USULAN PENELITIAN
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melaksanakan Penelitian Pada
Program Studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Nusa Bangsa
Oleh :
Diterima sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas akhir pada Program Studi
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas
Nusa Bangsa Bogor.
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Bismillahirrahmaanirrohim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya yang berlimpah, sehingga penulis dapat
menyelesaikan usulan penelitian ini yang berjudul “Optimasi Kondisi Sorpsi
Nitrat dan Nitrit oleh Karbon Aktif Tandan Kosong Kelapa Sawit serta
Aplikasinya dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada bapak
Dr. Ridha Arizal, M.Sc selaku Dekan Fakultas MIPA Universitas Nusa Bangsa,
bapak Dian Arrisujaya, S.Pd., M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia, ibu
Mamay Maslahat, S.Si., M.Si selaku pembimbing I dan ibu Srikandi, S.Si., M.Si
selaku pembimbing II atas bimbingan dan arahannya. Terima kasih juga kepada
ayah, ibu, kakak dan adik tercinta, dosen beserta seluruh staf Fakultas MIPA
Universitas Nusa Bangsa yang telah memberikan doa dan semangat. Semoga
Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya serta membalas segala amal dan kebaikan
yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan,
pengetahuan, dan pengalaman yang dimiliki. Akhir kata, semoga usulan penelitian
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
DAFTAR TABEL....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................iv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................3
D. Manfaat........................................................................................................3
E. Ruang Lingkup.............................................................................................3
F. Kerangka Pemikiran.....................................................................................3
G. Hipotesis.......................................................................................................4
H. Rencana dan Jadwal Penelitian....................................................................5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Limbah Cair Tahu........................................................................................6
B. Karbon Aktif Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS).................................7
C. Sorpsi............................................................................................................8
D. Spektrofotometer Ultraviolet-Sinar Tampak (UV-Vis)...............................9
III. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat...........................................................................................11
B. Metode Penelitian.......................................................................................11
C. Cara Kerja..................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20
LAMPIRAN...........................................................................................................23
i
DAFTAR TABEL
Halama
1. Rencana Penelitian...............................................................................................5
2. Karakteristik Limbah Cair Tahu..........................................................................7
ii
DAFTAR GAMBAR
Halama
iii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Diagram Alir Penelitian.........................................................................................23
2. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5 Tahun 2014
tentang Pengolahan Kedelai..............................................................................24
3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5 Tahun 2014
tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Belum
Memiliki Baku Mutu Air Limbah yang Ditetapkan..........................................24
iv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu makanan yang berasal dari kedelai adalah tahu. Proses
pembuatan tahu menghasilkan limbah cair dan limbah padat. Limbah padat
berupa ampas tahu, sedangkan limbah cairnya dihasilkan dari proses
pencucian, perebusan, pengepresan, dan pencetakan. Limbah padat yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai pakan ternak sedangkan limbah cairnya
dibuang ke lingkungan.
Limbah cair industri tahu banyak mengandung senyawa organik
berupa karbohidrat, lemak, dan protein. Protein mengalami degradasi
membentuk asam amino. Asam amino merupakan hasil dari perombakan
protein akan dioksidasi menjadi amonia (NH3) dan senyawa karboksil.
Senyawa amonia (NH3) akan dioksidasi lagi menjadi nitrit (NO2-). Apabila
oksigen tersedia akan dioksidasi lagi menjadi nitrat (NO3-) (Pelczar dan Chan,
1996). Kadar nitrat dan nitrit dalam limbah cair menurut Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air
Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Belum Memiliki Baku Mutu Air
Limbah yang Ditetapkan adalah 20 mg/L untuk nitrat (NO3-) dan 1 mg/L
untuk nitrit (NO2-) pada Golongan I, sedangkan 30 mg/L untuk nitrat (NO3-)
dan 3 mg/L untuk nitrit (NO2-) pada Golongan II. Adanya senyawa nitrogen
pada pembuangan limbah cair ke lingkungan dapat menimbulkan dampak
buruk terhadap lingkungan, yaitu rusaknya kualitas lingkungan terutama
perairan sebagai salah satu kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Rusaknya lingkungan mengggangu kehidupan ekosistem yang berada
diperairan dan mengancam kesehatan manusia, serta akan sangat merugikan
kualitas mutu air serta manfaatnya.
Metode penanganan limbah cair industri berkembang sangat pesat.
Upaya untuk menurunkan kandungan limbah cair industri dapat digolongkan
menjadi tiga metode pengolahan, yaitu fisika, kimia, dan biologi. Teknik
sorpsi merupakan salah satu metode pengolahan kimia dalam penanganan
limbah cair yang murah, efisiensi, dan dapat menggunakan bahan-bahan
alami sebagai adsorben. Adsorben yang digunakan dalam penelitian ini
adalah karbon aktif. Karbon aktif merupakan suatu padatan berpori yang
dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan
pada suhu tinggi. Karbon aktif yang digunakan berasal dari tandan kosong
kelapa sawit (TKKS). TKKS merupakan jenis limbah yang dihasilkan dari
produksi kelapa sawit. Diketahui dalam 1 ton kelapa sawit, menghasilkan
23% atau 230 kg limbah berupa tandan kosong kelapa sawit, limbah
cangkang sebanyak 6,5% atau 65 kg, lumpur sawit sekitar 4% atau 40 kg,
serabut 13% atau 130 kg, dan limbah cair sebanyak 50% (Haryanti et al,
2014). Berdasarkan penelitian Karimullah et al., (2018) TKKS dapat
digunakan untuk adsorpsi amonia pada pengolahan limbah cair tahu dengan
massa optimum sebesar 0,25 g dengan kapasitas adsorpsi sebesar 2.581 mg/L
dan efisiensi adsorpsi sebesar 61.9 %. Waktu kontak optimum yaitu 30 menit
dengan kapasitas adsorpsi sebesar 3.154 mg/L dan efisiensi adsorpsi sebesar
76.8 %.
Karbon TKKS yang akan digunakan pada penelitian ini diaktivasi
secara fisika, yaitu dengan pemanasan suhu 800oC. Karbon aktif tersebut
kemudian akan diaplikasikan untuk mengolah limbah cair tahu, khususnya
nitrat dan nitrit. Bedasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan optimasi
karbon aktif TKKS dalam mengadsorpsi nitrat dan nitrit dalam limbah cair
tahu.
B. Identifikasi Masalah
2
3. Bagaimana potensi karbon aktif TKKS dalam menurunkan kadar nitrat
dan nitrit pada limbah tahu.
C. Tujuan
D. Manfaat
E. Ruang Lingkup
F. Kerangka Pemikiran
3
Penggunaan adsorben ini menggunakan prinsip sorpsi. Sorpsi adalah suatu
proses yang terjadi ketika fluida terikat kepada suatu padatan dan akhirnya
membentuk suatu lapisan tipis pada permukaan padatan tersebut. Sorpsi
dibatasi oleh pore diffusion tergantung besarnya interaksi dalam sistem. Jika
interaksi antar partikel yang terjadi relatif kecil, maka lapisan tipis yang
mengelilingi partikel akan tebal, sehingga adsorbsi berlangsung lama.
Apabila dilakukan pengadukan yang cukup, maka kecepatan difusi lapisan
tipis akan meningkat (Syauqiah et al., 2011).
Penelitian tentang limbah cair tahu sebelumnya telah dilakukan pada
proses sorpsi dengan sistem batch. Nailasa et al. (2013) melaporkan bahwa
karbon aktif dari biji kapuk dapat menurunkan kadar nitrat pada limbah cair
tahu dari 1,783 menjadi 1,501 mg/L. Suyata dan Irmanto (2009)
menggunakan adsorben dari ampas kopi. Karbon aktif ampas kopi efektif
menurunkan kadar amonia, nitrat, dan nitrit pada kondisi optimum pH 7 dan
waktu kontak 30 menit. Kandungan amonia, nitrat, dan nitrit mampu
menurunkan kadar sebesar 64,69; 52,35; dan 86,49% secara berturut-turut.
Berdasarkan penelitian Amin et al., (2016) persentase penurunan kadar
amonia, nitrit, dan nitrat limbah cair industri tahu menggunakan adsorben
arang aktif dari tongkol jagung yang diperoleh yaitu untuk kadar amonia
sebesar 51,29%, nitrit sebesar 31,93%, dan nitrat sebesar 58,71%. Penelitian
Maslahat et al., (2018) , karbon aktif TKKS diaktivitasi secara fisika pada
suhu optimum 800oC telah memenuhi standar SNI karbon aktif pada
parameter daya serap iod dan daya serap metilen biru.
Penelitian yang akan dilakukan adalah mengetahui potensi karbon
aktif TKKS dalam menyerap nitrat dan nitrit. Analisis nitrat dan nitrit
menggunakan metode spektrofotometer UV-VIS, pada uji nitrat sesuai
dengan SNI 06-2480-1991 yaitu menggunakan metode brusin sulfat dan
diukur serapannya pada panjang gelombang 410 nm, sedangkan untuk uji
nitrit sesuai dengan SNI 06-6989.9-2004 yaitu menggunakan metode
sulfanilamida dan N-1-naftil etilen diamina dihidroklorida (NED
Dihidroklorida) yang diukur serapannya pada panjang gelombang 543 nm.
4
G. Hipotesis
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelapa Sawit
Kelapa sawit termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi
magnoliophyta, kelas liliopsida, ordo arecales, famili arecaceae, genus
elaeis dan spesies E. guineensis. Kelapa sawit ditemukan oleh Nicholas
Jacquin pada tahun 1763, sehingga kelapa sawit diberi nama Elaeis
guineensis jacq. Gambar perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada gambar
1.
Kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq.) berasal dari daerah Afrika dan
Amerika Serikat. Awalnya tumbuhan ini tumbuh liar dan setengah liar di
daerah tepi sungai. Tanaman ini pertama kali diintroduksikan ke Indonesia
oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848 di Kebun Raya Bogor
(s’Lands Plantentuin Buitenzorg). Sejak saat itu kelapa sawit mulai
berkembang di berbagai daerah di Indonesia sebagai komoditas perkebunan
(Pahan, 2008).
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat, sehingga
pada tahun 1939, Indonesia menjadi negara produsen dan eksportir utama
kelapa sawit dunia dengan volume mencapai 244 ribu ton atau 48% total
ekspor minyak kelapa sawit dunia (Prayitno et al., 2008). Dalam jangka
panjang, permintaan dunia akan minyak sawit menunjukkan kecenderungan
meningkat sejalan dengan jumlah populasi dunia yang bertumbuh dan
karenanya meningkatkan konsumsi produk-produk dengan bahan baku
minyak sawit.
Pertumbuhan ini tampak dalam jumlah produksi dan ekpor dari
Indonesia dan juga pertumbuhan luas area perkebunan sawit. Didorong oleh
permintaan global yang terus meningkat dan keuntungan yang juga naik,
budidaya kelapa sawit telah ditingkatkan secara signifikan baik oleh petani
kecil maupun para pengusaha besar di Indonesia (Indonesia Invesment,
2016).
Luas dan produksi tanaman perkebunan kelapa sawit menurut provinsi
di Indonesia pada tahun 2019 dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan ekspor
minyak kelapa sawit menurut negara tujuan utama tahun 2012-1019 dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Luas dan Produksi Kelapa Sawit Menurut Provinsi di Indonesia
Tahun 2019
No. Provinsi Luas (Ha) Produksi (Ton)
1. Aceh 500100 1081800
2. Sumatera Utara 1601900 6163800
3. Sumatera Barat 384500 1298000
4. Riau 2808700 9127600
5. Jambi 1070700 2891300
6. Sumatera Selatan 1778100 4075600
7. Bengkulu 314500 1073500
8. Lampung 203700 508800
9. Kep. Bangka Belitung 229600 958000
10. Kep. Riau 8000 31100
11. Jawa Barat 16000 49400
12. Banten 19900 41300
13. Kalimantan Barat 1864600 3316400
14. Kalimantan Tengah 1675800 7748400
15. Kalimantan Selatan 552600 1556600
16. Kalimantan Timur 1461200 4044800
17. Kalimantan Utara 159400 327800
18. Sulawesi Tengah 139100 412100
19. Sulawesi Selatan 50600 113600
20. Sulawesi Tenggara 76600 114000
21. Gorontalo 10400 10700
22. Sulawesi Barat 173900 414900
23. Maluku 11400 25300
24. Papua Barat 52400 105400
25. Papua 160900 370800
26. Indonesia 14724600 45861000
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan dikutip dari Badan Pusat
Statistik Tahun 2019 (www.bps.go.id)
7
2 Tiongko 3087 2623 2649 4105 3111 3601 4166 5791
. k 500 700 200 200 800 100 500 100
3 Pakistan 7553 1089 1826 2325 2106 2193 2458 2215
. 00 200 800 600 400 800 500 900
4 Belanda 1458 1546 1294 1261 1048 1286 1161 9149
. 100 800 100 900 500 400 100 00
5 Amerik 5760 4630 4918 7327 9558 1153 1112 1189
. a 0 00 00 00 00 400 800 000
Serikat
6 Spanyol 2740 6208 9070 9989 1116 1367 1168 1078
. 00 00 00 00 100 900 600 800
7 Mesir 5080 7464 1038 1156 9992 1201 9369 1095
. 00 00 100 300 00 400 00 100
8 Banglad 7435 6564 1048 1134 9261 1231 1402 1351
. esh 00 00 600 800 00 400 300 500
9 Italia 6535 1024 1356 1193 9139 1066 8889 7513
. 00 800 800 600 00 500 00 00
1 Singapu 9521 8440 7896 7820 7187 6108 4245 5803
0 ra 00 00 00 00 00 00 00 00
.
1 Lainnya 5921 6403 7647 8233 6745 7732 9236 1000
1 500 300 300 800 400 500 100 3400
.
Jumlah 1967 2177 2396 2767 2406 2877 2930 2954
5100 0800 9700 0800 6500 0300 2400 7900
Sumber : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dikutip dari Badan Pusat
Statistik (www.bps.go.id)
8
Karbon aktif adalah bahan padat yang berpori dan merupakan hasil
pembakaran dari bahan-bahan yang mengandung 85-95% unsur karbon
(Chand et al., 2005). Karbon aktif dapat dibuat dari bahan baku yang berasal
dari hewan, tumbuh-tumbuhan, limbah ataupun mineral yang mengandung
karbon (Meilita, 2003)
Karbon aktif adalah karbon yang konfigurasi atom karbonnya
dibebaskan dari ikatan dengan unsur lain serta rongga atau porinya
dibersihkan dari senyawa lain atau kotoran, sehingga permukaan dan pusat
aktifnya menjadi luas atau meningkatkan daya adsorpsi terhadap cairan dan
gas (Sudrajatdan Soleh, 1994). Semakin luas permukaan karbon aktif maka
daya adsorpsinya juga semakin meningkat (Baker et al., 1997). Daya serap
karbon aktif sangat besar, yaitu 25-100% terhadap berat karbon aktif (Meilita,
2003). Gambar struktur fisik karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Fisik Karbon Aktif
(Sumber : Pujianto, 2010)
Luas permukaan karbon aktif berkisar antara 300-3500 m3/g dan ini
berhubungan dengan struktur pori internal yang menyebabkan karbon aktif
mempunyai sifat adsorben (Hartanto dan Ratnawati, 2010). Karbon aktif
dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat
adsorpsinya selektif, tergantung pada volume pori-pori dan luas permukaan
(Sembiring dan Sinaga, 2003). Karbon aktif berbentuk amorf, dan sebagian
besar kandungannya terdiri dari unsur karbon. Karbon ini terdiri dari pelat-
pelat datar yang atom karbonnya terikat secara kovalen dalam satu kisi
heksagonal yang mirip dengan grafit. Pelat-pelat ini terkumpul satu sama lian
membentuk kristal dengan susunan tidak beraturan dan jarak antar pelatnya
acak (Solovyou et al., 2002). Hal tersebut telah dibuktikan dengan penelitian
menggunakan sinar-x yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Daerah kristalin memiliki ketebalan 0,7-1,1 mm, jauh lebih kecil dari
grafit. Hal ini menunjukkan adanya 3 atau 4 lapisan atom karbon dengan
kurang lebih terisi 20-30 heksagon ditiap lapisannya. Rongga antara kristal-
kristal karbon diisi oleh karbon-karbon amorf yang berikatan secara tiga
dimensi dengan atom-atom lainnya terutama oksigen. Susunan karbon yang
9
tidak teratur ini diselingi oleh retakan-retakan dan celah yang disebut pori dan
kebanyakan berbentuk silindris. Selain mengandung karbon, karbon aktif juga
mengandung sejumlah kecil hidrogen dan oksigen yang secara kimiawi
terikat dalam berbagai gugus fungsi seperti karbonil, karboksil, fenol, lakton,
quinon, dan gugus-gugus eter. Oksida-oksida permukaan tersebut biasanya
bersifat asam sehingga menurun ke karbon aktifnya. Gugus fungsional
dibentuk selama proses aktivasi oleh interaksi radikal bebas pada permukaan
karbon dengan atom-atom seperti oksigen dan nitrogen. Gugus fungsional ini
membuat permukaan karbon aktif reaktif secara kimiawi dan mempengaruhi
sifat adsorbsinya. Struktur kimia karbon aktif dengan gugus fungsionalnya
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Kimia Karbon Aktif
(Sumber : Pujianto, 2010)
10
penelitian Karimullah et al (2018), karbon aktif TKKS dapat digunakan
dalam proses sorpsi amonia terhadap limbah cair industri tahu. Karbon aktif
TKKS dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Karbon Aktif TKKS
(Sumber : Anonim, 2019)
11
E. Produksi Tahu
Tahu adalah bahan pangan yang berasal dari kedelai yang harganya
relatif murah dan mengandung nilai gizi yang tinggi khususnya protein
sehingga sangat diminati oleh masyarakat (Kartikorini, 2017). Permintaan
terhadap bahan baku kedelai menunjukkan kecenderungan meningkat sejalan
dengan produksi tahu karena menghasilkan konsumsi produk-produk dengan
bahan baku kedelai. Produksi kedelai menurut provinsi di Indonesia dari
tahun 2013-2015 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Produksi Kedelai Menurut Provinsi di Indonesia
Produksi (ton)
No. Provinsi
2013 2014 2015
1. Aceh 45027 63352 47910
2. Sumatera Utara 3229 5705 6549
3. Sumatera Barat 732 911 353
4. Riau 2211 2332 2145
5. Jambi 2372 6800 6732
6. Sumatera Selatan 5140 12550 16818
7. Bengkulu 3987 5715 5388
8. Lampung 6156 13777 9815
9. Kep. Bangka Belitung - 3 1
10. Kep. Riau 18 18 15
11. DKI Jakarta - - -
12. Jawa Barat 51172 115261 98938
13. Jawa Tengah 99318 125467 129794
14. DI Yogyakarta 31677 19579 18822
15. Jawa Timur 329461 355464 344998
16. Banten 10326 6384 7291
17. Bali 7433 8187 7259
18. Nusa Tenggara Barat 91065 97172 125036
19. Nusa Tenggara Timur 1675 2710 3615
20. Kalimantan Barat 1677 3161 2637
21. Kalimantan Tengah 1684 1397 1262
22. Kalimantan Selatan 4072 8946 10537
23. Kalimantan Timur 1402 1128 1519
24. Kalimantan Utara 84 97 2239
25. Sulawesi Utara 5780 7529 6685
26. Sulawesi Tengah 12654 16399 13270
27. Sulawesi Selatan 45693 54723 67192
28. Sulawesi Tenggara 3595 5691 12799
29. Gorontalo 4411 4273 3203
30. Sulawesi Barat 1181 3998 4218
31. Maluku 254 578 707
32. Maluku Barat 1227 762 475
33. Papua Barat 669 945 1439
12
34. Papua 4610 3983 3522
35. Indonesia 779992 954997 963183
Sumber : Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id)
13
diperoleh diperas dan dibilas dengan air hangat. Jumlah ampas basah
kurang lebih 70% sampai 90% dari bobot kering kedelai.
7. Setelah itu dilakukan penggumpalan dengan menggunakan air asam,
pada
suhu 50oC kemudian didiamkan sampai terbentuk gumpalan besar.
Selanjutnya air di atas endapan dibuang dan sebagian digunakan untuk
proses penggumpalan kembali.
8. Langkah terakhir adalah pengepresan dan pencetakan yang dilapisi
dengan kain penyaring sampai padat. Setelah itu tinggal sedikit, maka
cetakan dibuka dan diangin-anginkan.
Proses penguraian protein yang terdapat pada tahu terjadi akibat
dilakukannya proses pemanasan sehingga akan menghasilkan asam amino
(Cai et al., 1997). Asam amino yang terlarut akan terbawa ke dalam cairan
limbah dimana selanjutnya akan terurai lebih lanjut menjadi ammonia (NH 3)
(Dahruji et al., 2017), yang pada waktu tertentu akan berubah lagi menjadi
senyawa ammonium yang larut air (Hibban et al., 2016). Keberadaan gas
oksigen yang terlarut di dalam air, maka senyawa amonium yang terlarut
akan teroksidasi lebih lanjut menjadi senyawa nitrit (NO 2-) dan nitrat (NO3-)
(Djoko Setiyanto et al., 2016). Keberadaan senyawa nitrat dan nitrit ini di
dalam limbah pembuatan tahu akan terpantau pada lingkungan sekitar berupa
gas berbau busuk sehingga mengakibatkan suasana tidak nyaman bagi
masyarakat di sekitar kawasan industri tahu (Azhari, 2016).
14
dihasilkan berupa limbah padat dan cair. Limbah padat berupa ampas kedelai.
Limbah cair berupa sisa air perendaman, sisa air tahu yang tidak
menggumpal, serta limbah cair keruh berwarna kekuningan yang apabila
dibiarkan akan berubah menjadi hitam dan berbau busuk (Yudhistira et al.,
2016).
Limbah cair tahu adalah limbah yang ditimbulkan dalam proses
pembuatan tahu dan berbentuk cairan. Limbah cair tahu mengandung padatan
tersuspensi maupun terlarut yang akan mengalami perubahan fisika, kimia,
dan biologis yang akan menghasilkan zat beracun atau menciptakan media
untuk tumbuhnya kuman dimana kuman tersebut dapat berupa kuman
penyakit ataupun kuman yang merugikan baik pada tahu sendiri maupun
tubuh manusia (Auliana, 2012).
Limbah cair tahu dapat menimbulkan pencemaran yang cukup berat
karena memiliki kadar polutan organik yang cukup tinggi dan keasaman yang
rendah, yakni pH 4-5 (Fatha, 2007). Jika limbah cair tahu tersebut dibuang
langsung ke lingkungan tanpa proses pengolahan akan terjadi pengendapan
bahan organik pada badan perairan, proses pembusukan dan berkembangnya
mikroorganisme patogen (Sudaryati et al., 2007).
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam limbah industri tahu yakni
karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik fisika meliputi padatan total,
suhu, warna, dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan
anorganik, dan gas. Suhu buangan industri tahu berasal dari proses
pemasakan kedelai. Suhu limbah cair tahu pada umumnya lebih tinggi dari air
bakunya, yaitu 40oC sampai 46oC. Suhu yang meningkat di lingkungan
perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas
lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan (BPPT, 1997).
Sumber limbah cair tahu sebagian besar berasal dari cairan kental
yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut air didih (whey), pencucian
kedelai, pemasakan, maupun pencucian peralatan setelah proses pembuatan
tahu. Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam limbah cair industri
tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik tersebut dapat
berupa protein 40%-60%, karbohidrat 25%-50%, dan lemak 10% (Sugiharto,
15
1994). Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein, sehingga
masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan
nitrogen di perairan tersebut. Gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah
cair tahu adalah oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3),
karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari
dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat dalam limbah cair tahu
(Herlambang, 2002).
Limbah cair tahu mengandung bahan organik berupa protein yang
dapat terdegradasi menjadi bahan anorganik. Bahan organik dan anorganik
adalah bahan yang dapat mengalami degradasi oleh mikroorganisme sehingga
dapat mencemari kualitas air sungai. Adanya bahan anorganik yang tinggi,
dapat membuat mikroba dalam perairan semakin aktif dan dapat menguraikan
bahan organik. Dengan terurainya bahan organik, maka dapat menghasilkan
senyawa yang dapat mencemari kualitas perairan (Sepriani et al., 2016).
Berikut karakteristik limbah cair tahu tertera di Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik Limbah Cair Tahu
16
G. Sorpsi
Sorpsi adalah suatu fenomena keseimbangan antara zat dalam
larutan yang terikat pada permukaan solid, dengan zat tersebut pada
larutannya (Watt, 1998). Dalam kenyataannya sulit membedakan antara
peristiwa adsorpsi (dua dimensi, pada bidang permukaan) dan absorpsi (tiga
dimensi, pada permukaan dan masuk ke dalam pori partikel), sehingga istilah
sorpsi lebih disarankan (Stumm dan Morgan, 1996).
Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu
terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaa zat padat karena adanya
gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap ke
dalam (Atkins, 1999). Berdasarkan interaksi molekul antara permukaan
adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dibedakan 2 jenis yaitu adsorpsi fisika
dan adsorpsi kimia sebagai berikut (Treybal, 1980) :
1. Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika merupakan adsorpsi yang terjadi karena adanya
gaya Van Der Waals. Gaya Van Der Waals adalah gaya tarik-menarik
yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben. Pada
adsorpsi fisika, adsorbat tidak terikat kuat pada adsorben sehingga
adsorbat dapat bergerak dari suatu bagian permukaan adsorben ke bagian
permukaan adsorben lainnya dan pada permukaan yang ditinggalkan oleh
adsorbat tersebut dapat digantikan oleh adsorbat lainnya. Adsorpsi fisika
merupakan peristiwa reversibel sehingga jika kondisi operasinya diubah,
maka akan membentuk kesetimbangan baru. Proses adsorpsi fisika terjadi
tanpa memerlukan energi aktivasi. Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi
ini dapat diputuskan dengan mudah yaitu dengan pemanasan pada
temperatur sekitar 150oC – 200oC selama 2 – 3 jam.
2. Adsorpsi Kimia
Adsorpsi kimia merupakan adsorpsi yang terjadi karena
terbentuknya ikatan kimia antara molekul-molekul adsorbat dengan
adsorben. Ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang kuat sehingga
lapisan yang terbentuk merupakan lapisan monolayer. Pada adsorpsi
kimia yang terpenting adalah spesifikasi dan kepastian pembentukkan
17
monolayer sehingga pendekatan yang digunakan adalah dengan
menentukan kondisi reaksi. Adsorpsi kimia tidak bersifat reversibel dan
umumnya terjadi pada suhu tinggi diatas suhu kritis adsorbat. Oleh
karena itu, untuk memutuskan ikatan yang terjadi antara adsorben dengan
adsorbat.
Menurut Reynolds (1982), mekanisme penyerapan adsorben
terhadap zat terlarut terbagi menjadi 4 tahap diantaranya :
1. Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju lapisan
film yang mengelilingi adsorben.
2. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film yang
mengelilingi
adsorben (film diffusion process).
3. Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui kapiler atau pori dalam
adsorben (pore diffusion process).
4. Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau permukaan
adsorben.
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi daya
adsorpsi suatu adsorben (Treybal, 1980) :
1. Jenis adsorbat
a. Ukuran molekul adsorbat
Ukuran molekul merupakan hal yang sangat penting diperhatikan
supaya proses adsorpsi dapat terjadi dan berjalan dengan baik.
Ukuran molekul adsorbat dapat mempengaruhi ukuran pori dari
adsorben yang digunakan. Molekul-molekul adsorbat yang dapat
diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil dari
diameter pori adsorben.
b. Kepolaran zat
Sifat kepolaran dari adsorbat dan adsorben juga mempengaruhi
proses adorpsi. Misalnya karbon aktif, adsorpsi lebih kuat terjadi
pada molekul polar dibandingkan dengan molekul non polar pada
kondisi diameter yang sama.
2. Karakteristik adsorben
18
a. Kemurnian adsorben
Zat yang digunakan untuk adsorpsi adalah adsorben yang lebih
murni karena memiliki kemampuan adsorpsi yang lebih baik.
b. Luas permukaan dan volume pori adsorben
Jumlah molekul adsorbat yang teradsorpsi meningkat dengan
bertambahnya luas permukaan dan volume pori adsorben. Dalam
proses adsorpsi, luas permukaan adsorben harus ditingkatkan karena
luas permukaan adsorben merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi proses adsorpsi.
3. Temperatur
Berdasarkan prinsip Le Chatelier, maka proses adsorpsi yang merupakan
proses eksotermis, dengan peningkatan temperatur pada tekanan tetap
akan mengurangi jumlah senyawa yang teradsorpsi.
4. Tekanan adsorbat
Tekanan adsorbat dapat mempengaruhi jumlah molekul adsorbat pada
setiap jenis adsorpsi berdasarkan interaksi molekular. Pada adsorpsi
fisika, bila tekanan adsorbat meningkat, jumlah molekul adsorbat akan
bertambah. Namun pada adsorpsi kimia, jumlah molekul adsorbat akan
berkurang bila tekanan adsorbat meningkat.
Berdasarkan proses adsorpsi, optimasi adsorben diuji dengan
mengacu pada parameter nilai pH, bobot adsorben, waktu kontak adsorpsi
dan kosentrasi adsorbat. Variasi nilai pH akan mempengeruhi kelarutan ion
logam, aktivitas gugus fungsi pada biosorben dan kompetisi ion logam dalam
proses adsorpsi. Optimasi bobot adsorben didasarkan pada prinsip semakin
besar konsentrasi adsorbat dalam larutan, maka semakin banyak jumlah
substansi yang terkumpul pada permukaan adsorben. Penentuan waktu kontak
yang menghasilkan kapasitas adsorpsi maksimum terjadi pada waktu
kesetimbangan, waktu kesetimbangan dipengaruhi oleh jenis biomassa,
ukuran dan fisiologi biomassa, ion yang terlibat dalam proses biosorpsi dan
konsentrasi ion logam (Syauqiah et al., 2011).
Kapasitas adsorpsi menyatakan banyaknya adsorbat yang mampu
terakumulasi pada permukaan adsorben. Kapasitas adsorpsi yang maksimum
19
dapat dipeoleh setelah dilakukan optimasi parameter yang mempengaruhi
adsorpsi. Kapasitas adsorpsi setiap senyawa yang terdapat pada bahan –bahan
alami dipengaruhi oleh struktur masing-masing senyawa (Asnawati et al.,
2017).
H. Nitrat dan Nitrit
Nitrat dan nitrit merupakan bentuk nitrogen yang teroksidasi, dengan
tingkat oksidasi masing-masing +3 dan +5. Nitrit biasanya tidak bertahan
lama dan merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara amoniak dan
nitrat, yang dapat terjadi pada instalasi pengolahan air buangan, dalam air
sungai dan sistem drainase. Nitrit juga membahayakan kesehatan karena
dapat bereaksi dengan hemoglobin dalam darah, hingga darah tesebut tidak
dapat mengangkut oksigen lagi. Di samping itu, nitrit juga menimbulkan
nitrosamin pada air buangan tertentu, nitrosamin tersebut dapat menyebabkan
kanker (Alaert dan Sri Sumestri, 1984).
R2NH + N2O3 R2N.NO + HNO2
(amina sekunder)
20
adalah proses oksidasi enzimatik nitrit menjadi nitrat yang dilakukan oleh
bakteri Nitrobacter sp. Proses oksidasi enzimatik pada perubahan amonium
menjadi nitrit dan selanjutnya menjadi nitrat dapat dilihat sebagai berikut
(Damaik et al., 2010) :
N2 + 4 H2 2 NH4
Nitrosomonas sp
NH4 + 3 O2 2 NO2 + 2 H2O + 4 H+ + energi
Nitrobacter sp
NO2 + O2 2 NO3 + energi
Apabila oksigen terbatas, nitrat dengan cepat ditransfermasikan
menjadi gas nitrogen atau oksida nitrogen yang disebut denitrifikasi.
Denitrifikasi merupakan proses degradasi senyawa nitrogen dalam kondisi
tidak ada oksigen atau anaerob. Proses denitrifikasi mampu memproduksi
N2O yang termasuk dalam gas rumah kaca. Gas ini mampu memberikan
kondisi pemanasan global dan rusaknya lapisan ozon di atmosfer (Cicerone,
1989). Denitrifikasi merupakan konversi biologis senyawa nitrat (NO3-)
menjadi nitrit (NO2-), nitrous oksida (N2O) dan molekul nitrogen (N2).
Denitrifiaksi dilakukan secara teratur dan bertahap oleh beberapa bakteri
fakultatif anaerob (Pinar et al., 1997). Bakteri denitrifikasi memanfaatkan
nitrat sebagai penerima elektron terakhir untuk memperoleh energi pada
kondisi anaerob. Bakteri nitrifiaksi tersebar dalam kelompok bakteti anaerob
obligat. Bakteri yang hidup dalam lingkungan anaerob antara lain
Alteromonas, Pseudomonas, Eryhtobacter, Alcaligenes, dan Aquaspirillum
(Zumft, 1992).
21
tidak terpengaruhi oleh perubahan tegangan listrik karena blanko dan zat
diukur pasa saat yang bersamaan. Secara umum spektrofotometer terdiri atas
sumber radiasi, monokromator, sel, fotosel, detektor dan tampilan (display)
(Day dan Underwood, 1992).
Sumber radiasi berfungsi memberikan energi radiasi pada daerah
panjang gelombang yang tepat untuk pengukuran dan mempertahankan
intensitas sinar yang tetap pada pengukuran. Sumber radiasi untuk
spektrofotometer UV-Vis adalah lampu hidrogen atau deuterium digunakan
pada daerah ultraviolet dan lampu filamen digunakan pada daerah sinar
tampak. Monokromator berfungsi menghasilkan radiasi monokromatis yang
diperoleh dilewatkan melalui kuvet yang berisi sampel dan blanko secara
bersamaan dengan bantuan cermin berputar (Day dan Underwood, 1992).
Sel atau kuvet adalah tempat bahan yang akan diukur serapannya.
Kuvet harus dibuat dari bahan yang tidak menyerap radiasi pada daerah yang
digunakan, umumnya terbuat dari kaca tembus sinar tetapi bisa pula terbuat
dari plastik. Sel yang terbuat dari kuarsa, baik untuk spektroskopi UV-Vis.
Kuvet dari bahan kaca silikat biasa, tidak dapat digunakan untuk spektroskopi
ultraviolet karena bahan kaca silikat dapat menyerap ultraviolet. Fotosel
berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan zat dan kemudian
mengubahnya menjadi energi listrik yang kemudian akan disampaikan ke
detektor. Detektor adalah material yang dapat menyerap energi dari foton dan
mengubahnya dalam bentuk lain, yaitu energi listrik (Day dan Underwood,
1992).
Display atau tampilan mengubah sinar listrik dari detektor menjadi
pembacaan yang berupa meter atau angka yang sesuai dengan hasil yang
dianalisis. Prinsip kerja spektrofotometer adalah berdasarkan hukum
Lambert-Beer, yaitu seberkas sinar dilewatkan suatu larutan pada panjang
gelombang tertentu, sehingga sinar tersebut sebagian ada yang diteruskan dan
sebagian lainnya diserap oleh larutan. Besarnya sinar (A) berbanding lurus
dengan konsentrasi zat penyerap (C) dan jarak yang ditempuh sinar (a) dalam
larutan (tebal larutan, b) (Day dan Underwood, 1992).
A = a.b.C
22
Keteragan :
A = serapan (absorbansi)
C = konsentrasi
a = koefisien serapan spesifik
b = tebal larutan
Pada spektrofotometer UV-Vis, zat diukur dalam bentuk larutan.
Analit yang dapat diukur dengan spektrofotometer sinar tampak adalah analit
berwarna atau yang dapat dibuat berwarna. Analit berwarna adalah analit
yang memiliki sifat menyerap cahaya secara alami. Analit yang dibuat
berwarna adalah analit yang tidak berwarna sehingga harus direaksikan
dengan zat tertentu untuk membentuk senyawa yang menyerap cahaya pada
panjang gelombang tertentu. Pembentukan warna untuk zat atau senyawa
yang tidak berwarna dapat dilakukan dengan pembentukan kompleks atau
dengan cara oksidasi sehingga analit menjadi berwarna (Day dan Underwood,
1992).
Masalah-masalah dalam pengukuran spektrofotometer :
1. Penyimpangan kimia dapat terjadi bila ada perubahan-perubahan akibat
proses kimia, seperti senyawaan yang dianalisis bereaksi dengan
senyawaan lain atau pelarut yang digunakan (Christian, 1994).
2. Penyimpangan alat dapat diakibatkan oleh kemungkinan masih adanya
sinar yang bersifat polikromatik. Tuntutan ini sukar dipenuhi karena
monokromator kurang mampu mengisolasi panjang gelombang yang
benar-benar monokromatik. Di samping kelemahan monokromator, juga
ada pengaruh sinar sesaat. Sinar ini terjadi karena pantulan permukaan
alat optis yang digunakan dan hamburan sinar oleh dinding dalam
peralatan untuk kemudian menerobos celah tanpa lewat monokromator
menuju detektor (Christian, 1994).
3. Penyimpangan terhadap hukum Lambert-Beer berlaku untuk konsentrasi
media yang encer dan jika terlalu pekat maka fungsi absorbans terhadap
konsentrasi menjadi tidak linear (Christian, 1994).
Analisis nitrat dan nitrit dalam limbah cair tahu ditentukan
menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Pada analisis kadar nitrat
23
menggunakan metode brusin sulfat yaitu ion nitrat bereaksi dengan larutan
brusin dan H2SO4 pekat akan menghasilkan senyawa kompleks yang
berwarna kuning (Moorcroft et al., 2001).
24
J. Isoterm Adsorpsi
Isoterm Adsorpsi merupakan
25
III. BAHAN DAN METODE
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental deskriptif
yang terdiri dari beberapa metode yang telah berstandar SNI. Pengujian
parameter nitrat berdasarkan SNI 06-2480-1991, dan pada pengujian
parameter nitrit berdasarkan SNI 06-6989.9-2004. Parameter ini dilakukan
masing-masing dua kali ulangan.
D. Cara Kerja
12
terbuat dari bahan polietilen lalu dimasukkan ke dalam cooler box.
Sampel siap untuk dianalisis lebih lanjut di laboratorium.
4. Pengaturan pH Adsorpsi
Pengaturan pH asam dilakukan dengan cara penambahan larutan
NaOH 0,1 N dan pengaturan pH basa dilakukan dengan cara penambahan
larutan HCl 0,1 N (Suyata dan Irmanto, 2009).
5. Analisis Awal Limbah Cair Tahu
a. Derajat Keasaman [pH] (SNI 6989.11:2019)
Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan pH meter
secara in situ dan di dalam laboratorium sebelum dilakukan analisis
lebih lanjut.
b. Pengujian Parameter NO3 (SNI 06-2480-1991)
(1). Larutan Brusin
Sulfanilat ditimbang sebanyak 0,05 gram dan brusin 0,5
gram, dimasukkan ke dalam beaker glass ditambah H2SO4 pekat
1,5 mL kemudian dilarutkan dengan akuades. Larutan
dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL dan ditambah dengan
akuades sampai tanda batas.
(2). Larutan NaCl 30%
Natrium klorida ditimbang 30 g, dimasukkan ke dalam
beaker glass kemudian dilarutkan dengan akuades. Larutan
dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambah dengan
akuades sampai tanda batas.
(3). Larutan Induk NO3 (1000 ppm)
Kalium nitrat ditimbang 0,163 g, dimasukkan ke dalam
beaker glass kemudian dilarutkan dengan akuades. Larutan
dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambah dengan
akuades sampai tanda batas.
(4). Larutan Standar NO3 (100 ppm)
Larutan NO3 1000 ppm diambil sebanyak 10 mL,
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambah dengan
akuades sampai tanda batas. Sebanyak 2; 4; 6; 8 dan 10 mL
13
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambah
dengan akuades sampai tanda batas sehingga didapatkan larutan
NO3 dengan konsentrasi 2; 4; 6; 8 dan 10 ppm.
(5). Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Kurva Kalibrasi
NO3
Larutan standar nitrat (2; 4; 6; 8 dan 10 ppm) diambil
sebanyak 5 mL dan blanko, dimasukkan ke dalam masing-
masing tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1 mL larutan
NaCl 30% dan 5 mL larutan asam sulfat sambil dikocok
perlahan dan biarkan sampai dingin. Ditambahkan 0,25 mL
larutan brusin, dikocok perlahan-lahan dan dipanaskan diatas
penangas air pada suhu tidak melebihi 95oC selama 20 menit
kemudian didinginkan.
Untuk penentuan panjang gelombang maksimum,
absorbansi larutan standar terpekat diukur pada panjang
gelombang 350-500 nm. Kemudian masing-masing larutan
standar diukur absorbansinya untuk mendapatkan kurva
kalibrasi.
(6). Penentuan Kadar NO3
Sampel dan blanko diambil sebanyak 5 mL, dimasukkan ke
dalam masing-masing tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1
mL larutan NaCl 30% dan 5 mL larutan asam sulfat sambil
dikocok perlahan dan biarkan sampai dingin. Ditambahkan 0,25
mL larutan brusin, dikocok perlahan-lahan dan dipanaskan
diatas penangas air pada suhu tidak melebihi 95oC selama 20
menit kemudian didinginkan. Dibaca absorbansinya
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 410 nm.
c. Pengujian Parameter NO2 (SNI 06-6989.9-2004)
(1). Larutan Sulfanilamida
Sulfanilamida ditimbang sebanyak 1 g, dilarutkan dalam
suatu campuran dari HCl pekat 10 mL dan kurang lebih akuades
14
60 mL dalam beaker glass, larutan dipindahkan ke dalam labu
ukur 100 mL dan diencerkan dengan akuades sampai tanda
batas.
(2). Larutan N-1-Naftil Etilen Diamina Dihidroklorida
N-1-Naftil Etilen Diamina Dihidroklorida ditimbang
sebanyak 0,1 g, dimasukkan ke dalam beaker glass kemudian
dilarutkan dengan akuades. Larutan dipindahkan ke dalam labu
ukur 100 mL dan ditambah dengan akuades sampai tanda batas.
(3). Larutan Induk NO2 (1000 ppm)
NaNO2 ditimbang sebanyak 0,123 g, dimasukkan ke dalam
beaker glass kemudian dilarutkan dengan akuades. Larutan
dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambah dengan
akuades sampai tanda batas.
(4). Larutan Standar NO2 (10 ppm)
Larutan NO2 1000 ppm diambil sebanyak 1 mL,
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambah dengan
akuades sampai tanda batas. Sebanyak 1; 2; 3; 4 dan 5 mL
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambah
dengan akuades sampai tanda batas sehingga didapatkan larutan
NO2 dengan konsentrasi 0,1; 0,2; 0,3; 0,4 dan 0,5 ppm.
(5). Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Kurva Kalibrasi
NO2
Larutan standar nitrit (0,1; 0,2; 0,3; 0,4 dan 0,5 ppm) dan
blanko diambil sebanyak 5 mL, dimasukkan ke dalam masing-
masing erlenmeyer, kemudian ditambahkan 1 mL larutan asam
sulfanilamida dan larutan tersebut dibiarkan bereaksi selama 2-8
menit. Selanjutnya, ditambahkan 1 mL larutan NED
dihidroklorida dikocok dan dibiarkan selama 10 menit.
Untuk penentuan panjang gelombang maksimum,
absorbansi larutan standar terpekat diukur pada panjang
gelombang 470-620 nm. Kemudian masing-masing larutan
15
standar diukur absorbansinya untuk mendapatkan kurva
kalibrasi.
(6). Penentuan Kadar NO2
Sampel dan blanko diambil sebanyak 5 mL, dimasukkan ke
dalam masing-masing erlenmeyer, kemudian ditambahkan 1 mL
larutan asam sulfanilamida dan larutan tersebut dibiarkan
bereaksi selama 2-8 menit. Selanjutnya, ditambahkan 1 mL
larutan NED dihidroklorida, diaduk dan dibiarkan selama 10
menit, kemudian dibaca absorbansinya menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 543 nm.
6. Optimasi Parameter Sorpsi
a. Optimasi pH Adsorpsi
(1). Penentuan pH Adsorpsi Optimum NO3
Larutan baku nitrat 5 ppm sebanyak 100 mL direaksikan dengan
karbon aktif TKKS berukuran 100 mesh pada massa 1 gram dan
waktu kontak 30 menit dengan variasi pH adsorpsi. Variasi pH
adsorpsi yang dilakukan adalah pH 5,0; 6,0; 7,0; 8,0; dan 9,0.
Larutan baku nitrat dianalisis kandungan nitrat terlebih dahulu
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 410 nm sebelum larutan baku nitrat dilakukan sorpsi
dengan karbon aktif TKKS. Setelah larutan baku nitrat
didiamkan selama waktu optimum, larutan baku nitrat dianalisis
kembali kandungan nitrat menggunakan spektrofotometer UV-
Vis pada panjang gelombang 410 nm. Percobaan diulang
sebanyak 2 kali untuk masing-masing variasi pH adsorpsi.
(2). Penentuan pH Adsorpsi Optimum NO2
Larutan baku nitrit 0,25 ppm sebanyak 100 mL direaksikan
dengan karbon aktif TKKS berukuran 100 mesh pada massa 1
gram dan waktu kontak 30 menit dengan variasi pH adsorpsi.
Variasi pH adsorpsi yang dilakukan adalah pH 5,0; 6,0; 7,0; 8,0;
dan 9,0. Larutan baku nitrit dianalisis kandungan nitrit terlebih
dahulu menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
16
gelombang 543 nm sebelum larutan baku nitrit dilakukan sorpsi
dengan karbon aktif TKKS. Setelah larutan baku nitrit
didiamkan selama waktu optimum, larutan baku nitrit dianalisis
kembali kandungan nitrit menggunakan spektrofotometer UV-
Vis pada panjang gelombang 543 nm. Percobaan diulang
sebanyak 2 kali untuk masing-masing variasi pH adsorpsi.
b. Optimasi Massa Karbon Aktif TKKS
(1). Penentuan Massa Karbon Aktif TKKS Optimum NO3
Larutan baku nitrat 5 ppm sebanyak 100 mL direaksikan dengan
karbon aktif TKKS berukuran 100 mesh pada pH optimum dan
waktu kontak 30 menit dengan variasi massa. Variasi massa
yang dilakukan adalah 0,25; 0,5; 0,75; 1,0; dan 1,25 g. Larutan
baku nitrat dianalisis kandungan nitrat terlebih dahulu
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 410 nm sebelum larutan baku nitrat dilakukan sorpsi
dengan karbon aktif TKKS. Setelah larutan baku nitrat
didiamkan selama 30 menit, larutan baku nitrat dianalisis
kembali kandungan nitrat menggunakan spektrofotometer UV-
Vis pada panjang gelombang 410 nm. Percobaan diulang
sebanyak 2 kali untuk masing-masing variasi massa karbon aktif
TKKS.
(2). Penentuan Massa Karbon Aktif TKKS Optimum NO2
Larutan baku nitrit 0,25 ppm sebanyak 100 mL direaksikan
dengan karbon aktif TKKS berukuran 100 mesh pada pH
optimum dan waktu kontak 30 menit dengan variasi massa.
Variasi massa yang dilakukan adalah 0,25; 0,5; 0,75; 1,0; dan
1,25 g. Larutan baku nitrit dianalisis kandungan nitrit terlebih
dahulu menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 543 nm sebelum larutan baku nitrit dilakukan sorpsi
dengan karbon aktif TKKS. Setelah larutan baku nitrit
didiamkan selama 30 menit, larutan baku nitrit dianalisis
kembali kandungan nitrit menggunakan spektrofotometer UV-
17
Vis pada panjang gelombang 543 nm. Percobaan diulang
sebanyak 2 kali untuk masing-masing variasi massa karbon aktif
TKKS.
18
Vis pada panjang gelombang 543 nm. Percobaan diulang
sebanyak 2 kali untuk masing-masing variasi waktu kontak
adsorpsi.
19
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 543 nm.
Percobaan diulang sebanyak 2 kali untuk masing-masing variasi
konsentrasi nitrit.
7. Aplikasi Sorpsi Limbah Cair Tahu
(1). Penentuan Konsentrasi NO3 dalam Limbah Cair Tahu
Limbah cair tahu sebanyak 100 mL direaksikan dengan karbon aktif
TKKS berukuran 100 mesh pada pH optimum, massa optimum, dan
waktu kontak optimum sesuai dengan konsentrasi awal limbah cair
tahu yang telah diuji sebelum dilakukan sorpsi limbah. Limbah cair
tahu dianalisis kandungan nitrat terlebih dahulu menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 410 nm sebelum
limbah cair tahu dilakukan sorpsi dengan karbon aktif TKKS.
Setelah limbah cair tahu didiamkan selama waktu optimum, limbah
cair tahu dianalisis kembali kandungan nitrat menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 410 nm.
Percobaan diulang sebanyak 2 kali.
(2). Penentuan Konsentrasi NO2 dalam Limbah Cair Tahu
Limbah cair tahu sebanyak 100 mL direaksikan dengan karbon aktif
TKKS berukuran 100 mesh pada pH optimum, massa optimum, dan
waktu kontak optimum sesuai dengan konsentrasi awal limbah cair
tahu yang telah diuji sebelum dilakukan sorpsi limbah. Limbah cair
tahu dianalisis kandungan nitrit terlebih dahulu menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 543 nm sebelum
limbah cair tahu dilakukan sorpsi dengan karbon aktif TKKS.
Setelah limbah cair tahu didiamkan selama waktu optimum, limbah
cair tahu dianalisis kembali kandungan nitrit menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 543 nm.
Percobaan diulang sebanyak 2 kali.
8. Perhitungan Pengujian Kadar NO2 dan NO3
Kadar pengujian dihitung dengan rumus:
( sampel−blanko )−intercept
mg NO2 atau NO 3 per liter= × fp
slope
Keterangan:
20
fp = faktor pengenceran
Keterangan:
C0 = konsentrasi awal parameter
C1 = konsentrasi akhir parameter
10. Perhitungan Kapasitas Sorpsi
Kapasitas sorpsi dihitung dengan rumus:
mg L × ( C 0−C 1 )
Q ( )
g
=
gram karbon aktif
Keterangan:
L = volume larutan limbah cair
C0 = konsentrasi awal parameter
C1 = konsentrasi akhir parameter
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Gambar 4. Sampel Limbah Cair Tahu
Sampel limbah cair tahu berwarna putih kekuningan, pH 3,62 dan
suhu 38,5oC. Limbah cair tahu dapat menimbulkan pencemaran yang cukup
berat karena memiliki kadar polutan organik yang cukup tinggi dan keasaman
yang rendah, yakni pH 4-5 (Fatha, 2007). Suhu yang meningkat di
lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan
oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan
(BPPT, 1997). Tingkat zat oksidasi lebih besar dari pada suhu tinggi dan
pembusukan jarang terjadi pada suhu rendah (Muhajir, 2013). Keberadaan
gas oksigen terlarut dalam air, maka akan menyebabkan senyawa amonium
terlarut akan teroksidasi lebih lanjut menjadi senyawa nitrit dan nitrat
(Karimullah et al., 2018).
13
0.3500
0.3000 f(x) = 0.62 x + 0.01
0.2500
Absorbansi
R² = 1
0.2000
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
Konsentrasi (ppm)
0.8000
0.6000
Absorbansi
14
1987). Nilai pH ini penting untuk dipertimbangkan karena dapat
mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air (Karim,
2007). Penentuan pH optimum sorpsi nitrit dan nitrat dilakukan pada
berbagai variasi pH limbah cair tahu yaitu pH 5, 6, 7, 8, dan 9.
Pengaturan pH asam dilakukan dengan cara penambahan larutan NaOH
0,1 N dan pengaturan pH basa dilakukan dengan cara penambahan
larutan HCL 0,1 N.
Persentasi penurunan kadar nitrit dan nitrat limbah cair tahu oleh
KA TKKS terhadap variasi pH dapat dilihat sebagai berikut.
25 21.88
% Efisiensi Sorpsi
20
15
10
5
0
5 6 7 8 9
Variasi pH
50 42.79
% Efisiensi Sorpsi
40
30
20
10
0
5 6 7 8 9
Variasi pH
15
0.01 0.01
0.01
Kapasitas Sorpsi
0
0
0
0
0
5 6 7 8 9
Variasi pH
0.2
0.15
0.1
0.05
0
5 6 7 8 9
Variasi pH
16
untuk nitrit dan 410 nm untuk kadar nitrit. Grafik hasil penentuan bobot
optimum sorpsi nitrit dan nitrat dengan karbon aktif TKKS dapat dilihat
sebagai berikut.
25 21.2
20
% Efisiensi Sorpsi 15
10
5
0
0,25 g 0,5 g 0,75 g 1,0 g 1,25 g
Variasi Massa
25
23.28
% Efisiensi Sorpsi
20
15
10
5
0
0,25 g 0,5 g 0,75 g 1,0 g 1,25 g
Variasi Massa
17
0.01 0.01
0.01
Kapasitas Sorpsi
0
0
0
0
0
0,25 g 0,5 g 0,75 g 1,0 g 1,25 g
Variasi Massa
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0,25 g 0,5 g 0,75 g 1,0 g 1,25 g
Variasi Massa
18
30
23.86
25
% Efisiensi Sorpsi
20
15
10
5
0
10 menit 15 menit 20 menit 30 menit 60 menit
Variasi Waktu
30
25
20
15
10
5
0
10 menit 15 menit 20 menit 30 menit 60 menit
Variasi Waktu
19
diperpanjang, maka karbon aktif yang telah menyerap nitrit dan nitrat
secara optimum akan dilepas kembali ke dalam larutan (limbah cair
tahu). Hal ini disebabkan karbon aktif mempunyai kapasitas serap
maksimum dalam menyerap nitrit dan nitrat (Irmanto dan Suyata, 2009).
0.01 0.01
0.01
Kapasitas Sorpsi
0.01
0
0
0
0
0
10 menit 15 menit 20 menit 30 menit 60 menit
Variasi Waktu
0.2500
0.23
0.2000
Kapasitas Sorpsi
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
10 menit 15 menit 20 menit 30 menit 60 menit
Variasi Waktu
20
Grafik penentuan konsentrasi optimum nitrit dan nitrat ditunjukkan
pada gambar berikut ini.
3.0000
2.5000
2.0000 f(x) = 0.48 x + 0.09
Absorbansi
R² = 1
1.5000
1.0000
0.5000
0.0000
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0
Konsentrasi (ppm)
8.0000
7.0000
6.0000 f(x) = 0.07 x + 0.01
Absorbansi
5.0000 R² = 1
4.0000
3.0000
2.0000
1.0000
0.0000
0 20 40 60 80 100 120
Konsentrast (ppm)
14.00 11.45
12.00
% Efisiensi Sorpsi
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
1 ppm 2 ppm 3 ppm 4 ppm 5 ppm
Variasi Konsentrasi
21
45 39.28
40
35
% Efisiensi Sorpsi
30
25
20
15
10
5
0
20 ppm 40 ppm 60 ppm 80 ppm 100 ppm
Variasi Konsentrasi
22
0.05
0.04
0.04
Kapasitas Sorpsi
0.03
0.02
0.01
0
1 ppm 2 ppm 3 ppm 4 ppm 5 ppm
Variasi Konsentrasi
4 3.7
Kapasitas Sorpsi
3
2
1
0
20 ppm 40 ppm 60 ppm 80 ppm 100 ppm
Variasi Konsentrasi
23
tahu dilakukan pada kondisi optimum sorpsi oleh karbon aktif TKKS yang
dapat ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 3. Kondisi Optimum Sorpsi Nitrit dan Nitrat
No
Parameter Hasil Volume Sampel
.
1. Bobot 1,0000 gram
2. Waktu Kontak 20 menit
3. pH 7 100 mL
4. Konsentrasi Nitrit 2 mg/L
5. Konsentrasi Nitrat 80 mg/L
24
V. SIMPULAN DAN SARAN
25
A. Simpulan
Kondisi awal limbah cair tahu yang dihasilkan oleh Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM) di Kecamatan Harjasari, Kota Bogor memiliki
kualitas pH, nitrit dan nitrat yang melebihi nilai ambang batas yang
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.
5 Tahun 2014. Karbon aktif TKKS mampu menurunkan kadar nitrit dan nitrat
pada kondisi optimum bobot 1,0000 gram, waktu kontak optimum 20 menit,
dan pH larutan 7. Karbon aktif TKKS mampu menurunkan kadar nitrit
sebesar 97,85% dan nitrat sebesar 92,33% dalam limbah cair tahu.
B. Saran
Penelitian lanjutan memerlukan uji Scanning Electron Microscope
(SEM) untuk mengetahui ukuran partikel permukaan karbon aktif TKKS
serta perlu dilakukan potensi karbon aktif TKKS dalam mengadsorpsi logam
berat dalam limbah cair tahu.
26
DAFTAR PUSTAKA
Amin, A., S. Sitorus, B. Yusuf. 2016. Pemanfaatan Limbah Tongkol Jagung (Zea
Mays L.) sebagai Karbon Aktif dalam Menurunkan Kadar Amoniak, Nitrit,
dan Nitrat pada Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Teknik Celup.
Jurnal Kimia Mulawarman. 13 (2): 78-84.
Atkins, P dan J. Paula. 2006. Physical Chemistry Eight Edition. Oxford University
Press: New York.
Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI 06-6989:9-2004, Air dan Air Limbah
Bagian 9 : Cara Uji Nitrit (NO2-N) Secara Spektrfotometri. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 6989.59-2008, Air dan Air Limbah
Bagian 59 : Metoda Pengambilan Contoh Air Limbah. Badan Standarisasi
Nasional. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2019. SNI 6989.11:2019, Air dan Air Limbah
Bagian 11 : Cara Uji Derajat Keasaman (pH) menggunakan pH meter.
Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Hendra, D. 2006. Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Kelapa Sawit dan
Serbuk Kayu Gergajian Campuran. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 24(2) :
117-132.
Nailasa, T., H. M. Wogo, & L. Kadang. 2013. Pemanfaatan Arang Aktif Biji
Kapuk sebagai Adsorben Limbah Cair Tahu. Jurnal Kimia Terapan. 1(1) :
40-49.
Pujiyanto. 2010. Pembuatan Karbon Aktif Super dari Batubara dan Tempurung
Kelapa. Tesis. Departemen Teknik Kimia. Universitas Indonesia. Depok.
Sepriani, A. Jemmy, & S. J. K. Harry. 2016. Pengaruh Limbah Cair Industri Tahu
terhadap Kualitas Air Sungai PAAL 4 Kecamatan Tikala Kota Manado.
Jurnal Chem. Prog. 9(1) : 35-40.
Stumm, W. dan J.J. Morgan. 1996. Aquatic Chemistry, Chemical Equilibria and
Rates in Natural Waters, 3rd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York.
21
Sudrajat, R. dan S. Soleh. 1994. Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan. 8(4) : 146-149
Suyata & Irmanto. 2009. Penurunan Kadar Amonia, Nitrat, dan Nitrit Limbah
Cair Industri Tahu Menggunakan Arang Aktif dari Ampas Kopi. Jurnal
Mol. 4(2) : 105-114.
Syauqiah, I., A. Mayang, & A. K. Hetty. 2011. Analisis Variasi Waktu dan
Kecepatan Pengaduk pada Proses Adsorpsi Limbah Logam Berat dengan
Arang Aktif. Jurnal Infoteknik. 12(1) : 11-20.
Taer, E., S. M. Widya, & Sugianto. 2016. Pemanfaatan Potensi Tandan Kosong
Kelapa Sawit sebagai Karbon Aktif untuk Pembersih Air Limbah Aktivitas
Penambangan Emas. Jurnal Komunikasi Fisika Indonesia. ISSN. 1412-
2960 : 852-858.
Chand, B., Roap, & G. Meenakshi. 2005. Activated Carbon Adsorption. New
York: Lewis
Andreas. 2019. Pengembangan Karbon Aktif dari Lindi Hitam Hasil Samping
Proses Bioetanol dari Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS).
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Serpong
Amalia, A. 2019. Optimasi Adsorpsi Amonia oleh Karbon Aktif Tandan Kosong
Kelapa Sawit serta Aplikasinya pada Whey Tahu. Skripsi. Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Nusa
Bangsa.
Anwar, K. 2008. Optimasi Suhu dan Konsentrasi Sodium Bisulfit (NaHSO3) pada
Proses Pembuatan Sodium Lignosulfonat Berbasis Tandan Kosong Kelapa
22
Sawit (TKKS). Skripsi. Departemen Tekologi Industri Pertanian Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB Bogor
Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit (Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir). Penebar Swadaya (PS). Jakarta. 412
Badan Pusat Statistik. 2019. Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan Kelapa
Sawit Menurut Provinsi di Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2012-2019. Ekspor Minyak Kelapa Sawit Menurut Negara
Tujuan Utama. Jakarta.
Baker, M., J. Thorne, & M. Dutnell. 1997. Leveraging Human Capital. The
Journal of Knowledge Management, Vol. 1, No. 1. PP. 63-74
Sukarta, I. N. 2008. Adsorpsi ion Cr3+ oleh Sebuk Gergaji Kayu Albizia (Albizia
Falcata) : Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam
Berat. Tesis. Program Studi Kimia, Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor
23
24
Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian
25
Lampiran 1. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5
Tahun 2014 tentang Pengolahan Kedelai
Paramete Beban Kuantitas Air Limbah
Satuan Kadar
r (kg/ton) Paling Tinggi (m3/ton)
pH 6-9
TSS mg/L 200 4
20
BOD mg/L 150 3
COD mg//L 300 6