Anda di halaman 1dari 11

SCABIES

A. DEFINISI
Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi Sarcoptes
scabiei var. Huminis dan produknya. Penyakit ini disebut juga the itch, seven year itch,
Norwegian itch, gudikan, gatal agogo, budukan atau penyakit ampera (Harahap, 2008). Scabies
adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite) kecil berkaki delapan yang mudah
menular dari manusia ke manusia, hewan ke manusia atau sebaliknya melalui kontak fisik.
Sarcoptes scabiei termasuk pada filum Arthropoda dan kelas Arachanida. Secara
morfologik, tungau skabies berukuran kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian
perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Tungau skabies
berbentuk oval dengan ukuran 0,4 x 0,3 mm pada jantan dan 0,2 x 0,155 pada betina (Brown
dkk, 2002). Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat
untuk melekat, dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada
jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.
Skabies dapat terjadi pada semua kelompok umur. Penularan dapat terjadi melalui kontak
fisik yang erat seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual, serta dapat juga
melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur (Brown dkk, 2002). Beberapa faktor
yang dapat membantu penyebarannya adalah tingkat kebersihan yang jelek, demgrafi, ekologi
dan derajat sensitasi individual (Harahap, 2008).

B. PATOFISIOLOGI
Penularan skabies didominasi melalui hubungan langsung antara kulit dan kulit, oleh
karena itu penyakit ini dianggap sebagai penyakit menular seksual. Tungau skabies hanya dapat
berpenetrasi sampai pada lapisan stratum korneum.
Seseorang yang terinfestasi dengan tungau dapat menyebarkan skabies meskipun
dalam kondisi asimptomatis (Anonim, 2013). Interval yang lama (sampai 10 minggu) terjadi
diantara infeksi primer dan terjadinya manifestasi klinis (Currie BJ, McCarthy JS, 2010).
Scabies jarang ditularkan melalui kontak tidak langsung. Namun, semakin besar jumlah parasit
pada seseorang, semakin besar kemungkinan bahwa kontak tidak langsung akan menularkan
penyakit.
Siklus hidup tungau skabies skabies dimulai dengan mengalami kopulasi
(perkawinan) yang terjadi diatas kulit, dimana spesies jantan akan mati meskipun terkadang
masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh betina. Tungau betina yang
telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 – 3 mm sehari
dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapi jumlah 40 atau 50. Tungau
betina yang dibuahi dapat hidup selama sebulan. Setelah itu, telur akan menetas dalam waktu 3
-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam
terowongan yang dibentuk ataupun dapat keluar. Setelah 2 – 3 hari larva akan menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidup dari
telur sampai dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12 hari.
Pada infeksi skabies klasik, biasanya 10 – 15 tungau hidup pada host (Chosidow,
2006). Sedikit bukti yang menyatakan bahwa infeksi terjadi pada bulan pertama, tetapi setelah
empat minggu dan baru akan diikuti dengan infeksi, hipersensitivitas tipe empat tertunda akan
mengakibatkan reaksi dengan tungau, telur, dan feses. Waktu yang dibutuhkan untuk
menginduksi imunitas diinfestasi di primer kemungkinan terjadi pada minggu keempat periode
laten asimptomatik. Dengan reinfestasi, sensitisasi pada individu dapat mengembangkan reaksi
dengan cepat. Erupsi kulit yang dihasilkan dan adanya pruritus yang intense adalah ciri dari
klasik skabies. Studi imunologi menganalisis pola dan tipe infiltrasi sel pada lesi di skabies
menyimpulkan bahwa dominasi sel T4 yang mengakibatkan gatal bertahan lama, sedangkan
peningkatan sel T8 menurunkan pruritus (Galadari dkk, 2006).
Infeksi skabies Norwegian adalah bentuk yang khas dan penyakit yang sangat menular.
Pada tipe ini terdapat ratusan hingga jutaan tungau yang berada dalam host, yang biasanya
immunocompromised, pada orang tua, atau keterbelakangan fisik / mental. Skabies Norwegian
sangat sulit dibedakan dengan dermatitis parah atau psoriasis karena tersebar luas, lesi tebal,
terdapat hyperkeratotic pada siku, lutut, telapak tangan, dan telapak kaki. Diagnosis pada
skabies tipe ini harus dipertimbangkan ketika dermatitis atau psoriasis tidak memberikan respon
pada pengobatan biasa.
Adanya peningkatan serum IgE dan IgG secara ekstrim terjadi pada pasien dengan
skabies Norwegian, namun reaksi imunnya nampaknya tidak menjadi pelindung. Cell-mediated
immunity di skabies klasik menunjukan dominasi sel T4 dalam infiltrat dermal, sementara itu
sebuah studi menunjukan dominasi sel T8 pada skabies Norwegian.

C. GEJALA KLINIK
 Gejala khas adalah liang pada permukaan kulit.
 Rasa gatal yang sangat pada bagian kulit seperti sela-sela jari, siku dan selangkangan.
 Kemerahan.
 Iritasi pada kulit.
 Muncul gelembung berair pada kulit.
 Biasanya ada infeksi sekunder, misalnya akibat bakteri.
 Pada bayi, gejala yang khas yaitu adanya bisul pada telapak tangan dan telapak kaki.

Empat tanda cardinal scabies yaitu (Handoko, R, 2005) :


a. Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau
ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab
b. Menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya
seluruha nggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang
padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan terinfeksi tungau
tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota keluarganya terkena,
walaupun mengalami infeksi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini
dinamakan sebagai pembawa (carrier).
c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat predileksi yang berwarna putih atau
keabuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjangnya 1 cm dan diujungnya
terdapat papul atau vesikel) dan ditemukan tungau. Tempat predileksinya biasanya
merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis yaitu sela-sela jari tangan, siku
bagian luar, areola mamalia (wanita), genitelia eksterna (pria) dan perut bagian bawah.
Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
d. Ditemukan adanya tungau, hal ini merupakan hal yang paling diagnostik.

Tanda-tanda umum scabies:


 Adanya papula (bintil).
 Adanya pustule (bintil bernanah).
 Adanya ekskoriasi (bekas garukan).
 Bekas-bekas lesi yang berwarna hitam.

D. DIAGNOSIS
Diagnosis scabies dapat ditegakkan melalui penemuan tungau,dengan metode-metode:
 Kerokan kulit
Untuk mendiagnosis kudis ini dilakukan melalui kerokan kulit pada keropeng sampai
keluar darah dengan menggunakan skalpel. Hasil kerokan kulit itu diberi beberapa tetes
KOH 10% agar tungau terpisah dari reruntuhan jaringan kulit yang terbawa tersebut.
Setelah itu campuran tersebut diperiksa di bawah mikroskop.
 Mengambil tungau dengan jarum
Jarum dimasukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan tangensial.
Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar
 Epidermal shave biopsy
Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk lalu diiris
dengan scalpel no. 15 sejajar dengan permukaan kulit. Biopsy dilakukan sangat
superfisial sehingga perdarahan tidak terjadi dan tidak diperlukan anestesi.
 Burrow ink test
Papul scabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan selama 2 menit
kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam
terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag.
 Swab kulit
Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan cepat. Selotip
dilekatkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan mikroskop.

 Uji tetrasiklin
Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan, kemudian dibersikan
dan diperiksa dengan lampu Wood. Tetrasiklin dalam terowongan akan menunjukan
fluoresensi.

Diagnosis banding untuk penyakit scabies adalah :


a. Prorigo, biasanya berupa papel-papel yang gatal, predileksi pada bagian ekstensor
ekstremitas.
b. Gigitan serangga, biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan.
c. Folikulitis, nyeri berupa pustule miliar dikelilingi daerah yang eriterm.

E. TUJUAN TERAPI
1. Tujuan utama dalam terapi skabies adalah untuk mengeradikasi penyebabnya, yaitu
tungau Sarcoptes scabiei (kelas arachnida, subkelas acari).
2. Mengurangi rasa gatal.

F. EPIDEMIOLOGI
Scabies ditemukan hampir di seluruh Negara dengan prevalensi yang bervariasi. Di
beberapa Negara yang sedang berkembang, prevalensi scabies sekitar 6% - 27% populasi umum
dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja.
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi scabies. Banyak faktor yang
menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial ekonomi yang rendah, hygiene yang
buruk, hubungan seksual yang bersifat promiskuitas atau sering bergonta-ganti pasangan,
kesalahan diagnosis, dan perkembangan demografi serta ekologi. Selain itu, mudahnya penyakit
ini menular dari manusia ke manusia, hewan ke manusia, dan menusia ke hewan melalui
berbagai cara penularan.
Kejadian wabah disebabkan oleh buruknya sanitasi lingkungan karena peperangan,
pengungsian dan krisis ekonomi. Penyebaran scabies di Amerika Serikat dan Eropa yang terjadi
ternyata terjadi pada situasi normal yaitu tanpa peperangan, tanpa krisis, menyerang masyarakat
di semua tingkat sosial tanpa melihat usia, jenis kelamin, ras atau status kesehatan seseorang.
Scabies endemis di sebagian besar negara berkembang.
G. TERAPI
Tujuan utama dalam terapi skabies adalah untuk mengeradikasi penyebabnya, yaitu
tungau Sarcoptes scabiei (kelas arachnida, subkelas acari). Beberapa obat efektif digunakan
sebagai terapi farmakologis untuk mengobati skabies. Pengobatan juga harus dilakukan terhadap
orang-orang di sekitar pasien, seperti semua penghuni rumah, untuk mencegah penyebaran
infeksi (Andrews, et al., 2009).
Permetrin merupakan terapi farmakologis pilihan dan dianggap paling efektif dalam
mengobati skabies (Strong dan Johnstone, 2007). Permetrin merupakan insektisida dan acarisida
derivat piretroid yang bekerja sebagai neurotoksin pada acarina S. scabiei tetapi relatif aman
bagi mamalia. Permetrin diberikan secara topikal dengan cara dioleskan pada bagian yang
terinfeksi (dari bawah leher) sebelum tidur malam, kemudian dibiarkan selama 8-14 jam, setelah
itu dibilas pada mandi pagi harinya (Andrews, et al., 2009). Pemakaian satu kali normalnya
cukup untuk mengobati infeksi ringan, tetapi untuk kasus menengah sampai berat permetrin
diberikan setiap hari selama 7-14 hari (Andrews, et al., 2009). Permetrin dapat menyebabkan
efek samping berupa iritasi ringan pada bagian kulit yang diaplikasikan, tetapi biasanya dapat
ditoleransi (Hay, 2009). Namun, permetrin merupakan obat dalam sediaan topikal yang paling
mahal dibandingkan obat lainnya (Hay, 2009).
Alternatif lain, dapat juga diberikan ivermectin. Ivermectin adalah antiparasit spektrum
luas. Obat ini diberikan secara oral dan telah dibuktikan dalam banyak studi klinis efektif dalam
mengeradikasi parasit skabies. Obat ini biasanya diberikan hanya satu kali (dosis tunggal) untuk
mengobati pasien skabies (Andrews, et al., 2009). Belum ada uji klinis pemakaian ivermectin
untuk mengobati skabies pada bayi dan obat ini disarankan tidak diberikan untuk pasien pediatri
di bawah 6 tahun (Hay, 2009). Ivermectin dalam sediaan topikal terbukti efektif untuk
mengobati skabies pada pasien dewasa dan banyak digunakan karena harganya yang relatif
murah, pemakaiannya yang mudah, dan toksisitas yang relatif rendah (Victoria dan Trujillo,
2001).
Obat lain yang dapat digunakan dalam terapi skabies antara lain: lindan, benzil benzoat,
malation, dan preparat sulfur (Hay, 2009). Lindan telah terbukti efektif, tetapi potensi efek
neurotoksisitas menyebabkan obat ini dibatasi penggunaannya di beberapa negara (Hay, 2009).
Salep sulfur dan benzil benzoat banyak digunakan di negara-negara berkembang karena
harganya yang murah (Hay, 2009). Salep sulfur biasanya digunakan sekurang-kurangnya selama
satu minggu (Hay, 2009). Larutan sulfur 10% juga telah terbukti efektif dalam sebuah studi (Jin-
Gang, et al., 2010). Dalam suatu studi, crotamiton telah dibuktikan kurang efektif dibandingkan
permetrin di Amerika Serikat (Hay, 2009). Namun, crotamiton dan preparat sulfur sering lebih
dipilih untuk pasien pediatri daripada permetrin, karena adanya efek absorpsi dermal pada
permetrin (Andrews, et al., 2009). Untuk menghilangkan rasa gatal, dapat diberikan tambahan
antihistamin (Vano-Galvan dan Moreno-Martin, 2008).
H. KASUS

An. Ariel (13 tahun) diantar ibu ke poli kulit-kelamin tanggal 30 November 2013
dengan keluhan gatal dan kemerahan pada kaki, ketiak dan pantat. sejak 3 bulan yang lalu
terutama pada malam hari dan disertai demam. Untuk mengurangi keluhan, ibu menaburi tubuh
pasien dengan bedak bayi dan terkadang dengan minyak kelapa dan keluhan dinyatakan dapat
berkurang. Pasien tinggal bersama orang tua dan riwayat orang sekitar mengalami keluhan yang
sama dengan pasien, yaitu kakak pasien. Riwayat pengobatan : ini merupakan kunjungan pasien
yang kedua. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal ibu pasien. Riwayat alergi dan
penyakit atopi disangkal.

PEMBAHASAN KASUS
Sebagai calon farmasis, untuk menanggapi keluhan pasien diperlukan teknik tahapan
bertanya yang sistematis sehingga dapat diperoleh informasi yang lengkap agar dapat
menentukan keputusan swamedikasi yang tepat untuk pasien. Salah satu teknik yang bisa
digunakan adalah  metode WWHAM yaitu:
1. W  Who is it for? (Siapa yang sakit?)
Dimulai dengan menanyakan kepada pasien, untuk siapa swamedikasi ini ditujukan.
Hal ini penting untuk ditanyakan dari awal karena perbedaan subyek akan
mempengaruhi cara pemberian konseling, informasi dan edukasi oleh farmasis. Dalam
kasus ini, yang sakit adalah An. Ariel berumur 13 tahun.
2. W  What are the symptoms? (Apa gejalanya?)
Gejala yang dirasakan oleh pasien perlu diketahui secara detail oleh farmasis untuk
menentukan keparahan penyakit, sehingga farmasis bisa menentukan apakah pasien
masih bisa ditangani dengan swamedikasi atau harus dirujuk ke dokter. Gejala yang
dialami oleh An. Ariel adalah gatal dan kemerahan pada kaki, ketiak dan pantat sejak 3
bulan yang lalu terutama pada malam hari dan disertai demam.
3. H  How long have the symptoms? (Berapa lama gejala diderita?)
Lamanya gejala yang dirasakan juga harus dijadikan pertimbangan untuk menentukan
keparahan pasien. Apabila pasien sudah merasakan gejala dan sudah melakukan
swamedikasi lebih dari 3 hari, seharusnya pasien langsung dirujuk ke dokter. Gejala
tersebut dirasakan oleh An. Ariel sejak tiga bulan yang lalu.
4. A  Actions taken so far? (Tindakan apa yang sudah dilakukan?)
Pertanyaan ini juga perlu diutarakan agar farmasis dapat mengetahui apabila pasien
telah berusaha melakukan swamedikasi sebelumnya. Dalam kasus, untuk mengurangi
keluhan, ibunya menaburi tubuh pasien dengan bedak bayi dan terkadang dengan
minyak kelapa dan keluhan dinyatakan dapat berkurang.
5. M  Medications they are taking? (Obat apa yang sedang digunakan?)
Agar farmasis dapat menentukan swamedikasi yang paling tepat bagi pasien, juga
perlu diketahui apakah pasien sedang melakukan pengobatan dengan menggunakan
obat-obatan lain, meliputi obat bebas, OWA hingga obat herbal. Dalam kasus, An.
Ariel tidak disebutkan pernah mengkonsumsi obat tertentu sebelumnya.

Berdasarkan kasus di atas, didapatkan pasien dengan keluhan : gatal-gatal dan timbul
kemerahan pada kaki,ketiak dan pantat. Gatal dirasa makin hebat pada malam hari. Pasien juga
tinggal bersama orang tua di rumah dan riwayat orang sekitar yang mengalami keluhan sama
dengan pasien. Pasien dapat didiagnosis menderita penyakit scabies dimana hal ini sesuai
dengan teori yang ada bahwa ditemukan 2 dari 4 tanda cardinal scabies. Dua tanda cardinal yang
ditemukan pada kasus ini adalah pruritus nokturna dan adanya orang sekitar pasien yang
mengalami keluhan yang sama. Sehingga dapat didiagnosis sebagai scabies.

 Terapi Farmakologi
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan obat secara
topical dan sistemik. Syarat pengobatan adalah seluruh anggota keluarga harus diobati (termasuk
yang tanpa gejala)
Jenis-jenis obat :
1. Sulfur presipitatum 4-20% salep atau krim.
Efektif terhadap stadium dewasa (> 3 hari), namun salep ini sedikit berbau, jika terkena
pakaian akan menimbulkan noda, terkadang menimbulkan iritasi namun masih dalam batas
normal serta aman digunakan pada bayi. Bila kontak dengan jaringan hidup, preparat ini
akan membentuk hidrogen sulfida dan asam pentationat yang bersifat germisida dan
fungisida. Namun, pemakaian obat ini menimbulkan bau tidak enak, mewarnai pakaian dan
kadang-kadang menyebabkan iritasi. Cara pemakaiannya yaitu dengan mengoleskan krim
setiap setelah mandi ke seluruh tubuh selama 24 jam selama 3 hari berturut-turut.
2. Gamabenzenheksaklorida atau gameksan (GBH) 1% krim atau lotion.
Efektif terhadap semua stadium, jarang menimbulkan iritasi, dan tidak dianjurkan pada
anak < 6 tahun dan wanita hamil karena bersifat toksik terhadap system syaraf pusat.
Gameksan bekerja pada sistem saraf pusat tungau. Gameksan diserap masuk mukosa paru-
paru, mukosa usus dan selaput lendir kemudian ke seluruh bagian tubuh tungau dengan
konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang menyebabkan eksitasi,
konvulsi dan kematian tungau. Gameksan dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin
dan feses. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan gameksan selama 6 jam sudah
efektif. Dianjurkan tidak mengulang pengobatan dalam 7 hari serta tidak menggunakan
konsentrasi selain 1%.
3. Krotamiton 10% krim atau lotion.
Digunakan sebagai krim 10% atau lotion. Mempunyai 2 efek sebagai antiskabies dan
antigatal. Cara pemakaian : Hasil terbaik diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari selama
lima hari berturut-turut setelah mandi dan mengganti pakaian dari leher ke bawah selama 2
malam kemudian dicuci setelah aplikasi kedua. Efek samping yang ditimbulkan berupa
iritasi bila digunakan dalam jangka panjang. Krotamiton 10% dalam krim atau lotion tidak
mempunyai efek sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak kecil.
4. Permetrin 5% krim.
Toksisitas lebih rendah daripada gameksan dan digunakan satu kali pemakaian selama 10
jam. Akan tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk bayi < 2 bulan. Cara kerja: merupakan
sintesa dari pyrethroid dan bekerja dengan cara mengganggu polarisasi dinding sel saraf
parasit yaitu melalui ikatan dengan natrium. Hal ini memperlambat repolarisasi dinding sel
dan akhirnya terjadi paralise parasit. Obat ini merupakan pilihan pertama dalam pengobatan
scabies karena efek toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah dan kecenderungan
keracunan akibat kesalahan dalam penggunaannya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena
hanya sedikit yang terabsorbsi di kulit dan cepat dimetabolisme yang kemudian dikeluarkan
kembali melalui keringat dan sebum dan juga melalui urin.

 Terapi Herbal
Ada beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengobati penyakit
scabies, diantaranya :
1. Daun salam
Kandungan daun salam terdapat antipruritus yang dapat mengobati penyakit scabies.
Cara pemakaian : Cuci daun, kulit, batang, atau akar salam seperlunya sampai bersih, lalu
giling halus sampai menjad adonan, seperti bubur. Balurkan ke tempat yang sakit, kemudian
di balut.
2. Biji Jarak
Biji jarak yang mengandung minyak ricinic dapat digunakan untuk scabies.
3. Daun buah srikaya
Kandungan : daun buah terdapat astringen, antiradang, antheimetik, serta mempercepat
pemasakan bisul dan abses, sifatnya sedikit dingin.

 Terapi Non-Farmakologis
Untuk melakukan pencegahan terhadap scabies, orang-orang yang kontak langsung atau
dekat dengan penderita harus diterapi dengan topikal skabisid. Terapi pencegahan ini harus
diberikan untuk mencegah penyebaran scabies karena seseorang mungkin saja telah
mengandung tungau scabies yang masih dalam periode inkubasi asimptomatik. Selain itu,
untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui sprei, bantal, handuk, dan pakaian yang
digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih dan dikeringkan dengan udara panas
karena tungau scabies dapat hidup hingga 3 hari di luar kulit,karpet dan kain pelapis lainnya
sehingga harus dibersihkan. Pembersihan juga harus dilakukan secara rutin. Jaga
kebersihan kulit agar tetap bersih. Disarankan tidak menggunakan pakaian dan handuk
bersama-sama dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Centers for Disease Control and Prevention.Parasites - Scabies. Tersedia di


http://www.cdc.gov/parasites/scabies/index.html. Diakses pada 16 Desember 2013.

Brown R.G., Burns T. 2002. Lecture Notes Dermatology. Edisike- 8. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Chosidow, O. Clinical practices. Scabies. N Engl J Med. Apr 20 2006;354(16):1718-27.

Currie BJ, McCarthy JS. Permethrin and ivermectin for scabies. N Engl J Med. Feb 25
2010;362(8):717-25.

Galadari I, Sheriff MO. Cell typing of the scabetic lesion and its clinical correlation. Eur
Ann Allergy ClinImmunol. Feb 2006;38(2):55-8.

Harahap M. 2008. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Gramedia.

Iskandar,T. 2000. Masalah Skabies pada Hewan dan Manusia serta


Penanggulangannya.Wartazoa.

Sardjono,T.W. 1997. Faktor-faktor terhadap Keberhasilan Penanggulangan Skabies di


Pondok Pesantren. Indonesia: Maj.Parasitol. Indonesia.

Soedarto,M. 1994. Skabies. Jakarta: Dexa Media.

Sungkar,S. 1991. Cara Pemeriksaan Kerokan Kulit untuk Menegakkan Diagnosis Skabies.
Indonesia: Maj.Parasitol.Indonesia.
MAKALAH PELAYANAN FARMASI

SCABIES

Disusun oleh : Kelompok 9, Kelas B 2011


Atik Fatimah Nur Hidayah FA/08811
Sisca Ucche FA/08814
Andika Dewanto FA/08817
Khriswanti Puja Rahayu FA/08820
Ida Fitriani FA/08823
Herdiana Ayu Pitonia FA/08826

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2013

Anda mungkin juga menyukai