Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

“FRACTURE”

Disusun Oleh :
Reynanda Fathanza Hizrian
Anabella Nifulea
Annisa Nurmalia
Qory Aulia Sukma

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


PERIODE 4 JANUARI - 29 JANUARI 2020
DEPARTEMEN ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021
A. Definisi fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang.

B. Etiologi fraktur
a. Cedera

Banyak fraktur yang disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebih,
dapat secara langsung maupun tidak. Secara langsung adalah ketika tulang
patah pada titik dari dampak cedera; jaringan lunak juga terusak. Biasanya
memisahkan tulang secara melintang atau menekuknya di atas titik tumpu
sehingga menciptakan patahan dengan fragmen “Butterfly”. Secara tidak
langsung adalah ketika tulang patah pada jarak dari tempat gaya yang
diterapkan; kerusakan jaringan lunak tidak dapat dihindari.

b. Fraktur yang disebabkan oleh kelelahan atau tekanan

Fraktur ini terjadi pada tulang yang mendapatkan beban yang berat secara
berulang, seperti atlet, penari, atau anggota militer yang mendapatkan program
pelatihan yang sangat melelahkan. Ketika paparan terhadap tekanan dan
deformasi terjadi berulang dan dalam waktu yang lama, resorpsi terjadi lebih
cepat dibandingkan dengan replacement tulang sehingga meninggalkan area
yang mudah untuk terjadi fraktur. Hal tersebut juga dapat terjadi pada
seseorang yang sedang dalam pengobatan yang mengganggu keseimbangan
resorpsi dan replacement, pasien dengan penyakit inflamasi kronis yang
mengkonsumsi obat steroid atau methotrexate.

c. Fraktur patologis

Fraktur yang dapat terjadi bahkan pada tekanan yang normal jika tulang sudah
melemah karena perubahan pada strukturnya (osteoporosis, osteogenesis
imperfecta, atau penyakit Paget) atau karena lesi litik (kista tulang atau
metastasis).
C. Klasifikasi Fraktur
a. Berdasarkan hubungan tulang dengan dunia luar
i. Fraktur Tetutup
● Jika kulit di area fraktur tetap intak sehingga tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan udara luar atau bagian
eksternal tubuh.
● Derajat fraktur tertutup menurut Tscherne:
1. Grade 0: fraktur sederhana tanpa / disertai dengan sedikit
kerusakan jaringan lunak.
2. Grade 1: fraktur yang disertai dengan abrasi superfisial
atau luka memar pada kulit dan jaringan subkutan.
3. Grade 2: fraktur yang lebih berat dibanding derajat 1
yang disertai dengan deep soft-tissue contusion and
swelling.
4. Grade 3: fraktur berat yang disertai dengan kerusakan
jaringan lunak yang nyata dan terdapat ancaman
terjadinya compartment syndrome (5P).

ii. Fraktur Terbuka


● Jika kulit di area fraktur mengalami luka terbuka sehingga
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
● Derajat fraktur terbuka menurut Gustilo dan Anderson:
1. Tipe 1: laserasi < 1cm yang relatif bersih.
2. Tipe 2: laserasi > 1 cm tanpa disertai dengan kerusakan
jaringan lunak yang luas atau avulsi.
3. Tipe 3: kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
otot, kulit, dan struktur neurovaskular
i. 3A: jaringan lunak masih dapat menutupi daerah
faktur secara adekuat.
ii. 3B: kehilangan jaringan lunak, disertai dengan
periosteal stripping dan bone expose, kontaminasi
yang masif, dan derajat kominusi yang berat.
iii. 3C: semua fraktur terbuka yang disertai dengan
cedera vaskular yang harus diperbaiki, tanpa
memperhatikan derajat cedera pada jaringan
lunak.

b. Berdasarkan garis fraktur


i. Fraktur complete
● bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang.
ii. Fraktur incomplete
● bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.
iii. Hairline fraktur: patah retak tambut
● Buckle fracture/ Torus fracture:
1. Bila terjadi lipatan dari korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
2. Biasanya pada distal radius anak-anak.
● Greenstick fracture:
1. Fraktur tidak sempurna, korteks tulangnya sebagian
masih utuh, demikian juga periosteumnya.
2. Sering terjadi pada anak-anak.
3. Fraktur ini akan segera sembuh dan segera mengalami
remodelling ke bentuk fungsi normal.
c. Berdasarkan bentuk garis fraktur
i. Fraktur transversal:
● Garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang.
● Pada fraktur semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah
direposisi/ direduksi kembali ke tempatnya semula.
ii. Farktur oblik:
● Garis patahnya membentuk sudut.
● Fraktur ini tidak stabil dan sulit diperbaiki.
iii. Fraktur spiral:
● Akibat trauma rotasi.
● Garis patah tulang membentuk spiral.
● Fraktur cenderung cepat sembuh.
iv. Fraktur kominutif:
● Garis patah lebih dari 1 dan saling berhubungan
v. Fraktur segmental:
● Garis patah lebih dari 1 tetapi tidak saling berhubungan.
d. Berdasarkan ada atau tidak adanya pergeseran
i. Fraktur undisplaced:
● Garis patah komplit tetapi ke-2 fragmen tidak bergeser.
ii. Fraktur displaced:
● Terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur.
● Terbagi atas:
1. Tranlation/shift: berpindah
2. Angulasi: membentuk sudut
3. Shortening: pemendekan
4. Rotasi: berputar
D. Gambaran Klinis
a. Adanya riwayat trauma
b. Nyeri
c. Kaku
d. Deformitas (perubahan bentuk)
e. Pembengkakan lokal pada daerah tulang yang patah
f. Perubahan warna pada daerah tulang yang patah (merah/lebam)
g. Panas pada daerah tulang yang patah
h. Keterbatasan LGS (lingkup gerak sendi)
i. Gerakan abnormal
j. Kehilangan fungsi gerak
k. Adanya krepitasi tulang

E. Diagnosis
a. Anamnesis
1. Riwayat penyakit sekarang: karakteristik trauma, mekanisme trauma,
gejala klinis trauma
2. Riwayat penyakit dahulu: riwayat penyakit, riwayat luka/trauma,
riwayat konsumsi/penggunaan obat, riwayat operasi, riwayat penyakit
keluarga
3. Faktor risiko: pekerjaan, alkohol, rokok, gaya hidup

b. Pemeriksaan Fisik
1. Generalis: tanda-tanda syok, perdarahan, kerusakan pada organ-organ
lain, faktor predisposisi
2. Lokalis: inspeksi, palpasi, pergerakan, pemeriksaan neurologis. Semua
dilakukan dengan membandingkan terhadap yang normal
a. Inspeksi: perubahan warna kulit, atrofi/hipertrofi, jaringan parut, luka,
deformitas, tulang yang menonjol, pembengkakan
b. Palpasi: suhu kulit hangat/dingin, luka kering/basah, adanya benjolan,
pulsasi, penonjolan tulang, krepitasi, nyeri tekan, sensasi rangsang
c. Pergerakan: krepitasi, range of motion, gerakan abnormal
d. Pemeriksaan neurologis: motorik (tonus otot, kekuatan otot,
koordinasi), sensorik (sentuhan, nyeri, temperatur, posisi, getaran),
refleks fisiologi dan patologis
c. Penilaian:
Jenis fraktur = …
Lokasi luka = ....
Luka ukuran = ... cm x ... cm
Skin loss +/-
Tanda radang +/-
Luka kotor +/-
Perdarahan +/-
Deformitas +/-
Keterlibatan sendi +/-
Bone expose +/-
Kelainan neurologis +/-
d. Pemeriksaan penunjang:
1. X-Ray
a. X-Ray merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat memperlihatkan
lokasi fraktur, jenis fraktur, fraktur komplit atau inkomplit dengan
menggunakan rule of two:

Two views Memiliki dua gambaran yang berbeda


(contoh: anteroposterior dan lateral)

Two joints Memperlihatkan sendi proximal dan distal dari lokasi


fraktur

Two sides Mengambil gambar dari organ lainnya yang normal

Two abnormalities Mencari kemungkinan trauma lain di sekitar lokasi


fraktur

Two occasions Menilai dua gambar di waktu yang berbeda (contoh:


x-ray sebelum dan sesudah fraktur)

Two visits Menilai gambar setelah pasien diberikan tatalaksana


untuk melihat perubahan pada fraktur

Two opinions Meminta pendapat sejawat yang lain mengenai hasil


X-Ray

Two records Membuat dua laporan untuk dokumentasi

Two specialists Melibatkan dua dokter spesialis

Two examination Melakukan pemeriksaan kembali atau pemeriksaan


penunjang lainnya jika hasil pemeriksaan normal

b. CT scan
CT scan merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan
informasi yang lebih detail mengenai fraktur. Pemeriksaan CT scan
dapat dilakukan apabila fraktur sulit atau tidak dapat dinilai
menggunakan gambaran X-Ray.
c. MRI
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
menilai tulang, sendi, dan jaringan lunak di sekitar fraktur, apakah
terdapat cedera tendon, ligamen, otot, atau tulang rawan.

F. Stadium Penyembuhan Fraktur

1. Stadium hematom
2. Stadium peradangan dan proliferasi sel
3. Stadium soft kalus: gerakan fragmen mulai berkurang dan tidak terasa sakit lagi
4. Stadium konsolidasi/hard kalus: pematangan kalus menjadi keras
5. Stadium remodelling: terjadi resorpsi dan pembentukan kembali tulang seperti
bentuk semula

G. Tatalaksana

a) Tatalaksana Umum
- Fraktur biasanya menyertai trauma, penting dilakukan pemeriksaan airway,
breathing and circulation
- Bila tidak ada masalah lagi, lakukan anamnesa, dan pemeriksaan secara
terperinci
- Waktu terjadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama
sampai di Rumah Sakit, mengingat golden period (1-6 jam)
- Bila > 6 jam, komplikasi infeksi semakin meningkat, lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara singkat, lengkap.
- Lakukan Rontgen Radiologi, pemasangan bidai untuk menurunkan rasa sakit,
dan memepermudah proses pembuatan foto.

b) Tatalaksana Khusus
1.) Untuk meringankan nyeri
Tulang pada umumnya insensitif, nyeri yang ada umumnya berasal dari cidera
jaringan lunak yang terkena seperti periosteum dan endosteum. Nyeri muncul oleh
gerakan dari fragmen fraktur, berkaitan dengan spasme otot dan bengkak yang
progresif di ruangan tertutup. Maka dari itu, nyeri dari fraktur bisa diringankan dengan
imobilisasi area fraktur dan menghindari bidai ataupun gips yang terlalu ketat. Pada
awal terjadinya fraktur, analgesik mungkin dibutuhkan.

2.) Untuk mendapatkan dan menjaga posisi yang pas dari fragmen fraktur
Fraktur dapat undisplaced, ataupun displaced sehingga mungkin tidak
semua perlu dilakukan reduksi. Reduksi dari fraktur berguna untuk mendapatkan
posisi yang pas yang diindikasikan hanya saat sekiranya reduksi dapat membantu
dalam mendapatkan fungsi yang baik, untuk mencegah penyakit sendi
degeneratif selanjutnya atau untuk mendapatkan penampakan klinis yang baik,
tapi tidak perlu untuk sampai mendapatkan penampakan radiologis yang
sempurna.

3.) Untuk mendorong terjadinya union dari tulang


Pada kebanyakan fraktur, union akan terjadi dengan sendirinya. Namun pada
beberapa fraktur, seperti yang terdapat robekan berat dari periosteum dan jaringan
lunak sekitarnya atau adanya nekrosis avaskular di satu atau kedua fragmen, union
harus dibantu dengan penggunaan alat/ bone graft.

4.) Untuk mengembalikan fungsi optimal tidak hanya dari tungkai/lengan


atau tulang belakang yang terkena namun juga untuk pasien secara
keseluruhan.

Saat periode imobilisasi selama proses penyumbuhan fraktur, disuse


atrophy dari otot di sekitarnya harus dicegah dengan active static exercise dari
otot yang mengontrol imobilisasi sendinya dan active dynamic exercise dari
semua otot pada tungkai ataupun lengannya.Setelah imobilisasi selesai, active
exercise harus dilanjutkan secara lebih intensif.

Terapi pada fraktur meliputi manipulasi untuk memperbaiki posisi


fragmen, diikuti dengan splintage untuk menahannya sampai menyatu;
sementara itu pergerakan sendi dan fungsi harus dijaga. Penyembuhan fraktur
didorong oleh loading fisiologis dari tulang, jadi aktifitas otot dan weightbearing
dini harus didorong. Tujuan ini diliputi oleh 3 aturan, yaitu:
1. Reduce
2. Hold
3. Exercise

Terdapat beberapa situasi dimana reduksi tidak dibutuhkan seperti saat terdapat
sedikit atau tidak ada sama sekali displacement, saat displacement tidak bermakna pada
awalnya (contohnya pada fraktur clavicula), saat reduction tidak memungkinkan untuk
berhasil (contohnya kompresi pada fraktur vertebra). Reduction harus selalu bertujuan
mendapatkan posisi yang pas dan alignment yang normal dari fragmen tulang. Semakin
besar area permukaan kontak diantara fragmen maka semakin memungkinkan untuk
pentembuhan terjadi. Celah diantara ujung fragmen adaah penyebab yang umum dari
delayed union atau non-union. Fraktur yang melibatkan permukaan artikular harus
direduksi sampai mendekati sempurna karena iregulitas sekecil apapun akan
menyebabkan distribusi beban yang abnormal diantara permukaan dan
mempredisposisikan perubahan degenaratif di kartilago artikular.

Terdapat 2 cara untuk melakukan reduksi, yaitu closed dan open. Pada closed
reduction, diperlukan anestesi yang memadai dan relaxasi otot lalu dilakukan three-fold
manoeuvre: (1) bagian distal dari tungkai/ lengan ditarik pada garis tulang; (2) seiring
fragmen terlepas, mereka akan tereposisi kembali (dengan membalikan arah awal dari
gaya jika bisa diberikan); (3) alignment dibenarkna pada setiap bidang. Hal ini paling
efektif saat periosteum dan otot pada satu sisi dari fraktur masih intak; jaringan lunak
yang mengikatnya mencegah over-reduction dan menstabilkan fraktur setelah direduksi
Beberapa fraktur sulit untuk direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yang kuat
dan mungkin memerlukan traksi yang diperpanjang. Traksi kulit atau skeletal untuk beberapa
hari akan membuat ketegangan jaringan lunak berkurang dan allignment yang lebih baik bisa
didapat; hal ini membantu untuk fraktur batang femur dan tibia dan bahan fraktur
supracondylar humerus pada anak- anak

Pada umumnya, closed reduction dipakai untuk minimally displaced fractures, untuk
fraktur pada anak dan fraktur yang stabil setelah reduksi dan dapat dilakukan dalam bentuk
splint atau cast. Fraktur yang tidak stabil juga dapat direduksi menggunakan metode closed
reduction sebelumnya saat akan dilakukan internal atau external fixasi. Hal ini menghindari
manipulasi langsung dari letak fraktur dengan open reduction, yang merusak suplai darah lokal
dan dapat menyebabkan waktu penyembuhan yang lama; makin banyak ahli bedah yang
beralih ke manoeuvres reduksi yang menghindari pajanan pada letak fraktur, bahkan saat
tujuannya untuk dilakukan internal atau external fiksasi

Operasi untuk reduksi fraktur dengan pengawasan langsung diindikasikan jika: (1) saat
closed reduction gagal, baik karena kesulitan mengontrol fragmen atau karena jaringan lunak
yang ada diantaranya; (2) saat terdapat fragmen artikular besar yang membutuhkan posisi
akurat atau (3) untuk traksi (avulsi) fraktur dimana fragmen dibersamakan. Sebagai aturan,
bagaimanapun, open reduction hanyalah tahap pertama dari fixasi internal

Hold reduction atau sering digunakan kata imobilisasi bertujuan untuk


mencegah displacement. Beberapa halangan gerak dibutuhkan untuk
penyembuhan jaringan lunak dan untuk memungkinkan gerakan bebas pada
bagian yang tidak terkena. Beberapa metode hold reduction adalah sebagai
berikut:
a) Continous Traction
Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal fraktur, supaya
melakukan suatu tarikan yang terus-menerus pada poros panjang tulang
itu. Cara ini sangat berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblik atau
spiral yang mudah bergeser oleh kontraksi otot. Traksi tidak dapat
menahan fraktur tetap diam; traksi dapat menarik tulang panjang secara
lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi reduksi yang tepat kadang-
kadang sukar dipertahankan. Dan sementara itu pasien dapat
menggerakkan sendi-sendinya dan melatih ototnya. Traksi cukup aman,
asalkan tidak berlebihan dan berhati-hati menyisipkan pen traksi.
Masalahnya adalah kecepatan: bukan karena fraktur menyatu secara
perlahan-lahan tetapi karena traksi tungkai bawah akan menahan pasien
tetap di rumah sakit. Maka dari itu, segera setelah fraktur menempel
traksi harus digantikan dengan bracing, jika metode ini dapat
dilaksanakan. Macam-macam traksi:
● Traksi dengan gaya berat

Cara ini hanya berlaku pada lengan. Karena pemakaian wrist sling,
berat dari lengam memberikan traksi yang terus menerus ke
humerus. Untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama pada fraktur
transverse, plaster U-slab dapat dibalutkan atau, lebih baik lagi,
removable plastic sleeve dari axilla sampai sedikit diatas siku
ditahan dengan Velcro.

● Traksi Kulit

Dapat menahan tarikan yang tak lebih dari 4 atau 5 kg. Strapping
Holland atau Elastoplast ditaruh pada kulit yang sudah dicukur dan
ditahan dengan plaster. Malleolus dilindungi oleh Gamgee tissue,
dan tali atau pengerat digunakan untuk traksi.
 Traksi skeletal
Stiff wire atau pin dimasukan – biasanya dibelakang tuberkel tibia
untuk cedera panggul, paha dan lutut, atau melewati calcaneus untuk
fraktur tibia – dan tali diikatkan ke tempat tersebut untuk
mengaplikasikan traksi.

Gambar 7. Metode Traksi

Komplikasi traksi :
o Hambatan sirkulasi
o Cedera pada nervus
o Infeksi pada tempat masuknya pin

b) Cast splintage
Plaster of Paris masih banyak digunakan sebagai splint, terutama untuk
fraktur tungkai bagian distal dan kebanyakan fraktur anak- anak. cukup aman,
selama praktisi memperhatikan bahaya ketatnya casting dan tekanan pada luka
dicegah. Walau begitu, sendi yang terkena plaster tidak dapat bergerak dan
mudah kaku. Saat bengkak dan hematom terselesaikan, lekatan dapat terbentuk
dan menyambungkan serat otot dengan serat lainnya dan tulang; pada fraktur
artikular, plaster menutupi permukaan yang ireguler terus menerus (closed
reduction jarang sempurna) dan tidak mempunyai kesempatan untuk bergerak
menghambat penyembuhan defek kartilago.
Kekakuan dapat dikurangi dengan: (1) delayed splintage – dengan
menggunakann traksi sampai gerak didapat lalu baru memberikan plaster; atau
(2) memulai dengan cast konvensional tetapi, setelah beberapa minggu, saat
tungkai dapat dihandle tanpa ketidaknyamanan yang berarti, mengganti cast
dengan bracing fungsional yang memberikan kesempatan untuk pergerakan
sendi.
Komplikasi dari cast splintage sendiri adalah: (1) cast yang kencang –
contohnya saat timbul pembengkakan saat cast sudah terpasang; (2) sakit karena
tekanan cast splintage itu sendiri; (3) abrasi atau laserasi kulit – dalam
komplikasi ini plaster harus dilepas; (4) cast yang longgar – seperti ketika proses
bengkak sudah mereda saat terpasang cast.

Gambar 8. Cast Splintage

c) Functional bracing
Functional bracing dapat menggunakan plaster of Paris ataupun material
thermoplastic yang lebih ringan, penggunaan functional bracing dapat menjegah
kekakuan sendi sementara masih dapat membiarkan splintage dan loading dari
fraktur. Segmen dari cast diberikan hanya pada batang tulang, membiarkan sendi
bebas; segmen dari cast dihubungkan oleh metal atau hinge plastik yang
membiarkan gerak dalam satu bidang. Functional bracing tidak begitu kokoh,
maka biasanya hanya dipakai saat fraktur sudah mulai menyatu, contohnya 3- 6
minggu setelah traksi atau pemakaian plaster konvensional.2

Gambar 9. Functional Bracing


d) Internal fixation
Pada fixasi internal, fragmen tulang dapat diperbaiki dengan screw,
metal plate yang ditopang screw, long intramedullary rod atau nail
(dengan atau tanpa locking screw), circumferential band atau
kombinasi dari semua ini. Jika dipasang dengan benar, fixasi internal
dapat menopang fraktur dengan aman sehingga gerak dapat dimulai
sejak itu; dengan gerak yang dapat dimulai dini, kekaukan dan edema
dapat dicegah. Walaupun begitu, perlu diingat bahwa fraktur belum
menyatu namun gerak dapat dilakukan karena adanya jembatan metal
dan dalam hal ini unprotected weighbearing masih belum aman
dilakukan. 2
Risiko dari fixasi internal yang paling besar adalah sepsis. Resiko
infeksi bergantung pada: (1) pasien – jaringan yang terkena, luka kotor
dan pasien yang tidak fit tidaklah aman dilakukan fixasi internal; (2)
ahli bedah; (3) fasilitas. 2
Indikasi dari internal fixasi yang paling utama adalah: 2
1. Fraktur yang tidak dapat direduksi selain dengan operasi
2. Fraktur yang tidak stabil dan cenderung dapat redisplace setelah
dilakukannya reduksi (contohnya fraktur pada tengah batang dari
lengan atas dan fraktur displaced pergelangan kaki). Juga termasuk
fraktur yang mungkin ditarik oleh gerakan otot (seperti fraktur
transverse dari patella atau olecranon).
3. Fraktur yang menyatu secara butuk dan lambat, terutama fraktur
dari leher femur
4. Fraktur patologis dimana penyakit tulang menghambat
penyembuhan
5. Fraktur multiple dimana fixasi dini (baik dengan fixasi internal
ataupun external) menurunkan resiko komplikasi dan late
multisystem organ failure
6. Fraktur pada pasien dengan kesulitan perawatan seperti pasien
dengan paraplegia, cedera yang banyak dan lansia
Tipe dari fixasi internal:
 Intergragmentary screws
 Wires (transfixing, cerclage dan tension-band)
 Plates and screws
 Intramedullary nails

Gambar 10. Fixasi Internal

Komplikasi dari fixasi internal:


1) Infeksi
2) Non-union
3) Implant failure
4) Refracture
e) External fixation
Fraktur dapat ditopang dengan transfixing screw atau tensioned wires
yang melewati tulang keatas dan kebawah dari fraktur dan terpasang ke
external frame.2
Indikasi fixasi external:
1. Fraktur yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak
yang buruk (termasuk fraktur terbuka) atau yang
terkontaminasi, dimana fixasi internal berisiko dan akses
berulang dibutuhkan untuk inspeksi luka, dressing atau bedah
plastik.
2. Fraktur disekitar sendi yang butuh internal fixasi namun
jaringan lunaknya terlalu bengkak untuk operasi yang aman;
disini, bentangan fixasi external memberikan stabilitas sampai
kondisi jaringan lunak membaik.
3. Pasien dengan cedera multiple, terutama jika ada fraktur femur
bilateral, fraktur pelvis dengan perdarahan hebat, dan dengan
tungkai dan cedera yang berhubungan dengan dada atau kepala.
4. Fraktur yang tidak menyambung, yang bisa dipotong atau
dikompresi; terkadang ini dikombinasikan dengan pemanjangan
tulang untuk mengganti segmen yang dipotong.
5. Fraktur yang terinfeksi, dimana fixasi internal tidak
memungkinkan.
Komplikasi fixasi internal:
1. Kerusakan pada struktur jaringan lunak
2. Overdistraction
3. Pin-track infection

Terapi pada Fraktur Terbuka


Semua fraktur terbuka, tak peduli sebebrapa ringannya harus dianggap
terkontaminasi, penting untuk mencegah terjadinya infeksi. 4 hal yang dapat
dilakukan :
1. Pembalutan luka dengan segera
2. Profilaksis antibiotika
3. Debridement Luka secara dini
4. Stabilisasi fraktur
Penangan dini
Luka harus tetap ditutup hngga pasien tiba di kamar bedah. Antibiotic
diberikan secepat mungkin, tak peduli seberapa kecil laserasi itu, dan
dilanjutkan hingga bahaya infeksi terlewati. Pada umumnya pemberian
kombinasi benzilpenisilin dan flukloksasilin tiap 6 jam selama 48 jam akan
mencukupi; kalau luka amat terkontaminasi dapat menambahkan gentamisin
atau metronidazol dan melanjutkan terapi selama 4 atau 5 hari. Pemberian
profilaksis tetanus juga penting, toksoid diberikan pada mereka yang
sebeblumnya sudah diimunisasi, kalau belum beri antiserum manusia.

Debridement
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan
jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik diseluruh bagian itu.
Dalam anastesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten
mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya
agar tetap diam. Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti
dengan bantalan yang steril dan kulit disekelilingnya di bersihkan dan di
cukur. Kemudian bantalan itu diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan
sejumlah besar garam fisiologis, irigasi akhir dapat disertai obat antibiotic
misalnya basitracin. Hanya sedikit kulit yang dieksisi dari tepi luka,
pertahankan sebanyak mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang
terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai, setelah diperbesar
pembalut dan benda asing lain dapat dilepas.
Penutupan luka
Luka tipe I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam
beberapa jam setelah cedera, setelah debridemen, dapat dijahit ( asalkan ini
dapat dilakukan tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka
yang lain harus dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi telah
terlewati. Luka itu dibalut sekadarnya dengan kassa steril dan diperiksa setelah
5 hari. Kalau bersih luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit
(penutupan primer tertunda).
Stabilisasi fraktur
Stabilisasi fraktur diperlukan untuk mengurangi kemungkinan infeksi.
Untuk luka tipe I atau tipe II yang kecil dengan fraktur yang stabil, boleh
menggunakan gips yang dibelah secara luas atau untuk femur digunakan traksi
pada bebat. Tetapi pada luka yang lebih berat, fraktur perlu difiksasi secara
lebih ketat. Metode yang paling aman adalah fiksasi eksterna. Pemasangan
pen intramedula dapat digunakan untuk femur atau tibia. Sebaiknya jangan
melakukan pelebaran luka (remaining) karena dapat meningkatkan risiko
infeksi. Plat dan sekrup dapat digunakan untuk fraktur metafisis atau artikular
dengan syarat ahli bedah itu berpengalaman dalam menggunakannya dan
keadaan ideal.
Perawatan sesudahnya
Tungkai ditinggikan diatas tempat tidur dan sirkulasi diperhatikan.Syok
mungkin masih membutuhkan terapi. Kemperapi dilanjutkan, dilakukan kultur
dan jka perlu diberikan penggantian antibitotik.
Jika luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari.Penjahitan primer tertunda
sering aman atau jika terdapat banyak kehilangan kulit, dilakukan
pencangkokan kulit.Jika toksemia atau septicemia terus terjadi meskipun telah
diberikan kemoterapi, luka tersebut di drainase.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.
a. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat
terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau
minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan
katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis
vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren.
b. Komplikasi Lokal
 Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma
disebut komplikasi lanjut.
- Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed
union atau bahkan non union.

Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi
sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi.
- Jaringan lunak
1. Lepuh
Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena
edema.Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan
melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips.
Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah
yang menonjol.
- Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu.Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada
serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma
dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush
atau thrombus.
- Pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus.
Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami
retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.
Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan
tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan
spasme.Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi
trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet
dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan
repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada
tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya.Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat
menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan
jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain
(nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis.
- Saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis
(kerusakan akson).Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan
identifikasi nervus.
 Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
 Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur. Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan
Osteotomi. Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16
minggu).
 Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan
fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone
grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang
berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi
lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang
luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang
tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi,
infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis).
 Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan
deformitas.Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.
 Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi
pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non
union (infected non union).
Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan
terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.
 Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi
lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler,
perlengketan antara otot dan tendon.Pencegahannya berupa memperpendek
waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada
sendi.Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada
penderita dengan kekakuan sendi menetap.
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley, Alan. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 9th ed., Butterworth-
Heinemann, 2010.
2. Chan, Otto. ABC of Emergency Radiology, 2nd ed., 2013.
3. Solomon Louis, Warwick David, Nayagam Selvadurai. Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures. 9th ed. London: Hodder Arnold; 2010.
4. Modul PSPD Ilmu Bedah, Hal. 99
5. Stanford Health Care: Fracture Diagnosis, from: https://stanfordhealthcare.org/medical-
conditions/bones-joints-and-muscles/fracture/diagnosis.html

Anda mungkin juga menyukai