(Evi Tahapari)
ABSTRAK
Patin nasutus merupakan salah satu spesies patin Indonesia yang potensial untuk
dikembangkan sebagai komoditas baru perikanan budidaya. Upaya pengembangan
patin nasutus memerlukan informasi-informasi biologi-reproduksi berkaitan dengan
kapasitas produksi massalnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan
reproduksi patin nasutus. Hasil pengamatan perkembangan gonad menunjukkan bahwa
oosit intraovarian patin nasutus dapat dibagi dalam lima tahap, yakni tahap 1 (kromatin
nukleolar dan perinukleolar) dengan diameter oosit kurang dari 0,125 mm, tahap 2
(vesikula kuning telur dan alveoli korteks) dengan diameter oosit 0,125-0,500 mm,
tahap 3 (granula kuning telur) dengan diameter oosit 0,700-1,850 mm, tahap 4 (migrasi
nukleus dan hidrasi) dengan diameter oosit 1,250-1,900 mm dan tahap 5 (atresis)
dengan diameter oosit 0,300-1,700 mm. Perkembangan oosit patin nasutus bersifat
sinkronis grup, ditandai dengan adanya dominasi dua kelompok oosit intraovarian
pada ikan dengan tingkat kematangan yang tertua, yakni kelompok oosit tertua (oosit
tahap 3) yang akan segera dikeluarkan pada saat pemijahan dan kelompok oosit stok
yang belum berkuning telur dan berukuran kecil (oosit tahap 1) yang merupakan telur
cadangan untuk proses pemijahan berikutnya. Oosit tahap 3 merupakan tahap
perkembangan oosit tertua yang dapat terjadi secara sempurna dan responsif terhadap
induksi stimulasi hormonal. Tipe perkembangan testis patin nasutus bersifat asinkronis,
ditandai dengan keberadaan berbagai tahap perkembangan sel-sel gamet jantan.
Fekunditas relatif patin nasutus berkisar 26-67 butir telur per gram bobot induk, lebih
tinggi daripada patin jambal, tetapi lebih rendah daripada patin siam. Derajat penetasan
patin nasutus berkisar 44,16-79,05% dengan lama inkubasi 22-25 jam pada suhu
inkubasi 29-30oC. Ukuran panjang total larva yang baru menetas berkisar 4,700-5,200
mm.
Pangasius nasutus is one of Indonesian pangasiid catfish species and has the
potential as a new candidate for fish culture. In developing the culture potential of P.
nasutus, its reproductive biology information in relation to its reproductive capacity
has to be determined. The aim of the present study was to investigate the
characteristics of reproductive/gonadal development. The result of gonadal
development observation shows that intraovarian oocytes of P. nasutus comprises
of five stages, i.e. stage 1 (chromatin nucleolar and perinucleolar) with oocytes
diameter less than 0.125 mm, stage 2 (yolk vesicles and cortical alveolar) with
17
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30
oocytes diameter of 0.125-0.500 mm, stage 3 (yolk granules) with oocytes diameter
of 0.700-1.850 mm, stage 4 (migratory nucleus and hydrated oocytes) with oocytes
diameter of 1.250-1.900 mm and stage 5 (atretic oocytes) with oocytes diameter of
0.300-1.700 mm. The development of the oocytes was categorized as group
synchronism, marked by the dominance of two oocyte groups within the mature
ovaries, i.e. the most advanced oocytes (stage 3) which will be released during the
spawning and the immature ones which is still unyolked (stage 1) as oocytes stock for
the next spawning. Stage 3 was the most normally advanced oocytes stage which
could develope perfectly and responsive to hormonal inducement. Rythm of the
testicular development was asynchronism, characterized by the presence of male
germ cells at various stages of development. The relative fecundity varied between
26-67 eggs per gram body weight of fish, higher than that of P. djambal, but lower
than that of P. hypophthalmus. The hatching rates varied between 44.16-79.05%
with the incubation period of 22-25 hours at 29-30oC. Total length of the newly hatched
larvae was 4.700-5.200 μm.
18
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)
19
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30
20
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)
A B C
Gambar 1. Oosit tahap 1 hasil kanulasi (A) dan secara histologis (B dan C) (skala batang = 0,1 mm)
Figure 1. Stage 1 of the intraovarian oocytes based on biopsy (A) and histological slides (B and
C) samples (bar scale = 0.1 mm)
tahap 1 patin nasutus ditandai dengan bentuk penelitian ini ditandai dengan ooplasma yang
oosit yang kurang teratur, ooplasma yang terisi vesikula-vesikula kuning telur (yolk
berwarna merah-cokelat gelap seluruhnya vesicles) berwarna merah-kebiruan seluruhnya,
dengan nukleus berukuran besar dan berisi kecuali pada bagian tepian oosit yang terisi
beberapa nukleoli yang tersebar secara acak vesikula-vesikula putih (cortical alveoli)
di dalamnya (tahap kromatin nukleolar, chro- (Gambar 2B). Diameter oosit histologis tahap 2
matin nucleolar stage) (Gambar 1B) dan patin nasutus berkisar 0,100-0,475 mm. Tahap
tersusun di perifernya (tahap perinukleolar, 2 perkembangan oosit intraovarian patin
perinucleolar stage) (Gambar 1C). Diameter nasutus tersebut merupakan awal tahap
oosit histologis tahap 1 patin nasutus tersebut pertumbuhan oosit melalui pembentukan
berdiameter kurang dari 0,100 mm. material kuning telur (vesikula kuning telur)
Karakteristik histologis patin nasutus tersebut yang disintesis secara endogen di dalam oosit
serupa dengan karakteristik oosit histologis (direview oleh Nagahama, 1983). Karakteristik
patin nasutus di Sungai Pahang (Hassan, 2006) histologis oosit tahap 2 patin nasutus tersebut
dan juga serupa dengan oosit histologis ikan serupa dengan kerakteristik histologis oosit
Mugil cephalus (Kuo et al., 1974), ikan tahap alveoli korteks patin nasutus di Sungai
Hampala macrolepidota (Abidin, 1986), ikan Pahang (Hassan, 2006) dan juga serupa dengan
Tor douronensis (Hardjamulia et al., 1995), ikan karakteristik oosit ikan Hyperogliphe antartica
Atherestes stomiass (Rickey, 1995), ikan (Baelde, 1996).
Hyperogliphe antartica (Baelde, 1996) serta
Oosit tahap 3 patin nasutus berdasarkan
ikan Pleurogrammus monopterygius
pengamatan secara langsung terhadap sampel
(McDermott & Lowe, 1997).
oosit intraovarian segar hasil kanulasi ditandai
Oosit tahap 2 patin nasutus berdasarkan dengan ooplasma yang seluruhnya buram
pengamatan secara langsung terhadap sampel sampai oosit seluruhnya tampak gelap, kecuali
oosit intraovarian segar hasil kanulasi ditandai pada bagian tepian oosit (perivitelline border)
dengan penampakan oosit yang tampak jernih dan nukleus di tengah-tengah oosit yang
bergranula seluruhnya sampai mulai tampak tampak lebih jernih (terang) (Gambar 3A).
sedikit buram (transparan, opaque) dengan Diameter oosit tahap 3 patin nasutus hasil
bagian tengahnya terlihat nukleus yang kanulasi berkisar 0,700-1,850 mm. Penampakan
tampak sebagai bulatan yang lebih gelap oosit patin nasutus tersebut serupa dengan
(Gambar 2A). Diameter oosit tahap 2 patin karakteristik oosit ikan Lutjanus vittus (Davis
nasutus hasil kanulasi berkisar 0,125-0,500 & West, 1995), ikan selar crumenophthalmus
mm. Penampakan oosit patin nasutus hasil (Suwarso & Sadhotomo, 1995), ikan
kanulasi tersebut serupa dengan karakteristik Hyperogliphe antartica (Baelde, 1996) dan
oosit ikan Lutjanus vittus (Davis & West, 1995), ikan Puntius bramoides (Iswanto, 2004).
ikan Selar crumenophthalmus (Suwarso & Berdasarkan pengamatan terhadap
Sadhotomo, 1995), ikan Hyperogliphe preparat histologis, oosit tahap 3 patin nasutus
antartica (Baelde, 1996) dan ikan Puntius ditandai dengan ooplasma yang terisi butir-
bramoides (Iswanto, 2004). butir granula kuning telur berwarna kemerah-
Oosit tahap 2 patin nasutus berdasarkan merahan mulai dari bagian tengah di sekitar
pengamatan terhadap preparat histologis pada nukleus hingga hampir ke bagian tepi
21
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30
A B
Gambar 2. Oosit tahap 2 hasil kanulasi (A) dan secara histologis (B) (skala batang=
0,1 mm)
Figure 2. Stage 2 of the intraovarian oocytes based on biopsy (A) and histological
slide (B) samples (bar scale= 0.1 mm)
ooplasma, kecuali bagian tepian oosit yang Oosit tahap 4 patin nasutus berdasarkan
masih berupa vesikula-vesikula putih (alveoli pengamatan secara langsung pada sampel
korteks) dan nukleus masih di tengah (Gambar oosit intraovarian segar hasil kanulasi ditandai
3B). Diameter oosit histologis tahap 3 patin dengan bagian tepi ooplasma yang tampak
nasutus berkisar 0,600-1,700 mm. Karakteristik mulai jernih (tahap migrasi nukleus, migratory
histologis oosit tahap 3 patin nasutus tersebut nucleus stage) sampai oosit yang seluruh
serupa dengan karakteristik histologis oosit bagiannya tampak jernih (tahap hidrasi,
patin nasutus di Sungai Pahang pada tahap hydrated oocyte stage) (Gambar 4A). Diameter
vitelogenesis awal dan tahap vitelogenesis oosit tahap 4 patin nasutus hasil kanulasi
(Hassan, 2006). Karakteristik yang diberikan berkisar 1,250-1,900 mm. Oosit tahap 4 jarang
para peneliti pada oosit tahap ini serupa, hanya terjadi pada ovari patin nasutus yang belum
istilahnya kadang-kadang berbeda, antara lain mendapatkan stimulasi hormonal untuk proses
yolk stage, yolk globule stage, vitellogenic pematangan tahap akhir atau kadang-kadang
stage. Tahap 3 perkembangan oosit dapat ditemukan dalam ovari selama periode
intraovarian patin nasutus tersebut merupakan yang bertepatan dengan musim pemijahannya,
tahap pembentukan (deposisi) material kuning tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit. Hal
telur (granula kuning telur) yang disintesis ini dikarenakan oosit tahap 3 patin nasutus
secara eksogen di hati (vitelogenesis) segera mengalami atresia jika tidak men-
(direview oleh Nagahama, 1983). dapatkan cukup stimulasi.
A B
Gambar 3. Oosit tahap 3 hasil kanulasi (A) dan secara histologis (B) (skala batang =
0,5 mm)
Figure 3. Stage 3 of the intraovarian oocytes based on biopsy (A) and histological
slide (B and C) samples (bar scale = 0.5 mm)
22
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)
A B
n
h
Gambar 4. Oosit tahap 4 hasil kanulasi (A) dan secara histologis (B) (m= tahap migrasi
nukleus, h= tahap terhidrasi, n= nukleus, skala batang= 0,5 mm)
Figure 4. Stage 4 of intraovarian oocytes based on biopsy (A) and histological slide
(B and C) samples (m= migratory nucleus stage, h= hydrated stage, n=
nucleus, bar scale= 0.5 mm)
A B C
Gambar 5. Oosit tahap 5 hasil kanulasi (A dan B) dan secara histologis (C) (skala batang= 0,5 mm)
Figure 5. Stage 5 of intraovarian oocytes based on biopsy (A and B) and histological slide (C)
samples (bar scale = 0.5 mm)
23
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30
tahap atresis patin nasutus di sungai Pahang adanya sampel patin nasutus yang dalam
(Hassan, 2006) dan juga serupa dengan kondisi memijah, sedangkan pada penelitian
karakteristik oosit atresis ikan Mugil cephalus ini tidak ditemukan. Perbedaan tersebut
(Kuo et al., 1974), ikan Tor douronensis tentunya dikarenakan perbedaan lingkungan
(Hardjamulia et al., 1995) serta ikan Puntius asal sampel patin nasutus yang dipergunakan,
bramoides (Iswanto, 2004). yakni sampel patin nasutus yang diamati pada
penelitian ini berada di lingkungan budidaya
Berdasarkan komposisi tahap per-
(kolam), sehingga tidak dapat mencapai kondisi
kembangan oosit intraovariannya (Gambar 6),
matang gonad secara sempurna dan tidak
maka perkembangan ovari (TKG= tingkat
dapat memijah, berbeda dengan patin nasutus
kematangan gonad) patin nasutus dapat dibagi
di Sungai Pahang yang merupakan habitat
menjadi lima tingkat, yakni TKG I (belum
patin nasutus.
berkembang atau muda, immature), TKG II
(perkembangan, developing), TKG III Ovari tingkat I merupakan tingkat
(pematangan, maturing), TKG IV (matang, perkembangan ovari patin nasutus yang
mature) dan TKG V (salin atau regresi, spent). paling muda. Komposisi oosit intraovarian
Pembagian tingkat perkembangan ovari patin ovari tingkat I seluruhnya berupa oosit tahap
nasutus tersebut dilakukan berdasarkan 1. Ovari tingkat I selanjutnya berkembang
keberadaan tahap perkembangan oosit tertua menjadi ovari tingkat II, dengan sebagian oosit
dalam ovarinya, seperti yang dilakukan oleh tahap 1 berkembang menjadi oosit tahap
Hardjamulia et al. (1995) pada ikan Tor 2 (28,6%). Ovari tingkat II selanjutnya
douronensis. Hassan (2006) membagi berkembang menjadi ovari tingkat III, dengan
perkembangan kematangan ovari patin adanya dominasi oosit tahap 1 (43,7%) dan
nasutus di Sungai Pahang menjadi enam oosit tahap 3 (46,4%) serta sedikit oosit tahap
tingkat, yakni salin (resting), pematangan 2 (9,1%). Ovari tingkat III selanjutnya
(maturing), matang (mature), siap memijah berkembang menjadi ovari tingkat IV, dengan
(spawning), sedang memijah (running) dan oosit tertua berupa oosit tahap 4. Namun
selesai memijah (spent). Secara umum, demikian, ovari patin nasutus pada penelitian
terdapat perbedaan pembagian tingkat ini tidak pernah mencapai ovari tingkat IV
perkembangan ovari patin nasutus pada secara sempurna, terlihat dari hanya
penelitian ini dengan patin nasutus di Sungai sedikitnya komposisi oosit tahap 4 (2,3%),
Pahang. Hasil penelitian keragaan reproduksi dengan tetap adanya dominasi oosit tahap 1
patin nasutus di Sungai Pahang menunjukkan (42,6%) dan oosit tahap 3 (48,1%) serta sedikit
100
90
Komposisi (Composition) (%)
80
70
60
50
40
30
20
10
0
TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V
Oosit tahap 1 Oosit tahap 2 Oosit tahap 3
Oosit tahap 4 Oosit tahap 5
24
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)
oosit tahap 2 (4,6%). Ovari tingkat IV patin lebih tinggi, maka perlu dilakukan seleksi induk
nasutus selanjutnya berkembang menjadi betina dengan memilih induk-induk betina
ovari tingkat V, dengan adanya tingkat atresia patin nasutus yang memiliki oosit tahap 3
yang tinggi (23,1%). Namun demikian, ovari dengan diameter yang besar, setidaknya lebih
patin nasutus tingkat III dan ovari tingkat IV besar dari 1,3 mm. Diameter oosit intraovarian
yang kurang sempurna tersebut jika mendapat patin nasutus yang dapat dipergunakan dalam
induksi stimulasi hormonal dapat berkembang stimulasi hormonal dan pemijahan buatan
menjadi ovari tingkat IV secara sempurna, tersebut sedikit lebih kecil daripada patin
dengan adanya dominasi oosit tahap 4 (tahap jambal dan ikan patin P. bocourti. Induksi
terhidrasi) (Gambar 7). stimulasi hormonal dapat dilakukan terhadap
betina ikan patin P. bocourti di delta Mekong,
Hasil pengamatan perkembangan oosit
Vietnam yang memiliki diameter oosit
dan ovari patin nasutus pada penelitian ini
intraovarian lebih dari 1,6 mm dan tidak
menunjukkan bahwa oosit intraovarian tahap
berhasil dilakukan pada betina yang
3 merupakan tahap perkembangan oosit tertua
berdiameter oosit kurang dari 1,3 mm (Cacot,
yang dapat mengalami perkembangan secara
1998; Cacot et al., 2002). Demikian pula,
sempurna, sedangkan oosit tahap 4 hanya
induksi stimulasi hormonal dapat dilakukan
dapat ditemukan dalam jumlah yang sedikit
terhadap betina patin jambal di Jambi yang
dengan tingkat atresia yang cukup tinggi,
memiliki diameter oosit sama dengan atau lebih
mengindikasikan bahwa perkembangan oosit
besar dari 1,55-1,60 mm, sedangkan betina
tahap 3 menjadi oosit tahap 4 sulit terjadi
dengan oosit yang berdiameter lebih kecil
secara sempurna. Hasil tersebut juga
tidak responsif terhadap stimulasi hormonal
menunjukkan bahwa oosit tahap 3 merupakan
(Legendre et al., 1998a). Diameter oosit
oosit yang responsif terhadap induksi
intraovarian patin siam yang dapat diper-
stimulasi hormonal. Dengan demikian,
gunakan dalam proses pemijahan buatan di
pemijahan buatan patin nasutus dapat
Sukamandi (Legendre et al., 1998b) dan di
dilakukan melalui induksi stimulasi hormonal
delta Mekong (Cacot, 1998) berukuran lebih
terhadap induk betina dengan komposisi oosit
kecil, yakni lebih besar dari 1,0 mm, sedangkan
intraovarian yang didominasi oleh oosit tahap
ikan patin P. conchophilus yang dapat
3, yakni secara mikroskopis berdasarkan
dipijahkan secara buatan di delta Mekong
sampel hasil kanulasi ditandai dengan
memiliki diameter oosit intraovarian yang
penampakan oosit yang seluruhnya tampak
sedikit lebih kecil, yakni berkisar 0,96-1,04 mm
gelap dan berdiameter 0,700-1,850 mm.
(Xuan & Liem, 1998).
Namun demikian, oosit tahap 3 yang masih
berukuran kecil tentunya kurang responsif Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terhadap stimulasi hormonal, sehingga agar perkembangan oosit intraovarian patin nasutus
tingkat keberhasilan pemijahan buatan dapat bersifat sinkronis grup (group synchronism),
ditandai dengan keberadaan dominasi dua
kelompok oosit dalam ovari ikan yang siap
memijah (ovari tingkat III dan IV), yakni
kelompok oosit tertua (oosit tahap 3) yang
(seharusnya) akan segera dikeluarkan pada
saat pemijahan waktu itu dan kelompok oosit
stok yang belum berkuning telur dan
berukuran kecil (oosit tahap 1) yang
merupakan telur cadangan untuk proses
pemijahan berikutnya. Hasil penelitian Hassan
(2006) juga menunjukkan bahwa tipe
perkembangan oosit intraovarian patin nasutus
di Sungai Pahang bersifat sinkronis grup. Ovari
patin nasutus dengan oosit intraovarian yang
bersifat sinkronis grup tersebut meng-
indikasikan bahwa dalam satu musim pemijahan
Gambar 7. Ovari tingkat IV hasil stimulasi patin nasutus dapat memijah lebih dari satu
hormonal (skala batang= 0,5 mm) kali. Kepastian frekuensi pemijahan patin
Figure 7. Stage IV of hormonally induced nasutus dalam suatu musim pemijahan
ovary (bar scale= 0.5 mm) tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut
25
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30
Gambar 8. Motilitas sperma hasil kanulasi (A) dan testis matang histologis (B)
Figure 8. Motilities of the stripped sperm (A) and histological slide of mature testis (B)
26
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)
Sperma patin nasutus hasil pengurutan 4,70-5,20 mm (Gambar 9A), sedangkan ukuran
yang sebelumnya telah mendapat stimulasi panjang total larva umur 10 hari berkisar 11,13-
hormonal menggunakan ovaprim memiliki 22,00 mm (Gambar 9B). Ukuran panjang total
kualitas yang bagus. Hal tersebut terlihat dari larva patin nasutus yang baru menetas
evaluasi (perbandingan) derajat fertilisasi, tersebut sedikit lebih besar daripada larva
penetasan dan deformitas larva patin siam, patin siam. Hardjamulia et al. (1981)
nasutus, jambal beserta hibrida-hibrida hasil menyatakan bahwa larva patin siam di
hibridisasi antara betina patin siam dengan Cibalagung, Bogor yang baru menetas rata-rata
jantan patin jambal dan jantan patin nasutus berukuran panjang total 3,01 mm. Hasil
yang menunjukkan bahwa oosit dari induk penelitian Cacot (1998) menunjukkan bahwa
betina patin siam yang sama yang difertilisasi larva patin siam di delta Mekong yang baru
dengan sperma patin nasutus menghasilkan menetas rata-rata berukuran panjang total
derajat fertilisasi dan penetasan yang lebih 2,4 mm. Islam (2005) menyatakan bahwa
tinggi dengan derajat deformitas larva yang panjang total larva patin siam di Kazan, Rusia
lebih rendah daripada derajat fertilisasi, yang baru menetas berkisar 2,98-3,10 mm.
penetasan dan deformitas larva yang di- Larva ikan patin P. gigas yang baru menetas
fertilisasi dengan sperma patin siam maupun rata-rata berukuran panjang total 3,8 mm
patin jambal, mengindikasikan bahwa kualitas (Roberts & Vidthayanon, 1991). Hasil
sperma patin nasutus relatif lebih bagus penelitian Legendre et al. (1998a)
daripada sperma patin siam maupun patin menunjukkan bahwa larva patin jambal yang
jambal (Iswanto, 2011). Hasil tersebut baru menetas rata-rata berukuran panjang
menunjukkan bahwa kualitas sperma patin total 4,7±0,2 mm. Larva ikan patin P. bocourti
nasutus bahkan lebih bagus daripada sperma yang baru menetas rata-rata berukuran panjang
patin jambal yang seringkali dinyatakan total 6-7 mm (Cacot et al., 2002). Panjang total
memiliki kualitas yang bagus (LRPTBPAT, 2006; larva ikan patin P. pangasius yang baru
Legendre et al., 2008). menetas berkisar 6,5-8,0 mm (Khan & Mollah,
Pemijahan Buatan dan Larva 2004). Perbedaan ukuran panjang total larva-
larva patin yang baru menetas tersebut
Hasil derajat penetasan larva patin nasutus tentunya berkaitan dengan ukuran diameter
pada penelitian ini berkisar 44,16-79,05% oositnya, semakin besar diameter oosit maka
dengan lama inkubasi berkisar 22-25 jam pada semakin besar pula ukuran larvanya,
suhu media inkubasi 29-30oC. Perkembangan sedangkan perbedaan ukuran diameter oosit
embrio dan perkembangan ontogeni sendiri tentunya sangat dipengaruhi oleh
morfologis larva patin nasutus telah perbedaan spesies, tempat asal (strain,
dideskripsikan (Tahapari et al., 2010; Iswanto, sejarah), kondisi (iklim, musim, kualitas air),
2011). Ukuran panjang total larva patin nasutus umur, ukuran dan suplai pakan induk yang
yang baru menetas pada penelitian ini berkisar digunakan selama proses oogenesis.
A B
Gambar 9. Larva patin nasutus yang baru menetas (A) dan umur 10 hari (B) (skala batang= 3 mm)
Figure 9. Newly hatched (A) and 10 days old (B) larvae of P. nasutus (bar scale= 3 mm)
27
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30
28
Keragaan reproduksi ikan patin nasutus sebagai ..... (Evi Tahapari)
Jalabert, B. 2008. An overview of 30 years species for fish culture in Indonesia. Indo-
international research in some selected nesian Agricultural Research and Develop-
fields of the reproductive physiology of ment Journal, 22(1): 1-14.
fish. Cybium, 32(2): 7-13. Legendre, M., Slembrouck, J., Subagja, J., &
Khan, M.H.K. & Mollah, M.F.A. 2004. Further Kristanto, A.H. 2000b. Ovulation rate,
trials on induced breeding of Pangasius latency period and ova viability after
pangasius (Hamilton) in Bangladesh. Asian GnRH- or hCG-induced breeding in the
Fisheries Science, 17: 135-146. Asian catfish Pangasius hypophthalmus
Kuo, C.-M., Nash, C.E., & Shehadeh, Z.H. 1974. (Siluriformes, Pangasiidae). Aquatic Living
A procedural guide to induce spawning in Resources, 13: 145-151.
Grey Mullet (Mugil cephalus L.). Aquaculture, Legendre, M. 2008. Characterisation,
3: 1-14. utilisation and maintenance of biological
Lambert, D. 2001. Tonle Sap fisheries: a case diversity for the diversification and
study on floodplain gillnet fisheries in Siem sustainability of catfish culture in South-
Riep, Cambodia. RAP Publication 2001/11. East Asia. In: N. Estrella Santos and C.E.
Food and Agricultural Organization of the Nauen (eds.). Catalogue of Synopses of
United Nations. Regional Office for Asia and International S&T Cooperative (INCO)
the Pacific. Bangkok, 141 pp. Projects on Chalenges in Fisheries, Coastal
Zones, Wetlands and Aquaculture. ACP-EU
Legendre, M., Slembrouck, J., & Subagja, J.
Fisheries Resources Report,17: 206-207.
1998a. First result on growth and artificial
propagation of Pangasius djambal Legendre, M., Cosson, J., & Subagja, J. 2008.
(Siluriformes, Pangasiidae) in Indonesia. In: Sperm characteristics and motility in
M. Legendre and A. Parisele (eds.). The Bio- Pangasianodon hypophthalmus (Sauvage,
logical Diversity and Aquaculture of Clariid 1878) and Pangasius djambal Bleeker,
and Pangasiid Catfishes in South-East Asia. 1846 (Pangasiidae, Siluriformes). Cybium,
Proceeding of The Mid-Term Workshop of 32(2): 183-184.
the Catfish Asia Project, 11-15 May 1998. LRPTBPAT. 2006. Dokumen Usulan Pelepasan
Cantho-Vietnam, p. 97-102. Patin Hibrida. Loka Riset Pemuliaan dan
Legendre, M., Slembrouck, J., Subagja, J., & Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar.
Kristanto, A.H. 1998b. Effect of varying Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi
latency period on the in vivo survival of Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPTBPAT).
ova after Ovaprim- and hCG-induced ovu- Sukamandi, 14 hlm.
lation in the Asian catfish Pangasius Mananos, E., Duncan, N., & Mylonas, E. 2009.
hypophthalmus (Pangasiidae, Siluriformes). Reproduction and control of ovulation,
In: M. Legendre and A. Parisele (eds.). The spermiation and spawning in cultured fish.
Biological Diversity and Aquaculture of In: E Cabrita, V Robles and P Herraez (eds.).
Clariid and Pangasiid Catfishes in South- Methods in Reproductive Aquaculture,
East Asia. Proceeding of The Mid-Term Work- Marine and Freshwater Species. CRC Press.
shop of the Catfish Asia Project, 11-15 May Boca Raton-London-New York, p. 3-80.
1998. Cantho-Vietnam, p. 119-125. McDermott, S.F. & Lowe, S.A. 1997. The repro-
Legendre, M., Subagja, J., & Slembrouck, J. ductive cycle and sexual maturity of Atka
1998c. Absence of marked seasonal varia- Mackerel, Pleurogrammus monopterygius
tions in sexual maturity of Pangasius in Alaska Waters. Fishery Bulletin, 95(2):
hypophthalmus brooders held in 321-333.
Sukamandi Station (Java, Indonesia). In: M. Nagahama, Y. 1983. The functional morpho-
Legendre and A. Parisele (eds.). The Bio- logy of teleost gonads. In: W.S. Hoar, D.J.
logical Diversity and Aquaculture of Clariid Randall and E.M. Donaldson (eds.). Fish
and Pangasiid Catfishes in South-East Asia. Physiology, volume IX Reproduction, Part
Proceeding of The Mid-Term Workshop of A. Academic Press. New York-London-Paris-
the Catfish Asia Project, 11-15 May 1998. San Diego-Sao Paulo-Sydney-Tokyo-
Cantho-Vietnam, p. 91-96. Toronto, p. 234-275.
Legendre, M., Pouyaud, L., Slembrouck, J., Nurdjana, M.L. 2006. Indonesian aquaculture
Gustiano, R., Kristanto, A.H., Subagja, J., development. Paper in: RCA International
Komarudin, O., Sudarto, & Maskur. 2000a. Workshop on Innovative Technologies for
Pangasius djambal: a new candidate Eco-Friendly Fish Farm Management and
29
J. Ris. Akuakultur Vol.6 No.1 Tahun 2011: 17-30
Production of Safe Aquaculture Foods, Bali, ficial Propagation of the Indonesian Cat-
4-8 December 2006, 22 pp. fish, Pangasius djambal. Karya Pratama.
Pouyaud, L., Teugels, G.G., & Legendre, M. Jakarta, p. 51-71.
1999. Description of a new pangasiid Sudarto. 1999. Karakterisasi genetik dan
catfish from South-East Asia (Siluriformes). zooteknik ikan lele (Clariidae) dan patin
Cybium, 23(3): 247-258. (Pangasiidae) dari wilayah Asia Tenggara.
Rickey, M.H. 1995. Maturity, spawning, and Makalah dalam: A. Hardjamulia, K.
seasonal movement of arrowtooth floun- Sumantadinata, K. Sugama, A. Sudradjat dan
der, Atheresthes stomiass, off Washington. E.S. Heruwati (eds.). Prosiding Seminar
Fishery Bulletin, 93(1): 127-128. Hasil Penelitian Genetika Ikan, Jakarta, 8
Roberts, T.R. & Vidthayanon, C. 1991. System- Februari 1999, hlm. 26-29.
atic revision of the Asian catfish family Suwarso & Sadhotomo, B. 1995. Perkembangan
Pangasiidae, with biological observations kematangan gonad ikan selar bentong,
and description of three new species. Pro- Selar crumenopthalmus, (Carangiidae) di
ceedings of the Academy of Natural Sci- Laut Jawa. J. Pen. Perik. Indonesia, I(2): 36-
ences of Philadelphia, 143: 97-144. 48.
Sadili, D. 1998. Marketing of pangasiid Tahapari, E., Iswanto, B., Nurlaela, I., & Sularto.
catfishes in Java and Sumatera, Indonesia. 2010. Embriogenesis dan perkembangan
In: M Legendre and A Parisele (eds.). The morfologis larva patin nasutus, Pangasius
Biological Diversity and Aquaculture of nasutus Bleeker, 1863 (Pangasiidae,
Clariid and Pangasiid Catfishes in South- Siluriformes). Makalah dalam: A. Husni,
East Asia. Proceeding of The Mid-Term Work- Suadi dan I. Istiqomah (penyunting).
shop of the Catfish Asia Project, 11-15 May Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII
1998. Cantho-Vietnam, p. 21-26. Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Slembrouck, J., Subagja, J., Day, D., Firdausi, & Tahun 2010. Yogyakarta, 24 Juli 2010, 9
Legendre, M. 2003a. Artificial fertilization hlm.
and egg incubation technique. In: J. Xuan, L.N. & Liem, P.T. 1998. Preliminary results
Slembrouck, O. Komarudin, Maskur and M. on the induced spawning of two catfish
Legendre (eds.). Technical Manual for Arti- species, Pangasius conchophilus and
ficial Propagation of the Indonesian Pangasius sp1. in the Mekong Delta, Viet-
Catfish, Pangasius djambal. Karya Pratama. nam. In: M. Legendre and A. Parisele (eds.).
Jakarta, p. 73-93. The Biological Diversity and Aquaculture
Slembrouck, J., Subagja, J., Day, D., & Legendre, of Clariid and Pangasiid Catfishes in South-
M. 2003b. Induced breeding. In: J. East Asia. Proceeding of The Mid-Term Work-
Slembrouck, O. Komarudin, Maskur and M. shop of the Catfish Asia Project, 11-15 May
Legendre (eds.). Technical Manual for Arti- 1998. Cantho-Vietnam, p. 103-106.
30