Anda di halaman 1dari 9

kin kun

AUG

MAKALAH : Landasan Religius

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Landasan bimbingan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan
bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu
membutuhkan fondasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fondasi
yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula pada layanan
bimbingan konseling , apabila tidak didasari oleh fondasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan
kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah
individu yang dilayaninya (klien) atau siswa

Pada makalah ini landasan yang akan kami bahas adalah Landasan Religius. Landasan religius masih
berbicara tentang manusia, tetapi khusus dikaitkan pada aspek-aspek keagamaan. Pemuliaan manusia
sebagai makhluk Tuhan yang menjadi fokus pembahasan.

1.2 Rumusun Masalah

- Bagaimanakah implikasi Landasan Religius dalam bimbingan dan konseling?

1.3 Tujuan

- Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman/ pengetahuan tentang Landasan
Religius yang digunakan dalam bimbingan dan konseling dan implikasinya terhadap penerapan BK itu
sendiri.

1.4 Manfaat

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

a. Mahasiswa dapat mengetahui tentang Landasan Religius dalam bimbingan


konseling.

b. Mahasiswa dapat mengetahui pelaksanaan Landasan Religius dalam praktek

sehari-hari.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 LANDASAN RELIGIUS DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

Landasan Religius

Agama (Religion) berasal dari kata Latin “religio”, berarti “tie-up”. Dalam bahasa Inggris, Religion dapat
diartikan “having engaged ‘God’ atau ‘The Sacred Power’.

Secara umum di Indonesia, Agama dipahami sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai,
pengalaman dan yang terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang
diterapkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi.

Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini
adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata
telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan
berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata
kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan
berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.

Pemahaman agama di sekolah sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan
kepribadian anak didik, karena pendidikan agama mempunyai dua aspek penting yaitu :

· Aspek pertama dari pendidikan agama, adalah ditujukan kepada jiwa atau pembentukan
kepribadian.

· Aspek kedua dari pendidikan agama, adalah ditujukan kepada pikiran atau pengajaran agama itu
sendiri.

Ada beberapa peran agama dalam kesehatan mental, antara lain :

1. Dengan agama dapat memberikan bimbingan dalam hidup


2. Aturan agama dapat menentramkan batin.

3. Ajaran agama sebagai penolong dalam kebahagiaan hidup

4. Ajaran agama sebagai pengendali moral

5. Agama dapat menjadi terapi jiwa

6. Agama sebagai pembinaan mental

Landasan religius bimbingan dan konseling pada dasarnya ingin menetapkan klien/siswa sebagai
makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaannya menjadi fokus sentral upaya bimbingan dan konseling
(Prayitno dan Erman Amti, 2003: 233).

Pendekatan bimbingan dan konseling yang terintegrasi didalamnya dimensi agama, ternyata
sangat disenangi oleh masyarakar Amerika dewasa ini. Kondisi ini didasarkan kepada hasil polling Gallup
pada tahun 1992 yang menunjukkan:

1. Sebanyak 66% masyarakat menyenangi konselor yang profesional, yang memiliki nilai-nilai
keyakinan dan spiritual.

2. Sebanyak 81% masyarakat menyenangi proses konseling yang memperhatikan nilai-nilai keyakinan
(agama).

2.2 Hakikat Manusia Menurut Agama


Manurut sifat hakiki manusia adalah makhluk beragama (homo religius), yaitu makhluk yang mempunyai
fitrah untuk memahami nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan
kebenaran agama itu sebagai rujukan (referensi) sikap dan perilakunya.

Dalil yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai fitrah beragama adalah QS. Al’Araf: 172, yang
berbunyi: “Alastu birobbikum, qaaluu balaa syahidnaa = Bukankah aku ini tuhanmu? Mereka menjawab,
ya kami bersaksi bahwa engkau Tuhan kami”.

Fitrah beragama ini merupakan potensi yang arah perkembangannya amat tergantung pada kehidupan
beragama lingkungan dimana orang (anak) itu hidup, terutama lingkungan keluarga. Yang apabila
kondisi tersebut kondusif, maka anak itu berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia, berbudi
pekerti luhur (berakhlaaqul kariimah). Dan apabila bersikap sebaliknya atau masa bodoh, acuh tak acuh,
atau bahkan melecehkan ajaran agama, dapat dipastikan anak akan mengalami kehidupan yang tuna
agama, tidak familiar (akrab) dengan nilai-nilai atau hukum-hukum agama, sehingga sikap dan
perilakunya tidak akan baik, dan hanya mengikuti hawa nafsu.

Keberadaan hawa nafsu disamping memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, dan juga melahirkan
madlarat (ketidak nyamanan, atau kekacauan dalam kehidupan, baik personal maupun sosial). Kondisi
ini terjadi apabila hawa nafsu itu tidak dikendalikan, karena memang sifat yang melekat pada hawa
nafsu adalah mendorong manusia kepada keburukan dan kejahatan.

2.3 Peranan agama

Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia telah memberikan petunjuk tentang berbagai aspek
kehidupan atau pengembangan mental (rohani) yang sehat. Sebagai petunjuk hidup bagi manusia dalam
mencapai mentalnya yang sehat, agama berfungsi sebagai berikut:

a. Memelihara fitrah

Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Namun manusia mempunyai hawa nafsu, dan juga ada
pihak luar yang senantiasa berusaha menyelewengkan manusia dari kebenaran, yaitu setan, dimana
manusia sering terjerumus melakukan perbuatan dosa. Oleh karena itu maka manusia harus beragama,
dan bertaqwa kepada Allah. Apabila manusia telah bertakwa kepada Tuhan, berarti ia telah memelihara
fitrahnya, dan ini juga berarti bahwa dia termasuk orang yang akan memperoleh rahmat Allah,

b. Memelihara jiwa

Agama sangat mengahargai harkat dan mertabat, atau kemuliaan manusia. Dalam memelihara
kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan manusia melakukan penganiayaan, penyiksaan, atau
pembunuhan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

c. Memelihara Akal

Allah telah memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya, yaitu
akal. Dengan akal inilah manusia bisa berpikir, dan bisa membedakan baik dan buruk.

Karena pentingnya peran akal ini. Maka agama memberikan petunjuk kepada manusia untuk
mengembangkan dan memeliharanya, yaitu dengan cara mensyukuri nikmat akal ini, dengan
memanfaatkan seoptimal mungkin untuk berpikir terhadap hal-hal yang baik dan berguna bagi dirinya
dan orang lain.

d. Memelihara Keturunan

Agama mengajarkan manusia tentang cara memelihara keturunan atau sisten regenerasi yang suci.
Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan adalah pernikahan. Pernikahan ini bertujuan
untuk mewujudkan keluarga yang sakinah dan mawaddah serta mendapat curahan karunia dari Allah.

M. Surya (1977) mengemukakan bahwa agama memegangperanan sebagai penentu dalam proses
penyesuaian diri. Hal ini diakui oleh ahli klinis, psikiatris, pendeta, dan konselor bahwa agama adalah
faktor penting dalam memelihara dan memperbaiki kesehatan mental. Agama memberikan susasan
psikologis tertentu dalam mengurangi konflik, frustasi, dan ketegangan lainnya, dan memberikan
suasana damai dan tenag.

Pemberian layanan bimbingan semakin diyakini kepentingannya bagi anak atau siswa, mengingat
dinamika kehidupan masyarakat dewasa ini cenderung lebih kompleks, terjadi perbenturan antara
berbagai kepentingan yang bersifat kompetitif, baik menyangkut aspek politik, ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi, maupun aspek-aspek yang lebih khusus tentang perbenturan ideologi,
antara yang benar dan yang salah.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta praktik-praktik kehidupan politik dan
ekonomi yang tidak berlandaskan moral agama telah menyebabkan kerkembangnya gaya hidup (life
style) , materialistik, dan hedonistik di kalangan warga masyarakat. Dampak lebih jauhnya dari gaya
hidup tersebut adalah merebaknya dekadensi moral atau pelecehannilai-nilai agama, baik dikalangan
orang dewasa, remaja, maupun anak-anak.

2.4 Implikasi landasan religius dalam bimbingan dan konseling

Landasan religius dalam bimbingan dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai “helper”,
pemberian bantuan yang dituntut untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen
yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam
memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada klien atau peserta didik. Konselor semestinya
menyadari bahwa memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada klien merupakan salah satu
kegiatan yang bernilai ibadah, karena didalam proses bantuanya terkandung nilai “amar ma’ruh nahyi
munkar” (mengembangkan kebaikan dan mencegah keburukan). Agar bantuan layanan yang diberikan
itu bernilai ibadah, maka kegiatan tersebut harus didasarkan kepada keikhlasan dan kesabaran.

Kaitannya dengan hal tersebut, Prayitno dan Erman Amti mengemukakan persyaratan bagi konselor,
yaitu sebagai berikut.

a. Konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan
ketakwaannya sesuai dengan agama yang dianutnya.

b. Konselor sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang
relevan dengan masalah klien.

Konselor harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama klien.


2.5 TERAPI KEJIWAAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA DAN KAITANNYA DALAM BIMBINGAN
KONSELING

Pada diri counselee juga ada benih-benih agama, sehingga untuk mengatasi masalah dapat dikaitkan
dengan agama, dengan demikian pembimbing dan konselor dapat mengarahkan individu (counselee)
kearah agamanya.

Salah satu akibat terjadinya gangguan jiwa adalah ketidakberhasilan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan primer (jasmaniah) maupun rohaniah (psikis dan sosial). Hal
ini menimbulkan perasaan gelisah dan terganggunya kestabilan emosi seseorang.

Kesehatan mental adalah suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman, dan
tentram. Upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian
diri secara Resignasi. Para ahli jiwa (Psikolog) mengakui, bahwa taubat merupakan sarana pengobatan
gangguan kejiwaan yang jitu. Karena ada sebagian orang yang dihinggapi Maniac Depresive, yang
disebabkan karena adanya perasaan bersalah.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan dan konseling merupakan
bagian integral dari pendidikan. Landasan agama dalam bimbingan dan koseling merupakan dasar
pijakan yang paling penting yang harus dipahami secara menyeluruh dan komprehensif bagi seorang
konselor. Karena konselor tidak hanya sekedar menuangkan pengetahuan ke otak saja atau pengarahan
kecakapannya saja tetapi agama penting untuk menumbuhkembangkan moral, tingkah laku, serta sikap
siswa yang sesuai dengan ajaran agamanya. Oleh karena itu disinilah posisi keagamaan menjadi semakin
penting untuk mengatasi kegelisahan-kegelisahan jiwa yang dialami setiap manusia.

Landasan agama harus diupayakan seoptimal mungkin dalam pelaksanaan bimbingan konseling di
sekolah. Konselor haruslah senantiasa berpijak pada landasan agama dan memberikan siraman rohani
pada siswa-siswanya agar siswa tersebut memperoleh pengetahuan yang cukup sehingga menjadi suatu
bekal serta menjadikan jiwa-jiwa yang kuat ketika menghadapi permasalahan kelak. Demikianlah
makalah ini semoga bermanfaat bagi kita semua, amin.

3.2 SARAN

Dalam proses Bimbingan Konseling, diperlukan yang namanya landasan religius. karena dalam setiap
pemecahan masalah, landasan religius merupakan suatu pedoman dalam mengatasi masalah kliennya
atau individu.

DAFTAR PUSTAKA

Sudrajat, Akhmad, M.Pd., 2008, Landasan Bimbingan dan Konseling.

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Jalaludin, 2004, Psikologi Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Syamsu yusuf dan Juntika Nurihsan, 2011, Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung :

PT Remaja Rosdakarya.

Diposting 1st August 2013 oleh Anonymous


1 Lihat komentar

Anonymous25 Oktober 2018 05.32

Kurang contohnya

Balas

Memuat

Anda mungkin juga menyukai