Latar Belakang:
Penyakit Hipertensi merupakan ancaman bagi kesehatan masyarakat dan menjadi masalah
kesehatan yang sangat serius. Berdasarkan data Penyakit tidak menular (PTM) 5 tahun
terakhir di Dinas Kesehatan Kota Palu, Penyakit Hipertensi menjadi Penyakit yang paling
menonjol.
Untuk itu, institusi kesehatan harus bisa mempengaruhi masyarakat untuk hidup sehat
sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatannya berdasarkan kebijakan-kebijakan yang
diimplementasikan dalam bentuk program-program yang akan mewadahi masyarakat.
Permasalahan:
Hipertensi yang tidak segera ditangani berdampak pada munculnya penyakit degeneratif,
seperti penyakit jantung, gagal ginjal dan penyakit pembuluh darah perifer. Dari seluruh
penderita hipertensi 90-95 melaporkan hipertensi esensial atau hipertensi premier yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini jika tidak dilakukan penanggulangan dengan baik
keadaan ini cenderung akan meningkat.
EVALUASI :
Masyarakat dapat memahami mengenai penyebab, gejala, penatalaksanaan, bahaya,
komplikasi Hipertensi. Sebagian besar masyarakat yang hadir dalam penyuluhan ini aktif
dalam mengajukan pertanyaan, terutama mengenai penatalaksanaan Hipertensi yang dapat
dilakukan di rumah sebelum dibawa ke tenaga kesehatan. Secara keseluruhan kegiatan
penyuluhan ini berjalan dengan lancar. Namun perlu dilakukan evaluasi berkala untuk
menilai ulang pemahaman masyarakat mengenai Hipertensi
MPASI
Latar belakang
yang mengandung gizi, yang diberikan pada balita usia 6-24 bulan untuk
pemberian ASI, responsive feeding, persiapan dan penyimpanan ASI yang aman,
jumlah MP-ASI dan kandungan gizi sesuai kebutuhan, konsistensi, frekuensi dan
kepadatan MP-ASI yang baik, serta penggunaan suplemen dan pemberian MP-
ASI saat sakit dengan baik.Pemberian MP-ASI tidak boleh sembarangan karena
kesalahan pemberian makanan pada bayi (terlalu banyak, terlalu sedikit, jenis
makanan yang salah) dapat mengakibatkan diare. Diare pada anak sangat
Permasalahan
bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi yang aktivitasnya mulai bertambah.
Dalam pemberiannya, MP-ASI harus diberikan secara tepat baik dalam waktu
Pelaksanaan
Penyuluhan ini dilakukan oleh dokter Internship dari Posyandu Katelia Kelurahan Tavanjuka
Kota Palu pada hari Senin tanggal 12 Januari 2021. Penyuluhan ini diikuti oleh 5 kelompok
kecil dengan jumlah kurang lebih 15 orang masyarakat.
F1. STRATEGI PROMOSI KESEHATAN PADA PENYAKIT TUBERKOLISIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
NOSARARA
Latar Belakang :
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia. Dalam 20 tahun World
Health Organitation (WHO) dengan negara-negara yang tergabung di dalamnya
mengupayakan untuk mengurangi TB Paru.
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang di sebabkan oleh infeksi
menular oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Sumber penularan yaitu pasien TB BTA
positif melalui percik renik dahak yang dikeluarkannya. Penyakit ini apabila tidak segera
diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga
kematian (Kemenkes RI, 2015).
Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Dengan
berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insiden dan kematian akibat tuberkulosis telah
menurun, namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan
menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan China merupakan
negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10%, dan 10% dari
seluruh penderita di dunia.
Permsalahan :
Pada tahun 2015 di Indonesia terdapat peningkatan kasus tuberkulosis dibandingkan dengan
tahun 2014. Pada tahun 2015 terjadi 330.910 kasus tuberkulosis lebih banyak dibandingkan
tahun 2014 yang hanya 324.539 kasus.
Pelaksanaan
Penyuluhan ini dilakukan oleh dokter Internship pada hari Kamis tanggal 17 Desember 2020.
Saat melakukan kunjungan rumah keluarga penderita TB di kelurahan palupi, yang di ikuti
oleh 5 orang anggota keluarga penderita.
EVALUASI :
Masyarakat dapat memahami mengenai penyebab, cara penularan, gejala, penatalaksanaan,
efek samping pengobatannya. Sebagian besar keluarga yang hadir dalam penyuluhan ini aktif
dalam mengajukan pertanyaan, terutama mengenai cara penularan dan pengobatannya serta
efek samping pengobatannya. Secara keseluruhan kegiatan penyuluhan ini berjalan dengan
lancar. Namun perlu dilakukan evaluasi berkala untuk menilai ulang pemahaman keluarga
mengenai penyakit tb ini.
F1. STRATEGI PROMOSI KESEHATAN PADA KELUARGA BERENCANA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
NOSARARA
LATAR BELAKANG
Keluarga Berencana (KB) merupakan satu program pemerintah yang dirancang untuk
menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk. Program keluarga berencana oleh
pemerintah adalah agar keluarga sebagai unit kecil kehidupan bangsa diharapakan menerima
Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada pertumbahan
yang seimbang. Dalam pengertian keluarga berencana secara umum ialah, dapat diuraikan
bahwa keluarga berencana suatu usaha yang mengatur banyak jumlah kelahiran sedemikian
rupa sehingga bagi ibu maupun bayinya dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakat
yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagaia akibat langgsung dari
kelahiran tersebut. Atau meningkatkan kesejahteraan ibu, anak dalam rangka mewujudkan
NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya
masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin
terkendalinya pertambahan penduduk. Dalam pengertian sempitnya keluarga berencana
dalam kehidupan sehari hari berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya
pembuahan mencegah pertemuan antara sel mani (spermatozoa) dari pria dan sel telur (ovum)
dari wanita sekitar persetubuhan.
Metode kontrasepsi bekerja juga dapat di golongkan berdasarkan cara kerjanya yaitu metode
barrier (penghalang), contohnya kondom yang menghalang sperma: metode hormonal seperti
konsumsi pil dan metode kontrasepsi alami yang tidak menggunakan alat-alat bantu maupun
hormonal, namun berdasarkan fisiologis seorang wanita dengan tujuan untuk mencegah
fertilisasi (pembunuh). Faktor yang memengaruhi pemilihan kontrasepsi adalah efektivitas,
keamanan, frekuensi pemakaian, efek samping, serta kemauan dan kemampuan untuk
melakukan kontrasepsi secara teratur dan benar. Selain hal tersebut, pertimbangan
kontrasepsi juga didasarkan atas biaya serta peran dari agama dan kultur budaya mengenai
kontrasepsi tersebut, faktor lainnya adalah frekuensi melakukan hubungan seksual.
PERMASALAHAN :
Usia produktif perempuan pada umumnya adalah 15-49 tahun. Maka dari itu perempuan atau
pasangan usia subur ini lebih diprioritaskan untuk menggunakan kontrasepsi atau cara KB.
Tingkat pencapaian pelayanan KB dapat dilihat dari cakupan peserta KB yang sedang atau
pernah menggunakan kontrasepsi, tempat pelayanan KB, dan jenis kontrasepsi yang
digunakan oleh akseptor .
Metode intervensi yang digunakan adalah dengan melakukan penyuluhan dan diskusi secara
langsung kepada para wanita usia reproduktif yang telah menikah. Materi penyuluhan
berfokus untuk menjelaskan tujuan dan fungsi KB serta memberikan contoh pilihan metode
kontrasepsi yang dapat digunakan, serta kelebihan dan kekurangan setiap jenis kontrasepsi.
Pelaksanaan
Penyuluhan ini dilakukan oleh dokter Internship pada hari senin tanggal 04 Januari 2021. Di
poli KB Puskesmas Nosarara yang di ikuti oleh 4 orang calon akseptor KB.
LATAR BELAKANG
Keluarga Berencana (KB) merupakan satu program pemerintah yang dirancang untuk
menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk. Program keluarga berencana oleh
pemerintah adalah agar keluarga sebagai unit kecil kehidupan bangsa diharapakan menerima
Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada pertumbahan
yang seimbang. Dalam pengertian keluarga berencana secara umum ialah, dapat diuraikan
bahwa keluarga berencana suatu usaha yang mengatur banyak jumlah kelahiran sedemikian
rupa sehingga bagi ibu maupun bayinya dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakat
yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagaia akibat langgsung dari
kelahiran tersebut. Atau meningkatkan kesejahteraan ibu, anak dalam rangka mewujudkan
NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya
masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin
terkendalinya pertambahan penduduk. Dalam pengertian sempitnya keluarga berencana
dalam kehidupan sehari hari berkisar pada pencegahan konsepsi atau pencegahan terjadinya
pembuahan mencegah pertemuan antara sel mani (spermatozoa) dari pria dan sel telur (ovum)
dari wanita sekitar persetubuhan.
Peningkatan dan perluasan pelayanan kesehatan keluarga berencana (KB) merupakan salah
satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi
akibat kehamilan. Sebagian besar wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang
beraneka ragam. Ragam metode yang ditawarkan oleh program keluarga berencana (KB)
didasarkan pada banyak faktor, misalnya kebijakan program nasional, ketersediaan fasilitas
dan petugas kesehatan, biaya, kecenderungan penyedia layanan, analisis pilihan pemakai,
lama program dan ketersediaan kontrasepsi yang diberikan secara cuma-cuma. Saat ini
tersedia berbagai metode atau alat kontrasepsi seperti IUD, suntik, pil, implant, kontrasepsi
mantap (kontap), dan kondom. Salah satu metode kontrasepsi yang menjadi pilihan akseptor
adalah KB Implant. Implant adalah bentuk kontrasepsi yang efektif, hampir 100% mencegah
kehamilan.
Akseptor KB Implant menunjukkan bahwa pada tahun pertama dan kedua terjadi kehamilan
sebanyak 0,2 kehamilan per 100 akseptor KB Implant. Pada tahun ke-3, angka kehamilan
pada akseptor implant adalah 0,9 per 100 wanita, pada tahun ke-4 angka kehamilan 0,5 per
100 wanita, dan pada tahun ke-5 sebanyak 1,1 per 100 wanita selama tahun pemakaian.
PERMASALAHAN :
Menurut BKKBN Implant adalah alat kontrasepsi yang disusupkan dibawah kulit lengan atas
sebelah dalam berbentuk kapsul silastik (lentur) panjangnya sedikit lebih pendek dari pada
batang korek api dan dalam setiap batang mengandung hormon levonorgestrel yang dapat
mencegah terjadinya kehamilan.
Metode intervensi yang digunakan adalah dengan melakukan diskusi secara langsung kepada
para wanita usia reproduktif calon akseptor KB yang datang di poli KB puskesmas nosarara.
memberikan calon akseptor informasi mengenai tujuan dan fungsi KB serta memberikan
contoh pilihan metode kontrasepsi yang dapat digunakan, serta kelebihan dan kekurangan
setiap jenis kontrasepsi.
Pelaksanaan
Kegiatan pemasangan KB Implan di lakukan di Poli KB Puskesmas Nosarara, Pada Hari
Senin, 04 Januari 2021.
Latar Belakang:
Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Balikpapan masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat.Trend kasus DBD di kota Balikpapan terjadi peningkatan diakhir
tahun hingga pertengahan tahun depannya.Sekarang (akhir tahun) adalah waktu yang
tepat untuk mengadakan tindakan pencegahan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN).
Permasalahan:
Angka Bebas Jentik (ABJ) tidak stabil dan tidak selalu valid. Angka Bebas Jentik (ABJ)
adalah angka yang menunjukkan presentase jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik dari
seluruh rumah yang diperiksa .ABJ Setiap saat akan selalu berubahdan untuk menstabilkan
kondisi tersebut dibutuhkan pengawasan terus menerus sehingga korelasi ABJ dan kasus
DBD tidak sesuai. Maksudnya :Apabila Angka Bebas Jentik (ABJ) tinggi berarti kepadatan
jentik kurang yang berdampak pada menurunnya populasi nyamuk. Berarti bila ABJ tinggi
secara normal akan diikuti oleh penurunan jumlah kasus DBD, bila kasus DBD tetap tinggi
berarti tidak ada korelasinya antara ABJ dan angka kejadian kasus.
- Keterbatasan waktu bagi pengawas untuk selalu memantau ABJ Untuk program PSN perlu
adanya pengawas untuk selalu memantau ABJ yaitu 1 rumah 1 pengawas Jentik namun
pengawas memiliki keterbatasan waktu untuk memantau rumahnya.
- Keterbatasan dalam persediaan air. Pada waktu musim mati air kebiasaan menampung air
tidak bisa dihindari sehingga nyamuk bisa berkembang lebih banyak dari sebelumnya
- Adanya sarana lain yang mempunyai potensi menampung air. Sarana ini seperti kaleng
bekas, gelas plastik, tempat minum burung/ hewan lain, buangan AC, bawah kulkas,dan
dispenser.
Perencanaan &Pemilihan Intervensi
APA ITU KELAMBU AIR ? Kelambu Air adalah alat preventif yang dikembangkan oleh
pengelola Surveilans dari Dinas Kesehatan Kota Balikpapan dengan cara menaruh alat
tersebut di drum. Keuntungan dari Kelambu Air :
•Murah : Dalam pengadaannya.
•Praktis : Dalam mengunakannya.
•Mudah : Dalam pengawasan KADER JUMANTIK.
•Aman : Tidak membahayakan.
•Stabil : Dalam mempertahankan ABJ.
•Menjernihkan : Mencegah air tercemar kotoran padat ukuran besar.
•Cocok : Bagi masyarakat yang seringmenampung air serta pengawasan kurang.
Pelaksanaan
KOLABORASI
Setelah inovasi kelambu air dilaksanakan secara baik dapat dikolaborasi dengan :
- Pemberian ikan pada penampungan, karena ikan tidak mungkin melompat.
- Penaburan larvasida, bila tidak sempat/lupa menabur tidak beresiko.
- Menguras tempat penampungan, bila tidak sempat masih tidak beresiko.
Latar Belakang:
Kejang demam merupakankelainan neurologis yang paling sering terjadi pada anak, 1 dari 25
anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini dikarenakan, anak yang masih berusia
dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit disebabkan sistem kekebalan
tubuh belum terbangun secara sempurna.
Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidaklah sama, tergantung
nilai ambang kejang masing-masing. Oleh karena itu, setiap serangan kejang harus mendapat
penanganan yang cepat dan tepat, apalagi kejang yang berlangsung lama dan berulang.Sebab,
keterlambatan dan kesalahan prosedur bisa mengakibatkan gejala sisa pada anak, bahkan bisa
menyebabkan kematian
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai apneu (henti nafas) yang dapat
mengakibatkan terjadinya hipoksia (berkurangnya kadar oksigen jaringan) sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak. Apabila anak sering kejang, akan semakin banyak sel otak yang rusak dan
mempunyai risiko menyebabkan keterlambatan perkembangan, retardasi mental, kelumpuhan
dan juga 2-10% dapat berkembang menjadi epilepsi.
Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2-4% tahun 2008 dengan 80%
disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan. Angka kejadian di wilayah Jawa Tengah
sekitar2-5% pada anakusia 6 bulan-5 tahun disetiap tahunnya. 25-50% kejang demam akan
mengalami bangkitan kejang demam berulang
Kejang pada anak dapat mengganggu kehidupan keluarga dan kehidupan sosial orang tua
khususnya ibu, karena ibu dibuat stress dan rasa cemas yang luar biasa.Bahkan, ada yang
mengira anaknya bisa meninggal karena kejang. Beberapa ibu panik ketika anak mereka
demam dan melakukan kesalahan dalam mengatasi demam dan komplikasinya.Kesalahan
yang dilakukan ibu salah satunya disebabkan karena kurang pengetahuan dalam menangani.
Memberikan informasi kepada ibu tentang hubungan demam dan kejang itu sendiri
merupakan hal yang penting untuk menghilangkan stress dan cemas mereka
Permasalahan:
Pengenalan mengenai Kejang Demam perlu dilakukan karena :
1. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman ibu mengenai kejang demam
2. Perlunya mengedukasi ibu tentang bagaimana pencegahan Kejang Demam serta faktor
yang menjadi pemicu kejang pada anak dan bagaimana penanganan pertama pada anak yang
mengalami kejang demam
Pelaksanaan
Penyuluhan ini dilakukan oleh dokter dari Puskesmas Padongko Kabupaten Barru pada hari
Rabu tanggal 05 Februari 2020. Penyuluhan ini diikuti oleh kurang lebih 11 orang
masyarakat.
Evaluasi :
Masyarakat dapat memahami mengenai penyebab, gejala, penatalaksanaan awal, bahaya,
komplikasi, pencegahan Kejang Demam. Sebagian besar masyarakat yang hadir dalam
penyuluhan ini aktif dalam mengajukan pertanyaan, terutama mengenai penatalaksanaan
Kejang Demam yang dapat dilakukan di rumah sebelum dibawa ke tenaga kesehatan. Secara
keseluruhan kegiatan penyuluhan ini berjalan dengan lancar. Namun perlu dilakukan evaluasi
berkala untuk menilai ulang pemahaman masyarakat mengenai Kejang Demam pada Anak
Latar Belakang:
Diabetes mellitus (DM) umumnya dikenal sebagai kencing manis. Diabetes militus adalah
penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang terus
menerusdan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes mellitus merupakan keadaan
hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik padamata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai
lesipada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron.
Menurut WHO kenaikan jumlah penduduk dunia yang terkena penyakit diabetes semakin
mengkhawatirkan.Pada tahun 2000 jumlah penduduk dunia yang menderita diabetes sudah
mencapai 171.230.000 orang dan pada tahun 2030 diperkirakan akan mencapai jumlah
366.210.100 orang atau naik sebesar 114 % dalam kurun waktu 30 tahun
Beberapa faktor yang memegang peranan penting dalam perkembangan kasus penderita
diabetes mellitus adalah pola makan, perilaku yang menyimpang dan mengarah pada
makanan yang siap saji dengan kandungan berenergi tinggi, lemak dan sedikit serat yang
dapat memicu diabetes mellitus.
Penderita Diabetes Mellitus yang tidak menunjukkan sikap yang baik terhadap pengelolaan
diet, maka akan terjadi komplikasi yang bisa menimbulkan kematian. Sikap penderita DM
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, dalam hal ini pengetahuan yang akan membuat
penderita Diabetes Mellitus menentukan sikap, berpikir dan berusaha untuk tidak terkena
penyakit maupun mengurangi kondisi penyakitnya. Apabila penderita DM mempunyai
pengetahuan yang baik, maka sikap terhadap diet DM dapat mendukung terhadap kepatuhan
pengelolaan diet DM sendiri
Salah satu cara untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi dan kekambuhan dari DM
adalah dengan cara penerapan kepatuhan diet DM. Penderita harus memperhatikan kepatuhan
terhadap diit diabetes millitus, karena salah satu faktor untuk menstabilkan kadar gula dalam
darah menjadi normal dan mencegah terjadinya komplikasi adalah dengan cara mematuhi
diet.
Pendidikan kesehatan tentang pengelolaan penyakit serta diet diabetes millitus memberikan
alternatif pilihan yang mungkin dapat membantu mengubah kadar glukosa darah menjadi
lebih baik untuk mencegah timbulnya komplikasi pada pasien DM.
Permasalahan:
Tujuan upaya mengenai Pola Makan Penderita DM adalah:
1. Tercapainya pemahaman mengenai Pola Makan yang tepat pada penderita Diabetes
Mellitus
2. Terbentuknya agen kesehatan oleh para masyarakat yang telah mendapatkan
penyuluhan mengenai pola makan pada penderita Diabetes Mellitus, sehingga dapat
membantu menyebarluaskan informasi mengenai pola makan yang tepat kepada lingkungan
sekitar terutama keluarga sehingga membantu upaya promosi kesehatan.
3. Tercapainya pemahaman masyarakat tentang bagaimana pencegahan Diabetes
Mellitus hingga Faktor yang menjadi resiko penyakit Diabetes Mellitus
Pelaksanaan
Penyuluhan ini dilakukan oleh dokter dari Puskesmas Sepinggan Kota Balikpapan pada hari
Jumat tanggal 17 Januari 2020. Penyuluhan ini diikuti oleh kurang lebih 20 orang masyarakat
yang mengikuti senam Program PROLANIS Puskesmas Sepinggan
Evaluasi :
Masyarakat dapat memahami mengenai Pola Makan yang Tepat pada penderita DM.
Sebagian besar masyarakat yang hadir dalam penyuluhan ini aktif dalam mengajukan
pertanyaan, terutama mengenai bagaimana pengaturan dan pemilihan bahan makanan yang
dapat diberikan pada pasien Diabetes Mellitus. Secara keseluruhan kegiatan penyuluhan ini
berjalan dengan lancar. Namun perlu dilakukan evaluasi berkala untuk menilai ulang
pemahaman masyarakat mengenai pemberian pola makan yang tepat pada pasien penderita
Diabetes Mellitus.
Latar Belakang:
Penyakit Hipertensi merupakan ancaman bagi kesehatan masyarakat dan menjadi masalah
kesehatan yang sangat serius. Berdasarkan data Penyakit tidak menular (PTM) 5 tahun
terakhir di Dinas Kesehatan Kota Balikpapan, Penyakit Hipertensi menjadi Penyakit yang
paling menonjol.
Untuk itu, institusi kesehatan harus bisa mempengaruhi masyarakat untuk hidup sehat
sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatannya berdasarkan kebijakan-kebijakan yang
diimplementasikan dalam bentuk program-program yang akan mewadahi masyarakat.
Permasalahan:
Hipertensi yang tidak segera ditangani berdampak pada munculnya penyakit degeneratif,
seperti penyakit jantung, gagal ginjal dan penyakit pembuluh darah perifer. Dari seluruh
penderita hipertensi 90-95 melaporkan hipertensi esensial atau hipertensi premier yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini jika tidak dilakukan penanggulangan dengan baik
keadaan ini cenderung akan meningkat.
Pelaksanaan
Penyuluhan ini dilakukan oleh dokter Internship dari Puskesmas Sepinggan Kota Balikpapan
pada hari Jum'at tanggal 22 November 2019. Penyuluhan ini diikuti oleh kurang lebih 20
orang masyarakat
EVALUASI :
Masyarakat dapat memahami mengenai penyebab, gejala, penatalaksanaan, bahaya,
komplikasi Hipertensi. Sebagian besar masyarakat yang hadir dalam penyuluhan ini aktif
dalam mengajukan pertanyaan, terutama mengenai penatalaksanaan Hipertensi yang dapat
dilakukan di rumah sebelum dibawa ke tenaga kesehatan. Secara keseluruhan kegiatan
penyuluhan ini berjalan dengan lancar. Namun perlu dilakukan evaluasi berkala untuk
menilai ulang pemahaman masyarakat mengenai Hipertensi
F6- PEMASANGAN KATETER URINE PADA PASIEN RETENSI URINE AKIBAT
BPH (Benign Prostate Hiperplasia)
Latar Belakang:
Kateter merupakan sebuah alat berupa tabung kecil yang fleksibel dan biasa digunakan pasien
untuk membantu mengosongkan kandung kemih. Pemasangan alat ini dilakukan khusus
untuk pasien yang tidak mampu buang air kecil sendiri dengan normal.
Umumnya penggunaan kateter hanya untuk sementara, sampai pasien mampu kembali buang
air kecil sendiri. Kateter juga perlu diganti dalam jangka waktu tertentu agar tetap berfungsi
dengan baik dan tidak memicu infeksi.
Kateter urine memiliki berbagai fungsi di bidang medis, mulai dari menangani penyakit
tertentu hingga melakukan prosedur operasi.
Kateter biasanya diperlukan ketika seseorang yang sedang sakit tidak mampu mengosongkan
kandung kemihnya. Jika kandung kemih tidak dikosongkan, air kencing akan menumpuk
pada ginjal dan menyebabkan kerusakan hingga gagalnya fungsi ginjal itu sendiri.
Seseorang perlu menggunakan kateter apabila ia:
-Tidak dapat buang air kecil sendiri
-Tidak bisa mengendalikan frekuensi buang air kecilnya atau aliran urinnya.
-Memiliki masalah kesehatan kemih.
-Dirawat inap untuk operasi.
-Sedang dalam koma.
-Dibius dalam jangka waktu lama.
Permasalahan:
Kondisi Tertentu yang Memerlukan Kateter
Salah satu kondisi yang paling memerlukan kateter adalah retensi urine, yaitu kondisi
ketidakmampuan kandung kemih dalam mengeluarkan seluruh urine, misalnya karena
pembesaran prostat.
Sebaliknya, kondisi ketika seseorang tidak mampu mengendalikan kandung kemih atau
inkontinensia urine juga mungkin memerlukan pemasangan kateter.
Selain itu, kateter juga sering digunakan dalam berbagai prosedur medis, seperti:
- Proses persalinan dan operasi caesar.
- Perawatan intensif yang membutuhkan pemantauan keseimbangan cairan tubuh.
- Proses pengosongan kandung kemih sebelum, saat, atau sesudah operasi.
- Saat pemberian obat langsung ke dalam kandung kemih, misalnya karena adanya kanker
kandung kemih.
Pelaksanaan
Penyuluhan ini dilakukan oleh dokter dari Puskesmas Sepinggan pada hari Jumat tanggal 28
Februari 2020.
Evaluasi :
Kantung urin harus diganti berkala, paling lama 7 hari setelah pemasangan. Kateter
indwelling harus diganti dengan yang baru paling lama setiap 3 bulan setelah pemasangan.
Penggantian harus dilakukan oleh dokter atau perawat.
Latar Belakang:
Program Indonesia Sehat merupakan salah satu program dari Agenda Nawa Cita, yaitu
Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia. Program Indonesia Sehat menjadi program
utama pembangunan kesehatan yang kemudian direncanakan pencapaiannya melalui Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, yang ditetapkan melalui Keputusan
Menteri Kesehatan R.I. Nomor HK.02.02/Menkes/52/2015.
Tujuan dari Program Indonesia Sehat adalah meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi
masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat didukung oleh
perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan. Tujuan ini sesuai dengan tujuan
pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yaitu : (1)
meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu dan anak, (2) meningkatkan program
pengendalian penyakit, (3) meningkatkanakses dan mutu pelayanan kesehatam dasar dan
rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan, (4) meningkatkan cakupan
pelayanan kesehatan universal melalui Kartu Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kesehatan, (5) terpenuhinya kebutuhan tenaga
kesehatan, obat dan vaksin, serta (6) meningkatkan responsivitas sistem kesehatan.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan menegakkan tiga pilar utama, yaitu:
penerapan paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan, dan pelaksanaan jaminan
kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma sehat dilakukan dengan strategi
pengurusutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan upaya promotif dan preventif,
serta pemberdayaan masyarakat. Penguatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi
peningkatan akses pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem rujukan, dan peningkatan mutu
menggunakan pendekaan continuum of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan.
Sedangkan pelaksanaan JKN dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat
(benefit), serta kendali mutu dan biaya. Kesemuanya itu ditujukan kepada tercapainya
keluarga-keluarga sehat.
Permasalahan:
Belum diketahuinya gambaran pengetahuan dan perilaku dari 3 kriteria IKS (program KB,
merokok dan hipertensi) di Kelurahan Sepinggan RT 61 wilayah kerja Puskesmas Sepinggan
Baru, kota Balikpapan, tahun 2020.
1. Bagaimana pengetahuan dan perilaku pasangan usia subur terhadap keikutsertaan
program KB?
2. Bagaimana pengetahuan dan perilaku warga yang merokok terhadap kesehatan
lingkungan sekitar?
3. Bagaimana pengetahuan dan perilaku warga dengan hipertensi dalam upaya
mengontrol tekanan darah?
-Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran pengetahuan dan perilaku pasangan usia subur di kelurahan
Sepinggan RT 61 wilayah kerja Puskesmas Sepinggan Baru, kota Balikpapan, tahun 2020
terhadap keikutsertaan program KB.
b. Diketahuinya gambaran pengetahuan dan perilaku warga yang merokok di kelurahan
Sepinggan RT 61 wilayah kerja Puskesmas Sepinggan Baru, kota Balikpapan, tahun 2020
terhadap kesehatan lingkungan sekitar.
c. Diketahuinya gambaran pengetahuan dan perilaku warga dengan hipertensi di
kelurahan Sepinggan RT 61 wilayah kerja Puskesmas Sepinggan Baru, kota Balikpapan,
tahun 2020 dalam upaya mengontrol tekanan darah.
Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan Sepinggan RT 61 wilayah kerja Puskesmas
Sepinggan Baru, kota Balikpapan, tahun 2020. Subjek penelitian yaitu : (1) masyarakat
psangan usia subur, (2) masyarakat yang merokok, (3) masyarakat yang mempunyai penyakit
tekanan darah tinggi di kelurahan Sepinggan RT 61, baik mengikuti ataupun tidak mengikuti
program JKN, yang diperoleh berdasarkan hasil penjairngan IKS (Indikator Keluarga Sehat).
Penelitian ini dilaksanakan Januari-Februari 2020.
-MEROKOK
1. Tingkat pendidikan dari responden dapat dibilang sudah tinggi dimana menunjukkan
tingkat pendidikan terendah yang muncul yaitu tingkat SMA sebanyak 4 orang (40%)
2. Usia menikah dari responden pada penelitian ini terbanyak pada umur 20-25 tahun
sebanyak 6 responden (60%).
3. Tingkat pengetahuan responden tentang KB dalam penelitian ini sudah baik karena
sebanyak 6 orang (60%) memiliki pengetahuan baik (>80%)
4. Jenis kontrasepsi yang pernah digunakan oleh responden terbanyak menggunakan pil
KB sebanyak 4 orang.
-HIPERTENSI
1. Karakteristik responden pada penelitisn ini sudah terdiagnosis hipertensi sebanyak 7
orang.
2. Tingkat pengetahuan terhadap hipertensi masih tergolong cukup karena sebanyak 4
orang (50%) memiliki pengetahuan (50-80%) mengenai hipetensi tersebut.
3. Dari 7 orang yang telah mengalami hipertensi, ada 4 responden (71%) yang memiliki
riwayat hipertensi keluarga.
4. Untuk keteraturan minum obat hipertensi, ada sebanyak 6 responden (85%) yang
melakukan hal tersebut.
5. Tingkat perilaku responden terhadap hipertensi sudah membatasi makanan tinggi
garam dan melakukan olahraga secara teratur.
- Kelemahan Penelitian
1. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengisian kuesioner, sehingga data yang
didapatkan terbatas.
2. Jumlah sampel yang didapat dianggap masih kurang dalam mewakili kondisi
masyarakat.
- Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti antara lain:
1. Masukan untuk Puskesmas Sepinggan Baru
Perlu dilakukannya edukasi dan penyuluhan lebih lanjut mengenali program KB, rokok dan
hipertensi kepada warga RT 61 dan tindakan apa saja yang harus dilakukan jika tekanan
darah meningkat serta mengenal perilaku hidup sehat bagi penderita hipertensi dan
menjelaskan pentingnya memeriksakan tekanan darah secara rutin ke pelayanan kesehatan
terdekat.
2. Masukan untuk Masyarakat RT 44
Agar lebih meningkatkan pengetahuan dan perilaku tentang hipertensi dengan mengikuti
penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan terdekat agar dapat terhindar
dari penyakit hipertensi secara dini dan perlunya edukasi mengenai program KB secara lebih
mendalam untuk meningkatkan keikutsertaan warga dalam program KB.
Memasang poster larangan merokok di lingkungan sekitar RT 61.
F4. Pemantauan Berat Badan Balita Secara Berkala dalam Upaya Pemanfaatan Pos Pelayanan
Terpadu (POSYANDU)
Latar Belakang
Posyandu merupakan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
dilaksanakan oleh, dari dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan
anak balita. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat badan yang
paling pesat dibanding dengan kelompok umur lain, masa ini tidak terulang sehingga disebut
window of opportunity, untuk mengetahui apakah balita tumbuh dan berkembang secara
normal atau tidak. Penilaian tumbuh kembang balita yang mudah diamati adalah pola tumbuh
kembang fisik, salah satunya dalam pengukuran berat badan balita.
Usia antara 0-5 tahun adalah merupakan periode yang sangat penting bagi pertumbuhan
anak, oleh sebab itu balita perlu ditimbang secara teratur sehingga dapat diikuti pertumbuhan
berat badannya. Anak yang sehat akan tumbuh pesat, bertambah umur bertambah berat
badannya. Agar kegiatan penimbangan dapat mempunyai makna secara efektif dan efesien,
maka hasil penimbangan setiap balita dapat dicantumkan pada grafik dalam KMS balita,
kemudian dipantau garis pertumbuhan setiap bulannya, sehingga setiap anak dapat diketahui
kesehatannya sejak dini.
Permasalahan
Badan kesehatan dunia (WHO 2011) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan
gizi buruk. Di Indonesia, saat ini tercatat 4,5% dari 22 juta balita atau 900 ribu balita di
Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan mengakibatkan lebih dari 80%
kematian anak. Hasil Riskesdas (2010), menunjukkan prevalensi gizi kurang menjadi 17,9%
dan gizi buruk menjadi 4,9%, artinya kemungkinan besar sasaran pada tahun 2014 sebesar
15,0% untuk gizi kurang dan 3,5% untuk gizi buruk dapat tercapai.
Pelaksanaan
Hari : 08 December 2020
Tempat : Posyandu Katelia, Kelurahan Tavanjuka
F4. Pemantauan Berat Badan Balita Secara Berkala dalam Upaya Pemanfaatan Pos Pelayanan
Terpadu (POSYANDU)
Latar Belakang
Posyandu merupakan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
dilaksanakan oleh, dari dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan
anak balita. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat badan yang
paling pesat dibanding dengan kelompok umur lain, masa ini tidak terulang sehingga disebut
window of opportunity, untuk mengetahui apakah balita tumbuh dan berkembang secara
normal atau tidak. Penilaian tumbuh kembang balita yang mudah diamati adalah pola tumbuh
kembang fisik, salah satunya dalam pengukuran berat badan balita.
Usia antara 0-5 tahun adalah merupakan periode yang sangat penting bagi pertumbuhan
anak, oleh sebab itu balita perlu ditimbang secara teratur sehingga dapat diikuti pertumbuhan
berat badannya. Anak yang sehat akan tumbuh pesat, bertambah umur bertambah berat
badannya. Agar kegiatan penimbangan dapat mempunyai makna secara efektif dan efesien,
maka hasil penimbangan setiap balita dapat dicantumkan pada grafik dalam KMS balita,
kemudian dipantau garis pertumbuhan setiap bulannya, sehingga setiap anak dapat diketahui
kesehatannya sejak dini.
Permasalahan
Badan kesehatan dunia (WHO 2011) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan
gizi buruk. Di Indonesia, saat ini tercatat 4,5% dari 22 juta balita atau 900 ribu balita di
Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan mengakibatkan lebih dari 80%
kematian anak. Hasil Riskesdas (2010), menunjukkan prevalensi gizi kurang menjadi 17,9%
dan gizi buruk menjadi 4,9%, artinya kemungkinan besar sasaran pada tahun 2014 sebesar
15,0% untuk gizi kurang dan 3,5% untuk gizi buruk dapat tercapai.
Pelaksanaan
Hari : 07 Januari 2021
Tempat : Posyandu Melati, Kelurahan Palupi
Hasil penimbangan berat badan : Jumlah anak yang ditimbang sebanyak 46 balita
Dalam hal upaya pemantauan berat badan balita secara berkala diperlukan pengetahuan yang
cukup dari para kader mengenai tata cara standarisasi penimbangan berat badan yang baik.
Dengan adanya standarisasi ini diharapkan pemantauan berat badan balita di setiap posyandu
dapat terpantau dengan baik.
F4. Pemantauan Berat Badan Balita Secara Berkala dalam Upaya Pemanfaatan Pos Pelayanan
Terpadu (POSYANDU)
Latar Belakang
Posyandu merupakan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
dilaksanakan oleh, dari dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan
anak balita. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat badan yang
paling pesat dibanding dengan kelompok umur lain, masa ini tidak terulang sehingga disebut
window of opportunity, untuk mengetahui apakah balita tumbuh dan berkembang secara
normal atau tidak. Penilaian tumbuh kembang balita yang mudah diamati adalah pola tumbuh
kembang fisik, salah satunya dalam pengukuran berat badan balita.
Usia antara 0-5 tahun adalah merupakan periode yang sangat penting bagi pertumbuhan
anak, oleh sebab itu balita perlu ditimbang secara teratur sehingga dapat diikuti pertumbuhan
berat badannya. Anak yang sehat akan tumbuh pesat, bertambah umur bertambah berat
badannya. Agar kegiatan penimbangan dapat mempunyai makna secara efektif dan efesien,
maka hasil penimbangan setiap balita dapat dicantumkan pada grafik dalam KMS balita,
kemudian dipantau garis pertumbuhan setiap bulannya, sehingga setiap anak dapat diketahui
kesehatannya sejak dini.
Permasalahan
Badan kesehatan dunia (WHO 2011) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan
gizi buruk. Di Indonesia, saat ini tercatat 4,5% dari 22 juta balita atau 900 ribu balita di
Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan mengakibatkan lebih dari 80%
kematian anak. Hasil Riskesdas (2010), menunjukkan prevalensi gizi kurang menjadi 17,9%
dan gizi buruk menjadi 4,9%, artinya kemungkinan besar sasaran pada tahun 2014 sebesar
15,0% untuk gizi kurang dan 3,5% untuk gizi buruk dapat tercapai.
Pelaksanaan
Hari : 12 Januari 2021
Tempat : Posyandu Katelia, Kelurahan Tavanjuka
Hasil penimbangan berat badan : Jumlah anak yang ditimbang sebanyak 29 balita
Dalam hal upaya pemantauan berat badan balita secara berkala diperlukan pengetahuan yang
cukup dari para kader mengenai tata cara standarisasi penimbangan berat badan yang baik.
Dengan adanya standarisasi ini diharapkan pemantauan berat badan balita di setiap posyandu
dapat terpantau dengan baik.
F4. Pemantauan Berat Badan Balita Secara Berkala dalam Upaya Pemanfaatan Pos Pelayanan
Terpadu (POSYANDU)
Latar Belakang
Posyandu merupakan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
dilaksanakan oleh, dari dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan
anak balita. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat badan yang
paling pesat dibanding dengan kelompok umur lain, masa ini tidak terulang sehingga disebut
window of opportunity, untuk mengetahui apakah balita tumbuh dan berkembang secara
normal atau tidak. Penilaian tumbuh kembang balita yang mudah diamati adalah pola tumbuh
kembang fisik, salah satunya dalam pengukuran berat badan balita.
Usia antara 0-5 tahun adalah merupakan periode yang sangat penting bagi pertumbuhan
anak, oleh sebab itu balita perlu ditimbang secara teratur sehingga dapat diikuti pertumbuhan
berat badannya. Anak yang sehat akan tumbuh pesat, bertambah umur bertambah berat
badannya. Agar kegiatan penimbangan dapat mempunyai makna secara efektif dan efesien,
maka hasil penimbangan setiap balita dapat dicantumkan pada grafik dalam KMS balita,
kemudian dipantau garis pertumbuhan setiap bulannya, sehingga setiap anak dapat diketahui
kesehatannya sejak dini.
Permasalahan
Badan kesehatan dunia (WHO 2011) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan
gizi buruk. Di Indonesia, saat ini tercatat 4,5% dari 22 juta balita atau 900 ribu balita di
Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan mengakibatkan lebih dari 80%
kematian anak. Hasil Riskesdas (2010), menunjukkan prevalensi gizi kurang menjadi 17,9%
dan gizi buruk menjadi 4,9%, artinya kemungkinan besar sasaran pada tahun 2014 sebesar
15,0% untuk gizi kurang dan 3,5% untuk gizi buruk dapat tercapai.
Perencanaan dan Intervensi
Upaya pemerintah melakukan pendekatan strategis maupun pendekatan taktis. Pendekatan
strategis yaitu berupaya mengoptimalkan operasional pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil
dan pelayanan kesehatan balita. Pendekatan taktis merupakan upaya antisipasi
meningkatkanya prevalensi balita gizi buruk serta upaya penurunanannya melalui berbagai
kajian atau penelitian yang berkaitan dengan gizi, serta pelaksanaan manajemen terpadu
balita sakit (MTBS), intervensi gizi pada anak, penguatan peran keluarga dan peningkatan
akses terhadap fasilitas kesehatan serta partisipasi masyarakat melalui kegiatan posyandu
yang meliputi pemantauan gizi bayi dan balita setiap bulan melalui penimbangan berat badan,
imunisasi dasar, yang kemudian dicatat dalam KMS untuk balita.
Pelaksanaan
Hari : 08 December 2020
Tempat : Posyandu Katelia, Kelurahan Tavanjuka
Hasil penimbangan berat badan : Jumlah anak yang ditimbang sebanyak 29 balita
Dalam hal upaya pemantauan berat badan balita secara berkala diperlukan pengetahuan yang
cukup dari para kader mengenai tata cara standarisasi penimbangan berat badan yang baik.
Dengan adanya standarisasi ini diharapkan pemantauan berat badan balita di setiap posyandu
dapat terpantau dengan baik.
F4. Pemantauan Berat Badan Balita Secara Berkala dalam Upaya Pemanfaatan Pos Pelayanan
Terpadu (POSYANDU)
Latar Belakang
Posyandu merupakan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
dilaksanakan oleh, dari dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan
anak balita. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat badan yang
paling pesat dibanding dengan kelompok umur lain, masa ini tidak terulang sehingga disebut
window of opportunity, untuk mengetahui apakah balita tumbuh dan berkembang secara
normal atau tidak. Penilaian tumbuh kembang balita yang mudah diamati adalah pola tumbuh
kembang fisik, salah satunya dalam pengukuran berat badan balita.
Usia antara 0-5 tahun adalah merupakan periode yang sangat penting bagi pertumbuhan
anak, oleh sebab itu balita perlu ditimbang secara teratur sehingga dapat diikuti pertumbuhan
berat badannya. Anak yang sehat akan tumbuh pesat, bertambah umur bertambah berat
badannya. Agar kegiatan penimbangan dapat mempunyai makna secara efektif dan efesien,
maka hasil penimbangan setiap balita dapat dicantumkan pada grafik dalam KMS balita,
kemudian dipantau garis pertumbuhan setiap bulannya, sehingga setiap anak dapat diketahui
kesehatannya sejak dini.
Permasalahan
Badan kesehatan dunia (WHO 2011) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan
gizi buruk. Di Indonesia, saat ini tercatat 4,5% dari 22 juta balita atau 900 ribu balita di
Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan mengakibatkan lebih dari 80%
kematian anak. Hasil Riskesdas (2010), menunjukkan prevalensi gizi kurang menjadi 17,9%
dan gizi buruk menjadi 4,9%, artinya kemungkinan besar sasaran pada tahun 2014 sebesar
15,0% untuk gizi kurang dan 3,5% untuk gizi buruk dapat tercapai.
Pelaksanaan
Hari : 08 December 2020
Tempat : Posyandu Katelia, Kelurahan Tavanjuka
Hasil penimbangan berat badan : Jumlah anak yang ditimbang sebanyak 29 balita
Dalam hal upaya pemantauan berat badan balita secara berkala diperlukan pengetahuan yang
cukup dari para kader mengenai tata cara standarisasi penimbangan berat badan yang baik.
Dengan adanya standarisasi ini diharapkan pemantauan berat badan balita di setiap posyandu
dapat terpantau dengan baik.
F4. Pemantauan Berat Badan Balita Secara Berkala dalam Upaya Pemanfaatan Pos Pelayanan
Terpadu (POSYANDU)
Latar Belakang
Posyandu merupakan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang
dilaksanakan oleh, dari dan bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat guna memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan
anak balita. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat badan yang
paling pesat dibanding dengan kelompok umur lain, masa ini tidak terulang sehingga disebut
window of opportunity, untuk mengetahui apakah balita tumbuh dan berkembang secara
normal atau tidak. Penilaian tumbuh kembang balita yang mudah diamati adalah pola tumbuh
kembang fisik, salah satunya dalam pengukuran berat badan balita.
Usia antara 0-5 tahun adalah merupakan periode yang sangat penting bagi pertumbuhan
anak, oleh sebab itu balita perlu ditimbang secara teratur sehingga dapat diikuti pertumbuhan
berat badannya. Anak yang sehat akan tumbuh pesat, bertambah umur bertambah berat
badannya. Agar kegiatan penimbangan dapat mempunyai makna secara efektif dan efesien,
maka hasil penimbangan setiap balita dapat dicantumkan pada grafik dalam KMS balita,
kemudian dipantau garis pertumbuhan setiap bulannya, sehingga setiap anak dapat diketahui
kesehatannya sejak dini.
Permasalahan
Badan kesehatan dunia (WHO 2011) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan
gizi buruk. Di Indonesia, saat ini tercatat 4,5% dari 22 juta balita atau 900 ribu balita di
Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan mengakibatkan lebih dari 80%
kematian anak. Hasil Riskesdas (2010), menunjukkan prevalensi gizi kurang menjadi 17,9%
dan gizi buruk menjadi 4,9%, artinya kemungkinan besar sasaran pada tahun 2014 sebesar
15,0% untuk gizi kurang dan 3,5% untuk gizi buruk dapat tercapai.
Pelaksanaan
Hari : 08 December 2020
Tempat : Posyandu Katelia, Kelurahan Tavanjuka
Hasil penimbangan berat badan : Jumlah anak yang ditimbang sebanyak 29 balita
Dalam hal upaya pemantauan berat badan balita secara berkala diperlukan pengetahuan yang
cukup dari para kader mengenai tata cara standarisasi penimbangan berat badan yang baik.
Dengan adanya standarisasi ini diharapkan pemantauan berat badan balita di setiap posyandu
dapat terpantau dengan baik.
F4. Mengenal Stunting, cara mendeteksi, serta pencegahan stunting sejak dini.
Latar Belakang:
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan.
Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang
memadai. Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi balita stunting adalah
berdasarkan indeks Tinggi badan menurut umur (TB/U) menurut standar WHO child growth
standart dengan kriteria stunting jika nilai z score TB/U < -2 Standard Deviasi (SD). Periode
0- 24 bulan merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan sehingga disebut
dengan periode emas. Periode ini merupakan periode yang sensitif karena akibat yang
ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi.
Untuk itu diperlukan pemenuhan gizi yang adekuat pada usia ini.
Permasalahan:
Masalah anak pendek (stunting) merupakan salah satu permasalahan gizi yang dihadapi di
dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Stunting menjadi permasalahan
karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian,
perkembangan otak suboptimal sehingga perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya
pertumbuhan mental. Beberapa studi menunjukkan risiko yang diakibatkan stunting yaitu
penurunan prestasi akademik, meningkatkan risiko obesitas, lebih rentan terhadap penyakit
tidak menular dan peningkatan risiko penyakit degeneratif. Menurut Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018 untuk Nasional, prevalensi stunting 30,8%, dan Berdasarkan Profil
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah prevalensi stunting sebanyak 32,2%.
Pelaksanaan
Hari/Tanggal : Kamis, 07 Januari 2021
Tempat : Posyandu Melati, Kelurahan Palupi
Evaluasi:
Penyuluhan tentang Stunting yang dilaksanakan di Posyandu Melati berjalan dengan baik dan
lancar. Peserta terlihat antusias dan memberi respon baik terhadap paparan materi.
Penyuluhan harus tetap ditingkatkan dan perlu pemberdayaan kader dalam pengukuran tinggi
badan untuk menilai dan mencegah stunting pada bayi kurang dari 24 bulan.
DPT
Latar belakang
Menurut World Health Organitation (WHO) pada tahun 2017, diperkirakan 19,9 juta bayi di
seluruh dunia tidak tercapai dengan layanan imunisasi rutin seperti 3 dosis vaksin DTP.
Sekitar 60% dari anak-anak initinggal di 10 negara termasuk Indonesia. Pemantauan data di
tingkat daerah sangat penting untuk membantu negara memprioritaskan dan menyesuaikan
strategi vaksinasi dan rencana operasional untuk mengatasi kesenjangan imunisasi dan
menjangkau setiap orang dengan vaksin yang menyelamatkan jiwa.
Upaya untuk mencapai tujuan berbagai program dengan berbasis Primary Health Care telah
dilaksanakan untuk meningkatkan derajat kesehatan. Beberapa indikator yang digunakan
WHO untuk mengukur tingkat keberhasilan program program tersebut, antara lain Angka
Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKABA), Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Harapan Hidup (life ecpectancy). Indikator kesehatan dalam Sustainable Development
Goals (SDGs) 2030 yang merupakan goals ketiga yaitu jaminan kesehatan dan promosi
kesehatan bagi semua umur (Kemenkes RI, 2015).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menyusun program sebagai usaha yang
dilakukan untuk menekan penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I) pada anak
antara lain Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak sejaktahun 1956. Program
imunisasi merupakan salah satu upaya untuk melindungi penduduk terhadap penyakit
tertentu. Program imunisasi diberikan kepada populasi yang dianggap rentan terjangkit
penyakit menular, yaitu bayi, anak usia sekolah, wanita usia subur, dan ibu hamil. Setiap bayi
wajib mendapatkan lima imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari satu dosis HB0, satu dosis
BCG, tiga dosis DPT-HB Hib, empat dosis polio, dan satu dosis campak Keberhasilan bayi
dalam mendapatkan lima jenis imunisasi dasar diukur melalui indikator imunisasi dasar
lengkap sebagai landasan untuk mencapai komitmen internasional yaitu Universal Child
Immunization (UCI),
UCI secara nasional dicapai pada tahun 1990, yaitu cakupan DPT-Hb-Hib 3, Polio 3 dan
Campak minimal 80% sebelum umur 1 tahun, sedangkan cakupan untuk DPT-Hb-Hib 1,
polio 1 dan BCG minimal 90%. Terdapat 2-3 juta kematian anak di dunia setiap tahunnya
dapat dicegah dengan pemberian imunisasi, namun sebanyak 22,6 juta anak di seluruh dunia
tidak terjangkau imunisasi rutin (Kemenkes RI, 2014).
Imunisasi DPT dapat mencegah penyakit diptheri, pertusis dan tetanus.Diptheri menyebabkan
infeksi saluran pernafasan atas, yang dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kesulitan
bernafas bahkan kematian. Tetanus menyebabkan kekakuan otot dan kekejangan otot yang
menyakitkan dan dapat mengakibatkan kematian. Pertusis atau batuk rejan mempengaruhi
saluran pernafasan dan dapat menyebabkan batuk hingga delapan minggu.
Masalah
Menurut statistik kesehatan dunia 2015, cakupan imunisasi secara global untuk imunisasi
DPT3 sebesar 84%, HepB3 sebesar 81% dan campak sebesar 84% pada tahun 2013, belum
mencapai target imunisasi global yaitu sebesar 90%dari jumlah anak usia 0-11 bulan di dunia.
Indonesia termasuk negara yang tidak mencapai target tersebut, dengan cakupan imunisasi
DPT3 sebesar 85%, HepB3 sebesar 85% dan campak sebesar 84% pada tahun 2013. Oleh
karena itu, dari 194 negara anggota WHO, 65 negara diantaranya memiliki cakupan imunisasi
DPT3 dibawah target global 90%, termasuk Indonesia.
Dari data diatas banyak faktor yang mempengaruhi kurangnya cakupan imunisasi dasar pada
bayi yaitu kurangnya pengetahuan ibu tentang imunisasi DPT/HB-HIB, manfaat dan bahaya
bila bayinya tidak diimunisasi ditambah memang ibu sendiri yang tidak mau membawa
bayinya untuk diimunisasi dikarenakan pengalaman lalu dan isu yang berkembang saat ini
juga kurangnya dukungan keluarga terutama suami, kondisi bayi, pekerjaan suami/ibu,
pendidikan formal suami/ibu, tingkat penghasilan keluarga, penyuluhan imunisasi, jarak ke
tempat pelayanan imunisasi, ketersediaan vaksin, efek samping imunisasi dan, sikap petugas
kesehatan.
Pelaksanaan
Hari/Tanggal : Jumat, 08 Desember 2020
Tempat : Posyandu Katelia, Kelurahan Tavanjuka
Polio
Latar belakang
Polio merupakan (keluarga Picornaviridae), sering disingkat sebagai "Polio" adalah virus
yang paling ditakuti abad ke-20 di dunia yang menghasilkan permulaan program inisiatif
global untuk pemberantasan polio pada tahun 1988. Sebagian polio positif yang diakibatkan
oleh enterovirus RNA ini dikenal dengan kemampuannya untuk mempengaruhi sebuah
bagian dari sumsum tulang belakang, dan mengakibatkan terjadinya Acute Flaccid Paralysis
(AFP) atau dapat menyebabkan kematian jika otot pernapasan atau tenggorokan mendapat
lumpuh tetapi untungnya tidak banyak kasus yang terjadi. Terdapat tiga serotypes dari virus
polio, di dunia kasus infeksi dari 1 per 200-2000 kasus tergantung pada jenis serotype virus.
Tingkat fatality biasanya dari 5 hingga 10% dalam kasus-kasus lumpuh. World Health
Organization (WHO) 27 tahun yang lalu telah mencapai keberhasilan luar biasa dalam
mengurangi jumlah polio di negara-negara endemik, dari 125 negara di penjuru dunia hanya
ada 3 negara termasuk Pakistan, Afghanistan, dan Nigeria, dimana Wild Polio Virus (WPV)
transmisinya belum terputus walaupun angka kasus terjadinya polio telah turun dibawah
angka 99% dibandingkan dengan 350.000 kasus baru per tahun kemudian (Ghafoor &
Sheikh, 2016). Pada bulan Mei 2012, World Health Assembly (WHA) mendeklarasikan
bahwa eradikasi polio adalah salah satu isu kedaruratan kesehatan masyarakat dan perlu
disusun suatu strategi menuju eradikasi polio. Indonesia telah berhasil menerima sertifikasi
bebas polio bersama
dengan negara anggota WHO di South East Asia Region (SEAR) pada bulan Maret 2014,
sementara itu dunia masih menunggu negara lain yang belum bebas polio yaitu Afganistan,
Pakistan dan Nigeria. Untuk mempertahankan keberhasilan tersebut dan untuk melaksanakan
strategi menuju eradikasi polio di dunia, Indonesia melakukan beberapa rangkaian Polio
merupakan (keluarga Picornaviridae), sering disingkat sebagai "Polio" adalah virus yang
paling ditakuti abad ke-20 di dunia yang
menghasilkan permulaan program inisiatif global untuk pemberantasan polio pada tahun
1988. Sebagian polio positif yang diakibatkan oleh enterovirus RNA ini dikenal dengan
kemampuannya untuk mempengaruhi sebuah bagian dari sumsum tulang belakang, dan
mengakibatkan terjadinya Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau dapat menyebabkan kematian
jika otot pernapasan atau tenggorokan mendapat lumpuh tetapi untungnya tidak banyak kasus
yang terjadi. Terdapat tiga serotypes dari virus polio, di dunia kasus infeksi dari 1 per 200-
2000 kasus tergantungpada jenis serotype virus. Tingkat fatality biasanya dari 5 hingga 10%
dalam kasus-kasus lumpuh. World Health Organization (WHO) 27 tahun yang lalu telah
mencapai keberhasilan luar biasa dalam mengurangi jumlah polio di negara-negara endemik,
dari 125 negara di penjuru dunia hanya ada 3 negara termasuk Pakistan, Afghanistan, dan
Nigeria, dimana Wild Polio Virus (WPV) transmisinya belum terputus walaupun angka kasus
terjadinya polio telah turun dibawah angka 99% dibandingkan dengan 350.000 kasus baru per
tahun kemudian (Ghafoor & Sheikh, 2016). Pada bulan Mei 2012, World Health Assembly
(WHA) mendeklarasikan bahwa eradikasi polio adalah salah satu isu kedaruratan kesehatan
masyarakat dan perlu disusun suatu strategi menuju eradikasi polio. Indonesia telah berhasil
menerima sertifikasi bebas polio bersama dengan negara anggota WHO di South East Asia
Region (SEAR) pada bulan Maret 2014, sementara itu dunia masih menunggu negara lain
yang belum bebas polio yaitu Afganistan, Pakistan dan Nigeria. Untuk mempertahankan
keberhasilan tersebut dan untuk melaksanakan strategi menuju eradikasi polio di dunia,
Indonesia melakukan beberapa rangkaian. kegiatan yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Polio, penggantian vaksin trivalent Oral Polio Vaccine (tOPV) ke bivalent Oral Polio
Vaccine
(bOPV) dan introduksi Inactivated Polio Vaccine (IPV). Pada akhir tahun 2020 diharapkan
penyakit polio telah berhasil dihapus dari seluruh dunia (KESMAS, 2016).
Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (Polio I, II, III, dan IV) dengan interval tidak kurang
dari 4 minggu. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 ml) langsung ke mulut anak atau
dengan menggunakan penetesan (dropper) yang baru. Pemberian jangka pendek vaksin masih
bersifat aman, namun dalam jangka panjang bisa berbahaya juga untuk tubuh, sehingga
diberikan vaksin kedua, ketiga dan seterusnya dengan maksud untuk memperpanjang khasiat
vaksin yang diberikan sebelumnya dan berguna untuk menghilangkan efek samping dari
vaksin sebelumnya .
Masalah :
Upaya membebaskan Indonesia dari penyakit polio, Pemerintah telah melaksanakan Program
Eradikasi Polio (ERAPO) yang terdiri dari pemberian imunisasi polio rutin, pemberian
imunisasi masal pada anak balita melalui Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan surveilans
Acute Flaccid Paralysis (AFP). Surveilans AFP merupakan pengamatan dan penjaringan
semua kelumpuhan yeng terjadi secara mendadak dan sifatnya flaccid (layuh), seperti sifat
kelumpuhan pada poliomyelitis (Dinkes Jateng, 2014). Poliomielitis merupakan penyakit
yang endemik di Indonesia sejak era pre-vaksin dan telah menimbulkan beberapa kali
kejadian luar biasa Setelah dilakukan program imunisasi pada tahun 1978dan 1980, masih
ada beberapa kali wabah polio yang terjadi. Pada tahun 1988, Indonesia mencanangkan
eradikasi poliomielitis pada tahun 2000.Meskipun cakupan rutin dengan tiga dosis vaksin
poliovirus oral (OPV3)
sejak tahun 1991 mencapai lebih besar dari 90% diantara anak-anak usia 1 tahun, kasus-kasus
polio masih ditemukan. Untuk memutus transmisi polio virus maka ditetapkanlah Pekan
Imunisasi Nasional (PIN) yaitu 13-17 September 1995 dan 18-22 Oktober 1995. PIN juga
dilaksanakan pada tahun 1996 dan 1997. Program ini menghasilkan cakupan vaksinasi
terhadap lebih dari 22 .
Pada tahun 2013 di Indonesia target bayi diimunisasi polio adalah 90%, untuk Imunisasi
Polio 1 (97,92%), Polio 2 (93,76%) sudah mencapai target UCI (Universal Child
Immunization), sedangkan untuk Polio 3 (85,43%), Polio 4 (87,51%) secara keseluruhan
belum mencapai target UCI (Profile Kesehatan Indonesia Kemenkes RI, 2013). Pada tahun
2014 di Indonesia target bayi diimunisasi polio adalah 95%namun, pencapaian baru 86, 9 %.
Dari beberapa data di atas terlihat apabila imunisasi dasar polio tidak lengkap atau
cakupannya masih dibawah target, akan mengakibatkan munculnya kembali kasus polio
karena penularan virus polio dari manusia ke manusia sangatlah mudah. Namun, cakupan
imunisasi dasar polio di negara-negara anggota WHO baru mencapai 86% masih terdapat 4
% bayi yang belum sepenuhnya mendapatkan vaksinasi dan tetap beresiko terkena penyakit
polio di dunia. Target bayi yang diberikan imunisisasi dasar polio di dunia tahun 2014
sebanyak 133.918 juta bayi (90%) dari jumlah total bayi di dunia. (Global and Regional
Immunization Profile WHO, UNICEF 2015).
Dari data diatas terlihat cakupan imunisasi dasar polio masih belum mencapai target.
Kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor-faktor di
luar perilaku (non perilaku) seperti tersedianya sarana pelayanan imunisasi dan faktor
perilaku . Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan
individu maupun masyarakat. Orang tua khususnya ibu adalah faktor yang sangat penting
dalam mewariskan status kesehatan bagi bayi mereka. Lengkap atau tidaknya imunisasi dasar
polio bayi sangat tergantung padaperilaku ibu dalam mengimunisasikan bayinya.
Pelaksanaan
Hari/Tanggal : Jumat, 08 Desember 2020
Tempat : Posyandu Katelia, Kelurahan Tavanjuka
BCG
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular mematikan nomor satu terbesar dalam
kelompok penyakit infeksi dan merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya
manusia. Bayi merupakan sumber daya manusia pada masa yang akan datang. Kesehatan
bayi akan menentukan tingkat kesehatan, intelektual, prestasi dan produktivitas di masa
depan. Imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) merupakan permulaan terbaik di awal
kehidupan bayi dalam pencegahan penularan TB.Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman TB, yaitu mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar
kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI,
2002).
Bayi lebih rentan terinfeksi Mycobacterium tuberculosis penyebab TB. Hal tersebut antara
lain disebabkan oleh: sistem imunitas/ kekebalan tubuh yang belum sempurna, kontak erat
dengan orang dewasa penderita TB di sekitarnya (seperti: orang tua, kerabat dekat, pengasuh
dan sebagainya), kurangnya kesadaran orang tua untuk sedini mungkin melakukan imunisasi
dengan vaksin BCG pada bayi baru lahir dan buruknya kualitas gizi pada sebagian bayi di
Indonesia (Koplewich, 2005).
Sistem kekebalan tubuh bayi perlu ditingkatkan melalui imunisasi dengan vaksin BCG agar
terhindar dari penyakit TB yang berat, seperti TB milier dan meningitis TB. Vaksin BCG
merupakan vaksin yang terdiri dari hasil basil TB hidup yang telah dilemahkan
kemampuannya dalam menimbulkan penyakit (virulensinya), sehingga mampu merangsang
sel-sel imunitas untuk memberikan kekebalan terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Ini dilakukan tanpa membuat bayi menjadi sakit (Depkes RI, 2005).
Masalah :
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007, diketahui bahwa cakupan
imunisasi BCG di Indonesia sebesar 86,9%, angka ini belum maksimal walaupun cakupan ini
sudah mendekati Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk Universal Child Immunization
(UCI) sebesar 100 % (Depkes RI, 2008).Data kementerian Kesehatan (2010), menyatakan
bahwa pencapaianUniversal Child Imunization (UCI) desa/kelurahan yaitu sebesar 68,2%
pada Tahun 2008 dan sebesar 69,2% pada Tahun 2009. Cakupan imunisasi yang rendah salah
satunya disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat tentang program dan manfaat
imunisasi. Guna mencapai target 100% UCI desa/kelurahan pada Tahun 2014, Kepmenkes
mengembangkan Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional UCI (GAIN UCI).