Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI

“PENGARUH PENAMBAHAN KUNING TELUR DALAM


PENGENCER RINGER TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA
IKAN PATIN (Pangasius sp.)”

Disusun Oleh:

1. Evi Putri Ma’rifatus S (17030204019)


2. Durriyatut Tayyibah (17030204025)
3. Diajeng Enggar O (17030204051)
PBA 2017

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 . Pendahuluan
Ikan patin (Pangasius sp.) adalah salah satu ikan asli perairan Indonesia yang telah
berhasil didomestikasi. Jenis–jenis ikan patin di Indonesia sangat banyak, antara lain
Pangasius pangasius atau Pangasius jambal, Pangasius humeralis, Pangasius
lithostoma, Pangasius nasutus, pangasius polyuranodon, Pangasius niewenhuisii.
Sedangkan Pangasius sutchi dan Pangasius hypophtalmus yang dikenal sebagai jambal
siam atau lele bangkok merupakan ikan introduksi dari Thailand (Kordi, 2005). Tercatat
pada tahun 2011, produksi ikan patin di Indonesia mencapai 229.267 ton dengan
kontribusi 16,11% dari produksi patin dunia (FAO, 2013).
Ikan patin (Pangasius pangasius) merupakan ikan konsumsi yang terus berkembang.
Berdasarkan data Ditjen Perikanan Budi Daya Tangkap, Kementrian Kelautan dan
Perikanan (KKP) kebutuhan benih ikan patin secara nasional mencapai 55 juta ekor per
bulannya (Khairuman dan Sudenda, 2002). Pemenuhan permintaan benih dalam jumlah
besar dan berkelanjutan masih menjadi kendala utama dalam proses produksi ikan patin
(Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Usaha dan peningkatan produksi benih
ikan patin baik jumlah dan kualitasnya perlu dijaga terus-menerus, mengingat pemijahan
ikan patin yang sering digunakan hanya dengan mengandalkan bantuan hipofisa
(Saparinto, 2010).
Di era modern ini, teknologi sudah berkembang sangat pesat. Kemajuan teknologi
yang ada di bidang sains dan medis sangat membantu dalam menyelesaikan banyak
persoalan yang kompleks, salah satunya Inseminasi Buatan (IB) yang dapat dilakukan
dengan adanya penyimpanan spermatozoa. Inseminasi buatan (IB) adalah penempatan
semen pada saluran reproduksi secara buatan. Semen yang ditempatkan dapat berupa
semen beku maupun semen segar (Inounu, 2014).
Pemijahan ikan dapat dilakukan secara alami dan buatan. Dalam pemijahan buatan
dapat dilakukan dengan pengambilan semen jantan dan betina, tahap ini dilakukan dalam
tempat khusus dan juga dengan teknik tertentu. Proses pengenceran dapat dilaksanakn
setelah media ringer dengan tambahan kuning telur. Motilitas dan viabilitas sperma
merupakan parameter yang penting untuk keberhasilan proses fertilisasi. Motilitas sperma
menggambarkan kemampuan spermatozoa untuk membuahi sel telur, Semakin tinggi
nilai motilitas maka semakin tinggi pula persentase hidup (viabilitas) spermatozoa
tersebut (Cabrita, Robles, & Herraez, 2008).
Salah satu pengencer yang banyak digunakan adalah pengencer dasar ringer. Ringer
merupakan larutan yang mengandung asam sitrat dan fruktosa yang berperan sebagai
penyangga (buffer), untuk mencegah perubahan pH akibat asam laktat dari hasil
metabolisme spermatozoa serta mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan
elektrolit, sumber energi dan melindungi spermatozoa dari kejut dingin (cold shock).
Selain itu, ringer mempunyai kemampuan dalam memberikan motilitas spermatozoa yang
lebih tinggi karena tris lebih banyak mengandung zat – zat makanan, antara lain fruktosa,
asam sitrat yang dapat dipanaskan sebagai buffer dan meningkatkan aktifitas spermatozoa
(Karyadi, 1997).
Penyimpanan sperma bertujuan dalam mengoptimalkan jangka waktu penggunaan
spermatozoa induk jantan yang unggul untuk membuahi sel telur betina yang sejenis
secara buatan. Selain itu untuk memudahkan persilangan antara jenis-jenis ikan yang
waktu matang gonad yang berbeda serta untuk memudahkan transportasi penyebaran
semen ke daerah yang membutuhkan (Fujaya, 2002). Kualitas spermatozoa untuk IB
sangat ditentukan oleh jenis bahan pengencernya. Oleh karena itu, sperma perlu dicampur
dengan larutan pengencer yang menjamin kebutuhan fisik dan kimiawinya serta disimpan
pada suhu dan kondisi tertentu yang mempertahankan kehidupan spermatozoa selama
waktu yang diinginkan untuk kemudian dipakai sesuai kebutuhan (Agustian, 2014).
Teknologi penyimpanan semen dibedakan menjadi dua yaitu penyimpanan sperma
dalam bentuk cair dan beku (Hardijanto dkk., 2010). Namun seiring dengan
berkembangnya teknologi penyimpanan semen yang paling banyak diminati adalah
penyimpanan dalam bentuk cair dimana teknologi ini menggunakan metode penyimpanan
semen pada suhu rendah. Teknologi ini memiliki kelebihan diantaranya pembuatannya
lebih mudah, bahan pengencer murah, motilitas spermatozoa lebih tinggi, dapat disimpan
dalam refrigerator dengan suhu 50 C, namun teknologi penyimpanan ini memiliki
kekurangan yaitu lama penyimpanan hanya 10 hari (Zul, 2007).
Semen yang tidak diencerkan dan dibiarkan pada suhu 28-34 ° C hanya bertahan
selama dua jam tetapi apabila disimpan pada suhu 37-38 °C dapat bertahan tiga jam. Oleh
karena itu diperlukan teknologi penyimpanan reager kuning telur untuk menyimpan
spermatozoa dalam kurun waktu lebih lama sehingga dapat memenuhi berbagai
kebutuhan akan spermatozoa terutama dalam bidang perikanan (Susanto, 2008).
Proses fertilisasi antara spermatozoa dan ovum belum tentu dapat berjalan dengan
baik. Spermatozoa yang baik merupakan salah satu faktor dari fertilitas jantan.
Rendahnya pembuahan oleh spermatozoa dalam fertilisasi disebabkan oleh aktivitas
spermatozoa yang relatif singkat (Nurman, 1998). Hal tersebut disebabkan oleh
rendahnya viabilitas dan motilitas dari spermatozoa, selain itu kelangsungan hidup
spermatozoa di luar tubuh umumnya singkat. Motilitas dan viabilitas sperma merupakan
parameter yang penting untuk keberhasilan proses fertilisasi (Junior, 2005). Penggunaan
ringer dalam pengencer kuning telur ini diharapkan mampu melindungi spermatozoa ikan
patin dari kematian selama proses pembekuan sehingga spermatozoa dapat digunakan
dalam proses fertilisasi buatan, sehingga dilakukan pengamatan mengenai teknik
penyimpanan spermatozoa ikan patin pada pengencer ringer dengan suplemen kuning
telur.

1.2 . Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dari praktikum ialah :
1. Bagaimana pengaruh berbagai konsentrasi kuning telur dalam pengencer riger terhadap
kualitas spermatozoa ikan patin?
2. Berapa konsentrasi kuning telur yang paling optimal untuk pengencer spermatozoa
ikan patin?

1.3 . Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari praktikum ialah :
1. Untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi kuning telur dalam pengencer riger
terhadap kualitas spermatozoa ikan patin.
2. Untuk mengetahui konsentrasi kuning telur yang paling optimal untuk pengencer
spermatozoa ikan patin.

1.4. Manfaat

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan wawasan dan pengetahuan tentang teknik sterilisasi peralatan dan


pembuatan pengencer dasar ringer untuk penyimpanan spermatozoa ikan patin
2. Memberikan wawasan dan pengetahuan tentang pentingnya teknologi penyimpanan
spermatozoa ikan patin untuk kemajuan ilmu pengetahuan
3. Memberikan wawasan dan pengetahuan tentang kualitas spermatozoa ikan patin
setelah diencerkan dengan pengencer dasar ringer yang disuplementasi kuning telur
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 . Ikan Patin

Gambar 1. Ikan patin (Pangasius sp.)


Ikan patin (Pangasius sp.) adalah salah satu ikan asli perairan Indonesia yang telah
berhasil didomestikasi. Jenis–jenis ikan patin di Indonesia sangat banyak, antara lain
Pangasius pangasius atau Pangasius jambal, Pangasius humeralis, Pangasius
lithostoma, Pangasius nasutus, pangasius polyuranodon, Pangasius niewenhuisii.
Sedangkan Pangasius sutchi dan Pangasius hypophtalmus yang dikenal sebagai jambal
siam atau lele bangkok merupakan ikan introduksi dari Thailand (Kordi, 2005). Tercatat
pada tahun 2011, produksi ikan patin di Indonesia mencapai 229.267 ton dengan
kontribusi 16,11% dari produksi patin dunia (FAO, 2013).
Ikan patin mempunyai bentuk tubuh memanjang, berwarna putih perak dengan
punggung berwarna kebiruan. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala ikan patin relatif
kecil dengan mulut terletak diujung kepala agak ke bawah. Hal ini merupakan ciri khas
golongan catfish. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm. Sudut mulutnya terdapat
dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba. Sirip punggung memiliki
sebuah jari–jari keras yang berubah menjadi patil yang besar dan bergerigi di
belakangnya, sedangkan jari–jari lunak pada sirip punggungnya terdapat 6 – 7 buah
(Kordi, 2005).
Kelangsungan hidup ikan sangat dipengaruhi oleh kualitas air. Karena air sebagai
media tumbuh sehingga harus memenuhi syarat dan harus diperhatikan kualitas airnya,
seperti: suhu, kandungan oksigen terlarut (DO) dan keasaman (pH). Air yang digunakan
dapat membuat ikan melangsungkan hidupnya (Effendi, 2003).
Menurut (Kordi, 2005), Air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan patin harus
memenuhi kebutuhan optimal ikan. Air yang digunakan kualitasnya harus baik. Ada
beberapa faktor yang dijadikan parameter dalam menilai kualitas suatu perairan, sebagai
berikut:
1. Oksigen (O2) terlarut antara 3 – 7 ppm, optimal 5 – 6 ppm.
2. Suhu 25 – 33 0C.
3. pH air 6,5 – 9,0 ; optimal 7 – 8,5.
4. Karbondioksida (CO2) tidak lebih dari 10 ppm
5. Amonia (NH3) dan asam belerang (H2S) tidak lebih dari 0,1 ppm
6. Kesadahan 3 – 8 dGH (degress of German total Hardness)
Perkembangan gonad dipengaruhi oleh faktor lingkungan, nutrisi dan hormon. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu dan dan makanan
selain itu periode cahaya dan musim (Scott, 1979). Kematangan gonad ikan patin betina
dicapai pada umur tiga samapai empat tahun, sedangkan untuk jantan pada umur dua
sampai tiga tahun. Zairin (2000) menyatakan perkembangan dan aktivitas gonad ikan
patin setelah musim pemijahan yaitu bulan Maret sampai Juni, berlangsung menurun.
Setelah bulan Juni aktivitas gonad meningkat secara bertahap, kematangan gonad optimal
terjadi selama bulan November sampai Januari. Proses pematangan gonad pada ikan
jantan kurang diperhatikan karena di alam tidak sukar mendapatkan jantan matang gonad.

2.2 . Semen dan Spermatozoa


Semen adalah cairan atau suspensi semigelatinous yang mengandung gamet jantan
atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Semen
mengandung banyak spermatozoa yang berada dalam medium cair, yaitu plasma plasma.
Tiap spermatozoa terdiri dari bagian kepala dimana terkumpul bahan-bahan genetik dan
bagian ekor yang menyebabkan spermatozoa dapat bergerak maju sendiri. Sel
spermatozoa mempunyai fungsi dalan pembuahan ovum hewan betina (Feradis, 2010).
Spermatozoa adalah gamet jantan yang dihasilkan oleh testis. Cairan sperma (semen)
mempunyai sifat fisik dan kimia. Sifat fisik meliputi volume, warna, kekentalan
(viscosity), presentase spermatozoa yang hidup, konsentrasi sperma, tingkat dan lama
pergerakan sperma. Sedangkan sifat kimia meliputi ada tidaknya komponen organic dan
inorganic, tekanan osmotik dan pH cairan seminal (Ginzburg, 1972).
Spermatozoa merupakan suatu sel kecil, kompak dan sangat khas yang tidak
bertumbuh atau membagi diri. Secara esensial terdiri dari kepala yang membawa materi
herediter paternal, dan ekor yang mengandung sarana penggerak (Feradis, 2010).
Spermatozoa terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian kepala yang berbentuk oval, dan bagian
ekor yang memanjang. Kepala terdiri dari nukleus yang dilapisi akrosom. Sekitar 2/3
bagian kepala tertutup oleh akrosom. Terdapat sambungan pendek yaitu leher yang berisi
sentriol proaksimal diantara kepala dan badan spermatozoa. Bagian badan dan ekor
mampu bergerak bebas meskipun tanpa kepala.

Gambar 2. Struktur Spermatozoa

Ukuran dan bentuk spermatozoa pada berbagai jenis hewan berbeda, namun
memiliki struktur morfologi yang sama. Panjang dan lebar kepala kira-kira 0.8 sampai 10
mikron kali 4.0 sampai 4.5 mikron pada spermatozoa sapi, domba dan babi, dan 7.0
mikron kali 2.7 sampai 4.0 mikron pada spermatozoa kuda. Tebal kepala lebih kurang 0.5
sampai 1.5 mikron atau kurang pada semua spesies. Badan dan bagian tengah
spermatozoa mempunyai panjang satu setengah sampai dua kali panjang kepala, 10.0
sampai 15.0 mikron, dan diameter sekitar 1.0 mikron pada semua spesies. Ekor
spermatozoa 35.0 sampai 45.0 mikron panjang dan 0.4 sampai 0.8 mikron diameter.
Panjang keseluruhan spermatozoa pada hewan peliharaan mencapai 50 sampai 70 mikron
(Feradis, 2010).
Permukaan spermatozoa dibungkus oleh suatu membran lipoprotein. Apabila sel
tersebut mati, permeabilitas membrannya meninggi, terutama di daerah pangkal kepala,
dan hal ini merupakan dasar pewarnaan semen yang membedakan spermatozoa hidup dan
yang mati. Zat warna yang umum dipakai adalah eosin atau merah kongo terhadap latar
belakang hitam dari negrosin. Spermatozoa yang hidup tidak akan menyerap warna
sehingga akan berwarna merah (Feradis, 2010).
Menurut Utiah (2000), kepadatan sperma pada ikan patin mengalami fluktuasi
dengan kepadatan yang tertinggi pada bula Juli (3,7×109 sel/ ml) dan terendah diperoleh
pada awal bulan Juni dengan rata-rata kepadatan sperma 1,4×109 sel/ ml. Volume sperma
terus mengalami peningkatan sejak bulan Juni dan mencapai puncak tertinggi pada bulan
November, selanjutnya mengalami penurunan sampai bulan Januari. Bulan Februari
volume sperma mengalami peningkatan tetapi pada bulan berikutnya mengalami
penurunan kembali.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sperma antara lain adalah
nutrisi, musim, temperature, frekuensi pemakaian jantan dan hereditas. Banyaknya
sperma yang dikeluarkan dari satu induk jantan tergantung pada umur, ukuran dan
frekuensi pengeluaran sperma (Kazakov, 1981).
Kualitas sperma dapat dievaluasi dari presentase dan intensitas motilitas,
kemampuan untuk membuahi telur (fertility), daya tahan dan integritas morfologi
spermatozoa dan viabilitas larva yang dihasilkan (Tang dan Affandi, 2000). Motilitas
sperma berperan dalam memindahkan sperma melalui saluran reproduksi hewan betina.
Motilitas juga berfungsi sebagai faktor penembus kepala sperma ke dalam ovum.
Ginzburg (1972) menambahkan bahwa pergerakan sperma saja tidak cukup menjamin
terjadinya pembuahan, spermatozoa tersebut harus mampu bergerak maju dan melakukan
penetrasi terhadap mikrofil.
Pengambilan sperma ikan patin dilakukan dengan cara stripping. Proses stripping
dilakukan dengan cara mengurut secara perlahan pada daerah perut persis di depan papila
alat kelamin sampai keluar cairan semen ikan yang berwarna putih dan kemudian
ditampung dalam wadah (Slembrouck, 2005).

2.3 . Motilitas Spermatozoa


Motilitas merupakan suatu kemampuan spermatozoa untuk bergerak secara progresif.
Motilitas spermatozoa yang berasal dari gerakan mendorong spermatozoa pada bagian
ekor yang menyerupai cambuk (Fauziyah, A dkk, 2013).
Menurut Ducha (2012), motilitas spermatozoa merupakan karakter dasar yang
penting dalam fungsi reproduksi. Spermatozoa yang diejakulasikan harus memiliki
motilitas yang baik yaitu >70% sehingga dapat melewati saluran reproduksi betina dan
terjadi fertilisasi.
Ada beberapa tipe motilitas spermatozoa, yaitu:
Tipe a : spermatozoa bergerak cepat dan lurus ke depan.
Tipe b : spermatozoa bergerak cepat tapi tidak lurus ke depan.
Tipe c : spermatozoa bergerak lamban tidak lurus.
Tipe d : spermatozoa diam.
Faktor-faktor yang mempengaruhi motilitas sperma yaitu umur sperma, maturasi
sperma, penyimpanan energy (ATP), gen aktif, biofisik, dan fisiologik, cairan suspensI
dan adanya rngsangan hambatan. Selain itu, penurunan motilitas sperma juga dapat
disebabkan oleh aktivitas pergerakan dan mempertahankan hidupnya sehingga pada
kondisi tertentu cadangan zat makanan berkurang dalam larutan dan menyebabkan
kematian spermatozoa (Siahaan, 2009).
Penilaian motilitas spermatozoa menurut Feradis (2010) dan metode Garner dan
Hafez (2008) dapat dilihat dengan menggunakan dua parameter yakni:
1.) Gerak Massa
Gerak massa terlihat seperti gumpalan awan hitam gelap dengan gerak sangat
cepat dan berpindah-pindah. Gerak massa spermatozoa tergantung pada konsentrasi
spermatozoa yang hidup di dalamnya. Menurut Susilawati (2011) penilaian gerak
massa dapat dinilai sebagai berikut:
- Sangat baik (+++), jika terlihat gelombang spermatozoa yang besar dengan
jumlah banyak, tampak berwarna gelap dan geraknya sangat aktif, serta
gumpalan awan hitam bergerak cepat yang selalu berpindah tempat.
- Baik (++), jika terlihat gelombang-gelombang kecil spermatozoa yang tipis,
jarang, dan geraknya lamban.
- Lumayan (+), jika tidak terlihat gelombang-gelombang spermatozoa, namun
hanya gerakan-gerakan individual aktif progresif.
- Buruk (0), jika terlihat hanya sedikit atau ada gerakan-gerakan individual
spermatozoa.
2.) Gerak individu
Penilaian gerak individu dapat diketahuai dengan cara menggunakan
pengamatan visual. Gerak individu mempunyai beberapa parameter menurut Feradis
(2010) yakni diantaranya:
- Gerakan terbaik adalah gerakan progresif atau gerakan aktif maju ke depan.
- Gerakan melingkar atau gerakan mundur adalah tanda-tanda spermatozoa telah
mengalami cold shock atau media semen yang kurang isotonik.
- Gerakan berayun dan berputar-putar di tempat tanda semen yang sudah tua.
- Kebanyakan spermatozoa yang berhenti bergerak, maka dianggap sudah mati.
Pemeriksaan motilitas massa dan individu dilakukan dengan perbesaran 100x dan
400x. Penentuan nilai motilitas massa berdasarkan besarnya gelombang pergerakan
sperma sedangkan motilitas individu dengan cara perhitungan sperma yang bergerak cepat
dan progresif (Susilowati dkk., 2010). Rumus perhitungan motilitas individu adalah
sebagai berikut:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑝𝑒𝑟𝑚𝑎𝑡𝑜𝑧𝑜𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑜𝑡𝑖𝑙 𝑃𝑟𝑜𝑔𝑟𝑒𝑠𝑖𝑓
× 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑝𝑒𝑟𝑚𝑎𝑡𝑜𝑧𝑜𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖
Suhu memiliki peranan dalam mempengaruhi motilitas spermatozoa. Secara teoriris
suhu udara yang menurun akan mempengaruhi motilitas spermatozoa menjadi lebih lama
dan suhu yang meningkat akan mengakibatkan motilitas spermatozoa menjadi lebih cepat
berhenti. Pada suhu dingin motilitas spermatozoa akan bertahan lebih lama akan tetapi
kualitas sperma menurun dengan dipengaruhi lamanya waktu penyimpanan.
Hal ini disebabkan oleh proses metabolisme yang terjadi selama penyimpanan.
Meskipun metabolisme dihambat pada penyimpanan suhu rendah, tetapi metabolisme
masih tetap terjadi. Proses metabolisme spermatozoa akan dihasilkan memiliki hasil akhir
radikal bebas berupa derivat oksigen diantaranya adalah singlet oxygen, triplet oxygen,
superoxide anion, hydroxylradical dan nitric oxide yang keseluruhannya disebut dengan
reactive oxygens pecies. Singlet oxygendapat merusak ikatan rangkap pada asam lemak
sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada DNA dan protein spermatozoa. Dengan
menurunkan suhu penyimpanan sampai 4-50C, metabolisme akan dihambat dan dapat
mempertahankan hidup spermatozoa lebih lama dibandingkan dengan penyimpanan pada
suhu ruangan.
Temperatur merupakan salah satu penyebab terjadinya peningkatan laju metabolisme
dan daya tahan sperma menurun bila terjadi peningkatan temperatur semen. Proses
preservasi semen pada suhu rendah (umumnya pada suhu 3–5°C dan -196°C) kerusakan
spermatozoa akan terjadi akibat adanya pengaruh kejutan dingin (cold shock) yang dapat
merusak membran plasma sel dan berakibat kematian spermatozoa.
Pada keadaan sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti
sehingga suhu akan turun menuju suhu udara atau medium disekitarnya. Penurunan ini
disebabkan oleh adanya proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas. Pada waktu awal
post mortem penurunan suhu akan sangat lambat karena masih ada produksi panas dari
proses glikogenolisis, tetapi sesudah itu penurunan menjadi lebih cepat dan pada akhirnya
menjadi lebih lambat kembali. Pada penelitian ini diberikan perlakuan berupa perbedaan
suhu baik pada suhu kamar ataupun pada suhu 5°C, dan hal tersebut akan mempengaruhi
motilitas spermatozoa menjadi lebih cepat atau lambat.

2.4 . Viabilitas Spermatozoa


Standar nilai viabilitas normal dalah ≥ 58% (WHO, 2010). Perbedaan afinitas zat
warna antara sel-sel sperma yang mati dan yang hidup dipergunakan untuk menghitung
jumlah spermatozoa yang hidup secara objektif pada waktu smeen segar dicampur
dengan zat warna (eosin 20%). Sel-sel sperma yang hidup, tidak atau sedikit sekali
menghisap warna sedangkan yang mati akan mengambil warna karena permeabilitas
dinding sel meningkat sewaktu mati. Pewarnaan diferensial dilakukan untuk mengetahui
presentase sel-sel spermatozoa yang mati dan yang hidup. Semakin berkurangnya
cadangan makanan dan makin tidak seimbangnya larutan elektrolit akibat dari
metabolism spermatozoa menyebabkan spermatozoa mengalami kelelahan dan mati
(Siahaan, 2009).
Viabilitas sperma diamati dengan teknik sediaan ulas menggunakan zat warna eosin
dan negrosin. Satu tetes kecil sperma dan satu tetes besar larutan eosin negrosin
diletakkan pada object glass, kemudian zat warna dan sperma dicampur hingga homogen.
Membuat preparat ulas tipis dan dikeringkan di atas nyala api, proses tersebut harus
selesai dalam 15 detik. Pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x
(Susilowati dkk., 2010).
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑝𝑒𝑟𝑚𝑎𝑡𝑜𝑧𝑜𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐻𝑖𝑑𝑢𝑝
× 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑝𝑒𝑟𝑚𝑎𝑡𝑜𝑧𝑜𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

2.5. Konsentrasi
Konsentrasi spermatozoa sangat penting karena untuk dapat mengetahui berapa
besar pengencer yang digunakan (Susilawati, 2011). Menurut Feradis (2010) metode
penghitungan konsentrasi spermatozoa salah satunya dapat dilakukan dengan
menggunakan spectrofotometer atau hemocytometer. Prosedur menghitung spermatozoa
menggunakan hemocytometer adalah: semen dihisap dengan pipet eritrosit hingga tanda
0,5, kemudian hisap larutan NaCl 3% hingga mencapai tanda 101 (yang berarti semen
diencerkan 200x). Pipet eritrosit digoyang-goyang membentuk angka delapan agar semen
tercampur homogen dengan larutan NaCl 3%. Buang campuran tersebut beberapa tetes
dan digoyang lagi, kemudian tempatkan satu tetes pada kamar hitung Neubauer yang
ditutup dengan gelas penutup. Hitung spermatozoa yang terdapat di dalam lima kotak
pada posisi diagonal. Karena setiap kamar memiliki 16 kamar kecil, maka di dalam 5
kamar terdapat 80 ruangan kecil. Seluruh gelas hemocytometer memiliki 400 ruangan
kecil dengan volume setiap ruangan kecil adalah 0,1 mm3 dan pengenceran 200x serta
jika di dalam 5 kamar atau 80 ruangan kecil terdapat N spermatozoa, maka konsentrasi
spermatozoa semen yang dievaluasi adalah N x 0,01 juta spermatozoa per mm 3 atau N x
10 juta spermatozoa per milimeter semen (Rizal dan Herdis, 2008).
2.6. Ringer
Beberapa bahan pengencer yang umum digunakan dalam pengencer semen adalah
kuning telur, susu, air kelapa. Bahan pengencer lain yang berpotensi dimanfaatkan untuk
dapat mempertahankan kualitas spermatozoa adalah pengencer NaCl Fisiologis, Ringer
Laktat dan Ringer Dextrose. Ketiga larutan tersebut dapat digunakan sebagai pengencer
semen sebab komposisi kimianya relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen.
Larutan pengencer semen yang memiliki komposisi kimia lebih lengkap akan
memberikan fungsi yang baik bagi spermatozoa yang diencerkan, subtrat-subtrat nutrisi
diperlukan spermatozoa untuk mempertahankan hidupnya, terutama bagi spermatozoa
yang disimpan terlebih dahulu sebelum diinseminasikan (Ridwan, 2008).
Ringer Laktat dan Ringer Dextrose tersusun atas bahan-bahan anorganik serta
memiliki komposisi kimia yang relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen.
Larutan Ringer Laktat dan Ringer Dextrose memungkinkan untuk mempertahankan
abnormalitas spermatozoa. Larutan Ringer Laktat mengandung senyawa Na-Laktat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ion sodium bikarbonat yang berfungsi untuk
mempertahankan keasaman larutan/ penyanggah larutan serta mampu mempertahankan
tekanan osmotik larutan (Sastrodihardjo dan Resnawati, 1999).

2.7. Kuning Telur


Kuning telur mempunyai komponen berupa lipoprotein dan lesitin yang
mempertahankan dan melindungi integritas selubung lipoprotein dari sel spermatozoa
dapat mempertahankan dan melindungi spermatozoa dari cekaman dingin. Kuning telur
juga mengandung glukosa, vitamin yang larut dalam air dan larut dalam lemak sehingga
menguntungkan spermatozoa (Permatasari, dkk., 2013).
Kuning telur tidak saja merupakan sumber lemak, namun juga sebagai sumber protein
yang berkisar antara 15-16% dan vitamin A (40.000 lU per 100 gr). Lemak dalam kuning
telur tidak bersifat bebas, akan tetapi terikat dalam bentuk partikel lipoprotein.
Lipoprotein kuning telur terdiri atas 85% lemak dan 15% protein. Lemak dari lipoprotein
terdiri atas 20% fosfolipid (lecithin, fosfatidil serin), 60% Lemak netral (trigeliserida) dan
5% kolesterol (Ariyani, 2006).
Kuning telur mengandung asam – asam amino, karbohidrat, vitamin, dan mineral
untuk kebutuhan hidup spermatozoa. Selain itu, di dalam kuning telur terdapat senyawa
anti kejut yang berperan melindungi spermatozoa dari kejut dingin. Kuning telur juga
mengandung glukosa, bermacam – macam, protein, vitamin yang larut dalam air dan
lemak serta viskositasnya yang dapat menguntungkan bagi spermatozoa (Permatasari,
dkk., 2013).

2.8.Teknologi Penyimpanan Spermatozoa


Pemenuhan permintaan benih dalam jumlah besar dan berkelanjutan masih menjadi
kendala utama dalam proses produksi ikan patin. Peningkatan produksi benih patin baik
jumlah dan kualitasnya perlu dijaga mengingat pemijahan ikan patin yang sering
digunakan hanya dengan mengandalkan bantuan hipofisa (Saparinto, 2010). Salah satu
alternatif lain yang bisa dilakukan untuk menyediakan benih ikan patin sepanjang tahun
yaitu melalui penyimpanan spermatozoa. Penyimpanan spermatozoa dapat dilakukan
dengan proses kriopreservasi. Proses kriopreservasi membutuhkan bahan pengencer dan
krioprotektan untuk mempertahankan fertilitas spermatozoa (Hardijanto, 2010).
Teknologi penyimpanan semen dibedakan menjadi dua yaitu penyimpanan sperma
dalam bentuk cair dan beku. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi
penyimpanan semen yang paling banyak diminati adalah penyimpanan dalam bentuk cair
dimana teknologi ini menggunakan metode penyimpanan semen pada suhu rendah.
Teknologi ini memiliki kelebihan diantaranya pembuatannya lebih mudah, bahan
pengencer murah, motilitas spermatozoa lebih tinggi, dapat disimpan dalam refrigerator
dengan suhu 5⁰C. Semen yang disimpan baik pada suhu refrigerator maupun suhu beku
membutuhkan pengencer yang dapat mempertahankan kualitas spermatozoa selama
penyimpanan. Proses penyimpanan pada suhu rendah dapat merugikan spermatozoa baik
struktural maupun fungsional akibat terjadinya cold shock. Coldshock juga menyebabkan
kerusakan pada membran spermatozoa karena dapat mengganggu aktifitas metabolisme
seluler, sehingga kebutuhan dan transfer zat-zat elektrolit terganggu yang nantinya akan
berujung pada kematian spermatozoa (Rizal, 2008). Oleh karena itu digunakan water
jacket untuk meredam kemungkinan adanya cold shock Dalam pengencer perlu
penambahan bahan lain yang dapat berfungsi sebagai pelindung ekstraseluler selama
penyimpanan (Hafez, 2000).
Masalah utama yang sering dihadapi pada bahan pengencer yaitu belum adanya
informasi yang cukup untuk bahan pengencer yang mudah diperoleh secara cepat, mudah
dan murah namun mampu mempertahankan kualitas spermatozoa lebih lama. Setiap
bahan pengencer yang baik harus dapat memperlihatkan kemampuannya dalam
memperkecil tingkat penurunan kualitas spermatozoa sehingga pada akhirnya dapat
memperpanjang lama waktu penyimpanannya pasca pengenceran (Solehati dan Kune,
2009). Pengenceran semen adalah upaya untuk memperbanyak volume semen,
mengurangi kepadatan spermatozoa serta menjaga kelangsungan hidup spermatozoa
sampai waktu tertentu pada kondisi penyimpanan di bawah atau di atas titik beku (Rusdin
dan Jum’at 2000).
Beberapa bahan pengencer yang umum digunakan dalam pengencer semen adalah
kuning telur, susu, air kelapa. Bahan pengencer lain yang berpotensi dimanfaatkan untuk
dapat mempertahankan kualitas spermatozoa adalah pengencer NaCl Fisiologis, Ringer
Laktat dan Ringer Dextrose. Ketiga larutan tersebut dapat digunakan sebagai pengencer
semen sebab komposisi kimianya relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen.
Larutan pengencer semen yang memiliki komposisi kimia lebih lengkap akan
memberikan fungsi yang baik bagi spermatozoa yang diencerkan, subtrat-subtrat nutrisi
diperlukan spermatozoa untuk mempertahankan hidupnya, terutama bagi spermatozoa
yang disimpan terlebih dahulu sebelum diinseminasikan (Ridwan, 2008).
Bahan pengencer yang efektif untuk spermatozoa harus mengandung zat-zat
makanan, ion-ion, daya penggerak, dan ikatan kimia yang diperlukan untuk
mempertahankan proses pertukaran zat yang seimbang dalam sel-sel, pH yang sesuai, dan
tekanan osmotik yang optimum (Salisbury dan Van Demark, 1985). Kadar pengenceran
juga perlu ditentukan agar supaya setiap satuan volume semen yang akan diinseminasikan
ke hewan betina mengandung cukup spermatozoa untuk memberikan fertilitas atau
kesuburan yang tinggi tanpa membuang-buang spermatozoa yang berlebihan
(Toelihere, 1985).
Rizal (2008) menyatakan bahwa penyimpanan semen pada suhu rendah (umumnya
pada suhu 3-5°C dan -196°C) sering terjadi suatu proses yang disebut cekaman dingin
(cold shock) yang dapat merusak membran plasma sel dan berakibat kematian
spermatozoa. Usaha untuk mempertahankan fertilitas spermatozoa dapat ditempuh
dengan dua cara, yaitu dengan penambahan pengencer yang dapat menjamin kebutuhan
fisik dan kimiawi spermatozoa dan penyimpanan pada kondisi dan suhu tertentu yang
dapat mempertahankan kualitasnya.
Spermatozoa fungsional yang normal dapat menghasilkan Reactive Oxygen Spesies
(ROS) (Rizal, 2008), oleh sebab itu perlu adanya pengencer yang berfungsi untuk
meminimalisir timbulnya cold shock dan ROS. Fungsi pengencer adalah dapat
menunjang dan mempertahankan kehidupan spermatozoa selama massa penyimpanan.
Untuk dapat dijadikan sebagai pengencer semen, maka pengencer harus dapat
menyediakan zat-zat makanan yang digunakan sebagai sumber energi spermatozoa. Hal
yang sangat penting adalah dapat melindungi spermatozoa dari cold shock saat
penyimpanan, serta menyanggah perubahan pH yang terlalu asam akibat asam laktat hasil
metabolisme spermatozoa. Tekanan osmotik dan keseimbangan cairan elektrolitnya juga
harus dapat dijaga dan dapat mencegah pertumbuhan dan berkembangnya bakteri dengan
harapan volume semen dapat diperbanyak (Feradis, 2010).
Feradis (2010) menyatakan bahwa syarat-syarat untuk dapat digunakan sebagai
pengencer seharusnya bahan-bahan yang digunakan hendaknya murah, sederhana, dan
praktis. Sebaiknya juga diperhatikan pengencer mengandung unsur-unsur yang sifat fisik
dan kimianya hampir sama dengan spermatozoa. Pengencer juga harus dapat
mempertahankan dan tidak membatasi fertilisasi spermatozoa, terlebih lagi tidak boleh
mengandung toksik. Saat penilaian motilitas spermatozoa harus dapat terlihat dengan
mudah agar nilai pergerakan semen dapat ditentukan.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 . Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini yaitu eksperimental, karena dalam penelitian melibatkan variabel
manipulasi, variabel respon, variabel kontrol, serta adanya pengulangan.

3.2 . Tempat dan Waktu Pelaksanaan


Penelitian dilaksanakan di gedung C9 Laboratorium Kultur Jaringan FMIPA
UNESA, dilakukan secara bertahap dimulai pada tanggal 6 September 2019 hingga masa
pengamatan selesai.

3.3 . Variabel Penelitian

1 Variabel manipulasi: Kadar kuning telur (ringer, ringer+kuning telur 5%,


ringer+kuning telur 10%, ringer+kuning telur 15%,
ringer+kuning telur)

2 Variabel kontrol : Semen ikan patin (Pangasius sp.), jenis pengencer


ringer, volume semen, volume pengencer, suhu
penyimpan, waktu penyimpanan

3 Variabel respon : Kualitas spermatozoa ikan patin (viabilitas dan


motilitas)

3.4 . Definisi Operasional Variabel


Variabel kontrol adalah variabel yang dibuat sama atau dikendalikan, dalam
praktikum ini Semen ikan patin (Pangasius sp.) adalah semen yang digunakan untuk
praktikum yang diambil pada suhu dan waktu penyimpanan yang sesuai. Pengencer
yang digunakan adalah pengencer ringer dengan volume yang disesuaikan dengan
volume semen.
Variabel manipulasi adalah variabel yang dibuat berbeda sehingga mempengaruhi
hasil pengamatan. Kadar kuning telur yang digunakan dalam praktikum yaitu ringer,
ringer+kuning telur 5%, ringer+kuning telur 10%, ringer+kuning telur 15%,
ringer+kuning telur.
Variabel respon adalah hasil dari perlakuan variabel kontrol dan manipulasi. Kualitas
spermatozoa ikan patin (Pangasius sp.) adalah viabilitas dan motilitas pada spermatozoa
ikan patin (Pangasius sp.).

3.5 . Alat dan Bahan


No. Alat No. Bahan

1 Gelas obyek 1 Semen segar dari jenis hewan tertentu

2 Gelas penutup 2 Alkohol 70%

3 Tabung sentrifus plastik 3 Kapas

4 Alumunium foil 4 Tris

5 Pipet steril 5 Asam sitrat

6 Stik gelas 6 Glukosa

7 Mikropipet ukuran 7 Fruktosa

8 Mikrotip 8 Penisilin-streptomisin

9 Hemositometer 9 Kuning telur segar

10 Cawan petri 10 Deionize water / air untuk infus

11 Rak tabung reaksi 11 Pewarna eosin negrosin

12 Water bath

13 Hand counter

14 Mikroskop

15 Pembakar bunsen

16 Gelas beker ukuran


50,100,250 ml

17 Kertas saring

18 Syringe/jarum suntik ukuran


5, 10 ml
3.6 . Langkah Kerja
1. Sterilisasi peralatan
- Membersihkan semua peralatan dari bahan-bahan yang menempel dengan
menggunakan air mengalir
- Merendam semua peralatan dengan sabun tidak berbau (teepol) selama 1 jam
- Membungkus alat dengan alumunium foil, alat plastik dibungkus seluruhnya,
gelas dibungkus atasnya atau mulutnya.
- Mengoven peralatan kaca /gelas selama 2 jam
- Melakukan sterilisasi basah atau menggunakan UV untuk alat plastik selama 2
jam
- Mendinginkan peralatan di kontainer.
2. Suplementasi kuning telur
- Mengambil telur yang masih baru dikeluarkan dan membersihkan kotoran yang
menempel pada cangkang dengan air mengalir ditambah sabun
- Mensterilisasi telur dengan disemprot alkohol 70%
- Memecahkan telur pada bagian tengah
- Mengambil kuning telur dengan utuh dan mengalirkan pada kertas saring untuk
menghilangkan sisa putih telur
- Memasukkan kuning telur ke gelas beker yang steril
3. Proses pembuatan media pengenceran semen
- Ringer sebanyak 500 ml digunakan untuk 2 kali perlakuan
- Menuang 250 ml ke dalam 5 erlenmeyer, masing-masing erlenmeyer terisi 50
ml
- Menambahkan kuning telur ke dalam erlenmeyer pertama sebagai kontrol
positif
- Menambahkan kuning telur sebanyak 2,5 ml ke dalam erlenmeyer kedua
sebagai konsentrasi 5% lalu menyimpannya di kulkas
- Menambahkan kuning telur sebanyak 5 ml ke dalam erlenmeyer ketiga sebagai
konsentrasi 10% lalu menyimpannya di kulkas
- Menambahkan kuning telur sebanyak 7,5 ml ke dalam erlenmeyer keempat
sebagai konsentrasi 15% lalu menyimpannya di kulkas
- Erlenmeyer kelima tidak ditambahkan apa-apa, digunakan sebagai kontrol
negatif
- Melakukan langkah 3-7 untuk pengulangan ke dua.
4. Proses pengenceran semen
- Menyiapkan tabung reaksi steril
- Mengambil semen segar dari ikan patin
- Menyemprotkan larutan PBS ke saluran epididimis
- Memencet epididmis untuk mengeluarkan semen
- Menghitung konsentrasi spermatozoa dengan haemocytometer
- Mengamati motilitas spermatozoa
- Melakukan proses pengenceran dengan menggunakan prinsip pengenceran:
V1. M1 = V2.M2
5. Pengamatan motilitas spermatozoa
- Mengambil spermatozoa dengan stik gelas
- Meneteskan semen pada gelas objek
- Mengamati di bawah mikroskop
6. Pengamatan pH
- Mengambil semen dan memasukkan di tabung reaksi
- Meletakkan kertas pH ke dalam tabung
- Mengamati perubahan warna
7. Pengamatan viabilitas spermatozoa
- Mengambil semen dengan stik gelas
- Meneteskan pada gelas objek
- Memberi pewarna eosin
- Mengambil objek glass
- Mencampur dengan eosin negrosin pada salah satu ujing objek glass
- Membuat hapusan antara semen dan eosin negrosin dengan ujung gelas objek
- Mengamati di bawah mikroskop, apabila tidak berwarna berarti hidup, apabila
berwarna ungu berarti mati
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
- Perbesaran : 40 x 10
Tabel 1. Hasil pengamatan makroskopis semen ikan patin.
Semen Ikan Patin Makroskopis
pH 7
Volume 10,5 ml
Kekentalan Kental
Bau Khas sperma ikan
Warna Putih

Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopis sebelum perlakuan.


Mikroskopis
Konsentrasi Motilitas
Viabilitas
M Individu
9,4 x 109 ++ 80% 90%

Tabel 3. Hasil pengamatan mikroskopis sesudah perlakuan.


No. Semen ikan Perlakuan Motilitas Viabilitas
1. Kontrol + 75% 65%
2. 5% 76% 70%
3. Ikan Patin satu jam pertama 10% 78% 75%
4. 15% 73% 63%
5. Kontrol - 70% 60%
6. Kontrol + 0% 0%
7. 5% 0% 0%
8. Ikan patin dua jam kedua 10% 0% 0%
9. 15% 0% 0%
10. Kontrol - 0% 0%

Hasil perhitungan A1:


V1.M1 = V2.M2

V1. 9,4 x 109 = 0,2 x (10,6 x 109)

V1. 9,4 x 109 = 2,12 x 109

2,12 x 109
𝑉1 = 9,4 x 109

V1 = 0,225 ml

Hasil perhitungan A2:

0,225.M1 = V2.M2

0,225 x 9,4 x 109 = V2 x (10,6 x 109)

V1. 9,4 x 109 = 2,12 x 109

2,12 x 109
𝑉1 = 9,4 x 109

V1 = 0,23 ml

4.2.Pembahasan
Spermatozoa yang sudah diejakulasikan akan dinilai berdasarkan beberapa parameter
agar dapat menunjang keberhasilan reproduksi. Parameter penilaian spermatozoa yang
sering digunakan diantaranya dengan melihat motilitas, viabilitas, konsentrasi, dan
integritas membran spermatozoa (Feradis, 2010). Agar semen dapat dinilai, semen
disimpan terlebih dahulu.
Teknologi penyimpanan semen yang digunakan dalam penelitian adalah
penyimpanan dalam bentuk cair dimana teknologi ini menggunakan metode penyimpanan
semen pada suhu rendah/ disimpan di refrigerator. Hal ini bertujuan agar spermatozoa
menjadi dorman/ metabolisme spermatozoa menjadi lambat sehingga memperlambat
kematian spermatozoa. Teknologi ini memiliki kelebihan diantaranya pembuatannya
lebih mudah, bahan pengencer murah, motilitas spermatozoa lebih tinggi, dapat disimpan
dalam refrigerator dengan suhu 50 - 30 C. Semen yang disimpan baik pada suhu
refrigerator maupun suhu beku membutuhkan pengencer yang dapat mempertahankan
kualitas spermatozoa selama penyimpanan. Selama proses penyimpanan digunakan water
jacket yang berfungsi meredam kemungkinan adanya cold shock. Dalam pengencer perlu
penambahan bahan lain yang dapat berfungsi sebagai pelindung ekstraseluler selama
penyimpanan (Hafez, 2000).
Hasil pengamatan semen ikan patin segar menunjukkan bahwa semen segar yang
digunakan dalam pengamatan baik secara makroskopis ataupun mikroskopis masih dalam
keadaan normal. Pengamatan secara makroskopis diperoleh nilai volume semen yang
diperoleh sebesar 10,5 ml, dengan warna putih, berbau khas sperma ikan, dan kental serta
pH sebesar 7. Sedangkan pengamatan secara mikroskopis didapatkan nilai viabilitas 90%
dan motilitas individu 80% sehingga semen segar tersebut dapat dilakukan penyimpanan
pada media ringer dengan suplemen kuning telur.
Nilai viabilitas 90% telah memenuhi syarat minimal agar dapat disimpan dimana
WHO (2010) menjelaskan bahwa standar nilai viabilitas normal adalah ≥ 58% untuk
dapat dilakukan penyimpanan. Bila sperma yang motil ditemukan kurang dari 58%
sperma yang viabel, maka kemungkinan motilitas sperma akan menurun dengan cepat
karena terdapat sperma yang mati (nekrospermia) Anggraeny, dkk (2004) juga
menjelaskan syarat untuk keberhasilan IB diperlukan viabilitas spermatozoa sebesar 60–
80%. Sedangkan untuk nilai motilitas semen segar dijelaskan oleh Hafez (2000) syarat
minimal nilai post thawing motility agar spermatozoa dapat digunakan dalam
penyimpanan hingga Inseminasi Buatan adalah 40%.
Pengenceran semen dilakukan pada konsentrasi 10%, 15% dan 20%. Pengenceran
semen adalah upaya untuk memperbanyak volume semen, mengurangi kepadatan
spermatozoa serta menjaga kelangsungan hidup spermatozoa sampai waktu tertentu pada
kondisi penyimpanan dibawah atau diatas titik beku (Rusdin dan Jum’at 2000).
Penambahan pengencer larutan pengencer yang dapat mempertahankan kehidupan
spermatozoa dengan memberikan nutrisi sumber energi. Pada proses penyimpanan
spermatozoa diperlukan bahan pengencer yang tidak hanya sebagai bahan pengencer
sperma saja tetapi juga harus mampu berfungsi sebagai penyedia sumber nutrisi bagi
spermatozoa sehingga fungsionalitas dan kapabilitas spermatozoa dapat dipertahankan.
Pada praktikum ini digunakan pengencer ringer dengan suplemen kuning telur.
Menurut Ridwan (2008), larutan ringer dapat digunakan sebagai pengencer semen
sebab komposisi kimianya relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen.
Larutan pengencer semen yang memiliki komposisi kimia lebih lengkap akan
memberikan fungsi yang baik bagi spermatozoa yang diencerkan, subtrat-subtrat nutrisi
diperlukan spermatozoa untuk mempertahankan hidupnya, terutama bagi spermatozoa
yang disimpan terlebih dahulu sebelum diinseminasikan. Ringer Laktat dan Ringer
Dextrose tersusun atas bahan-bahan anorganik serta memiliki komposisi kimia yang
relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen. Larutan Ringer Laktat dan Ringer
Dextrose memungkinkan untuk mempertahankan abnormalitas spermatozoa. Larutan
Ringer Laktat mengandung senyawa Na-Laktat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
ion sodium bikarbonat yang berfungsi untuk mempertahankan keasaman larutan/
penyanggah larutan serta mampu mempertahankan tekanan osmotik larutan
(Sastrodihardjo dan Resnawati, 1999).
Kuning telur memiliki komposisi gizi yang lebih lengkap dibandingkan dengan putih
telur. Komposisi utama kuning telur adalah air, protein, lemak, karbohidrat, mineral dan
vitamin (Sarwono,1995). Protein yang terkandung dalam kuning telur termasuk protein
yang sempurna karena mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah yang
cukup besar (Haryanto, 1996). Menurut Toelihere (1979), kuning telur mengandung
lipoprotein dan lichtin yang dapat digunakan untuk mempertahankan dan melindungi
integritas selubung lipoprotein dari sel spermatozoa serta dapat mencegah cold shock.
Pengamatan motilitas dilakukan dengan cara mengambil satu tetes sperma dengan
menggunakan pipet (±0,01 ml) dan diletakkan pada obyek glass kemudian diteteskan
dengan aquades diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400X kemudian
mengitung jumlah spermatozoa yang masih bergerak. Pengamatan viabilitas dilakukan
dengan cara menggunakan pengencer berupa larutan pewarna eosin. Prosedur
pengamatan dengan metode pewarnaan yaitu dengan mengambil satu tetes sperma (±
0,01 ml) yang telah disimpan tadi dan letakkan pada obyek glass kemudian ditambah
dengan cairan pewarna eosin lalu homogenkan, selanjutnya dibuat preparat dengan cara
menekan dan mendorong menggunakan cover glass membentuk sudut 45o kemudian
dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x, untuk dihitung jumlah
spermatozoa yang hidup dan berapa jumlah spermatozoa yang mati agar dapat diperoleh
viabilitas dari spermatozoa. Sperma yang mati akan menyerap zat warna merah dan yang
hidup akan tetap berwarna transparan pada bagian dalam selnya (Solihati, 2009).
Pemeriksaan viabilitas berguna untuk mengetahui sampai berapa lama spermatozoa
tersebut hidup (viable) atau tidak hidup (unviable) yang pada penampakan spermatozoa
tidak bergerak atau imotil dalam proses penyimpanan dengan penambahan larutan
pengencer. Spermatozoa yang imotil belum tentu spermatozoa tersebut sudah mati.
Lingkungan yang tidak sesuai akan menyebabkan spermatozoa tidak mampu bergerak
tetapi jika spermatozoa tersebut berada lingkungan yang mendukung maka spermatozoa
tersebut akan bergerak kembali (Souhoka, D.F., dkk. 2009).
Rahardianto, dkk (2012) menjelaskan masih adanya nilai motilitas spermatozoa
setelah dilakukan penyimpanan dikarenakan nutrisi yang disediakan larutan pengencer
masih ada untuk digunakan spermatozoa. Penurunan persentase motilitas spermatozoa
selama penyimpanan terjadi karena berkurangnya oksigen. Selama penyimpanan wadah
yang digunakan untuk menampung sperma dan larutan pengencer adalah tabung yang
ditutup rapat dan disimpan dalam lemari es. Selama penyimpanan, spermatozoa terus
melakukan aktivitas yang membutuhkan energi dimana energi tersebut dapat berasal dari
plasma sperma maupun pengencer yang ditambahkan. Metabolisme spermatozoa dapat
berlangsung secara aerob maupun anaerob. Ketika terdapat oksigen, metabolisme
fruktosa 9 kali lebih efisien dalam menghasilkan energi dan dimetabolisir secara
sempurna menjadi CO2 + H2O. Sebaliknya, jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi
maka metabolisme spermatozoa akan berjalan secara anaerob. Metabolisme spermatozoa
dalam keadaan anaerob menghasilkan asam laktat yang mengakibatkan penurunan pH di
lingkungan sperma. Pada kondisi lingkungan yang asam, daya gerak spermatozoa akan
menurun. Peningkatan konsentrasi laktat melebihi batas toleransi dapat menyebabkan
kematian.
Pada penelitian ini dihasilkan persentase motilitas yang masih layak dipakai untuk
inseminasi buatan atau diteliti lebih lanjut hanya sampai hari pertama pada pengamatan \
karena standar motilitas yang banyak digunakan dalam program inseminasi buatan
ataupun diteliti lebih harus memiliki persentase motilitas paling sedikit 40%.
(Rahardianto, dkk. 2012).
Pengamatan pada 2 jam pertama dan 2 jam kedua nilai viabilitas dan motilitas
spermatozoa terus menurun dan nilai tertinggi pada konsentrasi 10 %. Hal tersbut
disebabkan karena pada konsentrasi 10% kepadatan spermatozoa yang rendah dengan
bahan pengencer yang sama sehingga suplemen lebih efektif untuk spermatozoa pada
konsentrasi 10% yang menyebabkan pada konsentrasi 10% lebih bertahan lama. Setiap
makhluk hidup mempunyai batas toleransi terhadap cairan yang ditransportasikan ke
dalam tubuh. Jika konsentrasi larutan di luar sel lebih tinggi dari pada di dalam sel maka
cairan sel tersebut akan bertransportasi ke luar sel sehingga sel tersebut mengalami
krenasi. Apabila konsentrasi larutan di luar sel lebih rendah daripada di dalam sel maka
cairan diluar sel akan bertransportasi masuk ke dalam sel sehingga sel mengalami lisis.
Motilitas dan viabilitas spermatozoa paling optimal pada media dengan konsentrasi
kuning telur 10% karena konsentrasi kuning telur 10% merupakan batas toleransi
optimal. Sedangkan pada konsentrasi kuning telur 5% , cairan di luar sel sperma masuk
ke dalam sel sperma sehingga sel sperma mengalami lisis dan menyebabkan sperma mati.
Pada konsentrasi kuning telur 15%, cairan di dalam sel sperma dikeluarkan sehingga sel
sperma mengalami krenasi dan menyebabkan sel sperma mati.
Suhu memiliki peranan dalam mempengaruhi motilitas spermatozoa. Secara teoriris
suhu udara yang menurun akan mempengaruhi motilitas spermatozoa menjadi lebih lama
dan suhu yang meningkat akan mengakibatkan motilitas spermatozoa menjadi lebih cepat
berhenti. Pada suhu dingin motilitas spermatozoa akan bertahan lebih lama akan tetapi
kualitas sperma menurun dengan dipengaruhi lamanya waktu penyimpanan. Rizal (2008)
menyatakan bahwa penyimpanan semen pada suhu rendah (umumnya pada suhu 3-5°C
dan -196°C) sering terjadi suatu proses yang disebut cekaman dingin (cold shock) yang
dapat merusak membran plasma sel dan berakibat kematian spermatozoa. Berdasarkan
hasil yang telah diperoleh, spermatozoa mati setelah perlakuan 2 jam kedua. Hal tersebut
disebabkan suhu yang mengalami kenaikan ketika dalam perjalanan menuju tempat
penelitian. Cahaya dari lampu mikroskop yang terlalu terang saat proses pengamatan juga
mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu sehingga spermatozoa mati.
BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu :
1. Berbagai konsentrasi kuning telur yang berbeda dalam pengencer riger memengaruhi
kualitas spermatozoa ikan patin.
2. Konsentrasi kuning telur yang paling optimal untuk pengencer spermatozoa ikan patin
adalah konsentrasi 10%.

5.2. Saran
Diharapkan pada penelitian selanjutnya, menggunakan pengencer yang lebih cocok
untuk penyimpanan spermatozoa ikan agar waktu penyimpanan dapat bertahan lebih
lama dan kualitas spermatozoa (motilitas dan viabilitas) lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Agustian, d. 2014. Pengaruh Lama Simpan Semen dengan Pengencer Tris Aminomethan
Kuning Telur pada Suhu Ruang terhadap Kualitas Spermatozoa Kambing Ismaya.
Yogyakarta: UGM Press.
Anggraeny, Yenny Nur., Affandhy, Lukman., dan Rasyid, Ainur. 2004. Effektifitas Substitusi
Pengencer Tris-Sitrat Dan Kolesterol Menggunakan Air Kelapa Dan Kuning Telur
Terhadap Kualitas Semen Beku Sapi Potong. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
Dan Veteriner 2004.
Ariyani, E. 2006. Penetapan Kandungan Kolesterol pada Telur Ayam Petelur. Bogor: Balai
Penelitian Ternak.
Cabrita, E., Robles, V., & Herraez, P. 2008. Methods in Reproductive Aquaculture Marine
and Freshwater Species. New York: Boca Raton.
D.F. Souhoka, M.J. Mataluta, W.M.M. Nalley dan M. Rizal, “LaktosaMempertahankan Daya
Hidup Spermatozoa Kambing Peranakan Etawahyang Dipreservasi dengan Plasma
Semen Domba Priangan,” JurnalVeteriner September, Vol. 10, No 3 (2009) 135-142.
Ducha, N. 2012. Suplementasi Kuning Telur Dalam Pengencer CEP-2 Terhadap Kualitas dan
Integritas Membran Spermatozoa Sapi Limousin Selama Penyimpanan pada Suhu 4-5oC.
Disertasi. Malang : Universitas Brawijaya.
Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air. Yogyakarta: Kanisius.
FAO. 2013. FAO Yearbook: Fisheries and Aquaculture Statistics 2011 (Production from
Aquaculture by Country and by Species). Rome, Italy: FAO.
Fauziyah, A, P. Dwijananti. 2013. Pengaruh Radiasi Sinar X Terhadap Motilitas Sperma Pada
Tikus Mencit (Mus muculus). Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia.
Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Alfabeta.
Fujaya. 2002. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan, Proyek Peningkatan
Penelitian Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Ginzburg, A.B. 1972. Fertilization in Fishes and the Problem of Polyspermy. Jerusalem:
Israel Program for Scientific Translations.
Hafez, E. S. E. 2000. Semen Evaluation. In: Reproduction In Farm Animals. 7 th Edition.
Lippincott Wiliams and Wilkins. Maryland. USA.
Hardijanto, S. S. 2010. Buku Ajar Inseminasi Buatan. Surabaya: Airlangga University Press.
Haryanto. 1996. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung : Penerbit Angkasa.
Inounu, I. 2014. Upaya Meningkatkan Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Ternak
Ruminansia Kecil. WARTAZOA Vol. 24 No. 4 , 201-209.
Junior, M. S. 2005. Kualitas Sperma Ikan Batak (Tor soro) Hasil Kriopreservasi Semen
Menggunakan Dimetilsulfoksida (DMSO) dan Gliserol 5, 10 dan 15%. Jurnal Akuakultur
Indonesia, 4 (2) , 145-151.
Karyadi, E. 1997. Uji aktivitas antiradical dengan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil)
dan Penetapan Kadar Fenol Total Ekstrak Daun Keladi Tikus (Thyponium divaricatum
(Linn) Decne). Pharmacon, Vol(6)2 , 51–-56.
Kazakov, R.V. 1981. Peculiarities of Sperm Production by Anadromous and Atlantic Salmon
(Salmo salar) and Fish Cultular Characteristics such Sperm. J. Fish Biol. 18(1): 1-18.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peta Budidaya Tangkap Ikan Serta Prinsip
Pengolahannya. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Khairuman, D. Sudenda, dan B. Gunadi. 2002, Budi Daya Ikan Mas Secara Intensif,
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Kordi, M. G. 2005. Budidaya Ikan Patin: Biologi, Pembenihan dan Pembesaran. Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama.
Nurman. 1998. Pengaruh Penyuntikan Ovaprim Terhadap Kualitas Spermatozoa Ikan Lele
Dumbo (Clarias Gariephynus B). Jurnal Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Vol.
7 No. 2 , 3-42.
Permatasari, W. E. 2013. Studi Tentang Pengencer Kuning Telur Dan Pengaruhnya Terhadap
Kualitas Semen Beku Sapi Jawa Brebes. Animal Agriculture Journal, Vol. 2. No. 1 , 143
– 151.
Rahardhianto, Arsetyo., Abdulgani, Nurlita dan Ninis Trisyani. 2012. “Pengaruh Konsentrasi
Larutan Madu dalam NaClFisiologis terhadap Viabilitas dan MotilitasSpermatozoa Ikan
Patin (pangasiuspangasius) selamaMasa Penyimpanan”. Jurnal SAINS DAN SENI ITS,
Vol. 1, No. 1, (Sept. 2019).
Ridwan, 2008. Pengaruh Jenis Pengecer Semen Terhadap Motilitas, Abnormalitas dan Daya
Tahan Hidup Spermatozoa Ayam Buras pada Penyimpanan Suhu 5 o C. J. Agroland Vol.
15 (3) : 229-235.
Rizal, M. dan Herdis. 2008. Inseminasi Buatan pada Domba. Jakarta: Rineka Cipta.
Rusdin dan K. Jum’at., 2000. Motilitas dan Recovery Sperma Domba dalam Berbagai
Pengencer Selama Penyimpanan Pada Suhu 5 º C. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako, Palu.
Salisbury, G. W. dan Vandemark, N. L. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Saparinto, C. 2010. Usaha Ikan Konsumsi di Lahan 100 m2. Jakarta : Penebar Swadaya.
Sarwono, Sarlito. 1995. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo
Sastrodihardjo, S. d. 1999. Inseminasi Buatan pada Ayam Buras. Jakarta: Penebar Swadaya.
Scott, D.B.C. 1979. Environmental Timing and the Control of Reproduction in Teleost Fish.
Zoot. Soc. Load, 44: 105-132.
Siahaan, L. D. 2009. Pengujian Berbagai Level Kombinasi Pengencer Susu Kambing-Kuning
Telur dan Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Sperma Entok. Sumatera Utara:
Universitas Sumatera Utara Press.
Slembrouck, J. O. 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia. Jakarta: Pusat
Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Solihati, N. K. 2009. Pengaruh Jenis Pengencer Terhadap Motilitas dan Daya Tahan Hidup
Spermatozoa Semen Cair Sapi Simmental. Jurnal Pendidikan Fakultas Peternakan
Universitas Padjajaran , 3-4.
Susanto, H. 2008. Budi Daya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.
Susilawati, T. 2011. Spermatozoatology. Malang. Universitas Brawijaya Press.
Susilowati, S. H. 2010. Penuntun Praktikum Inseminasi Buatan. Surabaya: Airlangga
University Press.
Tang, U.M. dan R. Affandi. 1999. Biologi Reproduksi Ikan. PT. Kanisius. 110 hal.
Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Angkasa.
Toelihere, M.R. 1979, Fisiologi Reproduksi pada Ternak, Penerbit Angkasa, Bandung. Utiah,
A. (2000). Pola reproduksi tahunan ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus) dalam
wadah budidaya bersumber air sungai dan air danau. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
WHO., 2010. The World Health Report 2010. http://www.who.int./whr/2010/en/index.html
Akses 28 September 2019.
Zairin, M. Jr. 2000. Pengaruh Perendaman Embrio di dalam Larutan 17 α - Metiltestosteron
terhadap Nisbah Kelamin Ikan Tetra Kongo (Micralestes interruptus). Jumal Biosains,
Bandung. 5: 7-12.
Zul, Saryono, P. Sulistyati., D., dan Martina, A. 2007. Identifikasi Jamur Pendegradasi Inulin
pada Rizosfer Umbi Dahlia (Dahlia variabilis). Jurnal Natur Indonesia 11 (1): 22-27.

Anda mungkin juga menyukai