“FRACTURE”
Disusun Oleh :
Reynanda Fathanza Hizrian
Anabella Nifulea
Annisa Nurmalia
Qory Aulia Sukma
B. Etiologi fraktur
a. Cedera
Banyak fraktur yang disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebih,
dapat secara langsung maupun tidak. Secara langsung adalah ketika tulang
patah pada titik dari dampak cedera; jaringan lunak juga terusak. Biasanya
memisahkan tulang secara melintang atau menekuknya di atas titik tumpu
sehingga menciptakan patahan dengan fragmen “Butterfly”. Secara tidak
langsung adalah ketika tulang patah pada jarak dari tempat gaya yang
diterapkan; kerusakan jaringan lunak tidak dapat dihindari.
Fraktur ini terjadi pada tulang yang mendapatkan beban yang berat secara
berulang, seperti atlet, penari, atau anggota militer yang mendapatkan program
pelatihan yang sangat melelahkan. Ketika paparan terhadap tekanan dan
deformasi terjadi berulang dan dalam waktu yang lama, resorpsi terjadi lebih
cepat dibandingkan dengan replacement tulang sehingga meninggalkan area
yang mudah untuk terjadi fraktur. Hal tersebut juga dapat terjadi pada
seseorang yang sedang dalam pengobatan yang mengganggu keseimbangan
resorpsi dan replacement, pasien dengan penyakit inflamasi kronis yang
mengkonsumsi obat steroid atau methotrexate.
c. Fraktur patologis
Fraktur yang dapat terjadi bahkan pada tekanan yang normal jika tulang sudah
melemah karena perubahan pada strukturnya (osteoporosis, osteogenesis
imperfecta, atau penyakit Paget) atau karena lesi litik (kista tulang atau
metastasis).
C. Klasifikasi Fraktur
a. Berdasarkan hubungan tulang dengan dunia luar
i. Fraktur Tetutup
● Jika kulit di area fraktur tetap intak sehingga tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan udara luar atau bagian
eksternal tubuh.
● Derajat fraktur tertutup menurut Tscherne:
1. Grade 0: fraktur sederhana tanpa / disertai dengan sedikit
kerusakan jaringan lunak.
2. Grade 1: fraktur yang disertai dengan abrasi superfisial
atau luka memar pada kulit dan jaringan subkutan.
3. Grade 2: fraktur yang lebih berat dibanding derajat 1
yang disertai dengan deep soft-tissue contusion and
swelling.
4. Grade 3: fraktur berat yang disertai dengan kerusakan
jaringan lunak yang nyata dan terdapat ancaman
terjadinya compartment syndrome (5P).
E. Diagnosis
a. Anamnesis
1. Riwayat penyakit sekarang: karakteristik trauma, mekanisme trauma,
gejala klinis trauma
2. Riwayat penyakit dahulu: riwayat penyakit, riwayat luka/trauma,
riwayat konsumsi/penggunaan obat, riwayat operasi, riwayat penyakit
keluarga
3. Faktor risiko: pekerjaan, alkohol, rokok, gaya hidup
b. Pemeriksaan Fisik
1. Generalis: tanda-tanda syok, perdarahan, kerusakan pada organ-organ
lain, faktor predisposisi
2. Lokalis: inspeksi, palpasi, pergerakan, pemeriksaan neurologis. Semua
dilakukan dengan membandingkan terhadap yang normal
a. Inspeksi: perubahan warna kulit, atrofi/hipertrofi, jaringan parut, luka,
deformitas, tulang yang menonjol, pembengkakan
b. Palpasi: suhu kulit hangat/dingin, luka kering/basah, adanya benjolan,
pulsasi, penonjolan tulang, krepitasi, nyeri tekan, sensasi rangsang
c. Pergerakan: krepitasi, range of motion, gerakan abnormal
d. Pemeriksaan neurologis: motorik (tonus otot, kekuatan otot,
koordinasi), sensorik (sentuhan, nyeri, temperatur, posisi, getaran),
refleks fisiologi dan patologis
c. Penilaian:
Jenis fraktur = …
Lokasi luka = ....
Luka ukuran = ... cm x ... cm
Skin loss +/-
Tanda radang +/-
Luka kotor +/-
Perdarahan +/-
Deformitas +/-
Keterlibatan sendi +/-
Bone expose +/-
Kelainan neurologis +/-
d. Pemeriksaan penunjang:
1. X-Ray
a. X-Ray merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat memperlihatkan
lokasi fraktur, jenis fraktur, fraktur komplit atau inkomplit dengan
menggunakan rule of two:
b. CT scan
CT scan merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan
informasi yang lebih detail mengenai fraktur. Pemeriksaan CT scan
dapat dilakukan apabila fraktur sulit atau tidak dapat dinilai
menggunakan gambaran X-Ray.
c. MRI
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
menilai tulang, sendi, dan jaringan lunak di sekitar fraktur, apakah
terdapat cedera tendon, ligamen, otot, atau tulang rawan.
1. Stadium hematom
2. Stadium peradangan dan proliferasi sel
3. Stadium soft kalus: gerakan fragmen mulai berkurang dan tidak terasa sakit lagi
4. Stadium konsolidasi/hard kalus: pematangan kalus menjadi keras
5. Stadium remodelling: terjadi resorpsi dan pembentukan kembali tulang seperti
bentuk semula
G. Tatalaksana
a) Tatalaksana Umum
- Fraktur biasanya menyertai trauma, penting dilakukan pemeriksaan airway,
breathing and circulation
- Bila tidak ada masalah lagi, lakukan anamnesa, dan pemeriksaan secara
terperinci
- Waktu terjadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama
sampai di Rumah Sakit, mengingat golden period (1-6 jam)
- Bila > 6 jam, komplikasi infeksi semakin meningkat, lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara singkat, lengkap.
- Lakukan Rontgen Radiologi, pemasangan bidai untuk menurunkan rasa sakit,
dan memepermudah proses pembuatan foto.
b) Tatalaksana Khusus
1.) Untuk meringankan nyeri
Tulang pada umumnya insensitif, nyeri yang ada umumnya berasal dari cidera
jaringan lunak yang terkena seperti periosteum dan endosteum. Nyeri muncul oleh
gerakan dari fragmen fraktur, berkaitan dengan spasme otot dan bengkak yang
progresif di ruangan tertutup. Maka dari itu, nyeri dari fraktur bisa diringankan dengan
imobilisasi area fraktur dan menghindari bidai ataupun gips yang terlalu ketat. Pada
awal terjadinya fraktur, analgesik mungkin dibutuhkan.
2.) Untuk mendapatkan dan menjaga posisi yang pas dari fragmen fraktur
Fraktur dapat undisplaced, ataupun displaced sehingga mungkin tidak
semua perlu dilakukan reduksi. Reduksi dari fraktur berguna untuk mendapatkan
posisi yang pas yang diindikasikan hanya saat sekiranya reduksi dapat membantu
dalam mendapatkan fungsi yang baik, untuk mencegah penyakit sendi
degeneratif selanjutnya atau untuk mendapatkan penampakan klinis yang baik,
tapi tidak perlu untuk sampai mendapatkan penampakan radiologis yang
sempurna.
Terdapat beberapa situasi dimana reduksi tidak dibutuhkan seperti saat terdapat
sedikit atau tidak ada sama sekali displacement, saat displacement tidak bermakna pada
awalnya (contohnya pada fraktur clavicula), saat reduction tidak memungkinkan untuk
berhasil (contohnya kompresi pada fraktur vertebra). Reduction harus selalu bertujuan
mendapatkan posisi yang pas dan alignment yang normal dari fragmen tulang. Semakin
besar area permukaan kontak diantara fragmen maka semakin memungkinkan untuk
pentembuhan terjadi. Celah diantara ujung fragmen adaah penyebab yang umum dari
delayed union atau non-union. Fraktur yang melibatkan permukaan artikular harus
direduksi sampai mendekati sempurna karena iregulitas sekecil apapun akan
menyebabkan distribusi beban yang abnormal diantara permukaan dan
mempredisposisikan perubahan degenaratif di kartilago artikular.
Terdapat 2 cara untuk melakukan reduksi, yaitu closed dan open. Pada closed
reduction, diperlukan anestesi yang memadai dan relaxasi otot lalu dilakukan three-fold
manoeuvre: (1) bagian distal dari tungkai/ lengan ditarik pada garis tulang; (2) seiring
fragmen terlepas, mereka akan tereposisi kembali (dengan membalikan arah awal dari
gaya jika bisa diberikan); (3) alignment dibenarkna pada setiap bidang. Hal ini paling
efektif saat periosteum dan otot pada satu sisi dari fraktur masih intak; jaringan lunak
yang mengikatnya mencegah over-reduction dan menstabilkan fraktur setelah direduksi
Beberapa fraktur sulit untuk direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yang kuat
dan mungkin memerlukan traksi yang diperpanjang. Traksi kulit atau skeletal untuk beberapa
hari akan membuat ketegangan jaringan lunak berkurang dan allignment yang lebih baik bisa
didapat; hal ini membantu untuk fraktur batang femur dan tibia dan bahan fraktur
supracondylar humerus pada anak- anak
Pada umumnya, closed reduction dipakai untuk minimally displaced fractures, untuk
fraktur pada anak dan fraktur yang stabil setelah reduksi dan dapat dilakukan dalam bentuk
splint atau cast. Fraktur yang tidak stabil juga dapat direduksi menggunakan metode closed
reduction sebelumnya saat akan dilakukan internal atau external fixasi. Hal ini menghindari
manipulasi langsung dari letak fraktur dengan open reduction, yang merusak suplai darah lokal
dan dapat menyebabkan waktu penyembuhan yang lama; makin banyak ahli bedah yang
beralih ke manoeuvres reduksi yang menghindari pajanan pada letak fraktur, bahkan saat
tujuannya untuk dilakukan internal atau external fiksasi
Operasi untuk reduksi fraktur dengan pengawasan langsung diindikasikan jika: (1) saat
closed reduction gagal, baik karena kesulitan mengontrol fragmen atau karena jaringan lunak
yang ada diantaranya; (2) saat terdapat fragmen artikular besar yang membutuhkan posisi
akurat atau (3) untuk traksi (avulsi) fraktur dimana fragmen dibersamakan. Sebagai aturan,
bagaimanapun, open reduction hanyalah tahap pertama dari fixasi internal
Cara ini hanya berlaku pada lengan. Karena pemakaian wrist sling,
berat dari lengam memberikan traksi yang terus menerus ke
humerus. Untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama pada fraktur
transverse, plaster U-slab dapat dibalutkan atau, lebih baik lagi,
removable plastic sleeve dari axilla sampai sedikit diatas siku
ditahan dengan Velcro.
● Traksi Kulit
Dapat menahan tarikan yang tak lebih dari 4 atau 5 kg. Strapping
Holland atau Elastoplast ditaruh pada kulit yang sudah dicukur dan
ditahan dengan plaster. Malleolus dilindungi oleh Gamgee tissue,
dan tali atau pengerat digunakan untuk traksi.
Traksi skeletal
Stiff wire atau pin dimasukan – biasanya dibelakang tuberkel tibia
untuk cedera panggul, paha dan lutut, atau melewati calcaneus untuk
fraktur tibia – dan tali diikatkan ke tempat tersebut untuk
mengaplikasikan traksi.
Komplikasi traksi :
o Hambatan sirkulasi
o Cedera pada nervus
o Infeksi pada tempat masuknya pin
b) Cast splintage
Plaster of Paris masih banyak digunakan sebagai splint, terutama untuk
fraktur tungkai bagian distal dan kebanyakan fraktur anak- anak. cukup aman,
selama praktisi memperhatikan bahaya ketatnya casting dan tekanan pada luka
dicegah. Walau begitu, sendi yang terkena plaster tidak dapat bergerak dan
mudah kaku. Saat bengkak dan hematom terselesaikan, lekatan dapat terbentuk
dan menyambungkan serat otot dengan serat lainnya dan tulang; pada fraktur
artikular, plaster menutupi permukaan yang ireguler terus menerus (closed
reduction jarang sempurna) dan tidak mempunyai kesempatan untuk bergerak
menghambat penyembuhan defek kartilago.
Kekakuan dapat dikurangi dengan: (1) delayed splintage – dengan
menggunakann traksi sampai gerak didapat lalu baru memberikan plaster; atau
(2) memulai dengan cast konvensional tetapi, setelah beberapa minggu, saat
tungkai dapat dihandle tanpa ketidaknyamanan yang berarti, mengganti cast
dengan bracing fungsional yang memberikan kesempatan untuk pergerakan
sendi.
Komplikasi dari cast splintage sendiri adalah: (1) cast yang kencang –
contohnya saat timbul pembengkakan saat cast sudah terpasang; (2) sakit karena
tekanan cast splintage itu sendiri; (3) abrasi atau laserasi kulit – dalam
komplikasi ini plaster harus dilepas; (4) cast yang longgar – seperti ketika proses
bengkak sudah mereda saat terpasang cast.
c) Functional bracing
Functional bracing dapat menggunakan plaster of Paris ataupun material
thermoplastic yang lebih ringan, penggunaan functional bracing dapat menjegah
kekakuan sendi sementara masih dapat membiarkan splintage dan loading dari
fraktur. Segmen dari cast diberikan hanya pada batang tulang, membiarkan sendi
bebas; segmen dari cast dihubungkan oleh metal atau hinge plastik yang
membiarkan gerak dalam satu bidang. Functional bracing tidak begitu kokoh,
maka biasanya hanya dipakai saat fraktur sudah mulai menyatu, contohnya 3- 6
minggu setelah traksi atau pemakaian plaster konvensional.2
Debridement
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan
jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik diseluruh bagian itu.
Dalam anastesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten
mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya
agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti
dengan bantalan yang steril dan kulit disekelilingnya di bersihkan dan di
cukur. Kemudian bantalan itu diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan
sejumlah besar garam fisiologis, irigasi akhir dapat disertai obat antibiotic
misalnya basitracin. Hanya sedikit kulit yang dieksisi dari tepi luka,
pertahankan sebanyak mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang
terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai, setelah diperbesar
pembalut dan benda asing lain dapat dilepas.
Penutupan luka
Luka tipe I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam
beberapa jam setelah cedera, setelah debridemen, dapat dijahit ( asalkan ini
dapat dilakukan tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka
yang lain harus dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi telah
terlewati. Luka itu dibalut sekadarnya dengan kassa steril dan diperiksa setelah
5 hari. Kalau bersih luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit
(penutupan primer tertunda).
Stabilisasi fraktur
Stabilisasi fraktur diperlukan untuk mengurangi kemungkinan infeksi.
Untuk luka tipe I atau tipe II yang kecil dengan fraktur yang stabil, boleh
menggunakan gips yang dibelah secara luas atau untuk femur digunakan traksi
pada bebat. Tetapi pada luka yang lebih berat, fraktur perlu difiksasi secara
lebih ketat. Metode yang paling aman adalah fiksasi eksterna. Pemasangan
pen intramedula dapat digunakan untuk femur atau tibia. Sebaiknya jangan
melakukan pelebaran luka (remaining) karena dapat meningkatkan risiko
infeksi. Plat dan sekrup dapat digunakan untuk fraktur metafisis atau artikular
dengan syarat ahli bedah itu berpengalaman dalam menggunakannya dan
keadaan ideal.
Perawatan sesudahnya
Tungkai ditinggikan diatas tempat tidur dan sirkulasi diperhatikan.Syok
mungkin masih membutuhkan terapi. Kemperapi dilanjutkan, dilakukan kultur
dan jka perlu diberikan penggantian antibitotik.
Jika luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari.Penjahitan primer tertunda
sering aman atau jika terdapat banyak kehilangan kulit, dilakukan
pencangkokan kulit.Jika toksemia atau septicemia terus terjadi meskipun telah
diberikan kemoterapi, luka tersebut di drainase.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.
a. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat
terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau
minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan
katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis
vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren.
b. Komplikasi Lokal
Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma
disebut komplikasi lanjut.
- Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed
union atau bahkan non union.
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi
sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi.
- Jaringan lunak
1. Lepuh
Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena
edema.Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan
melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips.
Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah
yang menonjol.
- Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu.Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada
serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma
dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush
atau thrombus.
- Pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus.
Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami
retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.
Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan
tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan
spasme.Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi
trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet
dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan
repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada
tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya.Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat
menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan
jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain
(nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis.
- Saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis
(kerusakan akson).Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan
identifikasi nervus.
Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur. Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan
Osteotomi. Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16
minggu).
Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan
fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone
grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang
berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi
lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang
luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang
tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi,
infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis).
Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan
deformitas.Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.
Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi
pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non
union (infected non union).
Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan
terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.
Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi
lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler,
perlengketan antara otot dan tendon.Pencegahannya berupa memperpendek
waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada
sendi.Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada
penderita dengan kekakuan sendi menetap.
DAFTAR PUSTAKA
1. Apley, Alan. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 9th ed., Butterworth-
Heinemann, 2010.
2. Chan, Otto. ABC of Emergency Radiology, 2nd ed., 2013.
3. Solomon Louis, Warwick David, Nayagam Selvadurai. Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures. 9th ed. London: Hodder Arnold; 2010.
4. Modul PSPD Ilmu Bedah, Hal. 99
5. Stanford Health Care: Fracture Diagnosis, from: https://stanfordhealthcare.org/medical-
conditions/bones-joints-and-muscles/fracture/diagnosis.html