Anda di halaman 1dari 13

VARISES VENA

A. Pengertian.

Varises adalah vena normal yang mengalami dilatasi akibat pengaruh peningkatanan tekanan vena.
Varises ini merupakan suatu manifestasi yang dari sindrom insufiensi vena dimana pada sindrom ini
aliran darah dalam vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik menuju tungkai yang
kemudianmengalami kongesti.

Bentuk ringan dari insufisiensi vena hanya menunjukkan keluhan berupaperasaan yang tidak nyaman,
menggangu atau penampilan secara kosmetik tidak enak, namun pada penyakit vena berat dapat
menyebabkan respon sistemuk berat yang dapat menyebabkan kehilangan tungkai atau berakibat
kematian.

Keadaan insufisiensi vena kronis akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan kronis kulit dan
jaringan lunak yang dimulai dengan bengkak ringan. Perjalanan sindrom ini akhirnya akan menghasilkan
perubahan warna kulit, dermatitis stasis, selulitis kronis atau rekuren, infark kulit, ulkus, dan degenerasi
ganas. Komplikasi berat yang dapat muncul sebagai akibat dati insufisiensi vena dapat berupa ulkus
pada tungkai yang kronis dan sulit menyembuh, phlebitis berulang, dan perdarahan yang berasal varises,
dan hal ini dapat diatasi dengan penanganan dan koreksi pada insufisiensi vena itu sendiri.

Kematian dapat terjadi sebagai akibat dari perdarahan yang bersumber dari varises vena friabel, tapi
kematian yang diakibat oleh varises vena paling dekat dihubungkan dengan adanya troboemboli vena
sekunder. Pasien dengan varises vena mempunyai risiko tinggi mengalami trobosis vena profunda (deep
vein thrombosis,DVT) karena menyebabkan gagguan aliran darah menjadi aliran darah statis yang sering
menyebabkan phlebitis superfisial kemudian berlanjut menjadi perforasi pembuluh darah vena
termasuk pembluluh darah venaprofunda. Pada penatalaksaan penderita dengan varises vena perlu
diperhatikan kemungkinan adanya DVT karena adanya tromboemboli yang tidak diketahui dan tidak
diterapi akan meningkatkan terjadinya mortalitas sekitar

30-60%.Varises vena baru mungkin dapat muncul setelah adanya episode DVT yang tidak diketahui yang
menyebabkan kerusakan pada katup vena. Pada pasien ini adanya faktor risiko yang mendasari untuk
terjadinya tromboemboli dan memiliki risiko tinggi untuk terjadi rekurensi.

Klasifikasi

Vena varikosa diklasifikasikan (Sabiston 1994): a. Vena varikosa primer, merupakan kelainan tersendiri
vena superficial ekstremitas bawah b. Vena varikosa sekunder, merupakan manifestasi insufisiensi vena
profunda dan disertai dengan beberapa stigmata insufisiensi vena kronis, mencakp edema, perubahan
kulit, dermatitis stasis dan ulserasi.

B. ANATOMI FISIOLOGI

Vena Safena Magna (VSM) berawal dari sisi medial kaki merupakan bagian dari lengkung vena dan
mendapat percabangan dari vena profunda pada kaki yang kemudian berjalan keatas sepanjang sisi
anterior malleolus medialis. Dari pergelangan kaki, VSM berjalan pada sisi anteromedial betis sampai
lutut dan ke bagian paha dimana terletak lebih medial. Dari betis bagian atas sampai pelipatan paha
VSM ditutupi oleh sebuah fasia tipis dimana fasia ini berfungsi untuk mencegah agar vena ini tidak
berdilatasi secara berlebihan. NormalnyaVSM memiliki ukuran normal 3-4 mm pada pertengahan paha.

Sepanjang perjalanannya sejumlah vena peforata mungkin menghubungkan antara VSM dengan sistem
vena profunda pada regio femoral, tibia posterior, gstrocnemius, dan vena soleal (gambar 1). Antara
pergelangan kaki dan lutut terdapat Cockett perforator, yang merupakan kelompok vena perforata yang
menghubungkan sistem vena profunda dengan lengkung vena posterior yang memberikan percabangan
ke v. Safena Magna dari bawah pergelangan kaku dan berakhir di VSM di bawah lutut. elain vena
perforata pada beberapa vena superfisial juga memberikan cabang ke VSM. Sedikit di bawah
Safenofemoral Junction (SFJ), VSM menerima percabangan dari cabang kutaneus lateral dan medial
femoral, vena iliaka sirkumfleksa eksterna, vena episgatrika superfisialis, dan vena pudenda interna.
Apabila vena-vena ini mengalami refluks akan bermanifestasi pada paha bagian bawah dan bêtis bagian
atas. Akhir dari perjalanan VSM berakhir di vena femoralis bercabangan ini disebut dengan
Safenofemoral junction. pada pertemuan antara vena safena magna dengan vena femoralis terdapat
katup terakhir dari VSM

ETIOLOGI

Berbagai faktor intrinsik berupa kondisi patologis dan ekstriksi yaitu faktorlingkungan bergabung
menciptakan spektrum yang luas dari penyakit vena. Penyebab terbanyak dari varises vena adalah oleh
karena peningkatan tekanan vena superfisialis, namun pada beberapa penderita pembentukan varises
vena ini sudah terjadi saat lahir dimana sudah terjadi kelenahan pada dinding pembuluh darah vena
walaupun tidak adanya peningkatan tekanan vena. Pada pasien ini juga didapatkan distensi abnormal
vena di lengan dan tangan.

Herediter merupakan faktor penting yang mendasari terjadinya kegagalan katup primer, namun faktor
genetik spesifik yang bertanggung jawab terhadap terjadi varises masih belum diketahui. Pada penderita
yang memiliki riwayat refluks pada safenofemoral junction (tempat dimana v. Safena Magna bergabung
dengan v. femoralis kommunis) akan memiliki risiko dua kali lipat. Pada penderita kembar monozigot,
sekitar 75 % kasus terjadi pada pasangan kembarnya. angka prevalensi varises vena pada wanita sebesar
43 % sedangakan pada lakilaki sebesar 19 %.

Keadaan tertentu seperti berdiri terlalu lama akan memicu terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik
dalam vena hal ini akan menyebakan distensi vena kronis dan inkopetensi katup vena sekunder dalam
sistem vena superfisialis. Jika katup penghubung vena dalam dengan vena superfisialis di bagian
proksimal menjadi inkopeten, maka akan terjadi perpindahan tekanan tinggi dalam vena dalam ke
sistem vena superfisialis dan kondisi ini secara progresif menjadi ireeversibel dalam waktu singkat.

Setiap orang khususnya wanita rentan menderita varises vena, hal ini dikarenakan pada wanita secara
periodik terjadi distensi dinding dan katup vena akibat pengaruh peningkatan hormon progrestron.
Kehamilan meningkatkan kerentangan menderita varises karena pengaruh faktor hormonal dalam
sirkulasi yang dihubungkan dengan kehamilan. Hormon ini akan meningkatkan kemampuan distensi
dinding vena dan melunakkan daun katup vena. pada saat bersaan, vena harus mengakomodasikan
peningkatan volume darah sirkulasi. Pada akhir kehamilan terjadi penekanan vena cava inferior akibat
dari uterus yang membesar. penekanan pada v. cava inferior selanjutnya akan menyebabkan hipertensi
vena dan distensi vena tungkai sekunder. berdasarkan mekanisme tersebut varises vena pada kehamilan
mungkin akan menghilang setelah proses kelahiran. pengobatan pada varises yang sudah ada sebelum
kehamilan akan menekan pembentukan varises pada vena yang lain selama kehamilan.

Umur merupakan faktor risiko independen dari varises. Umur tua terjadi atropi pada lamina elastis dari
pembuluh darah vena dan terjadi degenerasi lapisan otot polos meninggalkan kelemahan pada vena
sehingga meningkatkan kerentanan mengalami dilatasi.

Varises vena juga dapat terjadi apabila penekanan akibat adanya obstruksi. Obstruksi akan menciptakan
jalur baypass yang penting dalam aliran darah vena ke sirkulasi sentral, maka dalam keadaan vena yang
mengalami varises tidah dianjurkan untuk di ablasi.

D. TANDA DAN GEJALA

Tegang, kram otot, sampai kelelahan otot tungkai bawah.

Edema tumit dan rasa berat tungkai dapat pula terjadi, sering terjadi kram di malam hari.

Terjadi peningkatankepekaan terhadap cedera dan infeksi.

Apabila terjadi obstruksi vena dalam pada varises, pasien akan menunjukkan tanda dan gejala
insufisiensi vena kronis; edema, nyeri, pigmentasi, dan ulserasi.

Gejala subjektif biasanya lebih berat pada awal perjalanan penyakit, lebih ringan pada pertengahan dan
menjadi berat lagi seiring berjalannya waktu.Gejala yang muncul umunya berupa kaki terasa berat, nyeri
atau kedengan sepanjang vena, gatal, rasa terbakar, keram pada malam hari, edema, perubahan kulit
dan kesemutan. Nyeri biasanya tidak terlalu berat namun dirasakan terus-menerus dan memberat
setelah berdiri terlalu lama.

Nyeri yang disebabkan oleh insufisiensi vena membaik bila beraktifitas seperti berjalan atau dengan
mengangkat tungkai, sebaliknya nyeri pada insufisiensi arteri akan bertambah berat bila berjalan dan
tungkai diangkat.

FAKTOR PEMICU

Beberapa faktor pemicu terjadinya varises, antara lain:

Peningkatan tekanan pembuluh darah vena permukaan (vena superfisialis) oleh berbagai sebab.

Obesitas (kegemukan)

Berdiri lama (terutama para pekerja yang dituntut berdiri lama)


Faktor hormonal

Kehamilan

Obat-obat kontrasepsi (KB)

Faktor keturunan (genetik)

GEJALA DAN KELUHAN

Berdasarkan berat ringannya penyakit dan keluhan, varises terbagi menjadi 4 stadium, yakni:

Stadium I : Pada stadium ini keluhan biasanya tidak spesifik. Pada umumnya ditandai dengan keluhan
tungkai, diantaranya: gatal, rasa terbakar, rasa kemeng, kaki mudah capek, kesemutan (gringgingen),
rasa pegal.

Stadium II: Pada stadium ini ditandai dengan warna kebiruan yang lebih nyata pada pembuluh darah
vena (fleboekstasia).

Stadium III: Pembuluh darah vena nampak melebar dan berkelok-kelok. Keluhan pada tungkai makin
nyata dan makin kerap dialami.

Stadium IV: Pada stadium ini ditandai dengan timbulnya berbagai penyulit (komplikasi), antara lain:
dermatitis, tromboplebitis, selulitis, luka (ulkus), perdarahan varises, dan gangguan pembuluh darah
vena lainnya.

PENGOBATAN Pada dasarnya pilihan pengobatan varises terdiri dari pengobatan tanpa operasi, pada
stadium I dan II, serta pengobatan dengan operasi terutama pada stadium III dan IV. Pengobatan tanpa
operasi:

Pengobatan menggunakan bebat elastik (elastic bandage), kaos kaki kompresi dan pemakaian sepatu
bertumit tinggi.

Obat-obat vasoprotektif (anti varises), diminum ataupun melalui suntikan.

PATOFISIOLOGI Keterangan: Biasanya kerusakan diakibatkan kerena adanya suatu hambatan aliran
darah dan tekanan hidrostatik yang terlau besar.

Pada keadaan normal katup vena bekerja satu arah dalam mengalirkan darah vena naik keatas dan
masuk kedalam. Pertama darah dikumpulkan dalam kapiler vena superfisialis kemudian dialirkan ke
pembuluh vena yang lebih besar, akhirnya melewati katup vena ke vena profunda yang kemudian ke
sirkulasi sentral menuju jantung dan paru. Vena superficial terletak suprafasial, sedangkan vena vena
profunda terletak di dalam fasia dan otot. Ven perforate mengijinkan adanya aliran darah dari ven
asuperfisial ke\ vena profunda.

Di dalam kompartemen otot, vena profunda akan mengalirkan darah naik keatas melawan gravitasi
dibantu oleh adanya kontraksi otot yang menghasikan suatu mekanisme pompa otot. Pompa ini akan
meningkatkan tekanan dalam vena profunda sekitar 5 atm. Tekanan sebesar 5 atm tidak akan
menimbulakan distensi pada vena profunda dan selain itu karena vena profunda terletak di dalam fasia
yang mencegah distensi berlebihan. Tekanan dalam vena superficial normalnya sangat rendah, apabila
mendapat paparan tekanan tinggi yang berlebihan akan menyebabkan distensi dan perunbahan bentuk
menjadi berkelok-kelok.

Keadaan lain yang meyebabkan vena berdilatasi dapat dilihat pada pasien dengan dialisis shunt dan
pada pasien dengan arterivena malformation spontan. Pada pasien tersebut terjadi peningkatan
tekanan dalam pembuluh darah vena yang memberikan respon terhadap vena menjadi melebar dan
berkelok-kelok. Pada pasien dengan kelainan heresiter berupa kelemahan pada dinding pembuluh darah
vena, tekanan vena normal pada pasien ini akan menyebabkan distensi venambuluh vena paling sering
dan vena menjadi berkelok-kelok.

Peningkatan di dalam lumen paling sering disebabkan oleh terjadinya insufisiensi vena dengan adanya
refluks yang melewati katup vena yang inkompeten baik terjadi pada vena profunda maupun pada vena
superficial. Peningkatan tekanan vena yang bersifat kronis juga dapat disesbabkan oleh adanya obstruksi
aliran darah vena. Penyebab obstruksi ini dapat oleh karena thrombosis intravascular atau akibat adanya
penekanan dari luar pembuluh darah. Pada pasien dengan varises oleh karena obstruksi tidak boleh
dilakukan ablasi pada varisesnya karena segera menghilang setelah penyebab obstruksi dihilangkan.

Kegagalan katup pada vena superfisal paling umum disebabkan oleh karena peningkatan tekanan di
dalam pembuluh darah oleh adanya insufisiensi vena. Penyebab lain yang mungkin dapat memicu
kegagalan katup vena yaitu adanya trauma langsung pada vena adanya kelainan katup karena
thrombosis. Bila vena superficial ini terpapar dengan adanya tekanan tinggi dalam pembuluh darah ,
pembuluh vena ini akan mengalami dilatsi yang kemudian terus membesar sampai katup vena satu
sama lain tidak dapat saling betemu.

Kegagalan pada satu katup vena akan memicu terjadinya kegagalan pada katup-katup lainnya.
Peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam system vena superfisial akan menyebabkan terjadinya
dilatasi vena yang bersifat local. Setelah beberapa katup vena mengalami kegagalan, fungsi vena untuk
mengalirkan darah ke atas dan ke vena profunda akan mengalami gangguan. Tanpa adanya katup-katup
fungsional, aliran darah vena akan mengalir karena adanya gradient tekanan dan gravitasi.

Varises vena pada kehamilan paling sering disebabkan oleh karena adanya perubahan hormonal yang
menyebabkan dinding pembuluh darah dan katupnya menjadi lebih lunak dan lentur, namun bila
terbentuk bvarises selama kehamilan hal ini memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menyingkir adanya
kemungkinan disebabkan oleh keadaan DVT akut.

Kerusakan yang terjadi akibat insufisiensi vena berhubungan dengan tekanan vena dan volume darah
vena yang melewati katup yang inkompeten. Sayangnya penampilan dan ukuran dari varies yang terlihat
tidak mencerminkan keadaan volume atau tekanan vena yang sesungguhnya. Vena yang terletak
dibawah fasia atau terletak subkutan dapat mengangkut darah dalam jumlah besar tanpa terlihat ke
permukaan. Sebaliknya peningkatan tekanan tidak terlalu besar akhirnya dapat menyebabkan dilatasi
yang berlebihan.

F. Pemeriksaan klinis (diagnostic)

Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan: a. Test trendelenberg b. Test myer c. Test perthes d. Test
Doppler e. Radiologi (phlebografi, morfometri, phlethysmografi) Selain itu ada beberapa macam
pemeriksaan klinis lainya, berikut dijabarkan beserta penjelasannya.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik system vena penuh dengan kesulitan karena sebagian besar sistem vena profunda
tidak dapat dilakukan pemeriksaan langsung seperti inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi. Pada
sebagian besar area tubuh, pemeriksaan pada system vena superfisial harus mencerminkan keadaan
sistem vena profunda secara tidak langsung.

Pemeriksaan vena dapat dilakukan secara bertahap melalui inspeksi, palpasi, perkusi, dan pemeriksaan
menggunakan Doppler. Hasil pemeriksaan tersebut nantinya dibuatkan peta mengenai gambaran
keadaan vena yang di terjemahkan ke dalam bentuk gambar. Gambar ini akan memberikan informasi
mengenai penatalaksaan selanjutnya.

a. InspeksiInspeksi tungkai dilakukan dari distal ke proksimal dari depan ke belakang. Region perineum,
pubis, dan dinding abdomen juga dilakukan inspeksi. Pada inspeksi juga dapat dilihat adanya ulserasi,
telangiektasi, sianosis akral, eksema, brow spot, dermatitis, angiomata, varises vena prominent, jaringan
parut karena luka operasi, atau riwayat injeksi sklerotan sebelumnya. Setiap lesi yang terlihat
seharusnya dilakukan pengukuran dan didokumentasikan berupa pencitraan. Vena normalnya terlihat
distensi hanya pada kaki dan pergelangan kaki. Pelebaran vena superfisial yang terlihat pada region
lainnya pada tungkai biasanya merupakan suatu kelainan. Pada seseorang yang mempunyai kulit yang
tipis vena akan terlihat lebih jelas.

Stasis aliran darah vena yang bersifat kronis terutama jika berlokasi pada sisi medial pergelangan kaki
dan tungkai menunjukkan gejala seperti perubahan struktur kulit. Ulkus dapat terjadi dan sulit untuk
sembuh, bila ulkus berlokasi pada sisi media tungkai maka hal ini disebabkan oleh adanya insufusiensi
vena. Insufisiensi arteri dan trauma akan menunjukkan gejala berupa ulkus yang berloksi pada sisi
lateral.

b. PalpasiPalapsi merupakan bagian penting pada pemeriksaan vena. Seluruh permukaan kulit dilakukan
palpasi dengan jari tangan untuk mengetahui adanya dilatasi vena walaupun tidak terlihat ke
permukaan kulit. Palpasi membantu untuk menemukan keadaan vena yang normal dan abnormal.
Setelah dilakukan perabaan pada kulit, dapat diidentifikasi adanya kelainan vena superfisial. Penekanan
yang lebih dalam dapat dilakukan untuk mengetahui keadaan vena profunda.

Palpasi diawali dari sisi permukaan anteromedial untuk menilai keadaan SVM kemudian dilanjutkan
pada sisi lateral diraba apakah ada varises dari vena nonsafena yang merupakan cabang kolateral dari
VSM, selanjutnya dilakukan palpasi pada permukaan posterior untuk meinail keadaan VSP. Selain
pemeriksaan vena, dilakukan juga palpasi denyut arteri distal dan proksimal untuk mengetahui adanya
insufisiensi arteri dengan menghitung indeks ankle-brachial. Nyeri pada saat palpasi kemungkinan
adanya suatu penebalan, pengerasan, thrombosis vena. Empat puluh persen DVT didapatkan pada
palpasi vena superfisialis yang mengalami thrombosis.

c. PerkusiPerkusi dilakukan untuk mengetahui kedaan katup vena superficial. Caranya dengan mengetok
vena bagian distal dan dirasakan adanya gelombang yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal.
Katup yang terbuka atau inkopeten pada pemeriksaan perkusi akan dirasakan adanya gelombang
tersebut.

Manuver Perthes

Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran darah retrograde dengan
aliran darah antegrade. Aliran antergrade dalam system vena yang mengalami varises menunjukkan
suatu jalur bypass karena adanya obstruksi vena profunda. Hal ini penting karena apabila aliran darah
pada vena profunda tidak lancar, aliran bypass ini penting untuk menjaga volume aliran darah balik vena
ke jantung sehingga tidak memerlukan terapi pembedahan maupun skeroterapi.

Untuk melakukan manuver ini pertama dipasang sebuah Penrose tourniquet atau diikat di bagian
proksimal tungkai yang mengalami varises. Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk menekan vena
superficial saja. Selanjutnya pasien disuruh untuk berjalan atau berdiri sambil menggerakkan
pergelangan kaki agar sistem pompa otot menjadi aktif. Pada keadaan normal aktifitas pompa otot ini
akan menyebabkan darah dalam vena yang mengalami varises menjadi berkurang, namun adanya
obstruksi pada vena profunda akan mengakibatkan vena superficial menjadi lebih lebar dan distesi.

Perthes positif apabila varises menjadi lebih lebar dan kemudian pasien diposisikan dengan tungkai
diangkat (test Linton) dengan tourniquet terpasang. Obstruksi pada vena profunda ditemukan apabila
setelah tungkai diangkat, vena yang melebar tidak dapat kembali ke ukuran semula.

Tes Trendelenburg

Tes Trendelenburg sering dapat membedakan antara pasien dengan refluks vena superficial dengan
pasien dengan inkopetensi katup vena profunda. Tes ini dilakukan dengan cara mengangkat tungkai
dimana sebelumnya dilakukan pengikatan pada paha sampai vena yang mengalami varises kolaps.
Kemudian pasien disuruh untuk berdiri dengan ikatan tetap tidak dilepaskan. Interpretasinya adalah
apabila varises yang tadinya telah kolaps tetap kolaps atau melebar secara perlahan-lahan berarti
adanya suatu inkopenten pada vena superfisal, namun apabila vena tersebut terisi atau melebar dengan
cepat adannya inkopensi pada katup vena yang lebih tinggi atau adanya kelainan katup lainnya.

Auskultasi menggunakan Doppler

Pemeriksaan menggunakan Doppler digunakan untuk mengetahui arah aliran darah vena yang
mengalmi varises, baik itu aliran retrograde, antegrade, atau aliran dari mana atau ke mana. Probe dari
dopple ini diletakkan pada vena kemudian dilakukan penekanan pada vena disisi lainnya. Penekanan
akan menyebabkan adanya aliran sesuai dengan arah dari katup vena yang kemudian menyebabkan
adanya perubahan suara yang ditangkap oleh probe Doppler. Pelepasan dari penekanan vena tadi akan
menyebabkan aliran berlawanan arah akut. Normalnya bila katup berfungsi normal tidak akan ada aliran
berlawanan arah katup saat penekanan dilepaskan, akhirnya tidak aka nada suara yang terdengar dari
Doppler.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium saat ini tidak bermanfaat dalam menegakkan diagnosis atau terapi varises
vena.

Pemeriksaan Imaging

Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan seluruh area yang
mengalami obstruksi dan refluks dalam system vena superficial dan system vena profunda. Pemeriksaan
yang dapat dialkukan yaitu venografi dengan kontras, MRI, dan USG color-flow dupleks. USG dupleks
merupakan pemeriksaan imaging standar yang digunakan untuk diagnosis sindrom insufisiensi vasirses
dan untuk perencanaan terapi serta pemetaan preoperasi. Color-flow USG (USG tripleks) digunakan
untuk mengetahui keadaan aliran darah dalam vena menggunakan pewarnaan yang berbeda.
Pemeriksaan yang paling sensitive dan spesifik yaitu menggunakan Magnetic Resonance venography
(MRV) digunakan untuk pemeriksaan kelainan pada sistem vena profunda dan vena superficial pada
tungkai bawah dan pelvis. MRV juga dapat mengetahui adanya kelainan nonvaskuler yang menyebabkan
nyeri dan edema pada tungkai. Venografi dengan kontras merupakan teknik pemeriksaan invasive. Saat
ini venografi sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemeriksaan USG dupleks sebagai
pemeriksaan rutin penyakit vena. Sekitar 15 % pasien yang dilakukan pemeriksaan venografi ditemukan
adanya DVT dan pembentukan trombosisi baru setelah pemberian kontras.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS Terapi Non Operatif

1. Kaus Kaki Kompresi (Stocking)

Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan hemodinamik pasien dengan varises
vena dan mengilangkan edema. Kaus kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil
yang maksimal. Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang menggunakan kaus kaki ini
selama 1 tahun setelah menderita DVT mencegah terjadi ulkus pada kaki. Kekurangan menggunakan
kaos kaki ini adalah dari segi harga yang relatif mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang
kurang baik. Pada penelitian randomize controlled trial compression menggunakan stoking (grade I dan
II) dibandingkan dengan kontrol penggunaan kaus kaki ini mengurangi terjadinya refluks VSM dan
mengurangi keluhan dan gejala varises pada wanita hamil namun tidak ada perbedaan terhadap
pembentukan varises vena.

2. Skleroterapi

Skleroterapi dilakukan dengan menyuntikkan substansi sklerotan kedalam pembuluh darah yang
abnormal sehingga terjadi destruksi endotel yang diikuti dengan pembentukan jaringan fibrotik.
Sklerotan yang digunakan saat yaitu ferric chloride, salin hipertonik, polidocanol, iodine gliserin, dan
sodium tetradecyl sulphate, namun untuk terapi varises vena safena paling umum digunakan saat ini
adalah sodium tetradecyl sulphate dan polidacanol. Kedua bahan ini dipilih karena sedikit menimbulkan
reaksi alergi, efek pada perubahan warna kulit (penumpukan hemosiderin) yang rendah, dan jarang
menimbulkan kerusakan jaringan apabila terjadi ekstravasasi ke jaringan.

Terapi menggunakan kombinasi skleroterapi dengan ligasi safenofemoral junction sangat pupuler
dilakukan pada tahun 1960an dan 1970an, terapi kombinasi ini diberikan setelah dilakukan pembedahan
konvensional untuk menghilangkan vaarises residual setelah operasi. Sebuah penelitian yang
membandingkan antara kombinasi skleroterapi dengan ligasi SFJ dibandingkan kombinas ligasi SFJ
dengan stripping didapatkan angka rekurensi klinis dan rekuresnsi terjadinya refluks SFJ yang lebih tinggi
pada kelompok yang menggunakan skleroterapi.

Sklerotan dibagi berdasarkan jenis substansinya yaitu yang berbentuk foam dan benbentuk liquid. Pada
sklerotan jenis foam memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis liquid yaitu dosis yang
lebih sedikit, lebih efektif dan menimbulkan komplikasi yang lebih rendah. Pada sebuah penelitian non-
randomised membandingkan antara sklerotan jenis foam dengan liquid didapatkan angka oklusi
pembuluh darah yang lebih tinggi (67 % dengan 17 % dalam 1 tahun) dan angka gejala klinis yang lebih
rendah (8,1 % dan 25 %) pada pasien yang menggunakan sklerotan foam. Tidak ada komplikasi
ditemukan pada penelitian ini. Penelitian randomized trial lebih lanjut yang membandingkan antara
polidocalol foam dengan polidocanol liquid didapatkan dalam terapi VSM inkompen (diameter < 8 mm)
didapatkan keberhasilan dalam mengablasi refluks VSM lebih tinggi pada polidocanol jenis foam ( 84%
lawan 14 %).

Terapi Minimal Invasif

1. Radiofrekuensi ablasi (RF)

Radiofrekuensi adalah teknik ablasi vena menggunakan kateter radiofrekuensi yang diletakkan di dalam
vena untuk menghangatkan dinding pembuluh darah dan jaringan sekitar pembuluh darah. Pemanasan
ini menyebakan denaturasi protein, kontraksi kolagen dan penutupan vena. Kateter dimasukkan sampai
ujung aktif kateter berada sedikit sebelah distal SFJ yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan USG.
Ujung kateter menempel pada endotel vena, kemusian energy radiofrekuensi dihantarkan melalui
kateter logam untuk memanaskan pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Jumlah energy yang
diberikan dimonitor melalui sensor termal yang diletakkan di dalam pembuluh darah. Sensor ini
berfungsi mngatur suhu yang sesui agar ablasi endotel terjadi.

Penelitian multi-center didapat 85 % VSM mengalami obliterasi pada 2 tahun. Dua penelitian
randomizedcontrolled trial yang membandingkan ablasi radiofrekuensi dengan pembedahan
konvensional. Penelitian pertama Lurie et al melaporkan hasil dari EVOLVeS Study yang merupakan
percobaan multi-center dengan 81 pasien yang dilakukan radiofrekuensi ablasi atau ligasi SFJ, Stripping
VSM dan phlebectomy. Hasil yang didapat 81 % oklusi VSM pada kelompok RF ablasi dengan lama waktu
perwatan lebih singkat dari pada kelompok pembedahan ( 74 SD 10 mnt Vs 89 SD 12 mnt), lebih cepat
pada RF ablasi (1,39 Vs 6,65 hari kerja). Walaupun komplikasi yang sitimbulkan pada RF ablasi lebih
sedikit, komplikasi pasca terapi berupa parestesia lebih banyak pada kelompok RF ablasi ( 16%
dibandingkan 6 % pada kelompok pembedahan, tetapi tidak signifikan). Interpretasi hasil study EVOLVeS
sulit dilakukan karena berbagai variasi teknik anestesi dan prosedur yang dilakukan pada berbagai
Center. Selain itu jumlah sample yang kecil tidak cukup kuat untuk menampilkan signifikansi perbedaan
antara teknik yang dilakukan.

Penelitian kedua , Rautio randomized pada 28 pasien yang mendapatkan RF ablasi atau pembedahan
konvensional. Kedua kelompok ini dilakukan di bawah anestesi umum. Hasil yang didapat penurunan
rata-rata VCSS (venous clinical severity score). Pada RF ablasi didapat score VCSS 5,1 (SD=1,5) dan pada
pembedahan didapat 4,4 (SD=1), nyeri pasca pembedahan secara signifikan lebih rendah pada RF ablasi
dibandingkan kelompok pembedahan konvensional, komplikasi parestesia didapatkan 13 % pada
kelompok RF dan 23 % pada pembedahan, Thomboplebitis sistemik didapat 20 % pada kelompok RF.
Biaya pengobatan lebih besar pada kelompo RF ablasi dibandingkan dengan kelompok pembedahan
konvensional.

Pada beberapa penelitian individual didapatkan komplikasi yang lebih rendah pada RF ablasi. Safena
neuritis 349%, kulit terbakar 2-7 %, hematoma dan phlebitis. DVT dilaporkan sekitar 1 % dan 0,3 %
terjadi emboli pulmonum.

2. Endovenous Laser Therapy (EVLT)

Salah satu pilihan terapi varises vena yang minimal invasive adalah dengan Endovenous laset therapy
(EVLT). Keuntungan yang didapat menggunakan pilihan terapi ini adalah dapat dilakukan pada pasien
poliklinis di bawah anestesi local. EVLT yang secara luas digunakan menggunakan daya sebesar 10 14
watt. Prosedurnya EVLT menggunakan fibre laser yang dimasukkan ke distal VSM sampai SFJ dibawah
control USG.

Prosedur yang dilakukan pertama-tama dialkuakn anestesi local perivena dengan jalan memberikan
infiltrasi di sekitar pembuluh darah pepanjang VSM. Tujuannya selain memberikan efek analgesia juga
memberikan efek penekanan pada vena agar dinding vena beraposisi dengan fibred an berperan sebagai
“heat sink” mencegah kerusakan jaringan local.

EVLT tidak menyebabkan vena segera menjadi mengecil bila dibandingkan dengan apabila dilakukan FR
ablation, tetapi vena akan mengecil secara gradual beberapa minggu sampai tidak tampak setelah 6
bulan dengan pemerikasaan USG, kemudia diikuti dengan kerusakan endotel, nekrosis koagulatif,
penyempitan dan thrombosis vena.

Pada sebuah penelitian observasional, VSM mengecil 94 –99 % dengan perbaikan penampilan varises
superficial dan menurunkan gejala yang timbul. Dilaporkan oleh Min et al, sekitar 500 pasien yang di
follow-up selam 3 tahun didapatkan abalsi VSM sebesar 98 % pada 1 bulan dan 93 % pada 2 tahun.

Komplikasi utama yang muncul seperti bruising (24 %) dan thomboplebitis (5%), tetapi tidak didapatkan
adanya DVT, perasaan terbakar atau parestesia. Debandingkan dengan RF abalaton absennya komplikasi
DVT adalah kemungkinan karena duarsi terapi yang lebih singkat, kontak dengan kateter trombogenik
yang lebih singkat, dan suhu yang digunakan lebih tinggi.
Terapi Pembedahan

1. Ambualtory phlebectomy (Stab Avulsion)

Teknik yang digunakan adalah teknik Stab-avulsion dengan menghilangkan segmen varises yang pendek
dan vena retikular dengan jalan melakukan insisi ukuran kecil dan menggunakan kaitan khusus yang
dibuat untuk tujuan ini, prosedur ini dapat digunakan untuk menghilangkan kelompok varises residual
setelah dilakukan sphenectomy. Mikroinsisi dibuat diatas pembuluh darah menggunakan pisau kecil
atau jarum yang berukuran besar. Selanjutnya kaitan phlebectomu dimasukkan ke dalam dan vena
dicapai melalui mikroinsisi ini. Menggunakan kaitan kemusian dilakukan traksi pada vena, bagian vena
yang panjang dipisahkan dari perlekatan sekitarnya.. bila vena tidak dapat ditarik apat dilakukan insuisi
di tempat lain dan proses diulangi dari awal sampai keseluruhan vena.

2. Saphectomy

Teknik saphenektomi yang paling popular saat ini adalah teknik menggunakan peralatan stripping
internal dan teknik invaginasi dengan jalan membalik pembuluh darah dan menariknya menggunakan
traksi endovenous, teknik tersebut dapat menurunkan terjadinya cedera pada struktur di
sekitarnya.Gambar 5-6. Untuk menghilangkan VSM, sebuah insisi dibuat 2-3 cm sebelah medial lipatan
paha untuk melihat SFJ.

Sebelum melakukan stripping pada VSM, semua percabangan dari SFJ harus diidentifikasi dan dilakukan
ligasi untuk memilinimalkan terjadinya rekurensi. Setelah ligasi dan pemisahan Junction, peralatan
stripping dimasukkan ke dalam VSM di lipatan paha didorong sampai level cruris selnajutnya alat
strippeer dikeluarkan melalui insisi yang dibuat (5 mm ataiu lebih kecil) sekitar 1 cm dari tuberosity tibia
pada lutut. Kemudia head stripper dipasangkan pada lipatan paha dan dikunci pada ujung proksimal
vena. Pembuluh darah kemudian ditarik dan dilipat ke dalam lumen vena sepanjang pembuluh darah
sampai pintu keluar yang dibuat sebelumnya di bagian distal. Jika di perlukan dapat diberikan gaas yang
berisi efinefrin atau dilakukan ligasi untuk tujuan hemostasis setelah dilakukan stripping.

Teknik lama dalam stripping vena sudah ditinggalkan karena tingginya insiden komplikaasi yang terjasi
setelah dilakukan stripping, komplikasi ini meliputi kerusakan pada nervus safena, yang berlokasi sangat
dekat dengan vena pada regio lutut.

Komplikasi banyak terjadi pada bila VSP dikeluarkan, karena anatomi dan risiko terjadinya cedera pada
vena poplitea dan nerevus peroneal lebih besar. Safenopopliteal junction harus diidentifikasi dengan
pemeriksaan dupleks USG sebelum dilakukan deseksi, dan visualisasi dari Safeno popleteal jungtion
secara langsung yang adekuat sangat pentingdilakukan. Setelah dilakukan ligasi dan pemisahan junction,
sebiauh peralatan stripping dimasukkan ke dalam vena sampai distal cruris dan dikeluarkan melalui
pintu yang dibuat dengan insisi (2 -4 mm). Selanjutnya stripper dikunci di proksimal vena dan dilakukan
invaginasi dan ditarik dari daerah lutut sampai daerah pergelngan kaki

Modifikasi Teknik Pembedahan

1. Ambulatory Conservative Haemodynamic Management (ACHM or CHIVA)


Conservative haemodynamic surgery for varicose veins (CHIVA) adalah sebuah teknik pembedahan
fisiologis meliputi identifikasi mengugunakan ultrasound dupleks dan ligasi refluk. Vena perforata dan
vena safena dipersiapkan dan tidak dilakukan tindakan phlebektomi. Walaupun terdapat peningkatan
hemodinamik dan morbilitas yang rendah namun agka rekurensi masih cukup tingg sebesar 35 % pada 3
tahun. Namun pada sebuah studi yang membandingkan antara ligasi SFJ, stripping, dan phlebektomi
dilaporkan hasil yang sama pada 3 tahun tapi dengan kerusakan pada nervus cutaneus yang lebih sedikit
pada kelompok CHIVA. Prosedur ini belum secara luas digunakan karena teknik yang relatif lebih rumit.

2. Transilluminated Powered Phlebectomy Ablation of Varicosities (TriVexe)

Phelebektomi dengan transiluuminasi merupakan metode unutk ablasi varises yang lebih cepat dan
reliabel. Teknik memungkinkan dilakukan insisi dan menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit.
Beberapa studi melaporkan peningkatan biaya operasi, peningkatan insiden terjadinya hematome, dan
parestesia pada pasien dengan TriVex. Walupun demikian teknik ini mungkin bermanfaan pada
pembedahan dengan varises yang rekuren dimana didapatkan jaringan parut perivaskular dan
kekkakuan pembuluh vena yang menurunkan efikasi bila dilakukan stab avulsion konvensional

3. Subfascial Endoscopic Perforator Ligation (SEPS) and The Linton Procedure

Peran dari vena perforata dalam etiologi varises vena masih kontroversi. Bagaimanapun ukuran dan
persentase vena perforata yang mengalami inkompenten di sisi medial cruris menunjukkna hubungan
dengan severitas penyakit insufisiensi vena kronis. Beberapa ahli bedah vaskurel berpendapat ligasi
pada vena perforata merupakan tindakan yang tidak rutin dilakukan.

Bila ligasi vena perforata diperlukan untuk mengisolasi vena perforata yang inkompeten, tindakan ligasi
endoskopi lebih disarankan dibandingkan dengan operasi terbuka untuk menghindari masalah dengan
penyembuhan luka operasi. Atau bila dilakukan operasi terbuka, penentuan vena perforata melalui
pemeriksaan ultraound mungkin dapat mengatasi masalah penyembuhan luka operasi bila dibandingkan
dengan prosedur Linton tradisional

4. External Valvular Stents

Penggunaan valvular stent eksternal diperkenalkan oleh Lane merupakan sebuah solusi yang fisiologis
dalam mengatasi refluks vena dengan mempertahankan VSM. Dia medriskripsikan pada 1500 pasien
walaupun ourcome data hanya tersedia pada 107 pasien saja menunjukkan setelah folow-up selama 57
bulan , 90 % didapatakan dengan SFJ yang kompeten dengan rara-rata penuruanan diameter VSM dari
7,6 menjasi 4,8 mm. Rekurensi secara klinis menurun. Sayangnya pasien dengan VSM yang berdiameter
10-11 mm atau dengan varises yang berkelokkelok sepanjang VSF diekslusi dan teknik ini hanya dapat
diaplikasikan pada 34 % pasien saja. Pasien dengan valvuloplasty didapatkan tingkat morbiditas yang
lebih rendah dibandingkan bila dialakukan stripping. Komplikasi yang terjasi lebih jarang dan infeksi yang
terjasi karena pelepasa cuff hanya 0,3 % kasus. Teknik mungkin dapat dipilih pada pasien dengan varises
vena minor, namun belum ada penelitian yang membandingkan dengan teknik lain dan teknik ini belum
secara luas digunakan.
5. Endovenous Diathermy

Teknik ini telah dialakukan oleh beberapa ahli bedah pada than 1960-1970-an. Tidak ada bukti
keuntungan yang didapat dan ini meningkatkan ririko terjadinya cidera termal. Studi terbaru dikatakan
teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengablasi percangan VSM yang inkompeten dengan tetap
mempertahankan VSM setelah dilakuakan ligasi Safeno-femoral walupun tidak ada folow up yang
dilakuakan selanjutnya dan sebagian besar pasien memerlukan terapi tambahan seperti skloroterapi.

KOMPLIKASI

Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus, keadaan ini sering bersifat
sementara namun dapat bersifat permanen. Inform konsen mengenai komplikasi ini diperlukan sebelum
dilakukan tindakan terapi. NHSLA melaporkan komplikasi akibat cedera pada saraf pada 12 pasien
dengan drop foot setelah dilakukan ligasi safeno-popliteal. Komplikasi berupa terjepitnya vena dan
arteri femoral juga tidak dapat untuk

dihindari.Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10 %), dan terjadi
gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari. Thromboembolism berpotensi terjadi pada
pembedahan varises vena, tetapi belum ada bukti yang menujukkan risiko ini meningkat bila dilakukan
pembedahan. Sebagian besar ahli bedah vaskuler melakukan profilaksisi agar tidak terjadi komplikasi
thomboemboli ini. Tabel 2 menunjukkan angka komplikasi yang terjadi pada berbagai prosedur yang
digunakan dalam terapi varises vena.

Anda mungkin juga menyukai