Sepak Bola Dan Penyakit Rasisme
Sepak Bola Dan Penyakit Rasisme
Rasisme atau rasialisme adalah suatu paham yang merasa ras diri sendiri
merupakan ras yang paling tinggi daripada ras lainnya. Rasisme ini biasanya
dikaitkan dengan paham diskriminasi suku, agama, ras, adat, golongan atau
ciri-ciri fisik pada seseorang.
Jadi, rasisme merupakan paham diskriminasi suku, agama, ras, adat (SARA),
golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu (biologis).
Alo Liliweri
Oliver C. Cox
Darwin memperkenalkan ras sebagai sesuatu hal yang mengacu pada ciri-ciri
biologis dan fisik. Satu di antara yang paling jelas adalah warna kulit.
Mengutip Alo Liliweri dalam Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultur (2005), asal mula istilah ras diketahui muncul sekitar
tahun 1600. Kala itu, Francois Bernier, pertama kali mengemukakan gagasan
tentang perbedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna
kulit dan bentuk wajah.
Apa saja yang diajarkan orang tua pada anaknya, akan melekat dalam diri
anaknya. Hal itu berarti, orang tua menjadi satu di antara faktor penyebab
rasisme muncul.
Hal ini tersebut tentu bisa terjadi rantai kebencian yang tidak putus karena
terus didoktrin antargenerasi.
Budaya dan adat istiadat setiap pelosok daerah atau bangsa tentu berbeda-
beda yang otomatis memengaruhi pikiran, pemahaman serta perasaan
antargolongan.
Selain penyebab yang disebutkan di atas, penyebab rasisme muncul yang lain
adalah karena kesenjangan ekonomi, kesenjangan sarana dan prasarana, dan
rasa cinta yang berlebihan serta munculnya rasa iri.
Jika berbicara tentang sepak bola saat ini, pasti pikirannya ada tiga; bola,
Cristiano Ronaldo, dan Lionel Messi. Tiga hal itu paling mudah untuk
diucapkan oleh siapa pun.
Bola sudah pasti disebut, karena dialah yang dimainkan dan direbutkan oleh
22 pemain di lapangan. Bola juga sering menjadi headline bagi netizen dan
pundit sepak bola ketika ada kontroversi di dalam kotak penalti.
Biasanya ketika seperti itu pembahasannya tidak jauh dari perihal bola yang
"menghampiri" tangan dan bola yang sudah/belum melewati garis gawang.
Namun, saat ini perdebatan itu bisa mereda, karena ada dua teknologi yang
datang di lapangan, yaitu Video Assistant Referee (VAR) dan Goal Line
Technology (GLT).
Berdasarkan laga itu, perbincangan tentang dua pemain tersebut pasti akan
berlangsung sampai sepekan ke depan. Kubu penggemar Cristiano Ronaldo
akan mengatakan idolanya masih lebih baik, sedangkan kubu penggemar
Lionel Messi akan menganggap Messi masih bekerja sendirian. entah, mana
yang paling valid. Karena, sampai kedua pemain itu pensiun pun pasti masih
akan ada perbincangan tentang keduanya termasuk hasil akhir pencapaian
keduanya nanti.
Tetapi selain itu, ada topik lain di dalam sepak bola yang juga diprediksi masih
akan 'abadi', yaitu rasialisme atau yang familiar disebut rasisme. Rasialisme
adalah istilah yang melingkupi tindakan-tindakan rasial atau yang juga
familiar disebut rasis. Bisa meliputi warna kulit, perbedaan ciri-ciri tubuh
lainnya, sampai juga pada agama.
Sebenarnya sepak bola sudah semakin galak dengan hal-hal berbau rasis.
Sanksi dan denda tidak pernah absen dan tidak mau ditawar ketika ada
tindakan rasis.
Tetapi, tindakan ini akan terus ada dan bisa disebut kanker, karena sulit
dihilangkan dari tubuh sepak bola. Mengapa bisa demikian?
Satu faktor penyebab yang paling utama adalah tensi permainan. Apa yang
terjadi di lapangan bisa memengaruhi pikiran. Saat seperti itu muncullah
emosi. Emosi yang membesar bisa membuat tensi permainan menjadi tinggi.
Namun, bisa juga dengan tindakan lain, seperti menendang bola ke luar saat
ada pelanggaran dan itu sebenarnya untuk keuntungan lawan. Atau, tetap
melanjutkan permainan ketika wasit meniup peluit.
Hal-hal semacam itu bisa memancing reaksi pada kubu yang merasa
dirugikan. Ketika hal itu terjadi dan sulit terkontrol, maka kata-kata yang akan
meluncur deras adalah kata-kata rasis.
Faktor lain yang bisa pula menjadi penyebab terjadinya rasis adalah kualitas
pemain. Ada pemain-pemain yang memang tidak berkulit cerah namun teknik
bermainnya sangat mumpuni, salah satunya adalah Neymar Jr.
Pemain asal Brasil yang kini membela klub Paris Saint-Germain itu dikenal
sebagai pemain berketerampilan luar biasa. Akibatnya, dia sulit dikawal oleh
pemain bertahan lawan.
Jika Neymar sulit dihentikan secara teknik permainan, maka bisa saja
permainannya dihentikan dengan cara memancing emosinya. Tindakan itu
pernah terjadi di Ligue 1 dan membuat Neymar terpancing emosinya.
Cara semacam itu tidak hanya terjadi saat ini, tetapi sudah terjadi sangat lama.
Bahkan, di setiap liga ada tindakan rasis, dan tidak jarang melibatkan pemain-
pemain hebat yang seharusnya tidak melakukan itu.
Tetapi, ada satu faktor lain yang bisa menjadi penyebab paling mendasar yang
sebenarnya tidak hanya pada sudut pandang sepak bola, tetapi juga secara
luas. Faktor itu adalah mudahnya orang mengagumi sosok karena fisik.
Contohnya ketika Cristiano Ronaldo sukses menjadi pemain bintang dan dia
semakin pandai berdandan, apa yang dipuji oleh penggemarnya?
Ketampanannya.
Bahkan, tidak hanya kaum perempuan yang memujinya, tetapi juga kaum
lelaki dengan cara meniru gaya berpakaian dan berdandannya. Jumlahnya
pun tidak sedikit, dan obsesi semacam itu tanpa sadar sudah menjadi calon
tumbuhnya akar rasisme.
Orang akan cenderung like or dislike karena fisik, bukan pada keterampilan.
Bisa saja ada 1:1000 orang yang mau mengagumi pesepak bola karena murni
permainannya, bukan fisik. Misalnya, dengan mengagumi Thierry Henry yang
pernah berjaya di Arsenal.
Tetapi, kita harus melihat juga bahwa 1000 orang itu akan menganggap Henry
sebagai pesepak bola, bukan idola. Maksudnya, idola itu tidak hanya menjadi
panutan tentang kualitas sebagai pesepak bola, tetapi juga bisa dikagumi
tanpa harus melihat kemampuan bermain sepak bolanya.
Bahkan, tangan orang-orang yang mengunjungi toko buku atau bazar buku,
akan lebih cepat menyentuh dan menimang-nimang buku yang bersampul
menarik daripada yang biasa saja. Memang, itu sebenarnya relatif, karena ada
sangkut-paut selera di sana. Tetapi, selera terkadang dapat dipengaruhi, alias
bisa dibentuk oleh sosial-lingkungan. Itulah yang juga terjadi di sepak bola
dan kemudian mendasari penyebab sepak bola bisa "merawat" rasisme. Salah
satunya adalah sosial-lingkungan di tempat sepak bola itu berada.
Walaupun peraturan sepak bola terkait rasisme sudah ditegakkan, tetapi pola
pikir yang mendasari sosial-lingkungan masih berkutat pada penilaian fisik,
maka tindakan rasis tetap ada. Entah, secara eksplisit (disadari) atau implisit
(tidak disadari).
Itulah mengapa, penyebab utamanya rasis pada sepak bola bukan tentang
suka dan tidak suka dengan fisik, melainkan karena situasi. Ketika situasinya
sedang memanas, maka kendali terhadap norma saling menghormati sesama
akan sulit dijaga.
Perlu diketahui, bahwa laga keenam di salah satu grup yang dihuni PSG dan
Basaksehir telah terjadi keributan di tengah babak pertama. Insiden bermula
pada ofisial yang hendak memberi kartu merah ke orang yang dianggap
melakukan pelanggaran di tepi lapangan.
Ofisial itu menyebut "Ala negru" untuk merujuk pada Webo. Webo yang
awalnya hendak protes ke wasit utama, akhirnya malah memprotes ofisial
keempat.
Dia tidak terima dengan penggambaran ciri-cirinya, dan itu benar. Karena,
meskipun disebutkan bahwa 'negru' adalah bahasa Rumania yang artinya
hitam (black), tetapi tetap saja itu berarti menunjuk Webo sebagai orang kulit
hitam.
Sama seperti menyebut Webo ke dalam bahasa Inggris, "this black man".
Sama-sama berarti hitam, bukan?
Saat itu, Webo pasti sedang menciptakan provokasi atau pun protes
berlebihan yang membuat dia dicatat oleh ofisial keempat sebagai
pelanggaran. Itulah mengapa, pada akhirnya kejadian rasis di laga ini juga
masih berawal dari situasi permainan yang mulai menimbulkan perubahan
tensi permainan dan provokasi.
Jadi, selama sepak bola masih menghasilkan tensi permainan yang tinggi,
maka riak-riak rasisme akan mengintip peluang untuk tampil. Siapa yang
lengah, dia yang akan menunjukkan tindakan rasisnya. Entah, sengaja atau
tidak.
Semoga, rasisme tidak terus terjadi, agar sepak bola bisa terus dinikmati.