Anda di halaman 1dari 19

MODUL PERKULIAHAN

Kewirausahaan I

Modul 1 : Pengertian Wirausaha ,


Kewirausahaan, Aktivitas Wirausaha
Dan Ruang Lingkup Kewirausahaan

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

01
Ekonomi dan Bisnis Manajemen S1 Ismail Solihin, SE., MSi

Abstract Kompetensi
Materi ini menjelaskan pengertian Mahasiswa memiliki kemampuan
wirausaha, kewirausahaan, Aktivitas untuk memahami dan menjelaskan
Wirausaha dan ruang lingkup konsep , aktivitas serta ruang lingkup
kewirausahaan yang terdiri dari kewirausahaan.
nascent entrepreneurship, productive
entrepreneurship dan unproductive
entrepreneurship
Pengertian Wirausaha, Kewirausahaan, Aktivitas Wirausaha dan Ruang Lingkup
Kewirausahaan

Pendahuluan
Kewirausahaan (entrepreneurship) dan wirausaha (entrepreneur) telah menjadi salah satu
topik yang sangat menarik saat ini. Bila anda menuliskan kata entrepreneur pada mesin
pencari Google, anda akan memperoleh lebih dari 37.000.000 hit yang berkaitan dengan
kata entrepreneur (Shane, 2008). Aktivitas kewirausahaan yang dilakukan oleh para
wirausaha tersebut berlangsung baik di perusahaan besar maupun usaha yang tergolong ke
dalam usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) atau small and medium enterprise (SME)
di seluruh belahan dunia.
Untuk membedakan aktivitas kewirausahaan yang dilakukan oleh para manajer dan
karyawan dalam sebuah perusahaan besar dengan aktivitas kewirausahaan yang dilakukan
oleh wirausaha yang tengah mempersiapkan usaha baru atau menjalankan usaha baru
maka dibuatlah penamaan yang berbeda untuk kedua jenis aktivitas kewirausahaan
tersebut. Aktivitas kewirausahaan yang dilakukan oleh para karyawan yang memiliki jiwa
wirausaha dalam perusahaan dinamakan intrapreneurship . Sedangkan aktivitas
kewirausahaan yang dilakukan oleh para pemilik usaha (business owner) baik kategori
UMKM mapun usaha baru (start up business) atau pengusaha yang memiliki usaha besar
dinamakan aktivitas kewirausahaan (entrepreneurship).
Kewirausahaan yang dilakukan oleh UMKM menunjukkan peran yang semakin
penting bagi perekonomian suatu negara. Kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto
(PDB) di Indonesia menunjukkan kenaikan dari 57% pada tahun 2013 (GEM, 2017) menjadi
sebesar 60,3% pada tahun 2016 (Kementerian Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah,
2017).
Aktivitas kewirausahaan dapat pula dikelompokkan menjadi aktivitas kewirausahaan
yang berorientasi untuk mendapatkan laba (profit oriented) dan kewirausahaan yang
ditujukan untuk memberikan manfaat sosial bagi para penerima manfaat (cause). Aktivitas
kewirausahaan yang dilaksanakan Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, dan berbagai organisasi
sosial kemasyarakatan lainnya dinamakan social entrepreneurship .
Apakah aktivitas kewirausahaan senantiasa memberikan dampak positif terhadap
perekonomian suatu negara? Jawabannya ternyata tidak. Pada tahun 1990, Baumol menulis
sebuah artikel yang kemudian menarik perhatian para ahli dan pemerhati kewirausahaan .
Dalam artikelnya tersebut, Baumol membagi aktivitas kewirausahaan ke dalam tiga kategori
yakni aktivitas kewirausahaan yang produktif (productive entrepreneurship), aktivitas

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
2 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
kewirausahaan yang tidak produktif (unproductive entrepreneurship) dan bahkan aktivitas
kewirausahaan yang merusak (destructive entrpreneurship).

Pengertian Wirausaha (Entrepreneur)

Untuk memahami konsep kewirausahaan, terlabih dahulu akan dikemukakan kajian


mengenai wirausaha (entrepreneur) baik secara historis, etimologis dan berbagai fungsi
yang dijalankan oleh seorang wirausaha. Selanjutnya akan dijelaskan apa yang dimaksud
dengan kewirausahaan dengan menggunakan pendekatan aktivitas kewirausahaan
(entrepreneurial activity) sebagai pendekatan yang lebih bisa menjelaskan fenomena
kewirausahaan
Herbert dan Link (Bull dan Willard, 1993) menelusuri istilah “entrepreneur” berikut
evolusi istilah tersebut sejak era ekonomi klasik hingga saat ini. Menurut mereka, istilah
entrepreneur pertama kali diperkenalkan pada tahun 1755 oleh seorang ahli ekonomi klasik
bernama Richard Cantillon dalam karyanya Essai sur la nature du commerce an general.
Cantillon menyebut entrepreneur sebagai salah satu kelas pelaku ekonomi bersama-sama
dengan para tuan tanah (landowners) dan para karyawan yang mendapat upah secara tetap
(wage workers) (Klein & Foss, 2009).
Istilah entrepreneur sendiri berasal dari kata kerja bahasa Perancis “entreprendre”
atau “unternehmen,” di dalam Bahasa Jerman yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris menjadi “to undertake” (mengelola) (Cunningham & Lischeron, 1991). Kata tersebut
selanjutnya mengalami perluasan kata menjadi adventure di dalam bahasa Inggris yang
menggambarkan perilaku para wirausaha yang bergerak masuk dan keluar dari suatu
negara ke negara lain untuk memperoleh keuntungan (profit) melalui aktivitas perdagangan.
Dalam arti sempit istilah entrepreneur yang dikemukakan oleh Cantillon memiliki
makna self-employment (mempekerjakan diri sendiri) sebagai lawan terhadap konsep
bekerja untuk orang lain (bekerja di pabrik, kantor dll) (Ahmad & Seymour, 2006, Simpeh,
2011). Dalam kaitan ini terdapat tiga pilihan bekerja bagi seseorang. Pertama, menjadi
karyawan (employee atau wage workers dalam istilah Cantillon) yang menerima kompensasi
secara teratur dari pemberi kerja. Kedua, mempekerjakan diri sendiri (self employment)
untuk memperoleh penghasilan maupun laba. Pilihan kedua ini seringkali dipersamakan
dengan pilihan menjadi wirausaha (entrepreneur) yang membuka kegiata usaha untuk
memperoleh penghasilan dan laba. Ketiga, menganggur (unemployment) dimana dalam
keadaan ini seseorang tidak bekerja untuk orang lain maupun mempekerjakan dirinya
sendiri.
Ahli ekonomi klasik lainnya Jean Baptiste Say , memperluas konsep yang
disampaikan oleh Cantillon dengan menambahkan konsep pengkombinasian faktor-faktor

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
3 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
produksi (combining factors of production) sebagai salah satu ciri entrepreneurship. Selain
itu Say juga menekankan bahwa seorang entrepreneur harus memiliki kualitas personal
yang khusus (Stevenson & Jarillo, 1990; Bula, 2014).
Lebih lanjut studi yang dilakukan oleh Hebert dan Link (2006) berhasil
mengidentifikasi sekurang-kurangnya 12 definisi yang dinisbatkan kepada entrepreneur,
sebagai berikut :

1. Wirausaha adalah orang yang menanggung risiko karena ketidak pastian (The
entrepreneur is the person who assumes the risk associated with uncertainty)

Rumusan wirausaha ini sejalan dengan pemikiran Cantillon . Konsep entrepreneur


dari Cantillon berupaya untuk menjelaskan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh
para wirausaha (entrepreneurs) yang mayoritas berprofesi sebagai merchant
wholeseller (pedagang besar) yang bersedia menanggung risiko membeli barang
pada harga tertentu dan menjual kembali barang tersebut dengan harga yang lebih
tinggi di kemudian hari dengan dibayang-bayangi oleh ketidak-pastian harga
(uncertainty). Akibat ketidak-pastian ini, para entrepreneur tersebut mungkin
memperoleh keuntungan tetapi mungkin juga mengalami kerugian.
Adanya ketidak-pastian dalam memperoleh laba merupakan salah satu karakteristik
penting dari aktivitas yang dilakukan wirausaha dan menjadi cikal bakal bagi
munculnya teori mengenai risiko (risk) dan ketidak pastian (uncertainty) yang
dikemukakan oleh Knight dikemudian hari. Dalam bukunya yang berjudul Risk,
Uncertainty and Profit, Knight (1969) menyatakan terdapat dua jenis ketidak-pastian ,
yaitu ketidak pastian yang dapat diukur dan menamakannya sebagai risiko (risk) dan
ketidak pastian yang tidak dapat diukur/diperkirakan terjadinya (uncertainty). Baik
risk maupun uncertainty kedua-duanya berasal dari dinamika perubahan ekonomi
yang akan berpengaruh terhadap laba yang akan diperoleh para entrepreneur
maupun keberlangsungan usaha dalam jangka panjang. Pembagian ketidak pastian
menjadi risk dan uncertainty berdasarkan studi Knight, telah memungkinkan
dilakukannya antisipasi risiko yang memungkinkan pengusaha terhindar dari
kerugian.
Ahli lain yang menganggap entrepreneur sebagai seseorang yang berani
menanggung risiko antara lain John Stuart Mill, Atrhur H. Cole, Frederick B. Hawley,
J.H. von Thünen.

2. Wirausaha adalah penyedia modal (The entrepreneur is the person who supplies
financial capital)

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
4 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
Entrepreneurs sebagai penyedia modal berasal dari pandangan Adam Smith (Link &
Link, 2009) baik yang digambarkan oleh Smith dalam buku An Inquiry into the Nature
and Causes of the Wealth of Nations maupun The Theory of Moral Sentiments.
Dalam pandangan Smith, seorang entrepreneur merupakan aktor yang memiliki
persiapan yang sangat baik dalam memasuki kegiatan usaha dan berhati-hati di
dalam menjalankan usaha (prudent). Kehati-hatian tersebut berkaitan dengan peran
dia sebagai penyedia modal keuangan (financial capital) yang dia akumulasikan dari
berbagai kegiatan usaha sebelumnya. Melalui akumulasi kapital yang dimilikinya,
seorang entrepreneur akan mampu mempekerjakan para karyawan profesional
(industrious men dalam terminologi Smith) untuk menjalankan usaha. Para ahli lain
yang berpendapat bahwa entrepreneur merupakan penyedia modal keuangan
(financial capital) antara lain A.R.J. Turgot, Francis Y. Edgeworth, Eugene Bӧhm-
Bawerk , A.C. Pigoue dan Ludwig von Mises.

3. Wirausaha adalah seorang inovator (The entrepreneur is an innovator)

Schumpeter (2006) memandang entrepreneur sebagai seorang pemimpin dan


kontributor terhadap proses creative destruction . Yang dimaksud creative
destruction adalah terjadinya ketidak sinambungan (discontinutiy) cara melakukan
sesuatu akibat hadirnya inovasi yang menjadikan cara melakukan sesuatu lebih
efektif dan lebih efisien. Sebagai contoh, diperkenalkannya shampo cair merk
Sunsilk oleh Unilever Indonesia di era tahun 1970 an telah menghentikan kebiasaan
sebagian besar penduduk Indonesia untuk keramas dengan menggunakan air
merang ataupun tanah liat (clay). Atau bagaimana pengenalan teknologi telepon
digital telah menghentikan penggunaan telepon analog sebagaimana pengenalan
internet dan teknologi komunikasi telah mengubah cara para pelaku bisnis di dalam
melakukan kegiatan usaha yang berbeda dengan para pelaku bisnis pendahulunya .
Bagi Schumpeter (1934) ciri utama seorang entrepreneur adalah kemampuannya
menghadirkan inovasi dalam kegiatan usaha. Ia mengatakan, “everyone is an
entrepreneur only when he actually „carries out new combinations‟ , and loses that
character as soon as he built up his business”. (setiap orang adalah wirausaha
hanya apabila dia menciptakan kombinasi yang baru, dan dia akan segera
kehialangan karakter tersebut begitu dia membangun bisnisnya).
Inovasi menurut Schumpeter dapat berasal dari (1) penciptaan produk yang baru (2)
penciptaan metode produksi yang baru (3) pembukaan pasar yang baru (4)
menemukan sumber pasokan yang baru (5) membentuk organisasi usaha yang baru.

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
5 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
Ahli lainnya yang memandang para entrepreneur sebagai inovator antara lain
Jeremy Bentham, Werner Sombart dan Max Weber.

4. Wirausaha adalah pembuat keputusan (The entrepreneur is a decision maker)

Pandangan entrepreneur sebagai decision maker berasal dari pemikiran Carl


Menger mengenai peran entrepreneur sebagai orang yang mengkoordinasikan
berbagai faktor produksi antar waktu. Pengamatan Carl Menger tersebut ia
sampaikan dalam bukunya berjudul Principles of Economics yang diterbitkan pada
tahun 1871. Menger mengamati bahwa pada saat itu industri begitu terfragmentasi
dan tugas para entrepreneur lah melakukan koordinasi berbagai sumberdaya yang
berada di berbagai industri terfragmentasi tersebut melalui serangkaian pembuatan
keputusan (decision making).
Ahli-ahli lainnya yang memandang entrepreneur sebagai pembuat keputusan antara
lain Amasa Walker, Francis Walker, Alfred Marshall, Friedrich von Wieser, John
Maynard Keynes, Ludwig von Mises, Arthur H. Cole, G.L.S. Shackle, dan T.W.
Schultz.

5. Wirausaha adalah seorang pemimpin (The entrepreneur is an industrial leader)

Jean Baptist Say seorang industrialis dan ekonom klasik memandang entrepreneur
sebagai seorang pemimpin industri (industrial leader). Say memandang ada 3 pelaku
ekonomi yang terlibat dalam suatu industri. Pertama adalah kaum ilmuwan (scientific
class) yang mengembangkan berbagai penemuan yang dapat dimanfaatkan para
industrialis. Kedua adalah kelas entrepreneur (entrepreneur class) yang
mengaplikasikan berbagai penemuan para ilmuwan untuk menghasilkan suatu
produk yang berguna. Ketiga, kelas produktif (kelas pekerja/productive class) yang
memproduksi produk dengan menggunakan sumberdaya manusia yang menerima
upah. Menurut Say, meskipun sang entrepreneur bisa saja tidak ahli dalam
penguasaan ilmu pengetahuan maupun mengotori tangannya untuk memproduksi
suatu produk, entrepreneur harus mampu mengestimasi kebutuhan pasar dengan
tepat dan merumuskan alat pemuas kebutuhan dengan tepat pula. Hal inilah yang
menjadikan para entrepreneur memiliki peran yang sangat sentral dalam memajukan
kegiatan industri .
Para ahli lain yang menganggap entrepreneur sebagai pemimpin industri adalah
Joseph Schumpeter, Max Weber, Werner Sombart, Alfred Marshall.

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
6 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
6. Wirausaha adalah seorang manajer atau pengawas (The entrpreneur is a manager
or superintendent)

John Stuart Mill di dalam karyanya Principles of Political Economy memandang


seorang entrepreneur sebagai seseorang yang harus menyelesaikan kontrak
pekerjaan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada dirinya. Hal ini mengharuskan
seorang entrepreneur untuk memiliki peran yang sangat besar di dalam
mengarahkan (directing) dan mengendalikan (controlling) pelaksanaan pekerjaan.
Oleh sebab itu John Stuart Mill memandang seorang entrepreneur sebagai seorang
manager (pengelola) sekaligus menjadi superintendent (pengawas).
Para ahli lain yang menganggap seorang entrepreneur sebagai manajer atau
superintendent adalah Jean Baptist Say, Alfred Marshall dan Karl Menger.

7. Wirausaha adalah pengelola dan koordinator berbagai sumberdaya ekonomi (The


entrepreneur is an organizer and coordinator of economic resources)

Di dalam bukunya Elements of Pure Economics , ekonom Perancis Leon Walras


yang memperkenalkan teori keseimbangan umum (general equlibrium), memandang
entrepreneur sebagai entitas yang terpisah dari para kapitalis. Entrepreneur memiliki
peran sebagai pihak yang melakukan pengorganisasian berbagai sumberdaya untuk
menyeimbangkan permintaan dan penyediaan barang sehingga tercapai
keseimbangan (equilibrium).
Para ahli lain yang memiliki pandangan entrepreneur sebagai pelaku koordinasi
sumberdaya antara lain Jean Baptist Say, Werner Sombart, Max Weber, Joseph
Schumpeter dan John Bates Clark

8. Wirausaha adalah pemilik perusahaan (The entrepreneur is the owner of an


enterprise)

Salah satu karakteristik penting dari seorang entrepreneur adalah kepemilikan


terhadap unit usaha yang digunakan sebagai sarana untuk mengeksploitasi peluang
usaha. Fenomena entrepreneur sebagai pemilik usaha sudah menjadi pengamatan
ekonom klasik Franҫois Quesnay yang memandang modal sebagai faktor yang
penting bagi pertumbuhan ekonomi. Modal pada abad ke 18 berasal dari para tuan
tanah (landlord) yang pada umumnya sudah mengalami kemakmuran ekonomi
(economic wealth). Adapun para entrepreneur dalam pengamatan Quesnay berasal
dari para petani (farmers) khususnya para petani kaya (grande culture) yang
memanfaatkan modal para tuan tanah dan mempekerjakan para buruh pertanian

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
7 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
untuk mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain para petani merupakan para
pemilik enterprise yaitu entitas kegiatan ekonomi yang memanfaatkan berbagai
sumberdaya untuk mendapatkan keuntungan.
Para ahli yang memiliki kesamaan pandangan dengan Quesnay adalah Friedrich von
Mises, A.C. Pigou dan Frederick Hawley.

9. Wirausaha adalah pengguna berbagai faktor produksi (The entrepreneur is an


employer of factors of production)

Ahli ekonomi yang berpandangan bahwa entrepreuneur adalah seseorang yang


memberdayakan berbagai faktor produksi adalah Leibenstein (1968) . Menurutnya
entrepreneur adalah seseorang yang menguasai sumberdaya yang dibutuhkan untuk
memproduksi dan memasarkan produk untuk memenuhi kebutuhan pasar (as one
who marshall all resources necessary to produce and market a product that answers
a market deficiency). Pendapat Leibenstein ini sejalan dengan pendapat ekonom
klasik Amasa Walker yang memandang entrepreneur sebagai pemberi kerja
(employer), manajer, pelaksana proyek (projector), businessman, pedagang
(merchant) atau apapun namanya selama mereka menjalankan fungsi yang tidak
bisa digantikan dan berada diantara posisi para pemilik modal (investor) dengan para
pekerja (worker) atau para konsumen.

10. Wirausaha adalah seorang kontraktor (The entrepreneur is a contractor)

Ahli ekonomi Inggris, Jeremy Bentham memandang entrpreneur sebagai golongan


minoritas dalam suatu masyarakat. Entrepreneur dalam pandangan Bentham
memiliki kemampuan yang lebih , dibandingkan dengan kebanyakan masyarakat
pada jamannya dan mereka mampu melakukan lompatan di dalam pembangunan
ekonomi melalui perubahan yang tidak linier. Peran entrepreneur laksana seorang
kontraktor yang bisa melakukan perubahan fenomenal. Bentham memberikan
ilustrasi entrepreneur laksana seorang kontraktor yang memenangkan tender
pengelolaan penjara dan mengelola penjara tersebut secara lebih menguntungkan
dibandingkan bila penjara tersebut dikelola negara bagian.

11. Wirausaha adalah seorang arbitrase (The entrepreneur is an arbitrageur)

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
8 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
Berbeda dengan pandangan Walras yang menganggap pasar berada dalam
keseimbangan, Kizner memandang pasar memiliki dinamika yang senantiasa
diwarnai dengan prosees untuk mencapai keseimbangan (equilibrium). Dalam
keadaan pasar yang dinamis, para entrpreneur berpeluang mendapatkan
keuntungan karena adanya perbedaan harga antar tempat (interspace) dan antar
waktu (intertemporal). Dalam hal ini para entrepreneur brperan sebagai arbitrase
yang membeli barang dengan harga murah dan menjualnya dengan harga yang
lebih tinggi. Kemampuan para entrepreneur untuk membaca peluang diferensiasi
harga, kuantitas dan kualitas barang dinamakan oleh Kizner (1985) sebagai
alertness (kewaspadaan).

12. Wirausaha melakukan alokasi sumberdaya diantara berbagai alternatif penggunaan


sumberdaya (The entrepreneur is an allocator of resources among alternative uses)

Di dalam perekonomian yang dinamis saat ini, ketidak seimbangan pasar menjadi
keniscayaan. Pada kondisi inilah, para entrepreneur bergerak melakukan alokasi
sumberdaya untuk memanfaatkan berbagai peluang yang muncul karena adanya
dinamika pasar dan memanfaatkan proses pasar (market process) yang bergerak
menuju keseimbangan. Pandangan entrepreneur sebagai agen yang melakukan
alokasi sumberdaya di pasar yang dinamis baik sebagai pedagang, kontraktor,
industrialis dll., dengan tujuan mendapatkan laba antara lain dianut oleh Israel Kizner
, Schultz maupun Schumpeter.

Berbagai rumusan entrepreneur yang sudah disebutkan di atas memberikan


gambaran bahwa secara historis hingga saat ini para entrepreneur merupakan orang yang
memiliki kemampuan untuk menemu-kenali peluang usaha serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan eksploitasi atas peluang usaha tersebut dengan membentuk organisasi usaha
(enterprise) sehingga bisa menghasilkan laba dengan menggunakan sumberdaya yang dia
miliki sendiri maupun sumberdaya yang berasal dari pihak lain.

Pengertian Kewirausahaan (Entrepreneurship)

Studi kewirausahaan dapat didekati antara lain dengan menggunakan dua


pendekatan (Gartner, 1988). Pendekatan pertama berupaya untuk menemukan ciri-ciri
kepribadian (personality trait) yang menjadikan seseorang sebagai entrepreneur. Melalui
kajian ini munculah berbagai ciri kepribadian (personality trait) yang dikaitkan dengan ciri-ciri
seorang entrepreneur seperti hasrat untuk berprestasi (needs for achievment), risk
propensity, internal locus of control , toleransi yang tinggi terhadap ketidak jelasan hasil

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
9 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
(ambiguity) dll. Pendekatan kedua lebih menekankan kajiannya kepada berbagai aktivitas
yang dilakukan oleh seorang entrepreneur (entrepreneurial activity) seperti aktivitas
mengenali peluang usaha , melakukan penilaian terhadap peluang usaha dan membuat ide
usaha, mengumpulkan berbagai sumberdaya , membentuk usaha baru (start up business),
menjalankan dan mengelola usaha baru dengan menghadirkan inovasi.
Bygrave dan Hoofer (1991) menyatakan fokus penelitian kewirausahaan
(entrepreneurship) saat ini telah beralih dari fokus penelitian terhadap karakteristik
kepribadian entrepreneur menjadi penelitian-penelitian yang lebih berfokus kepada aktivitas
entrepreneurial (entrepreneurial activity) yang di dalamnya terdiri dari serangkaian aktivitas
yang dilakukan wirausaha sejak pengenalan peluang usaha hingga mengelola usaha.
Melalui penelitian yang berfokus kepada proses, para wirausaha diidentifikasi berdasarkan
keterlibatannya dalam proses aktivitas entrepreneurial dan tidak hanya diidentifikasi
berdasarkan ciri-ciri unik kepribadian seorang entrepreneur. Berdasarkan pendekatan
proses, kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan
wirausaha dalam menjlankan usaha yang dimulai dari pengenalan peluang usaha,
pengumpulan berbagai sumberdaya usaha, pembentukan organisasi usaha serta
menghasilkan atau memasarkan produk dengan harapan memproleh laba. Pendekatan dari
Bygrave dan Hoofer serta peneliti kewirausahaan lainnya seperti Schumpeter, Kizner ,
Shane dan Venkataraman yang berfokus pada proses , akan digunakan dalam buku ini
untuk menjelaskan makna kewirausahaan.

Pengertian Aktivitas Entrepreneurial (Entrepreneurial Activity)

Bygrave dan Hoofer (1991) mendefisinisikan aktivitas entrepreneurial berdasarkan


pendekatan proses sebagai, “all the functions, activities and actions associated with the
perceiving of opportunities and the creation of organization to pursue them” (seluruh fungsi,
aktivitas dan tindakan yang berkaitan dengan peluang tertentu dan penciptaan organisasi
untuk memanfaatkan peluang-peluang tersebut)”. Rumusan ini menunjukkan bahwa
aktivitas entrepreneurial dimulai dengan adanya peluang usaha yang dipersepsi oleh
seorang entrepreneur yang dilanjutkan dengan keputusan mereka untuk membentuk
organisasi usaha (enterprise) untuk memanfaatkan peluang usaha yang dipersepsi.
Bygrave dan Hoofer membatasi definisinya untuk para entrpreneur yang membentuk
organisasi usaha baru (start-up business) dan tidak mencakup di dalamnya para
intrapreneur . Dalam hal ini Bygrave dan Hoover menilai para entrepreneur yang terlibat di
dalam pembentukan start up business mengambil risiko yang lebih besar dibanding para
intrapreneur karena para entrepreneur yang terlibat di dalam aktivitas entrepreneurial
mempertaruhkan aliran kas pribadinya, karirnya (bila mereka memutuskan untuk berhenti

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
10 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
bekerja dan memulai usaha baru – sebagaimana yang nanti akan dibahas pada bagian
Opportunity Entrepreneurship) dan modal yang mereka miliki. Hal ini relatif tidak berlaku
untuk kasus intrapreneurship.
Global Entrepreneurship Monitoring (GEM) (2001) sebuah upaya riset
kewirausahaan internasional yang melibatkan berbagai perguruan tinggi di dunia yang
diprakarsai oleh Babson College dan London Business School – menggunakan konsep
kewirausahaan berdasarkan pendekatan proses. Para peneliti GEM awalnya melakukan
studi kasus di 29 negara dan menggunakan istilah Total Early Stage Entrepreneurial Activity
(TEA) untuk menggambarkan aktivitas entrepreneurial. GEM mendefinisikan TEA sebagai
“proportion of individuals aged between 18 and 64 that are either in the process of starting a
nascent business or are the owner-managers of a new operating business that is less than
42 months old” (Proporsi para entrepreneur yang berusia 18 sampai 64 tahun yang tengah
dalam proses memulai usaha (nascent business) atau para pemilik perusahaan yang baru
beroperasi yang masa beroperasinya kurang dari 42 bulan) . TEA mengukur prosentase
penduduk dari suatu negara yang berusia antara 18 hingga 64 tahun yang tengah dalam
proses membuat usaha atau sedang menjalankan usaha dengan masa operasi kurang dari
4 tahun (baru 42 bulan).
Para entreupreneur yang menjalankan nascent business dinamakan nascent
entrepreneurs . Yang dimaksud dengan nascent entrepreneurs adalah para entrepreneur
yang saat ini tengah berusaha untuk memulai usaha baru (start-up business) ; yang
berharap mereka akan menjadi pemilik usaha baru atau memiliki bagian dari usaha baru
tersebut ; yang telah aktif berusaha untuk membentuk usaha baru dalam 12 bulan terakhir
tetapi belum memiliki aliran kas yang positif - untuk menutup beban (expenses) dan gaji
pemilik (owner) maupun para manajer perusahaan lebih dari tiga bulan (Wagner, J., 2004).
Selain memuat nascent entrepreneurs, TEA yang disampaikan oleh GEM mencakup
pula di dalamnya para entrepreneur yang telah menjalankan usaha baru dan memperoleh
cashflow positif, tetapi usahanya beroperasi kurang dari 42 bulan.

Rumusan Kewirausahaan Berdasarkan Pendekatan Proses

Menurut Shrivastava & Shrivastava (2013), kewirausahaan pada hakikatnya memiliki


dua arti yang saling berhubungan. Pertama, kewirausahaan berarti perilaku entrepreneurial
yang ditunjukkan oleh para entrepreneur di dalam memanfaatkan peluang usaha yang dapat
dieksploitasi oleh para entrepreneur untuk memperoleh laba (profit). Kewirausahaan dalam
hal ini memiliki makna perilaku kewirausahaan yang ditunjukkan oleh para wirausaha.
Kedua, kewirausahaan (entrepreneurship) berarti memiliki dan mengelola suatu
usaha. Kewirausahaan dalam hal ini memiliki makna sebagai kegiatan menciptakan usaha

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
11 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
baru yang berpotensi akan memberikan lapangan kerja baru bagi para pencari kerja. Baik
kewirausahaan dalam arti yang pertama maupun yang kedua berhubungan dengan aktivitas
yang dilakukan oleh para wirausaha sejak mengenali peluang usaha hingga menjalankan
usaha, sehingga pendapat Shrivastava & Shrivastava lebih menggambarkan kewirausahaan
dari pendekatan proses.
Pendekatan proses berawal dari pendapat Danhoff (Gartner, 1985) yang dalam
salah satu artikelnya di tahun 1949 menyatakan, “entrepreneurship is an activity or function
and not a specific individual or occupation.....the specific entrepreneur is an unrealistic
abstraction” (kewirausahaan merupakan suatu aktivitas atau fungsi dan bukan merupakan
ciri individu atau pekerjaan tertentu....menilai wirausaha sebagai orang dengan ciri tertentu
merupakan abstraksi yang tidak realistis). Pemikiran Danhoff tentang aktivitas dan fungsi
kewirausahaan telah memicu para teoritisi kewirausahaan seperti Cole, Kilby, Schumpeter,
Vesper dan Hartmann (Gartner, 1985; Carton et al., 1998; Lambing & Kuehl, 2007) untuk
membedakan fungsi kewirausahaan dengan fungsi manajerial. Fungsi dalam hal ini
dirumuskan sebagai kumpulan berbagai aktivitas yang secara nyata dapat dibedakan
dengan kumpulan aktivitas lainnya (Koontz, 1988). Fungsi kewirausahaan sebagai
kumpulan aktivitas yang saling berhubungan dan berkesinambungan mencakup enam
aktivitas sebagai berikut:

1. Menemukan peluang usaha


Aktivitas pertama yang dilakukan oleh wirausaha adalah menemukan peluang usaha.
Yang dimaksud dengan peluang usaha adalah kesempatan memperoleh keuntungan
usaha melalui pemanfaatan kebutuhan konsumen yang belum terpenuhi dengan produk
yang selama ini ada (unfulfilled needs) atau penggunaan sumberdaya yang belum
optimal. Pengusaha taxi dan ojeg on line di Indonesia memperoleh pasar mereka karena
adanya kebutuhan konsumen yang belum terpenuhi oleh taxi dan ojeg reguler. Peluang
usaha dapat pula berasal dari pemanfaatan sumberdaya yang belum optimal. Sebagai
contoh para petani garam yang semula harus membuat garam dengan jangka waktu
yang panjang, dapat mempersingkat proses pembuatan garam dengan menggunakan
serbuk RAMSOL (garam solusi). Box cerita bisnis di bawah ini menguraikan inovasi
RAMSOL sebagai bahan additif untuk mempercepat produksi garam

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
12 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
PENGGUNAAN RAMSOL SEBAGAI BENTUK OPTIMASLISASI PRODUKSI

Ramsol adalah bahan/formula aditif yang berfungsi sebagai pembersih dan pemutih
garam (NaCl) dalam proses produksi garam. Ramsol ditemukan pertama kali oleh Hasan
Achmad, istilah Ramsol sendiri merupakan singkatan dari Garam Solusi. Bahan baku
Ramsol terdiri dari rumput laut, kulit kerang dan Zeolit.
Untuk merealisasikan produksi yang memenuhi kuantitas dalam negeri, saat ini telah
ditemukan sebuah inovasi baru guna mempercepat proses pengkristalan garam serta
meningkatkan kualitasnya. Teknologi baru tersebut yaitu dengan menambahkan garam
solusi (RAMSOL) ke dalam air laut yang akan dijadikan garam sehingga proses produksi
lebih cepat dan dengan demikian dalam suatu volume lahan dapat menghasilkan
produksi garam yang berlipat ganda.
Pada tanggal 10 Maret 2009 Ramsol telah memperoleh sertifikat Perlindungan Hak
Merek dengan Nomor: IDM000161720 dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ramsol juga telah memperoleh Sertifikat
Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT-SNI) sebagai garam konsumsi beryodium dengan
SNI No. 01-3556-2000. Pada tanggal 7 Juni 2010 Ramsol memperoleh sertifikat Halal
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Jawa Barat dengan sertifikat halal
No.01061030100608. Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) telah mengeluarkan
persetujuan pendaftaran produk pangan No. BPOM RI MD 245728001223 tanggal 31
Agustus 2010.
Proses pembuatan garam secara tradisional yang biasanya dilakukan lebih dari 10 hari
maka dengan menggunakan pupuk ramsol bisa memanen garam dengan waktu 5 hari.
Dengan menggunakan pupuk ramsol ini juga, dapat menghasilkan garam dengan kualitas
K1 dan lebih mengikat iodium. Dengan menggunakan Ramsol dapat juga dilakukan
pembuatan garam skala rumah tangga atau menggunakan pekarangan rumah. Dengan
demikian garam ini dapat diproduksi secara massal di seluruh kawasan pesisir pantai
Indonesia sehingga program swasembada garam nasional pada Tahun 2012 dapat
tercapai.
Sumber : Dikutip dari http://swasembada-garam.blogspot.co.id/2011/08/ramsol-bahan-
aditif-peningkat-mutu.html

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
13 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
2. Mengumpulkan berbagai sumberdaya untuk menjalankan usaha.
Setelah menemukan peluang usaha, para wirausaha akan mengumpulkan berbagai
sumberdaya yang dapat mereka gunakan untuk menjadikan peluang usaha yang mereka
persepsi , menjadi suatu kenyataan. Sumberdaya dimaksud dapat berupa uang,
sumberdaya manusia, mesin, bahan baku, jaringan kerja (network) dll.
3. Menghasilkan produk (barang atau jasa)
Aktivitas ini menjadi ciri utama bagi para pengusaha yang bergerak di bidang manufaktur
maupun jasa. Sebagai contoh , para pengusaha sepatu di Cibaduyut memproduksi
sepatu dengan menggunakan berbagai jenis bahan baku untuk dipasarkan di dalam
negeri maupun di ekspor ke berbagai negara.
4. Memasarkan produk (barang atau jasa)
Aktivitas ini menjadi ciri wirausaha yang bergerak di bidang manufaktur maupun para
wirausaha yang bergerak di bidang perdagangan (trading). Para wirausaha yang
bergerak di bidang trading boleh jadi hanya berperan sebagai reseller produk yang
dihasilkan para wirausaha bidang manufaktur dan memperoleh keuntungan dari aktivitas
reseller tersebut. Sebagai contoh para dealer mobil maupun motor melakukan aktivitas
penjualan mobil dan motor dari berbagai merk yang dihasilkan para produsen mobil
seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, Mercedes, BMW dll.
5. Membentuk organisasi usaha dan menjalankan usaha
Salah satu ciri penting aktivitas kewirausahaan yang dilakukan oleh para wirausaha
adalah pembentukan organisasi usaha. Melalui organisasi usaha inilah para wirausaha
menjalankan usahanya. Sebagai contoh, pengusaha muda Sandiaga Uno membentuk
organisasi usaha dengan nama PT. Saratoga Investama Sedaya, Tbk. untuk
menjalankan berbagai aktivitas usaha. Demikian halnya pengusaha muda Rizki Pratama
Putra mengembangkan organisasi usaha kuliner di Kota Bandung dengan nama
CEKERAN MIDUN (lihat Gambar 1.1)
6. Memberikan tanggapan terhadap tuntutan pemerintah dan masyarakat.
Para wirausaha menjalankan usahanya dalam suatu lingkungan usaha yang diatur oleh
kebiajakan pemerintah dan norma-norma masyarakat. Oleh sebab itu pengusaha harus
mengindahkan berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah serta berbagai norma
masyarakat tempat usaha dijalankan. Sebagai contoh para pengusaha taksi online
maupun para pengusaha taksi reguler di Indonesia tunduk kepada kebijakan pemerintah
Indonesia mengenai aturan batas atas dan batas bawah tarif angkutan taxi untuk
menghindari terjadinya konflik antara pengusaha taxi reguler dengan taxi berbasis online.

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
14 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
Gambar 1.1 Pemilik Cekeran Midun Rizki Putra Pratama dan Bisnis Cekeran
Midunnya

Berdasarkan aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan oleh para wirausah, maka


kewirausahaan berdasarkan pendekatan proses dapat dirumuskan sebagai berbagai aktivitas
yang dilakukan para wirausaha dalam menemukan peluang, mempersiapkan sumberdaya
untuk mengeksploitasi peluang usaha, hingga menyusun dan menjalankan organisasi usaha.

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
15 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
Ruang Lingkup Kewirausahaan

Ruang lingkup kewirausahaan dapat ditelaah melalui berbagai studi mengenai


kewirausahaan yang berkembang hingga saat ini. Studi kewirausahaan mengalami
perkembangan yang sangat pesat seiring dengan semakin berkembangnya berbagai
pendekatan yang dibuat oleh para ahli untuk mencoba mengungkap fenomena
kewirausahaan. Shane (2002) mencoba memetakan ruang lingkup studi kewirausahaan ke
dalam beberapa pendekatan studi sebagai berikut:

1. Nascent entrepreneurship. Fenomena nascent entrepreneur dikemukakan oleh


Wagner untuk menggambarkan para wirausaha yang sudah memiliki keinginan yang
sangat kuat untuk menjadi wirausaha, tetapi belum menjalankan usaha.
Para calon wirausaha ini harus dibedakan dengan orang orang lainnya yang belum
menunjukkan minat untuk berwirausaha. Para nascent entrepreneur boleh jadi sudah
memiliki ide usaha, lokasi usaha, peralatan usaha bahkan modal usaha. Dengan
demikian para nascent entrepreneur adalah calon calon wirausaha yang tidak terlalu
lama lagi akan berubah menjadi wirausaha baru (pelaku start up business)
2. Productive entrepreneurship. Dalam pandangan para ekonom neo klasik,
kewirausahaan diasumsikan memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Salah seorang ekonom neo klasik yang mengemukakan peran penting
wirausaha di dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah Joseph
Schumpeter. Dia berpendapat, para wirausaha dapat meningkatkan perumbuhan
ekonomi suatu negara akibat inovasi yang mereka lakukan sehingga mampu
meningkatkan output ekonomi suatu negara dengan menggunakan faktor produksi
yang relatif sama.
Yang termasuk ke dalam rumpun kajian productive entrepreneurship adalah
intraprneurship dan social entrepreneurship :

2.1 Intrapreneurship
Pembahasan mengenai kewirausahaan berdasarkan pendekatan aktivitas
kewirausahaan (entrepreneurial activity) lebih banyak menyoroti aktivitas
kewirausahaan yang dilakukan oleh para wirausaha di dalam proses membentuk
usaha baru (new venture creation process). Aktivitas kewirausahaan yang
dilakukan oleh para wirausaha di dalam sebuah perusahaan yang telah berjalan
dengan baik sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Lockheed, 3M, Sony,
Nokia, Mayora dll., yang dinamakan intrapreneurship.
Intrapreneurship disisi lain menunjukkan orientasi entrepreneurial yang dilakukan
oleh para manajer dan karyawan dalam suatu perusahaan di dalam mengelola

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
16 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
usaha yang tercermin dari pengenalan produk baru, penggunaan teknologi baru,
pasar yang baru dll.
Isitilah intrapreneurship pertama kali dikemukakan oleh Gifford Pinchot III di
dalam sebuah artikel yang dia tulis dengan istrinya, berjudul “Intra-Corporate
Entrepreneurship” (Norman, 1982) . Fenomena kewirausahaan di dalam
perusahaan ini kemudian dia perjelas di dalam bukunya berjudul
“Intrapreneuring: Why You Don't Have to Leave the Corporation to Become an
Entrepreneur “ yang diterbitkan pada tahun 1985. Sejak saat itu konsep
intrapreneurship menjadi buzzword di dalam dunia bisnis dan manajemen serta
menjadi perhatian para peneliti kewirausahaan.

2.2 Social Entrepreneurship


Sampai sejauh ini kajian kewirausahaan lebih menggambarkan berbagai upaya
yang dilakukan wirausaha untuk membentuk dan menjalankan usaha agar dapat
memperoleh laba yang optimal. Saat ini kajian kewirausahaan mencakup pula di
dalamnya konsep kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) yang terdiri
dari : Pertama, kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh perusahaan besar
berorientasi mencari laba (profit seeking company) yang didorong oleh adanya
kesadaran akan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility) . Kedua, kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh para
wirausaha yang memiliki misi sosial (social mission) dan organisasi yang mereka
bentuk tidak bertujuan untuk mencari laba (non profit organization).

3. Non Productive Entrepreneurship


Selama ini kewirausahaan pada umumnya dipandang sebagai aktivitas yang
memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi suatu negara.
Berkenaan dengan persepsi umum tersebut, Baumol (1990) memiliki cara pandang
lain terhadap kewirausahaan dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi . Dia
membagi aktivitas kewirausahaan ke dalam tiga kategori yakni aktivitas
kewirausahaan yang produktif (productive entrepreneurship) , aktivitas
kewirausahaan yang bersifat tidak produktif (unproductive entrepreneurship),
bahkan kewirausahaan yang merusak (destructive entrepreneurship) .
Entrepreneurship yang produktif adalah aktivitas kewirausahaan yang menghasilkan
barang dan jasa sehingga mampu meningkatkan output ekonomi suatu negara yang
akan mengakibatkan negara tersebut mngalami pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain kegiatan entrepreneurship yang tidak produktif dan
entrepreneurship yang merusak, hanya akan mengarah kepada pengaturan ulang

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
17 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
kekayaan (rearrangement of wealth) dan tidak menciptakan kekayaan sehingga tidak
memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Baumol
mencontohkan berbagai aktivitas seperti korupsi, perampokan, pencurian,
perompakan, litigasi, lobi , serta berbagai aktivitas rent seeking termasuk ke dalam
aktivitas entrepreneurship yang tidak produktif
Berdasarkan tesis yang disampaikan oleh Baumol, korupsi seyogyanya dilihat
sebagai fenomena kewirausahaan yang bersifat rent seeking, dimana pelaku korupsi
memperoleh benefit dari kegiatan yang mereka lakukan berupa perolehan uang
negara yang dikorupsi dan jumlahnya bisa mencapai milyaran bahkan trilyunan
Rupian sementara pada saat yang sama negara dan masyarakat tidak memperoleh
benefit apapun dari aktivitas yang dilakukan para koruptor. Hal ini mengindikasikan
bahwa pemberantasan korupsi akan menjadi aktivitas yang sarat akan tantangan
karena korupsi sebagai aktivitas kewirausahaan akan mengandung dimensi inovasi,
organisasi korupsi, keberanian menanggung risiko dan mentalitas rent seeking.
Selama unsur-unsur tersebut masih melekat pada struktur birokrasi, maka akan
sangat sulit sekali melakukan pemberantasan korupsi.

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
18 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id
Daftar Pustaka

Baumol, W., J., 1990. Entrepreneurship: Productive, Unproductive and Destructive, Journal
of Political Economy, Volume 98, Number 5, The University of Chicago.

Bula, H.O., Evolution and Theories of Entrepreneurship: 2012. A Critical Review on the
Kenyan Perspective, International Journal of Business and Commerce Vol. 1,
No.11: Jul 2012 [81-96],

Bull, I., & Willard, G., E., 1993. Toward a theory of entrpreneurship, Journal of Business
Venturing, Volume 8, New York : Elsevier Science Publishing.

Bygrave, W.D., & Hofer , C., W., 1991. Theorizing about entrepreneurship. Entrepreneurship
Theory and Practice, Volume 16

Cunningham, J.B., & Lischeron, J., 1991. Defining Entrepreneurship, Journal of Small
Business Management, Volume 29 .

Gartner, W. B., 1988. “Who Is an Entrepreneur?” Is the Wrong Question, University of


Baltimore Educational Foundation.

Hebert, R.F., & Link, A. L., 2006, Historical Perspectives on the Entrepreneur, Foundation
and Trends In Entrepreneurship, Vol. 2, No. 4.

Klein, P.G., & Foss, N., J., 2009. Entrepreneurial Alertness and Opportunity Discovery :
Origins, Attributes, Critique. In Hans Landstrom and Franz Lohrke, eds. The
Historical Foundation of Entrepreneurship Research, Aldershot, United Kingdom.

Shane, S., A., 2008. The Illusions of Entrepreneurship : The Costly Myths That
Entrepreneurs, Investors, and Policy Makers Live By, Yale University Press,
London

Shrivastava, S., Dr., & Shrivastava, R., 2013. Role of entrepreneurship in economic
development : With special focus on necessity entrepreneurship and opportunity
entrepreneurship, International Journal of Management and Social Sciences
Research (IJMSSR), Volume 2, Number 2, February 2013.

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul Biro Akademik dan Pembelajaran
19 Ismail Solihin, SE., MSi http://www.widyatama.ac.id

Anda mungkin juga menyukai