus di Sungai
Hampala macrolepidota (Abidin, 1986), ikan Pahang (Hassan, 2006) dan juga serupa dengan
Tor douronensis (Hardjamulia et al., 1995), ikan karakteristik oosit ikan Hyperogliphe antartica
Atherestes stomiass (Rickey, 1995), ikan (Baelde, 1996).
Hyperogliphe antartica (Baelde, 1996) serta
Oosit tahap 3 patin nasutus berdasarkan
ikan Pleurogrammus monopterygius
pengamatan secara langsung terhadap sampel
(McDermott & Lowe, 1997).
oosit intraovarian segar hasil kanulasi ditandai
Oosit tahap 2 patin nasutus berdasarkan dengan ooplasma yang seluruhnya buram
pengamatan secara langsung terhadap sampel sampai oosit seluruhnya tampak gelap, kecuali
oosit intraovarian segar hasil kanulasi ditandai pada bagian tepian oosit (perivitelline border)
dengan penampakan oosit yang tampak jernih dan nukleus di tengah-tengah oosit yang
bergranula seluruhnya sampai mulai tampak tampak lebih jernih (terang) (Gambar 3A).
sedikit buram (transparan, opaque) dengan Diameter oosit tahap 3 patin nasutus hasil
bagian tengahnya terlihat nukleus yang kanulasi berkisar 0,700-1,850 mm. Penampakan
tampak sebagai bulatan yang lebih gelap oosit patin nasutus tersebut serupa dengan
(Gambar 2A). Diameter oosit tahap 2 patin karakteristik oosit ikan Lutjanus vittus (Davis
nasutus hasil kanulasi berkisar 0,125-0,500 & West, 1995), ikan selar crumenophthalmus
mm. Penampakan oosit patin nasutus hasil (Suwarso & Sadhotomo, 1995), ikan
kanulasi tersebut serupa dengan karakteristik Hyperogliphe antartica (Baelde, 1996) dan
oosit ikan Lutjanus vittus (Davis & West, 1995), ikan Puntius bramoides (Iswanto, 2004).
ikan Selar crumenophthalmus (Suwarso & Berdasarkan pengamatan terhadap
Sadhotomo, 1995), ikan Hyperogliphe preparat histologis, oosit tahap 3 patin nasutus
antartica (Baelde, 1996) dan ikan Puntius ditandai dengan ooplasma yang terisi butir-
bramoides (Iswanto, 2004). butir granula kuning telur berwarna kemerah-
Oosit tahap 2 patin nasutus berdasarkan merahan mulai dari bagian tengah di sekitar
pengamatan terhadap preparat histologis pada nukleus hingga hampir ke bagian tepi

21
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30

A B

Gambar 2. Oosit tahap 2 hasil kanulasi (A) dan secara histologis (B) (skala batang=
0,1 mm)
Figure 2. Stage 2 of the intraovarian oocytes based on biopsy (A) and histological
slide (B) samples (bar scale= 0.1 mm)

ooplasma, kecuali bagian tepian oosit yang Oosit tahap 4 patin nasutus berdasarkan
masih berupa vesikula-vesikula putih (alveoli pengamatan secara langsung pada sampel
korteks) dan nukleus masih di tengah (Gambar oosit intraovarian segar hasil kanulasi ditandai
3B). Diameter oosit histologis tahap 3 patin dengan bagian tepi ooplasma yang tampak
nasutus berkisar 0,600-1,700 mm. Karakteristik mulai jernih (tahap migrasi nukleus, migratory
histologis oosit tahap 3 patin nasutus tersebut nucleus stage) sampai oosit yang seluruh
serupa dengan karakteristik histologis oosit bagiannya tampak jernih (tahap hidrasi,
patin nasutus di Sungai Pahang pada tahap hydrated oocyte stage) (Gambar 4A). Diameter
vitelogenesis awal dan tahap vitelogenesis oosit tahap 4 patin nasutus hasil kanulasi
(Hassan, 2006). Karakteristik yang diberikan berkisar 1,250-1,900 mm. Oosit tahap 4 jarang
para peneliti pada oosit tahap ini serupa, hanya terjadi pada ovari patin nasutus yang belum
istilahnya kadang-kadang berbeda, antara lain mendapatkan stimulasi hormonal untuk proses
yolk stage, yolk globule stage, vitellogenic pematangan tahap akhir atau kadang-kadang
stage. Tahap 3 perkembangan oosit dapat ditemukan dalam ovari selama periode
intraovarian patin nasutus tersebut merupakan yang bertepatan dengan musim pemijahannya,
tahap pembentukan (deposisi) material kuning tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit. Hal
telur (granula kuning telur) yang disintesis ini dikarenakan oosit tahap 3 patin nasutus
secara eksogen di hati (vitelogenesis) segera mengalami atresia jika tidak men-
(direview oleh Nagahama, 1983). dapatkan cukup stimulasi.

A B

Gambar 3. Oosit tahap 3 hasil kanulasi (A) dan secara histologis (B) (skala batang =
0,5 mm)
Figure 3. Stage 3 of the intraovarian oocytes based on biopsy (A) and histological
slide (B and C) samples (bar scale = 0.5 mm)

22
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)

A B

n
h

Gambar 4. Oosit tahap 4 hasil kanulasi (A) dan secara histologis (B) (m= tahap migrasi
nukleus, h= tahap terhidrasi, n= nukleus, skala batang= 0,5 mm)
Figure 4. Stage 4 of intraovarian oocytes based on biopsy (A) and histological slide
(B and C) samples (m= migratory nucleus stage, h= hydrated stage, n=
nucleus, bar scale= 0.5 mm)

Berdasarkan pengamatan pada preparat kompak, tampak buram, transparan sampai


histologis pada penelitian ini, oosit tahap 4 gelap bergranula (Gambar 5A dan 5B). Oosit
patin nasutus ditandai penampakan yang tahap 5 patin nasutus merupakan hasil
serupa dengan oosit tahap 3, tetapi nukleus perkembangan tahap-tahap oosit yang lain
sudah terletak di salah satu tepian oosit (tahap yang mengalami degenerasi. Oosit tahap 5
migrasi nukleus, migratory nucleus stage) patin nasutus tersebut berukuran lebih kecil
(Gambar 4B). Diameter oosit histologis tahap daripada diameter oosit pada tahap
migrasi nukleus patin nasutus berkisar 1,100- perkembangan normalnya, yakni berkisar
1,750 mm. Oosit tahap hidrasi (hydrated 0,300-1,700 mm.
oocyte stage) tidak dapat dibuat preparat Berdasarkan pengamatan pada preparat
histologisnya, karena saat diiris menjadi histologis, oosit atresis patin nasutus tampak
pecah-pecah. Karakteristik oosit histologis ditandai dengan oolema (zona radiata) yang
tahap migrasi nukelus patin nasutus tersebut tidak teratur dan pada beberapa bagian
serupa dengan karakteristik oosit patin mengalami penebalan, serta tampak butir-butir
nasutus di sungai Pahang pada tahap kuning telur tersisa sedikit di bagian tengah
vitelogenesis akhir (Hassan, 2006). oosit, sedangkan pada bagian tepian oosit
Oosit tahap 5 patin nasutus berdasarkan tampak bervakuola yang merupakan sisa-sisa
pengamatan secara langsung pada sampel penyerapan (Gambar 5C). Oosit histologis
oosit intraovarian segar hasil kanulasi ditandai tahap 5 patin nasutus berukuran lebih kecil
dengan penampakan oosit yang berbentuk dari 0,700 mm. Karakteristik oosit tahap 5 patin
tidak teratur, tidak bulat dan tampak tidak nasutus tersebut serupa dengan karakteristik

A B C

Gambar 5. Oosit tahap 5 hasil kanulasi (A dan B) dan secara histologis (C) (skala batang= 0,5 mm)
Figure 5. Stage 5 of intraovarian oocytes based on biopsy (A and B) and histological slide (C)
samples (bar scale = 0.5 mm)

23
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30

tahap atresis patin nasutus di sungai Pahang adanya sampel patin nasutus yang dalam
(Hassan, 2006) dan juga serupa dengan kondisi memijah, sedangkan pada penelitian
karakteristik oosit atresis ikan Mugil cephalus ini tidak ditemukan. Perbedaan tersebut
(Kuo et al., 1974), ikan Tor douronensis tentunya dikarenakan perbedaan lingkungan
(Hardjamulia et al., 1995) serta ikan Puntius asal sampel patin nasutus yang dipergunakan,
bramoides (Iswanto, 2004). yakni sampel patin nasutus yang diamati pada
penelitian ini berada di lingkungan budidaya
Berdasarkan komposisi tahap per-
(kolam), sehingga tidak dapat mencapai kondisi
kembangan oosit intraovariannya (Gambar 6),
matang gonad secara sempurna dan tidak
maka perkembangan ovari (TKG= tingkat
dapat memijah, berbeda dengan patin nasutus
kematangan gonad) patin nasutus dapat dibagi
di Sungai Pahang yang merupakan habitat
menjadi lima tingkat, yakni TKG I (belum
patin nasutus.
berkembang atau muda, immature), TKG II
(perkembangan, developing), TKG III Ovari tingkat I merupakan tingkat
(pematangan, maturing), TKG IV (matang, perkembangan ovari patin nasutus yang
mature) dan TKG V (salin atau regresi, spent). paling muda. Komposisi oosit intraovarian
Pembagian tingkat perkembangan ovari patin ovari tingkat I seluruhnya berupa oosit tahap
nasutus tersebut dilakukan berdasarkan 1. Ovari tingkat I selanjutnya berkembang
keberadaan tahap perkembangan oosit tertua menjadi ovari tingkat II, dengan sebagian oosit
dalam ovarinya, seperti yang dilakukan oleh tahap 1 berkembang menjadi oosit tahap
Hardjamulia et al. (1995) pada ikan Tor 2 (28,6%). Ovari tingkat II selanjutnya
douronensis. Hassan (2006) membagi berkembang menjadi ovari tingkat III, dengan
perkembangan kematangan ovari patin adanya dominasi oosit tahap 1 (43,7%) dan
nasutus di Sungai Pahang menjadi enam oosit tahap 3 (46,4%) serta sedikit oosit tahap
tingkat, yakni salin (resting), pematangan 2 (9,1%). Ovari tingkat III selanjutnya
(maturing), matang (mature), siap memijah berkembang menjadi ovari tingkat IV, dengan
(spawning), sedang memijah (running) dan oosit tertua berupa oosit tahap 4. Namun
selesai memijah (spent). Secara umum, demikian, ovari patin nasutus pada penelitian
terdapat perbedaan pembagian tingkat ini tidak pernah mencapai ovari tingkat IV
perkembangan ovari patin nasutus pada secara sempurna, terlihat dari hanya
penelitian ini dengan patin nasutus di Sungai sedikitnya komposisi oosit tahap 4 (2,3%),
Pahang. Hasil penelitian keragaan reproduksi dengan tetap adanya dominasi oosit tahap 1
patin nasutus di Sungai Pahang menunjukkan (42,6%) dan oosit tahap 3 (48,1%) serta sedikit

100
90
Komposisi (Composition) (%)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V
Oosit tahap 1 Oosit tahap 2 Oosit tahap 3
Oosit tahap 4 Oosit tahap 5

Gambar 6. Komposisi oosit intraovarian pada berbagai TKG


Figure 6. Composition of the intraovarian oocytes at various stages of
ovarian maturity

24
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)

oosit tahap 2 (4,6%). Ovari tingkat IV patin lebih tinggi, maka perlu dilakukan seleksi induk
nasutus selanjutnya berkembang menjadi betina dengan memilih induk-induk betina
ovari tingkat V, dengan adanya tingkat atresia patin nasutus yang memiliki oosit tahap 3
yang tinggi (23,1%). Namun demikian, ovari dengan diameter yang besar, setidaknya lebih
patin nasutus tingkat III dan ovari tingkat IV besar dari 1,3 mm. Diameter oosit intraovarian
yang kurang sempurna tersebut jika mendapat patin nasutus yang dapat dipergunakan dalam
induksi stimulasi hormonal dapat berkembang stimulasi hormonal dan pemijahan buatan
menjadi ovari tingkat IV secara sempurna, tersebut sedikit lebih kecil daripada patin
dengan adanya dominasi oosit tahap 4 (tahap jambal dan ikan patin P. bocourti. Induksi
terhidrasi) (Gambar 7). stimulasi hormonal dapat dilakukan terhadap
betina ikan patin P. bocourti di delta Mekong,
Hasil pengamatan perkembangan oosit
Vietnam yang memiliki diameter oosit
dan ovari patin nasutus pada penelitian ini
intraovarian lebih dari 1,6 mm dan tidak
menunjukkan bahwa oosit intraovarian tahap
berhasil dilakukan pada betina yang
3 merupakan tahap perkembangan oosit tertua
berdiameter oosit kurang dari 1,3 mm (Cacot,
yang dapat mengalami perkembangan secara
1998; Cacot et al., 2002). Demikian pula,
sempurna, sedangkan oosit tahap 4 hanya
induksi stimulasi hormonal dapat dilakukan
dapat ditemukan dalam jumlah yang sedikit
terhadap betina patin jambal di Jambi yang
dengan tingkat atresia yang cukup tinggi,
memiliki diameter oosit sama dengan atau lebih
mengindikasikan bahwa perkembangan oosit
besar dari 1,55-1,60 mm, sedangkan betina
tahap 3 menjadi oosit tahap 4 sulit terjadi
dengan oosit yang berdiameter lebih kecil
secara sempurna. Hasil tersebut juga
tidak responsif terhadap stimulasi hormonal
menunjukkan bahwa oosit tahap 3 merupakan
(Legendre et al., 1998a). Diameter oosit
oosit yang responsif terhadap induksi
intraovarian patin siam yang dapat diper-
stimulasi hormonal. Dengan demikian,
gunakan dalam proses pemijahan buatan di
pemijahan buatan patin nasutus dapat
Sukamandi (Legendre et al., 1998b) dan di
dilakukan melalui induksi stimulasi hormonal
delta Mekong (Cacot, 1998) berukuran lebih
terhadap induk betina dengan komposisi oosit
kecil, yakni lebih besar dari 1,0 mm, sedangkan
intraovarian yang didominasi oleh oosit tahap
ikan patin P. conchophilus yang dapat
3, yakni secara mikroskopis berdasarkan
dipijahkan secara buatan di delta Mekong
sampel hasil kanulasi ditandai dengan
memiliki diameter oosit intraovarian yang
penampakan oosit yang seluruhnya tampak
sedikit lebih kecil, yakni berkisar 0,96-1,04 mm
gelap dan berdiameter 0,700-1,850 mm.
(Xuan & Liem, 1998).
Namun demikian, oosit tahap 3 yang masih
berukuran kecil tentunya kurang responsif Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terhadap stimulasi hormonal, sehingga agar perkembangan oosit intraovarian patin nasutus
tingkat keberhasilan pemijahan buatan dapat bersifat sinkronis grup (group synchronism),
ditandai dengan keberadaan dominasi dua
kelompok oosit dalam ovari ikan yang siap
memijah (ovari tingkat III dan IV), yakni
kelompok oosit tertua (oosit tahap 3) yang
(seharusnya) akan segera dikeluarkan pada
saat pemijahan waktu itu dan kelompok oosit
stok yang belum berkuning telur dan
berukuran kecil (oosit tahap 1) yang
merupakan telur cadangan untuk proses
pemijahan berikutnya. Hasil penelitian Hassan
(2006) juga menunjukkan bahwa tipe
perkembangan oosit intraovarian patin nasutus
di Sungai Pahang bersifat sinkronis grup. Ovari
patin nasutus dengan oosit intraovarian yang
bersifat sinkronis grup tersebut meng-
indikasikan bahwa dalam satu musim pemijahan
Gambar 7. Ovari tingkat IV hasil stimulasi patin nasutus dapat memijah lebih dari satu
hormonal (skala batang= 0,5 mm) kali. Kepastian frekuensi pemijahan patin
Figure 7. Stage IV of hormonally induced nasutus dalam suatu musim pemijahan
ovary (bar scale= 0.5 mm) tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut

25
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30

tentang siklus reproduksi tahunannya. Hasil patin berfekunditas rendah, sedangkan


penelitian Cacot (1998) menunjukkan bahwa fekunditas patin siam sangat tinggi (LRPTBPAT,
patin siam dan ikan patin P. bocourti di delta 2006). Hasil penelitian Legendre et al. (1998b;
Mekong yang tipe perkembangan oosit 2000b) juga menunjukkan bahwa fekunditas
intraovariannya juga bersifat sinkronis grup relatif patin siam di Sukamandi sangat tinggi,
dapat memijah dua kali dalam setahun. yakni sebesar 128±60 butir telur per kilogram
bobot induk berdasarkan hasil stimulasi hor-
Fekunditas monal menggunakan hCG dan sebesar 171±73
Perkembangan oosit patin nasutus bersifat butir telur per gram bobot induk berdasarkan
sinkronis grup, sama seperti patin siam, hasil stimulasi hormonal menggunakan
sehingga patin nasutus juga potensial dan ovaprim. Fekunditas relatif patin siam hasil
prospektif dari aspek produktivitasnya. Hal ini induksi stimulasi hormonal di delta Mekong
dikarenakan pada setiap proses pemijahan, bervariasi, berkisar 5.500-297.500 butir telur
tingkat keberhasilan ovulasi dan jumlah telur perkilogram bobot induk (Cacot, 1998),
yang dihasilkan (fekunditas) tinggi, sehingga sedangkan fekunditas ikan patin P. bocourti
memungkinkan dalam proses produksi massal jauh lebih rendah, yakni berkisar 400-16.700
benihnya. Jumlah telur yang diovulasikan butir telur perkilogram bobot induk (Cacot et
(hasil pengurutan) perbobot induk betina patin al., 2002). Ikan patin P. conchophilus di delta
nasutus (fekunditas relatif) hasil induksi Mekong memiliki fekunditas relatif yang
stimulasi hormonal pada penelitian ini berkisar berkisar 25.714-32.882 butir telur per kilogram
26-67 butir telur per gram bobot induk, dengan bobot induk (Xuan & Liem, 1998).
fekunditas mutlak berkisar 39.273-145.989 Sperma
butir telur pada induk betina berbobot 1,2-3,0
kg. Fekunditas relatif patin nasutus tersebut Sperma patin nasutus hasil pengurutan
relatif lebih tinggi daripada patin jambal, tetapi pada penelitian ini menunjukkan motilitas yang
lebih rendah daripada patin siam. Pada waktu tinggi (Gambar 8A). Hasil pengamatan terhadap
dan tempat serta metode pemeliharaan yang preparat histologis testis menunjukkan bahwa
sama, induk betina patin jambal memiliki perkembangan sel gamet jantan patin nasutus
fekunditas relatif yang hanya berkisar 3-4 butir bersifat asinkronis (asynchronism), ditandai
telur per gram bobot induk, sedangkan fekun- dengan keberadaan berbagai tahap per-
ditas relatif patin siam jauh lebih tinggi, yakni kembangan sel gamet jantan, mulai sper-
mencapai 120-175 butir telur pergram bobot matogonia, spermatosit hingga spermatozoa
induk (hasil pengamatan pribadi). Fekunditas (Gambar 8B). Tipe perkembangan testis patin
relatif patin jambal yang dipergunakan dalam nasutus yang bersifat asinkronis tersebut
pemijahan buatan di Jambi sebesar 2.737 butir serupa dengan tipe perkembangan testis
telur per kilogram bobot induk (Legendre et spesies-spesies ikan yang lain (direview oleh
al., 1998a). Patin jambal merupakan spesies Mananos et al., 2009).

Gambar 8. Motilitas sperma hasil kanulasi (A) dan testis matang histologis (B)
Figure 8. Motilities of the stripped sperm (A) and histological slide of mature testis (B)

26
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)

Sperma patin nasutus hasil pengurutan 4,70-5,20 mm (Gambar 9A), sedangkan ukuran
yang sebelumnya telah mendapat stimulasi panjang total larva umur 10 hari berkisar 11,13-
hormonal menggunakan ovaprim memiliki 22,00 mm (Gambar 9B). Ukuran panjang total
kualitas yang bagus. Hal tersebut terlihat dari larva patin nasutus yang baru menetas
evaluasi (perbandingan) derajat fertilisasi, tersebut sedikit lebih besar daripada larva
penetasan dan deformitas larva patin siam, patin siam. Hardjamulia et al. (1981)
nasutus, jambal beserta hibrida-hibrida hasil menyatakan bahwa larva patin siam di
hibridisasi antara betina patin siam dengan Cibalagung, Bogor yang baru menetas rata-rata
jantan patin jambal dan jantan patin nasutus berukuran panjang total 3,01 mm. Hasil
yang menunjukkan bahwa oosit dari induk penelitian Cacot (1998) menunjukkan bahwa
betina patin siam yang sama yang difertilisasi larva patin siam di delta Mekong yang baru
dengan sperma patin nasutus menghasilkan menetas rata-rata berukuran panjang total
derajat fertilisasi dan penetasan yang lebih 2,4 mm. Islam (2005) menyatakan bahwa
tinggi dengan derajat deformitas larva yang panjang total larva patin siam di Kazan, Rusia
lebih rendah daripada derajat fertilisasi, yang baru menetas berkisar 2,98-3,10 mm.
penetasan dan deformitas larva yang di- Larva ikan patin P. gigas yang baru menetas
fertilisasi dengan sperma patin siam maupun rata-rata berukuran panjang total 3,8 mm
patin jambal, mengindikasikan bahwa kualitas (Roberts & Vidthayanon, 1991). Hasil
sperma patin nasutus relatif lebih bagus penelitian Legendre et al. (1998a)
daripada sperma patin siam maupun patin menunjukkan bahwa larva patin jambal yang
jambal (Iswanto, 2011). Hasil tersebut baru menetas rata-rata berukuran panjang
menunjukkan bahwa kualitas sperma patin total 4,7±0,2 mm. Larva ikan patin P. bocourti
nasutus bahkan lebih bagus daripada sperma yang baru menetas rata-rata berukuran panjang
patin jambal yang seringkali dinyatakan total 6-7 mm (Cacot et al., 2002). Panjang total
memiliki kualitas yang bagus (LRPTBPAT, 2006; larva ikan patin P. pangasius yang baru
Legendre et al., 2008). menetas berkisar 6,5-8,0 mm (Khan & Mollah,
Pemijahan Buatan dan Larva 2004). Perbedaan ukuran panjang total larva-
larva patin yang baru menetas tersebut
Hasil derajat penetasan larva patin nasutus tentunya berkaitan dengan ukuran diameter
pada penelitian ini berkisar 44,16-79,05% oositnya, semakin besar diameter oosit maka
dengan lama inkubasi berkisar 22-25 jam pada semakin besar pula ukuran larvanya,
suhu media inkubasi 29-30oC. Perkembangan sedangkan perbedaan ukuran diameter oosit
embrio dan perkembangan ontogeni sendiri tentunya sangat dipengaruhi oleh
morfologis larva patin nasutus telah perbedaan spesies, tempat asal (strain,
dideskripsikan (Tahapari et al., 2010; Iswanto, sejarah), kondisi (iklim, musim, kualitas air),
2011). Ukuran panjang total larva patin nasutus umur, ukuran dan suplai pakan induk yang
yang baru menetas pada penelitian ini berkisar digunakan selama proses oogenesis.

A B

Gambar 9. Larva patin nasutus yang baru menetas (A) dan umur 10 hari (B) (skala batang= 3 mm)
Figure 9. Newly hatched (A) and 10 days old (B) larvae of P. nasutus (bar scale= 3 mm)

27
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30

KESIMPULAN DAN SARAN Shelf of Australia. Fishery Bulletin, 91(2):


224-236.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Gustiano, R. 2009. Pangasiid catfishes of
patin nasutus cukup potensial dan prospektif Indonesia. Buletin Plasma Nutfah, 15(2):
dari aspek produktivitas (dalam rangka produksi 91-100.
massalnya) sebagai komoditas andalan baru
Hardjamulia, A., Atmawinata, S., & Suseno, D.
perikanan budidaya. Oleh karena itu, perlu
1978. Penelitian pembenihan ikan jambal
dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut
siam (Pangasius sutchi F). Pewarta LPPD
dalam mendukung upaya domestikasi dan
Tahun ke-1 No. 1, Agustus-Desember 1978.
pengembangan budidayanya.
Lembaga Penelitian Perikanan Darat (LPPD).
UCAPAN TERIMA KASIH Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 4 hlm.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih Hardjamulia, A., Djajadiredja, R., Atmawinata, S.,
dan penghargaan yang sebesar-besarnya & Idris, D. 1981. Pembenihan jambal siam
kepada Kamlawi, Komar, dan Oman Iskandar (Pangasius sutchi) dengan suntikan
selaku teknisi komoditas riset patin LRPTBPAT ekstrak kelenjar hipofisa ikan mas (Cyprinus
Sukamandi, atas bantuan teknisnya selama carpio). Buletin Penelitian Perikanan, I(2):
kegiatan pemeliharaan induk, sampling, 183-190.
pemijahan buatan dan pemeliharaan larva. Hardjamulia, A., Suhenda, N., & Wahyudin, E.
1995. Perkembangan oosit dan ovari ikan
DAFTAR ACUAN
semah (Tor douronensis) di sungai
Abidin, A.Z. 1986. Aspect of the biology of a selabung, Danau Ranau, Sumatera Selatan.
tropical cyprinid, Hampala macrolepidota J. Pen. Perik. Indonesia, I(3): 36-46.
(Van Hasselt), with preference to food, feed- Hassan, M.Z. 2006. Morphology and general
ing habits, and reproduction. In: J.L. reproductive stages of Pangasius nasutus
McLean and L.V. Hossilos (eds.). The First from sg. Pahang in District Maran, Pahang,
Asian Fisheries Forum. Asian Fisheries So- Malaysia. Master of Science Thesis.
ciety. Manila, p. 515-518. Universiti Putra Malaysia, 139 pp.
Baelde, P. 1996. Biology and dynamics of the IRD. 2009. Biodiversity and aquaculture of
reproduction of blue-eye trevalla, catfishes in South East Asia. Institute de
Hyperogliphe antartica (Centrolophidae), Recherce pour le Developpement (IRD),
off Tasmania, Southern Australia. Fishery France. www.ird.fr (diakses pada tanggal
Bulletin, 94(2): 199-211. 20 Nopember 2009 pukul 11.18 WIB).
Cacot, P. 1998. Description of the sexual cycle Islam, A. 2005. Embryonic and larval develop-
related to the environment and set up of ment of Thai Pangas (Pangasius sutchi
the artificial propagation in Pangasius Fowler, 1937). Development, Growth and
bocourti (Sauvage, 1880) and Pangasius Differentiation, 47: 1-6.
hypophthalmus (Sauvage, 1878) reared in Iswanto, B. 2004. Studi kematangan gonad dan
floating cages and ponds in the Mekong fekunditas ikan baderbang (Puntius
Delta. In: M. Legendre and A. Parisele (eds.). bramoides C.V.) melalui pengamatan dan
The Biological Diversity and Aquaculture pengukuran diameter oositnya. Skripsi.
of Clariid and Pangasiid Catfishes in South- Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan. Uni-
East Asia. Proceeding of The Mid-Term Work- versitas Brawijaya. Malang, 92 hlm (tidak
shop of the Catfish Asia Project, 11-15 May dipublikasikan).
1998. Cantho-Vietnam, p. 71-89. Iswanto, B. 2011. Hibridisasi antara betina
Cacot, P., Legendre, M., Dan, T.Q., Tung, L.T., patin siam (Pangasianodon
Liem, P.T., Mariojouls, C., & Lazard, J. 2002. hypophthalmus Sauvage, 1878) dengan
Induced ovulation of Pangasius bocourti jantan patin nasutus (Pangasius nasutus
(Sauvage, 1880) with a progressive hCG Bleeker, 1863) dalam upaya meningkatkan
treatment. Aquaculture, 213: 199-206. produktivitas patin daging putih. Tesis.
Davis, T.L.O. & West, G.J. 1993. Maturation, re- Program Magister Bioteknologi Perikanan
productive seasonality, fecundity, and dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
spawning frequency in Lutjanus vittus Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang.
(Quoy and Gaimard) from the North West 218 hlm. (tidak dipublikasikan).

28
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)

Jalabert, B. 2008. An overview of 30 years species for fish culture in Indonesia. Indo-
international research in some selected nesian Agricultural Research and Develop-
fields of the reproductive physiology of ment Journal, 22(1): 1-14.
fish. Cybium, 32(2): 7-13. Legendre, M., Slembrouck, J., Subagja, J., &
Khan, M.H.K. & Mollah, M.F.A. 2004. Further Kristanto, A.H. 2000b. Ovulation rate,
trials on induced breeding of Pangasius latency period and ova viability after
pangasius (Hamilton) in Bangladesh. Asian GnRH- or hCG-induced breeding in the
Fisheries Science, 17: 135-146. Asian catfish Pangasius hypophthalmus
Kuo, C.-M., Nash, C.E., & Shehadeh, Z.H. 1974. (Siluriformes, Pangasiidae). Aquatic Living
A procedural guide to induce spawning in Resources, 13: 145-151.
Grey Mullet (Mugil cephalus L.). Aquaculture, Legendre, M. 2008. Characterisation,
3: 1-14. utilisation and maintenance of biological
Lambert, D. 2001. Tonle Sap fisheries: a case diversity for the diversification and
study on floodplain gillnet fisheries in Siem sustainability of catfish culture in South-
Riep, Cambodia. RAP Publication 2001/11. East Asia. In: N. Estrella Santos and C.E.
Food and Agricultural Organization of the Nauen (eds.). Catalogue of Synopses of
United Nations. Regional Office for Asia and International S&T Cooperative (INCO)
the Pacific. Bangkok, 141 pp. Projects on Chalenges in Fisheries, Coastal
Zones, Wetlands and Aquaculture. ACP-EU
Legendre, M., Slembrouck, J., & Subagja, J.
Fisheries Resources Report,17: 206-207.
1998a. First result on growth and artificial
propagation of Pangasius djambal Legendre, M., Cosson, J., & Subagja, J. 2008.
(Siluriformes, Pangasiidae) in Indonesia. In: Sperm characteristics and motility in
M. Legendre and A. Parisele (eds.). The Bio- Pangasianodon hypophthalmus (Sauvage,
logical Diversity and Aquaculture of Clariid 1878) and Pangasius djambal Bleeker,
and Pangasiid Catfishes in South-East Asia. 1846 (Pangasiidae, Siluriformes). Cybium,
Proceeding of The Mid-Term Workshop of 32(2): 183-184.
the Catfish Asia Project, 11-15 May 1998. LRPTBPAT. 2006. Dokumen Usulan Pelepasan
Cantho-Vietnam, p. 97-102. Patin Hibrida. Loka Riset Pemuliaan dan
Legendre, M., Slembrouck, J., Subagja, J., & Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar.
Kristanto, A.H. 1998b. Effect of varying Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi
latency period on the in vivo survival of Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPTBPAT).
ova after Ovaprim- and hCG-induced ovu- Sukamandi, 14 hlm.
lation in the Asian catfish Pangasius Mananos, E., Duncan, N., & Mylonas, E. 2009.
hypophthalmus (Pangasiidae, Siluriformes). Reproduction and control of ovulation,
In: M. Legendre and A. Parisele (eds.). The spermiation and spawning in cultured fish.
Biological Diversity and Aquaculture of In: E Cabrita, V Robles and P Herraez (eds.).
Clariid and Pangasiid Catfishes in South- Methods in Reproductive Aquaculture,
East Asia. Proceeding of The Mid-Term Work- Marine and Freshwater Species. CRC Press.
shop of the Catfish Asia Project, 11-15 May Boca Raton-London-New York, p. 3-80.
1998. Cantho-Vietnam, p. 119-125. McDermott, S.F. & Lowe, S.A. 1997. The repro-
Legendre, M., Subagja, J., & Slembrouck, J. ductive cycle and sexual maturity of Atka
1998c. Absence of marked seasonal varia- Mackerel, Pleurogrammus monopterygius
tions in sexual maturity of Pangasius in Alaska Waters. Fishery Bulletin, 95(2):
hypophthalmus brooders held in 321-333.
Sukamandi Station (Java, Indonesia). In: M. Nagahama, Y. 1983. The functional morpho-
Legendre and A. Parisele (eds.). The Bio- logy of teleost gonads. In: W.S. Hoar, D.J.
logical Diversity and Aquaculture of Clariid Randall and E.M. Donaldson (eds.). Fish
and Pangasiid Catfishes in South-East Asia. Physiology, volume IX Reproduction, Part
Proceeding of The Mid-Term Workshop of A. Academic Press. New York-London-Paris-
the Catfish Asia Project, 11-15 May 1998. San Diego-Sao Paulo-Sydney-Tokyo-
Cantho-Vietnam, p. 91-96. Toronto, p. 234-275.
Legendre, M., Pouyaud, L., Slembrouck, J., Nurdjana, M.L. 2006. Indonesian aquaculture
Gustiano, R., Kristanto, A.H., Subagja, J., development. Paper in: RCA International
Komarudin, O., Sudarto, & Maskur. 2000a. Workshop on Innovative Technologies for
Pangasius djambal: a new candidate Eco-Friendly Fish Farm Management and

29
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30

Production of Safe Aquaculture Foods, Bali, ficial Propagation of the Indonesian Cat-
4-8 December 2006, 22 pp. fish, Pangasius djambal. Karya Pratama.
Pouyaud, L., Teugels, G.G., & Legendre, M. Jakarta, p. 51-71.
1999. Description of a new pangasiid Sudarto. 1999. Karakterisasi genetik dan
catfish from South-East Asia (Siluriformes). zooteknik ikan lele (Clariidae) dan patin
Cybium, 23(3): 247-258. (Pangasiidae) dari wilayah Asia Tenggara.
Rickey, M.H. 1995. Maturity, spawning, and Makalah dalam: A. Hardjamulia, K.
seasonal movement of arrowtooth floun- Sumantadinata, K. Sugama, A. Sudradjat dan
der, Atheresthes stomiass, off Washington. E.S. Heruwati (eds.). Prosiding Seminar
Fishery Bulletin, 93(1): 127-128. Hasil Penelitian Genetika Ikan, Jakarta, 8
Roberts, T.R. & Vidthayanon, C. 1991. System- Februari 1999, hlm. 26-29.
atic revision of the Asian catfish family Suwarso & Sadhotomo, B. 1995. Perkembangan
Pangasiidae, with biological observations kematangan gonad ikan selar bentong,
and description of three new species. Pro- Selar crumenopthalmus, (Carangiidae) di
ceedings of the Academy of Natural Sci- Laut Jawa. J. Pen. Perik. Indonesia, I(2): 36-
ences of Philadelphia, 143: 97-144. 48.
Sadili, D. 1998. Marketing of pangasiid Tahapari, E., Iswanto, B., Nurlaela, I., & Sularto.
catfishes in Java and Sumatera, Indonesia. 2010. Embriogenesis dan perkembangan
In: M Legendre and A Parisele (eds.). The morfologis larva patin nasutus, Pangasius
Biological Diversity and Aquaculture of nasutus Bleeker, 1863 (Pangasiidae,
Clariid and Pangasiid Catfishes in South- Siluriformes). Makalah dalam: A. Husni,
East Asia. Proceeding of The Mid-Term Work- Suadi dan I. Istiqomah (penyunting).
shop of the Catfish Asia Project, 11-15 May Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII
1998. Cantho-Vietnam, p. 21-26. Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Slembrouck, J., Subagja, J., Day, D., Firdausi, & Tahun 2010. Yogyakarta, 24 Juli 2010, 9
Legendre, M. 2003a. Artificial fertilization hlm.
and egg incubation technique. In: J. Xuan, L.N. & Liem, P.T. 1998. Preliminary results
Slembrouck, O. Komarudin, Maskur and M. on the induced spawning of two catfish
Legendre (eds.). Technical Manual for Arti- species, Pangasius conchophilus and
ficial Propagation of the Indonesian Pangasius sp1. in the Mekong Delta, Viet-
Catfish, Pangasius djambal. Karya Pratama. nam. In: M. Legendre and A. Parisele (eds.).
Jakarta, p. 73-93. The Biological Diversity and Aquaculture
Slembrouck, J., Subagja, J., Day, D., & Legendre, of Clariid and Pangasiid Catfishes in South-
M. 2003b. Induced breeding. In: J. East Asia. Proceeding of The Mid-Term Work-
Slembrouck, O. Komarudin, Maskur and M. shop of the Catfish Asia Project, 11-15 May
Legendre (eds.). Technical Manual for Arti- 1998. Cantho-Vietnam, p. 103-106.

30

Anda mungkin juga menyukai