Anda di halaman 1dari 11

RINGKASAN MATA KULIAH (RMK) AKUNTANSI KEUANGAN

“ PENILAIAN PERSEDIAAN ”
(VALUATION OF INVENTORIES)
A. Isu-Isu Seputar Persediaan
A.1. Klasifikasi Persediaan
Persediaan merupakan pos aset yang dimiliki oleh perusahaan untuk dijual dalam
operasi bisnis normal atau barang yang akan digunakan atau dikonsumsi dalam membuat
barang yang akan dijual. Investasi dalam persediaan biasanya merupakan investasi terbesar
dalam aset lancar perusahaan dagang dan perusahaan manufaktur.
Persediaan dalam perusahaan dagang biasanya terdiri hanya terdiri atas 1 akun, yaitu
Persediaan Barang Dagang. Sementara dalam perusahaan manufaktur, persediaan dibedakan
menjadi Persediaan Bahan Baku, Persediaan Barang Dalam Proses, dan Persediaan
Barang Jadi.

A.2. Arus Biaya Persediaan


Pada akhir periode pelaporan, perusahaan melaporkan Persediaan dan Harga Pokok
Penjualan (HPP). Jumlah Harga Pokok Penjualan ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Barang tersedia Dijual = Persediaan Awal + Pembelian
Harga Pokok Penjualan (HPP) = Barang tersedia Dijual – Persediaan Akhir
Agar pencatatan persediaan tetap akurat, perusahaan dapat menggunakan salah satu dari
kedua jenis sistem pencatatan persediaan berikut:
a. Sistem Prepetual
Merupakan sistem pencatatan persediaan yang secara berkelanjutan melacak perubahan
akun persediaan karena setiap transaksi pembelian dan penjualan barang akan dicatat
secara langsung ke akun Persediaan pada saat terjadinya transaksi tersebut.
b. Sistem Fisik/Periodik
Merupakan sistem pencatatan persediaan dimana kuantitas dan nilai persediaan di tangan
baru dapat ditentukan setelah dilakukan perhitungan fisik persediaan secara periodik
(biasanya dilakukan pada akhir tahun). Untuk nilai persediaan yang akurat, hasil
perhitungan fisik persediaan ini kemudian dibandingkan dengan catatan persediaan yang
terinci. Sistem pencatatan fisik/periodik biasanya lebih sederhana dan tidak memerlukan
sumber daya yang terlalu signifikan untuk menerapkannya. Kekurangan sistem ini
hanyalah ketidakmampuannya untuk menampilkan catatan yang mutakhir kapanpun
dibutuhkan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, perusahaan biasa memodifikasi sistem
ini dengan menggunakan Sistem Persediaan Prepetual yang Dimodifikasi (Modified
Perpetual Inventory System), dimana hanya jumlah kuantitas yang disimpan dalam
catatan rinci persediaan (berbentuk memorandum bukan jurnal), bukan nilainya.
Berikut disajikan ilustrasi perbedaan jurnal Sistem Prepetual dengan Sistem Fisik/Periodik:
Kondisi Sistem Prepetual Sistem Fisik/Periodik
Persediaan Awal Tidak dijurnal Tidak dijurnal
Pembelian Persediaan Pembelian
Kas/Utang Dagang Kas/Utang Dagang
Kas/Piutang
Penjualan Kas/Piutang
Penjualan
HPP Penjualan
Persediaan
Persediaan Beban Angkut Pembelian
Biaya Transportasi
Kas/Utang Dagang Kas/Utang Dagang
Kas/Utang Dagang
Retur Pembelian Retur Pembelian
Kas/Utang Dagang
dan/atau dan/atau
Persediaan
Pengurangan Harga Kas/Utang Dagang
Potongan Pembelian
Retur Penjualan
Kas/Piutang Retur Penjualan
Retur Penjualan
Persediaan Kas/Piutang
HPP
Persediaan (akhir, hasil perhitungan)
Jurnal untuk Akun
HPP
Persediaan (Pada Tidak dijurnal
Pembelian
Akhir Periode)
Persediaan (awal)
Perbedaan antara
saldo fisik dengan Kelebihan & Kekurangan-
catatan Persediaan Tidak dijurnal
(jika menggunakan Persediaan
sistem perpetual)

A.3. Pengendalian Persediaan


Karena berbagai alasan, manajemen sangat berkepentingan dengan perencanaan dan
pengendalian persediaan. Sistem akuntansi yang akurat dan catatan yang up to date
merupakan hal yang sangat penting. Penjualan dan pelanggan bisa hilang jika produk yang
dipesan oleh pelanggan tidak tersedia dengan model, kualitas, dan kuantitas yang diinginkan.
Begitupun perusahaan juga harus selalu memonitor tingkat persediaan secara seksama untuk
membatasi biaya pembiayaan akibat banyaknya timbunan persediaan.

A.4. Isu Dasar dalam Penilaian Persediaan


Penilaian persediaan dapat menjadi kompleks disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Fisik barang yang ada dalam persediaan (siapa pemilik barangnya? Contoh Barang dalam
Perjalanan, Barang Konsinyasi, dan Penjualan dengan Perjanjian Khusus)
2. Biaya yang melekat pada persediaan (Biaya Produk vs Biaya Periodik)
3. Metode asumsi arus biaya yang akan digunakan (identifikasi khusus, rata-rata tertimbang,
FIFO, retail, dll)

B. Barang Fisik yang Dimasukkan dalam Persediaan


Seringkali jumlah fisik barang yang ada di gudang perusahaan tidaklah mencerminkan
nilai dari persediaannya. Perusahaan perlu mengidentifikasi fisik barang tersebut untuk
menentukan berapa nilai persediaan yang dapat diakui oleh perusahaan.
B.1. Barang dalam Perjalanan
Biasanya dalam proses pembelian barang, ada situasi dimana hingga akhir periode,
barang masih berada pada posisi transit (belum diterima pembeli). Perlakuan akuntansi atas
barang dalam perjalanan ini ditentukan pada siapa pemilik barang tersebut. Dalam hal
pembelian barang (dari perusahaan kepada pemasok), perusahaan dapat mengakui Barang
dalam Perjalanan sebagai bagian dari persediaannya apabila barang dikirim dengan term
FOB Shipping Point. Sebaliknya apabila barang dikirim dengan term FOB Destination Point,
maka Barang dalam Perjalanan tersebut tidak diakui sebagai persediaan oleh perusahaan.
Jika perusahaan melakukan penjualan barang (dari perusahaan kepada pembeli), maka
berlaku perlakuan yang kebalikan dari transaksi pembelian barang untuk pengakuan
persediaan perusahaan atas Barang dalam Perjalanan, yaitu tidak diakui sebagai persediaan
pada term FOB Shipping Point dan diakui sebagai persediaan dalam term FOB Destination
Point.

B.2. Barang Konsinyasi


Merupakan barang yang dititipkan oleh pihak lain (consignor) kepada perusahaan
(consignee). Barang Konsinyasi akan tetap menjadi milik pemilik barang (consignor)
karenanya tidak boleh dimasukkan nilainya ke dalam nilai persediaan perusahaan (consignee)
atau dengan kata lain consignee tidak mengakui Barang Konsinyasi sebagai persediaannya.

B.3. Penjualan dengan Perjanjian Khusus


Ada beberapa tipe penjualan dengan perjanjian khusus yang kerap kali menimbulkan
masalah pada penilaian persediaan perusahaan, yaitu:
1. Penjualan dengan perjanjian pembelian kembali
Apabila berlaku transaksi penjualan dengan perjanjian pembelian kembali, maka penjual
tidak dapat mengakui perjanjian tersebut sebagai penjualan dan tidak mengurangi barang
tersebut dari persediaannya.
2. Penjualan dengan tingkat pengembalian yang tinggi
Penjual memiliki 2 pilihan terhadap transaksi penjualan dengan tingkat pengembalian
yang tinggi yaitu: 1) mencatat penjualan pada nilai penuh dan membentuk akun
Penyisihan atas Estimasi Pengembalian Penjualan, atau 2) tidak mencatat adanya
penjualan hingga dapat diperkirakan tingkat pengembalian oleh pembeli.
3. Penjualan dengan cicilan
Untuk penjualan dengan cicilan, penjual tetap mengakui adanya penjualan dan
mengeluarkan nilai penjualan dari persediaannya apabila dapat diestimasi dengan baik
berapa persentase kemungkinan penjualan yang tidak tertagih.

B.4. Kesalahan Pencatatan Persediaan


Kesalahan dalam pencatatan persediaan akan berdampak pada laporan keuangan
perusahaan. Dampak tersebut berupa:
1. Salah Saji Persediaan Akhir
Jika persediaan akhir kurang saji, maka Modal Kerja dan Rasio Lancar (Aktiva Lancar
dikurangi Kewajiban Lancar) dalam Neraca menjadi kurang saji. Dampak lain dari salah
saji persediaan akhir adalah Harga Pokok Penjualan dalam Laporan Laba Rugi menjadi
lebih saji. Jika Harga Pokok Penjualan lebih saji, maka Laba Bersih kurang saji.
2. Salah Saji Pembelian dan Persediaan
Jika pembelian tidak diakui/dicatat, maka persediaan dan utang usaha dalam neraca
kurang saji dan pembelian serta persediaan akhir kurang saji dalam laporan laba rugi.
Akan tetapi hal ini tidak mempengaruhi Laba Ditahan, Modal Kerja, Harga Pokok
Penjualan, dan Laba Bersih karena antara pembelian dan persediaan akhir sama-sama
kurang saji sehingga akan saling mengoffset dalam perhitungan Harga Pokok Penjualan.
C. Biaya-Biaya yang Harus Dimasukkan dalam Persediaan
Salah satu masalah yang paling penting dalam menangani persediaan berhubungan
dengan berapa jumlah persediaan yang harus dicatat dalam akun persediaan.

C.1. Biaya Produk


Merupakan biaya yang melekat pada persediaan dan dicatat dalam akun persediaan.
Biaya-biaya ini berhubungan langsung dengan transfer barang ke lokasi bisnis pembeli dan
pengubahan barang tersebut menjadi produk/barang yang siap dijual. Biaya Produk di dalam
perusahaan dagang antara lain: Biaya Angkut Pembelian, Biaya Pembelian Langsung
Lainnya, Biaya Tenaga Kerja serta produksi lainnya yang dikeluarkan dalam memproses
barang ketika dijual. Sedangkan dalam perusahaan manufaktur, Biaya Produk meliputi: Biaya
Bahan Langsung, Biaya Tenaga Kerja Langsung, dan Biaya Overhead (seperti Bahan
Penolong, Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung, serta berbagai biaya seperti penyusutan,
asuransi, dan Listrik).

C.2. Biaya Periode


Merupakan biaya yang terkait secara tidak langsung dengan perolehan atau produksi
barang. Biaya-biaya ini tidak dianggap sebagai persediaan dan diklasifikasikan ke dalam
Beban Penjualan atau Beban Administrasi dan Umum.

C.3. Diskon Pembelian


Terdapat dua metode pengakuan Diskon Pembelian terhadap persediaan, antara lain:
1. Metode Kotor
Diskon Pembelian dilaporkan sebagai pengurang akun pembelian di Laporan Laba Rugi.
2. Metode Bersih
Pembelian dan Utang Usaha dicatat pada jumlah bersih setelah diskon tunai. Kegagalan
untuk mendapatkan diskon pembelian, akan dijurnal kemudian di dalam akun Diskon
Pembelian yang Hilang. Akun Diskon Pembelian yang Hilang dipandang sebagai beban
keuangan dan dilaporkan dalam bagian “Beban serta Kerugian Lain-Lain” pada Laporan
Laba Rugi.
D. Asumsi Arus Biaya
Perusahaan tidak selalu membeli suatu barang yang sama dengan harga yang sama,
oleh karenanya untuk mengakui nilai persediaan yang dikeluarkan perusahaan perlu
menerapkan asumsi arus biaya dengan menggunakan salah satu dari metode berikut:
D.1. Metode Identifikasi Khusus
Metode ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi setiap barang yang dijual dan
setiap barang pada pos persediaan. Metode ini biasa dapat diterapkan dengan baik pada
sejumlah kecil item berharga tinggi dan dapat dibedakan seperti perhiasan, jas bulu, mobil,
dan beberapa jenis furnitur atau produk yang diproduksi dengan metode pesanan.
D.2. Metode Biaya Rata-Rata
Metode Biaya Rata-Rata menghitung harga pos-pos yang terdapat dalam persediaan
atas dasar biaya rata-rata barang yang sama yang tersedia selama satu periode. Dalam metode
ini, biaya rata-rata per unit baru akan dihitung setiap kali pembelian dilakukan.
D.3. FIFO (First In First Out)
Metode FIFO mengasumsikan bahwa barang-barang yang
digunakan/dikeluarkan/dijual sesuai urutan pembeliannya, yaitu barang yang pertama dibeli
adalah barang yang pertama digunakan/dikeluarkan/dijual. Karena itu persediaan yang tersisa
merupakan barang yang dibeli paling terakhir.
Tidak seperti metode pengukuran persediaan FIFO, metode pengukuran persediaan
LIFO (Last In First Out) dianggap tidak lagi relevan untuk digunakan pasca penerapan IFRS
karena LIFO menurunkan laba, mengakibatkan persediaan kurang saji, tidak menyerupai arus
fisik aktual dari barang kecuali dalam situasi ganjil, menimbulkan masalah likuidasi.

E. Masalah Penilaian Persediaan Tambahan


Informasi mengenai persediaan dan perubahan persediaan sangat menentukan dalam
meramalkan kinerja keuangan khususnya laba. Sejumlah konsep penilaian dan estimasi
digunakan oleh perusahaan untuk mengembangkan informasi persediaan yang relevan.

F. Metode Nilai Terendah antara Biaya dan Harga Pasar


Persediaan dicatat pada biaya awalnya. Akan tetapi, penyimpangan yang besar
terhadap prinsip biaya historis bisa dilakukan jika nilai persediaan menurun di bawah biaya
awalnya baik karena keusangan, perubahan tingkat harga, kerusakan, dan lain-lain, sehingga
persediaan harus diturunkan nilainya untuk melaporkan kerugian tersebut.
Aturan umumnya adalah bahwa prinsip biaya historis tidak dapat diterapkan apabila
manfaat (kemampuan menghasilkan pendapatan) masa depan dari aktiva itu tidak lagi sebesar
biaya awalnya. Oleh karena itu perusahaan melaporkan persediaan pada nilai terendah antara
biaya dan harga pasar (LCM) pada setiap periode pelaporan.
Penyimpangan dari konsep biaya historis dapat dibenarkan karena hilangnya manfaat
harus dibebankan terhadap pendapatan periode di mana kehilangan itu terjadi, bukan pada
periode penjualan. LCM juga merupakan pendekatan penilaian persediaan yang konservatif,
yaitu jika terdapat keraguan mengenai nilai aktiva, maka lebih baik mencatatnya pada nilai
yang lebih rendah, yang juga menurunkan laba bersih.
Harga pokok atau biaya merupakan harga perolehan persediaan yang dihitung dengan
menggunakan salah satu dari metode berdasarkan biaya historis (metode identifikasi khususm
biaya rata-rata, atau FIFO) sedangkan harga pasar merupakan biaya untuk mengganti barang
melalui pembelian atau produksi (biasa disebut biaya pengganti atau replacement cost). Batas
atas dari biaya pengganti ini ialah Nilai Realisasi Bersih (NRV- Net Realizable Value) yang
merupakan hasil estimasi harga jual dalam keadaan bisnis normal dikurangi dengan estimasi
biaya penyelesaian dan penjualan yang dapat diprediksi secara layak. Sedangkan batas
bawahnya adalah Nilai Realisasi Bersih dikurangi Marjin Laba Normal. Nilai Pasar yang
Ditetapkan selalu merupakan nilai tengah dari jumlah biaya pengganti, Nilai Realisasi Bersih,
dan Nilai Realisasi Bersih dikurangi Marjin Laba Normal. Nilai Pasar yang Ditetapkan ini
kemudian dibandingkan dengan biaya untuk menentukan yang terendah antara biaya dan
harga pasar.
Aturan LCM, tidak hanya dapat diaplikasikan pada setiap item persediaan, namun
juga pada diaplikasikan langsung pada setiap kategori maupun pada total persediaan. Praktik
yang paling umum adalah menilai persediaan atas dasar barang per barang, karena aturan
perpajakan mewajibkan dasar tersebut selama masih praktis untuk digunakan. Adapun jurnal
untuk mencatat harga pasar dan bukan biaya adalah sebagai berikut:
Metode Langsung Metode Tidak Langsung/Penyisihan
Untuk mengurangi nilai persediaan dari biaya menjadi harga pasar
Harga Pokok Penjualan Kerugian Akibat Penurunan Harga Pasar-
Persediaan Persediaan*
Penyisihan untuk Mengurangkan
Persediaan ke Harga Pasar
*Kerugian Akibat Penurunan Harga Pasar Persediaan disajikan terpisah dari Harga Pokok
Penjualan dalam laporan Laba Rugi
Metode LCM lemah secara konsep, sehingga evaluasi atas metode LCM adalah:
1. Inkonsistensi perlakukan penurunan/kenaikan nilai aktiva dapat menyebabkan data laba
terdistorsi
2. Inkonsistensi muncul karena persediaan perusahaan mungkin dinilai menurut biaya dalam
satu tahun dan pada harga pasar tahun berikutnya
3. LCM menilai persediaan dalam neraca secara konservatif, tetapi dampaknya terhadap
laporan Laba Rugi mungkin tidak bersifat konservatif
4. Penggunaan laba normal sebagai dasar estimasi untuk menentukan nilai persediaan
dianggap tidak objektif dan memberikan peluang untuk manipulasi laba, karena laba
normal merupakan data historis yang tidak lagi berlaku di masa depan.

G. Dasar Penilaian
Dasar penilaian dalam persediaan dibedakan menjadi:
1. Penilaian menurut nilai realisasi bersih
Pencatatan persediaan menurut nilai realisasi bersih (harga jual dikurangi estimasi biaya
penyelesaian dan penjualan) dilakukan jika 1) terdapat pasar terkendali dengan harga
kuota yang berlaku bagi semua kuantitas, 2) biaya penjualan yang terlibat tidak
signifikan, 3) angka biaya terlalu sulit dihitung.
2. Penilaian dengan menggunakan nilai penjualan relatif
Untuk sekelompok unit barang berbeda yang dibeli dengan menggunakan satu harga
lump sum (disebut juga basket purchase), maka biaya per unitnya adalah hasil
pengalokasian total biaya di antara berbagai unit atas dasar nilai penjualan relatifnya .
Metode ini biasanya digunakan dalam industri minyak untuk menilai banyak produk dan
produk-produk sampingan yang diperoleh dari satu barel minyak mentah.
3. Komitmen Pembelian
Akuntansi untuk komitmen pembelian masih kontroversial. Pendapat pertama ialah
bahwa kontrak ini harus dilaporkan sebagai aktiva dan kewajiban pada saat kontrak
ditandatangani sedangkan pendapat kedua berpendapat bahwa pengakuan pada tanggal
pengiriman adalah yang paling tepat. Komitmen pembelian tidak dianjurkan ataupun
dilarang untuk dilakukan, akan tetapi jika hal tersebut dicatat pada saat komitmen
ditandatangani, maka sifat dari kerugian dan akun penilaian yang mencatatnya ketika
harga turun akan jelas terlihat.
H. Metode Laba Kotor untuk Mengestimasi Persediaan
Metode ini merupakan metode untuk mengestimasi nilai persediaan di tangan apabila
terdapat kendala dalam melakukan perhitungan fisik persediaan. Metode ini digunakan secara
luas oleh para auditor dalam situasi hanya diperlukan estimasi atas persediaan perusahaan
(contohnya laporan interim). Metode ini juga digunakan ketika catatan perusahaan atau
persediaan itu sendiri telah musnah akibat kebakaran atau bencana lain. Metode laba kotor
didasarkan pada 3 asumsi:
1. Persediaan awal ditambah pembelian sama dengan total barang yang diperhitungkan
2. Barang yang belum terjual harus berada di tangan
3. Jika penjualan dikurangi biaya, dikurangkan dari jumlah persediaan awal ditambah
pembelian, maka hasilnya adalah persediaan akhir. Atau dengan kata lain rumusnya
adalah:
Perkiraan Persediaan = Barang yang Tersedia (pada biaya) – Penjualan (pada biaya)
= (Persediaan Awal + Pembelian) – (Penjualan (pada harga
jual) – Estimasi Laba Kotor)
Estimasi Laba Kotor merupakan hasil kali dari persentase laba kotor (yang ditentukan
dengan meninjau kebijakan perusahaan atau catatan periode sebelumnya) dengan
penjualan (pada harga jual).
Kelemahan metode ini antara lain:
1. Hasil perhitungan yang dihasilkan merupakan hasil estimasi, sehingga perhitungan atas
fisik persediaan tetap harus dilakukan (1 atau 2 kali setahun) untuk memastikan jumlah
persediaan sebenarnya di tangan.
2. Metode laba kotor menggunakan persentase masa lalu dalam menentukan markup,
sehingga setiap kali fluktuasi yang signifikan terjadi, persentase tersebut harus
disesuaikan.
3. Aplikasi persentase laba kotor kelompok harus dilakukan secara hati-hati.

I. Metode Persediaan Eceran


Metode persediaan eceran dapat diterapkan pada retailer bervolume tinggi yang
memiliki banyak jenis persediaan yang berbeda. Pada retailer bervolume tinggi, agak sulit
untuk menentukan biaya setiap penjualan, mencatat kode biaya pada kartu, mengubah kode
untuk mencerminkan penurunan nilai barang dagang, mengalokasikan biaya seperti
transportasi dan sebagainya. Sehingga alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan
menyusun persediaan menurut harga eceran. Metode persediaan eceran, mensyaratkan bahwa
pencatatan dilakukan atas 1) total biaya dan nilai eceran dari barang yang dibeli; 2) total
biaya dan nilai eceran barang yang tersedia untuk dijual; 3) penjualan periode berjalan.
Keunggulan dari metode ini ialah saldo persediaan dapat diestimasi tanpa perhitungan fisik.
Namun untuk menghindari kemungkinan lebih saji persediaan, perhitungan persediaan
periodik harus dilakukan terutama dalam bisnis eceran di mana kerugian akibat pencurian dan
kerusakan sering terjadi.
Langkah-langkah untuk menentukan persediaan akhir dengan menerapkan metode
persediaan eceran konvensional adalah sebagai berikut:
1. Penjualan periode berjalan dikurangkan dari nilai eceran barang yang tersedia untuk
dijual guna menghasilkan estimasi persediaan pada harga eceran
2. Rasio biaya terhadap harga eceran untuk semua barang yang melewati departemen atau
perusahaan ditentukan dengan membagi total barang yang tersedia untuk dijual menurut
biaya dengan total barang yang tersedia untuk dijual menurut harga eceran
3. Persediaan yang dinilai menurut harga eceran dikonversi ke perkiraan biaya dengan
menerapkan rasio biaya terhadap harga eceran.
Berikut merupakan ilustrasi metode persediaan eceran:
Biaya ($) Harga Eceran ($)
Persediaan awal 14,000 20,000
Pembelian 63,000 90,000
Barang tersedia untuk dijual 77,000 110,000
Dikurangi: Penjualan (85,000)
Persediaan akhir pada harga eceran 25,000
Rasio biaya terhadap harga eceran (77,000 : 110,000) 70%
Persediaan akhir pada biaya (70% x 25,000) 17,500
Dalam konteks terdapat perubahan harga pada harga eceran awal, maka dapat
digunakan metode persediaan eceran dengan markup (tambahan harga jual awal) dan
markdown (penurunan harga jual awal).
Evaluasi atas metode persediaan eceran adalah bahwa metode ini memiliki pengaruh
rata-rata terhadap berbagai tingkat laba kotor, sehingga jika diaplikasikan pada perusahaan
secara keseluruhan, di mana tingkat laba kotor bervariasi di antara departemen, maka tidak
ada penyisihan yang dibuat untuk menutupi distorsi hasil akibat perbedaan seperti itu.

J. Penyajian dan Analisis


Standar akuntansi mewajibkan laporan keuangan mengungkapkan:
1. Komposisi persediaan dalam neraca atau skedul terpisah dari catatan
2. Perjanjian pembiayaan persediaan yang signifikan atau tidak biasa
3. Metode kalkulasi biaya persediaan yang dipakai
Standar akuntansi juga mewajibkan perusahaan untuk mengaplikasikan metode kalkulasi
biaya persediaan secara konsisten dari satu periode ke periode berikutnya.
Pengelolaan persediaan perusahaan dihadapkan pada dua permasalahan utama yaitu di
satu sisi, manajemen ingin memiliki berbagai persediaan yang besar sehingga konsumen bisa
memilih dan selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan sehingga membutuhkan biaya
pencatatan yang besar dan di sisi lain tingkat persediaan yang rendah bisa menimbulkan
stockout, hilangnya penjualan, dan membuat konsumen marah.
Untuk mencari jalan tengah di antara kedua ekstrem permasalahan persediaan
diperlukan suatu alat analisis persediaan. Alat analisis yang biasa digunakan adalah:
1. Rasio Perputaran Persediaan = Harga Pokok Penjualan / Persediaan Rata-Rata
Rasio ini digunakan untuk mengukur berapa kali, secara rata-rata, persediaan terjual
selama satu periode. Tujuannya adalah untuk mengukur likuiditas persediaan.
2. Jumlah Hari Rata-Rata untuk Menjual Persediaan = jumlah hari rata-rata untuk menjual
persediaan
Perusahaan dengan rasio perputaran persediaan yang lebih tinggi daripada pesaingnya
serta memenuhi kebutuhan pelanggan, adalah contoh perusahaan yang paling sukses.

Anda mungkin juga menyukai