Anda di halaman 1dari 21

Makalah

KELAINAN PERKEMBANGAN PENYEBAB DAN


PROSES TERJADINYA KELAINAN

OLEH

KADITA PUTRI LATIF

NIM 432418043

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah


SWTyang telah memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-
Nyapun tidak akan menyadari begitu banyak nikmat yang telah didapatkandari
Allah SWT. Selain itu, kami juga merasasangat bersyukur karena telah
mendapatkan hidayah-Nya baik iman maupun islam.
Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini yang merupakan tugas mata kuliah Limnologi. Kami
sampaikan terima kasih sebesar- besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah
Struktur perkembangan hewan 2, dan semua pihak yang turut membantu proses
penyusunan makalah ini. Kami menyadari dalam makalah ini masih begitu
banyak kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya
maupun struktur penulisannya, oleh karena itukami sangat mengharapkan kritik
dan saran positif untuk perbaikan dikemudian hari. Demikian semoga makalah
ini memberikan manfaat umumnya pad apara pembacadan khususnya bagi kami
sendiri. Amin.

Gorontalo,03 Januari 2021

Penulis

Kadita Putri latif


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar belakang.......................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................2

2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab kelainan perkembangan ?2


2.2 Mahasiwa mampu menjelaskan proses terjadinya kelainan
perkembangan?............................................................................................2
BAB III PENUTUP...............................................................................................................3

3.1 Kesimpulan..........................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada hampir semua makhluk hidup suatu generasi baru dimulai dari suatu
telur yang telah difertilisasi (dibuahi) atau zigot yaitu suatu sel yang dibentuk
sebagai hasil bersatunya sel telur induk betina dengan spermatozoa dari yang
jantan. Perkembangan merupakan suatu totalitas proses dimana sifat ini akan
dicapai dan perubahan-perubahannya menjelang dan sepanjang fase dewasa, tua
dan akhirnya mati. Struktur utama yang dicapai oleh organisme ini adalah yang
berhubungan dengan ukuran, bentuk dan konstruksi sel-sel, jaringan-jaringan,
dan organ-organnya secara keseluruhan membangun bientuk dari organisme
yang bersangkutan. Perkembangan awal embrio dimulai dari embriogenesis.
Embriogenesis merupakan proses pembentukan organ dari tahap embrio sampai
menjadi organ yang dapat berfungsi
Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan gangguan
bentuk (cacat). Setiap proses yang mengganggu janin dapat berakibat
pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau seluruh janin.
Kegagalan atau ketidak sempurnaan dalam proses embriogenesis dapat
menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari kelainan
yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme,
perkembangan, dan waktu saat terjadinya. Pada makalah ini, penulis berusaha
menjelaskan mengenai kelainan perkembangan embrio dari macam- macam
kelainan perkembangan embrio dan faktor-faktor penyebab kelainan
perkembangan embrio.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa penyebab kelainan perkembangan ?
2. Apa saja proses penyebab kelainan perkembangan?
1.1 Tujuan
1. Mengetahui penyebab kelainan perkembangan embrio
2. Mengetahui proses penyebab kelainan perkembangan embrio
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyebab Kelainan Perkembangan Embrio


Kelainan Perkembangan Embrio atau penyimpangan kongenital secara
umum terjadi pada struktur individu selama perkembangan prakelahiran.
Penyimpangan ini menimbulkan cacat kelahiran pada sebagian populasi
manusia. Dalam beberapa hal penyimpangan ini merupakan kejadian alamiah
kualitatif, dan hanya sedikit saja yang merupakan penyimpangan kuantitatif.
Untuk kasus-kasus tertentu, sebenarnya sulit untuk membedakan antara kondisi
normal dengan kondisi abnormal. Setiap proses yang mengganggu embrio dapat
menyebabkan gangguan bentuk atau kematian. Setiap proses yang menggangu
janin dapat berakibat pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau
seluruh janin. Teratogenesis adalah proses yang menyebabkan terjadinya
berbagai bentuk kelainan perkembangan embrio selama periode embrional yang
disebabkan oleh factor-faktor khemo-external sehingga menyebabkan terjadinya
cacat kelahiran. Ilmu yang yang khusus mempelajari tentang akibat, mekanisme
dan manifestasi embrionik yang cacat (abnormal) yaitu teratologi.
a. Patogenesis
Menurut Effendi (2014) mengklasifikasikan kelainan kongenital atau jenis
anomali pada perkembangan embrio berdasarkan patogenesis, yakni sebagai
berikut :
1) Malformasi
Malformasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh kegagalan atau
ketidak sempurnaan dari satu atau lebih proses embriogenesis. Perkembangan
awal dari suatu jaringan atau organ tersebut berhenti, melambat atau
menyimpang sehingga menyebabkan terjadinya suatu kelainan struktur yang
menetap. Kebanyakan malformasi berawal dari minggu ketiga sampai minggu
kedelapan kehamilan. Anomali ini dapat menyebabkan hilangnya sebagian atau
seluruh struktur organ dan/atau perubahan-perubahan konfigurasi normal.
Beberapa contoh malformasi misalnya bibir sumbing dengan atau tanpa celah
langit-langit, defek penutupan tuba neural, stenosis pylorus, spina bifida, dan
defek sekat jantung.
Malformasi dapat digolongkan menjadi malformasi mayor dan minor.
Malformasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila tidak dikoreksi akan
menyebabkan gangguan fungsi tubuh serta mengurangi angka harapan
hidup. Atau dapat diartikan bahwa malformasi yang menyebabkan cacat
struktural pada organ dan mempunyai risiko kesakitan dan kematian tinggi dan
memerlukan intervensi medis, sedangkan malformasi minor merupakan
gangguan perkembangan yang kurang memberikan dampak medis operarif
maupun kosmetik dan biasanya kurang mempengaruhi kelangsungan hidup
penderita (Rodeck et al, 2001). Sehingga malformasi minor tidak akan
menyebabkan problem kesehatan yang serius dan mungkin hanya berpengaruh
pada segi kosmetik. Malformasi pada otak, jantung, ginjal, ekstrimitas, saluran
cerna termasuk malformasi mayor, sedangkan kelainan daun telinga, lipatan
pada kelopak mata, kelainan pada jari, lekukan pada kulit (dimple), ekstra
putting susu adalah contoh dari malformasi minor.
2) Deformasi
Deformasi terbentuk akibat adanya tekanan mekanik yang abnormal
sehingga mengubah bentuk, ukuran atau posisi sebagian dari tubuh yang
semula berkembang normal, misalnya kaki bengkok atau micrognatia
(mandibula yang kecil). Tekanan ini dapat disebabkan oleh keterbatasan ruang
dalam uterus ataupun faktor ibu yang lain seperti primigravida, panggul
sempit, abnormalitas uterus seperti uterus bikornus, kehamilan kembar.
3) Disrupsi
Disrupsi adalah defek morfologik satu bagian tubuh atau lebih yang
disebabkan oleh gangguan pada proses perkembangan yang mulanya normal.
Ini biasanya terjadi sesudah embriogenesis. Berbeda dengan deformasi yang
hanya disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh
iskemia, perdarahan atau perlekatan.Disrupsi mengakibatkan perubahan
morfologi struktur organ setelah pembentukannya. Penyebabnya adalah
proses-proses yang merusak, seperti kecelakan pada pembuluh darah yang
menyebabkan atresia usus dan misalnya helaian-helaian membrane amnion,
yang disebut pita amnion, dapat terlepas dan melekat ke berbagai bagian
tubuh, termasuk ekstrimitas, jari-jari, tengkorak, serta muka.
4) Displasia
Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan (kelainan struktur)
akibat fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai satu macam jaringan di
seluruh tubuh. Sebagian kecil dari kelainan ini terdapat penyimpangan
biokimia di dalam sel, biasanya mengenai kelainan produksi enzim atau
sintesis protein. Sebagian besar disebabkan oleh mutasi gen. Karena jaringan
itu sendiri abnormal secara
intrinsik, efek klinisnya menetap atau semakin buruk. Ini berbeda dengan
ketiga patogenesis terdahulu. Malformasi, deformasi, dan disrupsi menyebabkan
efek dalam kurun waktu yang jelas, meskipun kelainan yang ditimbulkannya
mungkin berlangsung lama, tetapi penyebabnya relatif berlangsung singkat.
Displasia dapat terus-menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur hidup
b. Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat
Kelainan kongenital menggambarkan defek morfogonesis pada organ
maupun sistem organ pada kehidupan awal fetus. Istilah kelainan kongenital
seharusnya mengikat pada defek struktural saat bayi dilahirkan. Kelainan
kongenital dapat terjadi sejak awal pertumbuhan primordial (dipengaruhi oleh
faktor-faktor intrinsik) atau terjadi kemudian selama pertumbuhan (dipengaruhi
oleh faktor- faktor ekstrinsik) (Rodeck et al, 2001).
Kelainan kongenital sistem saraf pusat mencakup seluruh bentuk kelainan
struktural yang terjadi pada janin baik oleh faktor genetik maupun lingkungan,
yang terjadi pada suatu bagian pada otak dan/atau sumsum tulang
belakang Menurut European Registration of Congenital Anomalies (2010),
kelainan
c. Klasifikasi Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat :
1) Anensefalus
Bayi yang lahir dengan anensefalus ditandai dengan tidak terbentuknya
kubah tengkorak, sehingga otak yang mengalami malformasi menjadi terpapar.
Kemudian, jaringan ini mengalami degenerasi dan meninggalkan massa
jaringan nekrotik. Namun batang otak pada bayi dengan anensefalus tetap
utuh. Keadaan ini terjadi akibat gagalnya penutupan bagian sefalik dari tuba
neuralis. Anensefalus merupakan cacat lethal yang menimbulkan kematian
janin di dalam rahim atau kematian segera sesudah bayi dilahirkan
(Sadler,2000).
Anencephaly adalah adanya kelainan kongenital sebagian besar otak,
tengkorak dan kulit kepala. Merupakan hasil dari proses neurulasi yang gagal,
yang didefinisikan sebagai proses pembentukan jaringan syaraf dari ectoderm.
Pada anencephaly kelainan yang terjadi pada neurulasi adalah pada bagian
kranial (Frosch et al, 2004). Karena itu, jaringan saraf terbuka dan bagian otak
tidak tertutupi dengan tengkorak. Pengembangan dari belahan otak juga tidak
terbentuk (Hussain, 2012).

7
Gambar 2. Telinga yang terlipat, mata melotot
dan lidah yang menjulur keluar (Rashmi et al,
2011)

Bayi dengan anencephaly yang lahir dengan keadaan hidup akan segera
mati. Insiden anencephaly menunjukkan pola multifaktor gen, dengan
interaksi beberapa faktor genetik dan lingkungan. Gen yang spesifik
menyebabkan cacat pada tabung syaraf yang masih belum dapat di
identifikasi. Salah satunya seperti gen metilena tetrahydrofolate reduktase
yang telah menunjukkan adanya hubungan dengan munculnya Neural Tube
Defects (Kurtoglu et al, 2004).
Anencephaly dapat didiagnosis saat masa prenatal dengan tingkat
kepastian yang tinggi. Skrining awal untuk anencephaly dan Cacat tabung
saraf lain dapat dilakukan oleh pengujian dengan serum Alfa-fetoprotein pada
trimester kedua kehamilan dan ultrasonografi pada trimester ketiga kehamilan
(Kasai et al, 1982).
Dalam janin pria berumur 28 minggu, terlihat adanya cacat pada bagian
kranial. Janin menunjukkan tidak adanya sebagian besar kulit kepala dan
tengkorak, juga cacat yang memanjang ke vertebra serviks. Jaringan otak dan
sumsum tulang belakang di daerah serviks terkena bagian eksterior(Gambar
3) (Rashmi et al, 2011).
Craniorachischis diamati pada janin laki-laki berumur 29 minggu.
Terdapat sebuah cacat dalam pembentukan kulit kepala dan tengkorak yang
memanjang hingga toraks bagian bawah kolom vertebral (Gambar 4).
Jaringan otak dan sumsum tulang hanya ditutupi dengan jaringan membran.
Leher pendek, hidung adalah luas dan mata yang melotot (Gambar 5)
(Rashmi et al, 2011).

Gambar 4. Menunjukkan Gambar 5. Menunjukkan craniorachischisis dengan


omphalocele (Rashmi et al, pemanjangan pada daerah cacat 2011) hingga daerah
torak bagian bawah (Rashmi et al, 2011)
2). Meningokel

Meningokel adalah kelainan kongenital berupa penonjolan selaput otak


dan cairan otak lewat defek (lubang) pada tulang kepala. Bila sebagian
jaringan otak ikut menonjol, disebut meningoensefalokel atau ensefalokel
(Martinez et al, 1996). Kelainan ini merupakan bagian dari gangguan yang
dinamakan defek tabung saraf (neural tube defects, NTD’s).
Secara embriologis ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan sebab
kegagalan penutupan tabung saraf. Yang banyak dianut para peneliti adalah
teori gangguan neurulasi, yaitu tetap bertahannya perlekatan antara ektoderm
neural (saraf) dengan ektoderm permukaan (epidermis) pada garis tengah
sewaktu proses organogenesis di awal kehamilan, sehingga terjadi hambatan
migrasi sel-sel mesoderm pembentuk tulang di tempat adesi dua lapisan
ektoderm itu. Keadaan ini menyebabkan di daerah itu tidak ada pembentukan
tulang sehingga timbul defek. Teori ini disebut teori ‘non-separasi’ dari
Sternberg (Hoving, 1993).
3). Spina bifida

Pada spina bifida dijumpai kegagalan pada penutupan arkus vertebra dan
lamina posterior pada satu atau beberapa level. Adanya bagian yang terbuka pada
vertebra, yang mengelilingi dan melindungi korda spinalis, terjadi akibat jaringan
yang membentuk pipa neural tidak menutup atau tidak tertutup secara sempurna
(Jamous,2012). Tidak ada kelainan medulla spinalis maupun meninges. Keadaan
ini ditandai oleh tonjolan meningen saja (meningokel) atau tonjolan meningen
bersama jaringan saraf (myelomeningokel) (Sadler,2000).
Meningokel terbentuk saat meninges berherniasi melalui defek pada
lengkung vertebra posterior. Sebagian besar meningokel tertutup dengan baik
dengan kulit dan tidak mengancam penderita. Myelomeningokel merupakan
bentuk disrafisme spinal terberat. 75% kasus myelomeningokel terjadi pada
daerah lumbosakral. Luas dan tingkat defisit neurologis tergantung pada lokasi
myelomeningokel (Sadler,2000).
Gejala spina bifida bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada
korda spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan
atau tanpa gejala, sedangkan yang lain mengalami kelumpuhan pada daerah yang
dipersarafi oleh korda spinalis (Wim,1997).

Kelainan-kelainan di atas biasanya timbul di daerah cervical dan atau


lumbar dan dapat menyebabkan gangguan neurologis pada ekstremitas bawah
dan gangguan kandung kemih. Defek neural tube ini dapat dideteksi melalui
pemeriksaan kadar alfa feto protein (AFP) pada sirkulasi fetus setelah
perkembangan empat minggu (Sadler,2000).
d. Kelainan yang Berasal Gangguan Gastrulasi
Kelainan yang terpenting pada kelainan yang berasal dari gangguan
gastrulasi adalah malformasi split cord.Malformasi ini diklasifikasikan menjadi
diastematomyelia yaitu malformasi pada medulla spinalis yang terpisah menjadi
2 dan dyplomyelia yang menggambarkan duplikasi komplit dari medulla spinalis
dimana setiap sisi memiliki 2 pasang ventral dan dorsal nerve roots. Malformasi
split cord ini seringkali didapatkan berhubungan dengan beberapa anomali
termasuk kombinasi spina bifida yaitu hemimyelomeningocele,
myelomeningocele, cervical myelomeningocele, neuroenteric cyst.
Neuroenteric cyst adalah suatu kelainan yang jarang, dimana kanalis
neuroenteric tetap ada. Kelainan ini biasanya terjadi dalam minggu ke-3 masa
embryogenesis. Seringkali ditemukan pada fossa posterior (Cerebellopontine
angle, in anterior midline sampai ke brainstem, cisterna magna), kelainan ini juga
ditemukan pada supratentorial lebih jarang lagi, dimana hanya ditemukan 15
kasus selama tahun 2004. Lokasi tersering dari neuroenteric cyst ini adalah upper
thoracal dan lower cervical (Sedighah et al, 2007).

Gambar. Hasil x-ray dari


Malformasi split cord (Prakash
& Shashi, 2014)

e. Kelainan Kongenital yang Lain

Selain klasifikasi kelainan kongenital di atas, ada beberapa kelainan


kongenital lainnya. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Labiopalatoskisis (Celah Bibir dan Langit-langit)

Labiopalatokisis adalah kelainanan kongenital pada bibir dan langit-langit


yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang disebabkan oleh
kegagalan atau penyatuan struktur fasial embrionik yang tidak lengkap.
Kelainan ini cenderung bersifat diturunkan (hereditary), tetapi dapat terjadi
akibat faktor non-genetik. Bibir sumbing merupakan suatu gangguan pada
pertumbuhan wajah sejak embrio umur minggu ke kempat (Loho, 2013)
Gambar 5 Labiopalatoskisis (Loho, 2013)

2.2 Proses penyebab terjadinya kelainan perkembangan embrio


a. Faktor lingkungan

Menurut Sadler (2000) agen-agen infektif yang dapat menyebabkan kelainan


perkembangan pada embrio adalah sebegai berikut.
1) Virus herpes
Biasanya infeksi dipindahkan menjelang saat kelahiran, dan kelainan
kelainan adalah mikrosefali, mikroftalmus, dysplasia retina, pembengkakan hati
dan limpa, dan kebelakangan jiwa. Gejala penyakit ini baru berkembang pada
minggu pertama kehidupan. Ciri-ciri penyakit virus ini adalah reaksi-reaksi
peradangan.
2) Varisela (cacar air)

Sekitar 20% kesempatan kelainan kongenital yang terjadi kalau ibu


terinfeksi varisela pada trimaster pertama kehamilan. Cacatnya antara lain
hypoplasia tungkai, keterbelakangan jiwa, dan atrofi otot.
3) HIV
Virus ini menyebabkan penyakit imunodefiensi akuista (AIDS) dan
bisa ditularkan kepada janin. Virus ini bukan merupakan teratogen besar,
meskipun telah dikaitkan dengan mikrosefali, keterbelakangan jiwa, dan wajah
yang abnormal.
4) Toksoplasmosis
Infeksi parasit protozoa Toxoplasma gondii pada ibu, yang didapatkan
dari daging yang kurang matang, binatang peliharaan (kucing), dan tanah yang
tercemar oleh tinja yang menimbulkan cacat kongenital. Anak yang terserang
dapat mengalami kalsifikasi otak, hidrosefalus, atau keterbelakangan jiwa.
Khorioretinitis, mikroftalmos dan cacat mata lainnya.
5) Radiasi

Efek radiasi dapat menimbulkan mikrosefali, cacat tengkorak, spina


bifida, kebutaan, celah palatum, dan cacat anggota badan lain (ex: karena
pengobatan wanita hamil dengan sinar x atau radium dosis tinggi). Sifat
kelainannya tergantung pada dosis radiasi dan tingkat perkembangan janin
6) Zat-zat kimia

Peranan penggunaan zat–zat kima dan obat-obatan farmasi dalam


menimbulkan masalah kelainan ini sangat luas, relatif sedikit saja dari sekian
banyak obat-obatan yang digunakan selama kehamilan benar benar diketahui
bersifat teratogenik. Contoh yaitu tali talidomid, sejenis pil anti muntah dan
obat tidur, cacat yang ditimbulkan adalah tidak terbentuknya atau kelanan
yang nyata pada tulang panjang, atresia usus dan kelainan-kelainan jantung.
obat lain yang berbahaya adalah aminopterin merupakan suatu antagonis asam
folat, cacat yang ditimbulkan adalah anensefali, meningokel, hidrosefalus dan
bibir sumbing.

Gambar 9. A. Amelia unilateral, B. Meromalia. Tangan menempel dibatang tubuh


melalui Sumber: (Sadler, 2000)

Beberapa Teratogen dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan :


1. Thalidomide
Substansi zat ini terdapat pada berbagai obat penenang. Toksisitas jenis
zat ini positif bagi embrio yang baru berkembang. Dosis teratogenik adalah 18
mg / kg berat badan dan dalam pemakaian 3 hari berturut-turut. Masa paling
kritis yang terpengaruh adalah pada umur kehamilan 35 - 50 hari (35 - 50 hari
setelah periode menstruasi terakhir, atau pada saat usia embrio 21 - 36 hari).
Pengaruh : Anomali anggota-anggota badan (kaki dan tangan), kecacatan
daun telinga, kelainan jantung, kelainan sistem digesti dan sistem urogenitalia.
Pengaruh terhadap perkembangan mental tidak begitu nyata.
2. Berbagai hormon
Testosteron, pengaruhnya pada perkembangan embrio perempuan adalah
terjadinya female masculinization. Akibat seperti ini juga bisa terjadi dari
pemakaian Norethindrone. Stilbestrol dan Clomiphene, juga akan berakibat sama
bila pemakaian pada awal masa kehamilan. Pada pemakaian Prostaglandin
F-a pada dosis 25 mg/kg berat badan yang diberikan secara intra amniotic akan
mengakibatkan aborsi / keguguran.
3. Pemakaian Tolbutamide, 15 - 30 mg / kg berat badan pada hari ke 1 - 6 setelah
siklus menstruasi terakhir, akan mengakibatkan infertilitas atau tidak terjadinya
kehamilan. Sedangkan pemakaian pada hari ke 22 - 44 setelah siklus menstruasi
terakhir akan mengakibatkan keguguran embrio.
4. Pemakaian Acetyl salicylic acid (Asam asetil salisilat) pada awal kehamilan
juga akan menyebabkan terjadinya cacat kelahiran, berupa tidak sempurnanya
pembentukan rangka dan alat dalam.
5. Penggunaan Phenillalanine dan Cyclohexylamine, akan menyebabkan
b. Faktor kromosom dan genetic
Menurut Hardisman (2014) kecacatan lahir akibat kelainan gen atau
kromosom dapat disebabkan oleh dua hal, pertama adanya bawaan sifat atau
kelainan dari salah satu atau kedua orang tua. Kedua adanya kelainan akibat
perubahan materi pembawa sifat (mutasi) yang tidak normal pada gen atau
kromosom saat setelah terjadinya konsepsi.
Kelainan akibat adanya mutasi abnormal adalah akibat terjadinya
gangguan informasi pada pembentukan protein pada pembelahan sel dalam
pertumbuhan. Gangguan tersrbut dapat berupa terhambatnya informasi genetic
atau berlebihnya informasi yang diberikan, sehingga menghasilkan sel dengan gen
yang berbeda. Pada sebagian besar proses mutasi menimbulkan gangguan atau
kecacatan individu yang akan dilahirkan. Mutasi dapat terjadi pada tingkat gen
atau pun pada kromosom (Hardisman, 2014).
Kelainan kromosom bisa merupakan kelainan jumlah atau kelainan susunan
dan merupakan penyebab penting malforasi kongenital dan abortus spontan
(Sadler, 2000). Beberapa contoh kelainan bawaan akibat adanya mutasi gen
adalah (1) kelainan yang bersifat autosom dominan missal Marfan’s sindrom dan
kelainan neurofibromatosis, (2) kelainan yang bersifat autosom resesif, missal
hemokromatosis, fibrosa sistika, dan sickle cell anemia, (3) kelainan yang terikat
kromosom X Duchenne’s muscular dystrophy, hemofili A dan B, dan buta warna
hijau (Hardisman, 2014).
Menurut Sadler (2000) beberapa contoh malformasi kongenital akibat kelainan
jumlah kromosom antara lain sebagai berikut.
1) Trisomi 21 (sindrom down)
Sindrom down biasanya disebabkan oleh adanya satu kopi ekstra kromosom
21 (trisomi 21). Secara klinis, ciri-ciri penderita sindrom down antara lain
keterbelakangan pertumbuhan , kelainan kraniofasial, termasuk mata miring
keatas , wajah mendatar, dan telinga kecil, cacat jantung dan hipotonia.

2) Trisomi 18

Penderita susunan kromosom ini memperlihatkan ciri-ciri antara


lain keterbelakngan jiwa, cacat jantung kongenital, telinga yang letaknya
rendah dan fleksi jari-jari dan tangan. Selain itu, penderita seringkali
memperlihatkan rahang kecil (mikronagtia), anomaly ginjal, jari jari yang
saling melekat dan malformasi susunan rangka. Bayi ini umumnya
meninggal pada usia 2 bulan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa diambil dari makalah tentang kelainan perkembangan
embrio ini adalah sebagai berikut.
Berdasarkan patogenesis, kelainan kongenital diklasifikasikan sebagai
malformasi, deformasi, disrupsi dan displasia. Neural Tube Defects (NTD) dapat
dibagi menjadi Anensefalus, Ensefalokel, Meningokel, Spina bifida. Selain itu juga
terdapat kelainan yang berasal dari gangguan gastrulasi, kelainan akibat gangguan
neurulasi sekunder dan kelainan yang berasal dari gangguan perkembangan Post
Neurulasi. Beberapa kelainan kongenital yang lain adalah Labiopalatoskisis,
hidrosefalus, omfalokel dan hernia umbilikalis.
Faktor penyebab kelainan perkembangan terbagi menjadi faktor lingkungan,
di antaranya disebabkan arena virus herpes, varisela, HIV, Toksoplasmosis, Radiasi
dan Zat kimia. Selain faktor lingkungan, juga dipengaruhi oleh faktor kromosom dan
genetic.
DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto, Agung, R.P. dan Sari, F. 2013. Hidrosefalus Pada Anak. JMJ, 1(1):61—
67.
Deopujari Rashmi, Mangalgiri Ashutosh, Longia Asha Dixit , G.S. 2011. Neural
Tube Defect Spectrum - Study of Craniorachischisis. People’s Journal of
Scientific Research. Vol. 4(1)
Dias MS. Pang D. 1995. Split Cord Malformations. Neurosurg Clin North Am
1995:6:339-358.
Effendi, S.H. 2014. Penanganan Bayi dengan Kelainan Kongenital dan Konseling
Genetik. Simposium Building Golden Generation Dies Natalis ke-57
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung, 20-21 September
2014.
Etster AD, Branch CL. Transalar Sphenoidal Encephaloceles: Clinical and
Radiologic Findings. Radiology 1989; 170:245-247
Faradilla, N. dan israr, Y.A. 2009. Hernia. Riau: Universitas Riau
Frosch MP, Anthony DC, Girolami UD. The central nervous system. In: Kumar V,
Abbas AK, Fausto N, editors. Robbins and Cotran, Pathological Basis of
Disease. 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Elsevier; 2004. p. 1353-4.
Hardisman.2014. Pengantar Kesehatan Reproduksi Seksual Dan Embriologi.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Hoving EW. Frontoethmoidal Encephalocele, a Study of Their Pathogenesis.
[Disertasi]. Groningen: Rijk Universiteit. 1993.
Hussain SS. Anencephaly. J Pharm Sci Res 2012;4:1755.
Kasai K, Nakayama S, Shik SS, Yoshida Y. Sex selection and recurrence of
anencephaly. Int J Biol Res Pregnancy 1982;3:21-4
Kurtoglu Z, Uluutku MH, Yeginoglu G, Aktekin M, Camdeviren H.
Morphometric evaluation of the cardiac ventricular capacity of
anencephalic fetuses. Clin Anat 2004;17:487-91.
Loho, J.N. 2013. Prevalensi Labioschisis di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Januari 2011 – Oktober 2012. Jurnal e-Biomedik (eBM),
1(1):396-401.
Martinez-Lage JF, Poza M, Sola M, Soler CL, Montalvo CG, et al. The Child with
a Cephalocele: Etiology, Neuroimaging, and Outcome. Child’s Nerv. Syst;
1996; 12: 540-550.
Pang D, Dias MS, Ahab-Barmada M. Split cord malformation. I. A unified theory
of embryogenesis for double spinal cord malformations. Neurosurgery
1992;31:451–80
Pollock JA, Newton TH, Hoyt WF. Transsphenoidal and Transethmoidal
Encephaloceles. Radiology I 968; 90:442-453.

Anda mungkin juga menyukai