Anda di halaman 1dari 6

Imunologi - P6

SERUM

1. S
erum Anti Rabies
Serum Anti Rabies digunakan untuk pengobatan terhadap gila anjing (rabies). Serum ini
diperoleh dari serum kuda yang telah dikebalkan dengan virus fixe rabies. Serum ini digunakan
tersendiri atau dikombinasi dengan vaksinnya. Berhubung serum hanya memberikan perlindungan
yang tidak lengkap, maka tidak dapat menggantikan imunisasi aktif dengan vaksin rabies. Tujuan
utama dari serum ini adalah memperlambat menjalarnya virus dan memperpanjang masa tunas
(inkubasi), maka terutama digunakan pada korban yang telah digigit, misalnya pada bagian kepala
atau leher. Setelah gejala rabies timbul, serum maupun vaksin tidak ada manfaatnya lagi. Dosis: 0,5
ml (= 50 UI, Bio Farma) per kg berat badan, sebagian kecil diinfiltrasikan di sekitar luka gigitan
dan selebihnya i.m.

2. S
erum Anti Bisa Ular Polivalen
Serum ini digunakan untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa, yang berefek
neurotoksis dan hemolitis. Serum polivalen ini yang dimurnikan dan dipekatkan berasal dari plasma
kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular. Ular yang kebanyakan terdapat di Indonesia adalah Naya
sputatrix (ular kobra), Bungarus fasciatus (ular welang) dan Ankystrodon rhodostoma (ular tanah).
Dosis: i.m./i.v. (sangat perlahan-lahan) atau melalui infus.

3. A
nti-HBs Imunoglohulin
Serum ini digunakan sebagai pencegahan terhadap timbulnya Hepatitis B, misalnya setelah
infeksi dengan darah yang positif terhadap HBsAg (transfusi darah). Dibuat dari plasma darah
manusia yang mengandung zat anti-HBs dengan titer yang tinggi dan terutama terdiri dari
imunoglobulin G (IgG).
ANTITOKSIN
Antitoksin (Yun. toxicon = racun) adalah suatu jenis antibodi, yang dapat menetralkan sifat
beracun suatu toksin tertentu (biasanya eksotoksin kuman), in vitro maupun in vivo, tanpa dapat
mempengaruhi organisme yang memproduksi toksin itu. Antitoksin dibentuk oleh tubuh sebagai
reaksi terhadap masuknya suatu toksin, yang bekerja sebagai antigen. Bila toksin tertentu, yang
telah diencerkan, disuntikkan ke dalam tubuh hewan (biasanya, kuda atau kelinci), maka terjadilah
imunitas aktif. Setelah beberapa waktu, serum hewan tersebut yang sudah mengandung anti-toksin,
ditampung dan dapat digunakan bagi pengobatan atau untuk memberikan kekebalan pasif terhadap
toksin itu.

1. S
erum Anti-Difteri
Serum ini merupakan fraksi globulin yang dipekatkan dari serum kuda yang telah dikebalkan
secara aktif terhadap (exo-)toksin basil difteri (Corynebacterium diphtheriae). Digunakan untuk
pencegahan dan pengobatan difteri. 1 ml mengandung 2.000 U.I. antitoksin difteri. Dosis: untuk
pencegahan, dewasa i.m. 3.000-5.000 U.I.; untuk pengobatan i.m. atau i.v. 10.000 U.I. atau lebih.

2. S
erum Anti-Tetanus
Serum ini biasanya dibuat dari plasma kuda dan mengandung antibodies serta digunakan
untuk menetralkan toksin basil Clostridium tetani, tanpa mempengaruhi basil tetanusnya.
Digunakan terutama sebagai profilaksis pada luka yang dalam dan terkena debu jalan, karena basil
tetanus bersifat anaerob, artinya hanya dapat berkembang pada tempat di mana tidak ada udara.
Lazimnya pengobatan dikombinasi dengan kemoterapeutika. Selama penggunaan serum ini yang
terutama harus diwaspadai adalah timbulnya kepekaan berlebihan terhadap serum hewan (kuda atau
kelinci). 1 ml mengandung antitoksin tetanus 1.500 U.I. (untuk pencegahan) atau 5.000 U.I. (untuk
pengobatan), lazimnya digunakan serentak dengan vaksin tetanus untuk imunisasi aktif. Dosis:
untuk pencegahan i.m. 1.500 U.I.; untuk pengobatan i.m. atau i.v. 10.000 U.I. atau lebih.

3. D
iagnostika
Salah satu metode pemeriksaan dalam ilmu pengobatan pencegahan (preventive medicine)
penyakit infeksi, didasarkan atas reaksi antara suatu antibodi dengan anti-gennya yang
bersangkutan. Untuk ini digunakan suntikan intrakutan atau goresan di atas kulit (immunity skin
test) dengan suatu antigen dalam kadar yang serendah-rendahnya, yang masih memungkinkan
adanya reaksi.

Reaksi positif dalam bentuk semacam benjolan di atas kulit menunjukkan bahwa tubuh sudah
mengandung antibodies tertentu. Hal ini berarti bahwa orang itu pernah mengalami infeksi dengan
kuman tersebut ataupun pernah dikebalkan dengan sengaja. Antibodies itu melindungi badannya
terhadap infeksi ulang dengan antigen (kuman) bersangkutan.

Hasil yang negatif menunjukkan bahwa tubuh tidak memiliki antibodies itu, sehingga berada
tanpa perlindungan. Dalam keadaan demikian, lazimnya orang tersebut diberikan suatu vaksin
untuk mengebalkan tubuhnya secara aktif.

Reaksi tuberkulin adalah salah satu tes kekebalan yang terkenal untuk mendiagnosa penyakit
tuberkulosa (Mantoux skin test, Pirquet's scarification test). Tuberkulin adalah larutan filtrat dari
perbenihan basil Mycobacterium tuberculosis. Reaksi negatif biasanya dilanjutkan dengan
pemberian vaksin BCG (vaksin tbc). 1 ml mengandung 100.000 U.T. alt tuberkulin.

Schicks skin-test toxin adalah suatu reaksi lainnya untuk mendiagnosa penyakit difteri. Tes ini
menggunakan larutan encer dari toksin difteri (Toxinum diphtericum diagnosticum).

Perkembangan Baru
1. V
aksin AIDS
Merebaknya penyakit AIDS secara dramatis pada tahun-tahun yang lalu sangat meresahkan
para ahli di seluruh dunia. Setiap hari diduga ca 10.000 pasien baru terinfeksi HIV. Di Afrika, HIV
mengakibatkan suatu "pembantaian", Kini dikhawatirkan bahwa Thailand dan Cina akan dilanda
epidemi besar-besaran, sedangkan insidensi di India, Afrika Selatan dan negara-negara Eropa Timur
juga sangat meningkat.

Menjelang akhir tahun 1999, jumlah kumulatif orang yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia
telah mencapai lebih dari 1.000 orang (Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Permukiman, DepKes R.I.), walaupun jumlah sebenarnya tidak kurang dari 50.000
kasus (fenomena puncak gunung es). Peningkatan penyebaran HIV antara lain disebabkan oleh
memaraknya penggunaan jarum suntik bersama oleh para pecandu narkotika.

Prevalensi HIV di Irian Jaya adalah tertinggi di Indonesia, yakni 1,4 per 10.000 penduduk.
Oleh karena itu, daya upaya untuk menenmukan vaksin yang mungkin bisa menolong jiwa berjuta-
juta orang kini diberikan prioritas tinggi oleh WHO.

Sampai sekarang semua usaha untuk membuat vaksin AIDS yang efektif telah gagal, antara
lain dengan vaksin selubung protein, vaksin virus "tak-lengkap" dan vaksin DNA. * Vaksin
selubung protein. Vaksin ini telah dibuat dari satu protein selubung (gp120) yang terdapat di bagian
luar virus HIV. Vaksin ini ternyata efektif terhadap hepatitis B (HVB), lihat di bawah. Tetapi hasil
kajian menunjukkan bahwa vaksin HIV dengan gp120 tidak memberikan perlindungan yang cukup
efektif.

Vaksin virus 'tak-lengkap' dibuat dari virus HIV, dengan mengeluarkan suatu gen tertentu
(Desrosiers). Nef-gen ini bertanggung jawab atas inaktivasi molekul-MHC di bagian luar sel,
sehingga tidak dikenali lagi oleh T-killercells. Seperti diketahui MHC bertugas antara lain
menunjukkan pada sel-sel pertahanan apakah sel bersangkutan adalah milik sendiri atau asing, juga
telah terkena infeksi atau tidak. Bila sel telah terinfeksi, maka sel tersebut segera diserang dan
dimusnahkan. Dengan suatu vaksin cacar 'tak-lengkap', penyakit cacar berhasil dibasmi dengan
tuntas dari permukaan bumi. Keberatan vaksin ini adalah risiko mutasi kembali secara spontan dan
mengganasnya virus tanpa-nef.

Vaksin DNA mengandung sedikit bahan genetis dari virus, yang mencetuskan produksi
protein virus dan kemudian anti-bodies terhadapnya. Setelah 1 dan 6 bulan diberikan injeksi booster
kedua dan ketiga, maka dapat dicapai imunitas yang baik. Vaksin ini efektif tetapi sangat mahal dan
tidak praktis karena memerlukan tiga penyuntikan.

Berhubung dengan epidemi yang dewasa ini mengancam Thailand, maka WHO melakukan
percobaan klinis massal dengan vaksin gp120, yang dari ketiga vaksin tersebut di atas
perkembangannya paling maju. Semboyannya adalah "lebih baik vaksin yang kurang efektif
daripada tiada vaksin sama sekali".

Imunitas alami. Di seluruh dunia terdapat beberapa ratus orang, yang walaupun terinfeksi
dengan HIV, ternyata mampu menangkis virus tersebut dan tidak mengidap AIDS. Semua orang ini
memperlihatkan daya tahan yang unik dari sel-sel CD8+nya terhadap infeksi (T-supressor cells).
Berdasarkan penemuan ini, penyidikan kini ditujukan pada usaha untuk membangkitkan dan
menstimulasi daya tangkis itu secara buatan.

2. V
aksin Malaria
Sejak tahun 1976, WHO telah melancarkan penelitian besar-besaran mengenai cara baru
untuk memberantas malaria, yang terpenting adalah perkembangan sejenis vaksin untuk
mengebalkan populasi besar.

Sudah diketahui bahwa pada permukaan eritrosit manusia terdapat sejenis reseptor yang
merozoit Plasmodium tidak dapat memasukinya. Infeksi oleh parasit menstimulasi sistem
imunologi kita untuk membentuk imunitas seluler dan humoral. Inilah sebabnya mengapa penduduk
di daerah malaria setelah menderita beberapa kali infeksi menjadi agak imun terhadap suku
Plasmodium yang terdapat setempat.

Dalam riset terhadap vaksin malaria, antara lain ditemukan suatu protein khusus dari merozoit
P. falciparum yang dapat melekat pada protein glikoforin yang terdapat pada membran eritrosit.
Usaha untuk membuat suatu vaksin dengan protein itu sebagai antigen tidak memberikan hasil yang
memuaskan.

Vaksin atas dasar sporozoit. Telah dibuktikan bahwa pada percobaan terhadap manusia, orang
dapat dikebalkan terhadap jenis Plasmodium khusus dengan jalan sengatan nyamuk yang telah
diinfeksikan dengan parasit tersebut. Nyamuk ini telah disinari dengan sinar Rontgen yang
menginaktifkan sporozoit di dalam tubuhnya. Dari sporozoit tersebut juga telah diisolasi suatu
protein khusus yang bersifat antigen. Akan tetapi vaksin yang dibuat dengan antigen ini ternyata
juga mengecewakan.

Kini dilakukan penyelidikan dari suatu antigen khusus yang terdapat pada permukaan
sporozoit, yakni circumsporozoite antigen (CSA). Suatu vaksin dari CSA bersama antigen HBV
(hepatitis-B-surface antigen) yang dibuat dengan teknik rekombinan, ditambah dengan dua
imunostimulator ternyata dapat memberikan perlindungan baik selama beberapa minggu. Penemuan
sementara ini perlu dikembangkan lebih lebih lanjut.

Vaksin Patorroyo (SPF66) dalam percobaan massal telah dibuktikan dapat memberikan
imunitas pada hanya ca 30% dari seluruh kasus. Karena belum ada pilihan lain, maka WHO telah
mengambil keputusan untuk menggunakannya di negara-negara Afrika yang paling hebat dilanda
malaria.

Anda mungkin juga menyukai