Anda di halaman 1dari 9

Ilmu, Tsaqofah & Cara 

Mempelajarinya

Ketika ‘ilmu dan tsaqafah tidak dibedakan, atau tidak faham perbedaannya, maka tidaklah
mengherankan kalau umat Islam terkecoh menganggap ilmu-ilmu alam seperti fisika sama
universalnya dengan ilmu-ilmu sosial seperti politik dan ekonomi. Mengapa? Sebab, pandangan
tersebut juga dominan di negara-negara Barat, setelah kuatnya pengaruh Positivisme yang dirintis oleh
August Comte (1798-1857). Sistem pendidikan di Dunia Islam yang didasarkan pada paradigma
sekularisme akhirnya mengimbaskan pandangan yang sama itu kepada umat Islam.

Positivisme adalah anggapan bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah "data-data yang
nyata/empirik", atau yang mereka namakan ‘positif’. Positivisme merupakan tradisi berpikir dalam
ilmu-ilmu sosial Barat yang sebenarnya dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu-ilmu alam
dalam memahami dan menyelidiki fenomena alam. Karena itu, Positivisme mempercayai
universalisme dan generalisasi yang diperoleh dari prosedur metode ilmiah (scientific method)
sehingga kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dianggap bersifat universal atau cocok (appropriate)
untuk semua, kapan saja, dan di mana saja.

Walhasil, dominasi Positivisme dan metode ilmiah yang diterapkan dalam lapangan ilmu-ilmu sosial
itulah yang mengakibatkan umat Islam menganggap ilmu-ilmu sosial bersifat universal, sebagaimana
halnya ilmu-ilmu alam. Maka dari itu, tidak mengherankan kalau ide demokrasi, kapitalisme, dan
liberalisme dianggap sama universalnya dengan fisika atau kimia. Demikian pula sosiologi dan
psikologi; juga dianggap universal seperti halnya astronomi dan biologi.

Kenyataan itulah yang membuat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani prihatin. Dari sinilah lalu beliau
merumuskan gagasannya tentang klasifikasi pengetahuan menjadi ilmu dan tsaqâfah, termasuk
gagasan tentang metode berpikir untuk menghasilkan masing-masing pengetahuan itu. An-Nabhani
menegaskan, ilmu-ilmu sosial bukanlah pemikiran universal, melainkan pemikiran khas yang
dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat.
Ilmu & Tsaqofah
Secara bahasa dikatakan ‫ َعلِ َم ال َّر ُج ُل ِع ْل ًما‬, artinya ‫(حصلت له حقيقة العلم‬hakekat suatu ilmu telah dimilikinya).
ِ ‫(ع‬dia telah mengetahui sesuatu). Di dalam bahasa dikatakan ً‫ثَقِفَ ثَقَافَة‬, artinya
Dan ‫ َعلِ َم ال َّش ْي َء‬, artinya ‫َرفَه‬
‫صا َر َحا ِذقًا‬
َ (menjadi mahir, pandai, cakap atau piawai). Pelakunya disebut ‫ف‬ ٌ ِ‫ ثَق‬dan ‫ْف‬
ٌ ‫ثَقِي‬. Dan ‫الكال َم‬ ‫ثقِف‬
ً‫ثَقَافَة‬, artinya ‫( ف ِهمه بسُر َع ٍة‬dia mahir dan memahami (perkataan)nya dengan cepat tanggap).
Makna Istilah[1]
‫المعرفة التى تؤخذ عن طريق المالحظة والتجربة واالستنتاج‬: ‫العلم‬
‫ المعرفة التى تؤخذ عن طريق االخبار والتلقي واالستنباط‬:‫الثقافة‬

Ilmu: pengetahuan yang diambil melalui cara penelaahan, eksperimen dan kesimpulan.

Tsaqafah: pengetahuan yang diambil melalui berita-berita, talaqqiy (pertemuan secara langsung)


dan istinbath (penggalian/penarikan kesimpulan).
Ilmu adalah pengetahuan yang bebas nilai (value-free), sedangkan tsaqâfah adalah pengetahuan yang
mengandung nilai (value-bound). Namun, karakter bebas-nilai pada ilmu hanya ada pada dataran
epistemologinya. Dalam dataran aksiologi, yaitu studi mengenai bagaimana menerapkan suatu
pengetahuan, karakter ilmu tidaklah netral, tetapi bergantung pada pandangan hidup penggunanya.
Internet sebagai contohnya, dapat dimanfaatkan sebagai sarana dakwah, tetapi juga dapat digunakan
sebagai sarana penyebaran pornografi.
Tsaqafah Islam

Tsaqafah Islam adalah pengetahuangetahuan yang menjadikan akidah Islam sebagai sebab dalam
pembahasannya:

1. Pengetahuan yg mengandung akidah Islam dan membahas tentang akidah, seperti ilmu tauhid.

2. Pengetahuan yang bertumpu kepada akidah Islam, seperti fiqih, tafsir dan hadits.

3. Pengetahuan yang terkait dengan pemahaman yang terpancar dari akidah Islam berupa hukum-
hukum, seperti pengetahuangetahuan yang mengharuskan ijtihad dalam Islam, seperti ilmu-ilmu
bahasa Arab, musthalah hadits dan ilmu ushul.

Tsaqafah Islam seluruhnya kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Dari keduanya, dengan memahami
keduanya, dan yang mengharuskan keduanya, muncul seluruh cabang tsaqafah Islam. Keduanya
termasuk juga dalam tsaqafah Islam, karena akidah Islam mengharuskan mengambil keduanya, dan
terkait dengan apa yang dibawa oleh keduanya.

Metode Pembelajaran Tsaqafah Islam

Tsaqafah Islam memiliki metode tertentu dalam pembelajaran. Metode tersebut dapat disimpulkan
menjadi tiga perkara:

1. Sesuatu dipelajari dengan mendalam hingga dipahami hakekatnya dengan pemahaman yang
benar.
Karena tsaqafah Islam bersifat fikriyah, mendalam, mengakar, dan memerlukan kesabaran dan
keteguhan dalam mempelajarinya. Bertsaqafah dengan tsaqafah tersebut merupakan aktivitas berpikir
yang membutuhkan pengerahan seluruh upaya (pemikiran) untuk memahaminya. Hal itu memerlukan
pemahaman yang menyeluruh, dan membutuhkan pemahaman tentang faktanya serta kaitannya
dengan berbagai informasi yang dapat memberikan pemahaman terhadap fakta tersebut. Oleh karena
itu penerimaannya harus dengan cara talaqqiyan fikriyan (pemikiran yang disampaikan melalui
perjumpaan). Misalnya, setiap muslim wajib mengambil akidahnya melalui proses akal, bukan dengan
nrimo (melalui warisan orang tua). Dengan demikian mempelajari setiap perkara yang berhubungan
dengan asas akidah harus dengan aktivitas berpikir. Begitu pula dengan hukum-hukum syara’ yang
diseru oleh al-Quran dan hadits. Untuk istinbath harus melalui aktivitas berpikir. Dengan aktivitas
berpikir dapat dipahami realita/fakta suatu masalah, nash yang berhubungan dengannya, serta
penerapan nash tersebut terhadap masalah tadi. Ini semua melalui aktivitas berpikir. Bahkan orang
yang ‘aami (awam), yang (ingin) mengambil suatu hukum tanpa harus mengetahui dalilnya pun
memerlukan pemahaman tentang masalahnya, dan pemahaman tentang hukum yang ada untuk
menyelesaikan masalah tersebut, agar dia tidak mengambil hukum untuk masalah lain, yang bukan
untuk masalahnya.
2. Orang yang belajar mesti meyakini apa yang sedang dipelajarinya agar dia beraktivitas
dengannya. Yaitu membenarkan hakekat yang dipelajarinya dengan pembenaran yang pasti tanpa ada
keraguan jika hakekat yang dipelajari itu berkaitan dengan akidah, dan berdasarkan ghalabatu adz-
dzan (dugaan kuat) kesesuaiannya dengan fakta jika hakekat yang dipelajari itu bukan termasuk
perkara akidah, seperti hukum dan adab. Namun, hakekat itu harus bersandarkan kepada asal yang
diyakini dengan keyakinan yang pasti, yang tidak mengandung keraguan. Walhasil, disyaratkan bagi
yang belajar untuk mengambil sesuatu yang dipelajarinya dengan penuh keyakinan, baik terhadap apa
yang diambilnya maupun pokok pangkal dari sesuatu yang diambilnya. Sama sekali tidak boleh
mengambil tsaqafah berdasarkan perkara (asas) lain. Implikasi dari menjadikan keyakinan sebagai
asas dalam pengambilan tsaqafah adalah mewujudkan tsaqafah Islam pada kondisi yang paling unggul
dan unik. Tsaqafah Islam itu amat mendalam. Pada saat bersamaan ia dapat membangkitkan dan
mempengaruhi. Mampu mewujudkan pada orang yang memiliki tsaqafah tersebut potensi yang
bergelora yang mengobarkan api untuk membakar kerusakan dan menyalakan cahaya untuk menerangi
jalan kebaikan. Dengan demikian tsaqafah ini memiliki pengaruh yang amat besar didalam jiwa, sebab
ia mampu menggerakkan perasaan terhadap fakta yang ada pada pemikiran.
3. Seseorang mempelajarinya sebagai pelajaran yang bersifat praktis, sebagai solusi atas fakta
yang bisa dijangkau dan diindra, bukan pelajaran yang mengacu pada aspek teoritis. Sesuatu
(fakta) disifati berdasarkan hakekatnya untuk memecahkan masalahnya dan merubahnya. Maka ia
akan mengambil hakekat (tentang kenyataan) yang ada di alam semesta, manusia dan kehidupan, yang
berada dalam jangkauannya atau yang bisa dijangkau oleh panca indranya. Lalu dipelajari dalam
rangka (untuk) memecahkannya serta memberikan hukum (ketetapan) pada realita tersebut sehingga
bisa menentuan sikap terhadap hal itu, apakah diambil, ditinggalkan atau boleh memilih antara diambil
dan tidak. Dengan demikian dalam mengambil tsaqafah disyaratkan bersifat realistis (ada faktanya)
bukan bersifat khayalan, juga bukan bersifat teoristis. Ini agar tsaqafah itu dipelajari benar-benar untuk
diterapkan ketika muncul faktanya dalam kehidupan, bukan sekedar untuk mengetahui keindahan
tsaqafah dan kepuasan intelektual.

Inilah metode Islam dalam pembelajaran, yaitu mendalam dalam pembahasan, meyakini sesuatu yang
dicapai melalui pembahasan tersebut atau terhadap apa yang di bahas, serta mengambilnya secara
praktis untuk diterapkannya dalam kancah kehidupan. Ketika metode ini dijalankan dalam proses
pembelajaran maka seorang muslim yang memiliki tsaqafah Islam berdasarkan metode tersebut akan
mendalam pemikirannya, peka perasaannya dan mampu memecahkan segala problematika kehidupan.

Mengajak kepada tsaqafah Islam bukan hanya membatasi seorang muslim hanya mempelajari tsaqafah
Islam saja, boleh mempelajari tsaqafah dan ilmu pengetahuan lainnya, dengan syarat bahwa tsaqafah
Islam harus dijadikan sebagai asas dalam tatsqif dan ta’lim. Kaum Muslim terdahulu selalu bertekad
keras untuk pertama kali memberikan tsaqafah Islam kepada anak-anak mereka. Kemudian, setelah
mereka merasa memperoleh jaminan (tenang/aman) terhadap penguasaan tsaqafah tersebut, mereka
membuka pintu-pintu (anak-anak) mereka untuk menghadapi berbagai tsaqafah (selain Islam).

Tsaqafah selain Islam tidak boleh diambil kecuali setelah merasa (memperoleh jaminan) aman
terhadap penguasaan dan kokohnya tsaqafah Islam dalam sanubari. Hal semacam ini tidak disyaratkan
dalam pengambilan ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu pengetahuan tidak ada hubungannya dengan
syakhshiyah Islam, lagi pula ilmu pengetahuan bersifat universal. Sangat penting bagi kaum Muslim
untuk selalu membiasakan mengambil ilmu pengetahuan sekuat tenaga mereka, karena ia merupakan
sarana kehidupan. Meskipun demikian perlu diperhatikan dalam hal (pengajaran) ilmu pengetahuan
agar hasilnya sesuai dengan persepsi Islam, yaitu sebagai penguat akidah, bukan malah menggoyahkan
akidah.

Pengertian Tsaqofah

Tsaqafah menurut arti bahasa di dalam kamus Al-Muhith, ia berasal dari kata tsaqufa yang berarti
pandai dan cepat di dalam memahami sesuatu atau mahir.  Menurut arti istilah, terdapat perbedaan
ungkapan di dalam memberi definisi tsaqafah, namun yang mendekati kebenaran, sebagai berikut:

a) Pengetahuan yang didapat dengan jalan belajar (talaqqi) atau temu muka dengan guru dan
penyebarannya secara istinbath.
b) Tsaqofah merupakan konsep pemikiran dan pandangan hidup atau suatu ideologi tentang alam
semesta,  manusia dan kehidupan.
c) Tsaqofah merupakan konsep pemikiran dan pandangan hidup tertentu yang telah membentuk
pola pikir dan perilaku suatu masyarakat.
Masing-masing masyarakat atau bangsa memiliki tsaqafah (pandangan hidup) atau way of live yang 
berbeda-beda sesuai perbedaan ideologi dan pemikiran yang mereka yakini.

Pengertian dan Karakter Tsaqafah Islamiyah


Secara ringkas, tsaqofah Islamiyah adalah pengetahuan yang aqidah Islamiyah menjadi sebab
pembahasan, pengajaran dan penyebarannya. Dengan memahami tsaqafah islamiyah berarti seluruh
konsep pemikiran dan pandangan hidup berdasarkan ajaran/aqidah Islam tentang alam semesta,
manusia dan kehidupan. Jadi, seorang muslim di dalam memandang fenomena dan realita kehidupan
harus berlandaskan Aqidah Islam.

Perbedaan Ilmu  Pengetahuan dan Tsaqofah


Definisi ilmu yaitu pengetahuan yang didapat dengan cara meneliti, percobaan dan pembuktian serta
penarikan kesimpulan. Tsaqafah berkaitan erat dengan aqidah, pembentukan gaya hidup, pola pikir,
perilaku dan kepri-badian seorang muslim. Sedangkan ilmu pengetahuan seperti kedokteran,
arsitektur, kimia, fisika, ilmu hitung dan ilmu bahasa belum tentu berkaitan dengan pembentukan
aqidah, gaya hidup, pola pikir, perilaku dan kepribadian. Namun ilmu pengetahuan memacu peradaban
dan kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, belajar ilmu pengetahuan di atas sangat dianjurkan di
dalam ajaran Islam, asal tidak bertolak-belakang dengan nilai dan ruh aqidah Islam.
Ilmu Pengetahuan:
1) Penemuan
2) Dalam bentuk materi
3) Tidak mempengaruhi sikap dan kepribadian
4)  Ruang lingkupnya universal
5) Pelakunya disebut scientist.

Tsaqofah:
 Penggalian atau penghayatan
 Dalam bentuk suluk
 Mempengaruhi sikap dan kepribadian
 Ruang lingkup regional
 Pelakunya disebut cendikiawan / filosof.

Tsaqâfah Islam ; Kunci Sukses Mengembalikan Kegemilangan Islam


Jum'at, 24 Maret 2017 - 13:21 WIB
kita wajib mendakwahkannya hingga seluruh manusia –Muslim atau non mulim- merasakan
rahmatnya Islam

ILUSTRASI
Terkait

 Saatnya Bangkit Menuntut Ilmu!


 Pertentangan Islam dengan Komunisme dan Komunisme Mode Baru [2]
 Perempuan dalam Pusaran Krisis Ilmu
 Sigrid Hunke: Budaya Baca dan Literasi dalam Peradaban Islam

Oleh: Wardah Abeedah
 
ISLAM mendudukkan ilmu dan tsaqâfah pada kedudukan yang mulia. Tidak ada agama lain selain
Islam yang sedemikian memperhatikan dan begitu memuliakan  persoalan ilmu dan tsaqâfah.
Islam menempatkan kewajiban mempelajari tsaqafah Islam sebagai sebuah ibadah yang setara dengan
kewajiban yang lainnya. Dalam surat al-mujadilah ayat 3, Allah telah memberikan keutamaan bagi
orang-orang yang memahami Islam dengan mendalam akan dinaikkan derajatnya.
Mereka yang berilmu juga disebut pewaris para nabi. Sebagaimana sabda manusia yang palingagung,
“Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah
mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian
yang banyak.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi).
Para nabi yang mulia tidaklah mewariskan sesuatu kepada ummatnya kecuali warisan yang paling
berharga di dunia dan warisan yg paling dibutuhkan manusia. Dan warisan tersebut adalah
ilmu tsaqâfah. Ini menunjukkan pada kita bahwa ilmu itu jauh lebih utama daripada harta. Dalam kitab
madarijus salikin, Imam Ibnu Qoyyim saat menjelaskan bahwa tingkat kedermawanan tertinggi adalah
memberikan ilmu.
Pakar: Sejarah Mencatat, Peradaban Islam Membawa Kemajuan
Sedangkan tingkat kedermawanan terendah adalah dengan memerikan harta. Dengan ilmu manusia
akan mengenal Allah, mengenal tujuan hidupnya, mengetahui baik-buruk dan dengan ilmu pula
manusia dapat menyelesaikan problemnya. Dan pada hakikatnya, rasulullah saw diutus untuk
menyampaikan –ilmu/ tsaqâfah – Islam. Yang beliau perjuangkan dengan segenap pikiran, tenaga,
waktu hingga jiwanya hanyalah untuk membawa Islam. Membawa tsaqafah Islam dengan aqidahnya
yang cemerlang, juga syariat Islamnya yang tertuang dalam al-quran dan as-sunnah. Dengannya,
kehidupan manusia akan berada pada puncak kemuliaannya, pada limpahan rahmat dan berkah. Dan
mencampakkannya pasti berujung pada derita dan masalah. Beliau membawa al-qur’an dan as-sunnah
dengan melalui kehidupan yang berat. Berpeluh, bercucuran darah dan air mata, demi kehidupan yang
baik bagi kita, ummatnya. Untuk kita ambil dan kita jadikan pegangan hidup. Untuk diadopsi dan
dijadikan sebagai sumber solusi yang memudahkan hidup manusia. Itulah mengapa diberi kepahaman
agama menjadi indicator seseorang mendapat kebaikan dari Allah.
Kaum Muslimin diwajibkan mempelajari tsaqâfah yang berkaitan dengan individunya sebagai fardhu
‘ain. Islam juga mewajibkan mempelajari tsaqâfah yang berkaitan dengan masyarakat dan ilmu  yang
dibutuhkan masyarakat sebagai fardhu kifayah.
Tsaqâfah Islam yang didalamnya terdapat aspek aqidah mampu membangkitan manusia. Karena
kebangkitan ummat tergantung pada pemikirannya. Pemikiran-pemikiran Islam bisa menjadikan orang
yang memiliki tsaqâfahnya  mampu membentuk manusia menjadi pribadi yang memilik ‘aqliyah (pola
pikir) yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Terbentuk pula dalam dirinya nafsiyah
Islamiyah (pola sikap yang Islam) yang dipenuhi dengan keimanan yang sempurna.
Dengan ‘aqliyah dan nafsiyah ini seseorang memiliki sifat yang mengagumkan/agung yang diinginkan
oleh seorang Muslim. Karena itu dia menerjuni petualangan kehidupan dalam keadaan (mempunyai)
bekal sebaik-baik perbekalan, yaitu pemikiran yang cemerlang, takwa dan pengetahuan yang dapat
menuntaskan segala problematika.
Kuttab, Peninggalan Peradaban Islam
Tidak berhenti disitu, tsaqâfah Islam menjadi bagian dari ummat Islam, dimana diatasnya dibangun
peradaban Islam. Tsaqâfah juga menentukan tujuan dan corak kehidupan ummat. Dengannya,
pandangan hidup ummat yang terdiri dari berbagai suku, bangsa dan perbedaan dapat disatukan. Dan
didalamnya juga terdapat aturan yang akan dapat menjaga aqidah, keamanan, harta, akal, jiwa,
keturunan, kehormatan dan kedaulatan Negara Islam. Tsaqâfah suatu bangsa hakikatnya adalah
keimanan (aqidah), hukum, solusi, sistem yang terpancar dari aqidah, ilmu pengetahuan yang
dibangun diatas aqidah dan peristiwa apapun yang terkait dengan aqidah sebagai perjalanan dan
sejarah umat.
Perhatian kekhilafahan terhadap tsaqâfah
Era kekhilafahan Islam pada masanya sangat memahami ketinggian possi ilmu dan tsaqâfah Islam
dalam agama kita yang mulia. Oleh karenanya, Negara Islam yang dipimpin rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassallam dan para khulafa’ sesudah beliau sangat memperhatikan aspek yang berhubungan
langsung dengannya, yakni pendidikan.
Di masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam, beliau menetapkan kebijakan berupa penebusan
bagi tahanan di Perang Badar untuk mengajar sepuluh orang Muslim membaca dan menulis.
Rasulullah sebagai kepala negara mengirimkan para qurra’ untuk mengajarkan Islam kepada
masyarakat, utamanya yang baru masuk Isalm. Rasulullah mengirim qurra’ terbaik tersebut ke seluruh
penjuru jazirah Arab. [Hisyam Ibnu, Sirah An-Nabawiyah juz 2]
Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq, masjid difungsikan sebagai tempat belajar, ibadah dan
musyawarah. Kuttab, merupakan pendidikan yang dibentuk setelah masjid, didirikan pada masa Abu
Bakar. Di masa belau pula, al-Qur’an al-kariim mulai dikumpulkan. Pada masa Kekhalifahan Umar
bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing-masing
sebesar 15 dinar.
Para khulafa’ berikutnya menyediakan pendidikan gratis dengan sarana dan prasarana yang bermutu,
membangun banyak madrasah, jami’ah (universitas) dengan fasilitas terbaik untuk mendudkung
kebutuhan pelajar termasuk asrama dan perpustakaan.
Madrasah al-Muntashiriah, misalnya, yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir Billah di Kota
Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa dijamin Kehidupan kesehariannya. Bahkan mereka menerima
beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas) perbulan. Institusi pendidikan serupa juga
dibangun dengan fasilitas lengkap dan gratis seperti Madrasah an-Nuriah, jami’ah Al-Azhar kairo dll.
Para khalifah juga membangun perpustakaan di banyak daerah di penjuru kekhilafahan, di Baghdad,
Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara, Ghazni, dan sebagainya.
Tinta emas sejarah ini ditukis oleh Bloom dan Blair, yang mengakui bahwa rata-rata tingkat
kemampuan literasi (membaca dan menulis) di Dunia Islam pada Abad Pertengahan lebih tinggi
daripada Byzantium dan Eropa (Jonathan Bloom dan Sheila Blair, Islam : A Thousand Years of Faith
and Power, Yale University Press, London, 2002).
Khalifah Umar Bin Khatab, Gubernur dan Sekretaris non-Muslim [1]
Bahkan di setiap masjid terdapat perpustakaan. pada abad ke-10, di Andalusia saja saja terdapat 20
perpustakaan umum. Di Kairo,Perpustakaan Darul Hikmah mengoleksi tidak kurang dari 2 juta judul
buku. Bahkan di Syam, Perpustakaan Umum Tripoli, mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku,
termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya.
Jumlah koleksi buku di perpustakaan-perpustakaan ini termasuk yang terbesar pada zaman itu.
Bandingkan dengan Perpustakaan Gereja Canterbury yang berdiri empat abad setelahnya, yang dalam
catatan Chatolique Encyclopedia, perpustakaan tersebut memiliki tidak lebih dari 2 ribu judul buku
saja.
Semua ini dilakukan demi menjaga tsaqofah Islam tetap terwariskan dengan baik kepada anak cucu
dan generasi mendatang. Khilafah juga memproduksi mujtahid-mujtahid dan ulama-ulama berkualitas
dan takut Allah secara massal. Para ulama tersebut juga penulis yang setiap orangnya mampu
melahirkan ratusan judul kitab. Termasuk diantaranya kitab-kitab yang khusus membahas tuntas aspek
ilmu baik dari segi keajiban dan keutamannya, adab-adabnya dan penjelasan tentang ulama seperti
kitab Ta’lim al-Muta’lim fi Thoriiqi at-Ta’allum dan Ihya’ Ulumiddin,masterpiece Imam Ghazali yang
fenomenal.
Saat melakukan jihad dan futuhat, kaum Muslim menaklukkan berbagai negara dalam rangka
mengemban dakwah Islam kepada penduduknya. Karena itu kebanyakan para penakluk adalah dari
golongan ulama, pembaca dan penulis. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan tsaqâfahnya di negeri
yang ditaklukkan. Walhasil, di setiap negeri yang ditaklukkan dibangun masjid untuk shalat dan
belajar, baik bagi laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Mereka mengajarkan kepada orang-orang
mengenai al-Quran, hadits dan hukum-hukum Islam, mengajarkan mereka bahasa Arab, dan
membatasi perhatian mereka dengan tsaqâfah Islam.
Wajar jika dalam waktu singkat–pada masa pemerintahan kaum Muslim- tsaqâfah lama hilang di
negeri-negeri yang ditaklukkan. Tinggal tsaqâfah Islam saja yang menjadi tsaqâfah di setiap negeri
tersebut, dan bahasa Arab saja sebagai bahasa Islam. Negeri-negeri yang ditaklukkan seluruhnya
bergabung dengan negeri-negeri Arab menjadi negeri yang satu, yang sebelumnya merupakan negeri –
negeri dan bangsa-bangsa yang berbeda-beda dan bercerai berai.  Islam menjadi satu-satunya
kepemimpinan berfikir (qiyadah fikriyah) di seluruh Negara Islam.
Kehidupan warga di era khilafah Islam yang dilimpahi barakah ini terus berjalan hingga pada
pertengahan abad ke 18 Masehi di masa Kekhilafahan Utsmani, ummat Islam mengalami kemerosotan
yang mendalam. Bermula pada kejeniusan raja-raja Eropa, yang kewalahan mengahdapi tentara kaum
Muslimin pada Perang Salib.
Khalifah Umar Bin Khatab, Gubernur dan Sekretaris non-Muslim [2]
Dua ratus tahun lamanya, mencurahkan otak mengetur strategi, menguras harta hingga memajak
rakyat demi membiayai perang suci, namun yang didapaat hanya kekalahan demi kekalahan. Maka
sejak abad ke 13 Masehi mereka temukan rahasia kekuatan ummat Islam. Dan mereka bertekad
menghancurkannya. Kekuatan Islam yang tak lain terletak pada tsaqâfah nya ; dalam
aspek pemahaman dan penerapannya. Maka dirumuskanlah gaya perang baru, bukan lagi dengan
perang fisik, tapi dengan gazwu ats-tsaqafiy ; perang tsaqafah atau perang budaya.
Mereka berupaya keras untuk menghapus tsaqâfah dari benak  dan kehidupan kaum Muslimin.
Mereka juga berusaha menghilangkan tsaqâfah dari undang-undang hingga konstitusi kaum
Muslimin.  Sejak saat itu, bahasa Arab mulai ditinggalkan dan diganti dengan Arab ‘ammiyah, bahasa
daerah dan bahasa penjajah. Kemudian berlanjut dengan ditutupnya pintu ijtihad dan
diambilnya tsaqâfah – tsaqâfah asing seperti filsafat, demokrasi, feminisme dll, sehingga negera
khilafah justru berdiri di atas tsaqâfah selain Islam. Hal ini merupakan keberhasilan scenario besar
Barat dalam perang budaya (gazwu ats-tsaqafiy)  untuk meruntuhkan institusi daulah Islam.
Sejak zaman keruntuhan Negara pemersatu umat itulah, hingga saat ini kaum Muslimin diterpa
berbagai persoalan hidup. Miskin harta, miskin iman, miskin ilmu dan miskin adab. Generasi muda
umat ini tak luput dari sasaran pengrusakan. Narkoba, minuman keras hingga seks bebas mereka
jadikan trend dan gaya hidup. Jika saat ini kita ingin mengembalikan Islam dan ummat Islam pada
kejayaan peradabannya, jika kita ingin kembali hidup dalam kegemilangan generasinya, sudah
sepatutnya kita kembali pada Islam. Memahami dengan baik tsaqâfah nya. Kemudian meyakininya
sebagai satu-satunya pandangan hidup yang shahih. Kita juga wajib merujuk padanya saat memiliki
persoalan individu atau keummatan. Serta mengamalkannya dalam seluruh lini kehidupan mulai
tataran individu, keluarga, masyarkat hingga Negara.
Last but not least, kita wajib mendakwahkannya hingga seluruh manusia –Muslim atau non mulim-
merasakan rahmatnya. Wallahu a’lam bis showab.*
Alumni PP. Al-Wafa Jember, Kepala TPQ & Madrasah Diniyah Adzkiya’ Jember
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Anda mungkin juga menyukai