Anda di halaman 1dari 68

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang masalah


Actio Pauliana adalah hak yang dimiliki oleh para kreditur, bahwa para
kreditur dalam keadaan-keadaan tertentu dapat memandang batal perbuatan
perbuatan yang telah dilakukan oleh debitur yang merugikan mereka. Azas ini
memberikan jaminan bagi kreditur terhadap debitur yang mengalihkan harta
kekayaannya yang mengakibatkan kerugian bagi kreditur. Achmad Yani dan
Gunawan Widjaja, (2002:62)
Actio Pauliana hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan
putusan Hakim Pengadilan. Dengan demikian berarti setiap pembatalan
perjanjian, apapun juga alasannya, pihak maupun juga yang mengajukannya tetap
menjadi wewenang pengadilan. Dengan dijatuhkannya putusan putusan yang
membatalkan perjanjian atau tindakan yang merugikan kepentingan kreditur
(khususnya harta kekayaan debitur), maka seluruh orang dan kebendaannya
dikembalikan seperti semula dalam perihal kepailitan, Actio Pauliana penting
sebagai salah satu alasan yang dapat diajukan oleh kreditur untuk membatalkan
perbuatan hukum debitur pailit yang dilakukan sebelum pernyataan pailit
diumumkan.
Pengaturan tentang Actio Pauliana di dalam Undang-Undang No 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
diatur dalam Pasal 41 sampai Pasal 49. Di dalam Pasal 41 Undang-Undang No 37
Tahun 2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan:
(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan
pembatalan segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang
merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan
pailit diucapkan.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan
apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan,
debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui
bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.

1
2

(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perbuatan hukum debitur yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian
dan/atau karena undang-undang.
Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditur dilakukan dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan
perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat
(2), dalam hal perbuatan tersebut (Pasal 41 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang):
a. merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban
b. pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat;
c. merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang
d. belum jatuh tempo dan atau belum atau tidak dapat ditagih;
e. Dilakukan oleh debitur perorangan,
Dengan atau untuk kepentingan:
1. Suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;
2. Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud
pada angka 1 adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak
tersebut, baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama, ikut serta secara
langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut
lebih dari sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal di setor atau dalam
pengendalian badan hukum tersebut.
Segala tuntutan hukum yang bertujuan untuk meminta pembatalan dan
pengembalian atas segala sesuatu yang telah diserahkan berdasarkan pembatalan
tersebut harus diajukan sendiri oleh kurator, dalam kapasitasnya sebagai pengurus
harta pailit dan untuk kepentingan harta pailit. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 47 Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa (1) Tuntutan hak

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


3

berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 44, Pasal 45 dan Pasal 46 diajukan oleh kurator ke Pengadilan.
(2) Kreditur berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 dan Pasal 46 dapat mengajukan bantahan terhadap
tuntutan kurator.
Tuntutan Actio Pauliana gugur apabila kepailitan berakhir dengan
disahkannya perdamaian. Namun apabila perdamaian tersebut berisi pelepasan
atas harta pailit maka tuntutan Actio paulina tidak gugur, untuk itu tuntutan dapat
dilanjutkan atau diajukan oleh para pemberes harta untuk kepentingan kreditur.
Hal ini sebagamana ditentukan dalam Pasal 48 Undang-Undang No 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pada kasus yang lain Actio Pauliana yang diajukan oleh Kurator yaitu
Sardjana Orba Manulang, kasus ini tentang Actio Pauliana yang diajukan oleh
kurator karena kurator menemukan bukti bahwa debitur yaitu Dayu Handoko
melakukan perbuatan yang telah merugikan harta pailit, yaitu dengan membeli
sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor
13795/Purwomartani,seluas 3.266 m2 (Tiga Ribu Duaratus Enam Puluh Enam
Meter Persegi),dengan diuraikan dengan surat ukur tanggal 15 juni 2014,nomor
00566/Purwomartani/2014,yang diatas namakan Tergugat I adalah harta pailit
yang dapat dimasukkan kedalam daftar beodel pailit nomor
07/pailit/2011/PN.Niaga,Smg;
Menyatakan Perjanjian Kredit Nomor 83,tertanggal 10 November 2017 dan
Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 481/2017 tertanggal 16 November 2017
di hadapan Turut Tergugat I Aloyysius Yossi Ariwibowo, S.T., S.H., M.kn.,
selaku Notaris dan PPAT di kabupaen sleman propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta antar Tergugat I dan Tergugat II,atas persetujuan Debitur Pailit Dayu
Handoko batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum;
Pada kasus ini Pengadilan Niaga memutuskan menolak permohonan Actio
Pauliana yang diajukan kurator dengan alasan-alasan yang telah diberitahukan
kepada pihak lawan dengan seksama. PT Bank Perkreditan Rakyat Madani
Sejahtera Abadi selaku pihak ketiga adalah kreditor separatis yang sah dari PT

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


4

Bank Perkreditan Rakyat Madani Sejahtera Abadi Tbk. Selanjutnya kurator


mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Kasasi yang diajukan kurator
dengan pertimbangan, bahwa debitur yaitu Dayu Handoko melakukan perbuatan
yang telah merugikan harta pailit, yaitu dengan membeli sebidang tanah dengan
Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani,seluas 3.266 m2 (Tiga
Ribu Duaratus Enam Puluh Enam Meter Persegi),yang kemudian Oleh Tergugat
dijadikan jaminan hutang pada Tergugat II berdasarkan Perjanjian Kredit sebesar
Rp. 1.200.000.000,00 (Satu Milyar Dua Ratus Juta Rupiah),Perjanjian Kredit
Tersebut diberikan persetujuan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko selaku suami
sah Tergugat I.
Bahwa perjanjian pranikah antara Tergugat I dengan suaminya Sdr. Dayu
Handoko tidak di daftarkan pada pencatatan nikah, sehingga hanya berlaku
kepada mereka berdua saja yang menandatangani perjanjian itu serta tidak berlaku
mengikat kepada pihak ketiga,dengan demikian mengakibatkan harta yang di
peroleh selama pekawinan menjadi harta bersama,sehingga menjadi harta beodel
pailit bagi Debitur Sdr. Dayu Handoko Dimana perjanjian tersebut menurut
kurator adalah merugikan kreditor Pada kasus ini Pengadilan Niaga memutuskan
mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi SARDJANA ORBA
MANULANG,S.,M.H., M.Kn tersebut dengan Nomor Putusan 461K/pdt.sus-
Pailit/2019.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti sangat tertarik untuk
meneliti lebih dalam mengenai masalah tuntutan Actio Pauliana dalam kepailitan
dengan menyusun Skripsi berjudul :
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP GUGATAN ACTIO PAULIANA PADA
BOEDEL PAILIT SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP
KREDITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004
TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 461 K/Pdt.sus-pailit/2019’’).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan diatas yang berkaitan dengan judul skripsi, yaitu:

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


5

1.2.1 Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur melalui Actio


Pauliana berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tetang
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran hutang ?
1.2.2 Bagaimana kesesuaian hukum dalam putusan nomor 461 K/pdt.sus-
pailit/2019 jika dikaitan dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004
tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran hutang ?
1.3 Batasan Masalah

Memudahkan suatu penelitian yang dilakukan tidak menyimpang dari hal


pokok yang dikaji oleh peneliti, maka penelitian ini dibatasi pada proses akibat
hukum tentang Actio Pauliana dalam kepailitan tersebut yang dilakukan kurator
pailit Sardjana Orba Manulang,S.H., M.H., M.Kn., dalam kepailitan tersebut
apakah telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 yang berlaku.

1.4 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian
sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
1. Skripsi ini berguna untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan
akademik untuk meraih gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Program
Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945 Banyuwangi;
2. Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang hukum perdata;
3. Untuk menambah perbendaharaan refrensi di perpustakaan
Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.

1.4.2 Tujuan Khusus


a. Untuk mengetahui perlindungan hukum kreditur melalui Actio
pauliana berdasarkan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
b. Untuk mengetahui kesesuaian hukum terkait putusan Nomor 461
K/Pdt.Sus-Pailit/2019 jika dikaitkan dengan kitab Undang-Undang

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


6

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan sumbangan
pemikiran, dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan secara
khusus dalam ruang lingkup perlindungan hukum perlindungan hukum terhadap
kreditur Actio Pauliana Menurut Undang-Undang Kepailitan nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
1.5.2 Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak
yang berkepentingan, Untuk mengkaji mengenai permohonan Actio Pauliana dan
perannya dalam melindungi hak–hak kreditur sehubungan dengan Boedel pailit
yang dimiliki Debitur,termasuk pihak yang berwenang dan masyarakat pada
umumnya dalam rangka pengetahuan tentang perlindungan hukum terhadap
kreditur Actio Pauliana Menurut Undang-Undang Kepailitan nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Dalam kontek sebuah penelitian tidak lepas dari penelitian terdahulu yang
pernah dilakuakan sebagai bahan perbandingan dan kajian. Dimana penelitian
yang dibuat oleh penulis ini merupakan pengembangan dari penelitian terdahulu
oleh :
a) Astrid Fauzia Zahra
Astrid Fauzia Zahra, Tahun 2015 dengan Judul Gugatan Actio Pauliana
Oleh Kurator Terhadap Debitor Yang Telah Melakukan Penjualan Sebelum
Dinyatakan Pailit (Studi Putusan Nomor 61 PK/Pdt.SusPailit/2015) Jurnal Hukum
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Adapun rumusan masalah yang dibahas pada skripsi ini :
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 61
PK/Pdt.SusPailit/2015?
2. Bagaimana akibat hukum yang timbul atas dikeluarkannya Putusan Nomor
61 PK/Pdt.SusPailit/2015?tanah yang belum didaftarkan?
Untuk tata cara penulisan dalam penelitian skripsi tersebut, penulis
menggunakan Metode Yuridis Normatif yaitu metode penulisan yang didukung
dengan data-data serta perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok
bahasan dalam skripsi yang meliputi :
1. Sumber Data
Penulis menggunakan tiga bahan hukum yaitu :
1) Bahan Hukum Primer;
2) Bahan Hukum skunder;
3) Bahan Hukum Tersier.
2. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Tehnik pengumpulan bahan hukum Penulis menggunakan Study


Kepustakaan (library Research) yaitu dengan mempelajari Buku-Buku Hukum,
Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal dan Artikel dari Internet serta bahan
bacaan lainnya.

7
8

3. Analisi Hukum
Analisi Hukum yang digunakan Penulis dalam penulisan skripsi ini :
1) Mengumpulkan bahan hukum premier dan sukunder, serta memilah bahan
hukum skunder untuk menjawab rumusan masalah berdasarkan data-data
diatas, serta legal opinion penulis;
2) Melakukan pola pengambilan kesimpulan degan pola piker induktif, yakni
pengambilan kesimpulan dari khusus ke umum;
3) Menarik saran dan kritik atas isu hukum diatas sebagai penutup.

Adapun hasil dari Penelitian dan Pembuatan Skripsi ini, Penulis


mengambil 2 (dua) Kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat unsur yang perlu dibuktikan oleh kurator dalam perkara Actio
pauliana adalah membuktikan bahwa aset yang menjadi obyek gugatan
merupakan bagian dari harta pailit debitur dan membuktikan bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh debitur telah melanggar salah satu
ketentuan Actio paulina yang terdapat dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal
46 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang
2. Akibat hukum yang timbul atas dikeluarkannya Putusan Nomor 61
PK/Pdt.SusPailit/2015 adalah kewajiban bagi pihak yang menguasai obyek
gugatan untuk menyerahkan obyek tersebut kepada kurator.
B. Eki Nurjanah
Eki Nurjanah, 2017 dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Putusan
Pengadilan Niaga Nomor: 01/A.P/2007/PN.Niaga.SMG Tentang Perkara Actio
Pauliana Dalam kepailatn”.
Adapun rumusan masalah yang dibahas pada skripsi ini :
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor:
01/A.P/2007/PN.Niaga.SMG Tentang Perkara Actio Pauliana Dalam
Kepailitan?
2. Bagaimana prosedur permohonan Actio pauliana Pertimbangan hakim
dalam memutus perkara mendasarkan pada ketentuan Pasal 41 dan Pasal

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


9

42 Undang-undang Nomor: 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
Untuk tata cara penulisan dalam penelitian skripsi tersebut, penulis
menggunakan Metode Diskriptif Normatif yaitu metode penulisan yang didukung
dengan data-data serta perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok
bahasan dalam skripsi yang meliputi:
1. Sumber Data
Penulis menggunakan dua bahan hukum yaitu :
a. Bahan Hukum Primer;
b. Bahan Hukum skunder;
2. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Tehnik pengumpulan bahan hukum Penulis menggunakan Study
Kepustakaan(library Research) yaitu dengan mempelajari Buku-Buku Hukum,
Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal dan Artikel dari majalah hukum serta
bahan bacaan lainnya.
3. Analisis Hukum
Analisis Hukum yang digunakan Penulis dalam penulisan skripsi ini,
Metode analisis hukum yang dilakukan dengan cara menggunakan, menafsirkan,
serta menggambarkan kejadian (studi kasus yang diangkat) dengan
memperhatikan dan/atau bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku, kemudian diambil suatu kesimpulan dan saran-saran yang bermanfaat.
Adapun hasil dari Penelitian dan Pembuatan Skripsi ini, Penulis mengambil
2 (dua) Kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa tergugat tidak pernah mengetahui bahwa tindakan hukum yang


dilakukannya akan merugikan pihak lain. Tindakan mereka didasarkan
dengan haknya selaku orang yang berhak atas obyek sengketa dan bukan
merupakan tindakan yang beritikad tidak baik.
2. Berdasarkan Undangundang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang perkara Actio pauliana adalah
perkara yang berkaitan dengan pemberesan harta pailit sehingga
pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
Actio paulian.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


10

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Tinjauan Umum Tentang Kepailitan Indonesia
Kepailitan di Indonesia pertama kali diatur dalam Verordening ter
Invoering van de Faillissementsverordening atau Undang-Undang Kepailitan
sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad
Tahun 1906 Nomor 348. Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997
menimbulkan kendala besar bagi perekonomian nasional Indonesia, ditambah lagi
dengan munculnya kondisi dimana sejumlah pelaku usaha sebagai debitor tidak
mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada lembaga pembiayaan
sebagai kreditor.
Keadaan ini sudah tidak relevan lagi apabila tetap beracuan pada
Verordening terinvoering van de Faillissementsverordening, sehingga pada
tanggal 22 April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998 tentang Kepailitan.
Mula-mula kepailitan untuk kasus pedagang (pengusaha) Indonesia diatur
dalam Wetboek van Koophandel (W.v.K), Buku Ketiga, yang berjudul Van de
Voorzieningen in Geval van Onvermogen van Kooplieden (Peraturan tentang
Ketidakmampuan Pedagang). Aslinya peraturan ini termuat dalam Pasal 749
sampai dengan Pasal 910 W.v.K, tetapi kemudian telah dicabut berdasarkan Pasal
2 Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348).
Sebagai upaya memahami terjadinya perubahan terhadap Verordening ter
Invoering van de Faillissementsverordening hingga menjadi Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, perlu diketahui latar belakang mengapa
perubahan tersebut dilakukan.
Beberapa pertimbangan yang dikemukakan di bagian pertimbangan dari
undang-undang kepailitan tersebut adalah sebagai berikut. Remy Sjahdeini,
(2003:18.)

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


11

1. Untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat terhadap


perekonomian saat ini, salah satu persoalan yang sangat mendesak dan
memerlukan pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan,
dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh debitor dan para
kreditor secara cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk
segera diwujudkan;
2. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang-
piutang di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara adil,
cepat, terbuka, dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan
peradilan umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa, dan
memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di
bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan
dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada
umumnya;
3. Sehubungan dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak bagi
penyelesaian masalah seperti tersebut di atas, dipandang perlu untuk
secepatnya melakukan penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217
juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348) dan menetapkannya dengan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang
kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
bukan merupakan undang-undang kepailitan yang baru di Indonesia,
melainkan hanyalah sekedar mengubah dan menambah Verordening ter
Invoering van de Faillissementsverordening Staatsblad 1905 Nomor 217
juncto Staatsblad 1906 Nomor 348;
5. Sebelum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan
disahkan menjadi undang-undang, telah terjadi suatu perdebatan akibat
perbedaan pendirian antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


12

Republik Indonesia. Alasan pemerintah untuk segera mengesahkan


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang tentang Kepailitan adalah karena tenggang waktu yang ditetapkan
dalam Letter of Intent yang telah ditandatangani antara International
Monetary Fund dan pemerintah mengenai keharusan bagi Indonesia untuk
segera mengundangkan undang-undang kepailitan telah terlampaui
waktunya. Remy Sjahdeini,(2003:19-20.)
Istilah berhenti membayar ini tidak mutlak diartikan debitur sama sekali
berhenti membayar utang-utangnnya,tetapi diartikan dalam keadaan tidak dapat
membayar utang-utangnnya ketika diajukan permohonan pailit ke pengadilan.
Berhubung pernyataan pailit harus melalui proses pengadilan, maka segala
sesuatu yang menyangkut peristiwa pailit itu disebut dengan istilah ”Kepailitan”.
Keadaan debitur yang perusahaannya dalam keadaan berhenti membayar
utangnnya disebut dengan insolvable. Di negara-negara yang berbahasa Inggris
untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah bankruptcy. Zainal
Asikin,(2016:27).
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang
mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh
pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak
dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur
sesuai dengan peraturan pemerintah.
Sedangkan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
menginginkan agar materi yang diatur dalam peraturan pemerintah pengganti
undang-undang tersebut untuk diubah, karena terdapat banyak hal yang tidak
memadai pengaturannya. Sehingga pada akhirnya, jalan keluar sehubungan
dengan perbedaan pendapat tersebut adalah disepakati bahwa pemerintah dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 diundangkan (9 September 1998), akan menyampaikan Rancangan
Undang-Undang tentang Kepailitan yang baru kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


13

hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (Undang-Undang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Mengutip pendapat
Siti Soemarti Hartono(1993:3), kepailitan adalah suatu lembaga hukum perdata
Eropa sebagai asas realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang
tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata Hukum formal yang saat ini
berlaku di Indonesia berkenaan dengan kepailitan antara lain sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya dalam penelitian
ini disebut KUHPerdata, khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133,
dan Pasal 1134;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang; dan
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
selanjutnya dalam penelitian ini disebut Undang-Undang Perseroan
Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal 142.
Pasal 1131 KUHPerdata menentukan, harta kekayaan debitor bukan hanya
untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang diperoleh dari
perjanjian utang-piutang di antara mereka, tetapi untuk menjamin semua
kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. Remy Sjahdeini (2003:3)
Pasal 1132 KUHPerdata mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki
kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan
daripada kreditor-kreditor lainnya. Remy Sjahdeini (2003:3)
Menurut Pasal 1133 KUHPerdata, seorang kreditor dapat diberikan
kedudukan untuk didahulukan terhadap pada kreditor lain apabila tagihan kreditor
yang bersangkutan merupakan :
1. Tagihan yang berupa hak istimewa;
2. Tagihan yang dijamin dengan hak gadai; dan
3. Tagihan yang dijamin dengan hipotek.
Menurut Pasal 1134 KUHPerdata, jika tidak dengan tegas ditentukan lain
oleh undang-undang, maka kreditor pemegang hak jaminan harus didahulukan
daripada kreditor pemegang hak istimewa untuk memperoleh pelunasan dari hasil

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


14

penjualan harta kekayaan debitor yang menurut Pasal 1131 KUHPerdata menjadi
agunan atau jaminan bagi utang-utangnya. Remy Sjahdeini (2003:4)
Selain pengaturan tingkat prioritas dan urutan pelunasan masing-masing
piutang para kreditor dalam KUHPerdata, perlu ada undang-undang lain yang
mengatur tentang bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitor
untuk melunasi piutang-piutang masing-masing kreditor berdasarkan urutan
tingkat prioritasnya, serta pengaturan mengenai siapa yang melakukan pembagian
harta kekayaan debitor dan bagaimana cara melakukan pembagian tersebut.
Undang-Undang tentang kepailitan yang pada saat ini berlaku di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang Perseroan Terbatas juga mengatur
beberapa ketentuan mengenai kepailitan dalam Pasal 104 dan Pasal 142. Remy
Sjahdeini (2003:4)
Di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1):
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Berdasarkan beberapa pengertian kepailitan yang diberikan oleh para sarjana di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepailitan mengandung unsurunsur sebagai
berikut :
1. Adanya sita umum atas seluruh kekayaan si debitor;
2. Untuk kepentingan semua kreditur;
3. Debitur dalam keadaan berhenti membayar utang;
4. Debitur tidak kehilangan hak keperdataannya;
5. Terhitung sejak pernyataan pailit,debitur kehilangan hak untuk mengurus
6. harta kekayaannya;
7. merealisasikan asas yang tercantum dalam Pasal 1131 dan Pasal1132 KUH
Perdata

2.2.2 Pihak-Pihak Dalam Kepailitan

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


15

Pihak-pihak yang terlibat dalam kepailitan berdasarkan Undang-Undang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang antara lain sebagai
berikut:
a. Pihak Pemohon Pailit
Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak
pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan
permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak
penggugat. Kemudian berdasarkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan
oleh pihak pemohon pailit tersebut, pengadilan akan mengeluarkan putusan
pernyataan pailit apabila unsur-unsur pailit telah terpenuhi.
Berdasarkan pada Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit atas permohonan:
1. Debitor itu sendiri;
2. Salah satu atau lebih pihak kreditor;
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4. Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank;
5. Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitornya adalah perusahaan
efek,bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga
penyimpanan dan penyelesaian.
6. Menteri Keuangan dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi,
perusahaan re-asuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik. Munir Fuadi (2005:35)
b. Pihak Debitor Pailit
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengatur bahwa debitor adalah orang yang mempunyai
piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di
muka pengadilan. Orang (persoon) adalah pembawa hak dan kewajiban atau
setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki,memperoleh, dan menggunakan
hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum yang disebut sebagai subjek hukum.
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong,(2018:7)

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


16

Subjek hukum dalam hukum perdata terdiri dari manusia biasa (natuurlijke
persoon) dan badan hukum (rechts persoon). Orang yang dimaksud dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang adalah orang (persoon) sebagai subjek hukum, yakni manusia biasa dan
badan hukum. Pengaturan mengenai orang (persoon) sebagai debitor diatur dapat
dilihat dalam Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengatur bahwa : Dalam hal debitor merupakan badan
hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam
anggarannya. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa Dalam hal permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang
sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Elsi
Kartika Sari dan Advendi Simanunsong,(2018:10)
Pihak debitor pailit adalah pihak yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan niaga. Putusan pernyataan
pailit tersebut dikeluarkan oleh pengadilan niaga setelah adanya permohonan
pernyataan pailit yang diajukan. Debitor yang dapat dinyatakan pailit oleh
pengadilan niaga adalah debitor yang memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua)
kreditor dan tidak membayar setidaknya 1 (satu) utangnya yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih.
c. Hakim Niaga
Perkara kepailitan diperiksa oleh hakim majelis (tidak boleh oleh hakim
tunggal), baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi.
d. Hakim Pengawas
Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan niaga juga
mencakup penunjukkan kurator dan hakim pengawas yang menangani perkara
kepailitan terkait. Hakim pengawas bertugas untuk mengawasi pelaksanaan
pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator.
e. Kurator

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


17

Kurator merupakan salah satu pihak yang memegang peranan cukup penting
dalam suatu proses perkara pailit. Hal-hal yang berkenaan dengan kurator diatur
dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

f. Panitia Kreditor
Pada prinsipnya, suatu panitia kreditor adalah pihak yang mewakili pihak
kreditor, sehingga panitia kreditor tentu akan memperjuangkan segala kepentingan
hukum dari pihak kreditor. Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong,(2018:38)
Pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit menurut ketentuan Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang adalah debitur, debitur yang dimaksud adalah Orang
perorangan, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun yang
belum menikah. Jika orang-perorangan yang telah menikah maka permohonan
tersebut hanya dapat diajukan dengan ijin suami atau istri yang bersangkutan,
kecuali antara mereka tidak ada percampuran harta;
1. Harta Peninggalan, dari seorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan
pailit apabila orang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada dalam
keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada saat
meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnnya.
2. Perkumpulan Perseroan (Holding Company) dan anak-anak perusahaannnya
dapat diajukan dalam satu permohonan, tetapi dapat juga diajukan terpisah
sebagai dua permohonan.
3. Penjaminan (Guarantor) kewajiban untuk membayar utang debitur pada
kreditur ketika si debitur lalai atau cidera janji. Penjaminan baru menjadi
debitur/kewajiban untuk membayar setelah debitur utama yang utangnya
cidera janji dan harta benda milik debitur utama/debitur yang ditanggung
telah disita dan dilelang terlebih dahulu, tetapi hasilnya tidak mencukupi
untuk membayar utangnya, atau debitur utama lalai/cidera janji sudah tidak
mempunyai harta apapun.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


18

4. Badan Hukum, diwakili oleh organ yang hanya dapat mengikatkan badan
hukum jika tindakan-tindakannya didalam batas wewenangnya yang
ditentukan dalam anggaran dasar, ketentuan-ketentuan lain dan hakikat dari
tujuannya.
5. Perkumpulan bukan badan hukum, harus memuat nama dan tempat kediaman
masing-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh
utang firma.
6. Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia.
7. Perusahaan Efek, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Badan Pengawas Pasar Modal.
8. Perusahaan Asuransi, Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik
Negara, permohonan pailit hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Munir Fuady (1999:36).

2.2.3 Asas dan Prinsip dalam Hukum Kepailitan


Terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan oleh undang-undang
kepailitan suatu negara agar undang-undang tersebut dapat memenuhi beberapa
kebutuhandunia usaha, baik nasional maupun internasional. Demikian pula
seharusnya dengan undang-undang kepailitan yang berlaku di Indonesia. Suatu
undang undang kepailitan, termasuk undang-undang kepailitan yang berlaku di
Indonesia, seyogianya memuat asas-asas, baik dinyatakan secara tegas maupun
secara tersirat,sebagai berikut :
1. Asas Mendorong Investasi dan Bisnis;
2. Asas Memberikan Manfaat dan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor
dan Debitor;
3. Asas Putusan Pernyataan Pailit Tidak Dapat Dijatuhkan terhadap Debitor
yang Masih Solven;
4. Asas Persetujuan Putusan Pailit Harus Disetujui oleh Para Kreditor
Mayoritas;
5. Asas Keadaan Diam (Standstill atau Stay);
6. Asas Mengakui Hak Separatis Kreditor Pemegang Hak Jaminan;

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


19

7. Asas Proses Putusan Pailit Tidak Berkepanjangan;


8. Asas Proses Putusan Pernyataan Pailit Terbuka untuk Umum;
9. Asas Pengurus Perusahaan Debitor yang Mengakibatkan Perusahaan Pailit
Harus Bertanggung Jawab Pribadi;
10. Asas Memberikan Kesempatan Restrukturisasi Utang Sebelum Diambil
Putusan Pernyataan Pailit kepada Debitor yang Masih Memiliki Usaha yang
Prospektif;
11. Asas Perbuatan-Perbuatan yang Merugikan Pailit adalah Tindak Pidana. M.
Hadi Shubhan(2015:27-28)
Kemudian penjelasan umum Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia
menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tersebut didasarkan pada
beberapa asas, yakni sebagai berikut:
a) Asas Keseimbangan
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas
keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak
jujur, di pihak lain terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad
baik.
b) Asas Kelangsungan Usaha
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengatur ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang sedang
prospektif tetap dilangsungkan.
c) Asas Keadilan
Asas keadilan dalam kepailitan mengandung pengertian bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan Asas keadilan mencegah terjadinya kesewenangan pihak penagih
yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor,
dengan tidak memerdulikan kreditor lainnya.
d) Asas Integrasi

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


20

Asas integrasi dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang mengandung pengertian bahwa sistem hukum formal dan
sistem hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dan hukum acara perdata nasional. Hadi Shubhan(2015:30)
Terdapat beberapa prinsip yang berlaku dalam hukum kepailitan. Prinsip-prinsip
dalam hukum kepailitan tersebut antara lain sebagai berikut:
e) Prinsip Paritas Creditorium
Prinsip paritas creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan
debitor,baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun
harta yang sekarang telah dimiliki debitor dan barang-barang di kemudian hari
akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.
Prinsip paritas creditorium tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena hal ini
akan menimbulkan ketidakadilan terhadap para kreditor.
Ketidak adilan yang dimaksud terletak pada kedudukan para kreditor yang
dianggap sama antara satu kreditor dengan kreditor yang lainnya. Prinsip ini tidak
membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan piutang
besar maupun kecil, pemegang jaminan atau bukan pemegang jaminan. Oleh
karenanya, ketidakadilan prinsip paritas creditorium harus digandengkan dengan
prinsip pari passu pro rata parte dan prinsip structured creditors. Hadi
Shubhan(2015:31)
f) Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte
Prinsip pari passu pro rata parte terdiri dari istilah pari passu yang berarti
bersamasama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan, dan pro rata
parte (proporsional) yakni dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-
masing dibandingkan dengan piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh
harta kekayaan debitor.
Prinsip pari passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut
merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan
secara proporsional di antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang
menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran
tagihannya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


21

utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai


dengan proposionalnya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan sama rata.
Prinsip pari passu pro rata parte bertujuan memberikan keadilan kepada
kreditor dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang memiliki
piutang yang lebih besar, maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya
dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil
daripadanya. Terdapat pengaturan tersendiri berkenaan dengan prinsip pari passu
pro rata parte dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yakni tertuang dalam Pasal 189 ayat (4) dan ayat (5), serta di
dalam penjelasan Pasal 176 huruf a. Hadi Shubhan(2015:32)
g) Prinsip Structured Pro Rata (Structured Creditors)
Prinsip structured pro rata atau prinsip structured creditors merupakan
prinsip yang mengklasifikasikan berbagai macam kreditor dengan kelasnya
masingmasing. Berdasarkan tingkatannya kreditor kepailitan dapat dibagi menjadi
3 (tiga) jenis, yaitu:
1) Kreditor Separatis;
2) Kreditor Preferen; dan
3) Kreditor Konkuren.
Kreditor separatis adalah kreditor yang dapat melaksanakan haknya seolah-
olah tidak terjadi kepailitan. Termasuk kreditor separatis misalnya pemegang
gadai, pemegang jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, agunan kebendaan
lainnya. Kreditor preferen atau kreditor dengan hak istimewa adalah kreditor
seperti yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata. Kreditor
konkuren atau kreditor bersaing adalah kreditor yang tidak mempunyai
keistimewaan sehingga kedudukannya satu sama lain sama. Hadi
Shubhan(2015:32)
Ketiga jenis kreditor berdasarkan tingkatannya atau dapat disebut tingkatan
para kreditor kepailitan tersebut berbeda dengan jenis atau macam kreditor dalam
kepailitan. Adapun macam-macam atau jenis-jenis kreditor kepailitan
berhubungan dengan inventarisasi kurator terhadap piutang kreditor yang akan
dibahas dalam rapat pencocokan piutang. Jenis-jenis kreditor yang dimaksud
adalah:

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


22

1) Kreditor yang diakui yang kemudian akan dimasukkan ke dalam daftar


piutang yang diakui;
2) Kreditor yang diakui sementara yang kemudian akan dimasukkan ke dalam
daftar piutang yang diakui sementara;
3) Kreditor yang dibantah yang kemudian akan dimasukkan ke dalam daftar
piutang yang dibantah.
h) Prinsip Debt Collection
Debt collection principle merupakan prinsip yang menekankan bahwa utang
dari debitor harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitor secara sesegera
mungkin untuk menghindari itikad buruk dari debitor dengan cara
menyembunyikan dan menyelewengkan terhadap segenap harta bendanya yang
sebenarnya adalah sebagai jaminan umum bagi kreditornya.
Berkaitan dengan hukum kepailitan yang pada saat ini berlaku di Indonesia,
prinsip debt collection terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hanya terdapat 2 (dua)
persyaratan yang harus dipenuhi agar debitor dapat dipailitkan, yakni debitor
memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih, serta memiliki sedikitnya 2 (dua) kreditor. Undang Undang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan jumlah
minimum utang debitor untuk dapat dipailitkan ataupun persyaratan keadaan
insolven Prinsip Debt Pooling Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang
mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi di antara para kreditornya.
Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator akan berpegang pada
prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata parte serta pembagian
berdasarkan jenis masing-masing kreditor (structured creditors principle). Hadi
Shubhan(2015:33)
Prinsip debt pooling ini juga merupakan artikulasi dari kekhususan sifat-
sifat yang melekat di dalam proses kepailitan, baik itu berkenaan dengan
karakteristik kepailitan sebagai penagihan yang tidak lazim (oineigenlijke
incassoprocedures), pengadilan yang khusus menangani kepailitan dengan
kompetensi absolut yang berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang timbul

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


23

dalam kepailitan, terdapatnya hakim pengawas dan kurator, serta hukum acara
yang spesifik. Hadi Shubhan(2015:34)

2.2.4 Tinjauan Umum Akibat Hukum Kepailitan


Akibat hukum yang diakibatkan dengan adanya putusan pernyataan pailit
oleh pengadilan niaga diantaranya sebagai berikut:
1. Berlakunya sita umum atas seluruh harta debitor
Kepailitan terhadap debitor merupakan peletakkan sitaan umum terhadap
seluruh aset debitor. Karena apabila terdapat sitaan-sitaan lain terhadap aset yang
dimiliki oleh kreditor, maka harus dianggap gugur demi hukum. Sitaan umum
berlaku terhadap seluruh harta debitor, yakni harta yang telah ada saat adanya
pernyataan pailit dan harta yang diperoleh debitor selama berada dalam keadaan
pailit tersebut.
Debitor pailit tidak lagi memiliki hak atas harta kekayaannya sampai dengan
pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator selesai. Debitor pailit demi
hukum akan kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai kekayaannya
yang termasuk ke dalam aset pailit sejak diucapkannya putusan pernyataan pailit.
2. Akibat Hukum bagi Kreditor yang Memegang Hak Jaminan
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengatur bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan
fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. (Pasal 55 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
Kemudian diatur lebih lanjut bahwa hak eksekusi kreditor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang
berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka
waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan. (Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang)
3. Kewenangan Kurator terhadap Harta Pailit
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengatur bahwa yang dimaksud dengan kurator adalah Balai Harta Peninggalan

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


24

atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan
membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai
dengan undang-undang ini. (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).Kemudian keberadaan kurator
dipertegas kembali melalui Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengatur bahwa tugas kurator
adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Pasal 69 ayat (2)
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengatur bahwa:
Dalam melaksanakan tugasnya, kurator:
a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan
pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor,
meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan
demikian dipersyaratkan;
b. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka
meningkatkan harta pailit.
4. Permohonan Pembatalan Perbuatan Hukum Debitor Pailit
Permohonan pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang tidak wajib
dilakukan debitor terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh debitor bahwa
perbuatan tersebut dapat merugikan kreditor dapat dimohonkan oleh kurator
kepada pengadilan. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengatur bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit
dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini,
diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat
kedudukan hukum debitor.
Kemudian, diperjelas dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “Hal-hal lain” adalah antara lain, Actio pauliana,
perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana debitor,
kreditor, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan
dengan harta pailit termasuk gugatan kurator terhadap direksi yang menyebabkan

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


25

perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya. (Pasal 3 ayat


(1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU)
Dengan adanya putusan pailit oleh pengadilan, si pailit masih
diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum dibidang harta
kekayaan apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi
harta kekayaan si Pailit, sebaliknya apabila dengan perbuatan hukum itu justru
akan merugikan harta kekayaan si Pailit maka kerugian kerugian itu tidak
mengikat harta kekayaan tersebut. Zainal Asikin(2017:45-46)
Menurut Fred Tumbuan, pernyataan pailit berakibat bagi kreditur dan debitur
yaitu:
a). Akibat hukum bagi debitur pailit dan hartanya
Akibat pernyataan pailit bagi debitur adalah sesuai dengan Pasal 24
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa dengan pernyataan pailit,
debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta
kekayaannya yang dimasukkan kedalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan
pailit itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan dari pernyataan itu
sendiri.
Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 Undang- Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan
meliputi seluruh kekayaan milik debitur pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan oleh Pengadilan Niaga, pengawasan dan pemberesan boedel pailit
ditugaskan pada kurator (Pasal 16 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Imran Nating,
(2017:46)
b). Akibat hukum bagi kreditur pailit
Akibat pernyataan pailit bagi kreditur adalah kedudukan para kreditursama
(paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil
eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing
(pari passa pro rata parte). Namun demikian asas tersebut mengenal
pengecualian, yaitu golongan kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


26

Pembayaran Utang dan peraturan perundang-undangan lainnya (Pasal 1139 dan


Pasal 1149 KUHPerdata). Dengan demikian, asas paritas creditorium berlaku
bagi para kreditur kongkuren saja. Imran Nating,(2017:46)
Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut kreditur separatis tidak
dapat mengeksekusi boedel pailit karena dalam hal ini ada jangka waktu 90 hari
yang disebut dengan masa stay, baru setelah tenggat waktu 90 hari tersebut lewat,
kreditur separatis baru dapat mengeksekusi boedel pailit. Adanya lembaga
penangguhan pelaksanaan hak eksekusinya dalam tenggang waktu 90 hari
terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan,dalam pelaksanaan
hak eksekusinya harus mendapat persetujuan dari curator atau Hakim Pengawas
pailit tersebut. Pelaksanaan pengurusan harta pailit tersebut oleh kurator bersifat
seketika, dan berlaku saat itu terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, meskipun
terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Jika ternyata kemudian putusan pailit tersebut dibatalkan oleh putusan kasasi
atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator
sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan
pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitur pailit. Ahmad Yani,(2002:62)
Kewenangan Kurator terhadap Harta Pailit Undang-Undang Kepailitan dan
PKPU mengatur bahwa yang dimaksud dengan kurator adalah Balai Harta
Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim
pengawas sesuai dengan undang-undang ini. Kemudian keberadaan kurator
dipertegas kembali melalui Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang mengatur
bahwa tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta
pailit. Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengatur bahwa:
1. Dalam melaksanakan tugasnya, kurator tidak diharuskan memperoleh
persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu
kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di
luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;
2. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka
meningkatkan harta pailit”.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


27

Permohonan Pembatalan Perbuatan Hukum Debitor Pailit Permohonan


pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang tidak wajib dilakukan debitor
terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh debitor bahwa perbuatan tersebut
dapat merugikan kreditor dapat dimohonkan oleh kurator kepada pengadilan.
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengatur bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang
berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh
pengadilan,yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum
debitor. (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

2.3 Tinjauan Umum Tentang Kurator


Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengatur bahwa yang dimaksud dengan kurator adalah Balai Harta Peninggalan
atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan
membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai
dengan Undang-Undang ini. (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.)

2.3.1 Dasar Hukum Kurator


Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan, dalam putusan pernyataan
pailit harus diangkat: (Sutan Remy Sjahdeini,2002: 205).
a. Kurator; dan
b. Seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan
Kemudian, hal-hal berkenaan dengan kurator diatur dalam Pasal 69
sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2.3.2 Persyaratan Kurator


Tidak semua orang dapat menjadi kurator. Dahulu, sewaktu masih
berlakunya peraturan kepailitan zaman Belanda, hanya Balai Harta Peninggalan

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


28

saja yang dapat menjadi kurator tersebut. Akan tetapi, sekarang ini oleh Undang-
Undang Kepailitan diperluas sehingga yang dapat bertindak menjadi kurator
adalah sebagai berikut: (Munir Fuady,2017:41)
a. Balai Harta Peninggalan; atau
b. Kurator lainnya.
Kurator lainnya, selain Balai Harta Peninggalan yang selanjutnya dalam
penelitian ini disebut Balai Harta Peninggalan adalah mereka yang memeliki
persyaratan sebagai berikut:
1. Perorangan yang berdomisili di Indonesia, yang mempunyai keahlian
khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan
harta pailit; dan
2. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman sebagai kurator.
Apabila debitor atau kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator
kepada pengadilan niaga, maka Balai Harta Peninggalan otomatis bertindak
sebagai kurator debitor pailit. Akan tetapi, apabila diangkat kurator yang bukan
Balai Harta Peninggalan, kurator tersebut haruslah independen dan tidak
mempunyai benturan kepentingan apapun dengan pihak debitor maupun kreditor.

2.3.3 Harta Pailit Debitor


Pengaturan mengenai harta pailit debitor dan akibat kepailitan terhadap
harta pailit dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa, kepailitan meliputi seluruh
kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala
sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Pasal 22 Undang-Undang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kemudian mengatur lebih lanjut
bahwa, Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap:
a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makan untuk 30
(tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


29

b. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai


penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang
tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas;
atau
c. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-undang”.
Definisi harta pailit telah jelas diuraikan dalam Pasal 21 dan Pasal 22
Undang- Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tersebut. Apabila debitor adalah suatu perseroan terbatas, maka organ perseroan
tersebut tetap berfungsi dengan ketentuan jika dalam pelaksanaan fungsi tersebut
menyebabkan berkurangnya harta pailit, maka pengeluaran uang yang merupakan
bagian harta pailit adalah wewenang kurator.
Berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 69 Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sejak putusan pernyataan pailit
diucapkan, semua wewenang debitor untuk menguasai dan mengurus harta pailit,
termasuk memperoleh keterangan mengenai pembukuan,catatan, rekening bank,
dan simpanan debitor dari bank yang bersangkutan beralih kepada kurator.

2.3.4 Tugas dan Kewenangan Kurator


Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta
pailit.(Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang). Kurator berwenang melaksanakan tugas tersebut sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut
diajukan kasasi atau peninjauan kembali, tugas kurator terus berjalan. Pengurusan
harta pailit yang menjadi tugas dari kurator diatur dalam Pasal 15 ayat (4), Pasal
100, Pasal 86 ayat (3), dan Pasal 114 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Uraian penjelasan mengenai pengurusan harta pailit yang merupakan tugas
dari kurator berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang adalah sebagai berikut:
1. Mengumumkan Status Kepailitan Debitor Pailit Pasal 15 ayat 4 Undang-
Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


30

bahwa,dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan
pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas. kurator
mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2
(dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas, mengenai ikhtisar
putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut :
a) Nama, alamat, dan pekerjaan debitor;
b) Nama hakim pengawas;
c) Nama, alamat, dan pekerjaan kreditor;
d) Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kreditor sementara,apabila telah
ditunjuk; dan
e) Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor.
Kemudian, penjelasan Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan 2 (dua) surat kabar harian adalah surat kabar yang beredar secara nasional
dan surat kabar harian lokal yang beredar ditempat domisili debitor.
2. Melakukan Pencocokan Piutang Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa kurator
wajib:
a) Mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh kreditor dengan
catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitor pailit; atau
Berunding dengan kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang
diterima.
b) Kemudian, Pasal 117 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengatur bahwa kurator wajib memasukkan piutang yang
disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan
piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar
tersendiri.
c) Melakukan Pencocokan Utang Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa setelah
pencocokan utang selesai dilakukan, hakim pengawas wajib menawarkan
kepada kreditor untuk membentuk panitia kreditor tetap. Sehingga, berdasarkan
pasal tersebut, kurator memiliki tugas untuk melakukan pencocokan utang.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


31

Melakukan Pencatatan Harta Pailit Berdasarkan pada Pasal 100 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, kurator harus membuat pencatatan harta
pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya
sebagai kurator.
Kurator menginventarisasi atau melakukan pencatatan atas harta pailit yang
dimiliki oleh debitor pailit dan memisahkan barang-barang yang cepat rusak atau
membusuk agar dapat secepatnya dijual (dengan persetujuan hakim pengawas),
sehingga tidak akan terjadi kerugian atas harta pailit.
3. Memanggil Para Kreditor
Pasal 86 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengatur bahwa dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima)
hari setelah putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas,
kurator wajib memberitahukan penyelenggaraan rapat kreditor sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau
melalui kurir, dan dengan iklan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian,
dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4).
Kurator memanggil para kreditor dan debitor dari debitor pailit untuk
melakukan penagihan atau pembayaran terhadap piutang atau utangnya dengan
membawa bukti-bukti tagihan, sehingga kurator dapat membuat daftar utang-
piutang debitor pailit. Melaksanakan Rapat Verifikasi Pasal 113 ayat (1) Undang-
Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur
bahwa paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit
diucapkan, hakim pengawas harus menetapkan:
a) Batas akhir pengajuan tagihan;
b) Batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
c) Hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat kreditor untuk mengadakan pencocokan
piutang.
Pasal 114 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa kurator
paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
113 wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua kreditor yang
alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


32

(dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) Pasal 113
ayat (1) dan Pasal 114 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU merupakan
ketentuan yang mendasari tugas kurator untuk mengadakan rapat verifikasi atau
rapat pencocokan piutang. Kurator dapat mengajukan hari, tanggal dan tempat
rapat verifikasi kepada hakim pengawas untuk ditetapkan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 113 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
Kurator dapat melakukan hal-hal lain yang dapat memperlancar proses
pengurusan harta pailit debitor dengan seizin hakim pengawas. Hal-hal lain yang
dimaksud antara lain sebagai berikut:
a) Melakukan pemanggilan debitor pailit untuk meminta keterangan mengenai
sebab-sebab pailit, ada atau tidaknya perjanjian perkawinan, dan lain
sebagainya berkenaan dengan status dari debitor pailit;
b) Mengirimkan surat kepada kantor-kantor pengiriman surat, agar setiap surat
yang ditujukan kepada debitor pailit dikirimkan ke alamat kurator, hal ini dapat
dilakukan oleh kurator mengingat dalam Pasal 105 ayat (3) diatur bahwa
perusahaan pengiriman surat dan telegram memberikan kepada kurator, surat
dan telegram yang dialamatkan kepada debitor pailit;
c) Membuat daftar kreditor dan debitor sementara;
d) Membuat daftar tetap utang-piutang debitor pailit (dalam keadaan insolven)
yang terdaftar dan diakui debitor pailit yang disahkan oleh hakim pengawas;
e) Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian,
rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan
perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolven. (Pasal
178 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU)

2.3.5 Tanggung Jawab Kurator


Berdasarkan pada Pasal 72 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, kurator
bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan
tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap
harta pailit. Kemudian, Pasal 78 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur
bahwa untuk melakukan perbuatan terhadap pihak ketiga, kurator memerlukan

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


33

kuasa atau izin dari hakim pengawas tetapi ternyata kuasa atau izin tersebut tidak
diperolehnya atau kurator dalam melakukan perbuatan tersebut tidak
mengindahkan ketentuan Pasal 83 dan Pasal 84 Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka perbuatan terhadap pihak ketiga
tersebut dapat dikatakan sah, namun sebagai konsekuensinya kurator harus
bertanggung jawab sendiri secara pribadi terhadap debitor pailit dan kreditor.
Sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 72 dan Pasal 78 Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU, kurator dapat digugat dan wajib membayar ganti kerugian
apabila karena kelalaiannya, lebih-lebih lagi karena kesalahannya (dilakukan
dengan sengaja) telah menyebabkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
harta pailit,terutama tentunya adalah para kreditor konkuren, dirugikan.

2.4 Tinjauan Umum Tentang Actio Pauliana


Actio Pauliana adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan transaksi
yang dilakukan oleh debitor untuk kepentingan debitor tersebut yang dapat
merugikan kepentingan para kreditornya. Misalnya menjual barang-barangnya
sehingga barang tersebut tidak dapat lagi disita, dijaminkan oleh pihak kreditor.
Jadi perbuatan perbuatan hukum tersebut dilakukan sebelum pernyataan pailit
ditetapkan dan perbuatan hukum debitor tersebut merugikan kepentingan kreditor.
Pada dasarnya Actio Paulina adalah suatu cara yang diberikan kepada
kurator untuk membatalkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh debitor
pailit sebelum pernyataan pailit dijatuhkan. Apabila kurator menganggap bahwa
tindakan-tindakan hukum yang dilaksanakan oleh debitor pailit tersebut
merugikan kepentingan kreditor-kreditor lain.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan, Actio Paulina juga telah di sebutkan dalam Faillissements
Verordening (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906
Nomor 348), hanya saja bedanya dengan ketentuan Undang–Undang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), adalah mengenai jangka
waktunya adalah 40 (empat puluh) hari, sedangkan dalam Undang-Undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jangka waktunya adalah
1(satu) tahun.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


34

Actio Pauliana dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pengaturan
tentang Actio Pauliana diatur dalam Pasal 41 sampai Pasal 44. Dibandingkan
dengan pengaturan tentang Actio Pauliana dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 yang dalam hal ini Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998 (Pasal 41 samapi dengan Pasal 44) pengaturan
tentang Actio Pauliana dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
mendapatkan penambahan 3 Pasal yaitu Pasal 45, 46 dan 47.
Selain itu perbedaan yang dapat kita temukan dalam Pasal-Pasal tersebut
adalah adanya penegasan dalam Pasal 41 ayat (1) yaitu : dikatakan bahwa
pembatalan tersebut dimintakan “kepada pengadilan” yang dalam hal ini sudah
barang pengadilan niaga pada pengadilan negeri tersebut dan selanjutnya
dikatakan pula dalam kalimat terakhir pasal tersebut” dilakukan sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan“ yang dalam peraturan terdahulu (Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998) tertulis dengan kata-kata ” dilakukan sebelum pernyataan
pailit ditetapkan“, yang seolah-olah putusan tersebut berbentuk penetapan bukan
putusan. Berbagai kasus yang dapat ditemukan, menunjukkan putusan–putusan
pengadilan Niaga tentang Actio Pauliana yang ada upaya hukum Actio Pauliana
yang dilakukan oleh kreditor untuk melindungi boedel pailit dari perbuatan
debitor yang dapat merugikan kreditor, berawal dari perbuatan debitor yang tidak
diwajibkan untuk dilakukannya atau dilarang sebelum putusan pailit diucapkan.
Atau dengan kata lain merupakan suatu perbuatan curang dalam hal ini sengaja
dilakukan oleh debitor untuk mengalihkan hartanya sebelum putusan pailit
diucapkan.
Putusan pailit oleh Pengadilan tidak mengakibatkan Debitor kehilangan
kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd)
pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk
mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Dengan demikian, Debitor
tetap dapat melakukan perbuatan hukum berupa misalnya menikah, atau membuat
perjanjian kawin atau menerima hibah, atau bertindak menjadi kuasa atau
mewakili pihak lain, dan lain sebagainya. Akibat dari kepailitan hanyalah
terhadap harta kekayaan debitor. Sutan Remy Sjahdeini,(2002:256)

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


35

Debitor bukan di bawah pengampuan. Debitor tidak kehilangan


kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum yang menyangkut dirinya,
kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan dan pengalihan
harta bendanyayang telah ada. Tindakan pengurusan dan pengalihan harta
bendanya berada pada kurator, putusan pernyataan pailit sebaiknya diputuskan
secepat mungkin dansecepatnya pula dapat dieksekusi harta kekayaan Debitor.
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
telah terpenuhi . Cara lain adalah dengan menentukan bahwa putusan Pengadilan
Niaga yang merupakan putusan tingkat pertama bersifat serta merta . Walaupun
putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi putusan itu
seketika dapat dilaksanakan. Oleh kurator sekalipun terhadap putusan itu
dilakukan upaya-upaya hukum berupa kasasi atau peninjauan kembali (PK).
Terhadap putusan Pengadilan Niaga baik yang menyangkut permohonan
pernyataan pailit maupun menyangkut permohonan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), dapat dilakukan upaya hukum.
Upaya hukum tersebut adalah kasasi kepada Mahkamah Agung. Terhadap
putusan Pengadilan Niaga tidak dapat diajukan upaya hukum banding kepada
Pengadilan Tinggi. Dasar hukum Actio Paulina diatur dalam pasal 1341 KUH
Perdata, yang pada hakekatnya memberikan hak kepada setiap Kreditor untuk
melakukan upaya hukum terhadap perbuatan debitor pailit atas harta (boedel)
pailit yang dapat merugikan Kreditor. Actio Pauliana adalah perbuatan hukum
yang dilakukan oleh debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, perbuatan
tersebut tidak di wajibkan, dan debitor mengetahui bahwa perbuatan tersebut
merugikan kepentingan kreditor.
Pengertian lain dari Actio Pauliana adalah hak yang diberikan kepada
seorang kreditor untuk memajukan dibatalkannya segala perbuatan yang tidak
diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor tersebut, sedangkan debitor tersebut
mengetahui bahwa dengan perbuatannya itu kreditor dirugikan. Hak tersebut
merupakan perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Kreditor atau perbuatan
debitor yang dapat merugikan kreditor
Tujuan dari Actio Pauliana adalah :

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


36

1) Melindungi hak Kreditor


2) Membatasi perbuatan hukum debitor pailit
3) Melindungi harta-harta debitor pailit untuk tidak disalahgunakan oleh debitor
atau pihak ketiga
Dalam hukum kepailitan perlindungan yang diberikan terutama kepada
Kreditor apabila Debitor membayar utang-utangnya. Namun perlindungan yang
diberikan tidak boleh sampai merugikan kepentingan Debitor. Suatu Undang-
Undang Kepailitan yang baik haruslah memberikan keseimbangan yang
dilandaskan pada asas untuk memberikan perlindungan yang seimbang bagisemua
pihak yang terkait dan berkepentingan dengan kepailitan seseorang atau
perusahaan. Salah satunya terhadap debitor yang mempunyai iktikad baik dimana
debitor tersebut mempunyai keinginan untuk membayar dan melunasi utang
utangnya. Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan terhadap debitor yang
beriktikad baik adalah melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Debitor menyelesaikan utang-utangnya tanpa membayar penuh sehingga usahanya
dapat bangkit kembali tanpa utang. Siti Anisah,(2017:23)
Sejauh ini Actio Pauliana merupakan sarana yang efektif untuk
menghindarkan kreditor pada kerugian yang lebih besar akibat dijual atau
dialihkannya boedel pailit tanpa hak oleh debitor. Dari perkara-perkara yang telah
diputus oleh Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung, dapat dijelaskan
bahwa pengajuan Actio Pauliana umumnya dimintakan karena dikhawatirkan
debitor akan melakukan perbuatan curang terhadap boedel pailit yang ada,
sehingga piutang para kreditor menjadi tidak pasti dengan beralih atau dijualnya
boedel pailit.
Oleh sebab itu Actio Pauliana merupakan satu-satunya cara terbaik yang
dapat dimohonkan pada Pengadilan Niaga agar boedel pailit dapat diselamatkan
dari segala upaya curang yang dilakukan debitor. Permohonan Actio Pauliana
lahir karena adanya kepailitan. Tanpa adanya kepailitan tidak mungkin ada
permohonan Actio Pauliana, jadi permohonan Actio Pauliana itu dapat
dimohonkan oleh kreditor manakala terjadi kepailitan.

2.5 Tinjauan Umum Boedel pailit

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


37

Boedel Pailit bisa juga disebut sebagai harta pailit, seperti definisi di atas,
adalah kekayaan seseorang atau organisasi yang telah dinyatakan pailit. Pada
akhirnya harta tersebut dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan. Selanjutnya harta
peninggalan kepailitan ini akan dibereskan oleh kurator dibawah pengawasan
hakim pengawas. Pelaksanaan pemberesan baru dapat dilakukan setelah debitor
pailit benar-benar dalam keadaan tidak mampu membayar setelah adanya putusan
pernyataan pailit atau dikenal dengan istilah insolvency. Parulian Aritohang,
(2012:2)

2.5.1 Pemberesan Boedel Pailit


Merujuk pada Pasal 16 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kewenangan kurator
melakukan pengurusan dan/atau pemberesan dimulai sejak tanggal putusan pailit
diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan
kembali oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam melaksanakan penjualan
harta Debitor pailit, Kurator harus menjual untuk harga yang paling tinggi,
memutuskan apakah harta tertentu harus dijual segera dan harta yang lain harus
disimpan terlebih dahulu, karena nilainya akan meningkat di kemudian hari, dan
harus kreatif dalam mendapatkan nilai tertinggi atas harta debitor pailit.
Selanjutnya hasil dari penjualan harta pailit akan ditambah hasil penagihan
piutang dikurangi biaya pailit dan utang harta pailit. Lalu, hasil penjualan ini akan
dibagikan kepada kreditur preferen dan kreditor konkuren (sisa tagihan Kreditor
dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hipotek yang belum
dilunasi).
Aset-aset yang telah ditetapkan sebagai boedel pailit tidak dapat dijual
dengan status non-boedel pailit sebelum ada penetapan hakim secara tertulis yang
membenarkan perubahan status itu. Demi asas legalitas dan kepastian hukum
penjualan boedel dengan status non-boedel tak dapat dibenarkan. Kalau kurator
tetap melakukan penjualan, maka perbuatan itu tidak sah secara hukum. Menurut
Parulian, seperti disampaikan jaksa, yang tidak sah bukan hanya penjualan, tetapi
juga eksekusinya. “Segala tindakan hukum terhadap asset tersebut termasuk

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


38

eksekusi penjualan menjadi tidak sah, dan di depan hukum status asset tersebut
secara sah dan meyakinkan masih termasuk asset boedel pailit,”
Mengutip pasal 189 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, setiap tindakan dalam
pengurusan dan pemberesan aset termasuk rencana daftar pembagian hasil
penjualan boedel pailit harus mendapatkan persetujuan hakim pengawas. Jika
kurator tetap menjual aset pailit dengan status non-boedel pailit, hakim pengawas
seharusnya bisa melaporkan masalah itu ke hakim pemutus perkara. Termasuk
mengusulkan penggantian kurator.
Putusan hakim pengawas wajib dilaksanakan kurator. Kurator wajib
menyampaikan segala tindakan yang diambil kepada hakim pengawas dalam
periode tertentu. Kurator tak mempunyai kewenangan menerbitkan penetapan
terhadap bodel pailit yang berakibat pada pihak ketiga. Meskipun demikian,
hakim pengawas tidak boleh aktif mengatur pembagian hasil pengurusan bodel
pailit. Pembuatan daftar pembagian adalah tugas kurator. Hakim pengawas
berwenang mengubah nilai pembagian tersebut, tetapi tetap tidak lazim seorang
hakim pengawas bersifat aktif.
  Tugas pokok seorang hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan
pemberesan harta pailit. Dalam praktik, kurator membuat pencatatan harta pailit,
untuk kemudian dinyatakan sebagai daftar boedel pailit. Hakim pengawas
menyatakan dan mengesahkan daftar bodel itu lewat penetapan tertulis. Penetapan
seorang hakim pengawas bukan atas nama hakim pribadi, karena ia mewakili
institusi pengadilan. Oleh karena itu, “hakim pengawas tidak diperbolehkan
memberikan persetujuan secara tidak tertulis atau lisan”. Parulian Aritohang,
(2012:3)
Fakta bahwa hakim pengawas menerima laporan penjualan boedel pailit
dengan status non-boedel menunjukkan adanya persetujuan diam-diam. Sikap
hakim yang membiarkan tindakan kurator menjual boedel dengan status non-
boedel patut diduga merupakan tindakan keberpihakan kepada salah satu pihak
yang bersengketa Parulian Aritohang,(2012:3)

2.5.2 Pembagian Harta Boedel Pailit

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


39

Pengurusan dan pemberesan harta pailit adalah tahapan pasca putusan


pengadilan yang harus dilalui para pihak yang terlibat dalam sengketa kepailitan.
Pihak yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta
debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas adalah kurator. Dimana salah
satu bagian dari proses pengurusan dan pemberesan adalan pembagian boedel
pailit.
Merujuk pada Pasal 16 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kewenangan kurator
melakukan pengurusan dan/atau pemberesan dimulai sejak tanggal putusan pailit
diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan
kembali oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Pengurusan meliputi tindakan menginventarisasi, menjaga dan memelihara
agar harta pailit tidak berkurang dalam jumlah, nilai dan bahkan bertambah dalam
jumlah dan nilai. Jika di kemudian hari, putusan pailit dibatalkan melalui
mekanisme kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang
dilakukan kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan
tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitor pailit.
Sedangkan, pemberesan merupakan salah satu tindakan kurator terhadap
pengurusan harta debitor pailit. Pelaksanaan pemberesan baru dapat dilakukan
setelah debitor pailit benar-benar dalam keadaan tidak mampu membayar setelah
adanya putusan pernyataan pailit atau dikenal dengan istilah insolvency. Secara
teknis, insolvency adalah keadaan suatu perusahaan yang kondisi aktiva (harta)
lebih kecil dari pasiva (kewajiban yang harus dibayar).
Konsekuensi dari status insolvency debitor pailit adalah harta pailit akan
segera dilakukan pemberesan oleh kurator. Selanjutnya, kurator akan segera
menjual harta pailit di muka umum secara lelang atau di bawah tangan serta
menyusun daftar pembagian dengan izin hakim pengawas. Pembagian hasil
penjualan harta pailit didasarkan pada urutan prioritas dimana kreditor yang
kedudukannya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor
lain yang kedudukannya lebih rendah. Sementara, di antara kreditor yang
memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata yang
didasarkan pada besarnya tagihan masing-masing (kreditor konkuren).

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


40

Urutan pembagian harta pailit ditambah hasil penagihan piutang dikurangi


biaya pailit dan utang harta pailit adalah sebagai berikut:
1. Kreditor dengan hak istimewa (preferen)
2. Sisa tagihan dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau
hipotek yang belum dilunasi dan untuk sisa tersebut para kreditor tersebut
didaftar sebagai kreditor konkuren
3. Kreditor konkuren.
Kreditor preferen adalah kreditor yang mempunyai preferensi karena
undang-undang memberikan preferensi kepada tagihan mereka di luar pemegang
jaminan (kreditor separatis). Kreditor preferen tidak memiliki hak untuk memulai
prosedur hukum untuk melaksanakan hak mereka, kewajiban mereka hanya untuk
mengajukan tagihan.
Sementara, kreditor konkuren adalah kreditor yang harus berbagi dengan
para kreditor lainnya secara proporsional yakni menurut perbandingan besarnya
tagihan, dari hasil penjualan harta debitor pailit yang dibebani hak jaminan.
Masing-masing kreditor memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh
hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada
di kemudian setelah dikurangi dengan kewajiban pembayaran piutang kepada
kreditor pemegang hak jaminan dan kreditor preferen.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


BAB III. METODE PENELITIAN

Menurut Peter Mahmud Marzuki (2011:35), “Penelitian hukum adalah


suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”. Metode
penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai
dengan penggunaan metode. Secara harfiah mula-mula metode diartikan sebagai
suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian
berlangsung menurut suatu rencana tertentu (Johny Ibrahim, 2006:26). Metode
penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan
sebuah penelitian (Abdulkadir Muhammad, 2004:57).
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai beriku:
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum
normative atau doktrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter
Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa penelitian hukum doktrinal adalah
sebagai beriku:
“doctrinal research: research wich provides a systematic exposition of the
rules goverming a particular legal category, analyses the relationship
between rules, explain areas of difficullty and perhaps, predicts future
development.”
(Penelitian doktrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan
sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu,
menganalisis hubungan antara perturan menjelaskan daerah kesulitan dan
mungkin memprediksi pembangunan masa depan). (Peter Mahmud Marzuki
2011:32)
Penelitian hukum normative yang nama lainnya adalah penelitian hukum
doktrinal yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen
karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain (Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, 2004:14). Pada intinya penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti

41
42

bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis
bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar, kodifikasi,
undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya) dan norma hukum positif
tertulis bentukan lembaga peradilan (judgemade law), serta hukum tertulis positif
buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, catatan
hukum, dan rancangan Undang-Undang).
Penelitian ini memiliki objek kajian yang meliputi norma hukum positif
tertulis bentukan lembaga peradilan (judgemade law), yakni Putusan Nomor 461
PK/Pdt.Sus-Pailit/2019. Objek penelitian ini akan dianalisis dengan berdasarkan
pada norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan,
khususnya Undang-Undang Kepailitan dan Peundaan Kewajibaan Pembayaran
Utang.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu yang dilakukan penulis dalam pengumpulan sumber data baik


sumber data primer maupun sumber data sekunder. Sedangkan tempat yang dituju
penulis, dimana penulis melakukan obyek penelitian untuk mendapatkan data
primer maupun sekunder adalah diperpustakaan daerah kabupaten banyuwangi
dan Perpustakaan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi.

3.3 Sifat Penelitian


Ilmu hukum mempunyai karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif,
praktis dan preskriptif (Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005:1).
“Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-
norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum” (Peter
Mahmud Marzuki 2011:22). Penelitian yang dikaji penulis dalam penelitian ini
merupakan penelitian yang bersifat preskriptif, yang dimaksudkan untuk
memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


43

3.4 Pendekatan Penelitian


Keterkaitannya dengan penelitian normatif, pendekatan yang digunakan
dalam penulisan hukum menurut Peter Mahmud Marzuki (2011) adalah sebagai
berikut:
1. Pendekatan kasus (Case Approach);
2. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach);
3. Pendekatan historis (Historical Approach);
4. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach);
5. Pendekatan konseptual (Conceptual Approach).
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian
masalah melalui tahap-tahap yang ditentukan sehingga mencapai tujuan
penelitian. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan normatif-terapan dengan tipe judicial case study, yakni pendekatan
studi kasus hukum karena suatu konflik yang dapat diselesaikan melalui putusan
pengadilan. Putusan pengadilan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah
Putusan Nomor 461 K/Pdt.Sus-Pailit/2019 yang akan dianalisis berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan persoalan kepailitan
yang berlaku di Indonesia
Adapun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa pendekatan
diatas adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan
pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan perundang-undangan adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Pendekatan kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

3.5 Sumber Bahan Hukum


Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum yaitu:
3.5.1 Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang dilakukan terdiri dari peraturan perundang-
undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


44

putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah
sebagai berikut:
a) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
c) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
d) Putusan Nomor : 461 K/Pdt.Sus-Pailit/2019.
3.5.2 Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks
berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan
klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. (Peter Mahmud Marzuki
2011:22)
Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi:
a) Buku-buku ilmiah dibidang hukum
b) Makalah-makalah
c) Jurnal ilmiah
d) Artikel ilmiah
Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian ini
bahan hukum tertier yang digunakan meliputi:
a) Kamus Besar Bahasa Indonesia
b) Kamus Hukum

3.6 Pengumpulan Bahan Hukum


Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh
bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang
mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi dokumen
(studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum
yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content
analisys (Peter Mahmud Marzuki 2011:22).
Studi dokumen dalam pengumpulan data-data sekunder penelitian ini
dilakukan dengan cara mengkaji informasi tertulis mengenai hukum yang tidak

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


45

dipublikasikan secara umum, tetapi diperbolehkan untuk diketahui (dalam hal ini
putusan pengadilan). Studi dokumen yang dilakukan adalah mengkaji sekaligus
melakukan Studi Kasus Putusan Nomor 461 PK/Pdt.Sus-Pailit/2019.

3.7 Analisis Bahan Hukum


Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M.
Hadjon memaparkan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor
(pernyataan yang bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat
khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau
Conclusion. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak
sesederhana silogisme tradisional.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif,
logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu
menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi
kesimpulan yang lebih khusus.
Analisis dilakukan dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, Putusan Nomor : 461 K/Pdt.Sus-Pailit/2019. Kemudian menginventarisasi
dan mengidentifikasi peraturan perundang-undangan, selanjutnya dilakukan
analisis terhadap kasus terkait dan peraturan perundang-undangan tersebut
dengan melakukan penafsiran terhadap undang-undang, untuk kemudian ditarik
kesimpulan dari analisis tersebut.
Dalam penelitian hukum ini peraturan perundang-undangan yang penulis
inventarisasi terdiri dari:
1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
3. Undang-undang No 37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang;
Penafsiran terhadap undang-undang yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah:
1. Penafsiran Gramatikal
Penafsiran gramatikal adalah menafsirkan undang-undang menurut arti
perkataan (istilah). Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


46

sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat undang-undang


untuk menyatakan kehendaknya, tetapi ada kalanya pembuat undang-undang tidak
dapat merangkai kata-kata yang tepat. Oleh karena itu, penulis wajib mencari kata
yang dimaksud yang lazim dipakai sehari-hari, dan juga dapat menggunakan
kamus bahasa atau meminta penjelasan langsung dari ahli bahasa.
2. Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah menafsirkan undang-undang dengan jalan
menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-
undangan atau dengan undang-undang lain. Terjadinya suatu undang-undang
selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada
undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan sistem
perundang-undangan. Setiap undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan
sistem perundang-undangan.
Selanjutnya data tersebut dicatat secara sistematis dan konsisten, sehingga
data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat ditulis dengan
penatalaksanaanya secara kritis, logis, dan sistematis, sehingga nantinya dapat
mengungkap suatu norma dari suatu permasalahan.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Penulis mengangkat kasus mengenai actio pauliana pada boedel pailit
sebagai perlindungan terhadap kreditur menurut Undang-Undang No 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Hasil penelitian ini di dasarkan pada sumber bahan hukum primer yaitu
Putusan Mahkamah Agung Repblik Indonesia Nomor 461K/pdt.sus-pailit/2019
yang akan diuraikan sebagai berikut :
4.1.1 Para Pihak
1. Pihak Pemohon
Sarjadna Orba Manulang, S.H., M.H., M.Kn., selaku advokat dan kurator,
bertempat tinggal di Gedung ILP Lantai 3 (tnt 3-09) Jalan Raya Pasar Minggu
Nomor 39 A, Pancoran, Jakarta, dalam 2. Pihak Penggugat I
Rosaya Sri Wulandari, bertempat tinggal di Bromonilan RT.008//RW.003 Desa
Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Pihak Penggugat II
PT Bank Perkreditan Rakyat Madani Sejahtera Abadi, diwakili oleh Widiatma
Rahmadi, S.E., Direktur, berkedudukan di Jalan C Simanjuntak Nomor 26 Terban,
Gondokusuman, Kota Yogyakarta 55233, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
3.Pihak Tergugat I
Aloysius Yossi Ariwiowo, S.T., M.H., M.Kn., Notaris dan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), beralamat di Jalan Tantular Nomor 316, Jembatan Merah
Gejayan, Kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pihak Tergugat II
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sleman, berkedudukan di Jalan Rajimin,
Sucen, Triharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, diwakili oleh Rio Sumardiyanto, S.H., M.H., Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, dalam
hal ini memberi kuasa kepada Muhun Nugraha, S.H., M.Hum., Kepala Seksi

47
48

Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan pada Kantor Pertanahan


Kabupaten Sleman,

4.1.2 Putusan Pengadilan Niaga


Terhadap permohonanpernyataan pailit, Pengadlan Niaga pada Pengadilan
Negeri Semarang telah memberikan puusan, bahwa terhadap gugatan tersebut
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah memberikan Putusan
Nomor 13/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2018/PN.Smg., juncto Nomor 07/Pdt.Sus
Pailit/2011/PN,Smg., tanggal 12 November 2018 yang amarnya sebagai berikut:
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini, sejumlah
Rp2.566.000,00 (dua juta lima ratus enam puluh enam ribu rupiah)
Permohonan kasasi pada tanggal 21 November 2018, sebagaimana ternyata
dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 13/G.ActioPauliana/2018/PN.Smg., juncto
Nomor 6/G.Actio-Pauliana/K/2018/PN.Smg., yang dibuat oleh Plh. Panitera
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, permohonan tersebut
disertai dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Semarang pada tanggal itu juga.
Memori kasasi dari Pemohon Kasasi tersebut telah disampaikan kepada Para
Termohon Kasasi dan Para Turut Termohon Kasasi pada tanggal 28 November
2018, kemudian Para Termohon Kasasi mengajukan jawaban memori kasasi yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
masing-masing pada tanggal 6 Desember 2018 dan 11 Desember 2018 yang pada
pokoknya menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi.
4.1.3 Alasan Pengajuan Kasasi
1. Bahwa Tergugat I adalah istri sah dari Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko yang
beralamat sama dengan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko yaitu di Bromonilan
RT.008/RW.003 Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta;
2. Bahwa Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko sebelum menikah dengan Tergugat I
telah diputus Pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
Nomor 07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg., tertanggal 12 Oktober 2011 juncto

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


49

Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 807K/Pdt.Sus/2011, tertanggal


24 Januari 2012 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 208
PK/Pdt.Sus/2012, tanggal 28 Januari2013
3. Bahwa Tergugat I selama dalam pernikahan dengan Debitur Pailit Sdr. Dayu
Handoko pada tanggal 5 Desember 2014 membeli sebidang tanah dengan
Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3.266 m² (tiga
ribu dua ratus enam puluh enam meter persegi), yang kemudian oleh Tergugat
I dijadikan jaminan utangnya kepada Tergugat II berdasarkan Perjanjian Kredit
Nomor 83, tertanggal 10 November 2017 dengan nilai kredit sebesar
Rp1.200.000.000,00 (satu milyar dua ratus juta rupiah), Perjanjian Kredit
tersebut diberikan persetujuan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko selaku suami
sah Tergugat I;
4. Bahwa Perjanjian Pranikah antara Tergugat I dengan suaminya Sdr. Dayu
Handoko tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah, sehingga hanya
berlaku kepada mereka berdua yang menandatangani perjanjian itu serta tidak
berlaku mengikat kepada pihak ketiga, dengan demikian mengakibatkan harta
yang diperoleh selama perkawinan mereka menjadi harta bersama, sehingga
menjadi harta boedel pailit bagi Debitur Sdr. Dayu Handoko.

4.1.4 Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia


Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung
berpendapat terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi SARDJANA ORBA MANULLANG, S.H., M.H.,
M.Kn., tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Semarang Nomor 13/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2018//PN.Smg., juncto
Nomor 07/Pdt.Sus-Pailit/2011/PN,Smg., tanggal 12 November 2018, selanjutnya
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar sebagaimana
akan disebutkan di bawah ini;
1. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dikabulkan, maka Para
Termohon Kasasi harus dihukum untuk membayar semua biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan;

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


50

2. Memperhatikan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang UndangNomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3
Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan,
maka Putusan Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut :
1. Mengabulkan pemohon kasasi dari Pemohon Kasasi SARDJANA ORBA
MANULLANG, S.H., M.H., M.Kn., tersebut;
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
Nomor 13/Pdt.Sus-Actio Pauliana/2018//PN.Smg., juncto Nomor 07/Pdt.Sus-
Pailit/2011/PN,Smg., tanggal 12 November 2018;
3. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
4. Menyatakan sebidang tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM)
Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3.266 m² (tiga ribu dua ratus enam puluh
enam meter persegi), dengan diuraikan didalam Surat Ukur tanggal 15 Juni
2014, Nomor 00566/Purwomartani/2014, yang diatasnamakan Tergugat I
adalah harta Pailit yang harus dimasukkan kedalam daftar harta (boedel) Pailit
Nomor 07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg;
5. Menyatakan Perjanjian Kredit Nomor 83, tertanggal 10 November 2017 dan
Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 481/2017, tertanggal 16 November
2017, yang dibuat di hadapan Turut Tergugat I Aloysius Yossi Aribowo, S.T.,
S.H., M.Kn., selaku Notaris dan PPAT di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, antara Tergugat I dengan Tergugat II atas persetujuan
Debitur Pailit Dayu Handoko batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum;
6. Menyatakan Sertifikat Hak Tanggungan Nomor 00170/2018 yang diterbitkan
Turut Tergugat II tidak mempunyai kekuatan hukum;
7. Menghukum Turut Tergugat II untuk mencoret catatan Hak Tanggungan dalam
Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas 3266 m² (tiga
ribu dua ratus enam puluh enam meter persegi), dengan Surat Ukur tanggal 15
Juni 2014, Nomor 00566/Purwomartani/2014 yang diatasnamakan Tergugat I;

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


51

8. Menghukum Tergugat II untuk menyerahkan kepada Penggugat Sertifikat Hak


Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani atas nama Tergugat I dan Sertifikat
Hak Tanggungan Nomor 00170/2018 kepada Penggugat;
9. Menghukum Turut Tergugat II untuk menerbitkan Sertifikat pengganti atas
Sertifikat Hak Milik Nomor 13795/Purwomartani yang dikuasai Tergugat II
serta menyerahkan kepada Penggugat apabila Tergugat II tidak tunduk dan
patuh atas isi putusan ini;
10. Menghukum Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II patuh dan tunduk pada
putusan Pengadilan Niaga Semarang dalam perkara ini;
11. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
-Menghukum Para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim pada hari Rabu,
tanggal 3 Juli 2019 oleh Dr. Yakup Ginting, S.H., C.N., M.Kn., Hakim Agung
yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H.
Zahrul Rabain, S.H., M.H., dan Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M., Hakim-hakim
Agung sebagai Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri Para Hakim Anggota
tersebut dan oleh Susi Saptati, S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri
oleh para pihak

4.2 Pembahasan
4.2.1 Bagaimanakah Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur
Melalui Actio Pauliana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun
2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Hutang
Salah satu upaya perlindungan terhadap kepentingan kreditor dalam
Undang-Undang Kepailitan adalah mencegah kecurangan yang dilakukan oleh
debitor.Kecurangan yang dapat dilakukan oleh debitor misalnya seseorang yang
beriktikad tidak baik membuat sebanyak mungkin utang untuk selanjutnya
mengajukan permohonan pernyataan pailit agar tidak membayar utang-utangnya
itu dengan terlebih dahulu menyembunyikan kekayaannya. Contoh lainnya,

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


52

seseorang menyalah gunakan pernyataan pailit sebagai “kamuflase” demi untuk


menutupi iktikad tidak baiknya dengan cara mengalihkan modal dan kekayaan
kepada perusahaan yang baru dibentuk atau pihak lain.Victor Situmorang,
(1994:13)
Tindakan-tindakan debitor tersebut dalam hukum kepailitan Indonesia
termasuk sebagai actio pauliana. Actio pauliana diatur baik dalam
Faillissementsverordening, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 maupun
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kreditor mempunyai hak untuk
mengajukan pembatalan kepada Pengadilan terhadap segala perbuatan yang
dilakukan oleh debitor sebelum dinyatakan pailit, karena perbuatan tersebut tidak
diwajibkan, dan debitor mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan
kepentingan kreditor. Victor Situmorang,(1994:13)
Actio Pauliana merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor
sebelum ia dinyatakan pailit, perbuatan hukum tersebut tidak diwajibkan, dan
debitor mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan
kreditor. Kreditor mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan kepada
Pengadilan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor sebelum
dinyatakan pailit yang mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Debitor atau pihak
dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan dapat membuktikan sebaliknya
bahwa mereka mengetahui atau patut mengetahui bahwa perbuatan hukum
tersebut tidak mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
Didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang dengan tegas melindungi kreditor dari
debitor yang berlaku curang, yang dijelaskan dalam pasal 41- 49 Undang-Undang
nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang yang bunyinya sebagai berikut ini :
Ketentuan pasal 41 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang
1. Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan
segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan
kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


53

2. Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila
dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor, dan
pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi Kreditor.
3. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian
dan/atau karena undang-undang.
Ketentuan pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang
Apabila perbuatan hukum yang merugikan Kreditor dilakukan dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan
perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan Debitor, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat
(2), dalam hal perbuatan tersebut:
1. Merupakan perjanjian dimana kewajiban Debitor jauh melebihi kewajiban pihak
dengan siapa perjanjian tersebut dibuat;
2. Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum
jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih;
3. Dilakukan oleh Debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan:
a. Suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;
b. Suatu badan hukum dimana Debitor atau pihak sebagaimana dimaksud
pada angka 1) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak
tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara
langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut
lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam
pengendalian badan hukum tersebut.
4. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk
kepentingan:
a. anggota direksi atau pengurus dari Debitor, suami atau istri, anak angkat,

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


54

atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota direksi atau pengurus
tersebut;
b. perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak
angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung
atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari modal disetor atau dalam, pengendalian badan hukum
tersebut;
c. perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai
derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam
kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal
disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
5. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau untuk
kepentingan badan hukum lainnya, apabila:
a. Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut
adalah orang yang sama;
b. Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari
perorangan anggota direksi atau pengurus Debitor yang juga merupakan
anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
c. Perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas
pada Debitor, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai
derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung
atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari
50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan
hukum tersebut, atau sebaliknya;
d. Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya,
atau sebaliknya;
e. Badan hukum yang sarna, atau perorangan yang sama baik bersama, atau
tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya dan
keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak
langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50%
(lima puluh persen) dari modal yang disetor;
6. Dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


55

badan hukum lain dalam satu grup dimana Debitor adalah anggotanya;
Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang
Hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalan kepada
Pengadilan, apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut
dilakukan Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
Ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang
Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut
mengetahui bahwa hibah tersebut merugikan Kreditor, apabila hibah tersebut
dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan penyertaan pailit
diucapkan. Ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
Pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih hanya dapat dibatalkan
apabila dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan
penyertaan pailit Debitor sudah didaftarkan, atau dalam hal pembayaran tersebut
merupakan akibat dari persekongkolan antara Debitor dan Kreditor dengan maksud
menguntungkan Kreditor tersebut melabihi Kreditor lainnya.
Ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang
1. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, pembayaran yang
telah diterima oleh pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk yang karena
hubungan hukum dengan pemegang terdahulu wajib menerima pembayaran,
pembayaran tersebut tidak dapat diminta kembali.
2. Dalam hal pembayaran tidak dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), orang yang mendapat keuntungan sebagai akibat diterbitkannya surat
pengganti atau surat atas tunjuk, wajib mengembalikan kepada harta pailit jumlah
uang yang telah dibayar oleh Debitor apabila:
a. dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan mengetahui bahwa permohonan
pernyataan pailit Debitor sudah didaftarkan; atau

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


56

b. penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari persekongkolan antara


Debitor dan pemegang pertama.
Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang
1. Tuntutan hak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal
42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 diajukan oleh Kurator ke Pengadilan.
2. Kreditor berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 dapat mengajukan bantahan terhadap
tuntutan Kurator.
Ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang
1. Dalam hal kepailitan berakhir dengan disahkannya perdamaian maka tuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 gugur.
2. Tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 tidak gugur, jika perdamaian
tersebut berisi pelepasan atas harta pailit, untuk itu tuntutan dapat dilanjutkan atau
diajukan oleh para pemberes harta untuk kepentingan Kreditor.
Ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang
1. Setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta
Debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus
mengembalikan benda tersebut kepada Kurator dan dilaporkan kepada Hakim
Pengawas.
2. Dalam hal orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengembalikan
benda yang telah diterima dalam keadaan semula, wajib membayar ganti rugi kepada
harta pailit.
3. Hak pihak ketiga atas benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diperoleh
dengan itikad baik dan tidak dengan cuma-cuma, harus dilindungi.
4. Benda yang diterima oleh Debitor atau nilai penggantinya wajib dikembalikan
oleh Kurator, sejauh harta pailit diuntungkan, sedangkan untuk kekurangannya,
orang terhadap siapa pembatalan tersebut dituntut dapat tampil sebagai kreditor
konkuren
Permohonan pembatalan atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


57

diajukan dalam rangka pemberesan harta pailit. Tujuannya adalah untuk


memperbanyak harta pailit, agar para kreditor memperoleh pembayaran secara
maksimal sesuai dengan jumlah piutang yang dimiliki oleh para kreditor.
Elijana(2000:15)
Actio pauliana sebagai lembaga yang melindugi kepentingan kreditor
memiliki beberapa persyaratan yang bersifat kumulatif. Pertama, debitor telah
melakukan suatu perbuatan hukum. Kedua, perbuatan hukum tersebut tidak wajib
dilakukan oleh debitor. Ketiga, perbuatan hukum tersebut telah merugikan
kepentingan kreditor. Keempat, pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut
debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum yang
dilakukannya akan merugikan kepentingan kreditor; dan kelima, pada saat
perbuatan hukum tersebut dilakukan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu
dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Fred B.G. Tumbuan(1998:3)
Sebagai perbandingan pengaturan actio pauliana di Indonesia dapat
dikemukakan pengaturan fraudulent transfer law di Amerika Serikat dan claw
back di Italia. Sejarah fraudulent transfer law modern di Amerika Serikat berasal
dari England’s Statute of 13 Elizabeth, yang disahkan pada 1571. Selanjutnya
berkembang menjadi Uniform Fraudulent Conveyance Act (UFCA), the
Bankruptcy Act of 1975, dan the Uniform Fraudulent Transfer Act (UFTA). Sejak
awal, the Statute of 13 Elizabeth melarang transfer harta kekayaan yang dilakukan
oleh debitor yang berniat untuk “menghalangi, menunda, atau menipu”
kreditornya Dengan demikian, fraudulent transfer law dibuat dengan tujuan untuk
mencegah debitor melakukan manipulasi dengan cara melakukan transfer harta
kekayaan yang dibuat oleh debitor sebelum pernyataan pailit sehingga
mengurangi atau menghabiskan harta kekayaan debitor. Thomas H. Jackson,
(2008:674)
Tujuan lain dari fraudulent transfer law adalah untuk mencegah debitor
menutupi atau menjual harta kekayaannya untuk menipu para kreditornya dalam
perkembangannya, the Bankruptcy Code memperluas fraudulent transfer hingga
mencakup constructively fraudulent transfers. Constructive fraud terjadi ketika
debitor menjual harta kekayaannya dengan harga rendah, dan dari hasil penjualan

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


58

harta kekayaannya menyebabkan debitor menjadi pailit, atau jika debitor telah
pailit ketika penjualan harta kekayaan yang tidak masuk akal itu dilakukan oleh
debitor.
Dengan demikian, constructive fraud termasuk didalamnya adalah
melakukan bisnis yang undercapitalized. Selanjutnya fraudulent transfer juga
termasuk actual fraud, yang terjadi apabila debitor berniat untuk menghalangi
atau menunda pembayaran utangnya kepada kreditor. Apabila debitor melakukan
perbuatan-perbuatan itu, maka perbuatannya dapat dibatalkan. Berdasarkan
Bankruptcy Code dan undang-undang lain yang berlaku di Amerika Serikat, tidak
jelas apakah kreditor yang menerima jasa dari debitor yang dilakukan tanpa
mengurangi atau merugikan harta kekayaannya harus mengembalikan nilai dari
jasa yang telah diterimanya. John D. Donell,(2010:37)
Ketidak jelasan ini berasal dari pengaturan fraudulent transfer yang hanya
berhubungan dengan transfer harta kekayaan, dan bukan transfer jasa. Dengan
demikian, pertanggungjawabannya pun berkaitan dengan transfer harta kekayaan,
dan bukan transfer jasa. Namun demikian Bankruptcy Court mengkategorikan
jasa sebagai harta kekayaan sebagai objek fraudulent transfer law, sehingga
kreditor mempunyai kekuasaan untuk menagih nilai jasa tersebut kepada pihak
ketiga sebagai penerima transfer jasa. Penentuan apakah jasa dianggap harta
kekayaan, berdasarkan fraudulent transfer law dapat diuji oleh Pengadilan dengan
menggunakan salah satu tujuan Undang-Undang Kepailitan yaitu apakah
maksimalisasi aset debitor untuk keuntungan kreditor terpenuhi.D. Donell,
(2010:37)
Pada kasus yang lain actio pauliana diajukan oleh kurator, karena kurator
menemukan bukti debitor melakukan perbuatan yang telah merugikan harta pailit.
Namun, Mahkamah Agung menolak memeriksa actio pauliana yang diajukan
oleh kurator, sebab actio pauliana sebagai pembatalan perbuatan hukum debitor
yang telah dinyatakan pailit dengan pihak ketiga, merupakan suatu sengketa yang
penyelesaiannya harus dilakukan melalui suatu gugatan perdata kepada
Pengadilan Negeri, dan suatu permohonan tidak lah merupakan suatu sengketa.
Dalam praktik penegakan Undang-Undang Kepailitan, ternyata ketentuan actio
pauliana belum sepenuhnya dapat melindungi kepentingan kreditor dengan

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


59

beberapa alasan. Pembuktian dalam actio pauliana tidak dapat dilakukan secara
sederhana. Pembuktian actio pauliana berbeda dengan pembuktian sederhana
dalam kepailitan. Apabila hal ini diperiksa di Pengadilan Negeri, dapat saja
penyelesaian kepailitan menjadi berlarutlarut. Padahal, umumnya debitor
langsung memindahkan harta-harta bergerak termasuk rekening-rekeningnya yang
ada di bank setelah adanya pernyataan pailit, dengan tujuan untuk menghindari
pemberesan harta oleh kurator. Khusus untuk harta debitor yang berbentuk badan
hukum yang pemilikannya atas nama pribadi tetap dipertahankan atas nama
pemegang saham, dan dilakukan perikatan-perikatan tertentu dengan pihak lain
secara back date. Transaksi semacam ini mudah terjadi karena lemahnya
penegakan hukum dalam bidang yang berkaitan dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, khususnya
kewajiban penyampaian laporan keuangan audit tahunan. (Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang)
Pembuktian terhadap permohonan actio pauliana pada umumnya adalah
tidak sederhana, sehingga pembuktian sederhana dalam Undang- Undang
Kepailitan tidak mudah diterapkan. Namun, pendapat Mahkamah Agung yang
menyatakan bahwa actio pauliana bukan kewenangan Pengadilan Niaga tidak lah
tepat, karena akan memperlama proses pemberesan harta pailit. Di samping
pembuktiannya yang tidak sederhana, kendala lain dalam penyelesaian
permohonan actio pauliana antara lain perbuatan hukum yang dilakukan oleh
debitor yang merugikan para kreditor sulit dideteksi, terbatasnya kewenangan
curator untuk mengungkapkan hal tersebut, dan kurangnya kerjasama teknis
dengan instansi penegak hukum lain dalam mengungkapkan actio pauliana. Agar
perlindungan terhadap kepentingan kreditor melalui actio pauliana dapat
dilakukan, maka diperlukan peraturan pelaksana tentang hukum acara pembuktian
actio pauliana yang implementatif.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan
dan penundaan kewajiban pembayaran utang maka yang dapat menjadi pemohon
dalam suatu perkara kepailitan adalah salah satu dari pihak berikut ini :
1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


60

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya;
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh
kejaksaan untuk kepentingan umum;
3. Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia;
4. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan
pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
5. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan
publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan.
Kreditor yang mengajukan permohonan kepailitan bagi debitor harus
memenuhi syarat bahwa hak tuntutannya terbukti secara sederhana atau
pembuktian mengenai hak kreditor untuk menagih juga dilakukan secara
sederhana, yang merupakan dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah sebagai
berikut:
1. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
2. KUH Perdata, misalnya, Pasal 1134, 1139, 1149, dan lain-lain.
3. KUH Pidana, misalnya, Pasal 396, 397, 398, 399, 400, 520, dan lain-lain.
4. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tenang Perseroan Terbatas.
5. Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan.
6. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1996 tentang jaminan Fidusia.
7. Perundang-undangan di Bidang pasar Modal, Perbankan, BUMN, dan lain-lain.
Perlindungan yang diberikan kepada kreditor dan stake holders-nya tidak
boleh merugikan kepentingan stake holders debitor. Kendatipun Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 memperbolehkan permohonan pernyataan pailit diajukan
oleh salah satu kreditor saja, namun demi kepentingan para kreditor lain, tidak
seyogyanya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang membuka kemungkinan diucapkannya

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


61

putusan pailit, tanpa disepakati kreditor lain. Seyogyanya menentukan bahwa


putusan pengadilan atas permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor, harus
berdasarkan persetujuan kreditor lain yang diperoleh dalam rapat para kreditor
yang khusus diadakan itu.
Perlindungan hukum yang diberikan Undang-undang kepailitan bagi
kreditor salah satunya adalah dengan adanya actio paulina. Actio Paulina sejak
semula telah diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata, dimana hal ini memberikan
hak kepada kreditor untuk mengajukan pembatalan atas setiap tindakan hukum
yang tidak diwajibkan dilakukan oleh debitor, baik dengan nama apapun yang
dapat merugikan kreditor.
Ketentuan actio paulina dalam Pasal 1341 KUH Perdata ini berkaitan
dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang mengatur prinsip Paritas
creditorium.Hal ini karena dengan pasal 1131 KUH Perdata ditentukan bahwa
semua harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan atas utang-utang
debitor. Dengan demikian debitor dalam hal ini tidak bebas terhadap harta
kekayaan yang dimilki ketika memiliki utang kepada pihak kreditor .
Terdapat beberapa hambatan-hambatan yang dialami kreditor dalam hal
kepailitan, yaitu:
1) Belum ada dana untuk biaya pengurusan dan pemberesan harta pailit
2) Debitor pailit tidak kooperatif
3) Debitor pailit menjual atau menyembunyikan asetnya sebelum dinyakan pailit.
Untuk mengajukan permohonan kepailitan asalkan dengan memenuhi syarat
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih, hal ini dapat merugikan kreditor yang lainnya. Dimana Undang-undang
kepailitan tidak melarang pengajuan permohonan pailit oleh kreditor, walaupun
besarnya tagihan kreditor pemohon hanya merupakan porsi yang sangat kecil
dibandingkan dengan keseluruhan utang debitor. Untuk kedepannya diharapakan
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dapat mengatur lebih lanjut tentang
pengajuan permohonan kepailitan oleh salah satu kreditor agar tidak merugikan
kreditor lainnya dan di dalam mengambil keputusan harus berdasarkan
persetujuan kreditor lain yang diperoleh dalam rapat kreditor.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


62

4.2.2 Bagaimana Kesesuaian Hukum Dalam Putusan Nomor 461K/pdt.sus-


pailit/2019 Jika Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun
2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Hutang
Berdasarkan putusan pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam kasus
kepailitan Nomor 461 K/Pdt.Sus-Pailt/2019. Sengketa antara pemohon pailit dan
termohon pailit bermula dari adanya pembelian sebidang tanah yang mengatas
namakan pemohon kasasi. Dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor
13795/Purwomartani seluas 3.266 m² (tiga ribu dua ratus enam puluh enam meter
persegi), dengan diuraikan di dalam Surat Ukur tanggal 15 Juni 2014, Nomor
00566/Purwomartani/2014 yang diatas namakan Tergugat I adalah harta Pailit
yang dapat dimasukkan kedalam daftar harta (boedel) Pailit Nomor
07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg
Pembuktian terhadap permohonan actio pauliana pada umumnya adalah
tidak sederhana, sehingga pembuktian sederhana dalam Undang-Undang
Kepailitan tidak mudah diterapkan. Atas dasar tersebut,akta tanah dan bangunan
itu di jadikan perjanjian kredit Nomor 83, tertanggal 10 November 2017 dan Akta
Pemberian Hak Tanggungan Nomor 481/2017, tertanggal 16 November 2017,
yang dibuat di hadapan Turut Tergugat I Aloysius Yossi Aribowo, S.T., S.H.,
M.Kn., selaku Notaris dan PPAT di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, antara Tergugat I dengan Tergugat II atas persetujuan Debitur Pailit
Dayu Handoko batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Bahwa alasan alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan
1. Bahwa Tergugat I adalah istri sah dari Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko
yang beralamat sama dengan Debitur Pailit Sdr. Dayu Handoko yaitu di
Bromonilan RT.008/RW.003 Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan,
Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Bahwa Debitur
Pailit Sdr. Dayu Handoko sebelum menikah dengan Tergugat I telah
diputus Pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang
Nomor 07/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg., tertanggal 12 Oktober 2011 juncto
Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 807K/Pdt.Sus/2011,

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


63

tertanggal 24 Januari 2012 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 208


PK/Pdt.Sus/2012, tanggal 28 Januari2013;
2. Bahwa Tergugat I selama dalam pernikahan dengan Debitur Pailit Sdr.
Dayu Handoko pada tanggal 5 Desember 2014 membeli sebidang tanah
dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 13795/Purwomartani, seluas
3.266 m² (tiga ribu dua ratus enam puluh enam meter persegi), yang
kemudian oleh Tergugat I dijadikan jaminan utangnya kepada Tergugat II
berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor 83, tertanggal 10 November 2017
dengan nilai kredit sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu milyar dua ratus juta
rupiah), Perjanjian Kredit tersebut diberikan persetujuan Debitur Pailit
Sdr. Dayu Handoko selaku suami sah Tergugat I;
3. Bahwa Perjanjian Pranikah antara Tergugat I dengan suaminya Sdr. Dayu
Handoko tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah, sehingga hanya
berlaku kepada mereka berdua yang menandatangani perjanjian itu serta
tidak berlaku mengikat kepada pihak ketiga, dengan demikian
mengakibatkan harta yang diperoleh selama perkawinan mereka menjadi
harta bersama, sehingga menjadi harta boedel pailit bagi Debitur Sdr.
Dayu Handoko
Namun, pendapat Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa actio
pauliana bukan kewenangan Pengadilan Niaga tidak lah tepat, karena akan
memperlama proses pemberesan harta pailit. Di samping pembuktiannya yang
tidak sederhana, kendala lain dalam penyelesaian permohonan actio pauliana
antara lain perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor yang merugikan para
kreditor sulit dideteksi, terbatasnya kewenangan kurator untuk mengungkapkan
hal tersebut, dan kurangnya kerjasama teknis dengan instansi penegak hukum lain
dalam mengungkapkan actio pauliana. Agar perlindungan terhadap kepentingan
kreditor melalui actio pauliana dapat dilakukan, maka diperlukan peraturan
pelaksana tentang hukum acara pembuktian actio pauliana yang implementatif.
Kesesuaian hukum terkait putusan nomor 461K/pdt.sus-pailit/2019 Jika Dikaitkan
dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Hutang dalam pasal 69 berbunyi :
Tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


64

1.Dalam melaksanakan tugasnya, Kurator:


a. tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan
pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu organ
Debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau
pemberitahuan demikian dipersyaratkan;
b. dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka
meningkatkan nilai harta pailit.
2. Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga Kurator perlu membebani
harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
tanggungan atas kebendaan lainnya maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu
memperoleh persetujuan Hakim Pengawas.
3. Pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak tagunan atas kebendaan lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan
jaminan utang.
4. Untuk menghadap di sidang Pengadilan, Kurator harus terlebih dahulu
mendapat izin dari Hakim Pengawas, kecuali menyangkut sengketa pencocokan
piutang atau dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39,
dan Pasal 59 ayat (3).
Selain itu, ada 3 (tga) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat
diterima sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahu 2004,yaitu: “Debitor yang mempuanyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih,
di nyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonanya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Jika dilihat, salam unsur pasal diatas terdiri dari beberapa unsur di antaranya :
1. Adanya Debitor.
2. Adanya dua kreditor atau lebih.
3. Adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka kesimpulan yang dapat
ditarik dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
5.1.1 Bahwa didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
kepailitan, tidak menjelaskan secara rinci tentang perlindungan kepada debitur
atas kesalahan kurator tetapi hanya menjelaskan beberapa debitur yang
mendapatkan perlindungan. Kurator akan bertanggung jawab apabila
melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugas pengurusan dan
pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit, dan juga akan
memberikan perlindungan kepada kreditur apabila terjadi kesalahan atau
kelalian kurator dalam menjalankan tugasnya.
5.1.2 Kesesuian dasar pertimbangan hakim terhadap putusan kasasi pailit terkait
putusan Nomor 461K/Pdt.sus-pailit/2019 dengan Undang-Undang Nomor 37
tahun 2004 tentang kepailitan secara garis besar telah sesuai, namun ada satu
persepsi Mahkamah Agung yang harus disamakan tentang actio pauliana
bukan kewenangan pengadilan Niaga. Padahal pengadilan Niaga mempercepat
proses pemberesan harta pailit, dan pasal 7 Undang-undang kepailitan
menjelaskan bahwa “pengadilan adalah pengadilan niaga dalam lingkungan
peradilan umum”.

5.2 Saran
Berdasarkan atas penjelasan kesimpulan diatas, maka penulis dapat
memberikan saran sebagai berikut :
5.2.1 Perlu dibuat perbaikan aturan dalam Undang-Undang Kepailitan yang lebih
komprehensif, dimana mewajibkan segala perbuatan hukum debitor
terhadap segala aset yang berhubungan dengan kreditor dicatat dan
dilaporkan kepada para kreditornya sebagai laporan pertanggungjawaban.
Bila hal tersebut direalisasikan, maka bukan hanya pembuktian menjadi
mudah untuk mengungkap perbuatan hukum yang termasuk dalam actio
pauliana, tetapi juga sebagai tindakan preventif agar para pihak yang

65
66

beritikad tidak baik enggan untuk melakukan perbuatan yang dapat


merugikan pihak lainnya. Sekaligus Perlu dilakukan perubahan berupa
perbaikan pengaturan dalam Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tetang
kepailitan mengenai syarat-syarat palit
5.2.2 Untuk kedepannya diharapakan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU
dapat mengatur lebih lanjut tentang pengajuan permohonan kepailitan oleh
salah satu kreditor agar tidak merugikan kreditor lainnya dan di dalam
mengambil keputusan harus berdasarkan persetujuan kreditor lain yang
diperoleh dalam rapat kreditor.

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


67

DAFTAR PUSTAKA

Shubhan, Hadi. 2015. Hukum Kepailitan. Edisi-1, Cetakan kelima(Jakarta:


Kencana Prenadamedia Group)
Jono. 2013. Hukum Kepailitan. Cetakan ke-3, (Jakarta: Sinar Grafika)
Salim. 2003 Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,(Sinar Grafika)
Bakarbessy, Leonora. 2010 Buku Ajar Hukum Perikatan,(Fakultas Hukum
Universitas Airlangga)
Bakarbessy, Leonora. 2004 Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti)
Lim, Welly. 2017. Kewenangan Kurator untuk Mengajukan Pembatalan
Perjanjian yang Dilakukan oleh Debitor Sebelum Pailit yang Merugikan
Harta/Boedel Pailit (Universitas Airlangga).
Syahrin, M. Alvi. 2017. Actio Pauliana Konsep Hukum dan Problematikanya
Syahdeini, Sutan Remy. 2002, Hukum Kepailitan, Jakarta: Grafiti
Hartono , Siti Soemarti. 1993. Seri Hukum Dagang, Pengantar Hukum Kepailitan
dan Penundaan Pembayaran, Jakarta, Seksi Hukum Dagang Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada,
Elsi, Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, 2018. Hukum dalam Ekonomi,
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Asikin, Zainal. 2017. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di
Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Prasetya, Rudhi, 1996. Likuidasi Sukarela Dalam Hukum Kepailitan, Makalah
Seminar Hukum Kebangkrutan Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman RI
Nating, Imran, 2012. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan
dan Pemberesan
Yani Achmad dan Gunawan Widjaja, 2002, Seri Hukum Bisnis Kepailitan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Siti Anisah, 2017, Perlindungan Kepentingan kreditor, Jakarta: Grafiti

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi


68

Victor Situmorang,Hendri Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan di


Indonesia Jakarta: Rineka Cipta

Elijana, et. al., 2000 Penelitian Hukum tentang Penyelesaian Sengketa melalui
Peradilan Niaga, Jakarta: BPHN dan Depkeh dan HAM,
Fred B.G. Tumbuan,2008 “Mencermati Pokok-pokok Undang-Undang Kepailitan
Douglas G. Baird & Thomas H. 2008, Jackson,Comprehensive Business Law
Prinsiples and Cases, Boston: Kent Publishing Company,
Shubhan,M Hadi. 2009 Hukum Kepailitan: Prisip, norma, dan Praktik di
Peradilan. Jakarta: Kencana
Nating, Imran. 2005, Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan
Dan Pemberesan Kepailitan. Jakarta : Raja Grafindo Persada,

JURNAL HUKUM
Sonata, Depri Liber. Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakter
Khas dari Metode Meneliti Hukum. Fiat Justisia Jurnal Hukum Volume 8 No. 1
Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2014
Siti Anisah, 2009., “Perlindungan Terhadap Kepentingan Kreditor Melalui Actio
Pauliana”, dalam Jurnal Hukum

UNDANG-UNDANG
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang Putusan Nomor : Nomor 749 K/Pdt.Sus-
Pailit/2019

Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi

Anda mungkin juga menyukai