Anda di halaman 1dari 128

PENGEMBANGAN PANDUAN PELATIHAN KETERAMPILAN

PEMECAHAN MASALAH (PROBLEM SOLVING SKILL) DENGAN


MODEL EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK SISWA SMP

TESIS

OLEH
TUTI HENDRIYANI
170111841505

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM MAGISTER BIMBINGAN DAN KONSELING
OKTOBER 2019
PENGEMBANGAN PANDUAN PELATIHAN KETERAMPILAN
PEMECAHAN MASALAH (PROBLEM SOLVING SKILL) DENGAN
MODEL EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK SISWA SMP

TESIS
diajukan kepada
Universitas Negeri Malang
untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan program Magister
Bimbingan dan Konseling

OLEH
TUTI HENDRIYANI
170111841505

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM MAGISTER BIMBINGAN DAN KONSELING
OKTOBER 2019

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis oleh Tuti Hendriyani dengan judul “Pengembangan Panduan Pelatihan


Keterampilan Pemecahan Masalah (Problem Solving Skill) dengan Model
Experiential Learning untuk Siswa SMP” ini telah diperiksa dan disetujui untuk
diujikan.

Malang, 12 September 2019


Pembimbing I

Dr. Carolina Ligya Radjah, M.Kes


NIP. 19560424 198203 2 001

Malang, 16 September 2019


Pembimbing II

Dr. Arbin Janu Setiyowati, M.Pd


NIP. 19830120 200604 2 001

ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Tuti Hendriyani
NIM : 170111841505
Jurusan/Program Studi : Bimbingan dan Konseling
Fakultas : Fakultas Ilmu Pendidikan

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
tulisan saya, dan bukan merupakan plagiasi/falsifikasi/fabrikasi baik sebagian atau
seluruhnya.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa tesis ini hasil
plagiasi/falsifikasi/fabrikasi, baik sebagian atau seluruhnya, maka saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 08 Oktober 2019


Yang membuat pernyataan

Tuti Hendriyani
170111841505

iv
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, inayah, dan hidayah
yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis dengan judul
“Pengembangan Panduan Pelatihan Keterampilan Pemecahan Masalah (Problem
Solving Skill) dengan Model Experiential Learning untuk Siswa SMP”. Adapun
tujuan dari penulisan tesis ini yaitu sebagai syarat menyelesaikan program
Magister Bimbingan dan Konseling di Universitas Negeri Malang.
Pada penulisan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak. Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
1. Prof. Dr. Bambang Budi Wiyono, M.Pd sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Malang.
2. Prof. Dr. Nur Hidayah, M.Pd sebagai Koordinator Program Studi Bimbingan
dan Konseling Pascasarjana Universitas Negeri Malang yang telah
memberikan motivasi pada penulis.
3. Dr. Carolina Ligya Radjah, M.Kes sebagai pembimbing tesis I yang selalu
sabar, dan telaten dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
4. Dr. Arbin Janu Setiyowati, M.Pd sebagai pembimbing tesis II yang selalu
sabar, dan telaten dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
5. Alm. Salwin Hendra Permana dan Rumi Kasmayati sebagai orangtua penulis
yang memberikan dukungan secara moril dan materil dalam penyelesaian
tesis ini.
6. Dr. Anselmus JE Toenlioe, M.Pd dan Dr. Henry Praherdhiono, S.Si, M.Pd
sebagai ahli media pembelajaran yang telah bersedia menilai produk yang
dikembangkan penulis.
7. Dr. Blasius Boli Lasan, M.Pd dan Dr. M Ramli, M.A sebagai ahli bimbingan
dan konseling yang bersedia menilai produk yang dikembangkan penulis.
8. Anna Aisyiyah, S.Pd dan Selvandry Fitra Nurgianto, S.Pd sebagai guru BK
SMP N 15 Malang yang telah membantu penulis dalam pengujian produk.
9. Muqarromah Fitri, Fitrianingsih, Anis Triyuliana, Gema Insani, Kurnia Dyah
Kusuma Pratiwi, dan Annisa Sekar Jasmin sebagai sahabat penulis yang

v
selalu ada dalam suka dan duka serta memberikan dukungan dalam
menyelesaikan tesis ini.
10. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana S2 Bimbingan dan Konseling UM
angkatan 2017.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini,
sehingga dengan penuh keterbukaan penulis menerima krtitikan dan saran guna
membangun kesempurnaan tesis ini. Akhirul kalam, semoga tesis ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi mahasiswa bimbingan dan konseling
Universitas Negeri Malang.
Malang, Oktober 2019

Penulis

vi
RINGKASAN

Hendriyani, T. 2019. Pengembangan Panduan Pelatihan Keterampilan Pemecahan


Masalah (Problem Solving Skill) dengan Model Experiential Learning
untuk Siswa SMP. Tesis. Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Malang. Pembimbing (1) Dr. Carolina Ligya
Radjah, M.Kes, (2) Dr. Arbin Janu Setiyowati, M.Pd
Kata Kunci: keterampilan pemecahan masalah, experiential learning

Penelitian pengembangan panduan pelatihan keterampilan pemecahan


masalah dengan model experiential learning untuk siswa SMP diawali dengan hasil
temuan teoritis bahwa masa remaja merupakan masa bermasalah karena pada usia
remaja sering terjadi masalah yang sulit diselesaikan. Hal ini sesuai dengan
fenomena di lapangan yang menunjukkan keterampilan pemecahan masalah yang
masih rendah. Siswa yang memiliki keterampilan pemecahan masalah rendah
cenderung untuk menghindari masalah. Perilaku menghindari masalah dapat
menunjukkan ketidakmampuan siswa dalam memecahkan masalah, sehingga dapat
menimbulkan perilaku menyimpang.
Langkah awal yang dapat dilakukan untuk mencegah perilaku menyimpang
yang merugikan diri sendiri dan orang lain adalah dengan pemberian pelatihan
keterampilan pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi
Kemandirian Peserta Didik (SKKPD) SMP yaitu aspek kematangan intelektual
yang menunjukkan tugas perkembangan siswa dalam mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya. Serta adanya
pemenuhan tugas perkembangan siswa pada aspek pribadi sosial, yaitu kemampuan
menyelesaikan konflik baik bersifat internal maupun eksternal. Oleh karena itu,
perlunya adanya panduan yang dapat digunakan oleh guru BK dalam memfasilitasi
dan membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah.
Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential learning untuk siswa
SMP yang memenuhi kriteria keberterimaan produk pada aspek ketepatan, aspek
kegunaan, dan aspek kelayakan. Produk yang dihasilkan dapat digunakan oleh guru
BK dalam memberikan pelatihan keterampilan pemecahan masalah pada siswa
serta dapat digunakan sebagai acuan bagi guru BK dalam merencanakan,
melaksanakan, mengevaluasi dan melakukan tindak lanjut untuk meningkatkan
keterampilan pemecahan masalah.
Prosedur penelitian pengembangan ini menggunakan rancangan penelitian
model Borg and Gall (1983). Tahapan pengembangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian dan pengumpulan informasi, perencanaan, uji
lapangan awal, pengembangan format produk awal, revisi produk, dan uji lapangan
utama. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
wawancara, skala keterampilan pemecahan masalah, angket kebutuhan guru BK,
dan instrumen penilaian panduan. Data yang diperoleh peneliti berupa data
kuantitatif dengan dianalisis menggunakan interater agreement model gregorry.
Penilaian yang dilakukan ahli mengacu pada akseptabilitas produk yang mencakup

vii
aspek ketepatan, aspek kegunaan, dan aspek kelayakan. Adapun subyek ahli dalam
penelitian ini, terdiri dua ahli BK, dua ahli media, dua guru BK sebagai calon uji
pengguna.
Berdasarkan hasil uji lapangan diperoleh hasil penilaian dari ahli BK
diperoleh indeks validitas yaitu 0,73 yang dikategorikan “tinggi”, penilaian dari ahli
media yaitu 1,00 yang dikategorikan “sangat tinggi”, dan dari calon pengguna yaitu
1,00 yang dikategorikan “sangat tinggi”. Hasil uji coba kelompok kecil yaitu
menunjukkan adanya perbedaan hasil pretest dan posttest setelah pemberian
treatment dengan nilai sig (2-tailed) sebesar 0,007 sehingga hasil dari penilaian
produk yang telah dilakukan oleh ahli media, ahli BK, dan ahli calon pengguna
dapat disimpulkan bahwa penelitian dan pengembangan panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning untuk siswa SMP yang telah teruji validitas dan memenuhi
kriteria keberterimaan produk pada aspek ketepatan, aspek kegunaan dan aspek
kelayakan.
Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah, 1) Guru BK
hendaknya memahami prosedur pelaksanaan pelatihan dalam panduan ini sebelum
memberikan pelatihan, 2) Guru BK dapat menggunakan materi pelatihan dengan
berfokus pada masalah yang dimiliki oleh anggota pelatihan, 3) Guru BK
hendaknya melakukan kegiatan yang berkesinambungan agar kegiatan tersebut
dapat bermanfaat bagi siswa dan mengetahui perubahan keterampilan pemecahan
masalah yang terjadi dalam diri siswa, 4) Peneliti selanjutnya diharapkan mampu
menggunakan jenis masalah yang berbeda pada setiap sesi pertemuan sesuai dengan
masalah siswa yang terjadi di lapangan, 5) Peneliti selanjutnya diharapkan mampu
memperluas subyek ke jenjang pendidikan yang memiliki perbedaan karakteristik
dengan SMPN 15 Malang.

viii
SUMMARY

Hendriyani, T. 2019. Development of a Problem Solving Skill Training Guide with


Experiential Learning Models for Middle School Students. Thesis.
Guidance and Counseling Department, Faculty of Education, State
University of Malang. Advisors (1) Dr. Carolina Ligya Radjah, M.Kes, (2)
Dr. Arbin Janu Setiyowati, M.Pd
Keywords: problem solving skills, experiential learning

The research of developing guidelines for problem solving skills training


with experiential learning models for junior high school students begins with
theoretical findings that adolescence is a problematic period because at adolescence
there are often difficult problems to solve. This is consistent with the phenomenon
in the field which shows that problem solving skills are still low. Students who have
low problem solving skills tend to avoid problems. Behavior avoiding problems can
indicate the inability of students to solve problems, which can lead to deviant
behavior.
The first step that can be taken to prevent deviant behavior that harms
oneself and others is to provide training in problem solving skills. This is in
accordance with Junior High School Student Competency Standards (SKKPD),
which is the aspect of intellectual maturity that shows the task of developing
students in developing knowledge and skills according to their needs. And the
fulfillment of students' developmental tasks on social personal aspects, namely the
ability to resolve conflicts both internal (within oneself) and others. Therefore, the
need for media that can be used by BK teachers in facilitating and helping students
to improve problem solving skills.
The purpose of this study is to produce a training guide to problem solving
skills with experiential learning models for junior high school students who meet
the criteria for product acceptance on the aspects of accuracy, usability aspects, and
feasibility aspects. The product produced can be used by BK teachers in providing
problem solving skills training to students and can be used as a reference for BK
teachers in planning, implementing, evaluating and following up to improve
problem solving skills.
This development research procedure uses the Borg and Gall (1983)
research design model. The stages of development used in this study were research
and information gathering, planning, initial field testing, development of initial
product formats, product revisions, and main field tests. Data collection instruments
used in this study were interviews, scale of problem solving skills, questionnaire
needs of BK teachers, and guidance assessment instruments. The data obtained by
researchers in the form of quantitative data were analyzed using the agreement
gregorry. Assessments made by experts refer to product acceptability which
includes aspects of accuracy, aspects of usability, and aspects of eligibility. The
subject matter experts in this study consisted of two BK experts, two media experts,
two BK teachers as prospective users.
Based on the results of the field test the assessment results obtained from
BK experts obtained a validity index of 0.73 which is categorized as "high", the

ix
assessment of media experts is 1.00 which is categorized as "very high", and from
potential users that is 1.00 which is categorized as "very high". The results of a
small group trial that shows the differences in the results of the pretest and posttest
after giving treatment with a sig (2-tailed) value of 0.007 so that the results of
product assessments that have been done by media experts, BK experts, and
prospective user experts can be concluded that the research and the development of
problem solving skills training guides with experiential learning models for junior
high school students who have tested their validity and meet the criteria for product
acceptance on the aspects of accuracy, usability aspects and feasibility aspects.
Suggestions given based on the result are, 1) BK teachers should understand
the procedures for implementing training in this guide before providing training, 2)
BK teachers can use training materials by focusing on problems owned by training
members, 3) BK teachers should carry out continuous activities so that these
activities can be useful for students and know changes in problem solving skills that
occur in students, 4) The next researcher is expected to be able to use different types
of problems at each meeting session in accordance with student problems that occur
in field, 5) The next researcher is expected to be able to expand the subject to the
level of education that has different characteristics with SMPN 15 Malang.

x
DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………….………………..……… i
Lembar Persetujuan Pembimbing………………….……………..….….. ii
Lembar Persetujuan dan Pengesahan……………………………………. iii
Pernyataan Keaslian Tulisan………………………….…………………. iv
Ucapan Terimakasih……………………………………………………. v
Ringkasan……………………………………………….……………….. vii
Daftar Isi………………………………………………….………...……. xi
Daftar Gambar………………………………………………………...…. xiii
Daftar Tabel……………………………………………………………… xiv
Daftar Lampiran………………………………………………………….. xv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………… 1
1.2 Tujuan Pengembangan………………………………….. 13
1.3 Spesifikasi Produk yang Diharapkan……….…………... 13
1.4 Pentingnya Pengembangan…………………….……….. 16
1.5 Asumsi dan Keterbatasan Penelitian……………………. 16
1.6 Definisi Operasional……………………………………. 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Hakikat Remaja…………………………………………. 19
2.2 Hakikat Keterampilan Pemecahan Masalah…………….. 21
2.3 Hakikat Experiential Learning………………………….. 29
2.4 Hakikat Bimbingan dan Konseling……………………… 35
2.5 Model Experiential Learning Sebagai Model Pelatihan
Keterampilan Pemecahan Masalah……………………… 38
2.6 Kerangka Berpikir……………………………………….. 41

xi
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Model Penelitian dan Pengembangan………………..… 44
3.2 Prosedur Penelitian dan Pengembangan……………….. 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


4.1 Data Hasil Uji Lapangan Awal………….……………... 75
4.2 Revisi Produk Utama…………….……………….……. 85
4.3 Uji Lapangan Utama…………………………………… 89

BAB V KAJIAN DAN SARAN


5.1 Kajian Produk Pengembangan……….…………………. 94
5.2 Simpulan Hasil Pengembangan…………………..…….. 103
5.3 Saran Pemanfaatan dan Pengembangan Lebih Lanjut….. 104

DAFTAR RUJUKAN…………………………………………………… 106


LAMPIRAN……………………………………………………………... 113

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Siklus Experiential Learning…………….………...…………… 33


2.2 Penerapan Model Experiential Learning dalam Pelatihan
Keterampilan Pemecahan Masalah……………………………… 40
2.3 Kerangka Berpikir Penelitian……………………………………. 43
3.1 Prosedur Pengembangan Panduan………………………………. 48
3.2 Model interater agreement……………………………………… 67
3.3 Rancangan Pengujian Experimen……………………………….. 69
3.4 Rumus Perhitungan Tingkat Perubahan Pretest dan Posttest…… 73
4.1 Perhitungan Kesepakatan Uji Ahli Media………………………. 76
4.2 Perhitungan Kesepakatan Uji Ahli BK.......................................... 80
4.3 Perhitungan Kesepakatan Uji Calon Pengguna…………………. 84
4.4 Diagram Frekuensi Skor Pretest dan Postest……………………. 90

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Rumusan Tujuan Pelatihan……………………………………. 51


3.2 Prosedur Pelatihan Keterampilan Pemecahan Masalah
(Problem Solving Skills)……………………………………...… 54
3.3 Rancangan Buku Panduan Untuk Guru BK………..……….….. 60
3.4 Subyek Ahli Media……………………………………..……… 62
3.5 Subyek Ahli BK....……………………………………...……… 62
3.6 Subyek Calon Pengguna……………………………………….. 63
3.7 Kisi-Kisi Instrumen Penilaian Ahli Media………….…………. 64
3.8 Kisi-Kisi Instrumen Penilaian Ahli BK…………..………….… 65
3.9 Kisi-kisi Instrumen Calon Pengguna…………………………... 65
3.10 Kategori Validitas……………………………………..……….. 67
3.11 Subyek Uji Kelompok Kecil.....………………………….…….. 69
3.12 Kisi-Kisi Skala Keterampilan Pemecahan Masalah…………… 71
3.13 Kategorisasi Keterampilan Pemecahan Masalah……………… 73
4.1 Hasil Penilaian Ahli Media…………………………………….. 76
4.2 Hasil Penilaian Ahli BK....…………………………………….. 79
4.3 Hasil Penilaian Calon Pengguna………………….………….... 83
4.4 Catatan dan Saran Perbaikan Produk dari Penilaian
Ahli Media……………………………………………………… 87
4.5 Catatan dan Saran Perbaikan Produk dari Penilaian
Ahli BK…………………………………………………………. 88
4.6 Catatan dan Saran Perbaikan Produk dari Penilaian
Calon Pengguna………………………………………………… 88
4.7 Hasil Pretest Uji Coba Kelompok Kecil…..…………….……… 89
4.8 Hasil Posttest Uji Coba Kelompok Kecil…..………….……….. 90
4.9 Tingkat Perubahan Pretest dan Posttest………………..………. 91
4.10 Hasil Uji the Wilcoxon Signed Rank Test……………….……… 92

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat Ijin Penelitian…………………………………….…..……..... 113


2. Surat Keterangan Penelitian……………………………..…..….….. 115
3. Surat Keterangan Penilaian Uji Ahli Media ...................................... 116
4. Surat Keterangan Penilaian Uji Ahli BK…………………………… 117
5. Skala Keterampilan Pemecahan Masalah Sebelum Uji Validitas….. 118
6. Tabulasi Data Keterampilan Pemecahan Masalah………………...... 123
7. Hasil Uji Validitas Skala Keterampilan Pemecahan Masalah............ 125
8. Skala Keterampilan Pemecahan Masalah Setelah Uji Validitas.…... 129
9. Instrumen Kebutuhan Guru BK ………………………….…….….. 133
10. Instrumen Penilaian Ahli Media…………….………………….….. 142
11. Instrumen Penilaian Ahli BK.....…………….…………….……...... 150
12. Instrumen Penilaian Ahli Calon Pengguna……..…………….……. 158
13. Sertifikat Bebas Plagiasi……………………………………….….... 166
14. Biodata Penulis…………………………………………………….. 167

xv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Individu memiliki berbagai permasalahan yang dihadapi dalam menjalani
kehidupannya. Permasalahan yang dialami oleh tiap individu berupa masalah
dengan diri sendiri atau masalah dengan orang lain. Masalah yang dialami tiap
individu dipandang sebagai suatu kondisi sulit yang membutuhkan pemecahan
atau penyelesaian, sehingga diperlukan upaya untuk memecahkan masalah.
Individu membutuhkan suatu keterampilan untuk menghadapi dan memecahkan
masalah, karena permasalahan yang dimiliki oleh tiap individu berbeda begitupun
dengan cara pemecahannya. Masalah dapat diselesaikan dengan baik atau tidak,
sesuai dengan keterampilan yang dimiliki individu dalam memecahkan masalah.
Masalah dapat diselesaikan dengan baik apabila terjadi perubahan dari kondisi
yang sulit menuju kondisi yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Yaumi (2012) bahwa pemecahan masalah atau penyelesaian masalah terjadi
ketika suatu kondisi membutuhkan perubahan dari kenyataan yang dihadapi
menuju kondisi yang diinginkan. Oleh karena itu, keterampilan pemecahan
masalah diperlukan oleh tiap individu untuk memecahkan masalah dalam
kehidupannya.
Keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) berada dalam ranah
soft skill yang digunakan untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam
kehidupannya (Utami, 2011). Berdasarkan hal tersebut, pada dasarnya tiap
individu memiliki keterampilan pemecahan masalah yang digunakan untuk
menghadapi dan memecahkan masalah. Artinya individu dapat menggunakan
kemampuan yang ada dalam diri individu untuk mengidentifikasi masalah
berdasarkan fakta dan informasi yang digunakan untuk membantu individu
memperjelas situasi permasalahannya, serta melakukan langkah untuk menyusun
berbagai alternatif dan menentukan solusi pemecahan masalah yang tepat. Adanya
pemahaman terhadap masalah yang sedang dihadapi dapat mendorong proses
kognitif dalam mencari solusi pemecahan masalah. Sesuai dengan pendapat

1
2

Nayazik (2017) bahwa pemecahan masalah umumnya dianggap sebagai aktivitas


kognitif yang paling penting dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Permasalahan dapat terjadi dalam berbagai segi aspek kehidupan yang dapat
dialami oleh remaja. Adapun masalah yang dialami remaja mencakup masalah
pribadi sosial, masalah belajar dan masalah karir. Menurut Willis (2008) masalah
pribadi berkaitan dengan permasalahan yang berhubungan dengan kepribadian
remaja seperti masalah fisik maupun psikologis dan masalah sosial berhubungan
dengan lingkungan sosial, seperti permasalahan dalam keluarga atau dalam
pertemanan. Masalah belajar berhubungan dengan masalah dalam kegiatan belajar
yang menghambat prestasi belajar. Masalah karir yang dialami remaja
berhubungan dengan pemilihan studi lanjut, perencanaan serta pengambilan
keputusan pemilihan karir. Permasalahan tersebut dapat terjadi pada usia remaja.
Menurut Hurlock (2003) masa remaja dikategorikan sebagai usia bermasalah
karena pada usia remaja sering terjadi masalah yang sulit diselesaikan. Masa
remaja dapat dipandang sebagai suatu kondisi dimana individu mengalami proses
perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang ditandai oleh
perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Proses perkembangan antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa dikatakan sebagai masa transisi. Menurut
Santrock (2016) masa transisi ini dialami pada masa remaja dengan rentang usia
12 sampai 20 tahun. Masa remaja terbagi menjadi dua bagian yaitu remaja awal
berusia 12 sampai 15 tahun dan remaja akhir berusia 15 sampai 20 tahun.
Berdasarkan hal tersebut, maka siswa SMP termasuk dalam kategori remaja awal,
yaitu berusia 12 hingga 15 tahun.
Pada masa remaja awal terjadi adanya perubahan perkembangan emosional
sehingga menimbulkan pergolakan emosi yang ditandai dengan munculnya
berbagai masalah yang terjadi pada remaja. Masalah yang terjadi pada remaja
dikarenakan adanya masa storm and stress yang penuh gejolak, konflik dan
perubahan suasana hati pada remaja awal (Hall dalam Santrock, 2016). Sesuai
dengan pernyataan Willis (2008) bahwa masalah remaja adalah masalah yang
dihadapi dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat remaja itu
hidup dan berkembang. Adapun masalah yang dihadapi remaja berupa
3

kekecewaan dan penderitaan, meningkatnya konflik, pertentangan, dan krisis


penyesuaian diri, impian dan khayalan, percintaan, keterasingan dari kehidupan
dewasa dan norma kebudayaan (Rozak & Sayuti, 2006). Sesuai dengan
permasalahan yang terjadi pada masa remaja awal, sehingga remaja perlu melatih
diri untuk memecahkan berbagai masalah secara tepat.
Menurut Robinson & Lyle (2001) individu dalam memecahkan masalah
membutuhkan pengetahuan dasar (base knowledge) dan keterampilan dasar (base
skill). Pengetahuan dasar merupakan kumpulan pengetahuan yang dimiliki
individu sebagai hasil dari apa yang telah dipelajari oleh individu tersebut.
Sedangkan keterampilan dasar dalam memecahkan masalah meliputi beberapa
hal, diantaranya keterampilan menganalisis masalah dan keterampilan mencari
solusi dalam penyelesaian yang tepat. Keterampilan dasar dalam memecahkan
masalah akan terlihat ketika remaja dihadapkan pada berbagai masalah. Adapun
respon remaja ketika memiliki masalah yaitu ada remaja yang memilih
menghadapi masalahnya dan ada remaja yang memilih menghindari masalah
karena ketidakmampuan dalam memecahkan masalah.
Adapun beberapa fenomena atau masalah remaja yang muncul sebagai akibat
dari ketidakmampuan dalam memecahkan masalah yaitu masalah yang terjadi di
lingkungan sekolah seperti tingginya kasus bullying di lingkungan sekolah
berdasarkan data KPAI ada 26 ribu kasus bullying selama 2011-2017 (kpai.go.id).
Kasus lain pada tanggal 30 Mei 2018 yaitu siswa SMP di Blitar meninggal dunia
gantung diri karena gagal masuk SMA favorit (detiknews.com). Data lain dari
hasil riset yang dilakukan LSM Plan International dan Internasional Center for
Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 menunjukan fakta
bahwa terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah dengan
persentase 40% siswa di usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami
kekerasan fisik oleh teman sebaya. (liputan6.com). Berdasarkan beberapa
fenomena di atas menunjukkan adanya ketidakmampuan remaja dalam
memecahkan masalah yang menimbulkan perilaku menyimpang. Oleh karena itu,
perlunya keterampilan pemecahan masalah dimiliki oleh remaja untuk
menghadapi dan memecahkan masalah secara mandiri agar terhindar dari perilaku
4

yang menyimpang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Batubara (2010) bahwa
pada periode remaja awal, siswa mulai melakukan perilaku yang menyimpang
seperti melakukan eksperimen dengan rokok, alkohol, atau narkoba.
Data lain dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama tahun
2012 telah terjadi tawuran siswa SMP sebanyak 147 kasus (kompas.com), selain
itu menurut KPAI kasus tawuran di Indonesia meningkat 1,1% sepanjang tahun
2018. Pada tahun lalu angkat kasus tawuran hanya 12,9% namun pada tahun 2018
menjadi 14%. Sejak 23 Agustus 2018 hingga 8 September 2018 KPAI menerima
empat laporan tawuran di Jakarta. Salah satunya yaitu tawuran antar pelajar yang
terjadi di Permata Hijau tanggal 1 September 2018 yang mengakibatkan satu
pelajar meninggal. Tawuran tersebut terjadi karena saling ejek saat berpapasan
(tempo.co). Berdasarkan fenomena yang diberitakan tentang siswa SMP melalui
media masa menunjukkan bahwa siswa SMP cenderung memilih menyelesaikan
masalah tanpa mempertimbangkan resiko yang terjadi, oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill)
perlu dilatihkan pada siswa SMP. Hal ini sesuai dengan pernyataan Saygili (2017)
bahwa keterampilan pemecahan masalah merupakan kebutuhan dasar yang harus
dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan kebutuhan dalam
keterampilan berpikir.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru BK SMPN 15 Malang tanggal 26
April 2019 ditemukan beberapa permasalahan diantaranya yaitu perkelahian antar
siswa, siswa merokok di lingkungan sekolah, perundungan, perilaku membolos,
pengancaman dan pemalakan yang dilakukan oleh beberapa siswa, percobaan
bunuh diri karena perceraian orangtua, siswa tidak mau melanjutkan sekolah
karena gagal masuk sekolah negeri, kebingungan dalam mementukan studi setelah
lulus sekolah. Hal ini menunjukkan adanya berbagai permasalahan yang dimiliki
oleh siswa SMP, sehingga keterampilan pemecahan masalah perlu dilatihkan pada
siswa agar siswa mampu menghadapi berbagai permasalahan.
Berdasarkan hasil penelitian Utami (2011) pada hasil need assessment pada
siswa SMP di kota Malang menunjukkan bahwa sebanyak 72% siswa merasa
cemas ketika menghadapi masalah, sebanyak 28% siswa tidak merasa cemas saat
5

menghadapi masalah. Data lain menunjukkan sebanyak 76% siswa menghindari


masalah, dan sebanyak 24% siswa berupaya menghadapi dan memecahkan
masalah. Berdasarkan hasil need assessment menunjukkan bahwa respon siswa
SMP jika dihadapkan dengan masalah cenderung mengalami kecemasan dan
memilih menghindar dari masalah. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa
keterampilan pemecahan masalah pada siswa SMP masih rendah.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan pemberian skala keterampilan
pemecahan masalah di SMPN 15 Malang sebanyak 95 menunjukkan bahwa
terdapat 36 siswa atau sebanyak 37,89% memiliki keterampilan pemecahan
masalah pada kategori tinggi, 26 siswa atau sebanyak 27,37% memiliki
keterampilan pemecahan masalah pada kategori sedang, dan 33 siswa atau
sebanyak 34,74% memiliki keterampilan pemecahan masalah pada kategori
rendah. Pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) perlu
diberikan pada siswa sebagai upaya preventif yaitu mencegah terjadinya perilaku
menyimpang yang ditimbulkan karena ketidakmampuan dalam memecahkan
masalah. Pelaksanaan pelatihan keterampilan pemecahan masalah juga dapat
mendorong siswa untuk mengatasi masalah secara mandiri agar terhindar dari
perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan dari beberapa fenomena
atau permasalahan yang dialami siswa, hasil wawancara dengan guru BK, serta
hasil skala keterampilan pemecahan masalah, maka pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) diperlukan bagi siswa SMP agar siswa
mampu menghadapi dan memecahkan masalah. Adapun dampak jika siswa tidak
memiliki keterampilan pemecahan masalah yaitu, ketika dihadapkan dengan
masalah cenderung menghindar dan dapat menimbulkan perilaku-perilaku yang
menyimpang yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun jika siswa
memiliki keterampilan pemecahan masalah maka siswa mampu menghadapi dan
menyelesaikan masalah serta menemukan alternatif solusi penyelesaian masalah
yang tepat meskipun dalam kondisi dan situasi yang sulit.
Individu dapat dikatakan memiliki keterampilan pemecahan masalah jika
mampu memecahkan masalah dengan tepat dan sistematis seperti memiliki
6

kemampuan mengidentifikasi masalah yang dihadapi, mampu mencari solusi


berdasarkan identifikasi masalah, mengidentifikasi hambatan pada solusi yang
telah dibuat, memilih solusi yang tepat, mencoba menerapkan solusi yang dipilih
dalam pemecahan masalah, dan melakukan evaluasi solusi (Forgan, 2002),
sehingga keterampilan pemecahan masalah perlu dilatihkan secara sistematis dan
terstruktur agar siswa mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan tepat.
Sesuai dengan hasil penelitian Roesler (2015) menunjukkan bahwa siswa yang
hanya memiliki salah satu atau beberapa kemampuan dalam keterampilan
pemecahan masalah mereka cenderung kesulitan dalam memecahkan masalah.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya dari pihak sekolah dalam memberikan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) pada siswa.
Sesuai dengan pernyataan Jonassen (dalam Yaumi, 2012) bahwa keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) merupakan bagian penting yang dapat
diajarkan atau dilatihkan di sekolah. Hal ini diperkuat dengan temuan dari Kirmizi
(2015) bahwa keterampilan pemecahan masalah merupakan suatu keterampilan
yang sangat penting dan harus dimiliki bagi siswa dalam menyelesaikan segala
persoalan yang ditemukan di dalam pembelajaran abad 21.
Adapun penelitian yang relevan dengan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah yaitu penelitian Utami (2011) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
keterampilan pemecahan masalah secara efektif melalui beberapa tahap tertentu
dengan metode cinema education yang dilakukan oleh guru BK. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keterampilan pemecahan masalah
perlu dilatihkan kepada siswa untuk mengatasi permasalahannya dalam
menghadapi proses perkembangan pada masa remaja. Hasil penelitian Surur
(2016) menunjukkan bahwa keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) secara efektif dapat ditingkatkan menggunakan teknik problem solving
strategy pada siswa SMP. Hasil yang diperoleh secara umum problem solving
strategy memberikan pengaruh untuk meningkatkan keterampilan pemecahkan
masalah (problem solving skill) siswa SMP.
Penelitian Ismani (2013) menunjukkan bahwa penerapan prosedur behavioral
skills training efektif dalam meningkatkan keterampilan pemecahan masalah
7

(problem solving skill) pada siswa SMP. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa keterampilan pemecahan masalah dapat dilatihkan pada
siswa SMP untuk menghadapi masalah. Penelitian lain dari Armagan dkk (2019)
menyatakan bahwa setiap masalah memiliki penyelesaian atau solusi pemecahan
masalah yang berbeda. Siswa yang telah mempelajari proses pemecahan masalah
dapat menyelesaikan masalah di semua bidang kehidupan dengan menggunakan
keterampilan pemecahan masalah mampu menemukan solusi untuk
menyelesaikan masalah dan kesulitan yang dialami siswa.
Menurut Ismani (2013) keterampilan pemecahan masalah dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
mencakup kemampuan siswa dalam menghadapi masalah, sedangkan faktor
eksternal merupakan tempat munculnya masalah, ketika siswa mendapat
dukungan dari orang lain untuk menyelesaikan masalah, maka akan
mempermudah siswa tersebut dalam menyelesaikan masalahnya. Dukungan dapat
diperoleh berasal dari lingkungan, orangtua, dan guru BK.
Guru BK sebagai tenaga profesional yang memberikan layanan bantuan pada
siswa dalam mengentaskan masalah yang dihadapi. Melalui layanan bimbingan
dan konseling, guru BK dapat membantu siswa agar dapat memilih dan
memutuskan berbagai pilihan alternatif pemecahan masalah dalam berbagai
macam aspek permasalahan serta mendorong siswa menjadi pribadi yang mampu
menghadapi dan memecahkan masalah secara tepat. Oleh karena itu, diperlukan
adanya layanan bimbingan dan konseling dalam memberikan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah di sekolah. Hal isi sesuai dengan hasil
penelitian Aslan & Sagir (2011) bahwa peran guru saat ini perlu menjadi individu
yang menunjukkan kemampuan untuk memecahkan masalah, termasuk
menginformasikan kepada siswa tentang keterampilan pemecahan masalah di
berbagai bidang.
Kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah secara umum
membantu setiap siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dan siswa
mampu mencapai tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi sosial,
belajar, dan karir. Hal ini sesuai dengan Joni (Radjah, 2016) bahwa tugas guru BK
8

membantu mengembangkan potensi dan memandirikan siswa dalam pengambilan


keputusan dan pilihan untuk mencapai tujuan hidup. Adapun tugas perkembangan
siswa yang terkait dengan aspek pribadi sosial siswa menurut American School
Counselor Association (ASCA) dalam Gysberg & Henderson (2006) adalah
sebagai berikut 1) siswa memiliki kemampuan, pengetahuan dan keterampilan
interpersonal untuk memahami dan merespek diri sendiri dan orang lain, 2) siswa
memiliki kemampuan interaksi sosial yang baik dengan orang lain, 3) siswa
memiliki kemampuan menghargai dan menghormati budaya orang lain, 4) siswa
memiliki kemampuan mengembangkan dan memelihara hubungan persahabatan
yang sehat dengan orang lain, 5) siswa mampu berpartisispasi dalam suatu
kelompok/ tim, 6) siswa memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik baik
bersifat internal maupun eksternal.
Berdasarkan pernyataan tersebut guru BK memiliki peran dalam membantu
siswa agar dapat mencapai tugas perkembangannya seperti pada aspek pribadi
sosial, yaitu kemampuan dalam menyelesaikan konflik baik bersifat internal
maupun eksternal yang dapat melatih keterampilan pemecahan masalah pada
siswa. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik
(SKKPD) dalam sepuluh aspek perkembangan siswa SMP yang mencakup
landasan hidup religius, landasan perilaku etis, kematangan emosi, kematangan
intelektual, kesadaran tanggung jawab sosial, kesadaran gender, pengembangan
pribadi, perilaku kewirausahaan/kemandirian perilaku ekonomis, wawasan dan
kesiapan karir, kematangan hubungan dengan teman sebaya (Tim PPK
Kemendikbud, 2016).
Salah satu aspek perkembangan siswa SMP yang sesuai dengan keterampilan
pemecahan masalah yaitu aspek kematangan intelektual yang menunjukkan tugas
perkembangan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya untuk mengikuti dan
melanjutkan pelajaran atau mempersiapkan karir serta berperan dalam kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, guru BK memiliki peran dalam ketercapaian tugas
perkembangan siswa dan perkembangan keterampilan siswa. Sesuai dengan
pernyataan Setiyowati (2017) bahwa guru BK atau konselor merupakan tenaga
9

profesional yang memiliki fungsi dalam peningkatan pengembangan karakter dan


tugas perkembangan siswa.
Adapun upaya yang dapat dilakukan guru BK dalam memfasilitasi siswa
untuk mencapai tugas perkembangannya sesuai komponen program bimbingan
dan konseling pada layanan dasar. Layanan dasar merupakan proses pemberian
bantuan pada semua siswa yang berkaitan dengan pengembangan keterampilan,
pengetahuan, dan sikap dalam bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan siswa. Pengembangan
keterampilan yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas perkembangan siswa
dapat berupa keterampilan pemecahan masalah, namun peran guru BK di sekolah
masih belum optimal dalam upaya mengembangkan keterampilan pemecahan
masalah pada siswa.
Adapun hal yang telah dilakukan oleh guru BK dalam mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah yaitu dengan melakukan konseling individu,
konseling kelompok, bimbingan kelompok, kolaborasi dengan orangtua atau wali
siswa dalam mengatasi masalah siswa. Hal tersebut belum mampu
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah siswa karena beberapa
kendala yaitu guru BK membutuhkan kolaborasi dengan beberapa guru dan
orangtua, namun kurang berjalan maksimal karena kolaborasi dan komunikasi
yang dilakukan kurang intens akibat kesibukan. Hal lain yang terjadi yaitu guru
BK sebenarnya telah melakukan konseling individu kepada siswa dengan harapan
siswa dapat memecahkan masalahnya dan meminimalisir terjadinya perilaku
menyimpang yang dilakukan siswa. Hal ini menunjukkan beberapa perubahan
positif pada diri siswa dalam kurun waktu seminggu, setelah itu siswa akan
mengulangi kembali perilaku menyimpang karena ketidakmampuan dalam
memecahkan masalah.
Berdasarkan wawancara dengan guru BK pada tanggal 26 April 2019 di
SMPN 15 Malang bahwa pemberian layanan bimbingan dan konseling
berdasarkan need assessment hanya diberikan pada siswa yang memiliki masalah.
Upaya yang dilakukan guru BK dalam memfasilitasi pemberian layanan
bimbingan dan konseling belum optimal karena guru BK tidak menggunakan
10

teknik khusus dalam melakukan proses layanan bimbingan dan konseling. Selain
itu, peneliti juga mengumpulkan data kebutuhan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah dengan model experiential learning pada guru BK.
Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian angket kebutuhan guru BK
terhadap pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential
learning. Berdasarkan angket kebutuhan guru BK menunjukkan bahwa
keterampilan pemecahan masalah perlu dilatihkan pada siswa karena pada usia
SMP menghadapi masalah sulit serta untuk mempertajam kemampuan siswa
dalam memecahkan masalah. Angket kebutuhan guru BK juga menunjukkan
bahwa guru BK membutuhkan model layanan yang memiliki tahapan terstruktur
untuk melaksanakan pelatihan keterampilan pemecahan masalah.
Model experiential learning memiliki relevansi dalam pelatihan keterampilan
pemecahan masalah karena experiential learning mengutamakan pengalaman
nyata sebagai obyek belajar siswa (Kolb, 1984). Pengalaman nyata yang dimiliki
siswa dapat berupa permasalahan yang pernah dialami, sehingga permasalahan
tersebut dapat dijadikan sebagai obyek belajar siswa dalam melatih keterampilan
pemecahan masalah. Experiential learning menitik beratkan pada partisipasi aktif
individu secara langsung untuk mentransformasi pengalaman ke dalam diri
individu dalam setting yang dibuat seperti kehidupan nyata. Experiential learning
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih pengalaman apa yang akan
menjadi fokus belajarnya dan memberikan kesempatan pada siswa untuk
membuat konsep dari pengalaman yang dialami.
Pada model experiential learning guru BK terlibat langsung dalam
memotivasi siswa dan memberikan refleksi yang difokuskan untuk meningkatkan
pengetahuan dan mengembangkan keterampilan, sehingga experiential learning
mendorong siswa untuk berpikir, mengeksplor, bertanya, membuat keputusan, dan
menerapkan apa yang telah dipelajari. Sesuai dengan Sutirman dkk, (2017)
experiential learning melibatkan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan
masalah, dan mengaplikasikan keterampilan dalam situasi yang baru.
Kegiatan pelatihan dengan model experiential learning mencakup empat
tahapan yang digunakan yaitu pengalaman nyata (concrete experience), observasi
11

refleksi (reflective observation), konseptualisasi abstrak (abstract


conceptualization), dan eksperimentasi aktif (active experimentation) (Kolb,
1984). Berdasarkan siklus pada model experiential learning siswa dapat
memahami dan mentransformasikan pengalaman yang diperoleh selama
pembelajaran sehingga siswa dapat menerapkan keterampilan pemecahan masalah
pada situasi kehidupan sehari-hari. Menurut Phillips (2017) experiential learning
menempatkan pengalaman ke dalam sebuah pembelajaran dan merefleksikan
pengalaman yang telah diperoleh dalam bentuk perilaku, sehingga proses
pembelajaran efektif untuk membangun pengetahuan dan mempraktikkan pada
situasi di masa depan.
Kajian penelitian mengenai experiential learning yang memperkuat asumsi di
atas antara lain yaitu hasil penelitian Purwaningrum (2013) menunjukkan bahwa
model experiential learning dapat digunakan sebagai strategi internalisasi mind
skills mahasiswa bimbingan dan konseling karena model experiential learning
dilakukan secara berkesinambungan dalam tahapnya, sehingga mampu menyentuh
aspek ‘feeling’,‘watching or describing’,‘thinking’ dan ‘doing’. Artinya model
experiential learning dapat meningkatkan keterampilan berpikir (mind skills).
Berdasarkan hasil penelitian Gunawan (2014) keterampilan mengelola emosi
siswa dapat dilatihkan melalui model experiential learning. Oleh karena itu,
pelaksanaan model experiential learning teruji efektif untuk pelatihan
keterampilan mengelola emosi. Hal ini menunjukan bahwa model experiential
learning efektif digunakan dalam pelatihan keterampilan siswa.
Pangestie & Fendahapsari (2016) dalam hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa metode pelatihan berbasis pengalaman (experiential learning) terbukti
dapat mengembangkan keterampilan respectful mind. Peningkatan keterampilan
ini dianggap sebagai bagian kecil dari proses belajar yang merupakan langkah
awal terbentuknya standar kompetensi kemandirian untuk perkembangan
kematangan emosi dan intelektual dalam bidang pribadi sosial. Pelaksanaan
pelatihan dengan model experiential learning terbukti melibatkan aspek kognitif.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, experiential learning dapat digunakan
sebagai model pelatihan keterampilan yang melibatkan aspek kognitif dan afektif.
12

Buoncristiani & Buoncristiani (2012) menyatakan bahwa keterampilan


pemecahan masalah merupakan bagian dari kemampuan metakognitif karena
dalam memecahkan masalah dibutuhkan proses berpikir yang tinggi seperti
diperlukannya keterampilan dalam pemahaman, memonitoring, mengevaluasi, dan
mengatur kemampuan berpikir. Menurut Armagan dkk (2009) keterampilan
pemecahan masalah merupakan kegiatan kognitif yang perlu ditingkatkan dalam
proses pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, experiential learning dirasa dapat
digunakan sebagai model pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem
solving skill) pada siswa.
Penggunaan model experiential learning dalam pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) karena model ini memberikan
pengalaman secara langsung dan tidak hanya mendengarkan tetapi lebih pada
mensimulasikan situasi kehidupan nyata, sehingga siswa berpartisipasi aktif
dalam kegiatan pelatihan keterampilan pemecahan masalah. Experiential learning
melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan. Sesuai dengan pernyataan Yamazaki
& Kayez (2004) bahwa model experiential learning mampu membentuk empat
mode pembelajaran yaitu merasakan, merefleksikan, memikirkan, dan melakukan.
Adapun tujuan akhir dari intervensi yang diberikan ini adalah agar siswa memiliki
transfer of learning yang dihasilkan dari pengalamannya secara langsung dalam
keterampilan pemecahan masalah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Luckmann
(dalam Moore, et al 2010) bahwa experiential learning merupakan suatu proses di
mana siswa membangun pengetahuan, keterampilan, dan nilai dari pengalaman
secara langsung.
Alasan perlu dikembangkannya panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning untuk siswa
SMP karena belum adanya buku panduan untuk guru BK dalam memberikan
pelatihan. Panduan ini dapat digunakan oleh guru BK dalam memfasilitasi dan
memberikan layanan bimbingan dan konseling. Panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) yang dikembangkan merupakan
pedoman bagi guru BK dalam membantu siswa untuk mengembangkan
pengetahuan dalam melatih keterampilan pemecahan masalah (problem solving
13

skill) agar siswa mampu menghadapi dan memecahkan masalah secara tepat,
sehingga siswa tidak selalu bergantung pada bantuan yang diberikan orang lain.
Perlunya keterampilan pemecahan masalah pada siswa menarik perhatian peneliti
untuk mengembangkan panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP.
1.2 Tujuan Pengembangan
Tujuan pengembangan dari penelitian ini yaitu untuk menghasilkan panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning untuk siswa SMP yang memenuhi kriteria keberterimaan
produk melalui uji ahli BK, uji ahli media, uji calon pengguna, dan uji kelompok
kecil.
1.3 Spesifikasi Produk yang Diharapkan
Produk penelitian pengembangan ini berupa panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning
untuk siswa SMP. Adapun spesifikasi produk yang dikembangkan terdiri dari
bentuk produk dan spesifikasi keberterimaan produk. Penjelasan bentuk produk
dan spesifikasi keberterimaan produk sebagai berikut.
1.3.1 Bentuk produk
Produk yang dihasilkan berupa panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential
learning untuk siswa sekolah menengah pertama dispesifikasikan secara
terperinci dari segi tampilan beserta isinya sebagai berikut.
a. Tampilan buku panduan.
Panduan ini berukuran 18,2 cm x 25,7 cm (B5) dengan dasar
sampul berwarna orange, pada sampul terdapat penulisan judul
berwarna merah dengan bentuk penulisan alegreya sans sc bold
berukuran font 22, sedangkan bentuk penulisan pada isi panduan yaitu
iskoola pota dengan ukuran font 12. Pada bagian sampul depan dan
sampul belakang terdapat logo dan lambang Universitas Negeri
Malang yang merupakan identitas tempat penyelesaian studi bagi
peneliti. Pada sampul dalam terdapat identitas penulis beserta dosen
14

pembimbing yang bentuk penulisan amaranth dengan ukuran font 16,


beserta judul panduan dengan penulisan arvo dengan ukuran font 18.
Bahan kertas pada sampul yaitu artpaper glossy 120gsm, sedangkan
bahan kertas pada isi panduan yaitu hvspaper 70gsm.
b. Isi panduan.
Pada tampilan isi panduan terdapat page border di bagain tepi
kanan dengan warna orange. Warna penulisan pada tiap Bab terdapat
warna hitam sedangkan subbab berwarna merah, dan dan warna sub
subab berwarna hijau. Bentuk penulisan subbab yaitu lucida
calligraphy dengan font 12, sedangkan penulisan Bab, sub subab, dan
isi penulisan menggunakan iskoola pota ukuran font 12. Panduan
memiliki kerangka isi yang terdiri dari ucapan terima kasih, daftar isi,
daftar tabel, daftar gambar, Bab I, Bab II, Bab III, daftar rujukan dan
lampiran. Adapun rincian isi buku panduan sebagai berikut.
1) Ucapan terima kasih. Bagian ini menyampaikan ucapan
terimakasih kepada berbagai pihak atas dukungan yang diberikan
dalam penyelesaian panduan.
2) Daftar isi. Pada bagian ini disajikan letak halaman dari masing-
masing bab dalam panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah dengan model experiential learning.
3) Daftar tabel. Bagian ini menyajikan letak halaman tabel yang
terdapat pada panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
dengan model experiential learning.
4) Daftar gambar. Bagian ini menyajikan letak halaman gambar yang
terdapat pada panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
dengan model experiential learning.
5) Bab I menyajikan pendahuluan yang memuat penjelasan atas
rasional dan tujuan.
6) Bab II berupa petunjuk pelaksanaan, terdiri dari petunjuk
pelaksanaan pelatihan keterampilan pemecahan masalah, pengguna
15

panduan, sasaran pelatihan, penggunaan instrumen, strategi


intervensi, dan penentuan jadwal pelatihan.
7) Bab III berupa prosedur pelaksanaan yang terdiri dari skenario
pelakasanaan pelatihan. Pada pelaksanaan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah berdasarkan tahapan dalam model experiential
learning yang digunakan dalam pelatihan ini mencakup concrete
experience, reflective observation, abstract conceptualization, dan
active experimentation.
8) Daftar rujukan. Bagian ini memaparkan seluruh sumber literatur
yang menjadi rujukan dalam penyusunan panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential
learning.
9) Lampiran. Pada bagian ini memuat skala keterampilan pemecahan
masalah yang digunakan sebagai pretest dan posttest.
1.3.2 Spesifikasi Keberterimaan Produk
Spesifikasi keberterimaan produk merupakan spesifikasi produk yang
memenuhi kelayakan produk panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah dengan model experiential learning. Adapun spesifikasi
keberterimaan produk yang diadaptasi dari Utami (2011) sebagai berikut.
a. Ketepatan. Produk yang akan menjadi sumber layanan bimbingan dan
konseling, produk ini memiliki ketepatan pada penyusunan panduan
dan ketepatan pada isi panduan. Ketepatan tahapan experiential
learning dan layanan bimbingan kelompok yang ditinjau dari uji ahli
bimbingan dan konseling. Ketepatan pemilihan bentuk penulisan,
warna dan gambar ditinjau oleh uji ahli media yang menunjukan
ketepatan produk sebagai media. Ketepatan penggunaan alat ukur
evaluasi ditinjau dari uji calon pengguna.
b. Kegunaan. Produk hasil penelitian ini memiliki nilai guna dan
manfaat sebagai panduan yang dapat digunakan oleh guru BK dalam
memberikan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa.
16

c. Kelayakan. Produk yang akan dikembangkan memiliki kelayakan


untuk digunakan oleh guru BK dalam melaksanakan kegiatan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan model
experiential learning.
1.4 Pentingnya Pengembangan
Hasil penelitian pengembangan ini diharapkan dapat digunakan sebagai
salah satu strategi pada layanan bimbingan dan konseling untuk melaksanakan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah, sehingga dapat membantu
meningkatkan kualitas layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Penelitian
pengembangan ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktis guru
BK dalam memberikan pelatihan keterampilan pemecahan masalah pada siswa
SMP.
1.5 Asumsi dan Keterbatasan Penelitian
1.5.1 Asumsi Penelitian
Asumsi penelitian merupakan dasar penelitian yang tidak perlu
dibuktikan kebenarannya karena telah memiliki nilai kebenaran. Asumsi
penelitian terkait pengembangan panduan pelatihan keterampilan
pemecahan (problem solving skill) masalah dengan model experiential
learning untuk siswa SMP sebagai berikut.
a. Remaja melibatkan aspek kognitif dalam memecahkan masalah.
b. Keterampilan pemecahan masalah dapat dilatihkan kepada remaja
dengan memberikan pelatihan keterampilan pemecahan masalah.
c. Keterampilan pemecahan masalah dapat dilatihkan dengan
menggunakan model experiential learning.
d. Remaja dapat memecahkan masalah melalui pengalaman yang
diperoleh dalam menghadapi masalah.
e. Remaja dapat memecahkan masalah yang sedang dialaminya setelah
melihat orang lain memecahkan masalah.
17

1.5.2 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan penelitian pada penelitian dan pengembangan panduan
pelatihan keterampilan pemecahan (problem solving skill) masalah dengan
model experiential learning untuk siswa SMP sebagai berikut.
a. Penelitian pengembangan ini menggunakan langkah-langkah Borg &
Gall yang tidak sampai pada langkah ke sepuluh dalam pengembangan
produk. Langkah pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini,
hanya sampai pada langkah ke enam yaitu uji lapangan utama.
b. Sasaran pengguna panduan pelatihan adalah guru BK jenjang sekolah
menengah pertama sehingga isi panduan disesuaikan dengan kebutuhan
dan perkembangan siswa SMP.
1.6 Definisi Operasional
1.6.1 Keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) adalah
keterampilan yang dimiliki siswa dalam menghadapi dan
memecahkan masalah. Keterampilan pemecahan masalah diukur
melalui skala keterampilan pemecahan masalah. Instrumen
pengukuran dikembangkan pada kerangka keterampilan pemecahan
masalah yang meliputi:
a. Identifikasi masalah dilakukan dengan mencari informasi
mengenai masalah, menganalisis masalah, memahami sebab
terjadinya masalah.
b. Menemukan solusi dilakukan dengan membuat berbagai
alternatif/solusi pemecahan masalah, memilih solusi pemecahan
masalah, dan merencanakan penerapan solusi.
c. Menemukan hambatan pencapaian solusi dilakukan dengan
mengidentifikasi hambatan di setiap solusi, dan menemukan
cara untuk mengatasi hambatan dalam pemecahan masalah.
d. Meninjau kembali solusi dilakukan dengan meninjau
alternatif/solusi yang telah dibuat untuk memecahkan masalah
dan memilih solusi pemecahan masalah yang tepat.
18

e. Validasi solusi dilakukan dengan menerapkan solusi yang telah


dipilih, dan melakukan rencana menerapkan solusi pemecahan
masalah dalam situasi yang berbeda.
f. Evaluasi solusi dilakukan dengan melihat kembali proses yang
telah dilakukan untuk memecahkan masalah, dan melakukan
evaluasi terhadap solusi yang telah dipilih.
1.6.2 Experiential learning adalah model pembelajaran yang menekankan
pada pengalaman nyata, menitikberatkan pada partisipasi siswa
secara langsung dalam kegiatan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah yang terdiri dari empat tahapan sebagai berikut.
a. Tahap concrete experience. Pada tahap ini, guru BK
menyediakan stimulus yang mendorong siswa melakukan
aktivitas. Stimulus yang diberikan berupa suatu pengalaman
yang pernah dialami sebelumnya dalam situasi yang realistis.
b. Tahap reflective observation. Pada tahap reflective observation
dimulai dengan kegiatan pengamatan secara mendalam terkait
dengan permasalahan yang dialami siswa dan mengugkapkan
hasil pengamatannya terhadap masalah tersebut.
c. Tahap abstract conceptualization. Tahap abstract
conceptualization merupakan tahapan untuk memahami masalah
yang telah direfleksikan. Melalui pemahaman tersebut siswa
diharapkan mempunyai konsep baru yang dapat diterapkan bila
menghadapi masalah dalam kehidupan nyata.
d. Tahap active experimentation. Tahap active experimentation
merupakan tahap pemberian kesempatan kepada siswa agar
merencanakan dan menerapkan pemahaman yang telah
diperoleh pada pelatihan keterampilan pemecahan masalah
untuk diterapkan dalam situasi yang dialami siswa pada saat
mengalami masalah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Remaja


2.1.1 Pengertian Remaja
Remaja merupakan suatu masa perubahan yang terjadi dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa perubahan tersebut merupakan
suatu periode panjang yang disebut dengan masa remaja (adolescence)
atau dalam ilmu psikologi istilah ini sering disebut dengan puberteit,
adolescence, dan youth. Adolescence yang berasal dari bahasa Latin yaitu
adolescere yang memiliki arti tumbuh atau tumbuh mencapai kematangan
(Hartinah, 2008). Sedangkan menurut Hurlock (2003) adolescence
memiliki arti kematangan mental, kematangan sosial, dan kematangan
emosional. Pada masa remaja terbagi menjadi dua yaitu masa remaja awal
berusia 12 sampai 15 tahun dan masa remaja akhir berusia 15 sampai 20
tahun (Santrock, 2016).
Berdasarkan usia pada masa remaja, maka siswa tingkat sekolah
menengah pertama berada pada masa remaja awal, karena kecenderungan
siswa SMP berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun. Remaja awal
menjadi sasaran peneliti pada penelitian dan pengembangan panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan
model experiential learning karena masa ini berada pada periode transisi.
Periode transisi ditandai dengan adanya perkembangan dan perubahan
pesat yang terjadi pada aspek kognitif, biologis, dan sosio emosional.
Adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi pada masa remaja
dapat menimbulkan gejolak emosi, hal ini sesuai dengan pendapat Hall
(dalam Santrock, 2016) bahwa pada periode transisi remaja mengalami
masa stress and strom yang artinya pada masa ini, remaja memiliki
berbagai masalah.

19
20

2.1.2 Karakteristik Perkembangan Remaja


Menurut Santrock (2016) perkembangan pada masa remaja ditandai
dengan adanya perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional. Pada
perubahan biologis terjadi perubahan fisik, perubahan hormon, dan
kematangan seksual. Perubahan kognitif yang terjadi pada masa remaja
yaitu memiliki kemampuan berpikir lebih abstrak, idealis, dan logis. Pada
perubahan kognitif remaja memiliki tanggung jawab untuk pengambilan
keputusan meskipun terlalu sering remaja membuat keputusan yang penuh
dengan resiko. Pada perubahan sosio emosional yang dialami remaja
adalah adanya ketergantungan yang kuat pada kelompok teman sebaya,
keinginan menyendiri dan bergaul dengan banyak teman tapi bersifat
sementara.
Karakteristik perkembangan pada masa remaja awal ditandai dengan
adanya kemampuan kognitif yang semakin berkembang. Perkembangan
kognitif pada remaja awal berada pada tahap pemikiran operasional
formal. Karakteristik pemikiran remaja pada tahap operasional formal
adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar
secara logis dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Remaja
pada tahap ini mampu berpikir secara sistematis dan memikirkan semua
kemungkinan secara sistematis untuk memecahkan permasalahan
(Desmita, 2012).
Perkembangan kognitif remaja awal ditandai dengan kemampuan
remaja dalam menyusun rencana untuk memecahkan masalah dan menguji
secara sistematis pemecahan masalah. Menurut Piaget (Santrock, 2014)
pada tahap pemikiran operasional formal terjadi penalaran hipotesis
deduktif yaitu kemampuan untuk mengembangkan hipotesis atau
kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga keterampilan
pemecahan masalah telah dimiliki remaja pada masa ini. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sary (2017) bahwa remaja awal mampu berpikir logis
dan dapat menyalurkan emosi pada kegiatan yang positif.
21

Perkembangan kognitif yang dialami remaja mampu


mengembangkan keterampilan pemecahan masalah. Keterampilan
pemecahan masalah merupakan aspek kognitif yang dapat dikembangkan
melalui kegiatan pelatihan. Pelatihan keterampilan pemecahan masalah
berupa proses suatu kognitif yang digunakan untuk memperoleh
pemahaman terhadap masalah dengan mengidentifikasi masalah
berdasarkan fakta dan informasi yang digunakan untuk membantu individu
memperjelas situasi permasalahannya, serta melakukan langkah untuk
menyusun berbagai atlernatif dan menentukan solusi pemecahan masalah
yang tepat.
2.2 Hakikat Keterampilan Pemecahan Masalah
2.2.1 Pengertian Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah melibatkan penerapan pengetahuan atau
keterampilan untuk mencapai tujuan, dalam arti luas pemecahan masalah
berarti mentransfer pembelajaran ke situasi baru (Rothstein, 1990).
Pemecahan masalah pertama kali diteliti oleh ahli psikologi di Wurzburg.
Beberapa tokoh yang berperan dalam penelitian ini adalah Thorndike,
Dewey, dan Kohler. Adapun hasil penelitian yang dilakukan Thorndike
mempercayai bahwa pemecahan masalah tidak memerlukan pemikiran
hanya percobaan (trial and eror) dalam pembelajaran. Hasil penelitian
Dewey (Rothstein, 1990) menggunakan konsep learning by doing (proses
belajar sambil mempraktikan hasil belajar pada pemecahan masalah), serta
proses pemecahan masalah menggunakan lima langkah dasar pemecahan
masalah, yaitu memahami masalah, mendefinisikan masalah,
mengembangkan solusi, mencoba solusi, memilih solusi terbaik untuk
pemecahan masalah.
Penelitian Kohler tentang proses pemecahan masalah, berbeda dari
penelitian Throndike dan Dewey. Kohler melakukan beberapa percobaan
pemecahan masalah dengan menggunakan seekor kera. Dia menempatkan
buah di luar jangkauan normal kera, kadang-kadang di luar kandang dan
kadang-kadang tergantung di atap kandang. Kera mengatasi masalahnya
22

agar dapat mengambil buah, kera menemukan cara menggunakan galah


atau kayu panjang untuk mencapai buah di luar kandang dan berdiri di atas
kotak untuk mencapai buah yang tergantung di atap. Setelah mengamati
perilaku ini, Kohler berpendapat bahwa pemecahan masalah bukanlah
proses uji coba, namun pemecahan masalah adalah proses berpikir yang
mendalam. Seperti halnya manusia yang memikirkan masalah,
mempertimbangkan seluruh situasi, dan kemudian memiliki kemampuan
berpikir yang memungkinkan mereka untuk menyelesaikan masalah
(Rothstein, 1990).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ketiga ahli tersebut,
peneliti memiliki pandangan bahwa masalah dilihat sebagai sumber yang
harus dipecahkan dengan melihat bagaimana kondisi masalah yang terjadi
dalam proses penyelesaian masalah. Sesuai dengan hasil penelitian dari
ketiga ahli yang menunjukan bahwa tahap awal dalam proses pemecahan
masalah adalah memahami masalah. Hasil penelitian Thorndike dan
Dewey menggambarkan solusi sebagai salah satu tahapan yang dihasilkan
untuk mengatasi masalah. Namun, Kohler percaya bahwa solusi itu
dihasilkan secara tiba-tiba berdasarkan kemampuan berpikir yang
dimilikinya dengan melihat situasi masalah yang sedang dihadapi
individu.
Menurut Yaumi (2012) pemecahan masalah adalah proses mental
yang merupakan bagian dari proses masalah yang lebih luas mencakup
temuan dan pembentukan masalah. Penyelesiaan masalah terjadi ketika
suatu kondisi membutuhkan perubahan dari kenyataan yang dihadapi
menuju kondisi yang diinginkan. Jonassen dkk (dalam Yaumi, 2012)
memandang bahwa pemecahan masalah merupakan jenis pembelajaran
yang dapat diajarkan di sekolah maupun kehidupan sehari-hari.
Menurut D’zurilla dkk (2004) pemecahan masalah adalah sebagai
proses kognitif, afektif, behavioral bagi individu atau kelompok yang
mencoba untuk mengidentifikasi, menemukan arti penting dalam
menghadapi masalah sehari-hari secara efektif. Proses pemecahan masalah
23

dapat dipergunakan individu dalam belajar memahami masalah secara


mendalam dan menyeluruh sebelum melakukan tindakan yang bertujuan
menyelesaikan masalah.
Hayes (dalam Suherman, 2005) berpendapat bahwa pemecahan
masalah adalah proses mencari atau menemukan jalan yang menjembatani
antara keadaan yang sedang dihadapi dengan keadaan yang diinginkan.
Mayer (dalam Kuncoro, 2012) menyatakan ada tiga karakteristik dalam
pemecahan masalah, yaitu pemecahan masalah adalah kegiatan kognitif
tingkat tinggi, hasil pemecahan masalah adalah perilaku yang mengarah
pada solusi atau menemukan jalan keluar, dan pemecahan masalah adalah
proses yang melibatkan kemampuan berpikir pada pengetahuan
sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Foshay dan Kirkley (2003)
bahwa pemecahan masalah melibatkan komponen-komponen psikomotor
dan komponen kognitif.
Berdasarkan definisi ahli maka pemecahan masalah adalah suatu
proses yang perlu direalisasikan melalui usaha nyata mencari jalan keluar
dengan tujuan menjadi pribadi kreatif dan memiliki ide-ide baru dalam
menghadapi masalah dengan menggunakan tahapan dalam pemecahan
masalah. Peneliti sependapat dengan para ahli bahwa, ketika individu telah
memahami bagaimana cara mencari solusi dalam pemecahan masalah,
maka ia akan lebih siap dalam menghadapi berbagai macam masalah
termasuk masalah yang sulit sekalipun. Proses pemecahan masalah dapat
digunakan oleh individu dalam belajar memahami masalah secara
mendalam dan menyeluruh sebelum melakukan tindakan pemecahan
masalah. Pada penelitian ini, pemecahan masalah ditujukan pada masalah
yang dihadapi siswa SMP dalam menghadapi berbagai permasalahan yang
dialami pada masa remaja.
2.2.2 Keterampilan Pemecahan Masalah
Menurut Anderson (dalam Ismani, 2013) keterampilan pemecahan
masalah dapat membantu siswa memperjelas situasi-situasi
permasalahannya, mengidentifikasi berbagai alternatif yang tersedia untuk
24

mengubah situasi, mempertimbangkan beberapa konsekuensi dari berbagai


alternatif pemecahan masalah dan mulai memilih solusi yang tepat.
Sehingga, keterampilan pemecahan masalah dibutuhkan untuk mencapai
tujuan tertentu.
Wertheimer (dalam Hill, 1990) melakukan penelitian pemecahan
masalah yang menghasilkan pembelajaran yang disertai kemampuan
berpikir yang mendalam. Pemahaman bahwa persepsi seseorang ketika
mengalami masalah seringkali membuat seseorang menyelesaikan masalah
secara tiba-tiba. Pemecahan masalah diperlukan untuk memberikan
pemahaman terhadap masalah dan pengetahuan pada pengalaman
sebelumnya, untuk dapat memahami masalah dan menentukan tujuan
dalam menyelesaikan masalah. Menurut Gagne (1985) keterampilan
pemecahan masalah merupakan suatu bentuk keterampilan yang
memerlukan pemikiran dengan menggunakan dan menghubungkan dengan
berbagai aturan-aturan dalam memecahkan masalah.
Berdasarkan dari beberapa pendapat ahli mengenai keterampilan
pemacahan masalah, peneliti menyetujui pendapat ahli yaitu keterampilan
pemecahan masalah merupakan suatu keterampilan yang didasari dengan
proses berpikir dan prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah secara
efektif. Oleh kerena itu, jika siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah,
maka siswa dapat memiliki keterampilan tentang bagaimana
mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi,
mengidentifikasi masalah dan menyadari betapa perlunya menguji kembali
solusi yang diperolehnya dalam memecahkan masalah.
Keterampilan pemecahan masalah dalam penelitian ini merupakan
keterampilan pemecahan masalah yang dimiliki siswa SMP dalam
menghadapi masalah dalam bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Sesuai dengan tugas perkembangannya dalam Standar Kompetensi
Kemandirian Peserta Didik (SKKPD) keterampilan pemecahan masalah
termasuk pada aspek kematangan intelektual, yaitu mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya untuk
25

mengikuti dan melanjutkan pelajaran atau persiapan karir serta berperan


dalam kehidupan masyarakat.
Adapun internalisasi tujuan dalam aspek perkembangan siswa SMP
yaitu pengenalan (mempelajari keterampilan dalam pemecahan masalah),
akomodasi (menyadari resiko dari pemilihan solusi dalam pemecahan
masalah), dan tindakan (mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan
resiko yang mungkin terjadi dalam pemecahan masalah yang dilakukan).
Oleh karena itu, keterampilan pemecahan masalah pada siswa SMP
diperlukan untuk memberikan pemahaman terhadap masalah dan
menentukan tujuan dalam menyelesaikan masalah.
2.2.3 Tahapan Keterampilan Pemecahan Masalah
Tahapan pemecahan masalah menurut Bransford & Stein (dalam
Davidson & Strenberg, 2003) mencakup a) mengenal atau mengidentifikasi
masalah, b) mendefinisikan atau menggambarkan permasalahan mental, c)
menghasilkan strategi solusi, d)mengorganisasikan pengetahuan tentang
masalah, e) menemukan sumber mental dan fisik untuk menyelesaikan
masalah, f) mengawasi kemajuannya ke arah tujuan, g) mengevaluasi solusi
yang akurat. Tahapan tersebut dikenal dengan konsep pendekatan IDEAL
yaitu Identification, Definition, Evaluate, Alternative and Look. Tahapan
tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi komponen utama yang terlibat
dalam proses pemecahan masalah dan pembuatan keputusan. Pendekatan
tersebut dikembangkan berdasarkan pengalaman dari berbagai penelitian
dasar tentang berpikir, belajar dan pemecahan masalah.
Pada penelitian pengembangan yang bertujuan untuk melatihkan,
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah pada kehidupan sehari-hari, hingga memiliki keterampilan dalam
pemecahan masalah diperlukan tahapan yang tepat. Berdasarkan hasil
penelitian Nayazik (2017) IDEAL Problem Solving dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah dengan soal/masalah yang terdefinisi dengan baik
(well structured problem). Pada tahapan IDEAL problem solving efektif
digunakan dalam pembelajaran sains seperti matematika, karena
26

penggunaan pemecahan masalah tersebut menggunakan pengetahuan yang


diajarkan dan diterapkan dalam soal mata pelajaran.
Pendapat ahli lain terkait tahapan pemecahan masalah, yaitu
dikembangankan oleh Forgan (2002) mencakup tahap pertama yaitu
mengidentifikasi permasalahan yang terjadi (to Identify). Identifikasi
masalah berarti menjelaskan secara tepat kemungkinan kesenjangan yang
sedang terjadi. Identifikasi masalah berfungsi untuk memperoleh informasi
dan fokus masalah dalam proses pemecahan masalah. Pada tahap ini, guru
BK membantu siswa dalam menemukan masalah utama atau
mengidentifikasi masalah yang terjadi.
Tahap kedua yaitu melakukan brainstorming solusi dari masalah
(Solutions). Tahap ini siswa membuat alternatif solusi pemecahan masalah
yang paling efektif untuk memecahkan masalah. Tahap ini penting untuk
mengidentifikasi alternatif solusi yang akan dipilih oleh siswa dalam
pemecahan masalah, sehingga siswa dapat menuliskan kriteria yang
digunakan dalam membuat solusi. Guru BK memiliki peran memfasilitasi
siswa dalam membuat alternatif solusi pemecahan masalah, yaitu dengan
memberikan stimulus yang digunakan untuk melatih siswa dalam membuat
berbagai alternatif solusi yang digunakan untuk pemecahan masalah.
Tahap ketiga yaitu mengidentifikasi hambatan dari solusi (Obstacles).
Siswa melakukan eksplorasi solusi untuk menentukan apa saja hambatan
atau konsekuensi dari solusi yang akan dipilih sebagai alternatif pemecahan
masalah. Pada tahap ini, siswa menuliskan hambatan atau resiko yang akan
dialami berdasarkan berbagai alternatif solusi yang telah dibuat. Setelah
membuat alternatif solusi pemecahan masalah, guru BK memberikan
pemahaman pada siswa bahwa setiap solusi yang telah dibuat akan
memiliki hambatan atau resiko, sehingga siswa dapat memilih salah satu
solusi yang memiliki sedikit hambatan atau bahkan sama sekali tidak
memiliki hambatan dalam penyelesaiannya.
Tahap keempat adalah menelaah kembali berbagai solusi dan memilih
salah satu solusi (Looking). Solusi yang dipilih berdasarkan pertimbangan
27

bahwa solusi tersebut memiliki sedikit resiko dalam pemecahan masalah.


Oleh karena itu, dalam pemilihan solusi yang tepat siswa perlu memilih
beberapa solusi yang dapat menyelesaikan masalahnya secara tepat. Pada
tahap ini siswa memahami bahwa pemilihan solusi yang tepat digunakan
untuk menyelesaikan masalah dalam waktu jangka panjang.
Tahap kelima yaitu memvalidasi solusi (Validate). Tahap ini bertujuan
agar siswa memahami bagaimana solusi yang telah dipilih dapat
menyelesaikan masalah. Guru BK dapat memberikan feedback pada siswa
setelah mencoba solusi yang telah dipilih. Tahap keenam yaitu melakukan
evaluasi solusi (Evaluate), setelah mencoba solusi pemecahan masalah,
siswa kemudian mengevaluasi hasil dari solusi tersebut kemudian
menentukan apakah solusi tersebut efektif untuk menyelesaikan
permasalahan yang sedang dihadapinya. Pada tahap ini, guru BK
membantu siswa melalui proses diskusi yang bertujuan agar siswa dapat
memahami proses berpikir dalam mengevaluasi solusi yang telah dipilih.
Tahapan penelitian yang dikembangkan oleh Forgan dikenal dengan
tahapan ISOLVE (to Identify, Solutions, Obstacles, Looking, Validate,
Evaluate). Berdasarkan hasil penelitian Forgan (2002) dalam melatih
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) pada siswa
dengan menggunakan bibliotherapy, siswa dapat mengidentifikasi masalah
sesuai dengan karakteristiknya pada berbagai cerita dan mendiskusikan
solusi pemecahan masalah, siswa menggunakan ISOLVE sebagai strategi
pemecahan masalah interpersonal untuk mengembangkan alternatif solusi
dalam pemecahan masalah.
Wood (dalam Kuncoro, 2012) mengungkapkan langkah-langkah
pemecahan masalah yaitu 1) mendefinisikan masalah antara lain
menentukan masalah, membuat sketsa masalah, menentukan informasi
yang berikan, menentukan batasan, menentukan kriteria, 2) mengeksplorasi
atau menggali data atau informasi masalah yang terdiri dari menentukan
tujuan masalah yang sebenarnya, memeriksa isu yang terlibat dalam
masalah yang sedang terjadi, membuat asumsi yang masuk akal, dan
28

memperkirakan solusi yang akan digunakan dalam pemecahan masalah, 3)


merencanakan solusi berupa mengembangkan rencana untuk memecahkan
masalah, memetakan sub masalah, dan memilih pendekatan dalam
memecahkan masalah, 4) melaksanakan atau mengaplikasikan rencana, 5)
memeriksa solusi yang sudah diaplikasikan, dan 6) mengevaluasi atau
merefleksi.
Tahapan dalam pemecahan masalah menurut Yelon & Weinstein
(1977) terdiri dari empat tahapan yaitu merumuskan masalah, mencari
solusi, memilih dan mengimplementasikan solusi, dan melakukan evaluasi.
Berdasarkan paparan tentang tahapan atau langkah pemecahan masalah
yang diungkapkan oleh ahli, maka proses pemecahan masalah merupakan
sebuah bentuk tindakan yang diterapkan melalui sejumlah tahapan yang
dapat digunakan untuk menemukan solusi. Berbagai solusi dapat ditemukan
jika individu memiliki kreatifitas yang tinggi untuk menggunakan berbagai
cara, prosedur atau teknik yang digunakan untuk memecahkan masalah.
Tahapan keterampilan pemecahan masalah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan tahapan dari Forgan yang mencakup
ISOLVE (to Identify, Solutions, Obstacles, Looking, Validate, Evaluate)
karena tahapan tersebut telah teruji efektif dalam meningkatkan
keterampilan pemecahan masalah pada siswa. Berdasarkan hasil penelitian
Utami (2011) tahapan dalam pelatihan keterampilan pemecahan masalah
menggunakan tahapan ISOLVE yang telah teruji dapat meningkatkan
keterampilan pemecahan masalah pada siswa. Hasil penelitian lainnya dari
Forgan (2002) mengembangan tahapan ISOLVE dengan teknik
bibliotherapy dalam memberikan pelatihan kepada siswa dalam pemecahan
masalah secara interpersonal. Oleh karena itu diperlukan tahapan maupun
strategi yang tepat dalam penyelesaian masalah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Masduki & Khotimah (2016) penyelesaian masalah sebagai
kegiatan yang membutuhkan pemikiran kritis dan kreatif karena individu
perlu menemukan strategi yang tepat atau strategi alternatif yang dapat
menyelesaikan masalah.
29

2.3 Hakikat Experiential Learning


Experiential learning berasal dari model pembelajaran yang dikembangkan
oleh Kurt Lewin, John Dewey, dan Jean Piaget. Kolb menyatakan bahwa tidak
memiliki keinginan untuk mengembangkan teori behavior dan kognitif, namun
hendak mengusulkan teori pembelajaran experiential yaitu sebuah perspektif
integratif holistik tentang pembelajaran yang menggabungkan pengalaman,
persepsi, kognisi dan perilaku (Kolb, 1984). Adapun hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kurt Lewin, John Dewey, dan Jean Piaget dalam konsep
pembelajaran dengan model experiential learning sebagai berikut. Lewin (dalam
Kolb, 1984) mengembangkan model “Action Research and Laboratory Training”
yang menyebutkan bahwa belajar, perubahan, dan pertumbuhan terjadi melalui
penghayatan pengalaman here and now yang diikuti oleh pengumpulan data dan
observasi terhadap pengalaman serta analisis data. Hasil dari analisis data inilah
yang digunakan untuk memperbaiki pengetahuan dan memilih pengalaman baru.
Action research and laboratory training berdasarkan pada proses umpan balik
yang menggambarkan pembelajaran sosial dan proses pemecahan masalah untuk
menghasilkan dan menilai informasi sesuai tujuan yang diinginkan.
Model pembelajaran Dewey sangat mirip dengan Lewin, tetapi ia membuat
lebih eksplisit. Sifat perkembangan belajar yang tersirat dalam model Lewin
sebagai proses umpan balik yang menggambarkan bagaimana belajar mengubah
impuls, perasaan, dan keinginan dari pengalaman nyata. Model pembelajaran
berbasis pengalaman merupakan proses yang mengintegrasikan pengalaman
dengan konsep, pengamatan, dan tindakan. Impulse (dorongan pengalaman)
melahirkan pengetahuan (knowledge) untuk bertindak (judgement). Proses ini
terjadi melalui integrasi pengalaman, pengetahuan, observasi dan tindakan (Kolb,
1984).
Menurut Piaget (Kolb, 1984) dimensi dari pengalaman dan konsep, refleksi,
dan bentuk perilaku dasar digunakan untuk mengembangkan pemikiran secara
matang. Piaget mengemukakan bahwa belajar merupakan siklus interaksi antara
individu dengan lingkungan, dengan unsur pokok terletak pada interaksi yang
menguntungkan antara konsep dari proses akomodasi terhadap pengalaman nyata
30

dengan proses asimilasi pengalaman terhadap konsep yang dimiliki. Pada


pembelajaran ini, perkembangan kognitif mengadaptasi hasil dari keseimbangan
antara kedua proses tersebut. Perkembangan kognitif menurut Piaget bergerak dari
konkret menuju abstrak dan dari aktif menuju reflektif tergantung pada proses
asimilasi dan akomodasi.
Ada empat tahapan perkembangan kognitif anak menurut Piaget (Kolb,
1984) yaitu: Pertama, tahap sensori motorik (usia 0- 2 tahun) dimana anak
mendapatkan pengalaman dari tubuh dan indranya. Kedua, tahap praoperasional
(usia 2-6 tahun). Anak berusaha menguasai simbol-simbol, (kata-kata) dan
mampu mengungkapkan pengalamannya, meskipun tidak logis (pra-logis). Pada
saat ini anak bersifat egosentris, melihat sesuatu dari dirinya (perception
centration), yaitu melihat sesuatu dari satu ciri, sedangkan ciri lainnya diabaikan.
Ketiga, tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun). Pada tahap ini anak
memahami dan berfikir yang bersifat konkret belum berpikir abstrak. Keempat,
tahap operasional formal (usia 12-15 tahun). Pada tahap ini anak mampu berfikir
abstrak.
Ketiga model pembelajaran di atas mendasari pernyataan Kolb yang
mengemukakan bahwa pembelajaran adalah proses dimana pengetahuan diperoleh
melalui transformasi pengalaman. Berdasarkan pendapat ahli mengenai model
experiential learning, peneliti menyetujui konsep atau model yang dikembangkan
oleh Kolb mengadaptasi teori pembelajaran Kurt Lewin, John Dewey, dan Jean
Piaget dengan menggabungkan pengalaman, persepsi, kognitif, dan perilaku ke
dalam proses pembelajaran.
2.3.1 Pengertian Experiential Learning
Kolb (1984) mendefinisikan experiential learning sebagai proses
dimana pengetahuan dibuat melalui transformasi dari pengalaman.
Yamazaki & Kayes (2004) menyatakan bahwa experiential learning
menekankan totalitas proses belajar manusia, dimana pengalaman
membentuk fondasi untuk empat aspek pembelajaran yaitu merasakan,
merefleksikan, memikirkan dan melakukan. Experiential learning atau
31

pembelajarn berbasis pengalaman menekankan bahwa pengalaman


memainkan peran sentral dalam proses pembelajaran.
Menurut Boud et al (1993) pembelajaran sebagai pengalaman adalah
fondasi dari stimulus belajar individu secara aktif mengkonstruk
pengalaman mereka sendiri, sehingga pengalaman individu di dunia nyata
akan dibawa ke dalam lingkungan pembelajaran, sedangkan menurut
Rajbhandari (2011) experiential learning merupakan aspek penting dalam
mempraktikan fenomena yang dipelajari sebelumnya untuk mencetak
perilaku yang sesuai dengan situasi tertentu. Melalui model pembelajaran
ini, siswa tidak hanya memahami dan mempelajari namun juga mengawali
perubahan dari pikiran, perasaan dan tindakan.
Berdasarkan berbagai konsep di atas, model experiential learning
merupakan pembelajaran berdasarkan pada pengalaman konkret yang
dialami individu di mana pengalaman tersebut memiliki aspek
pembelajaran yaitu merasakan, merefleksikan, memikirkan dan
melakukan. Pada penelitian ini model experienial learning digunakan
sebagai kerangka konseptual atau prosedur sistematik yang digunakan
dalam pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill).
2.3.2 Tahapan Experiential Learning
Menurut Kolb (1984) tahapan experiential learning terdiri dari
empat tahapan yang membentuk suatu siklus yaitu concrete experience,
reflective observation, abstarct conceptualization, dan active
experimentation. Siklus dimulai dengan individu terlibat dalam
pengalaman nyata kemudian individu diberikan kesempatan untuk
merefleksikan pengalaman tersebut. Inidvidu mengkosptualisasikan dan
memberikan kesimpulan tentang apa yang telah dialami dan diobservasi,
serta membawa tindakan di masa yang akan datang ketika individu
mencoba dengan perilaku yang berbeda. Adapun penjelasan mengenai
keempat tahapan dalam experiential learning sebagai berikut.
a. Concrete Experience: Munculnya situasi tertentu sehingga
menimbulkan proses belajar melalui pengalaman yang bersifat
32

spesifik, yang bermuara pada timbulnya kepekaan terhadap suatu


situasi. Pada tahap ini guru BK menyediakan stimulus yang
mendorong siswa menggambarkan suatu peristiwa. Peristiwa ini
berupa suatu pengalaman yang pernah dialami sebelumnya baik formal
maupun informal atau situasi yang realistis.
b. Reflective Observation: Mengamati lingkungan dari persektif yang
berbeda, mengamati proses belajar yang berujung pada pembentukan
makna. Pada tahap ini siswa mengamati pengalaman dari aktivitas
yang dilakukan. Selanjutnya siswa merefleksikan pengalamannya dan
menarik kesimpulan dari proses yang telah dilakukan hingga
memperoleh suatu makna. Dalam hal ini proses refleksi akan terjadi
jika guru BK mampu mendorong siswa untuk mendeskripsikan
kembali pengalaman yang diperolehnya.
c. Abstarct Conceptualization: Merumuskan apa yang diperoleh dari
situasi tertentu kedalam konsep abstrak. Setelah melakukan observasi
dan refleksi maka pada tahap pembentukan konsep abstrak, siswa
mencari hubungan timbal balik dari pengalaman yang diperolehnya
untuk mengkonseptualisasikan suatu teori dari pengalaman yang
diperoleh dan mengintegrasikan dengan pengalaman sebelumnya. Pada
tahap ini dapat ditentukan apakah terjadi pemahaman baru atau proses
belajar pada diri siswa atau siswa tidak memiliki pemahaman baru.
d. Active Experimentation: Merencanakan apa yang akan dilakukan pada
tahap selanjutnya sesuai dengan konsep abstrak. Pada tahap ini siswa
memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan berdasarkan
peristiwa, termasuk dalam pengambilan resiko. Pada tahap ini, terjadi
proses belajar bermakna karena pengalaman yang diperoleh siswa
sebelumnya dapat diterapkan pada pengalaman atau situasi
problematika yang baru.
Adapun gambar siklus empat langkah dalam experiential learning
sebagai berikut.
33

Concrete
Experience

Accomodative Divergent

Active Reflective
Expermentation Observation

Convergent Assimilative

Abstract
Conseptualization

Gambar 2.1 Siklus Experiential Learning (Kolb, 1984)

Berdasarkan siklus yang tergambar di atas, dapat disimpulkan bahwa


experiential learning tidak hanya terjadi pada salah satu tahap saja. Keempat
tahapan tersebut merupakan bagian yang harus ada dan dialami oleh siswa pada
keseluruhan siklus. Siklus experiential learning dimulai dari sebuah pengalaman
konkret dilanjutkan dengan proses refleksi dan observasi terhadap pengalaman
tersebut. Hasil refleksi ini akan diasimilasi dalam struktur kognitif
(konseptualisasi abstrak) yang memproses pengalamannya untuk menemukan
konsep baru. Selanjutnya menerapkan konsep yang diperoleh dalam situasi baru.
Hasil yang diperoleh dari situasi baru akan menuntun kembali siswa menuju tahap
pengalaman konkret. Experiential learning mengintegrasikan kombinasi antara
pengalaman, perspektif, kognisi dan perilaku pada proses yang berulang dalam
situasi pembelajaran (Yeganeh & Kolb, 2009).
Berdasarkan tahapan dalam model experiential learning dimulai dengan
(1) Melakukan tindakan yaitu guru BK menginstruksikan pada siswa untuk
menggambarkan secara visual sebuah peristiwa yang pernah dialami sebagaimana
34

adanya (hanya merasakan, melihat, dan menceritakan kembali peristiwa itu). (2)
Mengamati yaitu siswa mengobservasi peristiwa yang dialami, mencari jawaban,
melaksanakan refleksi, dan mengembangkan pertanyaan bagaimana peristiwa
terjadi. (3) Merefleksikan yaitu siswa mengungkapkan pengalaman yang
diperoleh dalam kegiatan yang telah dilakukan. (4) Menerapkan yaitu siswa
mengaplikasikan pengalaman yang diperoleh ke dalam situasi baru.
Experiential Learning merupakan model pembelajaran yang sangat
memperhatikan perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh siswa, oleh karena itu
model ini memiliki tujuan untuk mengakomodasi perbedaan dan keunikan yang
dimiliki oleh masing-masing individu. Pada siklus experiential learning terdapat
tipe divergent, assimilative, convergent, dan accommodative. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
a. Divergent (CE/RO)
Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Siswa
dengan tipe divergent unggul dalam melihat situasi kongkrit dari banyak sudut
pandang yang berbeda. Hal yang dilakukan yaitu dalam setiap situasi adalah
“mengamati” dan bukan “bertindak”. Siswa dengan tipe ini mampu untuk
menghasilkan ide-ide (brainstorming).
b. Assimilative (RO/AC)
Kombinasi dari berpikir dan mengamati (thinking and watching). Siswa
pada tipe assimilative mampu memahami berbagai sajian informasi serta
merangkumkannya dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Pada
tipe assimilative, siswa lebih tertarik pada konsep-konsep yang abstrak dan
mampu memperhatikan penerapan praksis dari ide atau konsep abstark serta
cenderung lebih teoritis.
c. Convergent (AC/AE)
Kombinasi dari berfikir dan berbuat (thinking and doing). Siswa pada
tipe convergent biasanya mempunyai kemampuan yang unggul dalam
menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Siswa memiliki
kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan.
35

d. Accomodative (AE/CE)
Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing). Siswa pada
tipe accomodative memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil
pengalaman nyata yang mereka lakukan sendiri. Siswa dapat melakukan
eksperimen dan membuat rencana atau tindakan pemecahan masalah. Siswa
cenderung untuk bertindak berdasarkan intuisi atau dorongan hati daripada
berdasarkan analisa logis.
2.4 Hakikat Bimbingan dan Konseling
2.4.1 Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan Konseling memiliki peran penting dalam dunia
pendidikan. Bimbingan dan Konseling memberikan layanan kepada
semua siswa untuk membantu siswa dalam memahami dan memperoleh
keterampilan serta pengetahuan yang diperlukan dalam memahami diri,
menyesuaikan diri, menentukan pilihan dan perencanaan untuk menuju
kehidupan yang lebih baik. Gysbers & Henderson (2011) menyatakan
bahwa bimbingan konseling sebagai suatu profesi yang memiliki
tanggungjawab dalam mengembangkan kesuksesan akademik, karir, dan
perkembangan pribadi sosial seluruh peserta didik.
Suhesti (2012) menyatakan bahwa “bimbingan dan konseling adalah
proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli untuk
mencari menyelesaikan masalah.” Lebih lanjut Salahudin (2010)
menyatakan bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu proses
pemberian bantuan kepada individu secara berkelanjutan dan sistematis,
yang dilakukan oleh seorang ahli yang telah mendapat memahami diri,
lingkungan serta dapat mengarahkan diri dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal untuk
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bimbingan
dan konseling merupakan proses pemberian bantuan secara sistematis
melalui berbagai layanan pendukung yang optimal. Guru BK di sekolah
dijadikan sebagai fasilitator yang sangat berperan dalam membantu
36

mengatasi masalah siswa. Bimbingan dan konseling pun memiliki tujuan


agar layanan dilakukan terarah dan menjadi lebih baik.
2.4.2 Tujuan Bimbingan dan Konseling
Layanan bimbingan dan konseling memiliki tujuan yang bersifat
edukatif agar layanan yang diberikan pada siswa memiliki arah dan
tujuan yang jelas. Adapun tujuan pemberian layanan bimbingan dan
konseling menurut Yusuf & Nurihsan (2011) sebagai berikut.
2.4.2.1 Merencanbakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir
serta kehidupannya di masa akan datang.
2.4.2.2 Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya
seoptimal mungkin.
2.4.2.3 Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan
masyarakat serta lingkungan kerja
2.4.2.4 Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi
penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun
lingkungan kerja.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
bimbingan dan konseling adalah membantu siswa merencanakan kegiatan
studi yang dapat menunjang kemampuan bakat dan prestasi siswa serta
membantu individu mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan
tahap perkembangannya dan membantu siswa mengatasi segala kesulitan
atau masalah yang dihadapi, salah satunya yaitu siswa belum mampu
menyelesaikan masalahnya sendiri. Oleh karena itu, bimbingan dan
konseling dapat membantu siswa untuk menghadapi masalah dan
mengoptimalkan kemampuan dirinya dalam menghadapi dan
memecahkan masalah.
2.4.3 Fungsi Bimbingan dan Konseling
Ada tujuh fungsi layanan bimbingan dan konseling menurut Yusuf &
Nurihsan (2011) yaitu:
2.4.3.1 Fungsi Pemahaman yaitu fungsi bimbingan yang membantu siswa
agar memiliki pemahaman terhadap diri (potensi) dan lingkungan
37

(pendidikan, pekerjaan dan norma agama). Berdasarkan


pemahaman ini, siswa diharapkan mampu mengembangkan potensi
dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
2.4.3.2 Fungsi Pencegahan yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya guru
BK untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang
mungkin terjadi dan berupaya mencegah, supaya tidak dialami oleh
siswa. Melalui fungsi ini, guru BK memberikan bimbingan kepada
siswa tentang cara menghindari diri dari perbuatan atau sikap yang
merugikan dirinya.
2.4.3.3 Fungsi Pengembangan (development) yaitu fungsi bimbingan yang
bersifat lebih proaktif dari fungsi-fungsi lain. Guru BK senantiasa
berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,
yang memfasilitasi perkembangan siswa.
2.4.3.4 Fungsi Perbaikan (penyembuhan) yaitu fungsi bimbingan yang
bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan dengan upaya pemberian
bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah.
2.4.3.5 Fungsi Penyaluran yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa
memilih kegiatan ekstraulikuler, jurusan atau program studi dan
memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan
minat, bakat, keahlian, dan ciri-ciri kepribadian lain.
2.4.3.6 Fungsi Adaptasi yaitu fungsi membantu para pelaksana
pendidikan, kelapa sekolah, staf, guru BK, dan guru untuk
menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang
pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan siswa.
2.4.3.7 Fungsi Penyesuaian yaitu fungsi bimbingan dalam membantu
siswa agar dapat menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif
terhadap program pendidikan, peraturan sekolah, atau norma-
norma.
Berdasarkan paparan fungsi layanan bimbingan dan konseling,
dalam hal ini panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan
38

model experiential learning untuk siswa SMP dapat berfungsi sebagai


pengentasan (kuratif) dalam mengatasi berbagai permasalahan siswa serta
membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan pemecahan
masalahnya.
2.5 Model Experiential Learning Sebagai Model Pelatihan Keterampilan
Pemecahan Masalah
Keterampilan pemecahan masalah merupakan suatu keterampilan yang
didasari dengan proses berpikir dan prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah
secara efektif. Oleh kerena itu, jika siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah,
maka siswa dapat memiliki keterampilan tentang bagaimana mengumpulkan
informasi yang relevan, menganalisis informasi, mengidentifikasi masalah dan
menyadari betapa perlunya menguji kembali solusi yang diperolehnya dalam
memecahkan masalah. Adapun dampak jika siswa tidak memiliki keterampilan
pemecahan masalah yaitu, ketika dihadapkan dengan masalah cenderung
menghindar dan dapat menimbulkan perilaku yang menyimpang yang merugikan
diri sendiri dan orang lain. Namun jika siswa memiliki keterampilan pemecahan
masalah maka siswa mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah serta
menemukan alternatif solusi penyelesaian masalah yang tepat meskipun dalam
kondisi dan situasi yang sulit.
Individu dapat dikatakan memiliki keterampilan pemecahan masalah jika
mampu memecahkan masalah dengan tepat dan sistematis seperti memiliki
kemampuan mengidentifikasi masalah yang dihadapi, mampu mencari solusi
berdasarkan identifikasi masalah, mengidentifikasi hambatan pada solusi yang
telah dibuat, memilih solusi yang tepat, mencoba menerapkan solusi yang dipilih
dalam pemecahan masalah, dan melakukan evaluasi solusi (Forgan, 2002),
sehingga keterampilan pemecahan masalah perlu dilatihkan secara sistematis dan
terstruktur agar siswa mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan tepat.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya dari pihak sekolah dalam memberikan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) pada siswa.
Pelatihan keterampilan pemecahan masalah dirancang untuk membantu
guru BK dalam memfasilitasi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling.
39

Pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dibutuhkan


berdasarkan penilaian kebutuhan dari siswa dan guru BK di sekolah. Salah
satunya aspek perkembangan pada SKKPD ialah aspek kematangan intelektual
yang memiliki ketercapaian dalam mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan siswa sesuai dengan kebutuhannya. Sesuai dengan hasil need
assement skala keterampilan pemecahan masalah pada siswa SMP yang
menunjukan bahwa keterampilan pemecahan masalah pada siswa SMP masih
dalam kategori rendah sehingga perlunya pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) untuk siswa SMP.
Berdasarkan hal tersebut panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning sangat
diperlukan guru BK dalam memberikan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah, sehingga siswa dapat mengadapi dan memecahkan masalah dengan
tepat. Adapun gambar kerangka penerapan model experiential learning untuk
pelatihan keterampilan pemecahan masalah sebagai berikut.
40

Concrete Experience

1. Siswa memperhatikan dan memahami permasalahan yang disajikan


dalam setiap kegiatan untuk menentukan permasalahan yang
membutuhkan penyelesaian.
2. Siswa mengidentifikasi masalah.
3. Siswa menggambarkan masalah yang terjadi.
To Identify

Reflective Observation

1. Siswa mengungkapkan hasil pengamatan terhadap masalah


tersebut.
2. Siswa menentukan cara dalam menyikapi masalah tersebut.
3. Siswa merumuskan solusi pemecahan masalah.
Solution

Abstract Conceptualization

1. Siswa merumuskan sebab-sebab terjadinya masalah.


2. Siswa menuliskan kembali solusi dan mencari hambatan pada
solusi yang telah dirumuskan.
Obstacles

Siswa memilih solusi yang telah dirumuskan.


Looking

Active Experimentation

1. Siswa menuliskan alternatif pemecahan masalah (solusi) baru


setelah menyelesaikan tahapan pelatihan sebelumnya.
2. Siswa merencanakan tindakan atau cara memecahkan masalah.
3. Siswa mencoba atau mensimulasikan solusi pemecahan masalah
terhadap masalah yang terjadi.
Validate

1. Siswa melihat kembali proses yang telah dilakukan untuk


memecahkan masalah.
2. Siswa melakukan evaluasi pada solusi yang dipilih.
Evaluate

Gambar 2.2 Penerapan Model Experiential Learning dalam Pelatihan


Keterampilan Pemecahan Masalah

Gambar di atas merupakan alur penelitian ini yaitu pengembangan


panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential
learning untuk siswa SMP. Pada setiap tahapan experiential learning diharapkan
41

siswa dapat memiliki keterampilan pemecahan masalah. Pada tahap pertama,


siswa diberikan kesempatan untuk memperhatikan permasalahan dan menentukan
pilihan. Tahap ini masuk dalam tahapan to identify, yaitu kemampuan siswa dalam
mengidentifikasi masalah. Pada tahap kedua, siswa merumuskan beberapa
alternatif solusi pemecahan masalah yang masuk pada tahapan solution. Pada
tahap ketiga, siswa merusmuskan hambatan solusi dan memilih solusi dengan
berbagai pertimbangan konsekuensi yang masuk pada tahapan obstacles dan
looking. Pada tahap keempat, siswa mencoba pilihannya dan melakukan evaluasi
terhadap solusi pemecahan masalah yang termasuk dalam tahapan validate dan
evaluate. Model experiential learning dapat digunakan sebagai model layanan
bimbingan dan konseling yang menekankan pada permasalahan yang dialami
siswa sebagai materi pelatihan yang melibatkan terjadinya proses pemecahan
masalah, sehingga penelitian ini menggunakan model experiential learning
sebagai model untuk pelatihan keterampilan pemecahan masalah.
2.6 Kerangka Berpikir
Remaja berada pada masa transisi yang memiliki kecenderungan dalam
menghadapi berbagai masalah. Masalah terjadi karena adanya kesenjangan antara
harapan dengan kenyataan ideal yang terjadi. Kesenjangan tersebut dapat
menimbulkan berbagai permasalahan di masa remaja seperti remaja cenderung
terjerumus pada perilaku-perilaku yang menyimpang dan beresiko karena masa
remaja adalah masa yang penuh gejolak emosi sehingga mudah terpengaruh oleh
lingkungan (Hall dalam Santrock, 2016). Oleh karena itu dibutuhkannya pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) untuk siswa dalam
menghadapi masalah.
Pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill)
dibutuhkan berdasarkan penilaian kebutuhan dari siswa dan guru BK di sekolah.
Salah satunya aspek perkembangan pada SKKPD ialah aspek kematangan
intelektual yang memiliki ketercapaian dalam mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan siswa sesuai dengan kebutuhannya. Serta sesuai dengan hasil need
assement skala keterampilan pemecahan masalah pada siswa SMP yang
menunjukan bahwa keterampilan pemecahan masalah pada siswa SMP masih
42

dalam kategori rendah sehingga perlunya pelatihan keterampilan pemecahan


masalah (problem solving skill) untuk siswa SMP.
Data lain menunjukkan bahwa penilaian kebutuhan guru BK dalam
memberikan layanan kepada siswa tentang keterampilan pemecahan masalah
masih belum optimal. Upaya yang dilakukan guru BK dalam memfasilitasi
pemberian layanan bimbingan dan konseling belum optimal. Oleh karena itu, guru
BK membutuhkan panduan serta metode alternatif agar siswa mampu menghadapi
masalah serta memiliki keterampilan pemecahan masalah untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi.
Salah satu alternatif solusi yang bisa dilakukan dalam pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) adalah dengan
menggunakan experiential learning. Model experiential learning memiliki
relevansi dalam pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) karena experiential learning merupakan salah satu metode yang
mengutamakan pengalaman nyata sebagai obyek belajar siswa (Kolb, 1984).
Pengalaman nyata yang dimiliki siswa berupa suatu permasalahan yang
pernah terjadi di lingkungan sekolah dapat dijadikan sebagai obyek belajar siswa
dalam melatih keterampilan pemecahan masalah. Adapun tahapan dalam model
experiential learning mencakup concrete experience, reflective observation,
abstract conceptualization, active experimentation (Kolb, 1984). Berdasarkan hal
tersebut panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning sangat diperlukan guru BK dalam
memberikan pelatihan keterampilan pemecahan masalah, sehingga siswa dapat
menghadapi dan memecahkan masalah dengan tepat. Adapun gambar kerangka
berpikir penelitian sebagai berikut.
43

Kondisi di lapangan
1. Siswa jika dihadapkan Kondisi ideal
dengan masalah 1. Siswa memiliki
cenderung mengalami keterampilan
kecemasan dan memilih pemecahan masalah
menghindar dari masalah. 2. Siswa mampu
2. Siswa cenderung menyelesaikan
memilih cara-cara instan masalahnya secara
dalam menyelesaikan mandiri.
masalah dengan cara 3. Siswa dapat membuat
singkat tanpa solusi penyelsaian
mempertimbangkan Kesenjangan masalah dengan tepat
resiko yang terjadi.

Masalah pada masa remaja 1. Layanan bimbingan


konseling yang
1. SKKPD belum optimal
2. Skala keterampilan 2. Belum adanya
pemecahan masalah panduan pelatihan
keterampilan
Keterampilan pemecahan
pemecahan masalah masalah

Siswa Penilaian kebutuhan Guru BK

Dibutuhkan strategi
intervensi untuk pelatihan
keterampilan pemecahan
masalah

1. Concrete Experience
Pengembangan panduan pelatihan
2. Reflective Observation
3. Abstract
Conceptualization
4. Active Experimentation
Experiential learning

Pengembangan panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah


(problem solving skill) dengan model experiential learning

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Penelitian


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Model Penelitian dan Pengembangan


Menurut Borg & Gall (1983) penelitian dan pengembangan merupakan proses
yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sukmadinata (2013) bahwa penelitian dan pengembangan
merupakan suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu
produk baru atau menyempurnakan suatu produk yang sudah ada serta dapat
dipertanggung jawabkan. Penelitian pengembangan digunakan untuk
menghasilkan sebuah produk dan menguji keefektifan produk tertentu. Langkah-
langkah yang dilakukan untuk mengembangkan produk baru atau
menyempurnakan produk yang digunakan dengan memperhatikan juga validasi
dari produk (Creswell, 2012). Oleh karena itu, produk yang dihasilkan dalam
penelitian ini adalah panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP yang
memenuhi kriteria keberterimaan produk. Model penelitian dan pengambangan
yang digunakan pada pengembangan produk menggunakan model pengembangan
Borg & Gall (1983).
Menurut Borg & Gall (1983) ada sepuluh langkah pelaksanaan penelitian
dan pengembangan. Adapun kesepuluh langkah tersebut mencakup research and
information collecting, planning, develop preliminary form of product,
preliminary field testing, main product revision), main field testing, operational
product revision, operational field testing), final product revision, dissemination
and implementation. Penggunaan model penelitian dan pengembangan Borg &
Gall didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut.
a. Model penelitian ini telah teruji memiliki kontribusi penting dalam penelitian
di bidang pendidikan. Dasar penelitian dan pengaplikasian metode penelitian
ini secara umum untuk mengembangkan produk baru yang dapat digunakan di
sekolah.

44
45

b. Model penelitian dan pengembangan merupakan model penelitian yang


dimulai dengan mengumpulkan informasi. Panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential
learning yang dikembangkan juga dimulai dengan analisis kebutuhan siswa
dan guru BK, sehingga penggunaan model penelitian dan pengembangan
sesuai dengan tujuan penelitian yaitu menghasilkan produk berupa panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill).
c. Model pengembangan ini terdiri dari tahapan pengembangan yang jelas,
terperinci dan sistematis sehingga tepat digunakan dalam mengembangkan
produk panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill).
Penelitian dan pengembangan panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning
menggunakan langkah penelitian dan pengambangan sampai tahapan ke enam.
Adapun tahapan yang digunakan dalam penelitian dan pengembangan panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning sebagai berikut.
3.1.1 Penelitian dan Pengumpulan Informasi (Research and Information
Collecting).
Pada tahap ini, melakukan penelitian dan pengumpulan informasi
dengan tujuan untuk mengetahui gambaran keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) siswa. Pengumpulan informasi dapat
diperoleh dengan menggunakan need assessment. Pengumpulan informasi
dilakukan dengan melakukan studi literatur dan studi lapangan. Serta
mengkaji dan mempelajari tentang penelitian yang relevan terkait
keterampilan pemecahan masalah dan experiential learning sebagai acuan
dalam pengembangan produk.
3.1.2 Perencanaan (Planning)
Pada tahap ini, peneliti merumuskan tujuan, menentukan strategi
intervensi, sasaran pengguna panduan, penentuan jadwal pelatihan, dan
menetapkan prosedur pelaksanaan pelatihan dalam pengembangan
46

panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving


skill) dengan model pelatihan experiential learning.
3.1.3 Pengembangan Format Produk Awal (Develop Preliminary Form of
Product)
Pada tahap ini melakukan pengembangan pada format panduan dan
pengembangan pada isi panduan. Pengembangan format panduan terdiri
dari penentuan warna, ukuran panduan, gambar, pemilihan ukuran dan
bentuk penulisan, dan kertas yang digunakan dalam panduan, sedangkan
pengembangan isi terdiri dari Bab I, Bab II, Bab III yang mencakup
pendahuluan, petunjuk pelaksanaan, dan prosedur pelatihan dan menyusun
skala keterampilan pemecahan masalah. Skala keterampilan pemecahan
masalah mengacu pada teori Forgan (2002) yang menyatakan ada enam
aspek dalam keterampilan pemecahan masalah yaitu identifikasi masalah,
membuat solusi, mengidentifikasi hambatan pada solusi, memilih solusi,
mencoba menerapkan solusi, dan evaluasi solusi. Langkah selanjutnya yaitu
membuat lembar evaluasi untuk setiap sesi pelatihan, dan menyusun
instrumen penilaian untuk menilai spesifikasi keberterimaan panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan
model pelatihan experiential learning.
3.1.4 Uji Lapangan Awal (Preliminary Field Testing)
Produk awal panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning yang telah
dikembangkan akan diberikan penilaian oleh ahli. Penilaian produk
dilakukan oleh ahli media, ahli BK, dan calon pengguna produk. Pada tahap
ini dilakukan uji lapangan awal dengan mendeskripsikan hasil penilaian
ahli terhadap keberterimaan produk. Hasil dari pengujian ini digunakan
sebagai dasar awal atas kelayakan produk yang dikembangkan.
3.1.5 Revisi Produk Utama (Main Product Revision)
Pada tahap ini melakukan revisi terhadap produk panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning sesuai hasil penilaian ahli pada tahap uji lapangan
47

awal. Revisi produk yang dilakukan berdasarkan hasil analisis penilaian


akseptabilitas produk dari ahli media, ahli BK dan calon pengguna produk,
serta kritik dan saran perbaikan oleh ahli sebagai penyempurnaan produk.
3.1.6 Uji Lapangan Utama (Main Field Testing)
Tujuan uji lapangan utama dalam penelitian dan pengembangan
adalah untuk menentukan apakah produk yang dikembangkan telah
memenuhi tujuan penelitian dengan menggunakan single group pre post
design yang digunakan untuk mengetahui secara signifikan penggunaan
produk yang dikembangkan (Borg & Gall, 1984). Oleh karena itu, pada
tahap ini dilakukan uji coba kelompok kecil. Uji coba kelompok kecil
dilakukan pada tahap ini untuk mengetahui perbedaan keterampilan
pemecahan masalah siswa sebelum dan setelah diberikan pelatihan. Hasil
dari uji coba kelompok kecil merupakan representasi kelayakan dan
keberterimaan produk yang dikembangkan.
3.2 Prosedur Penelitian dan Pengembangan
Prosedur pengambangan panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning mencakup tahapan
sebagai berikut.
48

TAHAP I (Penelitian dan TAHAP II


Pengumpulan Informasi) (Perencanaan Pembuatan Produk)
Mengumpulkan informasi dengan Merumuskan tujuan, menentukan
melakukan studi pendahuluan berupa strategi intervensi, menentukan
kajian literatur dan melakukan need sasaran pengguna panduan,
asessment terkait keterampilan penentuan jadwal pelatihan,
pemecahan masalah siswa. menetapkan prosedur pelaksanaan.

TAHAP IV (Uji Lapangan Awal) TAHAP III


Desain : Deskriptif (Pengembangan Format Produk
Subyek : 2 ahli media, 2 ahli BK, Awal)
2 calon pengguna produk Menyusun panduan, membuat
Instrumen : Skala penilaian panduan instrumen yang digunakan, dan
Analisis Data : Kualitatif dan kuantitatif membuat lembar evaluasi untuk setiap
sesi pelatihan.

TAHAP V
Revisi Produk Utama

TAHAP VI (Uji Lapangan Utama)

Uji Coba Kelompok Kecil


Desain : One group pretest posttes design
Subyek : 9 siswa
Instrumen : Skala keterampilan pemecahan masalah
Analisis Data : Kuantitatif

Panduan Pelatihan Keterampilan Pemecahan


Masalah (problem solving skill) dengan Model
Experiential Learning

Gambar 3.1 Prosedur Pengembangan Panduan Pelatihan Keterampilan Pemecahan


Masalah (problem solving skill) dengan Model Experiential Learning.
49

3.2.1 Tahap I (Penelitian dan Pengumpulan Informasi)


3.2.1.1 Melakukan Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dari need assessment siswa yang
berkaitan dengan keterampilan pemecahan masalah. Tujuan pelaksanaan
need assessment untuk mengidentifikasi tingkat keterampilan pemecahan
masalah yang dimiliki siswa. Instrumen yang digunakan berupa
wawancara dengan guru BK, angket kebutuhan bagi guru BK, dan skala
keterampilan pemecahan masalah. Adapun kegiatan pada pengumpulan
data meliputi:
a. Analisis kebutuhan guru BK
Pengumpulan data awal dilakukan dengan melakukan wawancara
terhadap guru BK untuk mengetahui gambaran awal mengenai
keterampilan pemecahan masalah siswa serta pemberian angket
kebutuhan bagi guru BK yang digunakan untuk mengetahui tingkat
kebutuhan panduan terkait keterampilan pemecahan masalah.
b. Analisis karekteristik siswa
Siswa yang menjadi sasaran dalam pengembangan panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential
learning adalah siswa SMP. Peneliti memberikan skala keterampilan
pemecahan masalah pada 95 siswa di SMPN 15 Malang. Hasil analisis
pengumpulan data dapat digunakan sebagai gambaran awal terkait
keterampilan pemecahan masalah yang dimiliki siswa SMP.
3.2.1.2 Melakukan Kajian Literatur
Peneliti melakukan kajian literatur dalam melakukan kegiatan
penelitian agar peneliti mampu menemukan sebuah konsep atau landasan
secara teoritis yang digunakan sebagai acuan pengembangan panduan serta
mengidentifikasi tingkat kebutuhan siswa SMP terkait keterampilan
pemecahan masalah. Kajian literatur yang telah dilakukan bertujuan untuk
menentukan tahapan dalam pengembangan produk serta dijadikan sebagai
dasar untuk memperkuat suatu produk. Adapun kajian literatur yang
digunakan yaitu mengenai hakikat keterampilan pemecahan masalah dan
50

hakikat model experiential learning. Kajian literatur diperoleh dari


berbagai sumber informasi yaitu buku, jurnal, penelitian yang relevan
dengan keterampilan pemecahan masalah dan experiential learning,
mengkaji penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan dalam
pengembangan produk.
3.2.2 Tahap II (Perencanaan Pembuatan Produk)
3.2.2.1 Merumuskan Tujuan.
Perumusan tujuan terdiri dari dua bagian yaitu tujuan pembuatan
produk dan tujuan pelatihan. Adapun tujuan pembuatan produk yang
dikembangkan oleh peneliti yaitu sebagai berikut.
a. Pedoman bagi guru BK dalam melaksanakan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential
learning.
b. Memberi acuan kepada guru BK dalam merencanakan, melaksanakan,
mengevaluasi, dan melakukan tidak lanjut dalam memberikan
pelatihan pada siswa.
c. Pengembangan panduan untuk guru BK dapat digunakan dalam
pemberian layanan bimbingan dan konseling pada siswa.
Setelah merumuskan tujuan pembuatan produk, selanjutnya
merumuskan tujuan pelatihan. Tujuan pelatihan merupakan sasaran yang
ingin dicapai setelah mengajarkan pokok bahasan yang sudah
direncanakan dalam kegiatan pelatihan. Tujuan pelatihan mengacu pada
Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SKKPD) siswa SMP
pada aspek perkembangan kematangan intelektual. Adapun tujuan
pelatihan sebagai berikut.
51

Tabel 3.1 Rumusan Tujuan Pelatihan


Standar Tujuan Umum Kemampuan Tujuan Khusus
Kompetensi yang
dikembangkan
Aspek Siswa mampu To identify 1. Siswa mampu
perkembangan memahami mengidentifikasi
kematangan penggunaan masalah.
intelektual yang tahapan 2. Siswa mampu
memiliki tiga keterampilan memahami sebab
tataran yaitu: pemecahan terjadinya
1. Pengenalan: masalah secara masalah.
mengenal tepat, mampu 3. Siswa mampu
masalah yang bersikap dan mengungkapkan
dihadapi. menghadapi secara mendalam
masalah, serta masalah yang
mampu dialami.
2. Akomodasi: memecahkan Solution 1. Siswa mampu
memahami masalah. menyikapi
masalah yang masalah yang
dihadapi. dihadapi.
2. Siswa mampu
membuat solusi
pemecahan
masalah.
Obstacles 1. Siswa mampu
memahami
hambatan dari
setiap solusi yang
telah dibuat.
2. Siswa menyadari
resiko dari
pemilihan solusi.
3. Tindakan: Looking Siswa mampu
berperilaku memilih solusi
atas dasar pemecahan masalah.
pengambilan Validate Siswa mampu
keputusan menerapkan solusi
solusi pemecahan masalah.
pemecahan Evaluate Siswa mampu
masalah. mengevalusi solusi
pemecahan masalah

3.2.2.2 Menentukan Strategi Intervensi


Strategi intervensi yang digunakan dalam pelatihan dapat
mencerminkan ketepatan dan kemudahan terjadinya proses pelatihan serta
menentukan pencapaian dari tujuan pelatihan yang diharapkan setelah
pelaksanaan pelatihan. Strategi yang digunakan dalam pelatihan ini adalah
model experiential learning yaitu menggunakan pelatihan berdasarkan
pada pengalaman yang dialami siswa. Proses pelatihan menggunakan
52

model experiential learning dilakukan dengan empat tahap yaitu concrete


experience, reflective observation, abstarct conceptualization, dan active
experimentation (Kolb, 1984).
Penggunaan model experiential learning dalam pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) karena model ini
melibatkan pengalaman yang dimiliki siswa sebagai obyek dalam
pelatihan keterampilan pemecahan masalah, sehingga siswa berpartisipasi
aktif dalam kegiatan pelatihan keterampilan pemecahan masalah.
Experiential learning juga melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan.
Sesuai dengan pernyataan Yamazaki & Kayez (2004) dalam proses
experiential learning membentuk empat mode pembelajaran yaitu
merasakan, merefleksikan, memikirkan, dan melakukan. Adapun tujuan
akhir dari intervensi yang diberikan ini adalah agar siswa memiliki
transfer of learning yang dihasilkan dari pengalaman siswa secara
langsung dalam keterampilan pemecahan masalah.
3.2.2.3 Menentukan Sasaran Pengguna Panduan.
Pengguna panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning adalah guru
BK di Sekolah Menengah Pertama dengan kriteria yang mencakup sebagai
berikut.
a. Pendidikan minimal Strata-1 Bimbingan dan Konseling.
b. Mampu memahami panduan keterampilan pemecahan masalah.
c. Memahami tahapan dalam keterampilan pemecahan masalah dan
tahapan experiential learning.
d. Memiliki pengalaman menjadi guru BK minimal selama 1 tahun.
3.2.2.4 Menentukan Jadwal Pelatihan.
Penentuan jadwal pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning untuk siswa
SMP dirancang dengan sistematika dan alokasi waktu yang dilaksanakan
sebanyak 8x pertemuan dengan alokasi waktu 40 menit pada setiap
pertemuan. Hal ini sesuai dengan Permendikbud no 111 tahun 2014 bahwa
53

alokasi kegiatan yang dilakukan pada siswa SMP yaitu 40 menit dan
alokasi layanan bimbingan dan koseling sebanyak 8-14 jam kerja.
3.2.2.5 Menetapkan Prosedur Pelaksanaan
Pelaksanaan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem
solving skills) dengan model experiential learning menggunakan layanan
bimbingan kelompok. Layanan bimbingan kelompok digunakan karena
bimbingan kelompok merupakan bantuan yang diberikan pada siswa agar
siswa mampu melakukan pencegahan masalah, pemeliharaan nilai, dan
pengembangan keterampilan hidup yang dibutuhkan. Adapun prosedur
pelaksanaan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skills) dengan model experiential learning untuk siswa SMP sebagai
berikut.
54

Tabel 3.2 Prosedur Pelatihan Keterampilan Pemecahan Masalah (Problem


Solving Skills) dengan Model Experiential Learning

Pert Kegiatan Uraian kegiatan


. ke-
1 Menjalin 1. Guru BK membuka pelatihan dengan salam dan do’a.
rapport dan 2. Guru BK menyampaikan tujuan.
memahami 3. Guru BK melakukan ice breaking.
tujuan 4. Guru BK memberikan lembar pretest.
pelatihan 5. Guru BK menjelaskan petunjuk pengisian lembar prestest.
6. Guru BK melakukan kesepakatan untuk pelaksanaan
kegiatan selanjutnya.
7. Guru BK menutup kegiatan dengan salam dan do’a.
2 Membahas Pembukaan
masalah 1. Guru BK membuka pelatihan dengan salam dan do’a.
pada 2. Guru BK menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan.
bidang 3. Guru BK menyampaikan tujuan kegiatan.
pribadi
Tahap Transisi
1. Guru BK mereview kegiatan yang telah dilakukan pada
pelatihan sebelumnya.
2. Guru BK melakukan ice breaking.
3. Guru BK menanyakan kesiapan anggota untuk
melaksanakan pelatihan.
4. Setelah semua anggota menyatakan kesiapannya, guru BK
mulai memasuki tahapan selanjutnya yaitu tahap inti.
Tahap Inti
1. Tahapan Concrete experience
a. Siswa menuliskan permasalahan yang diberikan oleh
guru BK pada bidang pribadi.
b. Siswa mengidentifikasi masalah.
c. Siswa menggambarkan masalah yang terjadi.
2. Tahapan Reflective observation
a. Siswa mengungkapkan hasil pengamatan terhadap
masalah tersebut.
b. Siswa menentukan cara dalam menyikapi masalah.
c. Siswa merumuskan solusi pemecahan masalah.
3. Tahapan Abstract conceptualization
a. Siswa merumuskan sebab-sebab terjadinya masalah.
b. Siswa menuliskan kembali solusi dan mencari
hambatan pada solusi yang telah dirumuskan.
c. Siswa memilih solusi yang telah dirumuskan.
4. Tahapan Active experimentation
a. Siswa melakukan evaluasi pada solusi yang dipilih.
b. Siswa menuliskan alternatif pemecahan masalah
(solusi) baru setelah menyelesaikan tahapan pelatihan
sebelumnya.
c. Siswa merencanakan tindakan atau cara memecahkan
masalah.
d. Siswa mencoba atau mensimulasikan solusi
pemecahan masalah terhadap masalah yang terjadi.
Penutup
1. Siswa mengisi lembar refleksi kegiatan.
2. Guru BK menyimpulkan kegiatan yang telah dilakukan.
55

3. Guru BK memberikan lembar penugasan pada siswa.


4. Guru BK mengakhiri kegiatan dengan do’a dan salam.
3 Membahas Pembukaan
masalah 1. Guru BK membuka pelatihan dengan salam dan do’a.
pada 2. Guru BK menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan.
bidang 3. Guru BK menyampaikan tujuan kegiatan.
sosial Tahap Transisi
1. Guru BK mereview kegiatan yang telah dilakukan pada
pelatihan sebelumnya.
2. Guru BK melakukan ice breaking.
3. Guru BK memberikan kesempatan pada salah satu
anggota untuk memaparkan hasil penugasan.
4. Guru BK menanyakan kesiapan anggota untuk
melaksanakan pelatihan.
5. Setelah semua anggota menyatakan kesiapannya, guru BK
mulai memasuki tahapan selanjutnya yaitu tahap inti.
Tahap Inti
1. Tahapan Concrete experience
a. Siswa menuliskan permasalahan yang diberikan oleh
guru BK pada bidang sosial.
b. Siswa mengidentifikasi masalah.
c. Siswa menggambarkan masalah yang terjadi.
2. Tahapan Reflective observation
a. Siswa mengungkapkan hasil pengamatan terhadap
masalah tersebut.
b. Siswa menentukan cara dalam menyikapi masalah
tersebut.
c. Siswa merumuskan solusi pemecahan masalah.
3. Tahapan Abstract conceptualization
a. Siswa merumuskan sebab-sebab terjadinya masalah.
b. Siswa menuliskan kembali solusi dan mencari
hambatan pada solusi yang telah dirumuskan.
c. Siswa memilih solusi yang telah dirumuskan.
4. Tahapan Active experimentation
a. Siswa melakukan evaluasi pada solusi yang dipilih.
b. Siswa menuliskan alternatif pemecahan masalah
(solusi) baru setelah menyelesaikan tahapan pelatihan
sebelumnya.
c. Siswa merencanakan tindakan atau cara memecahkan
masalah.
d. Siswa mencoba atau mensimulasikan solusi
pemecahan masalah terhadap masalah yang terjadi.
Penutup
1. Siswa mengisi lembar refleksi kegiatan.
2. Guru BK menyimpulkan kegiatan yang telah dilakukan.
3. Guru BK memberikan lembar penugasan pada siswa.
4. Guru BK mengakhiri kegiatan dengan do’a penutup dan
salam.
4 Membahas Pembukaan
masalah 1. Guru BK membuka pelatihan dengan salam dan do’a.
pada 2. Guru BK menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan.
bidang 3. Guru BK menyampaikan tujuan kegiatan.
pribadi Tahap Transisi
1. Guru BK mereview kegiatan yang telah dilakukan pada
pelatihan sebelumnya.
56

2. Guru BK memberikan kesempatan pada salah satu


anggota untuk memaparkan hasil penugasan.
3. Guru BK menanyakan kesiapan anggota untuk
melaksanakan pelatihan.
4. Setelah semua anggota menyatakan kesiapannya, guru BK
mulai memasuki tahapan selanjutnya yaitu tahap inti.
Tahap Inti
1. Tahapan Concrete experience
a. Siswa menuliskan permasalahan yang diberikan oleh
guru BK pada bidang pribadi.
b. Siswa mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya
permasalahan.
c. Siswa menggambarkan masalah yang terjadi.
2. Tahapan Reflective observation
a. Siswa mengungkapkan hasil pengematan terhadap
masalah tersebut.
b. Siswa menentukan cara dalam menyikapi masalah
tersebut.
c. Siswa merumuskan solusi pemecahan masalah.
3. Tahapan Abstract conceptualization
a. Siswa merumuskan sebab-sebab terjadinya masalah
b. Siswa merumuskan alasan dan pertimbangannya saat
merumuskan solusi pemecahan masalah.
c. Siswa menuliskan kembali solusi dan mencari
hambatan pada solusi yang telah dirumuskan.
d. Siswa memilih solusi yang telah dirumuskan.
4. Tahapan Active experimentation
a. Siswa melakukan evaluasi pada solusi yang dipilih
b. Siswa menuliskan alternatif pemecahan masalah
(solusi) baru setelah menyelesaikan tahapan pelatihan
sebelumnya.
c. Siswa merencanakan tindakan atau cara memecahkan
masalah.
d. Siswa mencoba atau mensimulasikan solusi
pemecahan masalah terhadap masalah yang terjadi.
Penutup
1. Siswa mengisi lembar refleksi kegiatan.
2. Guru BK menyimpulkan kegiatan yang telah dilakukan.
3. Guru BK memberikan lembar penugasan pada siswa
4. Guru BK mengakhiri kegiatan dengan do’a penutup dan
salam.
5 Membahas Pembukaan
masalah 1. Guru BK membuka pelatihan dengan salam dan do’a.
pada 2. Guru BK menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan.
bidang 3. Guru BK menyampaikan tujuan kegiatan.
karir Tahap Transisi
1. Guru BK mereview kegiatan yang telah dilakukan pada
pelatihan sebelumnya.
2. Guru BK memberikan kesempatan pada salah satu
anggota untuk memaparkan hasil penugasan.
3. Guru BK menanyakan kesiapan anggota untuk
melaksanakan pelatihan.
4. Setelah semua anggota menyatakan kesiapannya, guru BK
mulai memasuki tahapan selanjutnya yaitu tahap inti.
57

Tahap Inti
1. Tahapan Concrete experience
a. Siswa menuliskan permasalahan yang diberikan oleh
guru BK pada bidang karir.
b. Siswa mengidentifikasi masalah.
c. Siswa menggambarkan masalah yang terjadi.
2. Tahapan Reflective observation
a. Siswa mengungkapkan hasil pengamatan terhadap
masalah tersebut.
b. Siswa menentukan cara dalam menyikapi masalah
tersebut.
c. Siswa merumuskan solusi pemecahan masalah.

3. Tahapan Abstract conceptualization


a. Siswa merumuskan sebab-sebab terjadinya masalah.
b. Siswa menuliskan kembali solusi dan mencari
hambatan pada solusi yang telah dirumuskan.
c. Siswa memilih solusi yang telah dirumuskan.
4. Tahapan Active experimentation
a. Siswa melakukan evaluasi pada solusi yang dipilih
b. Siswa menuliskan alternatif pemecahan masalah
(solusi) baru setelah menyelesaikan tahapan
pelatihan sebelumnya
c. Siswa merencanakan tindakan atau cara memecahkan
masalah.
d. Siswa mencoba atau mensimulasikan solusi
pemecahan masalah terhadap masalah yang terjadi.
Penutup
1. Siswa mengisi lembar refleksi kegiatan.
2. Guru BK menyimpulkan kegiatan yang telah dilakukan.
3. Guru BK memberikan lembar penugasan pada siswa.
4. Guru BK mengakhiri kegiatan dengan do’a penutup dan
salam.

6 Membahas Pembukaan
masalah 1. Guru BK membuka pelatihan dengan salam dan do’a.
pada 2. Guru BK menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan.
bidang 3. Guru BK menyampaikan tujuan.
belajar
Tahap Transisi
1. Guru BK mereview tujuan dan kesepakatan yang telah
dibentuk pada kegiatan sebelumnya.
2. Guru BK mereview kegiatan yang telah dilakukan pada
pelatihan sebelumnya.
3. Guru BK memberikan kesempatan pada salah satu
anggota untuk memaparkan hasil penugasan.
4. Guru BK menanyakan kesiapan anggota untuk
melaksanakan pelatihan.
5. Setelah semua anggota menyatakan kesiapannya, guru
BK mulai memasuki tahapan selanjutnya yaitu tahap inti.
Tahap Inti
1. Tahapan Concrete experience
a. Siswa menuliskan permasalahan yang diberikan oleh
guru BK pada bidang belajar.
b. Siswa mengidentifikasi masalah.
58

c. Siswa menggambarkan masalah yang terjadi.

2. Tahapan Reflective observation


a. Siswa mengungkapkan hasil pengamatan terhadap
masalah tersebut.
b. Siswa menentukan cara dalam menyikapi masalah.
c. Siswa merumuskan solusi pemecahan masalah.
3. Tahapan Abstract conceptualization
a. Siswa merumuskan sebab-sebab terjadinya masalah.
b. Siswa menuliskan kembali solusi dan mencari
hambatan pada solusi yang telah dirumuskan.
c. Siswa memilih solusi yang telah dirumuskan.
4. Tahapan Active experimentation
a. Siswa melakukan evaluasi pada solusi yang dipilih.
b. Siswa menuliskan alternatif pemecahan masalah
(solusi) baru setelah menyelesaikan tahapan
pelatihan sebelumnya.
c. Siswa merencanakan tindakan atau cara memecahkan
masalah.
d. Siswa mencoba atau mensimulasikan solusi
pemecahan masalah terhadap masalah yang terjadi.
Penutup
1. Siswa mengisi lembar refleksi kegiatan.
2. Guru BK menyimpulkan kegiatan yang telah dilakukan.
3. Guru BK memberikan lembar penugasan pada siswa.
4. Guru BK mengakhiri kegiatan dengan do’a penutup dan
salam.
Membahas Pembukaan
7 masalah 1. Guru BK membuka pelatihan dengan salam dan do’a.
pada 2. Guru BK menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan.
bidang 3. Guru BK menyampaikan tujuan.
sosial Tahap Transisi
1. Guru BK mereview kegiatan yang telah dilakukan pada
pelatihan sebelumnya.
2. Guru BK memberikan kesempatan pada salah satu
anggota untuk memaparkan hasil penugasan.
3. Guru BK menanyakan kesiapan anggota untuk
melaksanakan pelatihan.
4. Setelah semua anggota menyatakan kesiapannya, guru
BK mulai memasuki tahapan selanjutnya yaitu tahap inti.
Tahap Inti
1. Tahapan Concrete experience
a. Siswa menuliskan permasalahan yang diberikan oleh
guru BK pada bidang sosial.
b. Siswa mengidentifikasi masalah.
c. Siswa menggambarkan masalah yang terjadi.
2. Tahapan Reflective observation
a. Siswa mengungkapkan hasil pengamatan terhadap
masalah tersebut.
b. Siswa menentukan cara dalam menyikapi masalah.
c. Siswa merumuskan solusi pemecahan masalah.
59

3. Tahapan Abstract conceptualization


a. Siswa merumuskan sebab-sebab terjadinya masalah.
b. Siswa menuliskan kembali solusi dan mencari
hambatan pada solusi yang telah dirumuskan.
c. Siswa memilih solusi yang telah dirumuskan.
4. Tahapan Active experimentation
a. Siswa melakukan evaluasi pada solusi yang dipilih.
b. Siswa menuliskan alternatif pemecahan masalah
(solusi) baru setelah menyelesaikan tahapan
pelatihan sebelumnya.
c. Siswa merencanakan tindakan atau cara
memecahkan masalah.
d. Siswa mencoba atau mensimulasikan solusi
pemecahan masalah terhadap masalah yang dialami.
Penutup
1. Siswa mengisi lembar refleksi kegiatan.
2. Guru BK menyimpulkan kegiatan yang telah dilakukan.
3. Guru BK mengakhiri kegiatan dengan do’a penutup dan
salam.
8 Evaluasi 1. Guru BK membuka kegiatan dengan salam dan do’a.
kegiatan 2. Guru BK melakukan tanya jawab kegiatan yang telah
dilakukan.
3. Guru BK memberikan lembar komitmen, lembar pesan &
kesan pada siswa.
4. Guru BK memberikan skala keterampilan pemecahan
masalah sebagai instrumen posttest.
5. Guru BK menutup kegiatan dengan doa’a penutup dan
salam.

3.2.3 Tahap III (Pengembangan Format Produk Awal)


3.2.3.1 Menyusun Panduan Pelatihan.
Penyusunan panduan dibuat berdasarkan tahap perencanaan yang
telah dilakukan sebelumnya dan sesuai dengan analisis kebutuhan guru
BK. Panduan yang dihasilkan dalam pengembangan ini adalah panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan
model experiential learning untuk siswa SMP. Panduan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential
learning disusun untuk guru BK yang digunakan sebagai pedoman dalam
memberikan pelatihan pada siswa.
Panduan untuk guru BK terdiri dari beberapa komponen
penyusunan panduan. Komponen panduan pelatihan terdiri dari ucapan
terimakasih, Bab I, Bab II, Bab III, daftar rujukan, dan lampiran. Adapun
60

rancangan panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem


solving skill) dengan model experiential learning sebagai berikut.
Tabel 3.3 Rancangan Buku Panduan Untuk Guru BK

Ucapan Ucapan terima kasih dtujukan kepada berbagai pihak yang telah
terimakasih mendukung dalam pembuatan panduan.
Daftar Isi Pada bagian ini disajikan letak halaman dari masing-masing bab
dalam panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
dengan model experiential learning.
Bagian I Pendahuluan 1. Rasional penyusunan panduan
2. Tujuan
Bagian II Petunjuk pelaksanan 1. Petunjuk pelaksanaan pelatihan
2. Pengguna panduan
3. Sasaran pelatihan
4. Penggunaan instrumen
5. Strategi intervensi
6. Penentuan jadwal pelatihan
Bagian III Prosedur pelaksanaan Prosedur pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving
skill) berdasarkan pada empat tahapan
dalam siklus experiential learning.
Daftar rujukan Sumber literatur yang digunakan dalam membuat panduan
Lampiran Skala keterampilan pemecahan masalah yang digunakan sebagai
pretest dan posttest.

3.2.3.2 Membuat Instrumen dan Alat Evaluasi


Pembuatan instrumen dan alat evaluasi dilakukan untuk menguji
dan mengetahui akseptabilitas produk panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential
learning. Adapun instrumen yang disusun peneliti sebagai berikut.
a. Instrumen penilaian panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) berdasarkan kriteria ketepatan,
kegunaan, dan kelayakan untuk ahli media, ahli bimbingan dan
konseling, dan calon pengguna panduan.
b. Skala keterampilan pemecahan masalah untuk siswa yang digunakan
sebagai need assessment dalam pengumpulan data awal tentang
keterampilan pemecahan masalah.
c. Skala keterampilan pemecahan masalah sebagai instrumen pretest dan
posttest yang dilakukan sebelum dan setelah pelaksanaan pelatihan.
d. Lembar refleksi pada setiap pertemuan dalam pelatihan.
61

e. Lembar komitmen dan lembar tugas yang digunakan guru BK untuk


mendapatkan feedback dari siswa setelah dilaksanakannya pelatihan.
3.2.4 Tahap IV (Uji Lapangan Awal)
Uji lapangan utama pada panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential
learning dilakukan untuk memperoleh data berupa saran dan kritik dari
ahli media, ahli BK, dan calon pengguna produk. Hasil yang diperoleh
dari uji ahli digunakan untuk menetapkan dan menentukan akseptabilitas
dari produk yang dikembangkan. Adapun tahapan dalam uji lapangan
awal sebagai berikut.
3.2.4.1 Desain
Desain atau rancangan uji lapangan awal dalam penelitian dan
pengembangan panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning dilakukan
untuk memperoleh gambaran tentang tingkat akseptablitias dan penilaian
panduan. Penilaian ahli bertujuan untuk mengetahui berbagai kekurangan
suatu produk serta memperoleh saran perbaikan ahli sebagai acuan revisi
peneliti untuk perbaikan produk panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential
learning untuk siswa SMP.
3.2.4.2 Subyek Uji Lapangan Awal
Pengembangan panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning diuji
oleh ahli yang memiliki persyaratan tertentu. Ahli media terdiri dari 2
orang ahli yang memiliki kriteria sebagai berikut.
a. Dosen program studi teknologi pendidikan.
b. Telah menjadi dosen minimal 5 tahun.
c. Pendidikan minimal doctoral teknologi pendidikan.
d. Menguasai bidang pengembangan media.
e. Memiliki pengalaman dalam penilaian validasi produk
pengembangan.
62

Adapun subyek ahli media yang memberikan penilaian terhadap


panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning sebagai berikut.
Tabel 3.4 Subyek Ahli Media
No Nama Bidang Masa Pendidikan
Keahlian Kerja Terakhir
1. Dr. Anselmus JE Toenlioe, M.Pd Media 37 tahun S3 TEP
2. Dr. Henry Praherdhiono, S.Si, M.Pd Media 19 tahun S3 TEP

Ahli media memberikan penilaian terhadap keberterimaan produk


berdasarkan aspek ketepatan, kegunaan dan kelayakan produk. Penilaian
yang dilakukan oleh ahli media mencakup pemilihan jenis huruf,
pemilihan ukuran huruf, kombinasi warna, kombinasi gambar, tata letak
penyajian tulisan.
Pada uji lapangan awal juga dilakukan penilaian produk oleh ahli
BK. Adapun kriteria untuk subyek ahli BK, diuraikan sebagai berikut.
a. Dosen pascasarjana bimbingan dan konseling.
b. Telah menjadi dosen minimal 5 tahun.
c. Pendidikan minimal doctoral bimbingan dan konseling.
d. Memiliki pengalaman dalam penilaian validasi produk
pengembangan.
Adapun subyek ahli BK yang memberikan penilaian terhadap
panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning sebagai berikut.
Tabel 3.5 Subyek Ahli BK
No Nama Bidang Masa Pendidikan
Keahlian Kerja Terakhir
1. Dr. Blasius Boli Lasan, M.Pd BK 30 tahun S3 BK
2. Dr. M. Ramli, M.A BK 32 tahun S3 BK

Ahli BK memberikan penilaian terhadap keberterimaan produk


berdasarkan aspek ketepatan, kegunaan, dan kelayakan produk. Penilaian
yang dilakukan oleh ahli media mencakup tahapan dalam experiential
63

learning dalam pelatihan, prosedur pelaksanaan pelatihan, tahapan


bimbingan kelompok, dan lembar evaluasi kegiatan.
Adapun subyek dari calon pengguna yaitu guru BK. Adapun
kriteria untuk subyek uji calon pengguna diuraikan sebagai berikut.
a. Guru Bimbingan dan Konseling.
b. Memiliki masa kerja sebagai guru BK minimal 3 tahun.
c. Pendidikan minimal strata-1 bimbingan dan konseling.
Adapun subyek uji calon pengguna yang memberikan penilaian
terhadap panduan, sebagai berikut.
Tabel 3.6 Subyek Calon Pengguna
No Nama Masa Instansi tempat Pendidikan
Kerja kerja Terakhir
1. Anna Aisyiyah, S.Pd 9 tahun SMPN 15 Malang S1 BK
2. Selvandry Fitra Nurgianto, S.Pd 3 tahun SMPN 15 Malang S1 BK

3.2.4.3 Jenis Data Uji Lapangan Awal


Data yang diperoleh penilaian ahli media dan ahli BK terhadap
produk panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah bersifat
kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh berdasarkan saran
perbaikan yang diberikan oleh ahli, sedangkan data kuantitaif
menggunakan skala penilaian. Data yang diperoleh dari hasil pengujian
produk dapat digunakan sebagai dasar acuan untuk peneliti dalam
melakukan perbaikan produk.
3.2.4.4 Instrumen
a. Instrumen Penilaian Ahli Media
Instrumen yang digunakan dalam penilaian media
adalah skala penilaian yang memuat tentang aspek ketepatan,
aspek kegunaan, dan aspek kelayakan suatu panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill)
dengan model experiential learning untuk siswa SMP.
Indikator instrumen uji ahli media yang digunakan dalam
penilaian pengembangan panduan pelatihan keterampilan
64

pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model


experiential learning yaitu, 1) Aspek ketepatan mengacu pada
ketepatan kegrafikan. 2) Aspek kegunaan mengacu kegunaan
penyajian meliputi kegunaan gambar dan tata letak penyajian.
3) Aspek kelayakan mengacu pada kelayakan pemilihan warna
dan kelayakan kegrafikan. Instrumen penilaian dikembangkan
berdasarkan kisi-kisi, sebagai berikut.
Tabel 3.7 Kisi-Kisi Instrumen Penilaian Ahli Media
Variabel Indikator Deskriptor
Ketepatan Kegrafikan Ketepatan pemilihan warna sampul
Ketepatan pemilihan ukuran panduan
Tata letak Ketepatan gambar pada isi panduan
penyajian Ketepatan tata letak penyajian
Kegunaan Kegrafikan Kegunaan pemilihan warna tulisan
Kegunaan pemilihan font dan font size
Tata letak Kegunaan gambar pada isi panduan
penyajian Kegunaan tata letak penyajian
Kelayakan Kegrafikan Kelayakan pemilihan font
Kelayakan pemilihan font size
Tata letak Kelayakan gambar dengan subyek (siswa
penyajian SMP)
Kelayakan tata letak penyajian

b. Instrumen Peniliaian Ahli BK


Instrumen yang digunakan dalam uji ahli BK adalah skala
penilaian yang memuat tentang aspek ketepatan, aspek
kegunaan, dan aspek kelayakan suatu panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill)
dengan model experiential learning untuk siswa SMP.
Indikator instrumen uji ahli BK yang digunakan dalam
penilaian pengembangan panduan yaitu, 1) Aspek ketepatan
mengacu pada ketepatan tahapan experiential learning yang
digunakan dalam pelatihan yang meliputi ketepatan tahapan
concrete experience, ketepatan tahapan reflective observation,
ketepatan tahapan abstract conceptualization, ketepatan
tahapan active experimentation, dan ketepatan tahapan
65

bimbingan kelompok. 2) Aspek kegunaan mengacu pada


seberapa besar panduan yang dikembangkan memberikan
manfaat bagi guru BK. 3) Aspek kelayakan mengacu pada
kelayakan tahapan dan prosedur experiential learning dalam
pelaksanaan pelatihan. Instrumen penilaian dikembangkan
berdasarkan kisi-kisi, sebagai berikut.
Tabel 3.8 Kisi-Kisi Instrumen Penilaian Ahli BK

Variabel Indikator Deskriptor


Ketepatan Analisa konteks Ketepatan tahapan experiential learning
Ketepatan tahapan bimbingan kelompok
Kegunaan Kegunaan Kegunaan panduan untuk guru BK
panduan Kegunaan lembar evaluasi dalam panduan
Kelayakan Prosedur Kelayakan tahapan experiential learning
pelatihan dalam pelatihan
Kelayakan prosedur
Kelayakan jadwal pelatihan

c. Instrumen Penilaian Calon Pengguna Produk


Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah skala
penilaian yang memuat tentang aspek ketepatan, aspek
kegunaan, dan aspek kelayakan. Adapun kisi-kisi instrumen
calon pengguna sebagai berikut.
Tabel 3.9 Kisi-Kisi Instrumen Calon Pengguna
Variabel Indikator Deskriptor
Ketepatan Perumusan dan Kejelasan rumusan prosedur
penjabaran tujuan pelatihan
pelatihan Kesesuaian rumusan tujuan
dengan materi pelatihan
Analisa konteks Ketepatan penggunaan alat ukur
evaluasi
Ketepatan prosedur pelatihan
Kegunaan Identifikasi Kegunaan panduan bagi guru BK
penggunaan produk
Kegrafikan Kegunaan gambar pada isi
panduan
Kelayakan Kelayakan isi Kelayakan isi dalam bab I, II, III
Kelayakan Kelayakan penggunaan bahasa
kebahasaan
Kegrafikan Kelayakan pemilihan font size
66

Skala yang digunakan dalam penilaian panduan pelatihan


keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning menggunakan skala penilaian yang dikembangkan
oleh Utami (2011) dengan gradasi berupa skala 1-4 yang memiliki makna
sebagai berikut.
1= Tidak jelas, tidak tepat, tidak praktis, tidak relevan, tidak
bermanfaat, tidak penting
2= Kurang jelas, kurang tepat, kurang praktis, kurang relevan,
kurang bermanfaat, kurang penting.
3= Jelas, tepat, praktis, relevan, bermanfaat, penting.
4= Sangat jelas, sangat tepat, sangat praktis, sangat relevan, sangat
bermanfaat, sangat penting.

3.2.4.5 Teknik Analisis Data


Analisis data dilakukan dengan berdasarkan kumpulan data yang
telah diperoleh peneliti. Kumpulan data yang diperoleh dalam penelitian
pengembangan panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning berupa data
kuantitatif maupun data kualitatif. Adapun penjelasan mengenai analisis
kuantitatif maupun data kualitatif sebagai berikut.
a. Analisis Data Kuantitatif
Analisis data kuantitatif diperoleh dari penilaian ahli media, ahli
BK dancalon pengguna produk dengan menggunakan teknik
interrater agreement model (Gregory, 2013). Penggunaan interrater
agreement model gregorry dikarenakan model analisis ini dapat
digunakan dalam pemberian penilaian yang dilakukan oleh dua ahli
atau lebih dari dua ahli, sehingga memiliki kesepakatan ahli yang
lebih kuat (Retnawati, 2016). Adapun analisis interrater agreement
model sebagai berikut.
67

Pendapat ahli 1

Relevansi Relevansi
Rendah (1-2) Tinggi (3-4)
Pendapat Relevasi rendah (1-2) A B
ahli 2
Relevansi tinggi (3-4) C D

Gambar 3.2 Model interater agreement (Gregory, 2013)

Berdasarkan model interater agreement diatas, peneliti menentukan


indeks hasil uji ahli menggunakan rumus berikut.
D
Indeks uji ahli =
A+B+C+D
Adapun keterangannya sebagai berikut.
A = Relevansi rendah dari ahli 1 dan 2
B = Relevansi tinggi dari ahli 1 dan rendah dari ahli 2
C = Relevansi rendah dari ahli 1 dan tinggi dari ahli 2
D = Relevansi tinggi dari ahli kecil 1 dan 2

Kategori indeks uji validasi panduan keterampilan pemecahan


masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning
mengacu pada pengklasifikasian validitas yang dikemukakan oleh
Guilford (Gregory, 2013) sebagai berikut.
Tabel 3.10 Kategori Validitas
Interval Kategori
0,80 < r_xy ≤ 1,00 Validitas Sangat tinggi
0,60 < r_xy ≤ 0,80 Validitas Tinggi
0,40 < r_xy≤ 0,60 Validitas Cukup
0,20 < r_xy≤ 0,40 Validitas Rendah
r_xy ≤ 0,20 Validitas Sangat Rendah

3.2.4.6 Analisis Data Kualitatif


Data kualitatif berupa catatan, kritik atau saran perbaikan dari ahli
media, ahli BK, dan calon pengguna produk yang dideskripsikan dengan
menarik kesimpulan dari hasil penilaian uji ahli tersebut. Data kualitatif
dapat memberikan gambaran mengenai akseptabilitas produk dari ketiga
aspek yang telah dinilai. Kumpulan data yang telah dideskripsikan dapat
dijadikan acuan dasar sebagai perbaikan produk panduan pelatihan
68

keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model


experiential learning.
3.2.5 Tahap V (Revisi Produk)
Revisi produk panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning dilakukan
sesuai hasil penilaian ahli media, ahli BK, dan calon pengguna produk.
Revisi produk yang dilakukan berdasarkan hasil analisis penilaian
akseptabilitas produk dari ahli sebagai penyempurnaan produk panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan
model experiential learning.
3.2.6 Tahap VI (Uji Lapangan Utama )
Tujuan uji lapangan utama dalam penelitian dan pengembangan
adalah untuk menentukan apakah produk yang dikembangkan telah
memenuhi tujuan penelitian dengan menggunakan single group pre post
design yang digunakan untuk mengetahui secara signifikan penggunaan
produk yang dikembangkan (Borg & Gall, 1984). Oleh karena itu, pada
tahap ini dilakukan uji coba kelompok kecil. Uji coba kelompok kecil
dilakukan pada tahap ini untuk mengetahui perbedaan keterampilan
pemecahan masalah siswa sebelum dan setelah diberikan pelatihan.
3.2.6.1 Desain
Uji coba kelompok kecil menggunakan desain eksperimen
one group pretest-posttest design yang dikemukakan Isaac dan
Michael (Sugiyono, 2016). Pada desain eksperimen ini, digunakan
kelompok yang sama untuk perbandingan sebelum dan sesudah
pelaksanaan intervensi atau treatment. Perbedaan posttest (T2)
terhadap pretest (T1) diinterpretasikan sebagai pengaruh atas
adanya intervensi atau treatment. Tingkat perbandingan antara
skor pretest dan posttest yang akan menunjukkan tingkat
keberhasilan intervensi atau treatment. Rancangan pengujian
eksperimen tersebut tersaji sebagai berikut.
69

Prestest Treatment Posttest


T1 X T2
Gambar 3.3 Rancangan Pengujian Experimen
Keterangan:
T1 = Pengukuran atau tes yang dilakukan sebelum pelatihan
X = Pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill)
dengan model experiential learning.
T2 = Pengukuran atau tes yang dilakukan setelah pelatihan

Uji coba kelompok kecil merupakan tindak lanjut dari hasil


kesepakatan para ahli terhadap produk yang dikembangkan. Borg & Gall
(1983) menyimpulkan bahwa tujuan dari uji coba kelompok kecil adalah
untuk mengetahui hasil dari produk pengembangan dalam skala kecil.
Hasil dari uji coba ini merupakan representasi kelayakan dan
keberterimaan produk yang dikembangkan.
3.2.6.2 Subyek Uji Coba Kelompok Kecil
Subyek untuk uji coba kelompok kecil adalah siswa SMP yang
mengikuti kegiatan pelatihan dipilih berdasarkan kriteria penilaian.
Adapun kriteria penilaian uji coba kelompok kecil yaitu siswa yang
memiliki keterampilan pemecahan pada kategori rendah. Penentuan
subyek dilakukan dengan menggunakan non-parametric purposive
sampling berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Adapun subyek uji
coba kelompok kecil melibatkan 9 siswa SMPN 15 Malang sebagai
berikut.
Tabel 3.11 Subyek Uji Kelompok Kecil
No Nama Jenis Kelamin
1. DA Laki-Laki
2. LA Perempuan
3. MA Laki-Laki
4. SP Perempuan
5. KN Perempuan
6. AJ Laki-Laki
7. NP Laki-Laki
8. HN Perempuan
9. FC Laki-Laki
70

3.2.6.3 Jenis Data


Data yang diperoleh dari uji coba kelompok kecil berupa
data kuantitatif. Data kuantitaif diperoleh dari hasil pretest dan
posttest skala keterampilan pemecahan masalah pada siswa.
Kumpulan data yang diperoleh dari hasil uji coba kelompok kecil
dapat digunakan untuk menentukan uji beda hasil pretest dan
posttest siswa.
3.2.6.4 Instrumen
Instrumen yang digunakan sebagai pengumpulan data
dalam uji kelompok kecil yaitu skala keterampilan pemecahan
masalah. Instrumen skala keterampilan pemecahan masalah
dikembangkan peneliti menjadi item pernyataan yang telah teruji
validitas dan reliabilitasnya. Adapun kisi-kisi indikator dalam
skala keterampilan pemecahan masalah (problem solving skills)
yang dikembangkan peneliti berdasarkan teori Forgan (2002)
dalam panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skills) dengan model experiential learning.
Adapun kisi-kisi skala keterampilan pemecahan masalah sebagai
berikut.
71

Tabel 3.12 Kisi-Kisi Skala Keterampilan Pemecahan Masalah


Variabel Indikator Deskriptor No. Item
Pernyataan
keterampilan Melakukan 1. Mencari informasi mengenai 1, 16, 31, 46
pemecahan identifikasi masalah
masalah masalah 2. Melakukan analisis masalah 2, 17, 32, 47
3. Memahami masalah yang 3, 18, 33, 48
muncul
Menemukan 1. Membuat berbagai alternatif 4, 19, 34, 49
solusi untuk /solusi pemecahan masalah
memecahkan 2. Memilih alternatif/solusi 5, 20, 35, 50
masalah pemecahan masalah yang
paling efektif
3. Merencanakan penerapan 6, 21, 36, 51,
alternatif/solusi pemecahan 52
masalah
Menemukan 1. Mengidentifikasi hambatan 7, 22, 37
hambatan di setaip solusi
pencapaian 2. Menyelesaikan masalah 8, 23, 38
solusi dengan berbagai solusi
3. Melakukan cara untuk 9, 24, 39
mengatasi hambatan dalam
pemecahan masalah
Meninjau 1. Meninjau alternatif/ solusi 10, 25, 40
kembali solusi yang telah dibuat untuk
memecahkan masalah
2. Memilih salah satu solusi 11, 26, 41
pemecahan masalah
Validasi solusi 1. Menerapkan solusi yang telah 12, 27, 42
dipilih
2. Melakukan rencana untuk 13, 28, 43, 53
menerapkan solusi yang
dipilih dalam situasi yang
berbeda
Evaluasi solusi 1. Melihat kembali proses yang 14, 29, 44, 54
telah dilakukan untuk
memecahkan masalah
2. Melakukan evaluasi terhadap 15, 30, 45, 55
solusi yang telah dipilih

Instrumen skala keterampilan pemecahan masalah memiliki jumlah


item sebanyak 55 item pernyataan. Skala keterampilan pemecahan
masalah yang telah dikembangkan dilakukan uji validitas dan reliabilitas
dengan bantuan SPSS Statistic 21 yang mengahasilkan sebanyak 37 item
yang valid dan sebanyak 18 item yang tidak valid. Nomor item yang tidak
valid yaitu 10, 11, 14, 20, 27, 28, 31, 32, 36, 37, 38, 46, 47, 50, 51, 52, 53,
55. Item pernyataan dikatakan valid apabila r hitung > r tabel pada taraf
72

signifikansi 5%. Taraf signifikansi 5% pada jumlah responden (n) 33


adalah 0,344.
Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan agar instrumen dapat
digunakan sebagai alat pengumpul data. Pengujian reliabilitas instrumen
dilakukan dengan menggunakan alpha cronbach pada aplikasi SPSS
Statistic 21. Hal ini disebabkan karena bentuk item pernyataan
berdasarkan pada model skala likert yang memiliki skor nilai 4,3,2,1 untuk
pernyataan yang bersifat positif (favorable) dan sebaliknya 1,2,3,4, untuk
pernyataan yang bersifat negatif (unfavorable).
Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas instrumen diperoleh hasil
sebesar 0,907 dengan taraf signifikansi 5% sebesar 0,344, sehingga item
pernyataan pada skala keterampilan pemecahan masalah dikatakan reliabel
karena koefisien reliabilitas lebih besar dari r tabel pada taraf signifikansi
5%. Berdasarkan dari hasil analisis tersebut maka item pernyataan pada
skala keterampilan pemecahan masalah dapat digunakan sebagai alat
pengumpul data. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riadi (2016) bahwa
perhitungan reliabilitas menggunakan alpha cronbach dengan standar
≥0,60 yang dianggap kuat untuk mengukur skala keterampilan pemecahan
masalah.
3.2.6.5 Teknis Analisis Data
a. Teknik analisis gambaran tingkat skala keterampilan
pemecahan masalah
Analisis data pada skala keterampilan pemecahan
masalah dilakukan dengan perhitungan menggunakan
Microsoft Excel. Data dalam penelitian ini terkumpul dalam
bentuk kuantitatif, sehingga memungkinkan untuk dianalisis
secara statistik deskriptif. Analisis data dilakukan untuk
mengetahui gambaran tingkat keterampilan pemecahan
masalah yang dimiliki siswa. Analisis data dalam penelitian ini
disajikan secara statistik deskriptif dengan penyajian data
melalui tabel atau tabulasi dan perhitungan skala keterampilan
73

pemecahan masalah. Adapun pengelompokan kriteria menurut


Azwar (2011) sebagai berikut.
Tinggi = x ≥ ( + 1,0  )
Sedang = (  1,0  ) ≤ x < ( + 1,0  )
Rendah = x < (  1,0  )

Keterangan
 = Standar Deviasi
 = Mean
X = Nilai
Berdasarkan hasil perhitungan pengelompokan kriteria
tersebut, maka diperoleh kategorisasi keterampilan pemecahan
masalah sebagai berikut.
Tabel 3.13
Kategorisasi Keterampilan Pemecahan Masalah
Kategori Interval Kriteria
Tinggi x ≥ 111 Siswa mampu memahami, menerapkan
tahapan keterampilan pemecahan masalah
serta memecahkan masalah secara tepat.
Sedang 73 ≤ x < 111 Siswa mampu memahami, menerapkan
sebagian tahapan keterampilan pemecahan
masalah serta mampu memecahkan masalah.
Rendah x < 73 Siswa belum mampu memahami, menerapkan
tahapan keterampilan pemecahan masalah
serta belum mampu memecahkan masalah
secara tepat.

b. Teknik analisis uji coba kelompok kecil


Data yang telah diperoleh dalam uji kelompok kecil
adalah data kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh dari
instrumen skala keterampilan pemecahan masalah dengan
tingkat perubahan hasil skor pretest dan posttest siswa. Adapun
rumus perhitungan perubahan uji kelompok kecil sebagai
berikut.
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑃𝑜𝑠𝑡𝑡𝑒𝑠𝑡 − 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑃𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑃𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 = 𝑥 100%
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑃𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡

Gambar 3.4
Rumus Perhitungan Tingkat Perubahan Pretest dan Posttest
74

Pengukuran tingkat perubahan skor pretest dan skor posttest


selanjutnya dianalisis menggunakan uji satatistik non-parametric dengan
metode analisa the wilcoxon signed rank test melalui aplikasi IBM SPSS
versi 21. Penggunaan metode ini untuk mengetahui signifikansi perubahan
antara sebelum dan setelah pemberian intervensi (treatment).
Wilcoxon signed ranks test merupakan sebuah pengujian yang
dilakukan pada subyek yang sama (Kantowitz dalam Imro’atun, 2017).
Wilcoxon signed rank test digunakan untuk mengukur signifikansi
perberdaan rata-rata pada dua kelompok sampel yang berhubungan (Haris
& Hardin, 2013; Rong et al, 2015; Oyeka & Ebuh, 2015). Oleh Karena itu,
metode analisa the wilcoxon signed rank test dalam penelitian ini dapat
digunakan untuk mengetahui perbedaan signifikansi antara sebelum dan
setelah pemberian treatment pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skills) dengan model experiential learning pada siswa
SMP dengan menganalisis perbedaan hasil pretest dan posttest untuk
mengetahui tingkat perubahan pada sampel.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

4.1 Data Hasil Uji Lapangan Awal


Panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill)
dengan model experiential learning untuk siswa SMP telah diuji oleh ahli media,
ahli BK, dan uji calon pengguna untuk mengetahui akseptabilitas panduan.
Adapun hasil penilaian uji ahli sebagai berikut.
4.1.1 Data Hasil Uji Ahli Media
Data hasil penilaian produk yang dilakukan oleh ahli media yaitu
Dr. Anselmus JE Toenlioe, M.Pd sebagai ahli media 1 dan Dr. Henry
Praherdhiono, S.Si, M.Pd sebagi ahli media 2 diperoleh data secara
kuantitatif dan kualitatif.
4.1.1.1 Data kuantitatif
Data kuantitatif diperoleh melalui instrumen penilaian uji ahli
media yang mencakup aspek ketepatan, aspek kegunaan, dan aspek
kelayakan. Selain itu data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan
interrater agreement model (Gregory, 2013) untuk mengetahui validitas
suatu produk berdasarkan hasil indek uji ahli. Adapun hasil dari penilaian
ahli sebagai berikut.

75
76

Tabel 4.1 Hasil Penilaian Ahli Media


Skor
Kategori
No Item pernyataan Ahli Ahli
kesepakatan
1 2
Aspek ketepatan
1. Ketepatan warna yang digunakan sebagai latar sampul 4 4 D
2. Ketepatan gambar yang digunakan sebagai sampul 4 4 D
panduan
3. Ketepatan pemilihan jenis huruf (font) 4 4 D
4. Ketepatan pemilihan ukuran huruf (font size) 4 4 D
5. Ketepatan ukuran panduan 4 4 D
6. Ketepatan tata letak penyajian panduan 3 4 D
Aspek kegunaan
7. Kegunaan gambar pada sampul panduan 4 4 D
8. Kegunaan gambar pada isi buku panduan 4 4 D
9. Kegunaan pemilihan warna yang digunakan pada 3 4 D
sampul buku panduan
10. Kegunaan pemilihan warna yang digunakan pada 3 4 D
tulisan (font) dalam buku panduan
11. Kegunaan ukuran penulisan (font size) dalam panduan 4 4 D
12. Kegunaan tata letak penyajian panduan 4 4 D
Aspek kelayakan
13. Kelayakan warna yang digunakan sebagai latar sampul 3 4 D
14. Kelayakan tulisan pada sampul panduan 3 4 D
15. Kelayakan gambar pada sampul panduan 4 4 D
16. Kelayakan pemilihan jenis huruf (font) pada isi buku 4 3 D
panduan
17. Kelayakan pemilihan ukuran huruf (font size) 4 3 D
18. Kelayakan pemilihan warna pada tulisan (font) 3 4 D
19. Kelayakan gambar dengan subyek (siswa SMP) 4 4 D
20. Kelayakan tata letak penyajian panduan 4 4 D

Pada tabel 4.1 menunjukkan hasil penilaian produk yang memiliki


relevansi rendah dari ahli 1 dan 2 (A) = 0, item yang memiliki relevansi
tinggi dari ahli 1 dan relevansi rendah dari ahli 2 (B) = 0, item yang
memiliki relevansi rendah dari ahli 1 dan relevansi tinggi dari ahli 2 (C) =
0, dan item yang memiliki relevansi tinggi dari ahli 1 dan 2 (D) = 20,
selanjutnya proses analisis data sebagai berikut.
Pendapat ahli 1
Relevansi Relevansi
Rendah (1-2) Tinggi (3-4)
Pendapat Relevasi rendah (1-2) 0 0
ahli 2
Relevansi tinggi (3-4) 0 20

Gambar 4.1 Perhitungan Kesepakatan Uji Ahli Media


77

Adapun perhitungan indeksnya sebagai berikut.


D 20 20
= = = 1,00
A+B+C+D 0+0+0+20 20
Indeks uji ahli menunjukkan nilai 1,00 yang berarti memiliki
validasi yang sangat tinggi berdasarkan pada kesepakatan para ahli media.
Sedangkan hasil indek uji ahli pada aspek kegunaan sebesar 1,00 yang
memiliki kategori valitidas “sangat tinggi”, dan hasil indek uji ahli pada
aspek kelayakan sebesar 1,00 yang memiliki kategori validitas “ sangat
tinggi”. Berdasarkan hasil indek uji ahli menunjukan bahwa panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan
model experiential learning untuk siswa SMP layak digunakan oleh guru
BK.
4.1.1.2 Data kualitatif
Data kualitatif diperoleh berdasarkan penilaian ahli berupa catatan,
kritik atau saran perbaikan dari ahli media atas panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning untuk siswa SMP. Adapun hasil penilaian dari Dr.
Anselmus JE Toenlioe, M.Pd sebagai ahli 1 memberikan data kualitatif
sebagai berikut.
a. Terdapat pemenggalan kata yang kurang tepat.
b. Terdapat sistem penomoran yang kurang logis.
c. Terdapat penulisan judul yang kurang konsisten.
d. Terdapat pewarnaan yang kurang tajam.
Hasil penilaian dari Dr. Henry Praherdhiono, S.Si, M.Pd sebagai ahli 2
yaitu secara umum media valid dan layak untuk dijadikan bahan kajian
atau diimplementasikan pada tahap penelitian selanjutnya.
Data kualitatif yang diperoleh dari kedua ahli media kemudian
dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh dari
ahli 1 menunjukkan bahwa adanya penulisan yang kurang tepat, sistem
penomoran dan penulisan judul yang kurang konsisten, serta pemilihan
warna yang kurang tajam. Hal ini menunjukan adanya kekurangan pada
78

tata letak penyajian di dalam panduan, sehingga perlu perbaikan produk


untuk penyempurnaan produk sebelum diimplementasikan oleh guru BK.
Data kualitatif yang diperoleh dari ahli 2 menunjukkan tidak ada perbaikan
produk dan dapat diimplementasikan. Berdasarkan penilaian dari ahli 2
maka panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem
solving skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP layak
digunakan sebagai panduan bagi guru BK dalam memberikan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah.
4.1.2 Data Hasil Uji Ahli Bimbingan dan Konseling
Data hasil penilaian produk yang dilakukan oleh ahli BK yaitu Dr. Blasius
Boli Lasan, M.Pd sebagai ahli BK 1 dan Dr.M.Ramli, M.A sebagai ahli BK 2
diperoleh data secara kuantitatif dan kualitatif.
4.1.2.1 Data kuantitatif
Data kuantitatif diperoleh melalui instrumen penilaian uji ahli BK
yang mencakup aspek ketepatan, aspek kegunaan, dan aspek kelayakan.
Selain itu data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan interrater
agreement model (Gregory, 2013) untuk mengetahui validitas suatu
produk berdasarkan hasil indek uji ahli. Menurut Retnawati (2016) indeks
kesepakatan ahli (rater agreement) digunakan untuk mengetahui hasil
penilaian para ahli tentang validitas, baik untuk butir ataupun
perangkatnya. Adapun hasil dari penilaian ahli sebagai berikut.
79

Tabel 4.2 Hasil Penilaian Ahli BK


Skor
Kategori
No Item pernyataan Ahli Ahli
kesepakatan
1 2
Aspek ketepatan
1. Ketepatan tahapan concrete experience pada 4 2 B
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
2. Ketepatan tahapan reflective observation pada 4 3 D
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
3. Ketepatan tahapan abstract conceptualization pada 4 3 D
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
4. Ketepatan tahapan active experimentation pada 3 2 B
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
5. Ketepatan instrumen dalam pelatihan keterampilan 4 4 D
pemecahan masalah
6. Ketepatan tahapan bimbingan kelompok pada 4 4 D
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
Aspek kegunaan
7. Kegunaan panduan pelatihan keterampilan 4 3 D
pemecahan masalah dengan model experiential
learning untuk guru BK
8. Kegunaan lembar evaluasi pada setiap pertemuan 4 3 D
dalam pelatihan keterampilan pemecahan masalah
9. Kegunaan lembar tugas siswa pada setiap 4 3 D
pertemuan dalam pelatihan keterampilan
pemecahan masalah
Aspek kelayakan
10. Kelayakan tahapan concrete experience pada 4 2 B
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
11. Kelayakan tahapan reflective observation pada 4 3 D
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
12. Kelayakan tahapan abstract conceptualization 4 3 D
pada pelatihan keterampilan pemecahan masalah
13. Kelayakan tahapan active experimentation pada 3 2 B
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
14. Kelayakan prosedur experiential learning dalam 4 4 D
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
15. Kelayakan jadwal pelatihan yang digunakan pada 4 4 D
setiap sesi pertemuan

Pada tabel 4.2 menunjukkan hasil penilaian produk yang memiliki


relevansi rendah dari ahli 1 dan 2 (A) = 0, item yang memiliki relevansi
tinggi dari ahli 1 dan relevansi rendah dari ahli 2 (B) = 4, item yang
memiliki relevansi rendah dari ahli 1 dan relevansi tinggi dari ahli 2 (C) =
0, dan item yang memiliki relevansi tinggi dari ahli 1 dan 2 (D) = 11,
selanjutnya proses analisis data sebagai berikut.
80

Pendapat ahli 1

Relevansi Relevansi
Rendah (1-2) Tinggi (3-4)
Pendapat Relevasi rendah (1-2) 0 4
ahli 2
Relevansi tinggi (3-4) 0 11

Gambar 4.2 Perhitungan Kesepakatan Uji Ahli BK

Adapun perhitungan indeksnya sebagai berikut.


D 11 11
= = = 0,73
A+B+C+D 0+4+0+11 15
Penilaian secara keseluruhan dari kedua ahli BK diperoleh hasil
indek uji ahli sebesar 0,73 yang memiliki kategori validitas “tinggi”.
Sedangkan hasil indek uji ahli BK pada aspek ketepatan sebesar 0,66 yang
memiliki kategori validitas “tinggi”, sedangkan hasil indek uji ahli pada
aspek kegunaan sebesar 1,00 yang memiliki kategori valitidas “sangat
tinggi”, dan hasil indek uji ahli pada aspek kelayakan sebesar 0,66 yang
memiliki kategori validitas “tinggi”. Berdasarkan hasil indek uji ahli
menunjukan bahwa panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning untuk siswa
SMP layak digunakan oleh guru BK.
4.1.2.2 Data kualitatif
Data kualitatif diperoleh berdasarkan penilaian ahli berupa catatan,
kritik atau saran perbaikan dari ahli BK atas panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning untuk siswa SMP. Adapun hasil penilaian dari Dr.
Blasius Boli Lasan, M.Pd sebagai ahli BK 1 memberikan data kualitatif
sebagai berikut.
a. Pada tahap reflective observation perlu ditambah dengan ungkapan
siswa pada peristiwa yang dialami siswa.
b. Pada tahap active experimentation boleh dilakukan dengan simulasi
atau role play agar siswa lebih aktif bereksperimen.
81

Hasil penilaian dari Dr. M.Ramli, M.A sebagai ahli BK 2 memberikan


data kualitatif sebagai berikut.
a. Kegiatan siswa pada ketiga tahap hendaknya eksperimential bukan
membahas masalah orang lain.
b. Tujuan pada pertemuan kedua hendaknya berupa kata sifat bukan kata
kerja.
c. Pada tahap active experimentation hendaknya siswa melakukan
tindakan dalam menghadapi masalah.
Data kualitatif dari kedua ahli BK dianalisis secara deskriptif.
Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh dari ahli 1 pada poin pertama
menunjukkan bahwa pada tahap reflective observation perlu ditambah
dengan ungkapan siswa pada peristiwa yang dialami siswa, sehingga siswa
mampu mengungkapkan atau merefleksikan suatu peristiwa melalui
pengamatan secara mendalam terhadap masalah yang dialami. Pada poin
kedua pada tahap active experimentation hendaknya boleh dilakukan
dengan simulasi atau role play agar siswa lebih aktif bereksperimen. Pada
tahap ini siswa melakukan simulasi atau menerapkan rencana tindakan
dalam memecahkan masalah. Kegiatan simulasi dilakukan dengan harapan
siswa dapat melakukan evaluasi terhadap solusi yang telah dipilih untuk
memecahkan masalah.
Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh dari ahli 2 pada poin
pertama menunjukkan bahwa kegiatan siswa pada ketiga tahap yaitu pada
tahap concrete experience, tahap reflective observation, dan tahap abstract
conceptualization hendaknya eksperimential bukan membahas masalah
orang lain. Permasalahan yang dialami secara reliastis oleh siswa dapat
dijadikan sebagai bahan pelatihan siswa dalam memecahkan masalah,
sehingga siswa dapat merasakan, merefleksikan, memikirkan, dan
melakukan tindakan pemecahan masalah jika menghadapi masalah.
Pada poin kedua yakni tujuan yang dirumuskan hendaknya
merupakan kata sifat bukan kata kerja. Tujuan kegiatan dirumuskan
dengan harapan siswa dapat mencapai keberhasilan dari kegiatan yang
82

telah dilakukan. Oleh karena itu, tujuan kegiatan merupakan tolok ukur
untuk mencapai keberhasilan dari kegiatan yang telah dilakukan. Pada
poin ketiga yakni pada tahap active experimentation hendaknya siswa
melakukan tindakan dalam menghadapi masalah. Pada tahap ini, siswa
tidak hanya membuat perencanaan dalam memecahkan masalah, namun
siswa juga melakukan tindakan dalam memecahkan masalah. Hal ini
dilakukan agar siswa memiliki keterampilan pemecahan masalah. Oleh
karena itu, siswa dapat menghadapi dan memecahkan masalah meskipun
dalam kondisi yang sulit.
Berdasarkan data kualitatif kedua ahli BK terhadap penilaian
panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP memiliki
simpulan keberterimaan produk cukup baik, namun masih perlu diperbaiki
dan disempurnakan sesuai dengan saran yang diberikan. Oleh karena itu,
sesuai dengan hasil deskriptif data kuantitatif dan data kualitatif maka
panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP cukup layak
digunakan oleh guru BK dan perlu diperbaiki dan disempurnakan sesuai
saran yang diberikan.
4.1.3 Data Hasil Uji Calon Pengguna Produk
Uji lapangan juga dilakukan oleh dua guru BK sebagai calon pengguna
produk. Adapun subyek uji calon pengguna yaitu Anna Aisyiyah, S.Pd sebagai
calon pengguna 1 dan Selvandry Fitra Nurgianto, S.Pd sebagai calon pengguna 2.
Data yang diperoleh dari hasil uji lapangan utama yaitu data kuantitatif dan
kualitatif.
4.1.3.1 Data kuantitatif
Data kuantitatif diperoleh melalui instrumen penilaian uji calon
pengguna yang mencakup aspek ketepatan, aspek kegunaan, dan aspek
kelayakan. Selain itu data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan
interrater agreement model (Gregory, 2013) untuk mengetahui validitas
83

suatu produk berdasarkan hasil indek uji calon pengguna. Adapun hasil
dari penilaian calon pengguna sebagai berikut.
Tabel 4.3 Hasil Penilaian Calon Pengguna
Calon
Kategori
No Item pernyataan pengguna
kesepakatan
1 2
Aspek ketepatan
1. Ketepatan petunjuk pelaksanaan dalam panduan. 3 4 D
2. Ketepatan tujuan pelaksanaan dalam panduan 3 3 D
3. Ketepatan prosedur pelaksanaan dalam panduan 3 3 D
4. Ketepatan sasaran pelatihan dalam panduan 3 3 D
5. Ketepatan lembar evaluasi dalam panduan 4 4 D
6. Ketepatan tahapan experiential learning pada 4 4 D
pelatihan keterampilan pemecahan masalah
7. Ketepatan warna sebagai latar sampul 4 3 D
8. Ketepatan gambar pada sampul panduan 4 4 D
9. Ketepatan pemilihan jenis huruf (font) 4 3 D
10. Ketepatan pemilihan ukuran huruf (font size) 4 3 D
11. Ketepatan ukuran panduan 4 3 D
12. Ketepatan tata letak penyajian panduan 4 4 D
Aspek kegunaan
13. Kegunaan panduan pelatihan keterampilan 4 3 D
pemecahan masalah dengan model experiential
learning untuk guru BK
14. Kegunaan lembar evaluasi pada setiap pertemuan 4 4 D
dalam pelatihan keterampilan pemecahan
masalah
15. Kegunaan lembar tugas siswa pada setiap 4 3 D
pertemuan dalam pelatihan keterampilan
pemecahan masalah
16. Kegunaan lembar komitmen dalam pelatihan 4 4 D
17. Kegunaan skala keterampilan pemecahan 3 4 D
masalah
18. Kegunaan gambar pada sampul panduan 4 3 D
19. Kegunaan gambar pada isi buku panduan 3 3 D
20. Kegunaan pemilihan warna yang digunakan pada 3 3 D
sampul panduan
21. Kegunaan layout dalam panduan 3 3 D
Aspek kelayakan
22. Kelayakan isi BAB I 3 3 D
23. Kelayakan isi BAB II 3 4 D
24. Kelayakan isi BAB III 3 4 D
25. Kelayakan kaidah bahasa 4 3 D
26. Kelayaan jadwal kegiatan pelatihan 3 3 D
27. Kelayakan gambar dengan subyek (siswa SMP) 3 4 D
28. Kelayakan pemilihan warna 3 4 D
29. Kelayakan gambar pada sampul panduan 3 4 D
30. Kelayakan pemilihan ukuran huruf (font size) 4 4 D
84

Pada tabel 4.3 menunjukkan hasil penilaian produk yang memiliki


relevansi rendah dari ahli 1 dan 2 (A) = 0, item yang memiliki relevansi
tinggi dari ahli 1 dan relevansi rendah dari ahli 2 (B) = 0, item yang
memiliki relevansi rendah dari ahli 1 dan relevansi tinggi dari ahli 2 (C) =
0, dan item yang memiliki relevansi tinggi dari ahli 1 dan 2 (D) = 30,
selanjutnya proses analisi data sebagai berikut.
Pendapat ahli 1

Relevansi Relevansi
Rendah (1-2) Tinggi (3-4)
Pendapat Relevasi rendah (1-2) 0 0
ahli 2
Relevansi tinggi (3-4) 0 30

Gambar 4.3 Perhitungan Kesepakatan Uji Calon Pengguna

Adapun perhitungan indeksnya sebagai berikut.


D 30 30
= = = 1,00
A+B+C+D 0+0+0+30 30
Penilaian dari kedua calon pengguna diperoleh hasil indek uji calon
pengguna sebesar 1,00 yang memiliki kategori validitas “sangat tinggi”.
Sedangkan hasil indek uji calon pengguna pada aspek ketepatan sebesar
1,00 yang memiliki kategori validitas “ sangat tinggi”, sedangkan hasil
indek uji ahli pada aspek kegunaan sebesar 1,00 yang memiliki kategori
valitidas “sangat tinggi”, dan hasil indek uji ahli pada aspek kelayakan
sebesar 1,00 yang memiliki kategori validitas “ sangat tinggi”.
Berdasarkan hasil indek uji calon pengguna menunjukan bahwa panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan
model experiential learning untuk siswa SMP layak digunakan oleh guru
BK.
4.1.3.2 Data kualitatif
Data kualitatif diperoleh berdasarkan penilaian calon pengguna
berupa catatan, kritik atau saran perbaikan dari calon pengguna atas
panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP. Adapun hasil
85

penilaian dari Anna Aisyiyah, S.Pd sebagai calon pengguna 1 memberikan


data kualitatif yaitu panduan ini bisa segera diuji coba di sekolah dan bisa
diterapkan, sedangkan hasil penilaian dari Selvandry Fitra Nurgianto, S.Pd
sebagai calon pengguna 2 yaitu font size pada halaman 23-32 lebih baik
diperbesar agar mudah terbaca serta bahasa yang digunakan sudah cukup
mudah untuk dipahami.
Data kualitatif yang diperoleh dari kedua calon pengguna
kemudian dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan data kualitatif yang
diperoleh dari calon pengguna 1 menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan
produk dan dapat diuji cobakan ke tahap selanjutnya. Data kualitatif yang
diperoleh dari calon pengguna 2 menunjukkan adanya penulisan yang
kurang sesuai yaitu pada ukuran huruf (font size) yang terlalu kecil. Hal ini
menunjukan adanya kekurangan pada penulisan di dalam panduan,
sehingga perlu perbaikan produk untuk penyempurnaan produk sebelum
diimplementasikan oleh guru BK. Berdasarkan penilaian dari kedua calon
pengguna produk, maka panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning untuk
siswa SMP cukup layak digunakan oleh guru BK dan perlu diperbaiki dan
disempurnakan sesuai saran yang diberikan.
4.2 Revisi Produk Utama
Revisi produk dilakukan sesuai dengan catatan dan saran perbaikan dari
ahli Media dan ahli BK. Revisi produk dari ahli media terkait penulisan yang
kurang tepat, sistem penomoran dan penulisan judul yang kurang konsisten, serta
pemilihan warna yang kurang tajam. Revisi dilakukan berdasarkan saran
perbaikan dari ahli media yaitu Dr. Anselmus JE Toenlioe, M.Pd sebagai ahli
media 1. Revisi dilakukan dengan memperbaiki penulisan yang kurang tepat,
menggati sistem penomoran dalam skenario pelatihan pada pertemuan 1-8 dimulai
dari halaman 33 dalam panduan. Revisi pemilihan warna yang tajam agar mudah
terbaca dan pemberian warna secara konsisten pada setiap Bab yaitu Bab 1
berwarna hitam, sub Bab berwarna merah, sub dalam sub Bab berwarna hijau.
86

Revisi penulisan judul diperbaiki menjadi tiga baris agar terlihat jelas dan tidak
terlalu panjang.
Ahli media 2 yaitu Dr. Henry Praherdhiono, M.Pd tidak memberikan saran
perbaikan, namun lebih mengarahkan pada kelayakan media untuk dijadikan
bahan kajian atau diimplementasikan pada tahap penelitian selanjutnya.
Berdasarkan saran dari ahli 2 maka panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning untuk siswa
SMP layak digunakan oleh guru BK.
Revisi produk dari ahli BK berkaitan dengan tahapan experiential learning
yaitu pada tahap concrete experience, reflective observation, active
experimentation dalam panduan. Revisi dilakukan berdasarkan saran perbaikan
dari ahli BK 1 yaitu Dr. Blasius Boli Lasan, M.Pd dan telah diperbaiki dengan
menambahkan beberapa kegiatan dalam setiap tahapan. Adapun revisi yang
dilakukan yaitu menambahkan kegiatan “bagaimana ungkapan hasil pengamatan
Anda terhadap masalah tersebut?” pada tahapan reflective observation,
menambahkan kegiatan “siswa mencoba atau mensimulasikan solusi pemecahan
masalah yang diamali” dalam tahap active experimentation.
Revisi produk dari ahli BK 2 terkait dengan materi pelatihan, tujuan
pelatihan pada pertemuan ke-1, dan tahap active experimentation dalam panduan.
Revisi produk dilakukan berdasarkan saran perbaikan dari ahli BK 2 yaitu Dr.
M.Ramli, M.A dan telah diperbaiki dengan merubah materi pelatihan menjadi
materi yang membahas masalah nyata yang dialami siswa pada bidang pribadi,
sosial, belajar, dan karir. Revisi tujuan pelatihan pada pertemuan ke-1 menjadi
“terjalin hubungan baik antara guru BK dengan siswa agar siswa merasa nyaman
dalam mengikuti pelatihan”. Revisi pada tahap active experimentation
menambahkan kegiatan “siswa merencanakan tindakan pemecahan masalah” dan
“siswa mencoba atau mensimulasikan solusi pemecahan masalah”.
Revisi produk dari calon pengguna ditinjauu dari segi akseptabilitas
produk sesuai dengan kondisi di lapangan. Revisi produk dilakukan berdasarkan
saran perbaikan dari calon pengguna 1 yaitu Anna Aisyiyah, S.Pd tidak
memberikan saran atau kritik perbaikan dan memberikan catatan bahwa produk
87

layak untuk digunakan oleh guru BK. Calon pengguna 2 yaitu Selvandry Fitra
Nurgianto, S.Pd memberikan saran perbaikan untuk memperbesar font size pada
halaman 23-32 agar mudah terbaca dan telah dilakukan perbaikan sesuai saran
dari calon pengguna 2. Berdasarkan saran perbaikan dari calon pengguna, peneliti
melakukan revisi produk pada penulisan dalam panduan yaitu denngan
memperbesar ukuran penulisan (font size) agar mudah terbaca.
Adapun catatan dan saran perbaikan dari ahli Media, ahli BK, dan calon
pengguna produk disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
Tabel 4.4
Catatan dan Saran Perbaikan Produk dari Penilaian Ahli Media

No Ahli Media 1 Ahli Media 2


Sebelum diperbaiki
1. Terdapat pemenggalan kata yang Secara umum media valid dan layak untuk
kurang tepat. dijadikan bahan kajian atau
2. Terdapat sistem penomoran yang diimplementasikan pada tahap penelitian
kurang logis. selanjutnya
3. Terdapat penulisan judul yang kurang
konsisten.
4. Terdapat pewarnaan yang kurang tajam
Setelah diperbaiki
1. Melakukan pengecekan dan perbaikan Melakukan pengujian produk pada tahap
penulisan. selanjutnya.
2. Memperbaiki system penomoran sesuai
dengan standar penulisan karya ilmiah.
3. Melakukan pengecekan dan perbaikan
penulisan.
4. Melakukan pengecekan dan melakukan
pemilihan warna yang lebih cerah.
88

Tabel 4.5
Catatan dan Saran Perbaikan Produk dari Penilaian Ahli BK

No Ahli BK 1 Ahli BK 2
Sebelum diperbaiki
1. Tahap kedua yakni reflective Kegiatan siswa pada ketiga tahap
observation perlu ditambah hendaknya eksperimential bukan
dengan ungkapan siswa pada membahas masalah orang lain. (materi
peristiwa yang dialami siswa. yang digunakan berasal dari berita online,
koran, dan media sosial)
2. Pada tahap active Tujuan pada pertemuan kedua hendaknya
experimentation boleh berupa kata sifat bukan kata
dilakukan dengan simulasi kerja.(menciptakan hubungan baik antara
atau role play agar siswa guru BK dan siswa)
lebih aktif bereksperimen
3. - Pada tahap active experimentation
hendaknya siswa melakukan tindakan
dalam menghadapi masalah.
Setelah diperbaiki
1. Melakukan perbaikan dengan Materi yang digunakan dalam pelatihan
menambahkan kegiatan pada mengacu pada masalah yang dimiliki siswa
tahap reflective observation berdasarkan data yang diperoleh dari guru
yaitu siswa mengungkapkan BK.
hasil pengamatan terhadap
masalah yang dihadapi.
2. Melakukan perbaikan dengan Memperbaiki kalimat menjadi “terjalin
menambahkan kegiatan hubungan baik antara guru BK dan siswa”
active experimentation yaitu
siswa mencoba atau
mensimulasikan solusi
pemecahan masalah.
3. - Pada tahap active experimentation
menambahkan kegiatan siswa
merencanakan tindakan pemecahan
masalah.

Tabel 4.6
Catatan dan Saran Perbaikan Produk dari Penilaian Calon Pengguna

No Calon Penggguna 1 Calon Penggguna 2


Sebelum diperbaiki
1. Produk layak untuk font size pada halaman 23-32 diperbesar.
digunakan dalam pemberian
layanan bimbingan dan
konseling
Setelah diperbaiki
1. Melakukan pengujian Melakukan perbaikan dengan
produk pada tahap memperbesar font size
selanjutnya.
89

4.3 Uji Lapangan Utama


4.3.1 Data Hasil Uji Coba Kelompok Kecil
Uji coba kelompok kecil dilakukan dengan menggunakan model one
group pretetst posttest design. Uji coba kelompok kecil dilakukan dengan
memilih siswa yang memiliki tingkat keterampilan pemecahan masalah yang
rendah dengan penentuan subyek dilakukan dengan menggunakan non-parametric
purposive sampling berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Uji coba
kelompok kecil dilakukan dengan layanan bimbingan kelompok. Adapun siswa
yang terpilih dalam uji coba kelompok kecil ada 9 siswa yaitu DA, LA, MA, SP,
KN, AJ, NP, HN, dan FC. Siswa yang telah terpilih dalam uji coba kelompok
kecil memiliki skor pretest sebagai berikut.
Tabel 4.7 Hasil Pretest Uji Coba Kelompok Kecil
No Nama Skor
1. DA 73
2. LA 68
3. MA 72
4. SP 73
5. KN 72
6. AJ 72
7. NP 72
8. HN 71
9. FC 73
JUMLAH 646
MEAN 71,77

Berdasarkan hasil pretest uji coba kelompok kecil diperoleh mean


sebesar 71,77 dan memiliki nilai terendah sebesar 68 dan nilai tertinggi sebesar
73. Kegiatan pretest dilaksanakan pada pertemuan ke-1 pada hari Rabu, 7 Agustus
2019. Pemberian treatment diberikan setelah dilaksanakannya pretest. Treatment
yang digunakan berupa pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan model
experiential learning. Setelah treatment dilaksanakan maka dilakukan pemberian
posttest pada uji coba kelompok kecil pada hari Kamis, 29 Agustus 2019. Adapun
hasil posttest uji coba kelompok kecil sebagai berikut.
90

Tabel 4.8 Hasil Posttest Uji Coba Kelompok Kecil


No Nama Skor
1. DA 112
2. LA 106
3. MA 99
4. SP 108
5. KN 111
6. AJ 108
7. NP 118
8. HN 106
9. FC 108
JUMLAH 976
MEAN 108,44

Berdasarkan hasil pretest uji coba kelompok kecil diperoleh mean sebesar
108,44 dan memiliki nilai terendah sebesar 99 dan nilai tertinggi sebesar 118.
Berdasarkan hasil posttest pada uji coba kelompok kecil menunjukkan adanya
perbedaan dari hasil pretest pada uji coba kelompok kecil. Perbedaan tersebut
menunjukkan adanya peningkatan skor posttest pada masing-masing siswa.
Adapun perbedaan hasil pretest dan posttest sebagai berikut.

Hasil Pretest dan Posttest


120

100

80

60

40

20

0
DA LA MA SP KN AJ NP HN FC

Pretest Postest

Gambar 4.4 Diagram Frekuensi Skor Pretest dan Postest

Berdasarkan hasil skor pretest dan posttest terdapat perbedaan yang


signifikan setelah pemberian treatment. Adapun tingkat perubahan yang terjadi
setelah pemberian treatment sebagai berikut.
91

Tabel 4.9 Tingkat Perubahan Pretest dan Posttest


No Nama Skor Skor Persentase
pretest posttest Perubahan
1. DA 73 112 43,68 %
2. LA 68 106 40,28 %
3. MA 72 99 26,73 %
4. SP 73 108 37,80 %
5. KN 72 111 43,29 %
6. AJ 72 108 38,88 %
7. NP 72 118 54,28 %
8. HN 71 106 37,10 %
9. FC 73 108 37,80 %

Selisih dari hasil pretest dan posttest menunjukkan adanya pengaruh yang
diberikan dari pemberian treatment. Pada tabel di atas menunjukkan ada tingkat
perubahan yang dialami oleh masing-masing siswa. Hal ini menunjukkan bahwa
pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential learning
dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah. Data hasil skor pretest dan
posttest yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis menggunakan uji statistik
non-parametric dengan metode analisa the wilcoxon signed rank test melalui
aplikasi IBM SPSS versi 21. Penggunaan metode ini untuk mengetahui
signifikansi perubahan antara sebelum dan setelah pemberian intervensi
(treatment). Adapun hasil uji the wilcoxon signed rank test sebagai berikut.
92

Tabel 4.10 Hasil Uji the Wilcoxon Signed Rank Test

Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Negative Ranks 0a .00 .00

Positive Ranks 9b 5.00 45.00


posttest - pretest
Ties 0c

Total 9

a. posttest < pretest


b. posttest > pretest
c. posttest = pretest

Test Statisticsa
posttest - pretest

Z -2.677b
Asymp. Sig. (2-tailed) .007
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.

Berdasarkan tabel di atas, interpretasi hasil uji the wilcoxon signed rank test
sebagai berikut.
a. Negative ranks atau selisih negatif antara hasil keterampilan pemecahan
masalah untuk pretest dan posttest adalah 0, dan nilai pada N, Mean Ranks,
dan Sum Ranks adalah 0. Nilai 0 memiliki arti bahwa tidak adanya penurunan
yang terjadi dari skor pretest dengan skor posttest.
b. Positive ranks atau selisih positif antara hasil pretest dengan posttest. Terdapat
9 data positif yang artinya 9 siswa mengalami peningkatan keterampilan
pemecahan masalah dari skor pretest dengan skor posttest. Rata-rata
peningkatan (mean ranks) adalah 5,00 sedangkan jumlah rangking positif
(sum ranks) adalah 45,00.
c. Ties merupakan kesamaan nilai pretest dengan nilai posttest. Nilai ties
menunjukkan 0 yang memiliki arti bahwa tidak ada skor yang sama antara
skor pretest dengan skor posttest.
93

d. Pada tabel test statistics di atas memiliki nilai Asymp sig (2-tailed) sebesar
0,007. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara hasil
keterampilan pemecahan masalah untuk pretest dan posttest, karena nilai
Asymp sig (2-tailed) lebih kecil dari 0,05. Berdasarkan hal tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor pretest
dan skor posttest setelah pemberian pelatihan.
Berdasarkan hasil uji Wilcoxon, adanya selisih hasil pretest dan posttest
menunjukkan dampak yang diberikan dari pemberian treatment pelatihan
keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential learning pada siswa.
Pada tabel 4.10 menunjukkan adanya perubahan peningkatkan skor pretest dan
skor posttest yang dialami oleh masing-masing siswa, sehingga penggunaan
model experiential learning dapat membantu siswa dalam pelatihan keterampilan
pemecahan masalah yang dimilikinya.
Pengujian Wilcoxon pada tahap ini memberikan gambaran kelayakan
produk dalam implementasi produk terhadap sasaran pelatihan, sehingga produk
yang dikembangkan layak digunakan oleh guru BK dalam memberikan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah pada siswa.
BAB V
KAJIAN DAN SARAN

5.1 Kajian Hasil Uji Lapangan


Penelitian dan pengembangan panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning memberikan
hasil berupa produk panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP.
Produk panduan yang dikembangkan telah memenuhi syarat keberterimaan
produk. Produk panduan juga telah tervalidasi secara teoritis sesuai dengan hasil
uji lapangan. Kajian hasil uji lapangan terdiri dari kajian berdasarkan hasil uji ahli
media, ahli BK, calon pengguna, dan uji kelompok kecil. Penilaian dari uji
lapangan dilakukan agar produk yang dikembangkan memiliki nilai ketepatan,
kegunaan, dan kelayakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darmayanti &
Haifaturrahmah (2019) bahwa validasi panduan yang dilakukan oleh ahli
bertujuan untuk memberikan penilaian dan menentukan kelayakan dari panduan
yang telah dikembangkan.
Adapun kajian yang dilakukan oleh ahli media mencakup aspek ketepatan,
kegunaan, kelayakan produk sebagai panduan bagi guru BK. Bahan ajar atau
panduan yang digunakan dalam pembelajaran diharapkan memiliki kualitas yang
baik karena panduan yang digunakan dalam proses pembelajaran dapat
mempengaruhi kualitas guru dan kualitas siswa dalam proses pelaksanaanya
(Kantun & Budiawati, 2015). Oleh karena itu, peneliti melakukan penilaian ahli
media sehingga produk memiliki kualitas dari aspek ketepatan, kegunaan,
kelayakan produk dan dapat digunakan oleh guru BK.
Penilaian produk dilakukan menggunakan instrumen penilaian dengan
mengacu pada kriteria keberterimaan produk. Instrumen penilaian terdiri dari
beberapa indikator penilaian sesuai dengan standar penilaian BSNP (2006)
mengenai komponen kegrafikan yang terdiri dari kulit buku, isi buku,
keterbacaan, kualitas cetakan, dan kekuatan fisik buku (kertas isi, bahan sampul,
dan sistem penjilidan). Penilaian panduan di dalam penelitian ini bertujuan untuk

94
95

mengetahui ketepatan produk sebagai panduan yang akan digunakan guru BK


dalam memberikan pelatihan keterampilan pemecahan masalah pada siswa SMP,
kegunaan produk sebagai panduan yang memiliki kebermanfaatan bagi guru BK,
dan kelayakan produk sebagai produk yang akan diimplemetasikan di lapangan.
Penilaian panduan dilakukan pada tiap aspek keberterimaan produk.
Penilaian pada aspek ketepatan yang diberikan memiliki nilai validasi sangat
tinggi karena panduan yang dikembangkan memenuhi kriteria kegrafikan.
Panduan memiliki ukuran B5 sesai dengan standar ISO (BSNP, 2014) dengan
bahan sampul artpaper glossy yang menunjukkan kualitas cetakan dan kekuatan
fisik buku, sehingga panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning memenuhi syarat
dalam aspek ketepatan produk.
Penilaian panduan pada aspek kegunaan yang diberikan oleh ahli media
memiliki nilai validasi sangat tinggi karena panduan merupakan media
pembelajaran yang memiliki nilai kegunaan bagi guru BK maupun siswa. Hal ini
sesuai dengan hasil temuan Sari & Suswanto (2017) bahwa media pembelajaran
(bahan, alat, setiap orang, atau peristiwa) dapat digunakan sebagai sumber belajar
yang dapat membantu siswa dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan
siswa dapat menerima pengetahuan dan keterampilan, sehingga panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning memenuhi syarat dalam aspek kegunaan produk.
Penilaian panduan pada aspek kelayakan yang diberikan oleh ahli media
memiliki nilai validasi sangat tinggi karena produk yang dikembangkan memiliki
kelayakan isi dan penyajian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harahap dkk
(2019) bahwa penilaian produk berdasarkan BSNP mengacu pada kelayakan isi,
bahasa, penyajian, dan kegrafikan, sehingga panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning
memenuhi syarat dalam aspek kelayakan produk.
Berdasarkan hasil penilaian panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning yang
dilakukan oleh kedua ahli media maka dapat disimpulkan bahwa panduan yang
96

dikembangkan memenuhi kriteria keberterimaan pada aspek ketepatan, aspek


kegunaan, dan aspek kelayakan produk. Pada penilaian panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning untuk siswa SMP terdapat beberapa saran perbaikan yang
diberikan oleh kedua ahli.
Adapun saran perbaikan panduan yaitu terdapat pemenggalan kata yang
kurang tepat, sistem penomoran yang kurang logis, penulisan judul yang kurang
konsisten, pewarnaan yang kurang tajam. Sesuai dengan pendapat Arsyad (2014)
bahwa media pengajaran berupa cetakan (buku teks, panduan, jurnal, dan majalah)
memiliki enam komponen yaitu konsistensi, format, orgnanisasi, daya tarik,
ukuran huruf, penggunaan spasi kosong. Komponen yang terdapat dalam panduan
digunakan untuk mempermudah dalam memahami isi panduan. Saran yang ajukan
ahli mengenai pemenggalan kata yang kurang tepat, sistem penomoran yang
kurang logis sesuai dengan penilaian BSNP (2006) tentang komponen kebahasaan
yang terdapat dalam panduan terkait dengan penggunaan istilah dan
simbol/lambang yang digunakan untuk mempertegas isi panduan. Saran perbaikan
panduan dari ahli media digunakan sebagai acuan bagi peneliti untuk melakukan
revisi atau perbaikan produk guna menyempurnakan produk sebelum melakukan
uji lapangan utama.
Penilaian produk juga dilakukan oleh ahli BK. Penilaian panduan dilakukan
pada tiap aspek keberterimaan produk telah memenuhi syarat dalam aspek
ketepatan produk. Penilaian pada aspek ketepatan yang diberikan oleh ahli BK
memiliki nilai validasi tinggi karena tahapan experiential learning yang
digunakan dalam pelatihan ini tersusun secara berkesinambungan dengan tahapan
keterampilan pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dernova
(2015) bahwa model experiential learning menyajikan dua proses pengalaman
yang saling berhubungan yaitu pengalaman konkret dan konseptualisasi abstrak
dan dua mode terkait transformasi pengalaman yaitu observasi reflektif dan
eksperimentasi aktif. Proses ini mencakup pengetahuan yang merupakan konsep,
fakta dan informasi yang diperoleh dalam pendidikan formal dan pengalaman
sebelumnya, serta adanya analisis pengetahuan yang mampu menciptakan
97

pengalaman baru. Sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman baru sesuai


dengan tahapan ISOLVE pada model experiential learning.
Penilaian panduan pada aspek kegunaan yang diberikan oleh ahli BK
memiliki nilai validasi tinggi, sehingga panduan pelatihan keterampilan
pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning
memenuhi syarat dalam aspek kegunaan produk. Hal ini sesuai dengan bahwa
pernyataan Jonassen (dalam Yaumi, 2012) bahwa keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) merupakan bagian penting yang dapat diajarkan
atau dilatihkan di sekolah. Sehingga panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning memiliki nilai
guna bagi guru BK dan siswa.
Penilaian panduan pada aspek kelayakan yang diberikan oleh ahli BK
memiliki nilai validasi tinggi karena panduan yang dikembangkan memenuhi
kelayakan pada prosedur pelatihan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Adam
(dalam Barida, 2015) bahwa model experiential learning menyediakan prosedur
dan arah pembelajaran yang tepat sehingga siswa dapat menerapkan pengalaman
yang diperoleh pada waktu atau konteks yang tepat. Sehingga panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning memenuhi syarat dalam aspek kelayakan produk.
Berdasarkan hasil penilaian panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning yang
dilakukan oleh kedua ahli BK maka dapat disimpulkan bahwa panduan yang
dikembangkan memenuhi kriteria keberterimaan pada aspek ketepatan, aspek
kegunaan, dan aspek kelayakan produk. Pada penilaian panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning untuk siswa SMP terdapat beberapa saran perbaikan yang
diberikan oleh kedua ahli.
Berdasarkan saran perbaikan yang berikan oleh kedua ahli yaitu kegiatan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential learning
menggunakan materi pelatihan yang berdasarkan pada masalah siswa bukan
membahas masalah orang lain agar kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
98

prosedur experiential learning yaitu menggunakan pengalaman nyata sebagai


sumber belajar siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bound (dalam Dernova,
2015) pengalaman yang dimiliki oleh siswa merupakan stimulus untuk belajar,
sehingga siswa secara aktif dapat membangun pengalaman mereka sendiri.
Pada tahap reflective observation ditambahkan ungkapan siswa terhadap
peristiwa yang terjadi. Penambahan kegiatan pada tahap ini bertujuan agar siswa
dapat memberikan gambaran tentang masalah yang dihadapi secara realistis.
Masalah yang dihadapi siswa merupakan pengalaman yang dialami siswa secara
realistis sehingga perlu adanya penggambaran mengenai masalah tersebut pada
tahap ini sehingga siswa mampu mengungkapkan atau merefleksikan suatu
peristiwa melalui pengamatan secara mendalam terhadap apa yang menjadi
masalahnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Matsuo (2015) tahapan dalam
model experiential learning dapat mengkopseptualisasikan pembelajaran
pengalaman sebagai “peristiwa” yang dikombinasikan dengan “pelajaran”. Hal
tersebut dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk mengetahui hubungan
antara keterampilan dan pengetahuan individu dengan sebuah pengalaman yang
dimilikinya.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap reflective observation melatih
kemampuan siswa dalam berpikir karena pada tahap ini siswa mampu
mengungkapkan atau merefleksikan suatu peristiwa melalui pengamatan secara
mendalam. Pendapat lain dari Mavodza (2017) bahwa tahapan experiential
learning dapat digunakan dalam desain pembelajaran sebagai dasar
pengembangan kognitif. Hal ini sesuai dengan temuan Purwaningrum (2013)
bahwa experiential learning memiliki tahapan yang berkesinambungan sehingga
memiliki aspek merasakan, menggambarkan, berpikir, dan melakukan.
Berdasarkan hasil uji ahli BK, pada tahap active experimentation
hendaknya siswa melakukan tindakan dalam menghadapi masalah. Pada tahap ini,
siswa tidak hanya membuat perencanaan dalam memecahkan masalah, namun
siswa juga melakukan tindakan dalam memecahkan masalah. Hal ini dilakukan
agar siswa memiliki keterampilan pemecahan masalah. Oleh karena itu, siswa
dapat menghadapi dan memecahkan masalah meskipun dalam kondisi yang sulit.
99

Sesuai dengan hasil penelitian Illeris (2007) dalam experiential learning terdapat
tiga dimensi pembelajaran yaitu dimensi pengetahuan (mencakup pemahaman,
keterampilan, kemampuan, dan sikap), dimensi insentif emosi (mencakup
perasaan, motivasi, dan minat) dan dimensi interaksi sosial (mencakup
komunikasi dan kerjasama) sehingga siswa tidak hanya melakukan pengamatan
terhadap suatu peristiwa namun juga merefleksikan suatu peristiwa sebagai bentuk
emosi terhadap peristiwa yang telah dialami dalam konsep baru, serta menerapkan
atau mengaplikasikan konsep baru tersebut ke dalam kehidupan sosial. Model
experiential learning digunakan dalam pelatihan keterampilan pemecahan
masalah karena di dalam tahapan experiential learning telah mencakup tahapan
dalam pelatihan keterampilan pemecahan masalah.
Penilaian produk juga dilakukan oleh dua guru BK sebagai calon pengguna
produk. Berdasarkan hasil penilaian panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning yang
dilakukan oleh kedua calon pengguna panduan maka dapat disimpulkan bahwa
panduan yang dikembangkan memenuhi kriteria keberterimaan pada aspek
ketepatan, aspek kegunaan, dan aspek kelayakan produk. Calon pengguna
panduan memberikan saran perbaikan pada tata tulis yaitu memperbesar font size
yang terdapat pada halaman 23-32 dan menyatakan bahwa panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning dapat gunakan dan diimplementasikan di sekolah. Saran
perbaikan dari calon pengguna sesuai dengan pernyataan Arsyad (2014) bahwa
komponen ukuran huruf pada panduan yang disesuaikan dengan pengguna
panduan.
Berdasarkan uji calon pengguna menunjukkan bahwa panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential learning telah
memenuhi kriteria keberterimaan produk yang mencakup ketepatan, kegunan dan
kelayakan. Berdasarkan penilaian tersebut dapat disimpulkan bahwa panduan
pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan model experiential learning
dapat digunakan karena telah memenuhi kriteria keberterimaan produk.
100

Uji coba kelompok kecil dilakukan dengan menggunakan model one group
pretetst posttest design dengan melibatkan sembilan siswa sebagai subyek uji
kelompok kecil. Pemilihan sampel menggunakan teknik nonparametric purposive
sampling karena teknik yang tidak memberi peluang/kesempatan yang sama bagi
setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono,
2016). Alasan pemilihan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling
adalah karena tidak semua sampel memiliki kriteria sesuai dengan yang telah
ditentukan, oleh karena itu penggunaan teknik purposive sampling dengan
menetapkan pertimbangan atau kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh sampel
yang digunakan dalam penelitian ini. Sampel yang digunakan dalam uji kelompok
kecil yaitu siswa yang memiliki keterampilan pemecahan masalah rendah. Hal ini
sesuai hasil penelitian Roesler (2015) bahwa siswa yang hanya memiliki salah
satu atau beberapa kemampuan dalam keterampilan pemecahan masalah mereka
cenderung kesulitan dalam memecahkan masalah.
Jumlah sampel dalam uji kelompok kecil yaitu 9 siswa. Hal ini sesuai
dengan Sadiman (2005) bahwa jumlah subyek uji coba kelompok kecil sebanyak
9-20 siswa. Pemberian layanan bimbingan kelompok dengan jumlah kecil (small
group guidance) melibatkan peserta didik dengan jumlah anggota kelompok kecil
sebesar 2-10 anggota (Yusuf, 2017). Uji coba kelompok kecil dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui perbedaan pretest dan posttest setelah diberikannya
treatment.
Berdasarkan hasil uji coba kelompok kecil yang telah dilakukan diperoleh
hasil bahwa terdapat peningkatan keterampilan pemecahan masalah dari skor
pretest dengan skor posttest serta adanya pengaruh penggunaan model
experiential learning terhadap keterampilan pemecahan masalah siswa. Hal ini
sesuai dengan hasil temuan Sutirman dkk (2017) bahwa experiential learning
dapat mempengaruhi siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan
mengaplikasikan keterampilan dalam situasi yang baru. Sesuai dengan hasil
temuan Wijayanti (dalam Riskiyah, 2014) bahwa pelatihan dengan model
experiential learning memiliki pengaruh terhadap keterampilan dasar peserta
101

pelatihan. Oleh karena itu, model experiential learning dapat digunakan dalam
pelaksanaan pelatihan keterampilan pemecahan masalah.
Perbedaan skor pretest dan posttest diperoleh dari uji Wilcoxon. Menurut
Wiedermann & Eye (2013) Uji Wilcoxon digunakan untuk mendeteksi perbedaan
nyata di antara sampel dan dapat digunakan untuk menguji perbedaan pada
sampel, tingkat korelasi antara kelompok, berbagai ukuran sampel, dan tingkat
distribusi data. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Benavoli et al (2014) bahwa
wilcoxon signed rank test merupakan prosedur statistik nonparametrik yang
digunakan untuk menganalisis perbedaan pada tiap sampel.
Berdasarkan uji kelompok kecil yang telah dilakukan pada delapan kali
pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan dengan kegiatan perkenalan antara guru
BK dan anggota pelatihan. Kegiatan tersebut dilakukan untuk membangun
rapport antara guru BK dengan setiap angggota pelatihan. Pada pertemuan
pertama guru BK memberikan skala keterampilan pemecahan masalah untuk
mengetahui skor pretest sebelum dilaksanakannya kegiatan pelatihan serta guru
BK memberikan lembar kesedianan untuk mengikuti pelatihan dan aturan yang
harus disepakati bersama selama melaksanakan pelatihan.
Materi yang digunakan dalam pelatihan keterampilan pemecahan masalah
menggunakan masalah yang dialami siswa di sekolah sesuai dengan hasil
wawancara dengan guru BK. Masalah yang dialami siswa digunakan sebagai
materi kasus dalam pelatihan ini karena siswa dapat mengobservasi serta
merefleksikan peristiwa yang telah terjadi di lingkungan sekolah. Materi
kasus/permasalahan yang digunakan oleh peneliti mencakup permasalahan yang
terjadi dalam bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir. Adapun materi kasus dalam
penelitian meliputi “dilarang merokok di sekolah, siswa menantang guru”,
“perundungan”, “siswa bakar piagam karena gagal masuk sekolah negeri”,
“dilema pemilihan studi lanjut”, “maraknya perilaku membolos pada siswa SMP”,
dan “perkelahian antar siswa”.
Berdasarkan kajian hasil uji lapangan awal dan uji lapangan utama yang
telah dilaksanakan maka produk yang dihasilkan berupa panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
102

experiential learning untuk siswa SMP yang memiliki kriteria keberterimaan


produk, sehingga panduan tersebut dapat digunakan oleh guru BK dalam
memberikan pelatihan keterampilan pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Dewey (dalam Rahayu, 2019) bahwa sekolah merupakan sarana bagi
individu untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah untuk
memecahkan masalah pada kehidupan nyata. Kajian hasil produk yang telah
dikembangkan peneliti sesuai perencanaan pembuatan produk. Produk yang
dikembangkan berdasarkan perencanaan pembuatan produk melalui pengkajian
format dan isi panduan.
Hasil pengkajian format panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning dimulai
dengan menentukan ukuran panduan, warna, serta gambar terkait keterampilan
pemecahan masalah sesuai dengan komponen kegrafikan sesuai standar penilaian
BSNP (2006) terdiri dari ukuran buku, bagian kulit buku, dan bagian isi buku.
Panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill)
dengan model experiential learning memiliki ukuran 18,2 cm x 25,7 cm (B5)
sesuai dengan standar ISO ukuran panduan dan pemilihan bahan mengunakan
kertas HVS 70gsm sebagai bagian isi panduan, sedangkan bagian sampul
menggunakan kerta artpaper glossy 120gsm. Pada sampul panduan memiliki
warna dasar orange dan layout pada isi panduan berwarna coklat. Menurut
Kuswanto (2017) terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam proses
desain di antaranya adalah layout, composition dan color.
Pada sampul terdapat gambar seseorang yang berada pada lima
persimpangan jalan. Hal ini menunjukkan individu yang dihadapkan dalam
masalah dan berada pada berbagai solusi pemecahan masalah, sehingga individu
tersebut diharapkan dapat menentukan solusi pemecahan masalah yang tepat. Hal
ini sesuai dengan pernyataan dari ahli media yang menyebutkan bahwa gambar
pada sampul harus mencerminkan isi panduan.
Pengkajian isi panduan terdiri dari tiga Bab isi yaitu pendahuluan, petunjuk
pelaksanaan, prosedur pelaksanaan. Permendikbud nomor 8 tahun 2016 tentang
buku yang digunakan oleh satuan pendidikan terdiri dari 3 bagian yaitu bagian
103

awal, bagian isi dan bagian akhir. Pada Bab I terdapat pendahuluan dalam
panduan yang membahas terkait rasional dan tujuan. Rasional menjelaskan
pentingnya penyusunan panduan pelatihan ketarampilan pemecahan masalah
(problem solving skill) dengan model experiential learning. Tujuan menjelaskan
tentang sesuatu yang ingin dicapai dari kegiatan pelatihan. Tujuan pelatihan
merupakan tujuan umum yang hendak dicapai melalui kegiatan pelatihan.
Pada bagian Bab II terdapat petunjuk pelaksanaan yang memaparkan 6 hal
yaitu petunjuk pelaksanaan pelatihan keterampilan pemecahan masalah, pengguna
panduan, sasaran pelatihan, penggunaan instrumen, strategi intervensi, dan
penentuan jadwal pelatihan. Bab III memaparkan terkait rangkaian kegiatan
secara sistematis yang dilakukan pada setiap pertemuan. Kegiatan yang dilakukan
siswa dalam pelatihan keterampilan pemecahan masalah dengan model
experiential learning sesuai dengan materi yang dibahas pada setiap pertemuan
yaitu membahas masalah yang berbeda pada setiap pertemuan berdasarkan
masalah pada bidang pribadi, masalah sosial, masalah belajar, dan masalah karir.
Pada setiap kegiatan pelatihan terdapat lembar refleksi. Lembar evaluasi diri
ISOLVE, lembar tugas, lembar komitmen dan lembar pesan kesan dapat
digunakan guru BK untuk mendapatkan feedback dari siswa serta mengukur
bagaimana pelaksanaan pelatihan yang telah dilakukan.
5.2 Simpulan Hasil Pengembangan
Simpulan hasil pengembangan mengacu pada tujuan dan pembahasan hasil
penelitian dan pengembangan panduan pelatihan keterampilan pemecahan
masalah (problem solving skill) dengan model experiential learning untuk siswa
SMP sebagai berikut.
5.2.1 Penelitian dan pengembangan ini menghasilkan panduan pelatihan
keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill) dengan model
experiential learning untuk siswa SMP yang memenuhi kriteria
keberterimaan produk yang meliputi ketepatan produk, kegunaan produk,
dan kelayakan produk.
5.2.2 Panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP memenuhi
104

kriteria ketepatan produk dengan dengan hasil indeks 1,00 dari validasi
ahli media, hasil indeks 0,66 dari validasi ahli BK, dan hasil indeks 1,00
dari validasi calon pengguna.
5.2.3 Panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP memenuhi
kriteria kegunaan produk dengan dengan hasil indeks 1,00 dari validasi
ahli media, hasil indeks 1,00 dari validasi ahli BK, dan hasil indeks 1,00
dari validasi calon pengguna.
5.2.4 Panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP memenuhi
kriteria kelayakan produk dengan dengan hasil indeks 1,00 dari validasi
ahli media, hasil indeks 0,66 dari validasi ahli BK, dan hasil indeks 1,00
dari validasi calon pengguna.
5.3 Saran Pemanfaatan dan Pengembangan Lebih Lanjut
Panduan pelatihan keterampilan pemecahan masalah (problem solving
skill) dengan model experiential learning untuk siswa SMP yang telah teruji
secara validitas atas keberterimaan produk memiliki saran pemanfaatan bagi guru
BK dan pengembangan lebih lanjut bagi peneliti selanjutnya. Adapun saran
pemanfaatan dan pengembangan lebih lanjut sebagai berikut.
5.3.1 Guru BK
5.3.1.1 Guru BK dapat memahami prosedur pelaksanaan pelatihan dalam
panduan ini agar kegiatan pelatihan yang dilaksanakan dapat
berjalan secara efektif dan efisien serta meminimaisir terjadinya
kendala di lapangan.
5.3.1.2 Guru BK dapat menggunakan materi pelatihan dengan berfokus
pada masalah yang dimiliki oleh anggota pelatihan.
5.3.1.3 Guru BK hendaknya melakukan kegiatan yang berkesinambungan
agar kegiatan tersebut dapat bermanfaat bagi siswa dan mengetahui
perubahan keterampilan pemecahan masalah yang terjadi dalam
diri siswa.
105

5.3.2 Peneliti selajutnya


5.3.2.1 Peneliti selanjutnya diharapkan mampu menggunakan jenis
masalah yang berbeda pada setiap sesi pertemuan sesuai dengan
masalah siswa yang terjadi di lapangan.
5.3.2.2 Peneliti selanjutnya diharapkan mampu memperluas subyek ke
jenjang pendidikan yang memiliki perbedaan karakteristik dengan
SMPN 15 Malang.
DAFTAR RUJUKAN

Armagan, F.O, Sagir, S.U, & Celik, A.Y. 2009. The Effects of Students’ Problem
Solving Skills on Their Understanding of Chemical Rate and Their
Achievement on This Issue. Journal Procedia Social and Behavioral
Sciences 1, 2678–2684.
Arsyad, A. 2014. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Aslan, O & Sagir, U. 2011. Science and Technology Teacher Candidates Problem
Solving Skills. Journal of Turkish Science Educational. Vol 1(1), 95-97.
Azwar, S. 2011. Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2006. Instrumen Penilaian Tahap I
Buku Teks Pelajaran Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta: BNSP.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2006. Instrumen Penilaian Tahap II
Buku Teks Pelajaran SMP/MTS Dan SMA/MA. Jakarta: BNSP.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2014. Instrumen Penilaian Buku
Teks Pelajaran. Jakarta: BSNP.
Batubara, J.R. 2010. Adolescent Development (Perkembangan Remaja). Jurnal
Sari Pediatri, Vol. 12(1), 21-29.
Benoveli, A et all. 2014. A Bayesian Wilcoxon signed-rank test based on the
Dirichlet Process. Proceedings of the 31st International Conference on
Machine Learning, Beijing, Vol 32, 1-9.
Barida, M. 2015. Keefektifan Pelatihan Metakognisi Melalui Model Experiential
Learning untuk Meningkatkan Kinerja Konselor dalam Layanan
Konseling. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas
Negeri Malang.
Borg, W.D & Gall M.D. 1983. Educational Research (3rd) Edition. New York:
Longman Inc.

Boud, D.C & Walker, D. 1993. Using Experience for Learning. Buckingham:
SRHE and Open University Press.
Buoncristiani, M & Buoncristiani, P. 2012. Developing Mindful Students, Skilful
Thinkers, Thoughtful Schools. United States of America: Corwin A Sage
Company.
Creswell, J.W. 2012. Educational Research: Planning, Conducting, and
Evaluating Quantitative and Qualitative Research (4th) Edition. Boston:
Pearson.

106
107

D’zurilla, Thomas, Edward, C &Lawrenc, J. 2004. Social Problem Solving


Theory, Research and Training. Washington DC: Word Composition
Services.
Darmayanti & Haifaturrahmah. 2019. Analisis Kelayakan Buku Panduan
Praktikum Ipa Terpadu SMP Berpendekatan Saintifik Dengan Berorientasi
Lingkungan Sekitar. Jurnal Hasil Kajian, Inovasi, dan Aplikasi
Pendidikan Fisika. Orbita, Vol 5(1), 45-47.
Davidson, J & Strenberg, R. J. 2003. The Psychology of Problem Solving. New
York: Cambridge University Press.
Dernova, M. 2015. Experiential Learning Theory as One of The Foundations of
Adult Learning Practice Worldwide. Journal Comparative Professional
Pedagogy, Vol 5(2), 52-57. DOI: 10.1515/rpp-2015-0040.
Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Detik.com. 2018. Fakta Pelajar SMP di Blitar Nekad Gantung Diri.
http://m.detik.com/news/berita-jawa-timur/d-4044476/ini-fakta-pelajar-
smp-di-blitar-nekad-gantung-diri. Diakses 10 Maret 2019.
Dunbar, K. 1998. Problem Solving a Companion to Cognitive Science. London,
England: Blackwell.
Forgan, J. 2002. Using Bibliotheray to Teach Problem Solving. Journal Invention
in School and Clinic Vol 38(2), 75-82 .
Foshay, R & Kirkley, J. 2003. Principle of Instructional Design. New York: Holt
Rinehart and Winston.
Gagne, R. 1985. The Conditional of Learning (4th) Edition. New York: Holt
Rhinehart and Winston.
Gregory, R.J. 2013. Psychological Testing: History, Principles, and Applications
(7th Ed). Boston: Allyn and Bacon.
Gunawan, I.M. 2014. Pengembangan Panduan Pelatihan Keterampilan
Mengelola Emosi Dengan Model Experiential Learning. Jurnal
Kependidikan, Vol 13(2), 101-192.
Gysberg N,C & Henderson, P. 2006. Developing and Managing Your School
Guidance and Counseling Program (4th ed). Alexandria: American
Counseling Association.
Harahap, J dkk. 2019. Analisis Kelayakan Buku Panduan Praktikum Kimia Kelas
XII Semester II Berdasarkan BSNP Sesuai Kurikulum 2013. Talenta
conference series (02) Selection and peer-review under responsibility of
108

Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia 2018, Vol 2, 194-198.


DOI: 10.32734/st.v2i1.341
Haris, T & Hardin, J. 2013. Exact Wilcoxon signed-rank and Wilcoxon Mann
Whitney rank sum tests. The Stata Journal, Vol 13(2), 337–343.
Hartinah, S. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Refika Aditama.
Hill, W.F. 1990. Learning: A Survey of Psychological Interpretations. Harper
Collins Publisher.
Hurlock, E.B. 2003. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Illeris, K. 2007. What Do We Actually Mean by Experiential Learning?. Human
Resource Development Review Vol. 6, No. 1 March 2007 page 84-95.
DOI: 10.1177/1534484306296828
Imro’atun, S. 2017. Keefektifan Layanan Konseling Kelompok untuk
Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama.
Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2) 50–57.
Ismani, R.M. 2013. Penerapan Prosedur Behavioral Skills Training Untuk
Meningkatkan Keterampilan Pemecahan Masalah (Problem Solving
Skills) Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis tidak diterbitkan.
Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Kantun, S & Budiawati, Y.S. 2015. Analisis Tingkat Kelayakan Bahan Ajar
Ekonomi yang digunakan oleh Guru di SMA Negeri 4 Jember. Jurnal
Pendidikan Ekonomi, Vol 9(2), 129-146.
Kemdikbud. 2016. Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan Dan
Konseling Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan.
Kirmizi, et al. 2015. Determine the Relationship Between the Disposition of
Critical Thinking and the Perception About Problem Solving Skill.
Journal International of Procedia-Social and Behavioral Sciences, vol
191: 657-166.
Kolb, D.A. 1984. Experiential Learning. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Englewood Cliffs.
Kompas.com. 2012. Kondisi Anak di Indonesia Belum Lepas Dari Tindakan
Kekerasan dan Salat Satu Kasus Menonjol di Tahun 2012 yakni Kasus
Tawuran Antar Pelajar. Jakarta 20/12/2012 diakses 16 Februari 2019.
109

KPAI.go.id. 2017. KPAI Terima Aduan 26 Ribu Kasus Bully Selama 2011-2017.
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-terima-aduan-26-ribu-kasus-bully-
selama-2011-2017/ diakses 29/1/2019.
Kuncoro, T. 2012. Pengaruh Strategi Pembelajaran Problem Solving Dan Gaya
Belajar Kolb Terhadap Hasil Belajar Bidang Mekanika Rekayasa
Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil. Disertasi tidak diterbitkan. Pascasarjana:
Universitas Negeri Malang.
Kuswanto, H. 2017. Analisis Prinsip Layout and Composition pada Web Design
Perusahaan PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk dan PT. FIF Group
berdasarkan Buku “The Principle of Beautifull Website Design (2nd
Edition) By Jason Beaird” Jurnal Electronics, Informatics, and Vocational
Education (ELINVO), Vol 2(1), 1-7.
Liputan6.com. 2015. Survei ICRW Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah.
http://www.liputan6.com/news/read/2191106/survei-icrw-84-anak-
indonesia-alami-kekerasan-di-sekolah/diakses 30/1/2019.
Masduki & Khotimah, R.P. 2016. Improving Teaching Quality and Problem
Solving Ability Though Contextual Teaching and Learning in Different
Equation: A Lesson Study Approach. Journal of Research and Advances
in Mathematics Education, Vol 1(1), 1-13.
Matsuo, M. 2015. A Framework for Facilitating Experiential Learning. Journal
Human Resource Development Review, Vol 8, 1-20. DOI:
10.1177/1534484315598087
Moore, C, Boyd, B.L, & Dooley, K.E. 2010. The Effects of Experiential Learning
with an Emphasis on Reflective Writing on Deep-Level Processing of
Leadership Students. Texas. Journal of Leadership Education, Vol 9(1),
36-52.
Movadza, J. 2017. Integrating Experiential Learning into Information Literacy
Curriculum. Abu Dhabi: Elsevier.
Nayazik, A. 2017. Pembentukan Keterampilan Pemecahan Masalah Melalui
Model IDEAL Problem Solving dengan Teori Pemrosesan Informasi.
Semarang: Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif. Kreano 8 (2) (2017): 182-
190.
Oyeka, I.C & Ebuh, G.U. 2012. Modified Wilcoxon Signed-Rank Test. Open
Journal of Statistics, vol 2, 172-176.
http://dx.doi.org/10.4236/ojs.2012.22019.
110

Pangestie, E.P & Fendahapsari, S.S. 2016. Pendekatan Experiential Learning


Untuk Meningkatkan Kemampuan Respectful Mind Pada Mahasiswa.
Jurnal Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling, Vol 2(1), 25-31.
Permendikbud nomor 8 tahun 2016 tentang Buku yang digunakan oleh Satuan
Pendidikan. 2016. Jakarta: Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Permendikbud nomor 111 tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. 2014. Jakarta: Menteri
Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Phillips, E.A. 2017. Evaluation of a Coaching Experiential Learning Project on
OT Student Abilities and Perceptions. The Open Journal of Occupational
Therapy, Vol 5(1), 1-15. DOI: 10.15453/2168-6408.1256.
Purwaningrum, R. 2013. Internalisasi Mind Skills Mahasiswa Bimbingan
Konseling (BK) Melalui Experiential Learning. Jurnal Pendidikan
Humaniora, Vol 1(3), 233-241.
Radjah, C L. 2016. Keterampilan Konseling Berbasis Metakognisi. Jurnal Kajian
Bimbingan dan Konseling Vol. 1(3), 90-94.
Rahayu, I.A.T. 2019. Mengembangkan Keterampilan Memecahkan Masalah
Melalui Pembelajaran Berdasar Masalah. Journal of Vocational and
Technical Education, Vol 1(1), 1-6.
Rajbhandari, M.M.S. 2011. My Lifelong Learning Realm: An Autoethnograhy
Experiential Learning in Finland. Finlandia: University Of Tempare.
Retnawati,H. 2016. Analisis Kuantitatif Instrumen Penelitian (Panduan Peneliti,
Mahasiswa dan Psikometrian). Yogyakarta: Parama Publishing.
Riadi, E. 2016. Statistika Penelitian (Analisis Manual dan IBM SPSS).
Yogyakarta: Andi Press.
Riskiyah. 2014. Pengembangan Paket Pelatihan Konseling Kelompok Behavioral
Berbasis Experiential Learning Untuk Instruktur Bimbingan dan
Konseling. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas
Negeri Malang.
Robinson, D. H. & Lyle V. J. 2001. Profiles in research. Journal of Educational
and Behavioral Statistics Vol 28: 389-394.
Roesler, R.A. 2015. Toward Solving The Problem of Problem Solving: An
Analysis Framework. USA: Journal of Music Teacher Education, vol 5,
1–15. DOI: 10.1177/1057083715602124.
111

Rong, Y et all. 2015. Comparative analysis for traffic flow forecasting models
with real-life data in Beijing. Journal: Advances in Mechanical
Engineering, Vol. 7(12) 1–9. DOI: 10.1177/1687814015620324.
Rothstein, P.R. 1990. Educational Psychology McGraw Hill’s College Review
Book. Singapore: International Editions.
Rozak, A & Sayuti, W. 2006. Remaja dan Bahaya Narkoba. Jakarta: Prenada
Media.
Sadiman, A.S. 2005. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan
Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Santrock, J.W. 2014. Child Development (14th) edition. Texas: McGraw Hill
Education.
Santrock, J.W. 2016. Adolescence (16th) Edition. Texas: McGraw Hill Education.
Sari, H.V & Suswanto, H. 2017. Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis
Web Untuk Mengukur Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Komputer
Jaringan Dasar Program Keahlian Teknik Komputer dan Jaringan. Jurnal
Pendidikan, Vol 2(7), 1008-1016.
Sary, Y.N. 2017. Perkembangan Kognitif dan Emosi Psikologi Masa Remaja
Awal. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 1(1), 6-12.
Saygili, S. 2017. Examining The Problem Solving Skills and The Strategies Used
by High School Students in Solving Non-routine Problems E-
International. Journal of Educational Research, Vol 8(2), 91-114.
Setiyowati, A.J. 2017. Understanding Profession Identity Of Junior High School
Counselor In Malang City. Journal of Advances in Social Science,
Education and Humanities Research, Vol 118, 816-823: Atlantis Press.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suherman. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.
Sukmadinata, N.S. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.

Surur, M, Triyono, & Handarini, D. 2016. Keefektifan Problem Solving Strategy


(PSS) Untuk Meningkatkan Keterampilan Pemecahan Masalah Pada
Siswa SMP. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan
Volume 1 (11), 2211-2219.
112

Sutirman, Muhyadi, & Herman, D. 2017. Integration of Strategy Experiential


Learning in E-Module of Electronic Records Management. Jurnal
Pendidikan Vokasi, Vol 7(3), 275-287.
Tempo.co. 2018. KPAI: Tawuran Pelajar 2018 Lebih Tinggi Dibanding Tahun
Lalu. https://metro.tempo.co/read/1125876/kpai-tawuran-pelajar-2018-
lebih-tinggi-dibanding-tahun-lalu/full&view=ok/diakses 30 Januari 2019.
Utami, N. W. 2011. Pengembangan Panduan Pelatihan Keterampilan Pemecahan
Masalah Dengan Cinema Education Untuk Siswa SMP. Tesis tidak
diterbitkan. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Widiasih dkk. 2018. The Profile of Problem-Solving Ability of Students of
Distance Education in Science Learning. Journal of Physics: Conference
Series 1013 (2018) 012081 IOP Publishing DOI:10.1088/1742-
6596/1013/1/012081.
Wiedermann, W & Eye, A. 2013. Robustness and Power of the Parametric T Test
and the Nonparametric Wilcoxon Test under Non-Independence of
Observations. Psychological Test and Assessment Modeling Journal, Vol
55(1), 39-61.
Willis, S. 2008. Remaja dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta.
Yamazaki, Y & Kayes D.C. 2004. An Experimental Approach to Cross Cultural
Learning: A Review and Integration of Competencies for Successful
Expatriate Adaptation. Academy Of Management Learning and Education,
Vol 3(4), 362-379.
Yaumi, M. 2012. Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Jakarta: Dian
Rakyat.
Yeganeh, B & Kolb, D. 2009. Mindfulness and Experiential Learning. OD
PraCtitioner Vol. 41 No. 3.
Yelon, S & Weinstein, G. 1977. A Teacher’s World psychology in the Classroom.
Tokyo: McGraw Hill Kogakusha.
Yusuf, S. 2017. Bimbingan dan Konseling Perkembangan Suatu Pendekatan
Komprehensif. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai