Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA ANALITIK

TITRASI

NAMA : Katherine Gunadi


NIM : 2201732355
KELAS : BB46
SHIFT/KELOMPOK : 5/5
HARI/TANGGAL : Rabu/30 Oktober 2019
DOSEN : Bayu Meindrawan
ASISTEN : Anastasia Stella/Steviany

LABORATORIUM KIMIA
JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
2019
1. TUJUAN
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk melakukan titrasi asidimetri dan titrasi
alkalimetri.

2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan tujuan percobaan yang dijabarkan di atas, dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
 Bagaimana prinsip pada titrasi asidimetri dan alkalimetri?
 Berapakah normalitas larutan standar sekunder HCl dan NaOH?
 Berapa kadar NaOH dan Na2CO3 pada campuran NaOH-Na2CO3?
 Berapa kadar asam cuka murni pada cuka encer?

3. METODOLOGI
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah erlenmeyer, statif,
klem, buret, bulb, pipet ukur, pipet tetes, labu ukur, corong, dan gelas beaker.
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah indikator metil
merah, indikator metil oranye, indikator phenolphthalein (PP), Na2B4O7
(boraks) 0,5 M; HCl, (COOH)2.2H2O 0,5 M; NaOH-Na2CO3, NaOH, cuka
biang, dan akuades.
3.3 Cara Kerja
Percobaan yang dilakukan adalah titrasi asidimetri dan alkalimetri. Pada
titrasi asidimetri, dilakukan standarisasi HCl menggunakan Na2B4O7 (boraks)
0,5 M kemudian dilanjutkan dengan penentuan susunan NaOH-Na2CO3. Pada
titrasi alkalimetri, dilakukan standarisasi NaOH menggunakan (COOH)2.2H2O
0,5 M kemudian dilanjutkan dengan penentuan kadar asam cuka murni.
Pada standarisasi HCl, dimasukkan 10 ml Na 2B4O7 0,5 M ke dalam
erlenmeyer. Setelah itu, diteteskan 3 tetes methyl red pada erlenmeyer. HCl
dituangkan ke dalam buret kemudian dilakukan titrasi Na2B4O7 terhadap HCl
hingga warna larutan di erlenmeyer berubah dari kuning menjadi merah. Titrasi
dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan, kemudian normalitas dari HCl
dihitung. Setelah mengetahui normalitas HCl, dilakukan penentuan susunan
NaOH-Na2CO3. Sebanyak 10 ml NaOH-Na2CO3 dimasukkan dalam erlenmeyer
dan ditambahkan 3 tetes indikator PP. Dilakukan titrasi NaOH-Na 2CO3
menggunakan HCl yang telah distandarisasi sebelumnya hingga warna larutan
berubah menjadi bening. Setelah itu, erlenmeyer ditambahkan 3 tetes methyl
orange, dilakukan kembali titrasi terhadap HCl yang sudah distandarisasi
hingga warna larutan berubah menjadi jingga. Titrasi dilakukan sebanyak 3
kali pengulangan dan kadar Na2CO3 pada campuran dapat dihitung.
Pada standarisasi NaOH, dimasukkan 10 ml (COOH)2.2H2O 0,5 M ke
dalam erlenmeyer dan ditambahkan 3 tetes indikator PP. Kemudian NaOH

1
dituangkan ke dalam buret dan dilakukan titrasi (COOH) 2.2H2O terhadap
NaOH sehingga warna berubah dari bening menjadi sedikit merah. Titrasi
dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dan normalitas NaOH dapat dihitung.
Setelah mengetahui normalitas NaOH, dilakukan penentuan kadar asam cuka
murni. Diencerkan 1 ml cuka biang ke dalam labu ukur 100 ml hingga tera. 10
ml cuka encer dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 3 tetes
indikator PP. Dilakukan titrasi cuka encer dengan NaOH yang sudah
distandarisasi sehingga warna larutan berubah dari bening menjadi pink
sebanyak 3 kali ulangan. Kadar asam cuka murni pada cuka encer kemudian
dihitung.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Hasil Percobaan Standarisasi HCl dengan Boraks

Ulangan Volume Titrasi (ml) Normalitas HCl (N)


1 34,80 0,29
2 34,40 0,29
3 34,50 0,29
Rata-Rata 34,57 0,29
Perhitungan:
1. Volume Rata-Rata
V 1+V 2+V 3 34,8+34,4+34,5
V rata-rata = = = 34,57 ml
3 3

2. Molaritas HCl
Diketahui : V HCl = 34,5 ml = 0,0345 lt
eq HCl =1
[Na2B4O7] = 0,5 M
V Na2B4O7 = 10 ml = 0,01 lt
eq Na2B4O7 =2
Ditanya : [HCl]
Dijawab :
[HCl] x V HCl x eq HCl = [Na2B4O7] x V Na2B4O7 x eq Na2B4O7
[HCl] x 0,0345 lt x 1 = 0,5 M x 0,01 lt x 2
[HCl] = 0,29 M

3. Normalitas HCl
N HCl = [HCl] x eq HCl
= 0,29 x 1
= 0,29 N

4. Normalitas Rata-Rata

2
N 1+ N 2+ N 3 0,29+0,29+0,29
N rata-rata = = = 0,29 N
3 3

Tabel 2. Hasil Percobaan Penentuan Susunan NaOH-Na2CO3


Volume Titrasi (ml) Kadar Kadar
m NaOH m Na2CO3
Ulangan NaOH Na2CO3
NaOH Na2CO3 (gr) (gr)
(%) (%)
1 10,1 5,10 0,1172 0,0784 59,92 40,08
2 10,2 5,30 0,1184 0,0815 59,23 40,77
3 10,3 5,00 0,1196 0,0768 60,90 39,10
Rata-Rata 10,2 5,13 0,1184 0,0789 60,02 39,98
Perhitungan:
1. Volume NaOH Rata-Rata
V 1+V 2+V 3 10,1+10,2+10,3
V NaOH rata-rata = = = 10,2 ml
3 3

2. Volume Na2CO3 Rata-Rata


V 1+V 2+V 3 5,1+ 5,3+ 5,0
V Na2CO3 rata-rata = = = 5,13 ml
3 3

3. Mol NaOH
Diketahui : eq NaOH =1
eq HCl =1
[HCl] = 0,29 M
V HCl = 10,1 ml = 0,0101 lt
Ditanya : n NaOH
Dijawab :
n NaOH x eq NaOH = [HCl] x V HCl x eq HCl
n NaOH x 1 = 0,29 x 0,0101 x 1
n NaOH = 2,93 x 10-3 mol

4. Massa NaOH
Diketahui : n NaOH = 2,93 x 10-3 mol
Mr NaOH = 40
Ditanya : m NaOH
Dijawab:
m NaOH = n NaOH x Mr NaOH
= 2,93 x 10-3 x 40
= 0,1172 gram

5. Massa NaOH Rata-Rata

3
m1+m 2+ m3 0,1172+0,1184 +0,1196
m NaOH rata-rata = = = 0,1184 gr
3 3

6. Mol Na2CO3
Diketahui : eq Na2CO3 =2
eq HCl =1
[HCl] = 0,29 M
V HCl = 5,1 ml = 0.0051 lt
Ditanya : n Na2CO3
Dijawab :
n Na2CO3 x eq Na2CO3 = [HCl] x V HCl x eq HCl
n Na2CO3 x 2 = 0,29 x 0,0051 x 1
n Na2CO3 = 7,40 x 10-4 mol

7. Massa Na2CO3
Diketahui : n Na2CO3 = 7,40 x 10-4 mol
Mr Na2CO3 = 106
Ditanya : m Na2CO3
Dijawab:
m Na2CO3 = n Na2CO3 x Mr Na2CO3
= 7,40 x 10-4 x 106
= 0,0784 gram

8. Massa Na2CO3 Rata-Rata


m1+m 2+ m3 0,0784+0,0815+ 0,0768
m Na2CO3 rata-rata = = = 0,0789 gr
3 3

9. Kadar NaOH
m NaOH
% NaOH = x 100%
m NaOH +m Na2 CO 3
0,1172
= x 100%
0,1172+0,0784
= 59,92%

10. Kadar NaOH Rata-Rata


% 1+ % 2+% 3 59,92+59,23+ 60,90
% NaOH rata-rata = = = 60,02%
3 3

11. Kadar Na2CO3


m Na 2CO 3
% Na2CO3 = x 100%
m NaOH +m Na2 CO 3
0,0784
= x 100%
0,1172+0,0784

4
= 40,08%

12. Kadar Na2CO3 Rata-Rata


% 1+ % 2+% 3 40,08+ 40,77+39,10
% Na2CO3 rata-rata = = = 39,98%
3 3

Tabel 3. Hasil Percobaan Standarisasi NaOH dengan Asam Oksalat

Ulangan Volume Titrasi (ml) Normalitas NaOH (N)


1 20,3 0,49
2 20,1 0,50
3 20,1 0,50
Rata-Rata 20,17 0,50
Perhitungan:
1. Volume Rata-Rata
V 1+V 2+V 3 20,3+20,1+20,1
V rata-rata = = = 20,17 ml
3 3

2. Molaritas NaOH
Diketahui : V NaOH = 20,1 ml = 0,0201 lt
eq NaOH =1
[C2H2O4] = 0,5 M
V C2H2O4 = 10 ml = 0,01 lt
eq C2H2O4 = 2
Ditanya : [NaOH]
Dijawab :
[NaOH] x V NaOH x eq NaOH = [C2H2O4] x V C2H2O4 x eq C2H2O4
[NaOH] x 0,0201 lt x 1 = 0,5 M x 0,01 lt x 2
[NaOH] = 0,5 M

3. Normalitas NaOH
N NaOH = [NaOH] x eq NaOH
= 0,5 x 1
= 0,5 N

4. Normalitas Rata-Rata
N 1+ N 2+ N 3 0,49+0,50+0,50
N rata-rata = = = 0,50 N
3 3

Tabel 4. Hasil Percobaan Penentuan Kadar Asam Cuka Murni

Ulangan Volume Titrasi (ml) Normalitas Cuka (N)


1 0,90 0,045
2 1,00 0,050

5
3 0,90 0,045
Rata-Rata 0,93 0,047
Perhitungan:
1. Volume Rata-Rata
V 1+V 2+V 3 0,9+1,0+0,9
V rata-rata = = = 0,93 ml
3 3

2. Molaritas Cuka
Diketahui : V Cuka = 10 ml = 0,01 lt
eq Cuka =1
[NaOH] = 0,5 M
V NaOH = 1 ml = 0,001 lt
eq NaOH =1
Ditanya : [Cuka]
Dijawab :
[Cuka] x V Cuka x eq Cuka = [NaOH] x V NaOH x eq NaOH
[Cuka] x 0,01 lt x 1 = 0,5 M x 0,001 lt x 1
[Cuka] = 0,05 M

3. Normalitas Cuka
N Cuka = [Cuka] x eq Cuka
= 0,05 x 1
= 0,05 N

4. Normalitas Rata-Rata
N 1+ N 2+ N 3 0,045+0,050+0,045
N rata-rata = = = 0,047 N
3 3
Analisis volumetri atau titrimetri adalah suatu metode analisa kuantitatif dari
reaksi kimia. Pada analisis ini zat yang akan ditentukan kadarnya, direaksikan
dengan zat lain yang telah diketahui konsentrasinya, sampai tercapai suatu titik
ekuivalen sehingga kepekatan (konsentrasi) zat yang kita cari dapat dihitung
(Syukri, 1999). Volumetri merupakan suatu metode analisa kuantitatif yang
dilakukan dengan cara mengukur volume larutan yang konsentrasinya telah
diketahui dengan teliti, lalu mereaksikannya telah diketahui dengan larutan yang
akan ditentukan konsentrsainya (Irfan, 2000). Analisa volumetri merupakan salah
satu metode dari analisa kuantitatif yang bertujuan untuk menentukan banyaknya
suatu zat dalam volume tertentu (Haryadi, 1999). Terdapat beberapa macam titrasi,
yaitu titrasi netralisasi (asam-basa), titrasi kompleksometri, titrasi redoks (reduksi-
oksidasi), dan titrasi argentometri (pengendapan) (Sukmariah, 2000).
Titrasi asam-basa biasanya digunakan untuk mengetahui jumlah (misal
molaritas) dari asam atau basa yang diketahui melalui reaksi asam basa. Analit

6
(sampel) adalah larutan dengan molaritas yang belum diketahui, sedangkan reagen
(titran) adalah larutan dengan molaritas yang diketahui yang akan bereaksi dengan
analit. Analit (sampel) disiapkan dengan melarutkan zat yang akan dianalisa
menjadi larutan. Larutan biasanya ditempatkan dalam erlenmeyer untuk titrasi.
Jumlah kecil indikator ditambahkan ke dalam erlenmeyer yang telah berisi analit.
Titran (larutan standar yang konsentrasinya telah diketahui), ditempatkan ke dalam
buret. Titran ditambahkan secara perlahan ke dalam analit yang telah ditambahkan
indikator. Perubahan warna pada larutan analit menandakan titik akhir titrasi
tersebut (Sukmariah, 2000).
Titrasi kompleksometri merupakan jenis titrasi dengan reaksi kompleksasi atau
pembentukan ion kompleks. Titrasi ini biasanya digunakan untuk menganalisa
kadar logam pada larutan sampel yang dapat membentuk kompleks dengan larutan
standar yang biasanya merupakan ligan. Indikator yang digunakan biasanya akan
bereaksi dengan kelebihan titran (sama-sama membentuk ion kompleks) dan
menunjukkan perubahan warna. Pada titrasi jenis ini ada banyak hal yang harus
ditimbang dan diperhatikan mengingat pembentukan ion kompleks adalah spesifik
pada kondisi tertentu. Misalnya pada pH tertentu sehingga larutan sampel harus
didapat dengan buffer pH tertentu pula (Sukmariah, 2000).
Titrasi redoks merupakan jenis titrasi dengan reaksi reduksi-oksidasi. Secara
umum ada tiga macam reaksi redoks. Pertama, titrasi iodometri. Titrasi iodometri
merupakan titrasi redoks dengan menggunakan I2 dan merupakan jenis reaksi tidak
langsung karena I2 yang akan bereaksi harus dibuat terlebih dahulu dengan reaksi
redoks sebelumnya. Kedua, titrasi iodimetri. Titrasi iodimetri merupakan titrasi
redoks dengan I2 yang digunakan langsung dalam wujud I2 sehingga disebut juga
reaksi langsung. Ketiga, titrasi permanganometri. Titrasi permanganometri
merupakan reaksi titrasi dengan memanfaatkan ion Mn2+. Indikator yang digunakan
biasanya amilum yang dapat membentuk kompleks dengan I2 yaitu iodo-amilum
berwarna biru. Selain itu bisa juga menggunakan auto-indikator dimana kelebihan
larutan standar yang menetes pada larutan hasil reaksi utama yang telah
stoikiometris akan menunjukkan gejala tertentu seperti perubahan warna yang
menandai titrasi harus dihentikan (Sukmariah, 2000).
Titrasi argentometri adalah jenis titrasi yang digunakan khusus untuk reaksi
pengendapan. Prinsip umumnya adalah mengenai kelarutan dan tetapan hasil kali
kelarutan dari reagen-reagen yang bereaksi. Secara umum, metode titrasi
argentometri ada tiga macam. Pertama, metode Mohr. Pada metode ini tidak ada
indikator yang digunakan. Sehingga untuk menandai titik akhir titrasi adalah
tingkat kekeruhan dari larutan sampel. Ketika larutan standar telah mengalami
reaksi stoikiometris dengan larutan sampel, maka ml larutan standar berikutnya
yang menetes pada larutan sampel akan menghasilkan endapan karena larutan hasil
reaksi titrasi telah jenuh. Namun, dapat juga digunakan indikator yang dapat
bereaksi dengan kelebihan larutan standar dan membentuk endapan dengan warna

7
yang berbeda dari endapan reaksi utama. Kedua, metode Volhard. Metode ini
menggunakan indikator yang akan bereaksi dengan kelebihan larutan standar
membentuk ion kompleks dengan warna tertentu. Ketiga, metode Fajans. Metode
ini menggunakan indikator adsorpsi. Endapan yang terbentuk dari reaksi utama
dapat menyerap indikator adsorpsi pada permukaannya sehingga endapan tersebut
terlihat berwarna (Sukmariah, 2000).
Larutan standar adalah larutan yang mengandung suatu zat tertentu dengan berat
ekivalen tertentu dalam volume tertentu. Dalam percobaan pembuatan larutan
standar, metode yang digunakan adalah metode titrasi. Jadi tujuan dari
pembentukan larutan standar ini adalah mencari normalitas larutan yang belum
diketahui. Adapun larutan standar terbagi menjadi dua macam, yakni larutan
standar primer dan larutan standar sekunder (Cairins, 2009).
Syarat-syarat yang harus dimiliki larutan standar adalah harus murni atau mudah
dimurnikan, harus dapat dikeringkan dan tidak higroskopis, harus mantap dalam
keadaan murni maupun dalam larutan, harus dapat larut dalam pelarut yang cocok,
harus dapat bereaksi secara sthoikiometri dengan larutan yang akan
distandarisasikan atau zat yang akan ditetapkan kadarnya, dan bobot setara
hendaknya besar agar pengaruh kekurangan ketelitian sewaktu penimbangan
menjadi sekecil-kecilnya (Cairins, 2009).
Larutan standar primer adalah larutan yang mengandung zat baku utama dalam
kadar tertentu; dan biasanya digunakan untuk membaku titran. Larutan standar
primer ini merupakan senyawa yang dapat diperoleh dengan tingkat kemurnian
yang tinggi. Senyawa-senyawa semacam ini, dapat ditimbang secara akurat hingga
empat atau bahkan enam desimal, dan volumenya dicukupkan di dalam labu ukur
untuk menghasilkan larutan yang diketahui molaritasnya (Cairns, 2009).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh larutan standar primer adalah harus
tersedia dalam bentuk murni, atau dalam suatu tingkat kemurnian yang diketahui,
pada suatu tingkat biaya yang logis. Secara umum, jumlah total dari pengotor tidak
boleh melebihi 0,01 sampai 0,02%, dan harus dilakukan tes untuk mendeteksi
kuantitas pengotor -pengotor tersebut melalui tes kuantitatif dengan sensitivitas
yang diketahui. Lalu, substansi tersebut harus stabil. Harus mudah dikeringkan dan
tidak terlalu higroskopis sehingga tidak banyak menyerap air selama penimbangan.
Substansi tersebut seharusnya tidak kehilangan berat bila terpapar udara.
Lekmudian larutan standar primer harus mempunyai berat ekivalen yang cukup
tinggi agar dapat meminimalisasi konsekuensi galat pada saat penimbangan (Day
dan Underwood, 1999).
Larutan standar sekunder adalah larutan suatu zat yang konsentrasinya tidak
dapat diketahui dengan tepat karena berasal dari zat yang tidak pernah murni.
Konsentrasi larutan ini ditentukan dengan pembakuan menggunakan larutan baku
primer, biasanya melalui metode titrimetri (Cairns, 2009).

8
Syarat-syarat yang harus dimiliki larutan standar sekunder adalah derajat
kemurniannya lebih rendah daripada larutan baku primer, mempunyai berat
ekivalen yang tinggi untuk memperkecil kesalahan penimbangan, dan harus relatif
stabil dalam penyimpanan (Cairns, 2009).
Standardisasi larutan dapat didefinisikan sebagai suatu proses penentuan
konsentrasi larutan standar sekunder dengan tepat menggunakan larutan standar
primer. Pada standarisasi larutan, larutan standar sekunder yang ingin diketahui
konsentrasinya ditambahkan ke dalam larutan standar primer yang diketahui
konsentrasinya secara pasti (Kenkel, 2003). Standarisasi dapat dilakukan dengan
titrasi. Titrasi merupakan proses penentuan konsentrasi suatu larutan dengan
mereaksikan larutan yang sudah ditentukan konsentrasinya (larutan standar)
(Sukmariah, 2000).
Titrasi asam-basa biasanya digunakan untuk mengetahui jumlah (misal
molaritas) dari asam atau basa yang diketahui melalui reaksi asam basa. Analit
(sampel) adalah larutan dengan molaritas yang belum diketahui, sedangkan reagen
(titran) adalah larutan dengan molaritas yang diketahui yang akan bereaksi dengan
analit. Analit (sampel) disiapkan dengan melarutkan zat yang akan dianalisa
menjadi larutan. Larutan biasanya ditempatkan dalam erlenmeyer untuk titrasi.
Jumlah kecil indikator ditambahkan ke dalam erlenmeyer yang telah berisi analit.
Titran (larutan standar yang konsentrasinya telah diketahui), biasanya ditempatkan
ke dalam buret. Titran ditambahkan secara perlahan ke dalam analit yang telah
ditambahkan indikator. Perubahan warna pada larutan analit menandakan titik akhir
titrasi tersebut (Sukmariah, 2000).
Titrasi kompleksometri merupakan jenis titrasi dengan reaksi kompleksasi atau
pembentukan ion kompleks. Biasanya digunakan untuk menganalisa kadar logam
pada larutan sampel yang dapat membentuk kompleks dengan larutan standar yang
biasanya merupakan ligan. Indikator yang digunakan biasanya akan bereaksi
dengan kelebihan titran (sama-sama membentuk ion kompleks) dan menunjukkan
perubahan warna. Pada titrasi jenis ini ada banyak hal yang harus ditimbang dan
diperhatikan mengingat pembentukan ion kompleks adalah spesifik pada kondisi
tertentu. Misalnya pada pH tertentu sehingga larutan sampel harus didapar dengan
buffer pH tertentu pula (Sukmariah, 2000).
Titrasi redoks merupakan jenis titrasi dengan reaksi reduksi-oksidasi. Secara
umum ada tiga macam reaksi redoks. Pertama, titrasi iodometri. Titrasi iodometri
merupakan titrasi redoks dengan menggunakan I2 dan merupakan jenis reaksi tidak
langsung karena I2 yang akan bereaksi harus dibuat terlebih dahulu dengan reaksi
redoks sebelumnya. Kedua, titrasi iodimetri. Titrasi iodimetri merupakan titrasi
redoks dengan I2 yang digunakan langsung dalam wujud I2 sehingga disebut juga
reaksi langsung. Ketiga, titrasi permanganometri. Titrasi permanganometri
merupakan reaksi titrasi dengan memanfaatkan ion Mn2+. Indikator yang digunakan
biasanya amilum yang dapat membentuk kompleks dengan I2 yaitu iodo-amilum

9
berwarna biru. Selain itu bisa juga menggunakan autoindikator. Dimana kelebihan
larutan standar yang menetes pada larutan hasil reaksi utama yang telah
stoikiometris akan menunjukkan gejala tertentu seperti perubahan warna yang
menandai titrasi harus dihentikan (Sukmariah, 2000).
Titrasi argentometri adalah jenis titrasi yang digunakan khusus untuk reaksi
pengendapan. Prinsip umumnya adalah mengenai kelarutan dan tetapan hasil kali
kelarutan dari reagen-reagen yang bereaksi. Secara umum, metode titrasi
argentometri ada tiga macam. Pertama, metode Mohr. Pada metode ini tidak ada
indikator yang digunakan. Sehingga untuk menandai titik akhir titrasi adalah
tingkat kekeruhan dari larutan sampel. Ketika larutan standar telah mengalami
reaksi stoikiometris dengan larutan sampel, maka ml larutan standar berikutnya
yang menetes pada larutan sampel akan menghasilkan endapan karena larutan hasil
reaksi titrasi telah jenuh. Namun, dapat juga digunakan indikator yang dapat
bereaksi dengan kelebihan larutan standar dan membentuk endapan dengan warna
yang berbeda dari endapan reaksi utama. Kedua, metode Volhard. Metode ini
menggunakan indikator yang akan bereaksi dengan kelebihan larutan standar
membentuk ion kompleks dengan warna tertentu. Ketiga, metode Fajans. Metode
ini menggunakan indikator adsorpsi. Endapan yang terbentuk dari reaksi utama
dapat menyerap indikator adsorpsi pada permukaannya sehingga endapan tersebut
terlihat berwarna (Sukmariah, 2000).
Indikator asam-basa adalah senyawa khusus yang ditambahkan pada larutan,
dengan tujuan mengetahui kisaran pH dalam larutan tersebut. Indikator asam-basa
biasanya adalah basa atau asam organik lemah. Senyawa indikator yang tidak
terdiosiasi akan mempunyai warna berbeda dibandingkan dengan yang terionisasi.
Kisaran ini merupakan suatu interval perubahan warna yang menandakan kisaran
dari pH zat yang dapat berubah warna apabila pH lingkungannya berubah. Apabila
dalam suatu titrasi, asam maupun basanya merupakan elektrolit kuat, larutan pada
titik ekivalen akan mempunyai pH = 7. Tetapi bila asamnya ataupun basanya
merupakan elektrolit lemah, garam yang terjadi akan mengalami hidrolisis dan pada
titik ekivalen larutan akan mempunyai pH > 7 (bereaksi basa) atau pH < 7 (bereaksi
asam). Harga pH yang tepat dapat dihitung dari tetapan ionisasi dari asam atau basa
lemah tersebut dan dari konsentrasi larutan yang diperoleh. Titik akhir titrasi asam
basa dapat ditentukan dengan indikator asam basa (Day dan Underwood, 1999).
Indikator yang digunakan harus memberikan perubahan warna yang nampak di
sekitar pH titik ekivalen titrasi yang dilakukan, sehingga titik akhirnya masih jatuh
pada kisaran perubahan pH indikator tersebut (Harjadi, 1999). Terdapat beberapa
macam indikator asam-basa, antara lain metil hijau yang pada suasana asam akan
berubah menjadi kuning dan pada basa akan berubah warna menjadi biru dan
memiliki trayek pH 0,2 sampai 1,8; timol biru yang pada asam berubah warna
menjadi kuning dan pada basa tidak berubah warna, memiliki trayek pH 1,2 sampai
2,8; metil oranye yang pada suasana asam akan berubah warna menjadi warna

10
merah, sedangkan pada basa akan berubah warna menjadi kuning, dan memiliki
trayek pH 3,2 sampai 4,4; metil ungu yang pada suasana asam tidak berubah warna
dan pada suasana basa akan berubah warna menjadi hijau, memiliki trayek pH 4,8
sampai 5,8; bromkresol ungu yang pada asam berubah warna menjadi kuning, dan
pada basa tidak berubah warna memiliki trayek pH 5,2 sampai 6,8; phenolphthalein
yang tidak berubah pada senyawa asam, pada basa berwarna merah muda dan pada
netral tidak berwarna dan memiliki trayek pH 8,2 sampai 10,0; serta kuning alizarin
yang pada suasana asam akan berubah warna menjadi kuning dan berwarna merah
pada suasana basa, trayek pH 10,1 sampai 12,0 (Sutresna, 2006).
Pada percobaan titrasi asidimetri, dilakukan standarisasi larutan baku sekunder
HCl dengan larutan baku primer boraks, dan didapatkan normalitas HCl rata-rata
sebesar 0,29 N. Berdasarkan literatur, boraks merupakan basa lemah dengan pH
9,15 – 9,20 (Adinugroho, 2013) sedangkan HCl merupakan asam kuat (Putranto,
2006). Standarisasi HCl dilakukan karena HCl termasuk kedalam larutan baku
sekunder, dimana bila HCl akan digunakan sebagai titran maka HCl harus
dibakukan terlebih dahulu menggunakan larutan baku primer seperti boraks. Untuk
mengetahui titik akhir titrasi asam kuat-basa lemah pada percobaan ini digunakan
indikator metil merah yang bekerja pada trayek pH 4,2-6,2, dimana metil merah
berwarna merah pada suasana asam dan berwarna kuning pada suasana basa.
Awalnya, boraks berwarna bening lalu ditambah indikator metil merah dan dititrasi
menggunakan HCl hingga warnanya berubah menjadi pink. Penambahan HCl
kedalam boraks akan menurunkan pH larutan menjadi asam sehingga lama
kelamaan campuran berubah warna menjadi pink pada trayek pH 4,2-6,2 sekaligus
menandai titik akhir titrasi. Reaksi yang terjadi adalah 2HCl + Na 2B4O7.10H2O →
H2B4O7 + 2NaCl + 10H2O (Permanasari, 2008).
Setelah larutan HCl dibakukan, dilakukan penentuan susunan campuran NaOH-
Na2CO3 menggunakan HCl hasil standarisasi dari percobaan pertama. Dalam
percobaan ini telah dilakukan dua kali titrasi menggunakan 2 indikator yang
berbeda, yang pertama yaitu indikator phenolphthalein yang kedua yaitu indikator
metil oranye. Pada titrasi pertama, digunakan indikator PP yang berfungsi untuk
mereaksikan HCl dengan NaOH hingga dicapai titik ekivalen yang ditandai dengan
perubahan warna larutan dari pink (awalnya basa) menjadi bening (menjadi asam).
Hal ini terjadi karena indikator pp bekerja pada trayek pH 8,20-10,0 (Sutresna,
2006). Didapatkan data bahwa kadar rata-rata NaOH dalam campuran tersebut
sebesar 60,02%. Reaksi kimia yang terjadi pada titrasi pertama yaitu HCl + NaOH
→ NaCl + H2O. Titrasi kedua menggunakan indikator metil oranye yang bekerja
pada trayek pH 3,2 - 4,4 untuk mereaksikan HCl (asam kuat) dengan Na 2CO3 (basa
lemah). Tercapainya titik ekivalen ditandai dengan perubahan warna oranye
kemerahan. Didapatkan data bahwa kadar rata-rata Na2CO3 dalam campuran
sebesar 39,98%. Reaksi kimia yang terjadi pada titrasi kedua yaitu 2HCl + Na 2CO3
→ H2CO3 + 2NaCl (Permanasari, 2008).

11
Pada percobaan titrasi alkalimetri, dilakukan standarisasi larutan baku sekunder
NaOH dengan menggunakan larutan standar primer asam oksalat, dan didapatkan
normalitas rata-rata NaOH sebesar 0,50 N. Tujuan dilakukannya standarisasi NaOH
karena NaOH merupakan larutan baku sekunder, sehingga bila akan digunakan
sebagai titran harus distandarisasi terlebih dahulu menggunakan larutan baku
primer seperti asam oksalat. Pada percobaan ini digunakan indikator pp yang
bekerja pada trayek pH 8,20 - 10,0 (Sutresno, 2006). NaOH (basa kuat) yang
ditambahkan ke dalam asam oksalat (asam lemah) akan meningkatkan pH
campuran hingga dicapai titik ekivalen yang ditandai dengan berubahnya warna
campuran dari bening menjadi pink. Hal ini sesuai dengan teori dimana indikator
pp akan memberikan warna bening pada pH asam dan memberikan warna pink
pada pH basa. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut 2NaOH + H2C2O4 →
Na2C2O4 + 2H2O (Permanasari, 2008).
Setelah NaOH dibakukan, dilakukan titrasi untuk menentukan kadar asam cuka
murni menggunakan NaOH yang sudah distandarisasi, dan didapatkan
kadar/normalitas rata-rata asam cuka ialah 0,047 N. Awalnya, larutan cuka
berwarna bening saat diberikan indikator pp. Setelah dititrasi menggunakan NaOH,
warna larutan berubah menjadi pink. Berdasarkan literatur, pada suasana asam
indikator pp akan memberikan warna bening sedangkan pada suasana basa akan
memberikan warna pink, dimana indikator pp bekerja pada trayek pH 8,20-10,0
(Sutresno, 2006). Penambahan NaOH (basa kuat) ke dalam larutan asam cuka
(asam lemah) akan meningkatkan pH larutan hingga tercapai titik ekivalen yang
ditandai dengan perubahan warna larutan. Reaksi yang terjadi yaitu NaOH +
CH3COOH → CH3COONa + H2O (Permanasari, 2008).

5. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan ini dapat disimpulkan bahwa prinsip titrasi asidimetri
adalah penentuan konsentrasi larutan basa menggunakan larutan standar asam,
sedangkan titrasi alkalimetri adalah penentuan konsentrasi larutan asam
menggunakan larutan standar basa. Berdasarkan percobaan ini, didapatkan
normalitas larutan standar HCl adalah 0,29 N, komposisi NaOH 60,02% dan
Na2CO3 39,98%, normalitas larutan standar NaOH adalah 0,50 N dan kadar asam
cuka adalah 0,047 N.

6. DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho, N. (2013). Pengaruh Pemberian Boraks Dosis Bertingkat terhadap
Perubahan Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hepar Selama 28 Hari.
Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Cairns, D. (2009). Kimia Farmasi. Jakarta: Kedokteran EGC.
Day, R., A., & Underwood, A., L. (1999). Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga.

12
Harjadi, W. (1999). Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: Gramedia.
Irfan, A. (2000). Ilmu Kimia. Jakarta: Erlangga.
Kenkel, J. (2003). Analytical Chemistry for Technicians. Washington: Lewis
Publisher.
Permanasari, A. (2008). Titrasi Volumetri. Jakarta: Universitas Terbuka.
Putranto, L. A. W. (2006). Peningkatan Hasil Belajar Siswa pada Materi pH Larutan
Campuran Asam dan Basa Melalui Lembar Kerja Mandiri Kelompok Remidi
Kelas XI Semester 3 SMK Kimia Industri Theresiana Semarang Tahun Ajaran
2005 / 2006. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Sukmariah. (2000). Kimia Kedokteran Edisi 2. Jakarta: Binarupa Aksara.
Sutresna, N. (2006). Kimia. Bandung: Grafindo.
Syukri, S. (1999). Kimia Dasar 2. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

LAMPIRAN

Gambar 1. Hasil Standarisasi Triplo HCl dengan Boraks


(Data Praktikum)

Gambar 2. Hasilk Titrasi Triplo Campuran NaOH-Na2CO3 dengan HCl


(Data Praktikum)

13
Gambar 3. Hasil Standarisasi Triplo NaOH dengan Asam Oksalat
(Data Praktikum)

Gambar 4. Hasil Titrasi Triplo Sampel Cuka Encer dengan NaOH


(Data Praktikum)

14

Anda mungkin juga menyukai