Anda di halaman 1dari 32

MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR PADA SISWA MTS

MENGGUNAKAN METODE PENDEKATAN BEHAVIORAL

Oleh :
INDRA KRISHNA
NPM: 170310170044

Laporan Kegiatan Praktikum


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktikum Pekerja Sosial
dengan Individu dan Kelompok
(Konseling dan Pengembangan Diri)
Semester 4 Tahun 2019

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
SUMEDANG
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat meneyelesaikan
Laporan Praktikum Pekerja Sosial dengan Individu dan Kelompok (konseling dan
pengembangan diri) ini. Praktikum yang berfokus pada individu dan kelompok ini
merupakan mata kuliah yang memiliki posisi dan bobot yang penting dalam
kurikulum pendidikan pekerjaan sosial. Laporan Praktikum ini disusun sebagai
pelengkap praktikum mikro yang telah dilaksanakan kurang lebih selama satu
semester ini. Penulis dapat menyelesaikan proses praktikum dalam mata kuliah
Praktikum Pekerjaan Sosial Mikro yang dilaksanakan di PSAA Baabusalam pada
bulan Maret–Mei 2019 dan dapat menyusun laporan praktikum dengan lancar.

Dengan selesainya Laporan Praktikum Pekerja Sosial dengan Individu dan


Kelompok ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, khususnya dari masing-
masing kedua orangtua penulis, Team Teaching Praktikum Pekerja Sosial dengan
Individu dan Kelompok, dan seluruh pihak di PSAA Baabusalam yang telah
mengizinkan dan menerima penulis untuk melaksanakan praktikum, serta
memberikan pengetahuan dan pengalaman yang luar biasa.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini baik
dari segi materi maupun teknik penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan. Terimakasih.

Bandung, Mei 2019

Penulis

i
ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Klien merupakan seorang remaja madya berusia 16 tahun yang berada di


bangku kelas 9 MTS. Klien sedang dilanda kekhawatiran karena sebentar lagi
akan menghadapi ujian nasional. Selama ini, prestasi belajar klien dinilai rendah
oleh pihak sekolah. Selain itu, klien memiliki kebiasaan susah fokus terhadap
beberapa materi pelajaran, salah satunya ialah pelajaran matematika. Kebiasaan
tersebut membuat klien sering tertinggal pelajaran karena sulit memahami
penjelasan dari gurunya. Prestasi belajar yang cukup buruk disebabkan oleh
ketidakpahaman klien terhadap materi-materi pelajaran yang telah diberikan oleh
gurunya. Klien tidak memiliki motivasi dan semangat yang cukup untuk mencari
tahu tentang materi-materi pelajaran yang tertinggal tersebut.

Jika klien terus berlarut di dalam masalah tersebut, dikhawatirkan klien


akan terus terjebak dalam ketidaktahuannya terhadap berbagai materi pelajaran.
Hal tersebut dapat berdampak pada penentuan kelulusan klien kelak. Jika klien
tidak kunjung menunjukkan adanya peningkatan motivasi belajar, klien
dikhawatirkan tidak dapat mengerjakan soal-soal ujian nasional kelak dan tidak
dapat lulus dari MTS.

1.2 Tujuan dan Manfaat Intervensi

Tujuan dari intervensi ini yaitu membantu klien untuk membantu


memecahkan masalah behavioral (perilaku) klien agar sesuai dengan perilaku
yang diharapkan. Mengubah perilaku salah dalam penyesuaian diri klien dengan
cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku yang
tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.

1
Perubahan perilaku ditujukan untuk meningkatkan motivasi belajar klien dan
menghadirkan semangat yang konsisten untuk terus belajar.

Intervensi akan memberikan manfaat terhadap klien yaitu klien lebih antusias
dalam menjalani kegiatan belajar mengajar di sekolah. Klien merasa lebih percaya
diri dan siap untuk menghadapi ujian nasional yang akan datang. Selain itu, akan
ada peningkatan prestasi belajar yang akan berdampak kepada perasaan bangga
orangtua klien.

1.3 Ringkasan Proses Praktik

Tabel 1.1 Proses Praktik

No. Hari/Tanggal Kegiatan


1. Selasa, 5 Maret 2019 Pertemuan pertama dengan pengurus
PSAA Baabussalam. Menjelaskan
maksud dan tujuan program
pendampingan pribadi yang akan
dilakukan.
2. Rabu, 6 Maret 2019 Mencari klien dengan meminta
rekomendasi dari Kepala Sekolah
MTS Baabussalam.
3. Kamis, 7 Maret 2019 Pertemuan pertama dengan kakak-
kakak asuh PSAA Baabussalam untuk
menindaklanjuti rekomendasi yang
telah diberikan Kepala Sekolah MTS
Baabussalam.
4. Rabu, 13 Maret 2019 Kontak awal dengan klien,
menjelaskan maksud dan tujuan
program pendampingan pribadi. Klien
mengisi form biodata.
5. Sabtu, 16 Maret 2019
Pembuatan genogram.

6. Rabu, 20 Maret 2019 Klien mengisi catatan kebutuhan.

2
7. Sabtu, 23 Maret 2019 Tahap assessment. Melengkapi catatan
kebutuhan klien.
8. Rabu, 3 April 2019 Tahap assessment.
9. Sabtu, 6 April 2019 Tahap assessment.
10. Rabu, 10 April 2019 Assessment spesifik masalah
behavioral. Penjelasan mengenai
baseline.
11. Sabtu, 13 April 2019 Mengulang pengisian baseline.
Mengubah penugasan klien untuk
mengisi baseline mengenai
perkembangan waktu belajar klien di
luar jam sekolah.
12. Rabu, 17 April 2019 Memeriksa baseline yang telah diisi
oleh klien. Membicarakan rencana
intervensi.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori dan Konsep Isu Permasalahan

2.1.1 Teori Perkembangan Psikososial

Teori perkembangan psikososial adalah teori yang


dikemukakan oleh Erik Erikson. Erikson percaya bahwa
kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu

3
elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah
perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan
sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut
Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan
pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam
berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa
kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu
perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson
disebut sebagai teori perkembangan psikososial.

Dalam perjalanan hidup ada beberapa tahap perkembangan


yang sangat mempengaruhi hidup manusia. Erikson membagi
tahap-tahap tersebut ke dalam delapan tahapan. Seperti Piaget,
Erikson melihat perkembangan sebagai lintasan yang melalui
sejumlah tahap, masing-masing dengan tujuan, concerns,
pencapaian, dan bahaya tertentu. Tahap-tahap itu bersifat saling
tergantung. Pada setiap tahap, Erikson mengatakan bahwa
individu-individu menghadapi sebuah krisis perkembangan—
konflik antara sebuah alternatif positif dan sebuah alternatif yang
secara potensial tidak sehat, ia menyebutnya sebagai “eight ages of
man”.

Tabel 2.1 Tahapan Perkembangan Psikososial

Tahap Perkiraan Usia Krisis Psikososial


Trust vs Mistrust
I Lahir - 18 bulan
(Percaya vs Tidak Percaya)
Autonomy vs Doubt
II 18 bulan - 3 tahun
(Kemandirian vs Keraguan)
Initiative vs Guilt
III 3 tahun – 6 tahun
(Inisiatif vs Rasa Bersalah)
Industry vs Inferiority
IV 6 tahun – 12 tahun
(Ketekunan vs Rasa Rendah Diri)

4
Identity vs Role Confusion
V 12 tahun -18 tahun (Identitas vs Kebingungan
Identitas)
Dewasa awal Intimacy vs Isolation
VI
(± 18 tahun – 40 tahun) (Keintiman vs Isolasi)
Dewasa pertengahan Generativity vs Self Absorption
VII
(± 40 tahun – 65 tahun) (Generativitas vs Stagnasi)
Dewasa akhir / tua Integrity vs Despair
VIII
(± 65 ke atas) (Integritas vs Keputusasaan)

Dari delapan tahap perkembangan yang dikemukakan


Erikson, tahapan yang sedang dijalani oleh klien dalam penelitian
ini yaitu tahap ke-5, “Identity vs Role Confusion”.  

Pada tahap ini anak sudah memasuki usia remaja dan mulai
mencari jati dirinya. Masa ini adalah masa peralihan antara dunia
anak-anak dan dewasa. Secara biologis anak pada tahap ini sudah
mulai memasuki tahap dewasa, namun secara psikis usia remaja
masih belum bisa diberi tanggung jawab yang berat layaknya orang
dewasa. Pertanyaan “Siapa Aku?” menjadi penting pada tahapan
ini. Pada tahap ini, seorang remaja akan mencoba banyak hal untuk
mengetahui jati diri mereka yang sebenarnya. Biasanya mereka
akan melaluinya dengan teman-teman yang mempunyai kesamaan
komitmen dalam sebuah kelompok. Hubungan mereka dalam
kelompok tersebut sangat erat, sehingga mereka memiliki
solidaritas yang tinggi terhadap sesama anggota kelompok.

 Menurut James Marcia (1991, 1994, 1999) ada empat


alternatif identitas untuk remaja, tergantug apakah mereka sudah
mengeksplorasi berbagai opsi dan telah membuat komitmen:

1) Pertama, difusi identitas, terjadi bila indvidu tidak


mengeksplorasi opsi apapun atau tidak berkomitmen
terhadap tindakan apapun. Remaja-remaja ini sering ikut-

5
ikutan, sehingga merekalebih berkemungkinan untuk
menyalhgunakan obat-obatan (Archer & Waterman, 1990;
Berger & Thompson, 1995; Kroger, 2000).
2) Kedua, penutupan identitas, adalah komitmen tanpa
eksplorasi. Remaja-remaja yang identitasnya tertutup
cenderung kaku, tidak toleran, dogmatis, dan defensif
(Frank, Pirsch, & Wright, 1990).
3) Ketiga, moratorium atau krisi identitas, menunda pilihan
karena pertentangan. Menurut Erikson, penundaan ini
sangat lazim dan barangkali sehat, bagi remaja modern.
Remaja yang berada dalam masyarakat yang kompleks
mengalami krisi identitas.
4) Keempat, pencapaian identitas, berarti bahwa setelah
mengeksplorasi opsi-opsi yang realistis, individu memilih
dan berkomitmen untuk mencapainya.

Erikson (dalam Shaffer, 2005) percaya bahwa individu


tanpa identitas yang jelas akhirnya akan menjadi tertekan dan
kurang percaya diri ketika mereka tidak memiliki tujuan, atau
bahkan mereka mungkin sungguh-sungguh menerima bila dicap
sebagai orang yang memiliki identitas negatif, seperti menjadi
kambing hitam, nakal, atau pecundang. Alasan mereka melakukan
ini karena mereka lebih baik menjadi seseorang yang dicap sebagai
orang yang memiliki identitas negatif daripada tidak memiliki
identitas sama sekali.

Harter (dalam Shaffer, 2005) mengatakan bahwa remaja


yang terlalu kecewa atas penggambaran diri mereka yang tidak
konsisten akan bertindak keluar dari karakter dalam upaya untuk
meningkatkan citra mereka atau mendapat pengakuan dari orang
tua atau teman sebaya. Anak pada usia ini rawan untuk melakukan
beberapa hal negatif dalam rangka pencarian jati diri mereka.

6
Bimbingan dan pengarahan baik dari orang tua maupun guru juga
diperlukan bagi anak pada tahap ini, agar mereka dapat
menemukan jati diri mereka sebenarnya.

2.1.2 Perkembangan Remaja Madya

Tahap-tahap perkembangan manusia memiliki fase yang


cukup panjang. Untuk tujuan pengorganisasian dan pemahaman,
kita umumnya menggambarkan perkembangan dalam pengertian
periode atau fase perkembangan. Menurut J. B. Watson dan
Pavlov, keduanya menyatakan bahwa perkembangan itu pada
hakikatnya merupakan kumpulan dari sejumlah refleks yang
karena sudah terlatih sedemikian rupa hingga akhirnya membentuk
tingkah laku seseorang yang bersifat konstan, atau bisa diartikan
sebagai gerak spontan yang bersifat otomatis. Inilah yang
menurutnya disebut dengan refleks wajar yang masih murni, yang
asli dibawa sejak lahir. Setelah mendapat latihan dan pembiasaan,
lalu disebut dengan refleks bersyarat. Jadi, menurutnya,
perkembangan merupakan proses terbentuknya refleks wajar
menjadi refleks bersyarat.

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan


manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa
(Santrock, 2003). Remaja adalah usia transisi, seorang individu
telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh
ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan
penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun masyarakat,
semakin maju masyarakat semakin panjang usia remaja karena ia
harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan dirinya dengan
masyarakat yang banyak dan tuntutannya (Hurlock, 2003). Remaja
menurut Hurlock (2003) dibagi atas tiga kelompok usia tahap
perkembangan yaitu remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir.

7
Masa remaja madya (middle adolescence) ialah fase
perkembangan yang terjadi di antara rentang usia 15-18 tahun.
Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan kawan-kawan dan
adanya kecenderungan untuk narsistik. Selain itu, remaja juga
berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus
memilih yang mana, peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau
sendiri, idealis atau matrealis, dan sebagainya.

Akan tetapi, sebagian remaja pada masa usia remaja madya


sudah mulai tidak mengalami kebingungan yang cukup signifikan,
ia sudah mulai berusaha menentukan mana yang harus dipilih dan
mana yang tidak, melakukan keinginannya dengan
mempertimbangkan segala hal. Namun, tidak jarang remaja yang
dalam usaha mencapai kestabilan tersebut tidak berada pada jalur
yang benar. Remaja berusaha mencari sesuatu hal yang memang
sesuai dengan dirinya dan keinginannya (Sarwono, 2006).

2.1.3 Motivasi Belajar Rendah

Motivasi belajar rendah adalah tidak adanya dorongan


dalam diri siswa dalam melakukan kegiatan belajar dan tidak
adanya arahan perbuatan belajar serta proses yang memberi
semangat sehingga tidak dapat mencapai tujuan yang
dikehendaki. Sering kali kegiatan belajar yang dilakukan oleh
siswa akan berhasil apabila ada keinginan atau dorongan yang ada
didalam diri siswa yang secara umum dinamakan motivasi.

Menurut Sardiman bahwa motivasi belajar adalah


keseluruhan daya penggerak psikis dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar dan
memberikan arahan dalam kegiatan belajar demi tercapainya tujuan
yang dikehendaki. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang
memiliki motivasi belajar akan dapat meluangkan waktu belajar

8
lebih banyak dan lebih tekun dari pada mereka yang kurang
memiliki atau sama sekali tidak mempunyai motivasi untuk
belajar.

Jadi, berdasarkan dari beberapa pendapat diatas, maka


dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar adalah suatu dorongan
dalam diri siswa dalam melakukan kegiatan belajar dan
mengarahkan perbuatan belajar serta proses yang memberi
semangat. Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi akan dapat
meluangkan waktu belajar lebih banyak dan lebih tekun.

Menurut Suhaimin siswa yang motivasi belajar rendah


apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Jarang mengerjakan tugas.


2. Mudah putus asa.
3. Kurang ada dorongan dalam diri sendiri.
4. Kurang semangat belajar.
5. Tidak senang memecahkan soal-soal.
6. Tidak mempunyai tujuan dalam belajar.

Tujuan motivasi belajar menurut Oemar Hamalik adalah


sesuatu yang hendak dicapai oleh suatu perbuatan yang dapat
memuaskan kebutuhan individu. Adanya tujuan yang jelas akan
mempengaruhi kebutuhan dan akan mendorong timbulnya
motivasi. Sedangkan menurut Ngalim Purwanto tujuan motivasi
belajar adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang
agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu
sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.
Jadi, tujuan motivasi belajar adalah dapat membangkitkan
timbulnya motivasi dalam diri seseorang untuk mencapai tujuan
tertentu.

9
2.2 Teori, Metode dan Teknik Mikro

2.2.1 Teori Behavior

Teori behavior merupakan sebuah teori yang dicetuskan


oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman. Kemudian teori ini berkembang menjadi
aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan
teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar.

Menurut teori behavior, manusia adalah makhluk reaktif


yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor luar. Manusia
pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial
budaya. Tingkah laku manusia dipelajarinya ketika individu
berinteraksi dengan lingkungan melalui belajar yaitu:

1. Pembiasaan Klasik (Classical Conditioning)


Classical conditioning merupakan hasil penelitian Pavlov
dan Watson. Penelitiannya yang paling terkenal adalah
menggunakan anjing yang dalam keadaan lapar ditempatkan
diruang kedap suara. Dalam penelitiannya tersebut, Pavlov
menyimpulkan bahwa respon (tindakan) dapat terjadi apabila
ada stimulus (rangsangan). Pembiasaan klasik ditandai dengan
satu stimulus yang menghasilkan satu respon.

2. Pembiasaan Operan (Operant Conditioning)


Tokoh yang mengembangkan operant conditioning adalah
Skinner. Operant conditioning ditandai dengan adanya satu
stimulus yang menghasilkan banyak respon. Pengondisian
operan memberikan penguatan positif yang bisa memperkuat
tingkah laku. Sebaliknya penguatan negative bisa

10
memperlemah tingkah laku. Tingkah laku berkondisi muncul di
lingkungan dan instrumental bagi perolehan ganjar.
Pembiasaan operan ini dikenal dengan istilah
pengkondisian instrumental (instrumental conditioning) karena
memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa
dimunculkan oleh organisme yang aktif sebelum penguatan
diberikan untuk tingkah laku tersebut.
3. Peniruan
Orang tidak memerlukan reinforcement agar bisa memiliki
tingkah laku. Melainkan, yang dibutuhkan hanyalah meniru.
Syarat dalam meniru tingkah laku yaitu:
 Tingkah laku yang ditiru memang mampu untuk ditiru
oleh individu yang bersangkutan
 Tingkah laku yang ditiru adalah perbuatan yang dinilai
positif oleh masyarakat

Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis.


Artinya, tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau
reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Maka
dari itu, dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang era tantara
reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya.

Skinner memiliki tiga asumsi dalam membangun teorinya:

1. Behaviour is lawful (perilaku memiliki hukum tertentu)


2. Behaviour can be predicted (perilaku dapat diramalkan)
3. Behaviour can be controlled (perilaku dapat dikontrol)

Teori behavior dengan model hubungan stimulus-


responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang
pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode
pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan

11
semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.

2.2.2 Terapi Behavioral

Menurut Gerald Corey, terapi behavioral merupakan terapi


tingkah laku yang merupakan penerapan aneka ragam teknik dan
prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar.
Pendekatan ini telah memberikan penerapan yang sistematis
tentang prinsip-prinsip belajar dan pengubahan tingkah laku ke
arah cara-cara yang lebih adaptif. Berlandaskan teori belajar,
modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-
pendekatan terhadap klienng dan psikoterapi yang berurusan
dengan tingkah laku.

Menurut Corey (2005:199) terapi tingkah laku berbeda


dengan sebagian besar pendekatan terapi lainnya, yang ditandai
oleh:

a. Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan


spesifik
b. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment
c. Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai
dengan masalah
d. Penaksiran objektifitas hasil-hasil terapi

Menurut Krumblotz dan Thoresen, pendekatan behavioral


adalah suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan
masalah interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu.
Penekanan istilah belajar dalam pengertian ini adalah atas
pertimbangan bahwa praktikan membantu klien belajar atau
mengubah perilaku. Praktikan berperan membantu dalam proses
belajar dengan menciptakan kondisi yang sedemikian rupa

12
sehingga klien dapat mengubah perilakunya serta memecahkan
masalahnya.

Tujuan utama terapi behavioral adalah untuk mengubah


tingkah laku klien agar sesuai dengan tingkah laku yang
diharapkan. Secara umum tujuan terapi behavioral adalah
menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Alasannya
yaitu bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned),
termasuk tingkah laku yang maladaptif. Sedangkan secara khusus,
tujuan terapi behavioral yaitu mengubah perilaku salah dalam
penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang
diharapkan, dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta
membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.

2.2.3 Self-Management

Menurut Komalasari dkk (2011), self-management


(pengelolaan diri) adalah prosedur pengaturan perilaku oleh
individu sendiri. Pada strategi ini, individu terlibat pada beberapa
atau keseluruhan komponen dasar yaitu: menentukan perilaku
sasaran, memonitor perilaku tersebut, memilih prosedur yang akan
diterapkan, melaksanakan prosedur tersebut, dan mengevaluasi
efektifitas prosedur tersebut.

Gie (2000: 77) menyatakan self-management berarti


mendorong diri sendiri untuk maju, mengatur semua unsur
kemampuan pribadi, mengendalikan kemampuan untuk mencapai
hal-hal yang baik, dan mengembangkan berbagai segi dari
kehidupan pribadi agar lebih sempurna. Sedangkan menurut
Gantina (2011: 180) mengemukakan self-management
(pengelolaan diri) adalah prosedur dimana individu mengatur
perilakunya sendiri.

13
Self-management terjadi karena adanya suatu usaha pada
individu untuk memotivasi diri, mengelola semua unsur yang
terdapat di dalam dirinya, berusaha untuk memperoleh apa yang
ingin dicapai serta mengembangkan pribadinya agar menjadi lebih
baik. Ketika individu dapat mengelola semua unsur yang terdapat
di dalam dirinya yang meliputi: pikiran, perasaan, dan tingkah laku
maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut telah memiliki
kemampuan self-management

Tujuan self-management dapat untuk mengurangi perilaku


yang tidak pantas dan mengganggu (perilaku yang mengganggu,
tidur di kelas, malas mengulang pelajaran, dll) dan meningkatkan
sosial, adaptif, dan kemampuan bahasa/komunikasi (Neitzel, 2009).
Self-management diperlukan bagi seseorang agar mampu
menjadikan dirinya sebagai manusia yang berkualitas dan
bermanfaat dalam menjalankan misi kehidupannya. Self-
management membuat orang mampu mengarahkan setiap
tindakannya kepada hal-hal positif. Secara sederhana self-
management dapat diartikan sebagai suatu upaya mengelola diri
sendiri ke arah yang lebih baik sehingga dapat menjalankan misi
yang diemban dalam rangka mencapai tujuan.

Syah (2012) mengemukakan bahwa kemampuan individu


untuk mengelola diri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu
dukungan sosial dan kesiapan untuk berubah. Dalam melaksanakan
strategi pengelolaan diri tahap yang harus dilakukan oleh klien
adalah 1) komitmen klien untuk merubah perilakunya, 2)
mengidentifikasi perilaku yang diharapkan, 3) penggunaan strategi
self-management (self-monitoring, stimulus control dan self-
reward), 4) mengevaluasi perubahan perilaku.

14
2.2.4 Kontrak Perilaku (Behavior Contract)

Kontrak perilaku didasarkan atas pandangan bahwa


membantu klien untuk membentuk perilaku tertentu yang di
inginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak
yang disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi perubahan
perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa beberapa
konsekuensi akan muncul.

Pembuatan kontrak perilaku bertujuan untuk mengatur


kondisi sehingga klien menampilkan tingkah laku yang diinginkan
berdasarkan kontrak antara klien dan praktikan. Kontrak ini
menegaskan harapan dan tanggung jawab yang harus dipenuhi dan
konsekuensinya. Kontrak dapat menjadi alat pengatur pertukaran
reinforcement positif antar individu yang terlibat. Strukturnya
merinci siapa yang harus melakukan, apa yang dilakukan, kepada
siapa dan dalam kondisi bagaimana hal itu dilakukan, serta dalam
kondisi bagaimana dibatalkan.

Menurut Lutfi Fauzan, ada empat asumsi dasar bagi


pemberdayaan kontrak untuk pengembangan pribadi:

1) Menerima reinforcement adalah hal istimewa dalam hubungan


interpersonal, dalam arti, seseorang mendapat kenikmatan atas
persetujuan orang lain.
2) Perjanjian hubungan interpersonal yang efektif diatur oleh
norma saling membalas. Ini berarti setiap orang mempunyai
hak dan kewajiban untuk membalas hadiah.
3) Nilai pertukaran interpersonal merupakan fungsi langsung dari
kecepatan, rentangan, dan besaran reinforcement positif yang
diperantarai oleh pertukaran itu. Memaksimalkan pemberian
reinforcement positif memungkinkan untuk memperoleh
reinforcement yang lebih besar.

15
4) Aturan-aturan tetap memberikan kebebasan dalam pertukaran
interpersonal. Meskipun aturan (dalam kontrak) membatasi
perilaku tetapi tetap memberikan kebebasan pada individu
untuk mengambil keuntungan.

Alberto & Troutman menyarankan aturan dasar untuk


penggunaan reinforcement dalam kontrak, yaitu:

1) Reward harus segera diberikan. Hal ini merupakan salah satu


unsur penting dari reinforcement yang efektif, yaitu harus
diberikan segera setelah munculnya tingkah laku yang
diinginkan
2) Kontrak awal harus berisi hal-hal yang ringan, dan berikan
reward pada hal-hal tersebut. Terutama bagi tingkah laku baru
yang belum pernah dilakukan siswa, kriterianya jangan terlalu
tinggi atau terlalu luas
3) Reward diberikan sering dan dalam jumlah yang kecil. Homme
menyatakan bahwa lebih efektif memberikan reinforcement
dalam jumlah sedikit tapi sering, karena akan mempermudah
dalam mengawasi perubahan tingkah laku
4) Lebih menekankan pada penyelesaian tugas, bukan sekedar
melakukannya saja. Kontrak berfokus pada pencapaian yang
menyebabkan kemandirian.
5) Reward diberikan setelah perubahan terjadi.

Kontrak perilaku bertujuan untuk menciptakan kondisi-


kondisi baru atau memperoleh tingkah laku baru, menghapus
tingkah laku maladaptif, dan memperkuat serta mempertahankan
tingkah laku yang diinginkan. Selain itu, kontrak perilaku juga
memberikan manfaat yang berarti bagi klien, di antaranya adalah:

1) Membantu individu untuk meningkatkan perilaku yang adaptif


dan menekan perilaku yang maladaptif.

16
2) Membantu individu meningkatkan kedisiplinan dalam
berperilaku.
3) Memberi pengetahuan kepada individu tentang pengubahan
perilaku dirinya sendiri.
4) Meningkatkan kepercayaan diri individu

17
BAB III

PROSES DAN HASIL KEGIATAN PRAKTIKUM

3.1 Gambaran Lokasi/Setting Praktikum

PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK (PSAA) / LEMBAGA


KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK (LKSA) BAABUSSALAM

Nama Yayasan : Yayasan Ramda Bhakti Pertiwi


Nama PSAA/LKSA : Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Baabussalam
Unit Garapan : 1. Pembinaan dan Pembimbingan anak–anak di dalam
panti
2. Penyantunan anak terlantar dan fakir miskin
3. UKS (Pendidikan dan Pemberdayaan Keluarga Kurang
Mampu)
4. Pendidikan dan Pesantren
Alamat : Jl. Cilengkrang II No. 34 -36 RT 03/09 Kel. Palasari Kec.
Cibiru Kota Bandung 40615
Akta Notaris : Dr. Wiratni Ahmad, S.H. No 106/2000
Daftar Dinas Sosial : No.062/304/PRKS/2003
Tahun Berdiri : 09 September 2001

Klien merupakan salah satu anak asuh di PSAA/LKSA Baabussalam.


Klien tinggal di asrama putri panti tersebut. Klien menjalani pendidikan MTs
Baabussalam yang juga merupakan bagian dari PSAA/LKSA Baabussalam.
Sekolah klien didominasi oleh anak-anak dari PSAA/LKSA Baabussalam,
sehingga setiap hari klien selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sama, baik saat
di sekolah maupun saat di asrama.
Jumlah anak asuh PSAA/LKSA Baabussalam hingga Mei 2019 kurang
lebih 115 orang. 115 anak asuh tersebut di dalam asrama dan pendidikannya

18
tersebar dari SD hingga ke perguruan tinggi.
Pengajian merupakan program yang senantiasa berjalan dan tidak pernah
terlewatkan sebab hal ini menjadi fokus utama PSAA/LKSA Baabussalam yang
berbasis Pondok Pesantren. Keadaan lingkungan yang sangat religius membentuk
klien sebagai pribadi yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang cukup kuat
dan memiliki wawasan yang luas tentang agama. Klien sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai keagamaan.
Walau demikian, klien tidak memiliki teman yang sangat dekat
dengannya. Klien senang bermain dengan siapapun, tetapi klien lebih suka
memendam perasaan dan jarang bercerita kepada teman-temannya. Klien dinilai
sebagai pribadi yang cukup tertutup oleh teman-temannya. Klien lebih suka
mendengar cerita orang lain daripada harus menceritakan tentang dirinya.
Klien tidak terlalu dekat dengan pengurus panti, baik yang berada di
asrama putra ataupun yang tinggal di asrama putri. Ia tidak seperti teman-
temannya yang lain yang sering bercerita kepada pengurus panti tersebut. Begitu
juga di sekolah, klien tidak memiliki guru yang dianggap dekat dengannya.
Namun, klien tetap memiliki seorang guru favorit.
Terkadang, klien merasa lelah dengan kondisi tempat tinggalnya yang
selalu ramai. Saat hal itu terjadi, klien lebih sering menyendiri di kamarnya. Klien
lebih memilih untuk berdiam diri di kamar agar tidak terganggu oleh kehadiran
teman-teman asramanya.

3.2 Proses Awal Penentuan Kasus


Pada awalnya, pihak sekolah memberikan daftar nama anak-anak yang
dianggap memiliki prestasi dan motivasi belajar rendah di sekolah. Terdapat,
kurang lebih, sekitar 8 nama anak yang tercantum. Selanjutnya daftar nama
tersebut diberikan kepada kakak asuh panti untuk kemudian disortir dan dipilih 5
nama yang dinilai paling membutuhkan bantuan. Kemudian, nama-nama yang
terpilih dibebaskan untuk memilih para praktikan oleh kakak asuh panti. Praktikan
dipasangkan dengan seorang anak perempuan kelas 9.

19
Menurut kakak asuh, klien praktikan memiliki motivasi belajar yang
cukup rendah. Klien sulit untuk memahami pelajaran yang ada dii kelas. Nilai-
nilai mata pelajaran yang diraih klien juga relatif rendah. Hal ini dinilai cukup
berbahaya dan sangat penting untuk ditangani mengingat klien pada saat ini
berada di bangku kelas 9 MTS. Klien akan menghadapi ujian nasional (UN) pada
tahun depan. Sehingga, dikhawatirkan, jika klien tetap berperilaku seperti
demikan, klien tidak akan lulus UN.
Saat praktikan menemui klien dan menjelaskan tentang pendampingan
pribadi ini, klien sangat senang mendengarnya dan dengan segera setuju. Ternyata
setelah bercerita, ia memang memiliki beberapa masalah yang ia ingin hilangkan,
salah satunya adalah kebiasaannya tidur di kelas dan tidak mendengarkan
penjelasan gurunya.

3.3 Penanganan Kasus


3.3.1 Hasil Assessment
Klien adalah seorang anak perempuan berusia 16 tahun
yang tinggal di Panti Sosial Asuhan Anak Baabussalam. Klien
merupakan anak tunggal dari orangtua kandungnya. Namun, pada
tahun 2014 kedua orangtuanya bercerai. Kemudian, beberapa tahun
kemudian, ibu kandung klien menikah lagi dengan seorang pria.
Kemudian, klien memiliki adik perempuan dari hasil perkawinan
ibunya dengan ayah tirinya. Saat ini, adiknya berusia 5 tahun.
Ayah kandung klien juga menikah lagi dengan seorang wanita.
Jadi, saat ini, klien memiliki 1 adik, yaitu 1 adik tiri perempuan.

Gambar 3.1 Genogram

20
43

KLIEN
16
36

45

Keterangan Simbol

Laki-laki

Perempuan

Cerai atau sudah tidak berhubungan

Keterangan Genogram
 Kedua orang tua klien telah bercerai
 Klien merupakan anak tunggal dari kedua orangtua
kandungnya

21
 Klien memiliki 1 adik tiri perempuan

Klien merasa sangat dekat dengan ibu kandungnya, tetapi


tidak dengan ayah kandungnya. Bahkan, klien cenderung
membenci ayah kandungnya. Begitu juga dengan ayah tirinya,
klien tidak merasa ada kedekatan di antara mereka. Menurut klien,
ayah tirinya adalah orang yang kasar. Klien tidak memiliki
panggilan untuk seorang ayah kepada ayah tirinya, ia lebih sering
menyebut ayah tirinya dengan sebutan “dia”. Lain halnya dengan
ibu tiri klien, ia mengaku beberapa kali berkomunikasi dengan ibu
tirinya lewat telepon. Tetapi ia merasa tidak dekat dengan ibu
tirinya. Biasanya, klien menelepon ibu tirinya jika meminta uang.
Klien juga tidak merasa dekat dengan adiknya. Menurutnya, ia
tidak bisa dekat karena perbedaan umur yang cukup jauh.
Saat pulang ke rumah, klien pulang ke rumah ibu kandung
dan ayah tirinya. Di rumah, klien lebih suka menyendiri menikmati
waktunya. Kerap kali ayah tirinya berkata kasar kepadanya saat di
rumah. Klien lebih senang untuk tidak menggubris omongan ayah
tirinya tersebut.
Setelah bercerita lebih lanjut, diketahui bahwa klien tidak
memiliki orang-orang terdekat dengannya. Klien tidak merasakan
ada kedekatan yang spesial dengan teman-teman di sekolah, di
panti atau di sekitar rumahnya. Klien senang berteman dan bergaul,
tetapi klien tidak memiliki teman dekat. Klien lebih suka
memendam perasaan dan meluapkannya lewat tangisan. Klien
merasa paling sering bercerita kepada ibu kandungnya sebagai
orang yang paling dekat dengannya.

Gambar 3.2 Ecomap

22
Keterangan Ecomap
hubungan timbal balik lemah
hubungan timbal balik kuat
hubungan timbal balik buruk
hubungan jauh

Akan tetapi, klien tidak merasa ada masalah yang berarti


antara dirinya dengan keluarganya. Klien justru mengeluhkan

23
tentang performa belajarnya di sekolah. Klien merasa dirinya
kesulitan dalam memahami pelajaran di sekolah. Teman-teman
klien di kelas juga mengatakan bahwa klien hamper setiap hari
tidak memperhatikan saat pelajaran matematika.
Klien merasa takut dengan kesulitan memahami pelajaran
di kelas karena sebentar lagi klien akan menghadapi ujian nasional
terkhusus pelajaran matematika. Ia khawatir tidak dapat mengisi
jawaban dari soal ujian nasional yang akan datang karena ia tidak
pernah paham dengan pelajaran tersebut. Jika tidak lulus ujian
nasional, ibu klien akan sangat sedih dan klien tidak ingin hal itu
terjadi.
Klien menyadari kesulitan tersebut timbul karena klien
tidak memahami apa yang telah disampaikan oleh gurunya. Selain
itu, klien juga tidak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga
ia tidak berusaha untuk mencari tahu materi pelajaran yang tidak
dipahaminya. Maka dari itu, klien merasa harus meningkatkan rasa
ingin tahunya terhadap pelajaran-pelajaran di sekolah.
Jika tidak memahami pelajaran di kelas, klien akan
mencoba untuk mengulang membaca buku pelajaran atau catatan
di asrama. Sehingga, klien akan mengetahui hal apa yang tidak
dipahami oleh klien. Di hari berikutnya, klien akan mencoba untuk
mencaritahu hal tersebut melalui penjelasan dari guru atau bertanya
kepada teman yang lebih paham. Untuk menimbulkan kebiasaan
belajar di luar jam sekolah, praktikan dan klien membuat baseline
yang ditujukan untuk memonitor perubahan perilaku tersebut.
Klien diberikan waktu selama satu minggu untuk mengisi baseline
tersebut.

Tabel 3.1 Baseline

24
Waktu
No. Hari/Tanggal Mata Pelajaran
Belajar
1 Sabtu, 13 April 2019 IPS 05.00 – 05.15
2 Minggu, 14 April 2019 Bahasa Arab 05.00 – 05.15
3 Senin, 15 April 2019 Matematika 05.00 – 05.25
4 Selasa, 16 April 2019 Akidah Akhlak 05.00 – 05.35

Dari target waktu tersebut, klien berhasil menunjukkan


perubahan selama 4 hari. Klien masih merasa kesulitan untuk
memunculkan perilaku tersebut. Akan tetapi, karena klien sedang
mempersiapkan untuk menjalani pekan ujian akhir semester,
menurutnya selama ia mulai mencoba membiasakan diri untuk
belajar di asrama, ia menjadi lebih percaya diri dalam mengisi soal-
soal ujian di hari berikutnya. Selain itu, klien juga mulai
memahami pelajaran yang menurutnya sulit di sekolah saat
mengerjakan soal-soal tersebut.
3.3.2 Plan of Treatment
Tujuan dari intervensi yang akan dilakukan yaitu untuk
membantu klien untuk meningkatkan perilaku yang adaptif dan
menekan perilaku yang maladaptif. Dalam kasus ini yaitu
meningkatkan kebiasaan belajar di luar jam sekolah dan
menghilangkan kebiasaan klien tidur di kelas untuk meningkatkan
motivasi belajar klien. Sehingga dapat meningkatkan kedisiplinan
klien dalam berperilaku yang didasarkan oleh kesadaran dari dalam
diri klien sendiri. Selain itu, intervensi juga bertujuan untuk
meningkatkan kepercayaan diri klien agar klien tidak malu untuk
bertanya kepada guru atau temannya di saat klien tidak memahami
suatu pelajaran. Berfokus pada perubahan perilaku yang dapat
meningkatkan prestasi belajarnya.
Intervensi yang dilakukan menggunakan terapi behavioral
dengan kontrak perilaku (behaviour/contingency contract)
membantu klien untuk menghadirkan perilaku baru yang dapat
meningkatkan motivasi belajar klien dan menemukan keberanian

25
untuk berubah. Klien juga turut serta untuk bisa keluar dari
masalah dan berpartisipasi dalam proses perubahan. Praktikan
membantu klien mengenali, mengelola, dan meningkatkan
kekuatan dan kemampuan personalnya. Selain itu, dibutuhkan
bantuan dari teman-teman klien di asrama untuk membantu
memotivasi dan mengingatkan klien untuk membiasakan
perubahan perilaku tersebut.
Prosedur-prosedur difokuskan kepada kekuatan-kekuatan
dan potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan perilaku
sekarang dan usahanya untuk meningkatkan prestasi belajar dan
menghasilkan prestasi yang baik di sekolah.
Dalam membantu klien untuk menciptakan hal tersebut,
praktikan dapat melibatkan diri dengan klien dalam upayanya
menjaga dan menciptakan perilaku baru untuk meningkatkan
motivasi belajar secara konsisten. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan contingency contract yang dilaksanakan sesuai batas
waktu yang telah ditentukan bersama oleh klien dan praktikan.
Sistem reward dan punishment akan dilibatkan untuk memotivasi
klien agar konsisten terhadap target perubahan perilakunya.
Jika klien berhasil mencapai kontrak yang telah disepakati,
akan ada penguat positif yang dimaksudkan untuk meningkatkan
motivasi klien. Sebaliknya, jika tujuan tidak terpenuhi, maka akan
ada konsekuensi yang harus diterima oleh klien. Selain itu, bonus
juga akan diberikan kepada klien jika ia berhasil melebihi batas
minimal dari capaian kontrak yang ditetapkan.

26
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Tahapan dalam praktikum ini telah dilaksanakan dari mulai kontak awal
sampai dengan tahapan assessment spesifik. Klien memiliki beberapa masalah.
Akan tetapi, yang menjadi fokus dalam proses pendampingan pada praktikum ini
yaitu mengenai rendahnya motivasi belajar dan kebiasaan klien tertidur di kelas.

Rencana treatment yang akan dilakukan menggunakan terapi behavioral


dengan treatment contingency/behavior contract yaitu membantu klien untuk
mengubah perilaku yang tidak sesuai harapan dengan menciptakan perilaku yang
diharapkan. Dengan treatment ini klien didorong untuk menjaga konsistensi
kebiasaan barunya melalui sistem reward and punishment. Praktikan berperan
membantu dalam proses belajar dengan menciptakan kondisi yang sedemikian
rupa sehingga klien dapat mengubah perilakunya serta memecahkan masalahnya

4.2 Saran

27
Berdasarkan kepada hasil yang telah dicapai pada praktikum ini, praktikan
mencoba memberikan masukan kepada klien,

1. Klien diharapkan mampu mempertahankan perubahannya yang sudah


menunjukan ke arah yang lebih baik
2. Klien harus dapat selalu percaya kepada segala kemampuan dirinya untuk
menyelesaikan masalah walaupun tanpa praktikan
3. Klien harus menjadi pribadi yang lebih terbuka kepada teman-teman klien
agar mereka dapat turut membantu memotivasi klien dalam belajar
4. Selain itu, klien harus menjalin hubungan yang lebih erat dengan guru di
sekolah agar dapat mempermudah klien untuk bertanya mengenai hal-hal
yang belum dipahami

DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 1997. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT
Eresco.
Daulay, W. 2010. Pengaruh Penerapan Teori Kognitif Perilaku terhadap
Perubahan Pikiran dan Perilaku Anak Usia Sekolah yang Mengalami
Kesulitan Belajar di SDN Kelurahan Pondok Cina Tahun 2010. Depok:
FIK UI
Dyanti, Okta P. 2014. Teori Psikososial Eric Erikson (Makalah).
http://www.oktapede.com/2014/10/teori-psikososial-eric-erikson-makalah.html
diunduh pada 28 Desember 2016 pukul 22:50
Fadillah. 2012. Psikologi Belajar.
http://modul.mercubuana.ac.id/files/pbael/pbaelmercubuanaacid/Modul
%20Backlink/Modul%20Genap%202011-2012/Fakultas%20Psikologi/Fadillah
%20-%20Psikologi%20Belajar/ModulPsikologiBelajarGP1112TM4.pdf diunduh
pada 15 Desember 2016, pukul 21.00
Hamalik, Oemar. 2010. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Isnaini, Faiqotul. 2014. Strategi Self-Management untuk Meningkatkan
Kedisiplinan Belajar.
http://eprints.ums.ac.id/31535/13/(2)_NASKAH_PUBLIKASI.pdf diunduh pada
28 Desember 2016, pukul 21:58

28
Komalasari, G. dkk. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT. Indeks.
Ramadan, M.P. 2013. Hubungan Antara Penerimaan Perkembangan Fisik dengan
Kematangan Emosi pada Remaja Awal. UPI
Santoso, Y.W.P. 2016. Konseling Behavior dalam Meningkatkan Motivasi
Belajar Siswa Berprestasi Rendah di MTS Muhammadiyah 2 Milati Sleman
Yogyakarta. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Santrock, J.W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Shaffer, David R. 2005. Social and Personality Development. United States of
America: Thomson Wadsworth.
Supriyati, Anik. 2013. Upaya Meningkatkan Self Management dalam Belajar
Melalui Layanan Bimbingan Kelompok pada Siswa Kelas VIIID di SMPN I
Jakenan Pati. http://lib.unnes.ac.id/17323/1/1301408049.pdf diunduh pada 28
Desember 2016, pukul 21:58
Syah, M. 2012. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Trianingsih, Rima. 2013. Teori Perkembangan Psikososial Erick H. Erikson.
https://rimatrian.blogspot.co.id/2013/12/teori-perkembangan-psikososial-erick-
h.html diunduh pada 28 Desember 2016 pukul 22:55
Willis, S.S. 2007. Konseling Individual. Bandung: Alfabeta
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2115321-ciri-ciri-motivasi-
belajar- rendah.html
http:// id.shvoong.com/tags/pengertian-motivasi-belajar-rendah.html

29

Anda mungkin juga menyukai