Disusun Oleh:
1.1 . Pendahuluan
Ikan patin (Pangasius sp.) adalah salah satu ikan asli perairan Indonesia yang telah
berhasil didomestikasi. Jenis–jenis ikan patin di Indonesia sangat banyak, antara lain
Pangasius pangasius atau Pangasius jambal, Pangasius humeralis, Pangasius
lithostoma, Pangasius nasutus, pangasius polyuranodon, Pangasius niewenhuisii.
Sedangkan Pangasius sutchi dan Pangasius hypophtalmus yang dikenal sebagai jambal
siam atau lele bangkok merupakan ikan introduksi dari Thailand (Kordi, 2005). Tercatat
pada tahun 2011, produksi ikan patin di Indonesia mencapai 229.267 ton dengan
kontribusi 16,11% dari produksi patin dunia (FAO, 2013).
Ikan patin (Pangasius pangasius) merupakan ikan konsumsi yang terus berkembang.
Berdasarkan data Ditjen Perikanan Budi Daya Tangkap, Kementrian Kelautan dan
Perikanan (KKP) kebutuhan benih ikan patin secara nasional mencapai 55 juta ekor per
bulannya (Khairuman dan Sudenda, 2002). Pemenuhan permintaan benih dalam jumlah
besar dan berkelanjutan masih menjadi kendala utama dalam proses produksi ikan patin
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Usaha dan peningkatan produksi benih
ikan patin baik jumlah dan kualitasnya perlu dijaga terus-menerus, mengingat pemijahan
ikan patin yang sering digunakan hanya dengan mengandalkan bantuan hipofisa
(Saparinto, 2010).
Di era modern ini, teknologi sudah berkembang sangat pesat. Kemajuan teknologi
yang ada di bidang sains dan medis sangat membantu dalam menyelesaikan banyak
persoalan yang kompleks, salah satunya Inseminasi Buatan (IB) yang dapat dilakukan
dengan adanya penyimpanan spermatozoa. Inseminasi buatan (IB) adalah penempatan
semen pada saluran reproduksi secara buatan. Semen yang ditempatkan dapat berupa
semen beku maupun semen segar (Inounu, 2014).
Pemijahan ikan dapat dilakukan secara alami dan buatan. Dalam pemijahan buatan
dapat dilakukan dengan pengambilan semen jantan dan betina, tahap ini dilakukan dalam
tempat khusus dan juga dengan teknik tertentu. Proses pengenceran dapat dilaksanakn
setelah media ringer dengan tambahan kuning telur. Motilitas dan viabilitas sperma
merupakan parameter yang penting untuk keberhasilan proses fertilisasi. Motilitas sperma
menggambarkan kemampuan spermatozoa untuk membuahi sel telur, Semakin tinggi
nilai motilitas maka semakin tinggi pula persentase hidup (viabilitas) spermatozoa
tersebut (Cabrita, Robles, & Herraez, 2008).
Salah satu pengencer yang banyak digunakan adalah pengencer dasar ringer. Ringer
merupakan larutan yang mengandung asam sitrat dan fruktosa yang berperan sebagai
penyangga (buffer), untuk mencegah perubahan pH akibat asam laktat dari hasil
metabolisme spermatozoa serta mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan
elektrolit, sumber energi dan melindungi spermatozoa dari kejut dingin (cold shock).
Selain itu, ringer mempunyai kemampuan dalam memberikan motilitas spermatozoa yang
lebih tinggi karena tris lebih banyak mengandung zat – zat makanan, antara lain fruktosa,
asam sitrat yang dapat dipanaskan sebagai buffer dan meningkatkan aktifitas spermatozoa
(Karyadi, 1997).
Penyimpanan sperma bertujuan dalam mengoptimalkan jangka waktu penggunaan
spermatozoa induk jantan yang unggul untuk membuahi sel telur betina yang sejenis
secara buatan. Selain itu untuk memudahkan persilangan antara jenis-jenis ikan yang
waktu matang gonad yang berbeda serta untuk memudahkan transportasi penyebaran
semen ke daerah yang membutuhkan (Fujaya, 2002). Kualitas spermatozoa untuk IB
sangat ditentukan oleh jenis bahan pengencernya. Oleh karena itu, sperma perlu dicampur
dengan larutan pengencer yang menjamin kebutuhan fisik dan kimiawinya serta disimpan
pada suhu dan kondisi tertentu yang mempertahankan kehidupan spermatozoa selama
waktu yang diinginkan untuk kemudian dipakai sesuai kebutuhan (Agustian, 2014).
Teknologi penyimpanan semen dibedakan menjadi dua yaitu penyimpanan sperma
dalam bentuk cair dan beku (Hardijanto dkk., 2010). Namun seiring dengan
berkembangnya teknologi penyimpanan semen yang paling banyak diminati adalah
penyimpanan dalam bentuk cair dimana teknologi ini menggunakan metode penyimpanan
semen pada suhu rendah. Teknologi ini memiliki kelebihan diantaranya pembuatannya
lebih mudah, bahan pengencer murah, motilitas spermatozoa lebih tinggi, dapat disimpan
dalam refrigerator dengan suhu 50 C, namun teknologi penyimpanan ini memiliki
kekurangan yaitu lama penyimpanan hanya 10 hari (Zul, 2007).
Semen yang tidak diencerkan dan dibiarkan pada suhu 28-34 ° C hanya bertahan
selama dua jam tetapi apabila disimpan pada suhu 37-38 °C dapat bertahan tiga jam. Oleh
karena itu diperlukan teknologi penyimpanan reager kuning telur untuk menyimpan
spermatozoa dalam kurun waktu lebih lama sehingga dapat memenuhi berbagai
kebutuhan akan spermatozoa terutama dalam bidang perikanan (Susanto, 2008).
Proses fertilisasi antara spermatozoa dan ovum belum tentu dapat berjalan dengan
baik. Spermatozoa yang baik merupakan salah satu faktor dari fertilitas jantan.
Rendahnya pembuahan oleh spermatozoa dalam fertilisasi disebabkan oleh aktivitas
spermatozoa yang relatif singkat (Nurman, 1998). Hal tersebut disebabkan oleh
rendahnya viabilitas dan motilitas dari spermatozoa, selain itu kelangsungan hidup
spermatozoa di luar tubuh umumnya singkat. Motilitas dan viabilitas sperma merupakan
parameter yang penting untuk keberhasilan proses fertilisasi (Junior, 2005). Penggunaan
ringer dalam pengencer kuning telur ini diharapkan mampu melindungi spermatozoa ikan
patin dari kematian selama proses pembekuan sehingga spermatozoa dapat digunakan
dalam proses fertilisasi buatan, sehingga dilakukan pengamatan mengenai teknik
penyimpanan spermatozoa ikan patin pada pengencer ringer dengan suplemen kuning
telur.
1.3 . Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari praktikum ialah :
1. Untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi kuning telur dalam pengencer riger
terhadap kualitas spermatozoa ikan patin.
2. Untuk mengetahui konsentrasi kuning telur yang paling optimal untuk pengencer
spermatozoa ikan patin.
1.4. Manfaat
Ukuran dan bentuk spermatozoa pada berbagai jenis hewan berbeda, namun
memiliki struktur morfologi yang sama. Panjang dan lebar kepala kira-kira 0.8 sampai 10
mikron kali 4.0 sampai 4.5 mikron pada spermatozoa sapi, domba dan babi, dan 7.0
mikron kali 2.7 sampai 4.0 mikron pada spermatozoa kuda. Tebal kepala lebih kurang 0.5
sampai 1.5 mikron atau kurang pada semua spesies. Badan dan bagian tengah
spermatozoa mempunyai panjang satu setengah sampai dua kali panjang kepala, 10.0
sampai 15.0 mikron, dan diameter sekitar 1.0 mikron pada semua spesies. Ekor
spermatozoa 35.0 sampai 45.0 mikron panjang dan 0.4 sampai 0.8 mikron diameter.
Panjang keseluruhan spermatozoa pada hewan peliharaan mencapai 50 sampai 70 mikron
(Feradis, 2010).
Permukaan spermatozoa dibungkus oleh suatu membran lipoprotein. Apabila sel
tersebut mati, permeabilitas membrannya meninggi, terutama di daerah pangkal kepala,
dan hal ini merupakan dasar pewarnaan semen yang membedakan spermatozoa hidup dan
yang mati. Zat warna yang umum dipakai adalah eosin atau merah kongo terhadap latar
belakang hitam dari negrosin. Spermatozoa yang hidup tidak akan menyerap warna
sehingga akan berwarna merah (Feradis, 2010).
Menurut Utiah (2000), kepadatan sperma pada ikan patin mengalami fluktuasi
dengan kepadatan yang tertinggi pada bula Juli (3,7×109 sel/ ml) dan terendah diperoleh
pada awal bulan Juni dengan rata-rata kepadatan sperma 1,4×109 sel/ ml. Volume sperma
terus mengalami peningkatan sejak bulan Juni dan mencapai puncak tertinggi pada bulan
November, selanjutnya mengalami penurunan sampai bulan Januari. Bulan Februari
volume sperma mengalami peningkatan tetapi pada bulan berikutnya mengalami
penurunan kembali.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sperma antara lain adalah
nutrisi, musim, temperature, frekuensi pemakaian jantan dan hereditas. Banyaknya
sperma yang dikeluarkan dari satu induk jantan tergantung pada umur, ukuran dan
frekuensi pengeluaran sperma (Kazakov, 1981).
Kualitas sperma dapat dievaluasi dari presentase dan intensitas motilitas,
kemampuan untuk membuahi telur (fertility), daya tahan dan integritas morfologi
spermatozoa dan viabilitas larva yang dihasilkan (Tang dan Affandi, 2000). Motilitas
sperma berperan dalam memindahkan sperma melalui saluran reproduksi hewan betina.
Motilitas juga berfungsi sebagai faktor penembus kepala sperma ke dalam ovum.
Ginzburg (1972) menambahkan bahwa pergerakan sperma saja tidak cukup menjamin
terjadinya pembuahan, spermatozoa tersebut harus mampu bergerak maju dan melakukan
penetrasi terhadap mikrofil.
Pengambilan sperma ikan patin dilakukan dengan cara stripping. Proses stripping
dilakukan dengan cara mengurut secara perlahan pada daerah perut persis di depan papila
alat kelamin sampai keluar cairan semen ikan yang berwarna putih dan kemudian
ditampung dalam wadah (Slembrouck, 2005).
2.5. Konsentrasi
Konsentrasi spermatozoa sangat penting karena untuk dapat mengetahui berapa
besar pengencer yang digunakan (Susilawati, 2011). Menurut Feradis (2010) metode
penghitungan konsentrasi spermatozoa salah satunya dapat dilakukan dengan
menggunakan spectrofotometer atau hemocytometer. Prosedur menghitung spermatozoa
menggunakan hemocytometer adalah: semen dihisap dengan pipet eritrosit hingga tanda
0,5, kemudian hisap larutan NaCl 3% hingga mencapai tanda 101 (yang berarti semen
diencerkan 200x). Pipet eritrosit digoyang-goyang membentuk angka delapan agar semen
tercampur homogen dengan larutan NaCl 3%. Buang campuran tersebut beberapa tetes
dan digoyang lagi, kemudian tempatkan satu tetes pada kamar hitung Neubauer yang
ditutup dengan gelas penutup. Hitung spermatozoa yang terdapat di dalam lima kotak
pada posisi diagonal. Karena setiap kamar memiliki 16 kamar kecil, maka di dalam 5
kamar terdapat 80 ruangan kecil. Seluruh gelas hemocytometer memiliki 400 ruangan
kecil dengan volume setiap ruangan kecil adalah 0,1 mm3 dan pengenceran 200x serta
jika di dalam 5 kamar atau 80 ruangan kecil terdapat N spermatozoa, maka konsentrasi
spermatozoa semen yang dievaluasi adalah N x 0,01 juta spermatozoa per mm 3 atau N x
10 juta spermatozoa per milimeter semen (Rizal dan Herdis, 2008).
2.6. Ringer
Beberapa bahan pengencer yang umum digunakan dalam pengencer semen adalah
kuning telur, susu, air kelapa. Bahan pengencer lain yang berpotensi dimanfaatkan untuk
dapat mempertahankan kualitas spermatozoa adalah pengencer NaCl Fisiologis, Ringer
Laktat dan Ringer Dextrose. Ketiga larutan tersebut dapat digunakan sebagai pengencer
semen sebab komposisi kimianya relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen.
Larutan pengencer semen yang memiliki komposisi kimia lebih lengkap akan
memberikan fungsi yang baik bagi spermatozoa yang diencerkan, subtrat-subtrat nutrisi
diperlukan spermatozoa untuk mempertahankan hidupnya, terutama bagi spermatozoa
yang disimpan terlebih dahulu sebelum diinseminasikan (Ridwan, 2008).
Ringer Laktat dan Ringer Dextrose tersusun atas bahan-bahan anorganik serta
memiliki komposisi kimia yang relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen.
Larutan Ringer Laktat dan Ringer Dextrose memungkinkan untuk mempertahankan
abnormalitas spermatozoa. Larutan Ringer Laktat mengandung senyawa Na-Laktat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ion sodium bikarbonat yang berfungsi untuk
mempertahankan keasaman larutan/ penyanggah larutan serta mampu mempertahankan
tekanan osmotik larutan (Sastrodihardjo dan Resnawati, 1999).
METODE PENELITIAN
8 Mikrotip 8 Penisilin-streptomisin
12 Water bath
13 Hand counter
14 Mikroskop
15 Pembakar bunsen
17 Kertas saring
4.1 Hasil
- Perbesaran : 40 x 10
Tabel 1. Hasil pengamatan makroskopis semen ikan patin.
Semen Ikan Patin Makroskopis
pH 7
Volume 10,5 ml
Kekentalan Kental
Bau Khas sperma ikan
Warna Putih
2,12 x 109
𝑉1 = 9,4 x 109
V1 = 0,225 ml
0,225.M1 = V2.M2
2,12 x 109
𝑉1 = 9,4 x 109
V1 = 0,23 ml
4.2.Pembahasan
Spermatozoa yang sudah diejakulasikan akan dinilai berdasarkan beberapa parameter
agar dapat menunjang keberhasilan reproduksi. Parameter penilaian spermatozoa yang
sering digunakan diantaranya dengan melihat motilitas, viabilitas, konsentrasi, dan
integritas membran spermatozoa (Feradis, 2010). Agar semen dapat dinilai, semen
disimpan terlebih dahulu.
Teknologi penyimpanan semen yang digunakan dalam penelitian adalah
penyimpanan dalam bentuk cair dimana teknologi ini menggunakan metode penyimpanan
semen pada suhu rendah/ disimpan di refrigerator. Hal ini bertujuan agar spermatozoa
menjadi dorman/ metabolisme spermatozoa menjadi lambat sehingga memperlambat
kematian spermatozoa. Teknologi ini memiliki kelebihan diantaranya pembuatannya
lebih mudah, bahan pengencer murah, motilitas spermatozoa lebih tinggi, dapat disimpan
dalam refrigerator dengan suhu 50 - 30 C. Semen yang disimpan baik pada suhu
refrigerator maupun suhu beku membutuhkan pengencer yang dapat mempertahankan
kualitas spermatozoa selama penyimpanan. Selama proses penyimpanan digunakan water
jacket yang berfungsi meredam kemungkinan adanya cold shock. Dalam pengencer perlu
penambahan bahan lain yang dapat berfungsi sebagai pelindung ekstraseluler selama
penyimpanan (Hafez, 2000).
Hasil pengamatan semen ikan patin segar menunjukkan bahwa semen segar yang
digunakan dalam pengamatan baik secara makroskopis ataupun mikroskopis masih dalam
keadaan normal. Pengamatan secara makroskopis diperoleh nilai volume semen yang
diperoleh sebesar 10,5 ml, dengan warna putih, berbau khas sperma ikan, dan kental serta
pH sebesar 7. Sedangkan pengamatan secara mikroskopis didapatkan nilai viabilitas 90%
dan motilitas individu 80% sehingga semen segar tersebut dapat dilakukan penyimpanan
pada media ringer dengan suplemen kuning telur.
Nilai viabilitas 90% telah memenuhi syarat minimal agar dapat disimpan dimana
WHO (2010) menjelaskan bahwa standar nilai viabilitas normal adalah ≥ 58% untuk
dapat dilakukan penyimpanan. Bila sperma yang motil ditemukan kurang dari 58%
sperma yang viabel, maka kemungkinan motilitas sperma akan menurun dengan cepat
karena terdapat sperma yang mati (nekrospermia) Anggraeny, dkk (2004) juga
menjelaskan syarat untuk keberhasilan IB diperlukan viabilitas spermatozoa sebesar 60–
80%. Sedangkan untuk nilai motilitas semen segar dijelaskan oleh Hafez (2000) syarat
minimal nilai post thawing motility agar spermatozoa dapat digunakan dalam
penyimpanan hingga Inseminasi Buatan adalah 40%.
Pengenceran semen dilakukan pada konsentrasi 10%, 15% dan 20%. Pengenceran
semen adalah upaya untuk memperbanyak volume semen, mengurangi kepadatan
spermatozoa serta menjaga kelangsungan hidup spermatozoa sampai waktu tertentu pada
kondisi penyimpanan dibawah atau diatas titik beku (Rusdin dan Jum’at 2000).
Penambahan pengencer larutan pengencer yang dapat mempertahankan kehidupan
spermatozoa dengan memberikan nutrisi sumber energi. Pada proses penyimpanan
spermatozoa diperlukan bahan pengencer yang tidak hanya sebagai bahan pengencer
sperma saja tetapi juga harus mampu berfungsi sebagai penyedia sumber nutrisi bagi
spermatozoa sehingga fungsionalitas dan kapabilitas spermatozoa dapat dipertahankan.
Pada praktikum ini digunakan pengencer ringer dengan suplemen kuning telur.
Menurut Ridwan (2008), larutan ringer dapat digunakan sebagai pengencer semen
sebab komposisi kimianya relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen.
Larutan pengencer semen yang memiliki komposisi kimia lebih lengkap akan
memberikan fungsi yang baik bagi spermatozoa yang diencerkan, subtrat-subtrat nutrisi
diperlukan spermatozoa untuk mempertahankan hidupnya, terutama bagi spermatozoa
yang disimpan terlebih dahulu sebelum diinseminasikan. Ringer Laktat dan Ringer
Dextrose tersusun atas bahan-bahan anorganik serta memiliki komposisi kimia yang
relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen. Larutan Ringer Laktat dan Ringer
Dextrose memungkinkan untuk mempertahankan abnormalitas spermatozoa. Larutan
Ringer Laktat mengandung senyawa Na-Laktat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
ion sodium bikarbonat yang berfungsi untuk mempertahankan keasaman larutan/
penyanggah larutan serta mampu mempertahankan tekanan osmotik larutan
(Sastrodihardjo dan Resnawati, 1999).
Kuning telur memiliki komposisi gizi yang lebih lengkap dibandingkan dengan putih
telur. Komposisi utama kuning telur adalah air, protein, lemak, karbohidrat, mineral dan
vitamin (Sarwono,1995). Protein yang terkandung dalam kuning telur termasuk protein
yang sempurna karena mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah yang
cukup besar (Haryanto, 1996). Menurut Toelihere (1979), kuning telur mengandung
lipoprotein dan lichtin yang dapat digunakan untuk mempertahankan dan melindungi
integritas selubung lipoprotein dari sel spermatozoa serta dapat mencegah cold shock.
Pengamatan motilitas dilakukan dengan cara mengambil satu tetes sperma dengan
menggunakan pipet (±0,01 ml) dan diletakkan pada obyek glass kemudian diteteskan
dengan aquades diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400X kemudian
mengitung jumlah spermatozoa yang masih bergerak. Pengamatan viabilitas dilakukan
dengan cara menggunakan pengencer berupa larutan pewarna eosin. Prosedur
pengamatan dengan metode pewarnaan yaitu dengan mengambil satu tetes sperma (±
0,01 ml) yang telah disimpan tadi dan letakkan pada obyek glass kemudian ditambah
dengan cairan pewarna eosin lalu homogenkan, selanjutnya dibuat preparat dengan cara
menekan dan mendorong menggunakan cover glass membentuk sudut 45o kemudian
dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x, untuk dihitung jumlah
spermatozoa yang hidup dan berapa jumlah spermatozoa yang mati agar dapat diperoleh
viabilitas dari spermatozoa. Sperma yang mati akan menyerap zat warna merah dan yang
hidup akan tetap berwarna transparan pada bagian dalam selnya (Solihati, 2009).
Pemeriksaan viabilitas berguna untuk mengetahui sampai berapa lama spermatozoa
tersebut hidup (viable) atau tidak hidup (unviable) yang pada penampakan spermatozoa
tidak bergerak atau imotil dalam proses penyimpanan dengan penambahan larutan
pengencer. Spermatozoa yang imotil belum tentu spermatozoa tersebut sudah mati.
Lingkungan yang tidak sesuai akan menyebabkan spermatozoa tidak mampu bergerak
tetapi jika spermatozoa tersebut berada lingkungan yang mendukung maka spermatozoa
tersebut akan bergerak kembali (Souhoka, D.F., dkk. 2009).
Rahardianto, dkk (2012) menjelaskan masih adanya nilai motilitas spermatozoa
setelah dilakukan penyimpanan dikarenakan nutrisi yang disediakan larutan pengencer
masih ada untuk digunakan spermatozoa. Penurunan persentase motilitas spermatozoa
selama penyimpanan terjadi karena berkurangnya oksigen. Selama penyimpanan wadah
yang digunakan untuk menampung sperma dan larutan pengencer adalah tabung yang
ditutup rapat dan disimpan dalam lemari es. Selama penyimpanan, spermatozoa terus
melakukan aktivitas yang membutuhkan energi dimana energi tersebut dapat berasal dari
plasma sperma maupun pengencer yang ditambahkan. Metabolisme spermatozoa dapat
berlangsung secara aerob maupun anaerob. Ketika terdapat oksigen, metabolisme
fruktosa 9 kali lebih efisien dalam menghasilkan energi dan dimetabolisir secara
sempurna menjadi CO2 + H2O. Sebaliknya, jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi
maka metabolisme spermatozoa akan berjalan secara anaerob. Metabolisme spermatozoa
dalam keadaan anaerob menghasilkan asam laktat yang mengakibatkan penurunan pH di
lingkungan sperma. Pada kondisi lingkungan yang asam, daya gerak spermatozoa akan
menurun. Peningkatan konsentrasi laktat melebihi batas toleransi dapat menyebabkan
kematian.
Pada penelitian ini dihasilkan persentase motilitas yang masih layak dipakai untuk
inseminasi buatan atau diteliti lebih lanjut hanya sampai hari pertama pada pengamatan \
karena standar motilitas yang banyak digunakan dalam program inseminasi buatan
ataupun diteliti lebih harus memiliki persentase motilitas paling sedikit 40%.
(Rahardianto, dkk. 2012).
Pengamatan pada 2 jam pertama dan 2 jam kedua nilai viabilitas dan motilitas
spermatozoa terus menurun dan nilai tertinggi pada konsentrasi 10 %. Hal tersbut
disebabkan karena pada konsentrasi 10% kepadatan spermatozoa yang rendah dengan
bahan pengencer yang sama sehingga suplemen lebih efektif untuk spermatozoa pada
konsentrasi 10% yang menyebabkan pada konsentrasi 10% lebih bertahan lama. Setiap
makhluk hidup mempunyai batas toleransi terhadap cairan yang ditransportasikan ke
dalam tubuh. Jika konsentrasi larutan di luar sel lebih tinggi dari pada di dalam sel maka
cairan sel tersebut akan bertransportasi ke luar sel sehingga sel tersebut mengalami
krenasi. Apabila konsentrasi larutan di luar sel lebih rendah daripada di dalam sel maka
cairan diluar sel akan bertransportasi masuk ke dalam sel sehingga sel mengalami lisis.
Motilitas dan viabilitas spermatozoa paling optimal pada media dengan konsentrasi
kuning telur 10% karena konsentrasi kuning telur 10% merupakan batas toleransi
optimal. Sedangkan pada konsentrasi kuning telur 5% , cairan di luar sel sperma masuk
ke dalam sel sperma sehingga sel sperma mengalami lisis dan menyebabkan sperma mati.
Pada konsentrasi kuning telur 15%, cairan di dalam sel sperma dikeluarkan sehingga sel
sperma mengalami krenasi dan menyebabkan sel sperma mati.
Suhu memiliki peranan dalam mempengaruhi motilitas spermatozoa. Secara teoriris
suhu udara yang menurun akan mempengaruhi motilitas spermatozoa menjadi lebih lama
dan suhu yang meningkat akan mengakibatkan motilitas spermatozoa menjadi lebih cepat
berhenti. Pada suhu dingin motilitas spermatozoa akan bertahan lebih lama akan tetapi
kualitas sperma menurun dengan dipengaruhi lamanya waktu penyimpanan. Rizal (2008)
menyatakan bahwa penyimpanan semen pada suhu rendah (umumnya pada suhu 3-5°C
dan -196°C) sering terjadi suatu proses yang disebut cekaman dingin (cold shock) yang
dapat merusak membran plasma sel dan berakibat kematian spermatozoa. Berdasarkan
hasil yang telah diperoleh, spermatozoa mati setelah perlakuan 2 jam kedua. Hal tersebut
disebabkan suhu yang mengalami kenaikan ketika dalam perjalanan menuju tempat
penelitian. Cahaya dari lampu mikroskop yang terlalu terang saat proses pengamatan juga
mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu sehingga spermatozoa mati.
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu :
1. Berbagai konsentrasi kuning telur yang berbeda dalam pengencer riger memengaruhi
kualitas spermatozoa ikan patin.
2. Konsentrasi kuning telur yang paling optimal untuk pengencer spermatozoa ikan patin
adalah konsentrasi 10%.
5.2. Saran
Diharapkan pada penelitian selanjutnya, menggunakan pengencer yang lebih cocok
untuk penyimpanan spermatozoa ikan agar waktu penyimpanan dapat bertahan lebih
lama dan kualitas spermatozoa (motilitas dan viabilitas) lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, d. 2014. Pengaruh Lama Simpan Semen dengan Pengencer Tris Aminomethan
Kuning Telur pada Suhu Ruang terhadap Kualitas Spermatozoa Kambing Ismaya.
Yogyakarta: UGM Press.
Anggraeny, Yenny Nur., Affandhy, Lukman., dan Rasyid, Ainur. 2004. Effektifitas Substitusi
Pengencer Tris-Sitrat Dan Kolesterol Menggunakan Air Kelapa Dan Kuning Telur
Terhadap Kualitas Semen Beku Sapi Potong. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
Dan Veteriner 2004.
Ariyani, E. 2006. Penetapan Kandungan Kolesterol pada Telur Ayam Petelur. Bogor: Balai
Penelitian Ternak.
Cabrita, E., Robles, V., & Herraez, P. 2008. Methods in Reproductive Aquaculture Marine
and Freshwater Species. New York: Boca Raton.
D.F. Souhoka, M.J. Mataluta, W.M.M. Nalley dan M. Rizal, “LaktosaMempertahankan Daya
Hidup Spermatozoa Kambing Peranakan Etawahyang Dipreservasi dengan Plasma
Semen Domba Priangan,” JurnalVeteriner September, Vol. 10, No 3 (2009) 135-142.
Ducha, N. 2012. Suplementasi Kuning Telur Dalam Pengencer CEP-2 Terhadap Kualitas dan
Integritas Membran Spermatozoa Sapi Limousin Selama Penyimpanan pada Suhu 4-5oC.
Disertasi. Malang : Universitas Brawijaya.
Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air. Yogyakarta: Kanisius.
FAO. 2013. FAO Yearbook: Fisheries and Aquaculture Statistics 2011 (Production from
Aquaculture by Country and by Species). Rome, Italy: FAO.
Fauziyah, A, P. Dwijananti. 2013. Pengaruh Radiasi Sinar X Terhadap Motilitas Sperma Pada
Tikus Mencit (Mus muculus). Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia.
Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Alfabeta.
Fujaya. 2002. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan, Proyek Peningkatan
Penelitian Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Ginzburg, A.B. 1972. Fertilization in Fishes and the Problem of Polyspermy. Jerusalem:
Israel Program for Scientific Translations.
Hafez, E. S. E. 2000. Semen Evaluation. In: Reproduction In Farm Animals. 7 th Edition.
Lippincott Wiliams and Wilkins. Maryland. USA.
Hardijanto, S. S. 2010. Buku Ajar Inseminasi Buatan. Surabaya: Airlangga University Press.
Haryanto. 1996. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung : Penerbit Angkasa.
Inounu, I. 2014. Upaya Meningkatkan Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Ternak
Ruminansia Kecil. WARTAZOA Vol. 24 No. 4 , 201-209.
Junior, M. S. 2005. Kualitas Sperma Ikan Batak (Tor soro) Hasil Kriopreservasi Semen
Menggunakan Dimetilsulfoksida (DMSO) dan Gliserol 5, 10 dan 15%. Jurnal Akuakultur
Indonesia, 4 (2) , 145-151.
Karyadi, E. 1997. Uji aktivitas antiradical dengan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil)
dan Penetapan Kadar Fenol Total Ekstrak Daun Keladi Tikus (Thyponium divaricatum
(Linn) Decne). Pharmacon, Vol(6)2 , 51–-56.
Kazakov, R.V. 1981. Peculiarities of Sperm Production by Anadromous and Atlantic Salmon
(Salmo salar) and Fish Cultular Characteristics such Sperm. J. Fish Biol. 18(1): 1-18.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peta Budidaya Tangkap Ikan Serta Prinsip
Pengolahannya. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Khairuman, D. Sudenda, dan B. Gunadi. 2002, Budi Daya Ikan Mas Secara Intensif,
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Kordi, M. G. 2005. Budidaya Ikan Patin: Biologi, Pembenihan dan Pembesaran. Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama.
Nurman. 1998. Pengaruh Penyuntikan Ovaprim Terhadap Kualitas Spermatozoa Ikan Lele
Dumbo (Clarias Gariephynus B). Jurnal Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Vol.
7 No. 2 , 3-42.
Permatasari, W. E. 2013. Studi Tentang Pengencer Kuning Telur Dan Pengaruhnya Terhadap
Kualitas Semen Beku Sapi Jawa Brebes. Animal Agriculture Journal, Vol. 2. No. 1 , 143
– 151.
Rahardhianto, Arsetyo., Abdulgani, Nurlita dan Ninis Trisyani. 2012. “Pengaruh Konsentrasi
Larutan Madu dalam NaClFisiologis terhadap Viabilitas dan MotilitasSpermatozoa Ikan
Patin (pangasiuspangasius) selamaMasa Penyimpanan”. Jurnal SAINS DAN SENI ITS,
Vol. 1, No. 1, (Sept. 2019).
Ridwan, 2008. Pengaruh Jenis Pengecer Semen Terhadap Motilitas, Abnormalitas dan Daya
Tahan Hidup Spermatozoa Ayam Buras pada Penyimpanan Suhu 5 o C. J. Agroland Vol.
15 (3) : 229-235.
Rizal, M. dan Herdis. 2008. Inseminasi Buatan pada Domba. Jakarta: Rineka Cipta.
Rusdin dan K. Jum’at., 2000. Motilitas dan Recovery Sperma Domba dalam Berbagai
Pengencer Selama Penyimpanan Pada Suhu 5 º C. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako, Palu.
Salisbury, G. W. dan Vandemark, N. L. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Saparinto, C. 2010. Usaha Ikan Konsumsi di Lahan 100 m2. Jakarta : Penebar Swadaya.
Sarwono, Sarlito. 1995. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo
Sastrodihardjo, S. d. 1999. Inseminasi Buatan pada Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.
Scott, D.B.C. 1979. Environmental Timing and the Control of Reproduction in Teleost Fish.
Zoot. Soc. Load, 44: 105-132.
Siahaan, L. D. 2009. Pengujian Berbagai Level Kombinasi Pengencer Susu Kambing-Kuning
Telur dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Sperma Entok. Sumatera Utara:
Universitas Sumatera Utara Press.
Slembrouck, J. O. 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia. Jakarta: Pusat
Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Solihati, N. K. 2009. Pengaruh Jenis Pengencer Terhadap Motilitas dan Daya Tahan Hidup
Spermatozoa Semen Cair Sapi Simmental. Jurnal Pendidikan Fakultas Peternakan
Universitas Padjajaran , 3-4.
Susanto, H. 2008. Budi Daya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.
Susilawati, T. 2011. Spermatozoatology. Malang. Universitas Brawijaya Press.
Susilowati, S. H. 2010. Penuntun Praktikum Inseminasi Buatan. Surabaya: Airlangga
University Press.
Tang, U.M. dan R. Affandi. 1999. Biologi Reproduksi Ikan. PT. Kanisius. 110 hal.
Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Angkasa.
Toelihere, M.R. 1979, Fisiologi Reproduksi pada Ternak, Penerbit Angkasa, Bandung. Utiah,
A. (2000). Pola reproduksi tahunan ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus) dalam
wadah budidaya bersumber air sungai dan air danau. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
WHO., 2010. The World Health Report 2010. http://www.who.int./whr/2010/en/index.html
Akses 28 September 2019.
Zairin, M. Jr. 2000. Pengaruh Perendaman Embrio di dalam Larutan 17 α - Metiltestosteron
terhadap Nisbah Kelamin Ikan Tetra Kongo (Micralestes interruptus). Jumal Biosains,
Bandung. 5: 7-12.
Zul, Saryono, P. Sulistyati., D., dan Martina, A. 2007. Identifikasi Jamur Pendegradasi Inulin
pada Rizosfer Umbi Dahlia (Dahlia variabilis). Jurnal Natur Indonesia 11 (1): 22-27.