Anda di halaman 1dari 15

MODUL 2

CARA KERJA ILMUWAN

3.1. Argumentasi ilmiah

Peranan Logika

Alasan yang dikemukakan dalam berargumentasi ilmiah haruslah melalui


jalan pikiran atau penalaran yang mengikuti aturan atau pedoman tertentu
sehingga jalan pikiran itu tidak kacau. Ilmu yang mempelajari atau meneliti
asas-asas dan hukum-hukum yang mengatur pemikiran manusia agar
dapat dilakukan secara tertib dan dapat mencapai kebenaran disebut
logika. Logika merupakan kondisi dan tuntutan fundamental mutlak untuk
memperkokoh eksistensi ilmu pada umumnya, yang secara sistematis
meneliti, merumuskan, dan menerangkan asas-asas yang harus ditaati
agar orang dapat berpikir dengan tepat, lurus, dan teratur. Berpikir adalah
suatu bentuk kegiatan akal yang khas dan terarah untuk mengolah
pengetahuan yang kita terima melalui indera kita, ditujukan untuk
mencapai kebenaran. Berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri di dalam
batin, sedangkan kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir
dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Suatu
argumen dikatakan valid atau sahih apabila kesimpulan yang
terdapat pada argumen tersebut mempunyai kaitan dengan
premis-premis sedemikian rupa sehingga kesimpulan itu benar
apabila premis-premis yang mendahuluinya benar. Peranan logika
menjadi penting karena pada dasarnya logika mengevaluasi validitas suatu
argumen, sedangkan argumen merupakan salah satu syarat bagi
pengembangan ilmu. Tanpa menggunakan logika dalam mengemukakan
penalarannya para ilmuwan tidak mungkin dapat mengembangkan
ilmunya.

1
Argumen Deduktif dan Induktif

Silogisme adalah argumen yang terdiri atas dua buah premis atau lebih
yang memberikan bukti-bukti dari sebuah kesimpulan yang diperoleh dari
premis-premis tersebut. Peranan silogisme kategorik yang dilandasi oleh
logika, menjadi pedoman untuk menyatakan pikiran secara tertib dan
teratur. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari atau dalam rapat serta
diskusi seringkali kita harus mengemukakan suatu pernyataan yang
diinginkan dapat diterima oleh semua pihak. Keputusan bersyarat
dinyatakan benar jika hubungan bersyarat di dalamnya itu benar. Silogisme
merupakan argumen deduktif apabila melibatkan, bukti-bukti yang
mendukung kesimpulan atau pembuktian. Pernyataan-pernyataan dalam
argumen bermula dari yang bersifat umum menuju kesimpulan yang
merupakan pernyataan yang bersifat lebih khusus atau kurang umum.
Premis mayor menyatakan suatu syarat yang menjadi gantungan benar
tidaknya konsekuens, sedangkan premis minor menyatakan dipenuhinya
syarat itu. Dengan demikian, kesimpulan menyatakan benarnya
konsekuens. Pada argumen deduktif kita menarik kesimpulan berdasarkan
apa yang tersedia dalam kedua premis, sedangkan pada argumen induktif
kita berangkat dari beberapa contoh atau kasus yang dalam banyak hal
belum teruji kebenarannya serta membuat generalisasi yang berupa
kesimpulan yang belum pasti. Bagi ilmuwan, hasil penelitian secara ilmiah
sebagai suatu proses menalar secara induktif merupakan keyakinan
individual yang akan senantiasa dipertahankan. Apabila pada kurun waktu
tertentu timbul teori atau hukum baru sebagai hasil generalisasi induktif
yang teruji serta didukung kuat, oleh bukti-bukti baru maka teori atau
hukum yang lama dapat ditinggalkan atau tidak diakui lagi kebenarannya.
Pengambilan kesimpulan secara induktif yang kurang didukung oleh data
yang akurat atau sampel yang diambil kurang representatif akan
mengakibatkan kesalahan. Pada argumen induktif probabilitas generalisasi
induktifnya tergantung pada kualitas hal-hal khusus yang mendukungnya.

2
3.2. Langkah-Langkah Metode Ilmiah

Pengertian Metode Ilmiah

Metode ilmiah atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai scientific method
adalah proses berpikir untuk memecahkan masalah secara
sistematis,empiris, dan terkontrol. Emory dan Cooper (1991) menjelaskan
bahwa proses penelitian dimulai dengan kebutuhan yang mendorong
dilaksanakannya penelitian dan diakhiri dengan pelaporan hasil
penelitiannya.

Ciri-ciri khas metode ilmiah

Metode ilmiah merupakan proses berpikir untuk memecahkan


masalah. Metode ilmiah berangkat dari suatu permasalahan yang perlu
dicari jawaban atau pemecahannya. Proses berpikir ilmiah dalam metode
ilmiah tidak berangkat dari sebuah asumsi, atau simpulan, bukan pula
berdasarkan data atau fakta khusus. Proses berpikir untuk memecahkan
masalah lebih berdasar kepada masalah nyata. Untuk memulai suatu
metode ilmiah, maka dengan demikian pertama-tama harus dirumuskan
masalah apa yang sedang dihadapi dan sedang dicari pemecahannya.
Rumusan permasalahan ini akan menuntun proses selanjutnya.

Pada Metode Ilmiah, proses berpikir dilakukan secara sistematis.


Dalam metode ilmiah, proses berpikir dilakukan secara sistematis dengan
bertahap, tidak zig-zag. Proses berpikir yang sistematis ini dimulai dengan
kesadaran akan adanya masalah hingga terbentuk sebuah kesimpulan.
Dalam metode ilmiah, proses berpikir dilakukan sesuai langkah-langkah
metode ilmiah secara sistematis dan berurutan.

Metode ilmiah didasarkan pada data empiris. Setiap metode ilmiah


selalu disandarkan pada data empiris. maksudnya adalah, bahwa masalah
yang hendak ditemukan pemecahannya atau jawabannya itu harus tersedia
datanya, yang diperoleh dari hasil pengukuran secara objektif. Ada atau
tidak tersedia data empiris merupakan salah satu kriteria penting dalam

3
metode ilmiah. Apabila sebuah masalah dirumuskan lalu dikaji tanpa data
empiris, maka itu bukanlah sebuah bentuk metode ilmiah.

Pada metode ilmiah, proses berpikir dilakukan secara terkontrol. Di


saat melaksanakan metode ilmiah, proses berpikir dilaksanakan secara
terkontrol. Maksudnya terkontrol disini adalah, dalam berpikir secara ilmiah
itu dilakukan secara sadar dan terjaga, jadi apabila ada orang lain yang
juga ingin membuktikan kebenarannya dapat dilakukan seperti apa
adanya. Seseorang yang berpikir ilmiah tidak melakukannya dalam
keadaan berkhayal atau bermimpi, akan tetapi dilakukan secara sadar dan
terkontrol.

Langkah-Langkah Metode Ilmiah. Karena metode ilmiah dilakukan


secara sistematis dan berencana, maka terdapat langkah-langkah yang
harus dilakukan secara urut dalam pelaksanaannya. Setiap langkah atau
tahapan dilaksanakan secara terkontrol dan terjaga. Adapun langkah-
langkah metode ilmiah adalah sebagai berikut:

 Merumuskan masalah.
 Merumuskan hipotesis.
 Mengumpulkan data.
 Menguji hipotesis.
 Merumuskan kesimpulan.
 Merumuskan Masalah

Berpikir ilmiah melalui metode ilmiah didahului dengan kesadaran akan


adanya masalah. Permasalahan ini kemudian harus dirumuskan dalam
bentuk kalimat tanya. Dengan penggunaan kalimat tanya diharapkan akan
memudahkan orang yang melakukan metode ilmiah untuk mengumpulkan
data yang dibutuhkannya, menganalisis data tersebut, kemudian
menyimpulkannya. Permusan masalah adalah sebuah keharusan.
Bagaimana mungkin memecahkan sebuah permasalahan dengan mencari
jawabannya bila masalahnya sendiri belum dirumuskan?

4
Merumuskan Hipotesis. Hipotesis adalah jawaban sementara dari
rumusan masalah yang masih memerlukan pembuktian berdasarkan data
yang telah dianalisis. Dalam metode ilmiah dan proses berpikir ilmiah,
perumusan hipotesis sangat penting. Rumusan hipotesis yang jelas dapat
memabntu mengarahkan pada proses selanjutnya dalam metode ilmiah.
Seringkali pada saat melakukan penelitian, seorang peneliti merasa semua
data sangat penting. Oleh karena itu melalui rumusan hipotesis yang baik
akan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data yang benar-benar
dibutuhkannya. Hal ini dikarenakan berpikir ilmiah dilakukan hanya untuk
menguji hipotesis yang telah dirumuskan.

Mengumpulkan Data. Pengumpulan data merupakan tahapan yang agak


berbeda dari tahapan-tahapan sebelumnya dalam metode ilmiah.
Pengumpulan data dilakukan di lapangan. Seorang peneliti yang sedang
menerapkan metode ilmiah perlu mengumpulkan data berdasarkan
hipotesis yang telah dirumuskannya. Pengumpulan data memiliki peran
penting dalam metode ilmiah, sebab berkaitan dengan pengujian hipotesis.
Diterima atau ditolaknya sebuah hipotesis akan bergantung pada data yang
dikumpulkan.

Menguji Hipotesis. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa hipotesis


adalah jawaban sementaradari suatu permasalahan yang telah diajukan.
Berpikir ilmiah pada hakekatnya merupakan sebuah proses pengujian
hipotesis. Dalam kegiatan atau langkah menguji hipotesis, peneliti tidak
membenarkan atau menyalahkan hipotesis, namun menerima atau
menolak hipotesis tersebut. Karena itu, sebelum pengujian hipotesis
dilakukan, peneliti harus terlebih dahulu menetapkan taraf signifikansinya.
Semakin tinggi taraf signifikansi yang tetapkan maka akan semakin tinggi
pula derjat kepercayaan terhadap hasil suatu penelitian.Hal ini dimaklumi
karena taraf signifikansi berhubungan dengan ambang batas kesalahan
suatu pengujian hipotesis itu sendiri.

5
Merumuskan Kesimpulan. Langkah paling akhir dalam berpikir ilmiah
pada sebuah metode ilmiah adalah kegiatan perumusan kesimpulan.
Rumusan simpulan harus bersesuaian dengan masalah yang telah diajukan
sebelumnya. Kesimpulan atau simpulan ditulis dalam bentuk kalimat
deklaratif secara singkat tetapi jelas. Harus dihindarkan untuk menulis
data-data yang tidak relevan dengan masalah yang diajukan, walaupun
dianggap cukup penting. Ini perlu ditekankan karena banyak peneliti
terkecoh dengan temuan yang dianggapnya penting, walaupun pada
hakikatnya tidak relevan dengan rumusan masalah yang diajukannya

3.3. Ilmu sebagai Kebenaran Ilmiah

Manusia sebagai makluk pencari kebenaran??

Manusia merupakan makhluk yang berakal budi. Dengan akal budinya,


manusia mampu mengembangkan kemampuan yang spesisifik manusiawi,
yang menyangkut daya cipta, rasa maupun karsa. Dengan akal budinya,
maka kemampuan bersuara bisa menjadi kemampuan berbahasa dan
berkomunikasi. Manusia mampu menciptakan dan menggunakan symbol-
simbol dalam kehidupan sehari-hari, sehingga oleh Ernst Cassirer disebut
sebagai animal symbolicum (Suriasumantri, 2005: 171).

Adanya akal budi juga menyebabkan manusia mampu berpikir abstrak dan
konseptual sehingga manusia disebut sebagai makhluk pemikir
(homosapiens). Aristoteles menyebut manusia karena kemampuan sebagai
animal that reason, dengan cirri utamanya selalu ingin mengetahui. Pada
manusia melekat kehausan intelektual (intellectual curiousity), yang
menjelma dalam aneka wujud pertanyaan (Rinjin, 1996: 9).

Manusia selalu bertanya karena terdorong oleh rasa ingin tahu. Rasa ingin
tahu tersebut sudah muncul pada awal perkembangannya. Manifestasi dari
hasrat ingin tahu tersebut antara lain berupa pertanyaan: apa ini atau apa
itu? Pertanyaan tersebut selanjutnya berkembangan menjadi: mengapa
demikian dan bagaimana cara mengatasinya ?

6
Hasrat ingin tahu manusia tersebut terpuaskan bila manusia memperoleh
pengetahuan yang benar mengenai hal-hal yang dipertanyakan. Dalam
sejarah perkembangannya, manusia ternyata manusia selalu berusaha
memperoleh pengetahuan yang benar atau yang secara singkat dapat
disebut sebagai kebenaran (Suryabrata, 2000: 2). Manusia senantiasa
berusaha memahami, memperoleh, dan memanfaatkan kebenaran untuk
kehidupannya. Tidak salah jika satu sebutan lagi diberikan kepadanya,
yaitu manusia sebagai makhluk pencari kebenaran.

Pendekatan-pendekatan untuk MemperolehKebenaran

Ada beberapa pendekatan yang dipakai manusia untuk memperoleh


kebenaran yaitu : pendekatan empiris, pendekatan rasional, pendekatan
intuitif, pendekatan religius, pendekatan otoritas, dan pendekatan ilmiah.

Pendekatan Empiris. Manusia mempunyai seperangkat indera yang


berfungsi sebagai penghubung dirinya dengan dunia nyata. Dengan
inderanya manusia mampu mengenal berbagai hal yang ada di sekitarnya,
yang kemudia diproses dan mengisi kesadarannya. Indera bagi manusia
merupakan pintu gerbang jiwa. Tidak ada pengalaman yang diperoleh
tanpa melalui indera.

Kenyataan seperti yang disebutkan di atas menyebabkan timbulnya


anggapan bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui penginderaan atau
pengalaman. Kebenaran dari pendapat tersebut kiranya tidak dapat
dipungkiri. Bahwa dengan pengalaman kita mendapatkan pemahaman
yang benar mengenai bentuk, ukuran, warna, dst. mengenai suatu hal.
Upaya untuk mendapatkan kebenaran dengan pendekatan demikian
merupakan upaya yang elementer namun tetap diperlukan.

Mereka yang mempercayai bahwa penginderaan merupakan satu-satunya


cara untuk memperoleh kebenaran disebut sebagai kaum empiris. Bagi
golongan ini, pengetahuan itu bukab didapatkan melalui penalaran rasional
yang abstrak, namun melalui pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala

7
alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkrit dan dapat
dinyatakan melalui tangkapan indera manusia.

Pendekatan Rasional. Cara lain untuk mendapatkan kebenaran adalah


dengan mengandalkan rasio. Upaya ini sering disebut sebagai pendekatan
rasional. Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir. Dengan
kemampuannya ini manusia dapat menangkap ide atau prinsip tentang
sesuatu, yang pada akhirnya sampai pada kebenaran, yaitu kebenaran
rasional.

Golongan yang menganggap rasio sebagai satu-satunya kemampuan untuk


memperoleh kebenaran disebut kaum rasionalis. Premis yang mereka
pergunakan dalam penalarannya adalah ide, yang menurut anggapannya
memang sudah ada sebelum manusia memikirkannya. Fungsi pikiran
manusia adalah mengenal ide tersebut untukdijadikan pengetahuan.

Pendekatan Intuitif. Menurut Jujun S. Suriasimantri (2005: 53), intuisi


merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang menghadapi suatu masalah secara tiba-
tiba menemukan jalan pemecahannya. Atau secara tiba-tiba seseorang
memperoleh “informasi” mengenai peristiwa yang akan terjadi. Itulah
beberapa contoh intuisi.

Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Bahwa intuisi yang
dialami oleh seseorang bersifat khas, sulit atau tak bisa dijelaskan, dan tak
bisa dipelajari atau ditiru oleh orang lain. Bahkan seseorang yang pernah
memperoleh intuisi sulit atau bahkan tidak bisa mengulang pengalaman
serupa.

Kebenaran yang diperoleh dengan pendekatan intuitif disebut sebagai


kebenaran intuitif. Kebenaran intuitif sulit untuk dipertanggung jawabkan,
sehingga ada-ada pihak-pihak yang meragukan kebenaran macam ini.

Meskipun validitas intuitisi diragukan banyak pihak, ada sementara ahli


yang menaruh perhatian pada kemampuan manusia yang satu ini. Bagi

8
Abraham Maslow, intuisi merupakan pengalaman puncak (peak
experience), sedangkan bagi Nietzsche, intuisi merupakan inteligensi yang
paling tinggi (Sumantri, 2005: 53).

Pendekatan Religius. Manusia merupakan makhluk yang menyadari


bahwa alam semesta beserta isinya ini diciptakan dan dikendalikan oleh
kekuatan adi kodrati, yaitu Tuhan. Kekuatan adi kodrati inilah sumber dari
segala kebenaran. Oleh karena itu agar manusia memperoleh kebenaran
yang hakiki, manusia harus berhubungan dengan kekuatan adi kodrtai
tersebut.

Upaya untuk memperoleh kebenaran dengan jalan seperti tersebutdi atas


disebut sebagai pendekatan religius atau pendekatan supra-pikir (Rinjin,
1996: 54). Disebut demikian karena pendekatan tersebut melampai daya
nalar manusia manusia.

Kebenaan religius bukan hanya bersangkuta paut dengan kehidupan


sekarang dan yang terjangkau oleh pengalaman, namun juga mencakup
masalah-masalah yang bersifat transcendental, seperti latar belakang
penciptaan manusia dan kehidupan setelah kematian.

Pendekatan Otoritas. Usaha untuk memperoleh kebenaran juga dapat


dilakukan dengan dasar pendapat atau pernyataan dari pihak yang
memiliki otoritas. Yang dimaksud dengan hal ini adalah individu-individu
yang memiliki kelebihan tertentu disbanding anggota masyarakat pada
umumnya.

Kelebihan-kelebihan tersebut bisa berupa kekuasaan, kemampuan


intelektual, keterampilan, pengalaman, dan sebagainya. Mereka yang
memiliki kelebihan-kelebihan seperti itu disegani, ditakuti, ataupun
dijadikan figur panutan. Apa yang mereka nyatakan akan diterima
masyarakat sebagai suatu kebenaran.

Sepanjang sejarah dapat ditemukan contoh-contoh mengenai


ketergantungan manusia pada otoritas dalam mencari kebenaran. Pada

9
masa Yunani kuno para pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles
dipandang sebagai sumber kebenaran, bahkan melebihi pengamatan atau
pengalaman langsung. Apa yang dinyatakan oleh para tokoh tersebut
dijadikan acuan dalam memahami realitas, berpikir, dan berindak.

Pendekatan Ilmiah. Pendekatan ilmiah pertumpu pada dua anggapan


dasar, yaitu: pertama, bahwa kebenaran dapat diperoleh dari pengamatan
dan kedua, bahwa gejala itu timbul sesuai dengan hubungan-hubungan
yang berlaku menurut hokum tertentu (Ary dkk., 2000: 63).

Pendekatan ilmiah.

Pendekatan ilmiah merupakan pengombinasian yang jitu dari pendekatan


empiris dan pendekatan rasional. Kombinasi ini didasarkan pada hasil
analisis terhadap kedua pendekatan tersebut. Pada satu segi kedua
pendekatan tersebut bisa dipertanggung jawabkan namun pada segi yang
lain terdapat beberapa kelemahan.

Kelemahan pertama pendekatan empiris, bahwa pengetahuan yang


berhasil dikumpulkan cenderung untuk menjadi kumpulan fakta-fakta.
Kumpulan fakta-fakta tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin
saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif (Suriasumantri, 2005:
52).Kelemahan kedua, terletak pada kesepakatan mengenai pemahaman
hakikat pengalaman yang merupakan cara untuk memperoleh kebenaran
dan indera sebagai alat yang menangkapnya.

Sedangkan kelemahan yang terdapat pada pendekatan rasional adalah


terdapat pada kriteria untuk menguji kebenaran dari suatu ide yang
menurut seseorang jelas dan dapat dipercaya. Apa yang menurut
seseorang jelas, benar, dan dapat dipercaya belum tentu demikian untuk
orang lain. Dalam hal ini pemikiran rasional cenderung bersifat solipsisteik
dan subjektif (Suriasumantri, 2005: 51).

Kelemahan-kelemahan darikedua pendekatan tersebut bisa dihilangkan


atau paling tidak dikurangi dengan mengombinasikan keduanya. Kombinasi

10
tersebut diwujudkan dengan langkah-langkah yang sistematis dan
terkontrol. Upaya memahami realitas dalam hal ini didasarkan pada
kebenaran atau teori ilmiah yang ada serta mengujinya dengan
mengumpulkan fakta-fakta.

Suatu kebenaran dapat disebut sebagai kebenaran ilmiah bila memenuhi


dua syarat utama, yaitu: pertama, harus sesuai dengan kebenaran ilmiah
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori
keilmuan secara keseluruhan, dan kedua, harus sesuai dengan fakta-fakta
empiris. Sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak
didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara
ilmiah.

Karakteristik Kebenaran Ilmiah

Telah dipaparkan di atas bahwa dengan pendekatan ilmiah diperoleh


pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu dapat dipahami sebagai proses,
prosedur, dan produk (The Liang Gie, 2004: 90). Pembahasan berikut ini
ditekankan pada makna ilmu sebagai produk. Sebagai produk ilmu tidak
lain adalah pengetahuan atau kebenaran ilmiah yang memiliki
karakteristik: a. sistematisasi, b. keumuman, c. rasionalitas, d.
objektivitas, e. verifiabilitas, dan f. komunalitas.

Pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu bila pengetahuan tersebut


tersusun secara sistematis. Dan apa yang tersusun secara sistematis
sebagai suatu kesatuan tersebut haruslah memiliki sifat keumuman
(generality), artinya bahwa kebenaran yang terkandung didalamnya harus
dapat berlaku secara umum atau luas jangkauannya.

Ciri rasionalitas mengandung makna bahwa kebenaran ilmiah bersumber


pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Sedangkan
ciri objektivitas menunjuk pada kesesuaian antara hal-hal yang rasional
dengan realitas. Ciri verifiabilitas mempunyai arti bahwa kebenaran ilmiah
harus dapat diperiksa kebenarannya, diuji ulang oleh setiap anggota

11
masyarakat ilmuwan. Hal ini menunjuk bahwa kebenaran ilmiah tidak
bersifat mutlak atau final. Adapun ciri terakhir dari kebenaran ilmiah yaitu
komunalitas memiliki arti bahwa kebenaran ilmiah itu merupakan
pengetahuan yang menjadi milik umum.

Berbicara tentang karakteristik kebenaran ilmiah, Sonny Keraf A. dan


Mikhael Dua (2001: 75), menyatakan bahwa kebenaran ilmiah mempunyai
sekurang-kurangnya tiga sifat dasar, yaitu: rasional-logis, isi empiris, dan
dapat diterapkan (pragmatis). Hal itu berarti bahwa kebenaran ilmiah yang
logis dan impiris itu pada akhirnya dapat diterapkan dan digunakan bagi
kehidupan manusia.

Fungsi Kebenaran Ilmiah

Semua kebenaran bermanfaat bagi manusia demikian juga dengan


kebenaran ilmiah. Fungsi dari kebenaran ilmiah adalah : deskriptif,
prediktif, dan pengendalian berkenaan dengan dengan gejala-gejala yang
ada dalam dunia pengalaman manusia.

Fungsi deskriptif menunjuk pada keharusan ilmu untuk bisa memberikan


penjelasan secara rinci, lengkap, dan runtut mengenai berbagai hal yang
menjadi perhatian manusia. Penjelasan tersebut bisa bersifat deskriptif,
preskriptif, eksposisi pola, maupun rekonstruksi histories.

Bila gejala-gejala yang ada di alam semesta dapat dijelaskan, maka


selanjutnya dapat dilakukan prediksi atau membuat perkiraan-perkiraan
tentang apa yang akan terjadi kemudian. Inilah fungsi kedua dari ilmu,
yaitu fungsi prediktif. Atas dasar hasil prediksi, selanjutnya dapat dilakukan
pengendalian, yaitu mencegah agar gejala-gejala yang tidak diinginkan
tidak terjadi serta mendorong agar terjadi gejala-gejala yang dikehendaki.

3.4. Sikap Ilmuwan

Seorang peneliti harus mempunyai sikap ilmiah ketika menerapkan metode


ilmiah. Beberapa sikap ilmiah sebagai berikut.

12
1. Mampu Membedakan Opini dan Fakta Opini adalah suatu pendapat
yang belum teruji kebenarannya melalui suatu penelitian. Adapun
fakta adalah hasil suatu penelitian yang kebenarannya sudah teruji.

2. Memiliki Rasa Ingin Tahu Seorang peneliti biasanya selalu ingin


mengetahui segala hal. Keingintahuan dan minat atas segala sesuatu
merupakan salah satu dasar ditemukannya konsep, teori, dan hukum
dalam bidang sains.

3. Peduli terhadap Lingkungan Sikap peduli terhadap lingkungan harus


tertanam dalam jiwa seorang peneliti karena suatu penelitian akan sia-
sia jika proses maupun hasilnya merusak lingkungan. Sikap ilmiah ini
dapat diwujudkan dengan ikut menjaga kelestarian lingkungan.

4. Jujur terhadap Fakta Seorang peneliti harus jujur dalam mengambil


dan mengolah data suatu penelitian. Tidak boleh ada pemalsuan
(manipulasi) meskipun hasilnya tidak sesuai dengan keinginannya.

5. Terbuka dan Fleksibel Seorang peneliti harus terbuka dalam


menyampaikan hasil kajiannya. Terbuka di sini berarti mau menerima
masukan, saran, dan kritikan agar hasil penelitian menjadi lebih baik.

6. Berani Mencoba Rasa ingin tahu tentang sesuatu tidak akan pernah
terwujud tanpa keberanian untuk mencoba. Seorang peneliti harus
berani untuk mencoba mencari jawaban atas berbagai pertanyaan
yang ada di pikirannya.

7. Berpendapat secara Ilmiah dan Kritis Seorang peneliti harus mampu


berpendapat secara ilmiah dan kritis. Setiap pendapat harus
mempunyai dasar yang kuat dan tepat. Oleh karena itu, seorang
peneliti harus banyak membaca buku-buku literatur untuk menambah
wawasan.

8. Bekerja Sama Pada saat melakukan percobaan seorang peneliti harus


mampu bekerja sama dengan orang lain sehingga percobaan dapat
berhasil dengan baik.

13
9. Ulet dan Gigih Seorang peneliti tidak boleh cepat berputus asa. Jika
gagal dalam suatu penelitian, peneliti harus segera mencari penyebab
kegagalan itu dan mencobanya lagi untuk memperoleh kesuksesan.

10. Bertanggung Jawab Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti


harus dapat bertanggung jawab terhadap hasil penelitiannya. Selain
itu, keselamatan tim dan keselamatan lingkungan juga menjadi
tanggung jawabnya

Referensi

Ary, Donald. Dkk. 2000. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan (Alih


Bahasa: Arief Furchan. Surabaya: Usaha Nasional.

Keraf, A. Sony dan Dua, Mikhael. 2001. Ilmu Pengetahuan : Sebuah


Tinjauan Filosofis.Yogyakarta: Kanisius.

Rinjin, Ketut. 1996. Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar.
Bandung: CV Kayumas.

Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsaat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer.


Jakarta: Sinar Harapan.

Suryabrata, Sumadi. 2000. Metodologi Penelitian.Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

The Liang Gie. 2004. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty

Umpan balik:

Saudara diberi suatu artikel ilmiah yang ditulis oleh seorang peneliti untuk
dipubliksikan di Jurnal ilmiah.

Dari tulisan tersebut, coba saudara memberikan skore PENILAIAN (1-10)


mengenai argumentasi ilmiahnya, langkah-langkah ilmiah, nilai kebenaran
ilmiahnya dan sikapnya sebagai ilmuwan. Beberapa hal, harus diakui, tidak
dapat dinilai dari tulisan ini, coba anda rekapitulasi, hal-hal apa saja yang
sulit dinilai tersebut.

14
15

Anda mungkin juga menyukai