Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

AL-JAMIYATUL WASHLIYAH

AIDIL 'AZZA MU'IZZUDDIN


12010214027

PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUSKA RIAU

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat inayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Pertama saya ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah pelajaran ini
yang telah membimbing saya dalam menyusun makalah ini. Makalah yang saya
buat ini membahas tentang “Tradisi Esoterik dan Eksoterik Seyyed Hossein
Nasr”. Dengan terselesaikannya makalah ini, penulis sangat berterima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 28 Januari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2

BAB II SEYYED HOSSEIN NASR............................................................ 3


A. Biografi SEYYED HOSSEIN NASR................................................... 3
B. Peta Pemikiran ..................................................................................... 6
C. Kritik Nasr Terhadap Modernisme ...................................................... 12
D. Gagasan islam tradisional .................................................................... 16
E. Gagasan islamisasi sayyed hossein nasr .............................................. 18

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 20


A. Kesimpulan .......................................................................................... 20
B. Saran .................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hasrat akan keinginan akan kembali pada nilai eksistensi semakin mendesak
bagi manusia Barat. Hal ini dikarenakan, dunia ilusi yang mereka ciptakan
disekelilingnya untuk melupakan dimensi transenden kehidupan mereka yang
hilang, mulai menunjukan watak yang sesungguhnya. Sehingga segala respon
yang terjadi harus bersumber dari tradisi-tradisi suci (agama) yang otentik.1
Terbukti bahwa pada saat ini di Barat sebagaian besar perhatian tertuju
kepada metafisika dan spritualitas Timur, dan orang-orang Eropa maupun di
Amerika rajin mencari buku- buku petunjuk, syair-syair atau musik-musik yang
berhubungan dengan sufisme. Dalam hal ini ada sebuah pernyataan dari Barat
yang menyebut Timur sebagai negeri pagi/negeri matahari terbit. Karena itu para
penulis Barat ketika menceritakan pertemuan mereka dengan Timur, menyebut
dunia Timur secara roamantis; Morgenlande.2
Seyyed Hossein Nasr memberikan pandangan bahwa, krisis-krisis
eksistensial ataupun spritual yang dialami oleh manusia adalah bermula dari
pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Yaitu ketika manusia
meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya. Manusia telah
bergerak dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi.3
Fenomena ini tidak saja dialami oleh dunia Barat tapi juga di dunia Timur secara
umum dan dunia Islam secara khususnya juga telah melakukan kesalahan-
kesalahan dengan mengulangi apa yang telah dilakukan Barat. Yaitu menciptakan
masyarakat kota industri dan peradaban modern yang lupa akan tradisi dan pesan-
pesan suci dari Timur, mereka tenggelam dalam masyarakat konsumtif.4

1
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, (Chicago: Published by
ABC Internatioan Group, Inc. 1975, h. 71.
2
Negeri pagi yang sering kali dilukiskan sebagai negeri yang penuh pesona ruhani, untuk lebih
lengkapnya bisa dilihat, Murtada Muthahari, Manusia Sempurna, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 9.
3
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man, (Londong:
Mandala Books, 1976), h. 63.
4
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1983), h. 20.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan berbagai bentuk
pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di
atas agar kita bisa lebih mendalami pemikirannya khususnya pada bidang
Islamisasinya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan
permasalahan tentang Esoterisme Seyyed Hossein Nasr serta relevansinya
Terhadap Islam.
1. Bagaimana konsep pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang Esoterisme
Agama – Agama.
2. Bagaimana Relevansi Esoterisme Seyyed Hossein Nasr terhadap
Pendidikan Islam ?

2
BAB II
SEYYED HOSSEIN NASR

A. BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR


1. Latar Belakang dan Pendidikan Nasr
Seyyed Hossein Nasr lahir di kota Teheran, Iran, pada tanggal 7
April 1933. Ayahnya seorang ulama terkenal di Iran dan juga seorang
guru dan dokter pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed Valiullah
Nasr.5 Sebutan dengan gelar Seyyed adalah sebutan kebangsawanaan
yang dianugerahkan oleh raja Syah Reza Pahlevi kepada keduanya.
Latar belakang keagamaan keluarga Nasr adalah penganut aliran
6
Syi‟ah tradisional yang memang menjadi aliran teologi Islam yang
banyak dianut oleh penduduk Iran. Dominasi paham Syi‟ah di Iran
bertahan sampai sekarang, walaupun telah terjadi revolusi di sana. Hal ini
disebabkan karena paham Syi‟ah telah lama hidup di sana yang didukung
oleh banyak ulama terkenal dan berpengaruh.7
Sebelum pindah ke Amerika untuk belajar formal ilmu modern
pada umur 13 tahun, Nasr memperoleh pendidikan tradisional di Iran.
Pendidikan tradisional ini diperoleh secara informal dan formal.
Pendidikan informalnya dia dapat dari keluarganya, terutama dari
ayahnya. Sedangkan pendidikan tradisional formalnya diperoleh di
madrasah Teheran. Selain itu oleh ayahnya dia juga dikirim untuk belajar
di lembaga atau madrasah pendidikan di Qum yang diasuh Allamah
Thabathaba‟i untuk belajar filsafat, teologi dan tasawuf. Ia juga diberi
pelajaran tentang hafalan al-Quran dan pendidikan tentang seni Persia

5
William C. Chittick, Preface” dalam The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from
1958 through April 1993, ed. Aminrazavi and Moris (Kuala Lumpur: tp, 1994), h. xiii.
6
Kata tradisional dan tradisi disini yang dimaksudkan bukanlah kebiasaan, adat istiadat atau
penyampaian ide-ide atau motif secara otomatis dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Tradisi yang dimaksud disini yaitu serangkaian prinsip yang diturunkan dari langit dengan
disertai sebuah manifestasi Ilahiah, dengan disesuaikan pada konteks kemasyarakatan yang
berbeda-beda. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight Modern Man, (London:
Longmans, 1976) Atau dalam edisi terjemahannya, Islam dan Nestapa Manusia Modern,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), hal. 79.
7
William C. Chittick, Preface…, h. xiii.

3
klasik.
Obsesi Valiullah Nasr agar Hossein Nasr menjadi orang yang
memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai ketimuran dimulai
dengan memasukkkan Hossein Nasr ke Peddie School di Hightstown,
New Jersey lulus pada tahun 1950. Kemudian melanjutkan ke
Massacheusetts Institute of Technology (MIT). Di institusi pendidikan ini
Nasr memperoleh pendidikan tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika
teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel yang dikenal sebagai
seorang filosof modern. Nasr banyak memperoleh pengetahuan tentang
filsafat modern.
Selain bertemu dengan Bertrand Russel, Nasr juga bertemu dengan
seorang ahli metafisika bernama Geogio De Santillana. Dari kedua ini
Nasr banyak mendapat informasi dan pengetahuan tentang filsafat Timur,
8
Khususnya yang berhubungan dengan metafisika. Dia diperkenalkan
dengan tradisi keberagamaan di Timur, misalnya tentang Hinduisme.
Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran para
peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh adalah pemikiran
Frithjof Schuon tentang perenialisme. Selain itu juga berkenalan dengan
pemikiran Rene Guenon, A. K. Coomaraswamy, Titus Burchardt, Luis
Massignon dan Martin Lings.
Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih gelar Master di MIT dalam
bidang geologi yang fokus pada geofisika.9 Belum puas dengan hasil
karyanya, beliau merencanakan untuk menulis desertasi tentang sejarah
ilmu pengetahuan dengan melanjutkan studinya di Harvard University.
Dalam menyusun disertasinya Nasr dibimbing oleh George Sarton.
Akan tetapi sebelum disertasi ini selesai ditulisnya, George Sarton
meninggal dunia, sehingga Nasr mendapatkan bimbingan berikutnya oleh
tiga orang professor, yaitu Bernard Cohen, Hammilton Gibb dan Harry
Wolfson. Disertasi ini selesai dengan judul “Conceptions of Nature in
Islamic Thought” yang kemudian dipublikasikan oleh Harvard University

8
http://wikipedia.com/
9
http://wikipedia.com/

4
Press pada tahun 1964 dengan judul “An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines”. Dengan selesainya disertasi ini Nasr mendapat
gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam usia yang cukup muda yaitu 25
tahun tepatnya pada tahun 1958.
2. Pengaruh Pemikiran Yang Didapat
Semasa belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan
banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai macam
perspektif. Selain ia belajar tentang ilmu sain di Barat, Nasr juga
kemudian tertarik kembali mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya
metafisika Timur yang banyak ia dapatkan di perpustakaan-
perpustakaan Barat. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak
lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental
dengan budaya mistik kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis
dari ajaran Syi‟ah.
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan
filsafat perennial.10 Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh
atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar
pemahaman eksoterik dan esoterik Islam. Nasr sangat memuji karya
Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy. Sehingga Nasr
memberikan gelar padanya sebagai My Master.
Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah
Rene Guenon.11 Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak
mempengaruhi orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya peletak
pandangan metafisis hermetisme, sebagai bagian yang penting dalam
kerangka besar pemikiran perennial.

10
Filsafat perennial adalah nama lain dari metafisika Islam sebagaimana dipahami Nasr. Ia juga
menyebutnya sebagai ilmu tentang Kenyataan Ultim, yang ada dalam semua agama atau tradisi
spiritual sejak awal sejarah intelektual manusia hingga kini. Meskipun disebut “filsafat”,
warna mistikalnya amat kental. Tulisan Zainal Abidin Bagir dalam koran Tempo dalam kolom
Suplemen Ruang Baca, tanggal 11 Februari 2003.
http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/filsafat_perennial_kembali_ke_masa_depan.htm
11
Pemikir ini banyak memberikan kontribusi mengenai pandangan-pandangan metafisis dalam
filsafat perenial, yang berisi kritik atas filsafat Barat modern. Dan yang paling urgen adalah
dia juga seorang tokoh utama dalam perspektif tradisional di dunia modern yang banyak
berbicara tentang makna tradisi.

5
3. Kiprah Dalam Sosial dan Politik
Seyyed Hossein Nasr kembali ke Iran tahun 1958 setelah
menyelesaikan program doktornya di Harvard University. Sekembalinya ke
Iran ia segera bergabung dengan kegiatan-kegiatan akademis di sana.
Kedalaman ilmunya memberikan satu tempat khusus baginya sebagai
seorang tokoh baru di Iran. Nasr aktif dalam kegiatan akademis dan
keagamaan, seperti keterlibatannya dalam diskusi-diskusi dengan para tokoh
Syi‟ah di sana semisal Allamah Thabathaba‟i, Muhammad Kazim „Assar
dan Abu Hasana Rafi‟i Wazwini.12
Nasr lebih berkiprah di dunia akademis diawal-awalnya. Ia banyak
mempengaruhi filsafat Islam modern di Iran melalui karya-karyanya,
dengan mensponsori berbagai konferensi dan mendirikan pusat kajian
filsafat Islam pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Dalam catatan
Aminrazavi Nasr telah mempelopori berdirinya Imperial Iranian Academy
of Philosophy, dengan kontribusinya telah menerbitkan jurnal ilmiah yang
bertajuk Javidan Khirad (Sophia Perennis) dan juga telah banyak
mempublikasikan teks-teks tradisional dengan jumlah besar.

B. PETA PEMIKIRAN
1. Alur Pemikiran
Untuk memudahkan pembahasan maka perlu dibagi periodesasi
dari pemikiran Nasr. Setidaknya dapat kita bagi menjadi empat periode,
yaitu periode 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an.13
Pada periode pertama pemikiran Nasr dapat dilihat pada karyanya
yang pertama yaitu An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines
(1964). Buku ini mengkaji tentang konsep kosmologi tradisionalis yang
memaparkan tentang pandangan metafisis dari pemikir klasik seperti
Ikhwan al-Shafa‟, Ibn Sina dan al-Biruni. Three Muslim Sages (1964)
yang memaparkan pemikiran tiga tokoh muslim klasik, yaitu Ibnu Sina

12
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep
“Tradisionalisme Islam” Saiyyed Hossein Nasr, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 50
13
Pembagian periode ini sebagaimana merujuk periodesasi yang dibuat oleh Ali Maksum,
Liihat Ali Maksum, Tasawuf..., h. 56

6
dengan filsafat Paripatetiknya (masysyaiyyah), Suhrawardi dengan
filsafat Illuminasionisme (isyraqiyyah), dan Ibn „Arabi dengan pemikiran
„Irfaniyahnya (ma’rifah).16 Ideals and Realities of Islam (1966), yang
memaparkan tentang urgensi Al-Qur‟an sebagai wahyu sekaligus
sumber pengetahuan, juga mengenai Hadits sebagai sumber ajaran kedua
setelah Al-Qur‟an. Buku ini sebenarnya adalah seri ceramah Nasr
yang disajikan di American University of Beirut selama tahun
akademik 1964-1965.
Dan di akhir 1960-an Nasr melontarkan kritiknya terhadap Barat. Ia
mengkritik atas realitas kemanusiaan modern dalam karyanya Man and
Nature: the Spiritual Crisis of Modern Man (1968) yang berbicara
tentang krisis spritual manusia modern dengan salah satu buktinya yaitu
manusia modern telah memperlakukan alam sekitarnya dengan semena-
terancam modernisasi dan globalisasi. Nasr menawarkan konsep Islam
tentang Fitrah manusia sebagai makhluk yang berketuhanan dan manusia
harus menghormati alam semesta sebagai sesama makhluk Tuhan
sekaligus tajalli dari-Nya. Dan ia juga memperkenalkan spirit sejarah
sain tradisional kepada Barat yang meliputi konsep metafisika, filsafat
dan agama dalam Islam dalam karyanya Science and Civilization in
Islam (1968), buku ini juga mengetengahkan prinsip-prinsip Islam dan
berbagai perspektif dalam peradaban Islam hingga tradisi ma’rifah.
Pada periode kedua (1970-an), kritik Nasr terhadap dunia modern
semakin dipertajam dengan menawarkan alternatif keluar dari krisis
modernitas dengan memperkenalkan tasawuf yang merupakan bentuk
kongkrit dari pemikirannya mengenai gnosisme, „irfan dan filsafat yang
ia pelajari sejak awal. Hal ini dipaparkannya dalam bukunya Sufi Essay
(1972). Islam and the Plight Modern Man (1976) juga tulisan Nasr
merupakan buku yang propokatif dan penuh keprihatinan yang
membicarakan masalah yang dihadapi oleh para muslim modern.
Memasuki periode ketiga (1980-an) ia banyak menuangkan
gagasannya secara kongkrit sebagai alternatif hidup di dunia modern. Ia
banyak mengkritik para Muslim modernis yang dinilai sebagai

7
pengemban pemikiran modern Barat yang sekular. Seperti contoh
Muhammad Abduh, Al-Afghani, Amir Ali dan Ahmad Khan. Dan
menurut Nasr, selain mereka itu ada gerakan-gerakan puritanis
rasionalistik yang membunuh tasawuf seperti halnya gerakan Wahabiyah
yang dituduh sebagai biang kemunduran umat Islam. Hal ini dijelaskan
dalam bukunya Islamic Life and Thought (1981). Knowladge and Sacred
(1981) merupakan karya Nasr yang banyak membicarakan epistemologi
berpikir Tradisional dalam Islam. Islamic Art and Sprituality (1987)
mengulas keindahan dan kebesaran seni budaya Persia sebagai seni suci
dan seni tradisional.
Periode terakhir (1990-an) Nasr menggagas tindakan nyata tentang
teori-teori dan pendapatnya dengan lebih fokus mengarahkan pandangan
sufistiknya menjadi praktis dalam kehidupan modern seperti dalam
karyanya Religion and Religion: The Chlallenge of Living in a
Multireligious World (1991) yang juga mengutarakan gagasannya tentang
peremuan dan kerukunan antar agama yang didasarkan pada filsafat
perennial dan pandangan Ibn „Arabi. Young Muslim’s Guide to the
Modern World (1994) tentang pengetahuan kesufian khusus untuk kaum
muda, History of Islamic Philosophy (1994) yang banyak membicarakan
perkembangan filsafat Islam mulai dari jaman klasik hingga jaman
kontemporer sekarang ini, merupakan dua karya yang ditulis di akhir
periode ini.
2. Posisi Pemikiran
Menurut Azra, pemikiran Nasr bisa dimasukan ke dalam beberapa
model berfikir yaitu posmodernis, neo-modernis, atau neo-sufisme.
Dikatakan posmodernis karena ia banyak mengkritik pemikir-pemikir
modernis Islam seperti Abduh, Al-Afgani, Amir Ali dan Ahmad Khan
sebagai pengemban budaya Barat dan sekulerismenya. Neo-modernis
karena ia adalah pengkritik Barat dengan segala aspeknya, dan
menampilkan kembali warisan pemikiran Islam sebagai solusi atas
modernitas yang dimotori Barat tersebut. Juga sebagai neo-sufisme
dengan bukti sebagai seorang pemikir sufi yang menerima pluralisme dan

8
perenialisme sebagai wujud nyata pemikiran sufinya, disamping sebagai
sufi yang sebenarnya yang selalu menginginkan penggalian yang
sedalam-dalamnya atas spiritualitas dan makan batin Islam.14
Nasr salah satu penyuara anti modernisme Islam yang ada di Barat
yang juga seorang ahli sain modern yang berpendidikan Barat. Dari
Timur ia mewarisi akar tradisi mistis dari Persia sebagai salah satu pusat
tradisonalitas Islam, diajari bagaimana memaknai Islam dari lahir hingga
batin berdasarkan akar pemikiran Syi‟ah, disisi lain ia juga sorang ahli
ilmu terapan yang dipelajarinya dari Barat modern. Seorang ahli fisika
yang kemudian melintasi sektornya hingga metafisika. Dia termasuk
orang yang kecewa dengan ilmu sain modern yang tidak mampu
memberikan jawaban atas pertanyaan yang radikal tentang Wujud Abadi
atau Realitas Universal.
Hal itu yang membuat ia menjadi seorang yang anti modernis
dengan segala hal yang ada di dalamnya. Sehingga juga tepat jika ia
15
sebenarnya adalah seorang neo- tradisionalis yang mencoba
mengetengahkan rekonstruksi pemikiran Islam tradisional di tengah dunia
modern ini. Tentunya dengan sufisme sebagai solusi yang ia berikan
sebgaia sebuah keilmuan yang harus dipahami dan menjadi ruh dari
keilmuan modern yang lain, agar manusia modern kembali kepada
khittahnya sebagai makhluk Tuhan.
3. Agama
Untuk memahami tradisi secara lebih baik, maka perlu adanya
pembahasan tentang hubungan tradisi dengan agama. agama (religion),
juga memiliki akar yang hampir sama,

14
Azumardi Azra, “Memperkenalkan Pemikiran Hossein Nasr”, dalam Seminar Sehari:
Spiritualitas, Krisis Dunia Modern dan Agama Masa Depan (Jakarta: Paramadina, 1993), h.
35.
15
Kata neo berarti baru dan tradisionalis berarti penyokong aliran tradisionalisme. Jadi dapat
dikatakan bahwa neo-tradisionalis adalah seorang yang menganut tradisinalisme berpikir
model baru; atau pembaharu tradisionalisme Islam. Lihat Pius A. Partanto dan M.

9
yaitu "mengikat" (dari bahasa Latin religere). "Religio" adalah
pengikat (Religat) antara manusia dan langit dengan melibatkan
keseluruhan wujudnya; sementara "traditio” berkaitan dengan realitas.16
Jadi agama merupakan pengikat antara manusia dengan Tuhan sekaligus
juga antara manusia dengan manusia dalam sebuah komunitas sakral,
yang oleh muslim disebut ummah. Dalam arti itulah dapat dipahami
bahwa agama dapat dikatakan sebagai asal usul tradisi. Sebagai suatu
yang berasal dari langit melalui wahyu, memunculkan prinsip-prinsip
tertentu, yang aplikasinya dapat dianggap sebagai atau berupa tradisi.
Sehingga agama cakupannya lebih luas dari pada tradisi karena agama
merupakan asal dari tradisi.

Adapun agama secara objektif mengandalkan adanya realitas


suprim yang bersifat personal, yaitu yang memiliki kehendak dan
kemampuan mewahyukan keberadaan kepada manusia, serta memiliki
wewenang dan kebebasan. Sedang secara subjek, agama mengandalkan
adanya kemampuan manusia untuk menerima kebenaran yang
diwahyukan, yaitu adanya iman. Kemampuan ini merupakan salah satu
keistimewaan manusia dibandingkan makhluk-makhluk lain. Seperti
kata Hossein Nasr:
"Setiap makhluk di dunia tetap menjadi dirinya sendiri, sebab ia telah
ditetapkan pada tingkat eksistensi tertentu. Hanya manusia yang dapat
berhenti menjadi manusia. Ia dapat naik ke tingkat eksistensi dunia
tertinggi atau pada saat yang sama jatuh di bawah tingkat makhluk yang
paling rendah. Alternatif surga dan neraka yang diberikan kepadanya
menunjukkan kondisi manusia yang unik. Dilahirkan sebagai manusia.
Ia memiliki keuntungan yang tidak dimiliki makhluk- makhluk lain, dan
sangat tragis apabila ia menyia-nyiakan hidupnya untuk mengejar hal-
hal yang menjatuhkannya dari tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu
penyelamatan jiwanya".17

16
Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Pakistan: Suhail Academy, Lahore,
1988), h.
17
Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam..., h. 10

10
Nasr menjelaskan bahwa dalam semua agama terdapat dua hal
esensial yang merupakan dasar agama; pertama, doktrin yang
membedakan antara yang mutlak dan yang nisbi, kedua, metode untuk
mendekatkan diri kepada yang nyata dan mutlak serta hidup sesuai
dengan kehendak-Nya, yang menjadi tujuan dari arti bagi eksistensi
manusia. Tidak sebuah agama-pun baik Hindu, Islam, Kristen atau
Budha, dapat berdiri tanpa doktrin yang membedakan antara yang
mutlak dan yang nisbi. Hanya bahasa doktriner yang dari setiap agama
saja yang dapat berdiri dengan baik tidak memiliki cara mendekatkan diri
kepada yang nyata serta hidup sesuai dengan kehendak-Nya.18
4. Eksoterik dan Esoterik
Hakikat tradisi yang melingkupi segala sesuatu dimungkinkan oleh
adanya sifat kehadiran dimana-mana yang menjadi karakter setiap tradisi
yang integral. Ia menjadikan agama sebagai pangkal segala level dan
dimensi berbagai ajaran yang perujuk pada tingkatan spritual dan
intelektual. Secara garis besar tingkatan ini dikelompokan menjadi dua
yaitu eksoterik dan dimensi esoterik. Eksoterik mengatur keseluruhan
hidup manusia secara tradisional, dalam arti realitas yang mencakup setap
denyut kehidupan dalam masyarakat, dimana seluruh aktivitas berkaitan
dengan norma-norma transenden, sedangkan yang kedua esoterik
berkaitan dengan kebutuhan spritual dan intelektual mereka yang ingin
mencari Tuhan.
Nasr menjelaskan bahwa tradisi Yahudi memiliki dua hal tersebut,
eksoterik terwadahi dalam talmudik sedangkan esoterik dalam kabalistik.
Dalam Islam ada syari'ah sebagai perwujudan eksoterik dan thariqah
perwujudan esoterik. Sedangkan dalam Kristen sebenarnya juga
merupakan agama yang eso-eksoterik, meski kurang tegas dibandingkan
dua tradisi di atas yang semenjak awal sudah memiliki aspek esoterik.19
5. Orthodoksi
Tradisi akan selalu mengimplikasikan adanya ortodoksi, bahkan

18
Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam..., h. 1
19
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge..., h. 78.

11
lebih dari itu, ortodoksi tidak dapat dipisahkan dari keduanya. Jika ada
sesuatu yang dinamakan kebenaran, maka harus ada yang namanya
kesalahan-kesalahan serta norma-norma yang dapat digunakan oleh
manusia untuk membedakan keduanya. Ortodoksi sendiri mempunyai
pengertian sebagai hakikat kebenaran dan kaitannya dengan homogenitas
formal dunia tradisional. Artinya ortodoksi merupakan doktrin yang
terkandung dalam ajaran-ajaran suci, karenanya ia mempunyai nilai
kebenaran dan bersesuaian dengan dunia tradisional yang merupakan
manifestasi keberan itu sendiri.20
Nasr menyatakan bahwa ortodoksi merupakan kriteria utama
penilaian tradisional atau tidak suatu ajaran didasarkan atas
pandangannya bahwa tidak ada tradisi tanpa ortodoksi serta tidak ada
kemungkinan ortodoksi di luar tradisi. Ajaran dapat dikatakan tradisional
apabila menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, serta
penerapan bersinambungan (prinsip-prinsipnya) yang langgeng terhadap
berbagai situasi ruang dan waktu. Atas dasar ini para tradisionalis
menerima wahyu (kalam Tuhan) baik kandungan maupun bentuknya
sebagai permulaan duniawi kalam abadi Tuhan yang tercipta tanpa asal-
usul temporal. Disamping itu, mereka mempertahankan, meminjam
istilah Islam- Syari'ah sebagai hukum Tuhan. Namun mereka menerima
kemungkinan meberikan pandangan-pandangan berdasarkan prinsip-
prinsip legal (Ijtihad).21

C. KRITIK NASR TERHADAP MODERNISME


Seyyed Hossein Nasr adalah salah seorang di antara sekian pemikir
muslim kontermporer yang paling terkemuka pada tingkat internasional
yang banyak memberikan perhatian dan memberikan kritik yang tajam pada
masalah-masalah yang dihadapi manusia modern. Bagi Nasr yang dimaksud
istilah modern bukan berarti kontemporer atau mengikuti zaman, bukan pula
suatu yang berhasil menaklukkan atau mendominasi alam semesta.

20
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge..., h. 78.
21
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge..., h. 88.

12
Sebaliknya, bagi dia modern berarti sesuatu yang terpisah dari yang
Transenden, dari prinsip-prinsip langgeng yang dalam realitas mengatur
materi dan diberitakan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertian
yang paling universal. Modernisme dengan demikian, oleh Nasr,
dipertentangkan dengan tradisi (al-din); modernisme mengimplikasikan
semua yang semata-mata manusiawi dan kini jauh semakin submanusiawi,
dan semua yang tercerai dan terpisah dari sumber yang Ilahi. Kalu selama
ini tradisi menyertai dan dalam kenyataanya menjadi ciri eksistensi manusia,
sementara modernisme adalah sebuah fonomena yang sangat baru.22
Hampir tidak ada lagi pokok perdebatan yang memancing gejolak rasa
dan perdebatan dikalangan umat Islam dewasa ini selain relasi antara
pemikiran Islam dengan dunia barat. Disadari atau tidak peradaban barat
telah menggerogoti konstruk pemikiran Islam sehingga barangkali sudah
lebih dari dua abad umat Islam hidup dalam bayang- bayang peradaban
barat, banyak pihak yang merasa khawatir akan tercerabutnya nilai-nilai
Islam itu sendiri dari pemeluknya.
Peradaban barat telah menimbulkan multi krisis, baik krisis moral,
spiritual, dan krisis kebudayaan yang dimungkinkan lebih disebabkan corak
peradaban modern industrial yang dipercepat oleh globalisasi yang
merupakan rangkaian dari kemajuan barat pasca renaisans. Paham yang
serba mendewakan manusia dan kehidupan dunia yang sifatnya temporal.
Hal ini secara faktual telah melahirkan tercerabutnya kebermaknaan dalam
hidup manusia, akibat hilangnya nilai-nilai transendental agama dari
kehidupan manusia.
Satu hal yang dianggap sebagai kegagalan peradaban modern yang
paling fatal ialah percobaan manusia untuk hidup dan menapikan
keberadaan Tuhan dan agama. Suatu hal yang tentu sangat bertentangan
dengan fitrah manusia yang dalam hatinya memiliki potensi ilahiyah, dan
pasti akan selalu membutuhkan sesuatu yang bersifat transenden yaitu
Tuhan.

22
Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam..., h. 98.

13
Proses sekularisasi melangkah lebih jauh pada abad ke-19 bahkan
memasuki wilayah Teologi, yang sampai saat itu masih secara alamiah
bersatu dengan kerangka agama, dan kemudian jatuh dibawah kekuasaan
sekularisme. Pada waktu itu ideologi ateistik mulai mengancam teologi itu
sendiri sementara persfektif teologi tradisional mulai mundur dari satu
wilayah yang seharusnya didudukinya. Yakni wilayah pemikiran agama
yang murni. Disini penting disebutkan bahwa teologi yang dipahami dalam
konteks barat adalah hal yang utama bagi Kristen, berbeda dengan Islam
yang menempatkan teologi tidak sepenting hukum Islam. Dalam Kristen,
semua pemikiran yang serius berkaitan dengan teologi dan karenanya
kemunduran teologi Kristen pada tingkat yang belum pernah terjadi
sebelumnya dari berbagai wilayah pemikiran juga berarti kemunduran
agama di barat dari kehidupan sehari-hari dan pemikiran manusia barat.
Kecenderungan ini mencapai tingkat seperti itu pada abad ke-20 ketika
sebagian besar teologi itu, secara berangsur-angsur mengalami proses
sekularisasi.23
Manusia memerlukan petunjuk Tuhan dan harus mengikuti petunjuk
itu, agar dia dapat menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya dan agar
ia mampu mengatasi rintangan dalam menggunakan akalnya. Nasr
berkeyakinan bahwa akal dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan
apabila akal itu sehat dan utuh (salim), dan hanya petunjuk Tuhan yang
menjadi bukti yang paling meyakinkan dari pengetahuan-Nya yang dapat
menjamin keutuhan dan kesehatan akal, sehingga akal dapat berfungsi
dengan baik dan tidak terbutakan oleh nafsu keduniawian.24
Sebagai manusia yang telah dibimbing oleh agama, kita tidak
seharusnya mencontoh apa yang menjadi sisi negatif dari modernisasi di
dunia barat, meskipun peranan modern itu lahir dari sebuah keunggulan
metodologi sains. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mengusahakan
agar bagaimana iman, ilmu, dan teknologi senantiasa selalu berjalan
beriringan. Yang menjadi tugas kita sekarang adalah bagaimana agar kita

23
Sayyed Hossein Nasr, Menjelajahi Dunia Modern, (Bandung: Mizan, 1995), h.
149.
24
Sayyed Hossein Nasr, Islam Dalam..., h. 7-8.

14
dapat mengangkat kembali dan mengembalikan posisi kemanusiaan dalam
tempat semula yang lebih baik. Seperti yang telah dikatakan Yusuf
Qardhawi,
"manusia barat telah membuka tabir pengetahuan yang cukup banyak.
Tetapi mereka tidak mampu menguak misteri dibalik wujudnya. Mereka
telah mengetahui pengetahuan fisik, tetapi tidak dapat menundukan
nafsunya. Mereka telah mendapatkan nuklir, tetapi gagal mendapatkan
ideologi dan spiritnya. Sangat indah apa yang telah dikatakan filosof India
ditunjukan kepada salah seorang pemikir Barat, “Sudah cukup baik, kalian
terbang tinggi di udara bagai burug. Kalian telah menyelam ke dasar laut
seperti ikan. Namun kalian sama sekali tidak berjalan baik di muka bumi
ini seperti layaknya manusia.25

Mungkin inilah yang bisa kita sebut sebagai krisis identitas.


Peradaban barat yang maju dari segi materi, ternyata telah gagal
memahami manusia sebagai makhluk yang multi dimensia. Manusia bukan
hanya sebatas makhluk yang mengandalkan kemampuan indera dan akal,
tetapi lebih dari itu ia adalah makhluk Tuhan yang mengemban amanat
dari Tuhannya untuk menjadi pemimpin dan pengelola segala potensi yang
ada di dunia ini, untuk kemudian dipertanggungjawabkan dihadapan
Tuhan.
Manusia modern harus kembali diingatkan dan diarahkan kepada
kesucian, Tuhan yang merupakan asal dan sekaligus pusat dari segala
sesuatu dan kepadanyalah manusia kembali. Pemisahan manusia dari
kesempurnaan aslinya hanya akan menggiring manusia pada apa yang
dikatakan Kristen “kejatuhan”. Manusia berada dalam belenggu kebebasan
yang semu, sifat ketuhanan (theomorfis) yang seharusnya ada pada
peradaban modern maupun renaisans. Kepada manusia-manusia yang
seperti inilah tradisi agama seharusnya disampaikan dan manusia-manusia
batiniah inilah yang hendak dibebaskan tradisi dari belenggu ego dan
keadaan yang mencekam karena sebuah aspeknya dilupakan dan dianggap
sama sekali eksternal. Hanya tradisi yang dapat membebaskan mereka,
bukan agama-agama palsu yang pada saat ini sedang bermunculan. 26Ini
merupakan penyakit yang obatnya ada pada peradaban kita yang Illahiyah,

25
Yusuf Qardhawi, Epistemologi AL-Quran, (Surabaya: 1996), h. 113.
26
Sayyed Hossein Nassr, Islam dan Nestapa..., h. 83.

15
Insaniyah, dan Universal. Suatu peradaban haq, bajik, seimbang serta adil.
Peradaban yang mendudukan segalanya pada porsi yang sebenarnya. Tidak
menyimpang dari posisinya. Suatu tata peradaban yang memadukan mesjid
dan pabrik, memadukan agama dan ilmu, akal dan hati, materi dan ruh, serta
menyelaraskan hubungan waktu kemarin hari ini dan esok, idealisme dan
realisme.

D. GAGASAN ISLAM TRADISIONAL (TRADISIONALISME)


Sebelum kita membahas lebih mendalam bahasan ini, alangkah baiknya
apabila kita terlebih dahulu mengetahui apa arti dari tradisi. Tradisi bisa berarti
ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek
agama dan percabangannya; bisa pula disebut as-sunnah, yaitu apa yang sudah
menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan al-
silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap
kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber, seperti tampak
gamblang dalam sufisme. Karenanya tradisi mirip sebuah pohon, akar- akarnya
tertanam melalui wahyu di dalam sifat illahi dan darinya tumbuh batang dan
cabang-cabang sepanjang zaman. Dijantung pohon tradisi itu berdiam agama,
dan saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari wahyu,
memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang
kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan
bersinambung prinsip-prinsip yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan
waktu.27

Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang


terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada
zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia
tradisional. Manusia suci, menurut nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal
maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung
kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan
mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.28

27
Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi..., h.3
28
Sayyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 185.

16
Sejauh doktrin tradisional tentang manusia diperhatikan, hal itu didasarkan
pada konsep manusia primordial sebagai sumber kemanusiaan, refleksi total dan
lengkap mengenai Illahi dan realitas pola dasar yang mengandung posibilitas-
posibilitas eksistensi kosmik itu sendiri. Signifikasi Islam tradisional dapat pula
dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap fase Islam. Islam Tradisional
menerima Qur‟an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya:
sebagai persoalan duniawi abadi kalam Tuhan, yang tak-tercipta dan tanpa asal-
usul temporal. Islam tradisional juga menerima komentar- komentar tradisional
atas Qur‟an yang berkisar dari komentar-komentar yang linguistik dan
historikal hingga yang sapiental dan metafisikal.29
Sifat primordial dan paripurna tentang manusia yang Islam menyebutnya
“Manusia sempurna”(insan kamil), dan doktrin-doktrin sapiensial kuno Gracco-
Aleksandrian juga menyinggung dalam istilah yang hampir sama, kecuali aspek-
aspek Abrahamik dan Islamik yang secara khusus tidak muncul dalam sumber-
sumber Neo-platonik dan hermetik, yang menyatakan bahwa realitas manusiawi
mempunyai tiga aspek fundamental. Pertama adalah dari realitas pola dasar alam
semesta, kedua instrumen atas makna dimana wahyu turun ke dunia, dan ketiga,
model sempurna untuk kehidupan spiritual dan pemancar pengetahuan esoterik
mutakhir. Dengan kebajikan realitas manusia universal, manusia terestrial dapat
memperoleh akses pewahyuan dan tradisi, sehingga tersucikan. Akhirnya, melalui
realitas yang tak lain daripada aktualisasi realitas manusia itu sendiri, manusia
mampu mengikuti jalan sempurna yang akhirnya memungkinkan memperoleh
pengetahuan suci, dan akhirnya menjadi dirinya sendiri secara sempurna.30
Mengenai metafisika, Nasr berpendapat bahwa metafisika merupakan
pengetahuan yang real. Ia menjelaskan asal-usul dan tujuan semua realitas,
tentang yang absolut dan relatif . oleh karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia
ingin tinggal di dunia lebih lama, prisip-prinsip metafisika harus dihidupkan
kembali.35

E. GAGASAN ISLAMISASI SAYYED HOSSEIN NASR (Pembaruan


29
Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi..., h.
30
Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi..., h. 192

17
Kembali ke Konsep Islam Tradisi)
Keyakinan atau aqidah adalah unsur yang sangat berpengaruh terhadap
kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Ia
merupakan referensi bagi suatu tindakan, dalam arti bahwa sebelum seseorang
melakukan suatu perbuatan, dia selalu menimbangnya dengan keyakinan yang
dimilikinya. Sebelum bertindak, seseorang yang memiliki keyakinan agama,
misalnya, pasti terlebih dahulu menilai apakah perbuatan yang akan
dilakukannya sesuai dengan keyakinan agamanya ataukah tidak. Jika sesuai, ia
akan melakukannya dengan sebaik-baiknya, sebab dia yakin bahwa
perbuatannya tidak hanya memiliki dampak bagi kehidupan masa kininya, tetapi
juga pada kehidupan akhiratnya kelak. Akan tetapi, jika perbuatan itu
bertentangan dengan keyakinannya, maka kemungkinan besar dia tidak akan
melakukannya. Kalau pun karena satu dan lain alasan kemudian dia
melakukannya juga, dia pasti akan merasa bersalah dan berdosa.31
Barangkali semua dorongan itulah yang menyebabkan timbulnya dorongan
yang kuat bagi Nasr untuk tetap menggelorakan pembaharuan (tajdid) kearah
bangkitnya kembali Islam Tradisional yang diyakininya merupakan solusi
terbaik bagi umat Islam untuk mengangkat kembali Islam yang telah “terinjak”
dibawah peradaban modern barat.
Semangat pembaharuan (tajdid) ini merupakan cita-cita Nasr untuk
mengembalikan Islam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah
banyak terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-
nilai Illahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdid dengan
renaisans yang menurut pengertian yang sebenarnya. Suatu renaisanas dalam
Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional
diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid) tersebut. Namun
seorang mujaddid berbeda dengan seorang “tokoh reformasi” menurut pengertian
modernnya yang disebut muslih.

Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada

31
Chatib Saefullah, Pemikiran Sayyed Hossein Nassr Tentang Epistemologi, (Tesis Oleh
Dawam Raharjo, 1995), hal 75.

18
asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian suci dengan
Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh
kedalam belenggu karya rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia
menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya
kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal
siapakah realitas sesungguhnya dia dihadapan Tuhannya.
Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi
materi saja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari
dalam dirinya sendiri, untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas
yang ada disekitarnya.
Nasr merupakan figur yang sangat relevan kita ia menggembor-gemborkan
tentang tajdidd. Nasr merupakan tokoh yang memiliki wawasan yang sangat luas
tentang seluk- beluk peradaban modern dengan segala implikasi-implikasi yang
bisa ditimbulkannya. Namun demikian, keakraban Nasr dengan alam modern
tidak lantas menyebabkan ia tercerabut dari akar peradaban Islam, malah ia lebih
menancapkan lagi dimana posisi Islam seharusnya ditempatkan. Nasr telah
berhasil menciptakan batasan-batasan antara Islam dan barat, tradisi dan
modernisasi, dan dengan itu semua orang bisa memilih posisi dimana ia akan
mengambil tempat.

BAB III

19
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sayyed Hossein Nasr, adalah orang yang telah sekian lama hidup dan
akrab dengan dunia modern yang tetap istiqamah dalam pendiriannya, dan tidak
tertipu oleh kemajuan semu peradaban modern. Ia menggelorakan semangat
pembaharuan (tajdidd), yaitu seruan agar umat Islam tidak tertipu oleh peradaban
barat, dan kembali pada nilai-nilai tradisi Islam, yang dilandasi oleh Al-Qur‟an
dan al-Hadits. Semangat pembaruan atau tajdidd ini kemudian kita yang kenal
dalam bahasa Nasr sebagai Islam tradisi.
Islam tradisi tidak berarti menutup diri terhadap kemajuan, malahan Islam
merupakan agama yang menyuruh umatnya untuk maju dan mengelola segala
potensi yang telah diberikan Tuhan untuk manusia dan menyadari hakekat
keberadaan dirinya di muka bumi ini yaitu untuk beribadah dan menghambakan
dirinya pada Tuhan.
Kita patut mengacungkan jempol untuk Nasr atas gagasannya ini. karena
umat Islam tidak akan menjadi umat yang beruntung ketika ia meninggalkan atau
tercerabut dari tradisinya. Ketika orang-orang barat meninggalkan tradisinya,
maka mereka berhasil mencapai kemajuan. Namun ketika umat Ilam
meninggalkan tradisinya, maka yang akan didapatkan hanyalah kenistaan.

B. Saran
Kajian tentang tokoh Sayyen Hossein Nasar ini sebenarnya tidaklah cukup
kita bahas dalam satu makalah singkat ini saja. Namun akan lebih sempurna lagi
bila kita bisa membaca berbagai karya yang telah ditulih oleh Nasr sendiri yang
merupakan hasil pemikiran-pemikiran beliau yang banyak memberikan
kontribusi bagi khazanah keislaman di dunia modern sekarang. Untuk itu penulis
berharap agar tulisan ini bermamfaat dan tentunya tidak hanya sampai di sini
saja, melainkan hendaknya para pembaca bisa menela'ah lebih lanjut buah
pemikiran Nasr sebagai tambahan pengetahuan bagi kita semua.

20
DAFTAR PUSTAKA

Afif, Muhammad. Dari Teologi ke Ideologi. Bandung: Pena Merah. 2004. Bagus,
Loren. Kamus Filsafat. (Jakarta: Gramedia. 2000.

Maksum, Ali. Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah


Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Saiyyed Hossein Nasr.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.

Nasr, Seyyed Hossein. Intelektual Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.

Nasr, Seyyed Hossein. Islam and The Plight of Modern Man, London: Longman
Group, 1975

Nasr, Seyyed Hossein. Islam dalam Cita dan Fakta. (terj. Abdurrahman Wahid
dan Hashim Wahid). Jakarta: LEPPENAS, PT. Panca Gemilang Indah.
1983.

Nasr, Seyyed Hossein. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung: Penerbit
Pustaka, 1983.

Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. Bandung:
Penerbit Pustaka, 1994.

Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. Pakistan: Suhail Academy,
Lahore. 1988.

Nasr, Seyyed Hossein. Menjelajahi Dunia Modern. Bandung: Mizan. 1995.

Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. London: New American
Library. 1970.

Nasr, Seyyed Hossein. Sufi Essays. London: George Allen & Unwin. 1972.

Nasr, Seyyed Hossein. Traditional Islam in the Modern Word. London: Worts-
Power Associates. 1987.

Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Penerbit
Arkola. Tt.

Qardhawi, Yusuf. Epistemologi AL-Quran. Surabaya: tt. 1996.

Saefullah, Chatib. Pemikiran Sayyed Hossein Nassr Tentang Epistemologi, (Tesis


Oleh Dawam Raharjo), 1995.

http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/filsafat_perennial_kembali_ke_masa_depan.htm
http://wikipedia.com/

21

Anda mungkin juga menyukai