Anda di halaman 1dari 15

UTS

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

ANALISIS EFEK KOGNITIF DAN AFEKTIF PEMBERITAAN TENTANG “KPK


VERSUS POLRI” DI MEDIA MASSA BAGI KHALAYAK.

Oleh :
ANDI PRASETYA
44308110076

Fakultas Ilmu Komunikasi


Marketing Communication & Advertising
Universitas Mercu Buana Jakarta
2009
A. PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik,


didominasi oleh hiruk pikuk perseteruan antara Lembaga Pemberantasan
Korupasi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Yang pertama,
kini terasa sudah lazim didengar oleh khalayak, disebut dengan “cicak”,
sedangkan yang kedua, disebut “buaya”.

Menariknya, istilah tersebut justru “dilahirkan” oleh salah seorang


petinggi Polri sendiri, yakni Komisaris Jenderal Susno Duadji, Kepala Badan
Reserse Kriminal Polri. Sejak saat itu, penggunaan cicak versus buaya dalam
pemberitaan media terus saja bergulir seolah tak terbendung.

Perspektif Komunikasi

Bagaimana dampak penggunaan istilah cicak dan buaya dari perspektif


komunikasi? Proses komunikasi, menurut Richard E. Porter dan Larry A.
Samovar (1982), mempunyai sejumlah ciri, antara lain bahwa komunikasi itu
bersifat tidak dapat ditarik kembali (irreversible). Artinya bahwa sekali kita
mengatakan sesuatu (pesan) dan seseorang telah menerima dan men-
decodenya, kita tidak dapat menarik kembali pesan tersebut dan meniadakan
sama sekali pengaruhnya. Sekali penerima (khalayak) telah dipengaruhi oleh
suatu pesan, pengaruh tersebut tidak dapat ditarik kembali sepenuhnya.
Sumber (pengirim pesan) bisa jadi mengirimkan lagi pesan-pesan lainnya
untuk mengubah efek pesan, tetapi efek pertama tak dapat ditiadakan.

Inilah yang tampaknya tengah terjadi di tubuh Polri. Boleh jadi Susno
Duadji (pengirim) tidak menyadari bahwa istilah cicak dan buaya (pesan)
yang dia ungkapkan pertama kali untuk membandingkan antara KPK dan
Polri tidak akan berdampak sedemikian besar. Tetapi ternyata bak air bah, ia
terus bergulir dan menyeruak tanpa ada siapapun yang dapat mencegahnya.

Celakanya buaya yang diidentikkan dengan Polri justru menimbulkan


citra buruk lembaga alat negara tersebut. Sebab, buaya kerap dikonotasikan
dengan hewan besar yang buas, rakus, kejam, serakah dan sebagainya.
Maka, tidak dapat disalahkan kalau khalayak sebagai penerima pesan pada
gilirannya mengidentikkan lembaga kepolisian dengan sifat-sifat yang dimiliki
buaya.

Yang lebih parah lagi adalah bahwa yang terkena dampak tersebut
bukan hanya lembaga kepolisian dan para personalnya, tetapi juga anak-
anak para polisi pun kebagian getahnya. Di Batam, misalnya, ada ungkapan
keprihatina dari anak-anak polisi “Kami benar-benar prihatin. Kami anak-anak
polisi menjadi hilang kepercayaan diri karena termakan stigmanisasi sebagai
anak buaya,” seperti diberitakan oleh salah sebuah harian.

Melihat dampak yang sedemikian besar, barulah Kapolri, Jenderal (Pol)


Bambang Hendarso Danuri, menyampaikan permintaan maaf, sesuatu yang
sebenarnya sudah sangat terlambat. Bukan hanya meminta maaf, bahkan ia
juga meminta media untuk berhenti menggunakan istilah tersebut. Tetapi
seperti yang dikatakan Porter dan Samovar, sekali sebuah pesan telah
dikatakan kepada khalayak, maka sulit untuk meniadakan efeknya sama
sekali. Sekali kepolisian mengidentikkan dirinya dengan buaya, maka pesan
penggambaran lembaga itu dengan buaya sulit dihilangkan efeknya.
Sekalipun media tidak lagi menggunakan istilah tersebut, misalnya, tetap saja
efek itu tidak dapat dihilangkan dari benak khalayak.

Peran Media Massa

Tidak dapat dimungkiri bahwa peran media dalam konteks ini sangat
besar. Medialah yang mendorong terus bergulirnya masalah perseteruan
cicak dan buaya tersebut. Dan kekuatan media di negara demokrasi seperti
Indoensia tentu sulit untuk dibendung.

Apalagi dewasa ini media yang muncul tidak hanya terbatas pada media
cetak dan elektronik, melainkan juga media internet atau dunia maya.
Pemberitaan tersebut kini justeru semakin semarak di situs-situs jejaring
sosial semacam Facebook, Twitter, atau Friendster. Dengan sifatnya yang
tidak mengenal batas (borderless) dunia internet mampu menerobos masuk
ke berbagai lapisan masyarakat. Melalui media tersebut pesan
penggambaran lembaga kepolisian sebagai buaya terus menggelinding.

Demikian pula penggambaran KPK sebagai cicak terus mengemuka.


Yang pertama menuai citra buruk sedangkan yang kedua memperoleh
reputasi yang baik karena identik dengan yang terzalimi. Tidak heran kalau di
Facebook kita menemukan sejuta dukungan untuk Bibit-Chandra, dua
pimpinan KPK non-aktif yang digambarkan sebagai “korban” kebuayaan
lembaga kepolisian. Tetapi kita tidak menemukan di situs yang sama
kelompok yang mendukung lembaga kepolisian.

Dari catatan di atas dapat dikatakan bahwa betapa pentingnya bagi


jajaran lembaga kepolisian, sebenarnya juga sangat penting bagi lembaga-
lembaga pemerintahan lainnya, untuk memahami komunikasi di dalam kerja-
kerja mereka.

Dalam konteks ini, keterampilan berkomunikasi saja tampaknya tidak


cukup, seperti pandai berbicara atau bahkan bersilat lidah. Kalau hanya itu,
para petinggi Polri sekarang ini sangat handal. Tetapi yang lebih penting
adalah harus memahami komunikasi dengan berbagai perspektif, sifat dan
karakteristiknya. Bagaimanapun dalam ilmu komunikasi setiap perilaku
memiliki potensi komunikasi. Dalam bahasa Porter dan Samovar, kita tidak
dapat tidak berkomunikasi (we can not not communicate). Inilah setidaknya
pelajaran yang sangat berharga bagi Polri di masa mendatang dalam
melakukan kerja-kerja kepolisiannya.

Berbagai rentetan peristiwa di atas kemudian diberitakan oleh media


massa (cetak dan elektronik). Rentetan peristiwa itu kemudian diikuti oleh
opini-opini yang dibangun di atas fakta-fakta yang berasal dari opini
narasumber. Jadi, media massa memberitakan fakta-fakta yang berasal dari
pendapat para narasumber tertentu atas fakta perseteruan antara “Cicak vs
Buaya”.

Jika opini-opini itu diberitakan oleh media massa, pengaruhnya juga


sampai ke pembaca, penonton atau pendengarnya – sebut saja audiens. Jika
audiens tersebut terpengaruh oleh pemberitaan dari media massa itu, jadilah
yang disebut dengan public opinion (opini publik).

Opini publik adalah opini yang berkembang karena pengaruh


pemberitaan dari media massa, meskipun ada juga opini publik yang bisa
dibangun bukan dari media massa. Masalahnya, media massa mempunyai
kekuatan untuk memperkuat dan mempercepat tersebarnya sebuah opini.

Publik hanya mereaksi dari apa yang diakses audiens lewat media
massa. Dalam posisi ini, opini bisa berkembang dengan baik atau tidak
sangat tergantung dari pemberitaan apa yang disiarkan media massa itu.

Tak heran, jika opini publik bisa disebabkan oleh dua hal, direncanakan
(planned opinion) dan tidak direncanakan (unplanned opinion). Opini publik
yang direncanakan dikemukakan karena memang ada sebuah rencana
tertentu yang disebarkan media massa agar menjadi opini publik. Ia
mempunyai organisasi, kinerja dan target yang jelas. Misalnya, opini yang
sengaja dibuat oleh elite politik tertentu bahwa Pancasila adalah sumber dari
segala sumber hukum. Ide ini dikemukakan di media massa secara gencar
dengan perencanaan matang.

Lain halnya dengan opini publik yang tidak direncanakan. Ia muncul


dengan sendirinya tanpa rekayasa. Media hanya sekadar memuat sebuah
peristiwa yang terjadi, kemudian diperbincangkan di tengah masyarakat.
Dalam posisi ini, media massa hanya mengagendakan sebuah peristiwa dan
memberitakannya, hanya itu. Ia kemudian menjadi pembicaraan publik
karena publik menganggap isu itu penting untuk diperbincangkan. Karena
menjadi pembicaraan di masyarakat, media massa kemudian memberi
penekanan tertentu atas sebuah isu. Akhirnya, ia menjadi opini publik juga.

Tahapan opini publik

Untuk menjadi opini publik, kemunculannya melalui berbagai proses


yang tidak gampang dan singkat. Ferdinand Tonnies (Nurudin, 2001:56-57)
dalam bukunya Die Offentlichen Meinung pernah mengungkapkan bahwa
opini publik terbentuk melalui tiga tahapan; pertama, die luftartigen position.
Pada tahap ini, opini publik masih semrawut seperti angin ribut. Masing-
masing pihak mengemukakan pendapatnya berdasarkan pengetahuan,
kepentingan, pengalaman dan faktor lain untuk mendukung opini yang
diciptakannya.

Kedua, die fleissigen position. Pada tahap ini, opini publik sudah
menunjukkan ke arah pembicaraan lebih jelas dan bisa dianggap bahwa
pendapat-pendapat tersebut mulai mengumpul ke arah tertentu secara jelas.
Artinya, sudah mengarah, mana opini mayoritas yang akan mendominasi dan
mana opini minoritas yang akan tenggelam.

Ketiga, die festigen position. Pada tahap ketiga ini, opini publik telah
menunjukkan bahwa pembicaraan dan diskusi telah mantap dan suatu
pendapat telah terbentuk dan siap untuk dinyatakan. Dengan kata lain, siap
untuk diyakini kebenarannya setelah melalui perdebatan dan perbedaan
pendapat yang tajam sebelumnya.

B. LANDASAN TEORI

Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan
konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan
pengetahuan. Efek efektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan
attitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan
niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu 1.

 1.      Efek Kognitif

Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya
informative bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang
bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari
informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif.

1
Amri Jhi, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1988)
Melalui media massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau
tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung 2.

Seseorang mendapatkan informasi dari televisi, bahwa “Robot Gedek”


mampu melakukan sodomi dengan anak laki-laki di bawah umur. Penonton
televisi, yang asalnya tidak tahu menjadi tahu tentang peristiwa tersebut. Di
sini pesan yang disampaikan oleh komunikator ditujukan kepada pikiran
komunikan. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya
untuk memberitahu saja.

Menurut Mc. Luhan3, media massa adalah perpanjangan alat indera kita
(sense extention theory; teori perpanjangan alat indera) 4. Dengan media
massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang
belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung.
Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah relaitas yang sudah
diseleksi. Kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata
berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Televisi sering
menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang
dunia ini lebih keras, lebih tidak aman dan lebih mengerikan.

Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah
tentu media massa akan mempengaruhi pembentukan citra tentang
lingkungan sosial yang bias dan timpang. Oleh karena itu, muncullah apa
yang disebut stereotip, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok,
profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali
timpang dan tidak benar. Sebagai contoh, dalam film India, wanita sering
ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang kemewahan dan
seringkali cerewet5. Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus,
akan menciptakan stereotipe pada diri khalayak Komunikasi Massa tentang
orang, objek atau lembaga. Di sini sudah mulai terasa bahayanya media
massa. Pengaruh media massa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat

2
Siti Karlinah, Komunikasi Massa, (Jakarta: Penerbitan UT, 1999), H. 8.7
3
Antoni, Riuhnya Persimpangan Itu; Profil Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi, Solo: Tiga
Serangkai, 2004)
4
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi [Edisi Revisi], (Bandung: Remaja Eosdakarya, 2007), h. 220
5
Jalaluddin Rakhmat, Op.Cit., h. 226
modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media
massa.

Sementara itu, citra terhadap seseorang, misalnya, akan terbentuk (pula)


oleh peran agenda setting (penentuan/pengaturan agenda). Teori ini dimulai
dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau
tulisan yang akan disiarkannya6. Biasanya, surat kabar mengatur berita mana
yang lebih diprioritaskan. Ini adalah rencana mereka yang dipengaruhi
suasana yang sedang hangat berlangsung. Sebagai contoh, bila satu
setengah halaman di Media Indonesia memberitakan pelaksanaan Rapat
Pimpinan Nasional Partai Golkar, berarti wartawan dan pihak redaksi harian
itu sedang mengatur kita untuk mencitrakan sebuah informasi penting.
Sebaliknya bila di halaman selanjutnya di harian yang sama, terdapat berita
kunjungan Megawati Soekarno Putri ke beberapa daerah, diletakkan di pojok
kiri paling bawah, dan itu pun beritanya hanya terdiri dari tiga paragraf.
Berarti, ini adalah agenda setting dari media tersebut bahwa berita ini seakan
tidak penting. Mau tidak mau, pencitraan dan sumber informasi kita
dipengaruhi agenda setting.

Media massa tidak memberikan efek kognitif semata, namun ia


memberikan manfaat yang dikehendaki masyarakat. Inilah efek prososial. Bila
televisi menyebabkan kita lebih mengerti bahasa Indonesia yang baik dan
benar, televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bila majalah
menyajikan penderitaan rakyat miskin di pedesaan, dan hati kita tergerak
untuk menolong mereka, media massa telah menghasilkan efek prososial
afektif. Bila surat kabar membuka dompet bencana alam, menghimbau kita
untuk menyumbang, lalu kita mengirimkan wesel pos (atau, sekarang dengan
cara transfer via rekening bank) ke surat kabar, maka terjadilah efek prososial
behavioral7.

6
Ibid., h. 229
7
Ibid., h. 230
 2.      Efek Afektif

Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari
komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar
menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui
informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya 8.
Sebagai contoh, setelah kita mendengar atau membaca informasi artis
kawakan Roy Marten dipenjara karena kasus penyalah-gunaan narkoba,
maka dalam diri kita akan muncul perasaan jengkel, iba, kasihan, atau bisa
jadi, senang. Perasaan sebel, jengkel atau marah daat diartikan sebagai
perasaan kesal terhadap perbuatan Roy Marten. Sedangkan perasaan
senang adalah perasaan lega dari para pembenci artis dan kehidupan hura-
hura yang senang atas tertangkapnya para public figure yang cenderung
hidup hura-hura. Adapun rasa iba atau kasihan dapat juga diartikan sebagai
keheranan khalayak mengapa dia melakukan perbuatan tersebut.

Berikut ini faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya efek afektif dari


komunikasi massa.

a) Suasana emosional

Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa respons kita


terhadap sebuah film, iklan, ataupun sebuah informasi, akan dipengaruhi
oleh suasana emosional kita. Film sedih akan sangat mengharukan
apabila kita menontonnya dalam keadaan sedang mengalami
kekecewaan. Adegan-adegan lucu akan menyebabkan kita tertawa
terbahak-bahak bila kita menontonnya setelah mendapat keuntungan
yang tidak disangka-sangka.

b) Skema kognitif

Skema kognitif merupakan naskah yang ada dalam pikiran kita yang
menjelaskan tentang alur eristiwa. Kita tahu bahwa dalam sebuah film
action, yang mempunyai lakon atau aktor/aktris yang sering muncul, pada

8
Siti Karlinah, Op.Cit., h. 8-9
akahirnya akan menang. Oleh karena itu kita tidak terlalu cemas ketika
sang pahlawan jatuh dari jurang. Kita menduga, asti akan tertolong juga.

c) Situasi terpaan (setting of exposure)

Kita akan sangat ketakutan menonton film Suster Ngesot, misalnya, atau
film horror lainnya, bila kita menontontonnya sendirian di rumah tua, ketika
hujan lebat, dan tiang-tiang rumah berderik. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam
keadaan sendirian atau di tempat gelap. Begitu pula reaksi orang lain
pada saat menonton akan mempengaruhi emosi kita pada waktu
memberikan respons.

d) Faktor predisposisi individual

Faktor ini menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh
yang ditampilkan dalam media massa. Dengan identifikasi penonton,
pembaca, atau pendengar, menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia
merasakan apa yang dirasakan toko. Karena itu, ketika tokoh identifikasi
(disebut identifikan) itu kalah, ia juga kecewa; ketika ientifikan berhasil, ia
gembira.

 3.      Efek Behavioral

Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam
bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi
atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Program acara
memasak bersama Rudi Khaeruddin, misalnya, akan menyebabkan para ibu
rumah tangga mengikuti resep-resep baru. Bahkan, kita pernah mendengar
kabar seorang anak sekolah dasar yang mencontoh adegan gulat dari acara
SmackDown yang mengakibatkan satu orang tewas akibat adegan gulat
tersebut. Namun, dari semua informasi dari berbagai media tersebut tidak
mempunyai efek yang sama.

Radio, televisi atau film di berbagai negara telah digunakan sebagai media
pendidikan. Sebagian laporan telah menunjukkan manfaat nyata dari siaran
radio, televisi dan pemutaran film9. Sebagian lagi melaporkan kegagalan.
Misalnya, ketika terdapat tayangan kriminal pada program “Buser” di SCTV
menayangkan informasi: anak SD yang melakukan bunuh diri karena tidak
diberi jajan oleh orang tuanya. Sikap yang diharapkan dari berita kriminal itu
ialah, agar orang tua tidak semena-mena terhadap anaknya, namun apa yang
didapat, keesokan atau lusanya, dilaporkan terdapat berbagai tindakan sama
yang dilakukan anak-anak SD. Inilah yang dimaksud perbedaan efek
behavior. Tidak semua berita, misalnya, akan mengalami keberhasilan yang
merubah khalayak menjadi lebih baik, namun pula bisa mengakibatkan
kegagalan yang berakhir pada tindakan lebih buruk.

Mengapa terjadi efek yang berbeda? Belajar dari media massa memang
tidak bergantung hanya ada unsur stimuli dalam media massa saja. Kita
memerlukan teori psikologi yang menjelaskan peristiwa belajar semacam ini.
Teori psikolog yang dapat mnejelaskan efek prososial adalah teori belajar
sosial dari Bandura. Menurutnya, kita belajar bukan saja dari pengelaman
langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku
merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu
memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang
kita amati dan karakteristik diri kita.

Bandura menjelaskan proses belajar sosial dalam empat tahapan proses:


proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris,
dan proses motivasional.

Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati


secara langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa ini dapat
berupa tindakan tertentu (misalnya menolong orang tenggelam) atau
gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai “abstract modeling”
(misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas sosial). Kita mengamati peristiwa
tersebut dari orang-orang sekita kita.bila peristiwa itu sudah dianati, terjadilah
tahap pertama belajar sosial: perhatian. Kita baru pata mempelajari sesuatu
bila kita memperhatikannya. Setiap saat kita menyaksikan berbagai peristiwa
yang dapat kita teladani, namun tidak semua peristiwa itu kita perhatikan.
9
Jalaluddin, Op.Cit., h. 240
Perhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus
sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benak benaknya dan
memanggilnya kembali ketika mereka akan bertindak sesuai dengan teladan
yang diberikan. Untuk mengingat, peristiwa yang diamati harus direkam
dalam bentuk imaginal dan verbal. Yang pertama disebut visual imagination,
yaitu gambaran mental tentang peristiwa yang kita amati dan menyimpan
gambaran itu pada memori kita. Yang kedua menunjukkan representasi
dalam bentuk bahasa. Menurut Bandura, agar peristiwa itu dapat diteladani,
kita bukan saja harus merekamnya dalam memori, tetapi juga harus
membayangkan secara mental bagaimana kita dapat menjalankan tindakan
yang kita teladani. Memvisualisasikan diri kita sedang melakukan sesuatu
disebut sebagai “rehearsal”.

Selanjutnya, proses reproduksi artinya menghasilkan kembali perilaku


atau tindakan yang kita amati.  Tetapi apakah kita betul-betul melaksanakan
perilaku teladan itu bergantung pada motivasi? Motivasi bergantung ada
peneguhan. Ada tiga macam peneguhan yang mendorong kita bertindak:
peneguhan eksternal, peneguhan gantian (vicarious reinforcement), dan
peneguhan diri (self reinforcement). Pelajaran bahasa Indonesia yang baik
dan benar telah kita simpan dalam memori kita. Kita bermaksud
mempraktekkannya dalam percakapan dengan kawan kita. Kita akan
melakukan hanya apabila kita mengetahui orang lain tidak akan
mencemoohkan kitam atau bila kita yakin orang lain akan menghargai
tindakan kita. Ini yang disebut peneguhan eksternal. Jadi, kampanye bahasa
Indoensia dalam TVRI dan surat kabar berhasil, bila ada iklim yang
mendorong penggunaan bahasa Indoensia yang baik dan benar.

Kita juga akan terdorong melakukan perilaku teladan baik kita melihat
orang lain yang berbuat sama mendapat ganjaran karena perbuatannya.
Secara teoritis, agak sukar orang meniru bahasa Indonesia yang benar bila
pejabat-pejabat yang memiliki reputasi tinggi justru berbahasa Indonesia yang
salah. Kita memerlukan peneguhan gantian. Walaupun kita tidak mendapat
ganjaran (pujian, penghargaan, status, dn sebagainya), tetapi melihat orang
lain mendapat ganjaran karena perbuatan yang ingin kita teladani membantu
terjadinya reproduksi motor.

C. PEMBAHASAN

Untuk Menganalisa efek pemberitaan media massa pada kasus “KPK versus
POLRI” terhadap masyarakat, penulis menggunakan survey kepada 20 orang
responden.

Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada responden:

1. Apakah Anda mengetahui istilah “Cicak Lawan Buaya ?

100% menjawab ya

2. Apakah Anda mengikuti perkembangan berita antara KPK vs Polri?

100% menjawab ya

3. Seberapa sering Anda mengikuti perkembangan kasus tersebut?

40% menjawab setiap hari

30% menjawab tidak setiap hari setiap hari

30% menjawab jarang

4. Dari mana Anda mendapatkan Informasi perkembangan kasus tersebut?

80% menjawab televisi


15% menjawab media cetak

5% menjawab teman

5. Apakah ada faktor emosi yang terbawa saat Anda menyaksikan tayangan
tentang kasus tersebut?

30% menjawab ya

60% menjawab tidak

6. Pihak manakah yang Anda berikan dukungan?

95% menjawab KPK

5% menjawab Polri

7. Menurut Anda apakah media massa saat ini kritis terhadap sebuah
persoalan maupun lembaga, demi kebenaran ?

80% menjawab ya

15% menjawab tidak

5% menjawab ragu-ragu

8. Menurut Anda, apakah kebenaran dibalik kasus ini akan terungkap ?

30% menjawab ya

60% menjawab tidak


10% menjawab ragu-ragu

9. Apakah Anda puas terhadap kinerja Aparat penegak hukum di Indonesia?

10% menjawab puas

90% menjawab tidak puas

D. SIMPULAN & OPINI PENULIS

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam survey, penulis menyimpulkan


efek pemberitaan kasus KPK versus Polri oleh media massa terhadap
masyarakat mencakup kepada tataran efek kognitif dan tataran afektif. Selain
mengetahui tentang kasus tersebut sebagian besar responden juga turut
membawa suatu perasaan tertentu dalam mengikuti perkembangan kasus
tersebut.

Dengan peranan media yang demikian kuat memberikan dukungan


terhadap KPK, pembangunan opini publik dalam kasus KPK – Polri mengarah
pada dukungan terhadap KPK sehingga Polri berada pada posisi yang terjepit
dan semakin mendapat tekanan publik. Keadaan yang demikian ini akan
membuat Polri akan semakin sulit melakukan pembelaan karena terlanjur
terbangun opini dimasyarakat bahwa Polri bersalah keadaan ini akan
melemahkan Polri dan membatasi ruang geraknya terkait kasus ini.

Anda mungkin juga menyukai