Anda di halaman 1dari 4

Tiga

Iseng. Hari sabtu, siang hari, aku memutuskan untuk cuci mata ke toko perabotan rumah
tangga yang besar di tengah kota—untuk melihat cat dinding dan beberapa peralatan yang
mungkin bisa ku isi di kamar apartment tempatku dan Imel tinggal. Imel masih pulas tidur
jadi kuputuskan untuk jalan sendiri. Aku memang senang jalan sendiri, I know how lonely it
sounds like, but trust me, its fun somehow. Begitu sampai, aku segera masuk kedalam dan
melihat-lihat di setiap rak-rak barang. Yang pertama aku ke tempat yang penuh dengan cat
dinding. Aku mengambil katalog untuk melihat warna-warna cat dinding yang ada. Aku ingin
mengganti salah satu sisi dinding kamarku, mengganti suasana baru lebih tepatnya. Lalu
pilihanku jatuh ke warna hitam. Aku memanggil pegawai toko dan meminta tolong
mencarikan warna yang aku inginkan. Sambil menunggu, aku menuju rak barang lainnya.
“again, Shela?” ujar satu orang dari hadapanku. Mata kami bertemu. Aku reflex tersenyum,
aku bisa melihat senyumannya juga mengembang dihadapanku.
“hai” ujarku kepadanya. “lo pasti bosen ketemu sama gue.”
“enggak, tapi aneh aja selalu ketemu.” Katanya. Ben, terlihat lebih santai dengan celana
pendek jeans yang dia kenakan dan baju kaos hitam yang terlihat pas di badannya. Berbeda
dengan hari-hari biasa, kalau melihatnya berkunjung ke apartment.
“ngapain lo kesini?” tanyaku padanya.
“karena kamu disini, please help me!”
aku mengerutkan dahi. Dia menceritakan problem nya. Jadi, orang tuanya berencana untuk
datang mengunjunginya dalam rangka menghabiskan liburan musim panas, dan mengajak
keponakan perempuan Ben untuk ikut karena keduanya cukup dekat. Orang tuanya tidak
akan lama, tapi keponakannya memutuskan untuk tinggal lebih lama bersama Ben. Rumah
ben cukup besar untuk menampung keluarganya, namun keponakannya ini meminta agar
kamarnya dibuat senyaman mungkin. Ben merasa semua keinginan keponakannya itu sangat
ribet dan akhirnya dia berniat untuk meminta tolong untuk aku membantu memilih perabotan
yang dibutuhkan untuk kamar keponakannya ini.

Bersikap menjadi teman yang baik, aku tentu tidak menolak. Jadi hal pertama yang kami
lakukan adalah memilih cat dinding tentunya. Aku memperlihatkan katalog padanya, dan aku
menyarankan beberapa warna dan kami memutuskan memilih warna soft pink—karena
kebanyakan anak perempuan cukup senang dengan warna itu. Lalu kami memilih seprai,
selimut, pembungkus bantal, karpet, tempat sampah, lukisan dan perlengkapan kamar lain
yang senada dengan warna dindingnya. Jadi kamarnya dibuat sangat pink. Ben sesekali
menggeleng dan aku bisa tertawa kecil dengan sikapnya. Dia muak dengan warna yang
sangat feminin seperti itu. Ben tidak memiliki saudara perempuan, tentu hal ini menjadi hal
yang tidak biasa untuknya. Aku bisa membayangkan apa yang akan Ben rasakan dalam
beberapa bulan bersama keponakannya. Tapi kembali lagi, Ben sangat menyayangi
keponakannya. Dia akan melakukan apapun untuk gadis kecil itu. Lucky her.

Setelah itu, semua sudah kami beli dan kami keluar dari toko. Barang tersebut segera dibawa
ke rumah Ben. Dia memberikan alamat rumahnya dan menelpon ke penjaga rumahnya untuk
menerima barang tersebut. Aku memegang cat yang kubeli dan berdiri didepan Ben sambil
menunggunya selesai menelpon, untuk berpamitan. Dia mulai menurunkan ponselnya setelah
selesai menelpon dan menatapku.
“Shela, makasih sudah bantuin aku, tapi aku masih butuh dibantu menata kamarnya.”
Katanya.
“boleh aja sih, kapan?” Tanya ku.
“sekarang sih kalau boleh.” Katanya ragu-ragu. “kamu ada urusan? Kalau ada, jangan
dipaksain.”
“aku gak ada urusan sih” kataku. Dia tersenyum.
“kalau gitu, kita kerumah aku yuk, kita makan dirumah aku aja ya”
dia segera berjalan dengan semangat ke mobilnya. Aku belum membalas tapi aku ikut saja.
Aku segera mengabari Imel lewat chat bahwa aku akan telat pulang. Aku naik ke dalam
mobilnya dan kendaraan itu melaju menuju rumah Ben. Kami berbincang keci selama
dimobil. Tertawa sedikit. Lalu berbincang lagi. sekitar 15 menit kami sampai dirumah Ben.
Kami turun dan masuk kedalam rumah. Ada seorang ibu-ibu yang menyambut Ben. Dia pasti
penjaga rumah itu. Ben menginstruksikan dengan lembut kepada wanita itu untuk membuat
makanan, dan dia berlalu. Ben mengajakku naik ke lantai 2. Disana, pegawai toko tadi sedang
menunggu didepan kamar untuk membantu meletakkan barang dan menata barang. Ben
membuka kamar tersebut. Kami masuk dan meletakkan semuanya serapih mungkin. Isi
kamar yang semua kosong melompong menjadi lengkap. Lukisan, tempat tidur, lemari, meja
dengan beberapa mainan, cermin, gorden, boneka dan beberapa bantal, selimut, semuanya
sudah cantik. Sisa dindingnya yang perlu dicat kembali. Ben menginstruksikan salah seorang
laki-laki yang bekerja dirumahnya untuk mengecat dinding tersebut. Dia mengerti.

Semua barang sudah rapi ditempatnya, kami keluar kamar. Lalu Ben mengajak ku makan ke
ruang tengah didepan tv. Dia mengajak seluruh orang dirumahnya untuk makan namun cuma
kami berdua yang makan. Kami menonton sambil makan, sesekali diselingi cerita.
“Ben, Natalie mana?” kataku. Aku bisa melihat ekspresi Ben sedikit berubah dan tidak
kumengerti. Dia menelan makanannya.
“Natalie sibuk hari ini, jadi, ya gitu..”ujarnya.
“oh gitu.”
Lalu kami secara canggung diam. Aku merasa bodoh bertanya begitu. Aku segera
menyelesaikan makan ku lalu segera kembali. Aku melirik jam dan memutuskan untuk
pulang. Ben lalu inisiatif mengantarku pulang, aku menolak namun dia berkeras jadi aku
menurut saja. Dijalan kami banyak diam setelah pertanyaan tadi. Begitu sampai, aku pamit
dan segera turun. Aku menyusuri lobby dan menekan tombol lift. Menunggu lift membuka.
“Shela!”
aku menoleh ke sumber suara dibelakangku. Ben muncul dengan napas tersengal seperti
orang habis lari. Aku mengerut dahi.
“kenapa Ben? Lo lupa sesuatu?” tanyaku. Dia menggeleng.
“kamu..” katanya perlahan. “kamu terganggu ya, kalau aku minta tolong kamu temenin kayak
tadi?” aku tertawa hambar, tidak ingin tertawa tapi bingung pada pertanyaan yang terlontar
dari mulutnya.
“hah? Apaan sih Ben, santai aja kali!”
TING!
Lift berbunyi dan pintunya terbuka.
“Ben, aku naik ya”
aku meninggalkannya dan naik ke lift. Lalu pintu nya tertutup. Aku tersenyum dan dia
menatapku lurus. Tanpa tersenyum, sedikitpun.

***

Aku terdiam menatap langit-langit kamarku. Diatas situ, aku menempel beberapa hiasan
plastik berbentuk bintang yang menyala saat lampu mati. Imel sedang menelpon dengan Tito
disampingku. Aku sedang berpikir keras, mengapa Ben tadi tidak meminta tolong kepada
Natalie. Bukan ingin geer, tapi hari ini weekend, siapa sih yang masih sibuk hari ini? Atau
mungkin mereka sedang bertengkar dan aku menyebut namanya didepan Ben saat Ben
sedang sangat marah pada nya? Aku merasa diselimuti rasa bersalah. Aku mengecek
ponselku dan ada nama Ben disana.
‘sudah tidur?’ aku membalas chat darinya.
‘belum.’ Pesanku segera di baca. Lalu tidak lama pesan baru muncul lagi.
‘kenapa? Habis minum kopi?’ aku ketawa kecil. Orang ini, memangnya sedang berusaha
melucu?
‘haha, nggak.’ Aku segera melanjutkan pesanku sebelum dia membalas. ‘Ben, gue mau
minta maaf kalau gue nyebut hal yang kurang berkenan sama lo tadi.’
‘tidak ada yang salah, Shela’
‘soalnya tadi lo tiba-tiba diem pas gue nanya soal Natalie. Sori’
kali ini, dia cuma baca. Aku jadi merasa bersalah. Aku meletakkan ponselku lalu beberapa
kali menyalahkan diri kembali, sambil menepuk jidat sendiri. Dasar Shela bego, ceplas ceplos
banget.
‘wajar kok, its okay Shela.’ Dia membalas segera. ‘besok kamu free?’
‘belum ada planning sih’
‘besok aku jemput ya, temenin aku jemput keponakan aku. Ajak Imel dan Tito kalau kamu
mau’
‘ok’
aku berniat menyimpan ponselku lalu tiba-tiba pesannya masuk.
‘Shela, I’ll tell about Natalie to you, soon.’
Aku terdiam membaca pesan tersebut. Aku bahkan tidak minta diceritakan. Ini cukup
canggung buatku. Aku tidak berniat membalasnya lebih lanjut. Jadi kusimpan ponselku tanpa
membalasnya.

“EH SHELA!” tegur Imel sambil mengguncang badanku. Membuatku kaget.


“apaan sih Imel” kataku.
“lo kenapa sih Shela? Cemberut gitu!” katanya “tadi lo dari mana, sama siapa? Gue sama
Tito mau ngajakin nonton tapi lo kelamaan jadi gue tinggal”
aku menoleh pada Imel.
“Imel, gue mau cerita tapi lo jangan cerita ke Tito, janji?”
Imel mengangguk. Aku mulai menceritakan yang terjadi hari ini. Imel mendengar dan
tentunya reaksi anak ini sudah ketahuan; heboh&berlebihan.
“jadi, lo cuma read chat dia? Gila lo Shela!” katanya.
“Imel, gue tuh ngerasa dia kayak ngomong ke gue, bahwa gue tuh kayak minta-minta dia
jelasin tentang Natalie ke gue. Sumpah, di posisi gue, gue cuman heran aja, kenapa si Natalie
ini bukan 911 untuk Ben? Kalau mereka pacaran, Natalie ini harusnya jadi orang pertama
yang di hubungin sama Ben.”
“Shela, kata-kata lo itu kayak orang yang benar-benar ingin tau hubungan Natalie dan Ben.”
Aku diam saja. Malas berdebat dengan Imel. Aku langsung menutup mata dan bilang aku
ingin tidur. Imel diam dan akhirnya memutuskan untuk tidur juga.

***

aku tidak membalas pesan Ben. Aku bilang aku tidak bisa menemani Ben, jadi Imel dan Tito
pergi menemaninya. Aku tahu ini keputusan yang salah, seharusnya aku tidak lari dari hal
kecil seperti itu. Lagian, aku dan Ben tidak ada apa-apa dan aku bahkan tidak berhak
mendapat penjelasan tentang Natalie. Aku memilih tidak pergi karena aku merasa sudah
lancang. Aku dirumah dengan cemilan dan televisi. Aku menonton beberapa acara televisi.
Lalu aku mendapat telepon dari Randy. Dia mengajak aku keluar. Aku mengiyakan. Walau
tidak ada apa-apa diantara kami, kami tetap seperti itu. Dekat tanpa status lebih dari teman.

Aku berpakaian segera lalu menuju lobby. Dia bilang kepadaku bahwa dia sudah ada
dibawah. Aku mencari-cari sosoknya dan dia muncul. Dia tersenyum dan aku membalas
senyumnya. Kami menuju kendaraan nya dan kami pergi keluar. Dia mengajakku ke toko es
krim yang ada ditepi kota. Disini, kami bisa menikmati cahaya sore lebih baik karena cukup
dekat dengan pantai. Hari ini cukup ramai namun kami dapat tempat duduk yang baik. Masih
bisa mendapat sinar sore, angin hangat dan tempat yang nyaman.

Randy membawakan kami berdua es krim diatas cup. Aku menyantap es krim itu dan juga
dia. Kami berbincang bincang mengenai pekerjan kami. Membahas kehidupan kami juga,
namun tidak sesekali pun membahas asmara kami. Randy, setahu ku sedang sendiri dan cuma
dekat denganku. Aku juga seperti itu. Aku nyaman. Saat aku bersama Randy, aku merasa
nyaman. Aku bisa merasa hidupku akan lebih mudah jika bersama Randy. Dia adalah orang
yang bisa kugambarkan untuk hidupku. Aku selalu berpikir Randy merasa hal yang sama.
Mungkin saja, karena kami sedekat itu. Aku bisa menceritakan apapun sama Randy, aku bisa
meminta tolong jam berapa pun kepadanya, bergitupun sebaliknya. Untuk Randy, aku akan
menyempatkan apapun sebisaku, karena Randy akan melakukan hal yang sama untukku.

Sudah sunset. Aku menatap kearah matahari terbenam. Randy, dia menggenggam tanganku.
Aku tidak membalasnya, tapi tidak menarik tanganku juga. Aku nyaman. Sinar hangat, aku,
dan Randy. Aku menoleh pada lelaki disampingku. Dia tersenyum—senyum yang tidak
berubah. Sejak pertama kali aku tahu, aku suka sama Randi. Aku membalas senyum nya tipis,
seakan berterima kasih sudah selalu ada untuk ku, dan untuk hari ini. Randy yang dengan
cara nya selalu mebuatku tersenyum pada hal yang dia lakukan.

Randy tiba-tiba melepas genggaman nya, dia meraih ponselnya. Ada telepon masuk, dia
berdiri dan menjauh untuk mengangkat telepon itu. Aku menatap dari jauh. Sesekali, Randi
menoleh padaku, aku mengalihkan pandanganku dan menikmati soreku. Hari in, cukup
sampai disini dulu.

***

Anda mungkin juga menyukai