Anda di halaman 1dari 10

Hafidz Ardan Kaizar

XII MIPA 2 / 17

TABEL
ANALISIS KAIDAH KEBAHASAAN DALAM CERITA SEJARAH

1. Bacalah cerita sejarah Deg Deg Plas di bawah ini dengan seksama! 


2. Analislah kaidah kebahasaan dalam cerita sejarah tersebut! 

No. Pertanyaan Kutipan Teks

a  Kalimat bermakna lampau 1. Hingga saya teringat ada alumni


yang kuliah sama jurusan dengan
Salma yang kebetulan dulu saya
walikelasnya.
2. Saya teringat dulu ketika
silaturahim ke rumah kakak di
Temanggung 
b  Penggunaan konjungsi yang 1. Kami berangkat mencari alat
menyatakan urutan waktu tersebut Jumat siang hari setelah
Salma selesai kuliah secara daring.
2. Akhirnya, kami segera menuju ke
toko Indrasari sesuai dengan
rekomendasi dari Dik Wiwik.
 
c  Penggunaan kata kerja katerial 1. Kami kadang tertawa sambil
memegang kening merasakan suhu
tubuh kami.
2. Saya melihat ke arah Ayah yang
mengamati kami dari dalam
kendaraan seolah penasaran
dengan keadaan kami.
d  Penggunaan kalimat tidak langsung 1. Saya dan Salma yang turun dari
kendaraan
2. Saya coba menghubungi kakak
untuk menanyakannya via telepon.
e  Penggunaan kata kerja mental 1. Namun, kami harus kembali
kecewa karena persediaan alat-alat
yang dibutuhkan Salma sudah
habis terjual
2. Lha, nggak tahu. Teman-teman
juga pada bingung.” jawab Salma.

f  Penggunaan dialog 1. “Maaf Ibu dan Bapak, kami akan


memeriksa suhu badan setiap
orang yang hendak memasuki areal
Hafidz Ardan Kaizar
XII MIPA 2 / 17

kampus.”
2. “Tahu gerai ATM di luar begini
tadi nggak usah muter Dik. Ayah
kira gerainya ada di dalam Bank
Center.” protes Ayah.
3. “Begini saja, Ibu dan putrinya
turun di sini saja. Hanya Bapak
yang bisa masuk ke areal kampus.”

g Penggunaan kata sifat 1. “Duh ... “ entah jika saya melihat


wajah sendiri tanpa cermin tentu
akan tertawa lihat mimik yang
mungkin jelek dan aneh.
2. Gadis Kecilku senyum-senyum
setengah tertawa tidak percaya
dengan pengukuran suhu tubuhnya

Deg Deg Plas


Hafidz Ardan Kaizar
XII MIPA 2 / 17

Oleh : Neyama Lukitasari

Entah sudah berapa toko alat-alat kesehatan kami kunjungi hanya untuk mencari
vernier caliper (jangka sorong) dan bunsen (pembakar dengan spirtus) alat yang akan
digunakan Salma praktikum pada hari Sabtu besok, namun semua toko tak menyediakan
bahkan beberapa toko tutup. Entah karena hari Jumat maka toko tutup lebih awal atau
memang sengaja ditutup karena musim covid 19. Pemilik toko mematuhi himbauan
pemerintah untuk melakukan pemutusan rantai penyebaran virus. Kami berangkat mencari
alat tersebut Jumat siang hari setelah Salma selesai kuliah secara daring. Dokter memberi
tugas semua mahasiswa di kelasnya untuk menggunakan jangka sorong untuk praktik hari
Sabtu.
“Dokter yang kasih tugas kok ya tidak lihat situasi to, Dik. Mendadak pula.” ujarku saat
kendaraan sudah melaju meninggalkan toko alat kesehatan yang entah sudah ke berapa yang
kami kunjungi.
“Lha, nggak tahu. Teman-teman juga pada bingung.” jawab Salma.
“Kita kemana lagi nih.” Ayah menyela pembicaraan kami.
“Ayo dicari lagi, Dik.” perintahku.
“Emmm ... ntar. Ini ke CV Sentosa Labora Yah, di jalan Dr. Cipto.” Sebelum melaju
kami berembug terlebih dahulu.
“Berarti kita keluar dari sini ke Kampung Kali ya Yah, belok kanan terus Mataram
bablas Sidodadi ke kanan lagi.”
“Kalau belok Sidodadi ntar tokonya sebelum Sidodadi malah repot. Bablas Bubakan
wae sekalian cari disepanjang jalan itu.”
“Oke deh ... tarik maaaang ...” Dan kami pun menuju sasaran.
“Sekalian cari lagi Dik, yang di daerah Mataram atau Dr. Cipto.” saranku.
“Iya, ini juga lagi cari.”
“Nyari online ga ada to, Dik?
“Ada sih. Tapi kebanyakan tokonya luar kota. Paling tidak dua hari baru nyampe. Lha
kan Salma praktiknya besok.” Bibir ku monyongkan sebagai jawaban kekecewaan.
Selain hunting mencari toko alat kesehatan di Semarang juga berupaya mencari
informasi pembelian secara online. Sayangnya penjual jangka sorong kebanyakan dari luar
kota sehingga membutuhkan waktu agak lama untuk bisa sampai di tangan. Sementara alat
Hafidz Ardan Kaizar
XII MIPA 2 / 17

tersebut akan digunakan esok hari. Dengan demikian pembelian secara online dhiraukan.
Sampai juga kami ke toko penjualan alat-alat laboratorium CV. Sentosa Labora . Saya dan
Salma yang turun dari kendaraan. Tak seperti toko-toko alat kesehatan yang kami kunjungi.
Toko ini terkesan seperti sebuah kantor jadi kami sedikit ada keraguan memasukinya
walaupun dari pintu masuk sudah terlihat alat-alat kesehatan yang dipajang di etalase yang
menempel di dinding. Bel kami pencet beberapa kali. Seorang petugas datang menemui kami
dengan raut muka yang sedikit kurang mengenakkan pandangan. Saya dan Salma sontak
berpandangan.
“Mbak, di sini ada dijual vernier caliper dan bunsen?” tanya Salma kepada Mbak
petugas.
“Tidak ada, Mbak.” Jawab si Mbak singkat.
“O ya sudah. Terima kasih, Mbak.”
“Makasih ya, Mbak.” Saya turut berterima kasih.
“Piye?” tanya Ayah setelah kami masuk dalam kendaraan.
“Ga ada, Yah,” Jawab Salma, “mana Mbak e sengit muka e.” Saya hanya tertawa
mendengar keluhan Salma.
“Lanjut kemana ini?”
“Ke toko Sanidata. Ini Salma sudah buka maps.” Ayah melajukan kendaraan.
“Lho kok ternyata di depan SMK 2 ada toko alat kesehatan. Baru tahu Ayah. Berpuluh-
pulih tahun nggak nyadar kalau ada toko itu.”
“Lhah gimana sih.”
Kembali saya dan Salma yang turun dan ayah tetap di dalam kendaraan. Sesuai
protokoler yang diterapkan toko tersebut kami mengantri di luar gedung. Dan sebelum
masuk toko diperiksa suhu tubuh kami. Toko Sanidata Putri Medika jauh lebih lengkap
dibandingkan CV Sentosa Labora. Namun, kami harus kembali kecewa karena persediaan
alat-alat yang dibutuhkan Salma sudah habis terjual.
Karena tidak membuahkan hasil, kami pulang. Selama diperjalanan menuju rumah
kami masih mendiskusikan bagaimana jangka sorong diperoleh. Hingga saya teringat ada
alumni yang kuliah sama jurusan dengan Salma yang kebetulan dulu saya walikelasnya. Ariq.
Saya hubungi dia melalui nomor yang ada di grup kelas. Berharap Ariq mempunyai jangka
sorong.
“Assalamualaiku, Ariq, Ini Bu Ney. Mo nanya. Ariq punya jangka sorong?” saya
tuliskan pesan untuk Ariq. Lama saya menunggu balasan dari Ariq. Pesimis. Allah memberi
petunjuk lagi. Saya teringat dulu ketika silaturahim ke rumah kakak di Temanggung pernah
Hafidz Ardan Kaizar
XII MIPA 2 / 17

buka sebuah box kayu tipis berisi alat seperti gambar yang ditunjukkan Salma (baca: vernier
caliper/jangka sorong) karena Lutfi (anak kakak) seorang dokter gigi.
“Ibu kayaknya pernah lihat boks kayu kecil isinya jangka sorong di kamar Mas Lupi.
Coba, Salma kontak Mas Lupi. Tanyakan alat itu ada di rumah gak? Kalau ada Ibu yang akan
hubungi, Budhe.” Salma belum juga menghubungi kakak sepupunya khawatir mengganggu
aktivitasnya.
“Ayo Dik, hubungi Mas Lupi.”
“Takut nanti mengganggu Mas Lupi. Kalau lagi periksa pasien piye?” benar juga kata
saya dalam hati.
“Ya sudah, Ibu saja yang telepon, Budhe Didit.” Saya mengalah.
Saya coba menghubungi kakak untuk menanyakannya via telepon. Berkali-kali saya
hubungi namun telepon tidak diangkat. Demikian juga dengan Ariq yang belum juga
memberi balasan. Lengkap sudah puyeng ini. Melihat keadaan begini, Ayah menepikan
kendaraan. Kami berembug lagi. Kali ini Ayah yang menguhubungi kakak, masih belum
diangkat juga. Sekali lagi, tidak juga diangkat. Kami kembali melanjutkan perjalanan pulang.
Sambil terus berembug. Berdasarkan informasi yang diperoleh Salma dari pihak toko alat
kesehatan ada juga toko bangunan menyediakan jangka sorong.
“Masak sih, alat kedokteran dijual di toko bahan bangunan.”
“Ya, dicoba cari dulu siapa tahu ada.”
“Jangan-jangan tahunya kunci inggris.”
Dengan sedikit keraguan ayah tancap gas menuju Banyumanik. Tujuan utama kami ke toko
bahan bangunan Combo. Begitu kendaraan belok memasuki jalan Trunojoyo, Deg, Combo
tutup. Ya Alloh, mau kemana lagi mencari karena matahari semakin lama semakin menuju ke
barat. Ayah memutar balik kendaraan menuju ke toko bahan bangunan Sri Rejeki,
alhamdulillah buka. Namun, tidak menjual jangka sorong. Kami putar balik lagi ke toko
Rejeki, alhamdulillah buka juga, tapi kembali hati kami kecewa karena toko tidak menjual
alat tersebut. Kembali saya minta Salma menguhubungi kakak sepupunya – Lutfi - untuk
menanyakan jangka sorong yang dimilikinya. Dan ternyata memang ditinggal di rumah
Temanggung. Alhamdulillah ada sedikit kecerahan. Ayah kembali mencoba menghubungi
kakak tidak juga diangkat, sementara Ariq belum juga membalas whatsapp yang saya
kirimkan. Ayah belum putus harapan kali ini yang dihubungi adalah kakak ipar.
Alhamdulillah ya Alloh, diangkat. Lanjut pembicaraan, ternyata kakak tidur jadi tidak
diangkat teleponnya. Setelah dibangunkan, kakak mencari jangka sorong yang sebelumnya
menanyakan Lutfi. Selang lima menit kami menunggu kabar, kakak sudah menemukannya.
Hafidz Ardan Kaizar
XII MIPA 2 / 17

Tanpa basa basi kami langsung cuusss menuju Temanggung. Vernier caliper sudah kami
dapatkan ada dua malah. Senyum menghiasi bibir kami bertiga menemani perjalanan pulang.
Di sela perjalanan kami pulang ke Semarang, Ariq memberi balasan.
“Waalaikumsalam, iya, punya Bu Ney?”
“Alhamdulillah, terima kasih Ariq. Tadi sebenarnya mau pinjam tapinggak jadi, Bu
Ney sudah mendapatkan.” balas saya.
“Iya, Bu Ney.”

***

Hari Sabtu Salma kembali mengikuti kuliah daring kali ini praktikum menggunakan
vernier caliper yang dipinjam dari Lutfi. Dan mau tidak mau sayalah yang dijadikan “kelinci
percobaan” menggunakan jangka sorong tersebut. Ya, jadi diupek-upeklah kepala emaknya
ini. Tak apalah, demi kesuksesanmu ya, Dik. Kuliah daring berakhir. Salma kembali
menyampaikan bahwa hari Senin harus praktik carving (membuat tiruan gigi dari bahan
malam yang diukir menggunakan pisau khusus). Sementara alat-alat yang dimiliki masih
berada di kost. Alamak, kenapa mendadak lagi. Sebelum kami berangkat ke Yogyakarta
terlebih dahulu mencari bunsen (pembakar menggunakan spirtus). Kembali kami berkeliliing
mencari alat tersebut. Andai situasi dan kondisi aman tidak sedang musim covid 19 tentunya
kami lebih leluasa mencarinya. Masih mencari ke toko alat kesehatan dan laboratorium yang
menjual bunsen. Sama seperti vernier caliper, bunsen susah juga ditemukan. Karena
berhubungan dengan alat laboratorium, jadi teringat Dik Wiwik (pengampu mapel kimia di
sekolah).
“Hallo, Dik Wik, mau tanya nih. Dik Wik, kalau beli alat-alat laboratorium dimana
ya, Dik?”
“Kalau saya, biasanya mencari di Toko Indrasari, Stadion, Bu.”
“Di situ jual bunsen juga ga ya, Dik?”
“Ada, Bu.”
“Ini antisipasi ya, Dik. Kalau misal di Indrasari tidak ada, mungkin ada toko lain yang
menjual bunsen?”
“Ada, Bu, di Toko Pembina, Kauman.”
“Kalau tidak ada lagi?”
“Kalau tidak ada lagi ...Yaaaa, pesen. Hahaha” kami tertawa bersamaan.
“Hahaha ... oke makasih ya, Dik.”
Hafidz Ardan Kaizar
XII MIPA 2 / 17

Akhirnya, kami segera menuju ke toko Indrasari sesuai dengan rekomendasi dari Dik Wiwik.
Alhamdulillah, Alloh mempermudah usaha kami walaupun harus berjuang antri yang
demikian panjang bersela.
Pagi-pagi di hari Minggu kami berangkat ke Yogyakarta dengan harapan pulang ke
Semarang tidak terlalu malam. Dalam situasi musim covid 19 seperti ini kami tidak mungkin
menginap seperti biasanya. Sampai di kost belum terlalu siang. Perjalanan kami teramat
lancar, jalanan sepi. Bergegas kami membereskan barang-barang yang perlu dibawa pulang
termasuk alat-alat kesehatan, buku referensi kuliah, printer, pakaian, bahkan menyortir bahan
makanan yang tidak sempat dibawa ketika menjemput di awal kuliah dari rumah. Makanan
yang masih layak makan kami bawa pulang dan yang tidak layak kami buang tentunya.
Sebelum meninggalkan kost, lantai saya pel sebersih mungkin, mengelap gagang pintu,
jendela dengan air dicampur bayclin. Setelah memasukkan barang-barang ke dalam
kendaraan, kami segera pulang.
“Yah, mampir ke ATM di kampus dulu, ya. Salma mau transfer ke teman membayar
pembelian bahan-bahan untuk praktik. Sama sekalian mau beli Susu Sarjana.”
“Emang ATM nya harus yang ada di kampus?”
“Kalau ATM Mandiri Syariah Salma tahunya di kampus yang di tempat lain ga tahu.”
Jadilah setelah membeli Susu Sarjana kami menuju gerai ATM di kawasan kampus
UMY.
“Ayah nanti jalannya muter masuk kampus, ya”
“Harus muter, ya. Kenapa ga berhenti di gerbang masuk saja. Kayaknya ditutup tuh.”
“Mana, nggak gitu kok. Paling juga masuk diperiksa STNK.”
Kendaraan melaju pelan. Sampai di pintu masuk berportal. Kami kira hanya akan
diperiksa STNK kendaraan, tapi ternyata pemeriksaan suhu badan oleh dua orang petugas
yang kemungkinan mahasiswa kedokteran UMY tersebut. Sungguh kami tidak menduga.
“Maaf Ibu dan Bapak, kami akan memeriksa suhu badan setiap orang yang hendak
memasuki areal kampus.
“iya, Mbak silakan.”
“Suhu badan Bapak, 37,2.” jelas mbak petugas setelah memeriksa suhu Ayah
menggunakan thermometer infra red. Alhamdulillah, masih normal. Maaf, Pak, saya akan
periksa Ibu dan putrinya.”
“Silakan, Mbak.”
Hafidz Ardan Kaizar
XII MIPA 2 / 17

“Suhu badan Ibu, 38, 6.” Deg .. Seolah darah lenyap dari tubuh. Rasa tak percaya
meyelimuti hati. Berikut giliran Salma. Thermometer infra red didekatkan kening, mununjuk
di angka 41,2 ... Deg .. Plas... Pyuuuur ... Jabang bayiiiii. Allahu Akbar.
“Jangan-jangan alatnya salah itu, Mbak” protes saya.
“Begini saja, Ibu dan putrinya turun di sini saja. Hanya Bapak yang bisa masuk ke
areal kampus.”
Akhirnya saya dan Salma turun, sementara setelah Ayah menepikan kendaraan tetap
menunggu walau tanpa keluar menemani kami.
“Silakan duduk, Ibu. Sini , Dik. Duduk sini.” Kami berdua duduk dengan jarak agak
longgar dan berhadapan dengan Mas dan Mbak petugas yang memeriksa dan meminta kami
untuk menunggu sekitar dua atau tiga menit. Siapa tahu setelah beristirahat, suhu tubuh kami
bisa menurun. Tapi memang kami akui hari itu Yogyakarta terasa sangat panas. Bahkan
pendingin kendaraan ada pada tombol kedua masih kalah dengan udara panas Yogya. Sambil
menunggu kami ditanya petugas.
“Ibu dari mana mau kemana?”
“Begini, Mbak. Kami dari Semarang, tujuan kami ke Yogya hanya untuk mengambil
beberapa barang di kost anak saya untuk dibawa pulang,” terangku sambil menunjuk Salma,
“kostnya gang di samping kampus, karena memang anak saya kuliah di sini.”
Percakapan terhenti sejenak, suhu tubuh kami kembali dicek. Masih tetap sama tak ada
perubahan. Duh ... ya Alloh, ada apakah ini? Khawatir, panik, deg deg plas merasakan suhu
tubuh yang tak jua turun. Kembali si Mbak bertanya.
“Akhir-akhir ini, Ibu dan Adik da riwayat demam?”
“Tidak.”
“Batuk?”
“Tidak.”
“Flu?”
“Sama sekali. Kami tidak pernah kemana-mana, selalu stay at home. Kalau ada perlu
keluar rumah, sepulangnya kami berupaya membersihkan diri dulu sebelum masuk rumah.”
“Hehehe ... Iya Bu. Kami coba cek lagi suhu badan Ibu, ya.”
“Iya silakan, Mbak.” Si Mbak kemudian mendekatkan thermo Infra red di ke kening
saya.
“Berapa, Mbak?”
“Masih sama Bu, 38,6.”
Hafidz Ardan Kaizar
XII MIPA 2 / 17

“Duh ... “ entah jika saya melihat wajah sendiri tanpa cermin tentu akan tertawa lihat
mimik yang mungkin jelek dan aneh.
“Adik juga saya cek lagi ya suhu tubuhnya.”
“Iya.” jawab Salma singkat. Si Mbak mendekatkan thermo ke kening Salma.
“Lho ini malah jadi 42.”
Jreeeeeng ... Dug dug dug dug ... Jantung saya berdetak semakin cepat bahkan
sampai melongo mendengar suhu tubuh Salma hingga 42 derajat. Saya hanya berpikir heran
saja, kenapa tidak kejang-kejang jika suhu tubuh sampai diangka 42. Gadis Kecilku senyum-
senyum setengah tertawa tidak percaya dengan pengukuran suhu tubuhnya. Saya melihat ke
arah Ayah yang mengamati kami dari dalam kendaraan seolah penasaran dengan keadaan
kami.
“Sebenarnya, Ibu hendak ke mana?” kini giliran si Mas yang bertanya.
“Kami hanya mau ke gerai ATM jadi cuma mau muter, Mas.” Salma menjelaskan.
“Jadi tidak akan masuk arel kampus ya, Dik?”
“Iya, lagian ngapain ke kampus kalau ga ada orang begini, Mas.”
“Oalah ... Saya kira hendak masuk ke areal kampus untuk ketemu dosen atau ada
keperluan lain.” perkiraan Si Mbak.
Setelah mendengar penjelasan kami diperbolehkan kembali ke kendaraan dan
melanjutkan tujuan, semula dua petugas mengira kami hendak memasuki areal kampus jadi
perlu dicek dulu suhu tubuh kami. Selesai sudah kepanikan ini. Namun, benar juga upaya
yang dilakukan UMY mendukung program pemerintah dalam upaya memutus rantai
penyebaran covid 19.
“Tahu gerai ATM di luar begini tadi nggak usah muter Dik. Ayah kira gerainya ada di
dalam Bank Center.” protes Ayah.
“Lha kalau nggak muter, parkirnya repot. Mau dihentikan di jalan menggangu
kendaraan lain.” Salam membela diri.
“Tadi parkir di pintu depan agak minggir kan nggak apa-apa. Tinggal mundur sedikit
dah beres.” Saya berpendapat. Setelah Salma menyelesaikan keperluannya di gerai ATM itu.
Kami bergegas meninggalkan Kota Gudeg dengan segala macam rasa di hati.
Selama perjalanan pulang ke Semarang kami tak habis-habisnya membahas kejadian
tadi. Masih tidak percaya, tidak habis pikir dengan suhu tubuh kami terutama Salma. Kami
kadang tertawa sambil memegang kening merasakan suhu tubuh kami. Tapi sempat Deg Deg
Plas juga karena khawatir siapa tahu kami kena atau membawa virus corona. Ada
kebaikannya jika memang kami ketahuan kena virus, akan segera bisa ditangani. Doa penuh
Hafidz Ardan Kaizar
XII MIPA 2 / 17

harap agar dijauhkan dari segala mara bahaya. Semoga wabah segera berakhir. Indonesia
sehat, Indonesia bebas covid 19.

Anda mungkin juga menyukai