ABSTRAK
Latar Belakang: Tinea capitis adalah infeksi dermatofita pada kulit kepala, alis, dan bulu mata
dengan kecenderungan menyerang batang dan folikel rambut, umumnya menyerang anak-anak.
Perlakuannya tetap sama antara anak, remaja dan dewasa Tujuan: Untuk mengevaluasi manifestasi
klinis, agen penyebab spesies, dan manajemen tinea capitis. Kasus: Seorang remaja putri, 16 tahun, berat
badan 33 kg dengan amennorhea primer datang ke Klinik Rawat Jalan Dermatovenereologi RSUD Dr.
Soetomo karena kebotakan di kepalanya sejak 3 minggu sebelum masuk. Mulanya lesi muncul sebagai
bercak kemerahan gatal yang ditutupi dengan sisik tipis diikuti oleh rambut berubah menjadi abu-abu,
tidak berkilau dan mudah dicabut meninggalkan bercak kebotakan. Pemeriksaan dermatologis
menunjukkan alopesia berukuran 10 cm x 10 cm dengan plak eritematosa ringan yang ditutupi oleh kerak
tipis yang terletak di area parieto-oksipitalis. Pemeriksaan lampu Wood menunjukkan fluoresensi hijau
terang. Pemeriksaan kalium hidroksida menunjukkan spora ektotriks. Hasil positif dari kultur jamur
pada Sabouraud's Dextrose Agar (SDA) diidentifikasi sebagai Microsporum audouinii. Pasien didiagnosis
dengan tinea capitis greypatch type, dan diterapi dengan oral griseofulvin 125 mg microsize 2x3 tablet per
hari dan ketoconazole 2% shampoo sekali sehari. Pada 6 minggu masa tindak lanjut, lesi di kulit kepalanya
membaik, rasa gatal berkurang, Pemeriksaan Wood's Lamp dan Kalium hidroksida negatif. Diskusi:
Pada penderita amenore, kadar progesteron rendah, produksi sebum menurun, akibatnya komponen asam
lemak bebas yang memiliki efek fungistatik dan fungisidal juga rendah dan meningkatkan risiko
terjadinya tinea capitis. Griseofulvin tetap menjadi pengobatan andalan untuk tinea capitis yang
disebabkan oleh Microsporum audounii. Kesimpulan: Lampu kayu bisa mendeteksi Mikrosporum sp.
infeksi fluoresensi kehijauannya. Diagnosis pasti dan identifikasi pasti dari organisme penyebab tinea
capitis dapat ditentukan dengan kultur.
Kata-kata kunci : tinea capitis, greypatch, remaja, Microsporum audouinii infeksi, griseofulvin.
PENDAHULUAN
215
DAFTAR PUSTAKA Moriello KA. 2001. Diagnostic Techniques for
Dermatophytes. Clin Tech in Small Anim
Schieke SM, Garg A. Infeksi jamur superfisial. Pract. 16(4) : 219-224.
Masuk: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
Aly R, Hay RJ, Palacio AD, dkk. Epidemiologi
BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 8 th ed. New York. tinea capitis. Med Mycol 2000; 38 (1): 183-
McGraw-Hill; 2013. hal. 4270-4308. 8. 10.
Suyoso S. Tinea kapitis pada bayi dan anak.
Ely JW, Rosenfeld S, Stone MS. Diagnosis dan Diunduh dari http:
manajemen infeksi tinea. Am Fam Physician 2014; 90 //rsudrsoetomo.jatimprov.
(10): 701-11.
go.id/id/index.php/makalahkesehatan?do
Higgins EM, LC Lebih Lengkap, Smith CH. Pedoman wnload=7 1: tinea-kapitis-pada-bayi-
pengelolaan tinea capitis. Br J Dermatol 2000; 143: anak. Agustus 2016. 11.
53-8. Borchers SW. Teknik kasa basah untuk
membantu diagnosis tinea capitis. J Am
Khosravi AR, Shokri H, Vahedi G.Faktor etiologi dan Acad Dermatol 1985; 13: 672-3. 12.
predisposisi tinea capitis dewasa dan ulasan dari
Kepala ES, Henry JC, Macdonald EM. Teknik
diterbitkan literatur. Mycopathologia 2016; 181: 371-
8. kapas untuk kultur infeksi dermatofita:
khasiat dan manfaatnya. J Am Acad
Bennassar A, Grimalt R. Manajemen tinea capitis di Dermatol 1984; 11: 797-801. 13.
masa kanak-kanak. Clin Cosmet Investig Dermatol Jacyk WK. Kondisi kulit yang umum
2010; 3: 89-98. menyerang kulit kepala: tinea capitis,
Cervetti O, Albini P, Arese V, Ibba F, Novarino M,
pediculosis capitis, dermatitis seboroik,
Panzone M. Tinea capitis pada orang dewasa. Adv
Microbiol. 2014; 4: 12-4. ketombe, psoriasis. Praktek Pertanian SA
2003; 45 (8): 54-5. 14.
Pandhi I, Bhatia S, Pandhi SB, Pandhi S. Tinea capitis Baldo A, Monod M, Mathy A. Mekanisme
pada pria dewasa berusia 31 tahun: entitas yang kepatuhan dan invasi kulit oleh
langka. J Clin Care Rep 2014; 4:12. dermatofita. Mycoses 2012; 55 (3): 218-23.
15.
Auchus IC, Lingkungan KM, Brodell RT, Brents MJ,
Jackson JD. Tinea capitis pada orang dewasa. Jurnal Kurniati, Rosita C. Etiopatogenesis
Dermatologi Online 2016; 22 (3): 4-7 dermatofitosis. BIKKK 2008; 20 (3): 243-
50. 16.
Carod JF, Ratsitorahina M, Raherimandimby
H, Hincky VV, Ravaolimalala AV,
ContetAudonneau N. Wabah tinea capitis
dan corporis di sebuah sekolah dasar di
Antananarivo, Madagaskar. J Infect Dev
Ctries 2011; 5 (10): 732- 6. 17.
Jurnal Veteriner Juni 2014 Vol. 15 No. 2 : 212-216
ISSN : 1411 - 8327
ABSTRAK
Dermatofitosis pada anjing dapat disebabkan oleh salah satu spesies dari golongan dermatofita yaitu
Microsporum canis. Namun, masih sangat sedikit informasi penyakit ini di Yogyakarta. Penelitian ini
bertujuan melakukan isolasi dan identifikasi kapang M. canis pada anjing di Yogyakarta yang diduga
menderita dermatofitosis. Kerokan kulit dari 50 ekor anjing yang secara klinis menunjukkan lesi
dermatitis berupa kombinasi dari alopesia, eritema, papula, pustula, bersisik dan berkerak digunakan
dalam penelitian ini. Sampel kerokan kulit dipupuk pada media sabouraud’s dextrose agar (SDA) untuk
selanjutnya diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil penelitian menunjukkan 17 dari 50
sampel secara makroskopik tumbuh pada media SDA antara hari ke dua sampai hari ke-18. Koloni
tumbuh dengan topografi datar dan sedikit melipat, permukaan koloni terlihat seperti rambut yang lebat,
berwarna putih pada bagian tengahnya dan dikelilingi warna kuning kecoklatan serta bagian tepi yang
tidak berwarna. Permukaan belakang koloni terlihat datar, sedikit melipat serta berwarna oranye sampai
kecoklatan dan bagian tepi tidak berwarna. Pengamatan struktur mikroskopis kapang memperlihatkan
adanya makrokonidia besar dengan dinding sel yang tebal dan berisi 6-12 sel, serta mikrokonidia
berbentuk oval dengan ukuran yang kecil dan ditemukan sedikit di sepanjang hifa. Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa dari sampel anjing penderita dermatofitosis dapat diisolasi dan
diidentifikasi kapang M. canis sebanyak 34%.
ABSTRACT
Dermatophytosis in dogs can be caused by one species of dermatophytes group called Microsporum canis.
This study aims to isolation and identification of M. canis in dogs suspected dermatophytosis in Yogyakarta. Skin
scrapings from 50 dogs that clinically showed lesions such as combination of alopecia, erythema, papules,
pustules, scaly and crusty used in this study. Samples of skin scraping were cultured in the Sabouraud’s dextrose
agar media for fungi identification macroscopically and microscopically. The results showed that 17 of 50 samples
(34%) grown on SDA medium from 2 to 18 days after cultivation. The colony grew with flat topography and
slightly reflexed, the surface of the colony looks like a thick fur, white in the middle and surrounded by brownish
yellow color and the edges were colorless. The opposite surface of the colony looks flat and slightly reflexed and
orange to brown and the edges were colorless. Observation microscopically, the fungi showed a large
macroconidia with a thick cell wall and contains 6-12 cells and oval microconidia with a small size and found in
few along the hyphae. Based on the research it can be concluded that 17 of 50 (34%) samples of dogs with
dermatophytosis are Microsporum canis.
213
Jurnal Veteriner Juni 2014 Vol. 15 No. 2 : 212-2156
Gambar 2: Struktur mikroskopik isolat yang diduga Microsporum canis dengan metode slide
culture pada perbesaran 10x40. (a) makrokonidia, (b) mikrokonidia, (c) hifa
berseptat yang panjang, dan (d) klamidokonidia.
214
Soedarmanto Indarjulianto et al Jurnal Veteriner
pada pemeriksaan ini. Fluoresensi ini disebabkan memperlihatkan makrokonidia besar yang
oleh interaksi antara sinar ultra violet dan sangat banyak dengan dinding sel yang tebal
metabolit M. canis yang menginfeksi rambut, tetapi dan berisi 6–12 sel pada setiap
tidak bereaksi dengan elemen kapang yang berada makrokonidianya, sedangkan mikrokonidia
dalam sisik kulit (Chermette et al., 2008). Sinar berbentuk oval dengan ukuran yang kecil dan
fluoresensi berwarna hijau kekuningan secara ditemukan sedikit di sepanjang hifa. Secara jelas
cepat akan dipancarkan oleh lesi kulit yang gambaran mikroskopik ke -17 koloni yang
disebabkan oleh M. canis akibat pteridine yang diidentifikasi sebagai species M. canis pada
disekresikan oleh kapang ini (Olivares, 2003). penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
Sinar ini hanya akan terlihat pada poros rambut Hasil pengamatan mikroskopis pada
dan tidak ditemukan pada kuku atau bagian kulit penelitian ini sesuai dengan pendapat dari
dengan lesi scaly dan crusty. Dalam kasus beberapa peneliti bahwa pada pemeriksaan
dermatofitosis pada hewan kecil, hanya species M. mikroskopik dengan zat warna LPCB, species
canis yang mampu memperlihatkan sinar M.canis memperlihatkan hifa berseptat yang
fluoresensi ini, walaupun tidak semua strain M. panjang dalam jumlah banyak serta
canis dapat memancarkan sinar ini (Moriello, makrokonidia besar berbentuk batang bulat
2001). yang biasanya memiliki septum ganda dan
Sampel kerokan kulit yang dipupuk pada mengandung lebih dari enam sel. Beberapa
media SDA dan hasil pertumbuhannya diamati mikrokonidia kecil yang berbentuk seperti
secara makroskopis dan mikroskopis. Identifikasi alat pemukul gendang dan berdinding halus
kapang secara makroskopis terhadap koloni M. juga dapat ditemukan, serta klamidokonidia
canis pada media SDA menurut Al-Doory (1980) yang berbentuk bulat (Al-Doory, 1980;
dan Olivares (2003), memperlihatkan topografi Olivares, 2003).
koloni datar/flat dengan sedikit melipat yang Hasil pemeriksaan ini menunjukkan bahwa
tampak putih seperti kapas, seperti rambut yang struktur mikroskopis kapang M. canis secara utuh
lebat atau seperti wool dan akhirnya seperti bubuk hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan slide
dengan warna coklat muda pada bagian sentral culture dengan metode Riddle pada umur biakan
koloni dengan tepi berwarna kuning sampai tidak antara 4–7 hari kultur. Pemeriksaan mikroskopis
berwarna. Pada permukaan bawah koloni, tampak terhadap koloni M. canis menggunakan metode
warna kuning terang–oranye dan tidak berwarna natif hanya terlihat struktur kapang yang terpisah
pada bagian tepinya. Berdasarkan ciri-ciri tersebut sehingga sedikit menyulitkan dalam menentukan
maka ke-17 isolat yang ditemukan diidentifikasi diagnosis.
sebagai species M. canis karena memperlihatkan
ciri-ciri berupa miselium yang berbentuk cotton
atau wool yang berwarna kuning pucat sampai SIMPULAN
putih pada bagian tengah dengan tepi berwarna
kuning sampai tidak berwarna. Pada sisi belakang Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi
dari koloni berwarna kuning terang sampai oranye secara makroskopik dan mikroskopik terhadap
kecoklatan dan tidak berwarna pada bagian kerokan kulit dari 50 ekor anjing yang secara klinis
tepinya. Ke-17 sampel ini memperlihatkan diduga menderita dermatofitosis, dapat
topografi datar dan beberapa di antaranya sedikit disimpulkan bahwa 34% anjing yang menderita
melipat. Pigmen kuning yang dihasilkan oleh dermatofitosis disebabkan oleh kapang M. canis.
koloni ini baru terlihat saat koloni berumur 2– 3
hari setelah tumbuh. Gambaran makroskopik
UCAPAN TERIMA KASIH
koloni dari salah satu sampel yang disimpulkan
sebagai M. canis disajikan pada Gambar 1. Proyek penelitian ini sepenuhnya
terselenggara atas dukungan dana dari skema
Identifikasi mikroskopik terhadap 17 sampel penelitian Hibah Fundamental dari Universitas
yang sebelumnya telah diidentifikasi sebagai M. Gadjah Mada. Sebagian hasil penelitian telah
canis pada identifikasi makroskopik difokuskan dipresentasikan pada Seminar Internasional
untuk menemukan beberapa kunci identifikasi dan 2nd Congress of SEAVSA di Surabaya 2011.
seperti makrokonidia, mikrokonidia, dan hifa Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada
berseptat yang panjang. Pemeriksaan mikroskopis Nurman Haribowo SPt, Elvi Susianti, dan
terhadap ke-17 sampel ini, Rusmihayati atas dukungan sebagai teknisi
dalam penelitian ini.
215
Jurnal Veteriner Juni 2014 Vol. 15 No. 2 : 212-216
A. Dasar Teori
Secara mikroskopis, Trichophyton sp. memiliki hifa dengan beberapa percabangan, umumnya
cabang-cabang yang dimiliki pendek dan merupakan hasil dari pertunasan hifa. Hifa atau miselium
tersebut umumnya tidak bersekat, kecuali pada hifa yang akan membentuk atau menghasilkan
konidia. Konidia yang dimiliki Trichophyton sp. dapat berbentuk makrokonidia maupun
mikrokonidia. Makrokonidia yang dimiliki berbentuk pensil dan terdiri dari beberapa sel,
sedangkan mikrokonidia berbentuk lonjong dan berdinding tipis. Jamur Trichophyton sp. pada
media pertumbuhan memperlihatkan hifa atau 7 miselium yang halus berwarna putih dan tampak
seperti kapas meskipun kadang dapat juga berwarna lain tergantung dari pigmen yang dimilikinya
(Saputra, 2014).
Pertumbuhan Trichophyton sp. yaitu pertambahan ukuran atau panjang hifa (miselium) yang
dihasilkan dari pertunasan hifa. Pertunasan hifa tersebut akan membentuk percabangan yang
bagian terminalnya akan membentuk konidia. Reproduksi aseksual yang dimiliki Trichophyton sp.
ini meliputi pembentukan konidia melalui pertunasan, fragmentasi (pemotongan) hifa dan
pembentukan konidiospora (Hujjatusnaini, 2012).
Jamur Trichophyton sp. dapat menimbulkan infeksi pada kulit, rambut, dan kuku. Infeksi
Trichophyton sp. menyebabkan timbulnya bercak melingkar yang tertutup dengan sisik atau
gelembung kecil yang dikenal dengan istilah ring worm Makrokonidia Hifa Mikrokonidia atau
tinea. Trichophyton sp. sering menyebabkan tinea kapitis, tinea favosa, tinea imbrikata, tinea
kruris, tinea manus dan pedis, tinea korporis dan tinea unguium (Suryaningrum, 2011).
B. Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk menentukan keberadaan jamur Trychopyhton sp. pada sampel
kerokan kulit
C. Prinsip Praktikum
Mengidentifikasi keberadaan jamur trychopyhton sp pada sampel kerokan kulit pada media
sabouraud dextrose agar yang ditambahkan kloramfenikol untuk menghambat pertumbuhan
bakteri.
D. Alat dan Bahan
Alat :
Cawan petri
Ose
Mikroskop
Lampu spiritus
Autoklav
Scalpel
Kaca objek
Incubator
Bahan
Sampel kerokan kulit
Media sabouraoud dextrose agar
E. Prosedur Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
2. Melakukan pengambilan sampel kerokan kulit yang akan diperiksa didahului
dengan desinfeksi dengan meenggunakan alcohol 70% dan mulai mengerok bagian
kulit menggunakan scalpel
3. Melakukan pembuatan media SDA dengan melarutkan 65 gram bubuk sabouraud
dextrose pada 1000 mL aquades. Media disterilkan pada autoklaf suhu 121 derajat
celcius selama 15 menit, ditambahkan kloramfenikol o,5 g/dl dan dituang kedalam
cawan petri sebanyak 15-20 mL lalu dibiarkan memadat
4. Menambahkan suspense sampel pada media SDA, disebarkan dengan bantuan
batang bengkok berbentuk huruf L, media diinkubasi selama seminggu
5. Setelah diinkubasi, dilakukan pengamatan makroskopik dan mikroskopik koloni
yang tumbuh pada media SDA.
F. Hasil
Laporan Praktikum
I. Judul Praktikum : identifikasi Jamur Trichopyton sp. Pada sampel kerokan kulit
II. Hari/ Tanggal :
III. Nama Praktikan : Ilmi Nurul Miraj (PO714203181012)
IV. Nama Dosen : 1. Widarti S.Si Apt M.Mkes
2. Siti Hadijah S.Si M.Kes
A. Dasar Teori
Candida albicans telah muncul sebagai salah satu infeksi nosokemia yang penting. Candida
albicans adalah anggota flora normal terutama saluran pencernaan, juga selaput mukosa, saluran
pernafasan, vagina, uretra, kulit dan dibawah jari-jari kuku tangan dan kaki. Candida albicans
tampak sebagai ragi lonjong, kecil, berdinding tipis, bertunas, gram positif, dan memiliki
pseudohifa. Infeksi candida albicans dapat terjadi apabila ada faktor predisposisi baik endogen
maupun eksogen. Penyakit yang disebabkan oleh Candida albicans dapat mengenai mulut,
vagina, kulit, kuku, bronki atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan septikemia,
endokarditis, atau meningitis (Magdalena,2009)
Jamur bisa menyebabkan penyakit yang cukup parah bagi manusia, penyakit tersebut antara
lain candidiasis atau candidosis yaitu penyakit jamur mengenai kulit, kuku, selaput lendir dan
alat dalam yang disebabkan oleh candida. Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Gruby 1842,
yang disebabkan oleh candida yaitu khamir yang sering ditemukan pada manusia dan binatang
sebagai saprofit.(herawati, 2008) Candida juga dapat menimbulkan infeksi pada kuku, kelainan
ini dapat timbul karena kebersihan yang kurang baik di daerah kuku, terutama di ujung kuku.
Candida mudah tertimbun di ujung kuku sebagai akibat garukan dari kulit yang terinfeksi jamur
tersebut atau tercemar sewaktu membersihkan diri setelah defekasi.
Semua spesies Candida albicans merupakan sel ragi yang berbentuk oval (3-5 µm) dengan
blastokonidia dan pseudohifa (pseudohyphae). Candidaalbicans dapat membentuk germ tubes
danklamidokonidia terminal. Sedangkan C.glabrata dapat membentuk grem tubes, pseudohifa
dan hifa asli pada kondisi tertentu. Pada pemeriksaan histopatologi, semua spesies Candida
albicans tidak memberikan hasil yang baik dengan pewarnaan Hematoxylin eosin, tetapi
memberikan hasil yang bagus terhadap pewarnaan GMS dan Gridley. Pada kultur, umumnya
semua Candida albicansmembentuk koloni halus yang berwarna putih dan berbentuk seperti
kubah (Kumala, 2006).
B. Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk menentukan keberadaan jamur Candida albicans pada sampel
kerokan kuku.
C. Prinsip Praktikum
Mengidentifikasi keberadaan jamur Candida albicans pada sampel kerokan kuku pada media
sabouraud dextrose agar yang ditambahkan kloramfenikol untuk menghambat pertumbuhan
bakteri.
D. Alat dan Bahan
Alat :
Cawan petri
Ose
Mikroskop
Lampu spiritus
Autoklav
Scalpel
Kaca objek
Incubator
Bahan
Sampel kerokan kuku
Media sabouraoud dextrose agar
E. Prosedur Kerja
Persiapan pembuatan media
1. Timbang sebanyak 65,0 gram media Sabouraud dextrose agar (SDA), kemudian di
larutkan dengan aquadest sedikit demi sedikit hingga 1 liter labu erlemeyer
2. Kemudian tutup dengan kapas dilapiskan kembali dengan aluminium foil
3. Selanjutnya media dipanaskan beberapa menit, hingga semua media itu terlarut dengan
sempurna
4. Setelah itu steriliskan di dalam autoclave selama 15 menit pada suhu 1210 c, tekanan 1
atm.
5. Setelah waktu selesai di tunggu beberapa menit, tunggu hingga temperature turun menuju
ke angka nol.
6. Kemudian autoclave di buka, media di keluarkan. Diamkan di temperature kamar hingga
suhunya mencapai 500C.
7. Setelah itu dituang ke Petridis dengan volume masing-masing 20ml 8. Petridis di goyang
perlahanlahan hingga media merata di dalamnya 9. Setelah itu dibungkus dengan kertas
perkapen, masukkan kedalam kantung plasrik, disimpan pada suhu 40C sebelum dipakai.
Pembuatan larutan Lactophenol cotton blue (LPCB)
1. Ditimbang sebanyak 20 gram Kristal fenol dilarutan dalam penangas
2. Setelah larut tambahkan Asam laktat 20ml
3. Tambahkan Gliserol 40ml
4. Tambahkan Aqua destilat 20ml Campur diatas uap air panas dengan hati-hati, dengan
tinta parker biru 2-3 tetes
Pengambilan sampel kerokan kuku
1. Kulit yang mengalamin kelainan dibersihkan dengan alkohol 70%
2. Kemudian kulit di kerok pada bagian yang mengalamin kelainan dengan scafel steril
3. Kerokkan kulit di tampung dengan cawan Petridis steril
4. Sampel kerokkan kulit tersebut dibawah ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan
Penanaman sampel pada media
1. Menambahkan suspense sampel pada media SDA, disebarkan dengan bantuan batang
bengkok berbentuk huruf L, media diinkubasi selama seminggu
2. Setelah diinkubasi, dilakukan pengamatan makroskopik dan mikroskopik koloni yang
tumbuh pada media SDA.
Pertumbuhan koloni
Setelah pertumbuhan jamur maka dilakukan pemeriksaan direk smear dengan cara sebagai
berikut:
1. Menyediakan objek glass
2. Kemudian koloni diletakkan pada permukaan objek glass yang sudah diberi satu tetes
alkohol 70%
3. Diambil sedikit koloni dengan ose jarum dari biakkan jamur.
4. Jamur tersebut diratakan dengan menggunakan ose jarum secara hati-hati pada
permukaan objek glass
5. Setelah itu ditambahkan 1-3 tetes larutan lactophenol cotton blue
6. Kemudian ditutup sediaan tersebut dengan deck glass kemudian diperiksa dibawah
mikroskop pembesaran objektif 10X dan 40X.
F. Hasil
Morfologi Keterangan
Andini, puspa. 2018. IDENTIFIKASI Candida sp PADA URINE INFEKSI SALURAN KEMIH
PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H.
ADAM MALIK MEDAN. Medan : repository poltekkes
Khusnul, K, dkk. 2018. IDENTIFIKASI JAMUR CANDIDA SP PADA KUKU JARI TANGAN
DAN KUKU KAKI PETANI DUSUN PANAIKANG DESA BONTOLOHE
KECAMATAN RILAU ALE KABUPATEN BULUKUMBA. Makassar : Jurnal Media
Laboran, Volume 8, Nomor 1.
Kumala W, 2006. Mikologi dasar kedokteran. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti.
Keumala, Vivi. 2016. PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI PADA CANDIDA ALBICANS.
Semarang : Jurnal Kedokteran Syiah Kuala
Laporan Praktikum
I. Judul Praktikum : identifikasi Jamur Trichopyton sp. Pada sampel kerokan kulit
II. Hari/ Tanggal :
III. Nama Praktikan : Ilmi Nurul Miraj (PO714203181012)
IV. Nama Dosen : 1. Widarti S.Si Apt M.Mkes
2. Siti Hadijah S.Si M.Kes
A. Dasar Teori
Aspergilus sp adalah salah satu jenis mikroorganisme yang termasuk jamur,
dicirikan sebagai hifa bersepta dan bercabang, konidiofora muncul dari foot cell
(miselium yang bengkak dan berdinding tebal) membawa stigmata dan akan tumbuh
konidia yang membentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam. (Srikandi, F.,1992).
membentuk koloni mold berserabut, smoth, cembung serta koloni yang kompak
berwarna hijau kelabu, hijau coklat, hitam, putih.warna koloni dipengaruhi oleh warna
spora misalnya spora berwarna hijau, maka koloni hijau. Yang semula berwarna putih
Mikroskopis Aspergillus
niger terdiri dari kondiofor
(a), konidia (b), sterigma (c)
Secara mikroskopis
konidiofor tampak jelas,
tidak berpigmen, kasar,
panjangnya kurang dari 1
mm. Terdiri dari konidia
(a), sterigma (b), konidiofor
(c) dan vesikel (d).
Aspergillus fumigatus
berwarna hijau tua dengan
pinggiran putih. Koloni
tersebut berwarna terang
dengan miselium seperti
kapas
Aspergillus fumigatus memilki rantai oval kecil
konidia yang melekat pada
ujung satu atau dua baris
sterigmata yang terartur
melingkar pada permukaan
ujung konidiafor yang
disebut vesikel.
Laporan Praktikum
I. Judul Praktikum : identifikasi Jamur Penicilium sp. Pada sampel kerokan kulit
II. Hari/ Tanggal :
III. Nama Praktikan : Ilmi Nurul Miraj (PO714203181012)
IV. Nama Dosen : 1. Widarti S.Si Apt M.Mkes
2. Siti Hadijah S.Si M.Kes
A. Dasar Teori
Penicillium merupakan kelompok jamur yang menghasilkan senyawa antibiotik salah satunya
yaitu Penisilin. Penisilin merupakan kelompok antibiotik yang ditandai oleh adanya cincin βlaktam
dan diproduksi oleh berbagai jenis jamur (eukariot) yaitu dari jenis Penicillium, Aspergillus, serta
oleh beberapa prokariot tertentu (Madigan et al, 2000). Penisilin merupakan suatu kelompok
persenyawaan dengan struktur yang sekerabat dan sifat-sifat serta aktivitas yang agak berbeda.
Semua penisilin mempunyai inti yang sama yaitu cincin β-laktam-thiazolidin, yang memberikan
sifat unik pada masing-masing penisilin adalah rantai sampingnya yang berbeda-beda (Pelczar &
Chan, 2005)
Penicillium sp. diklasifikasikan menurut sistem nama binomial yaitu Kingdom Fungi, Filum
Ascomycota, Kelas Eurotiomycetes, Ordo Eurotiales, Famili Trichocomaceae, Genus Penicillium
dan Spesies Penicillium sp. Penicillium sp. banyak tersebar di alam.
Konidium berbeda dengan sporangium, karena tidak memiliki selubung pelindung seperti
sporangium. Tangkai konidium disebut konidiofor, dan spora yang dihasilkannya disebut konidia.
Konidium ini memiliki cabang-cabang yang disebut phialides sehingga tampak membentuk
gerumbul. Lapisan dari phialides yang merupakan tempat pembentukan dan pematangan spora
yang kemudian disebut sterigma (Purves dan Sadava, 2003)
B. Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk menentukan keberadaan jamur Penicilium sp. pada sampel kerokan
kulit
C. Prinsip Praktikum
Mengidentifikasi keberadaan jamur Penicilium sp pada sampel kerokan kulit pada media
sabouraud dextrose agar yang ditambahkan kloramfenikol untuk menghambat pertumbuhan
bakteri.
D. Alat dan Bahan
Alat :
Cawan petri
Ose
Mikroskop
Lampu spiritus
Autoklav
Scalpel
Kaca objek
Incubator
Bahan
Sampel kerokan kulit
Media sabouraoud dextrose agar
E. Prosedur Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
2. Melakukan pengambilan sampel kerokan kulit yang akan diperiksa didahului
dengan desinfeksi dengan meenggunakan alcohol 70% dan mulai mengerok bagian
kulit menggunakan scalpel
3. Melakukan pembuatan media SDA dengan melarutkan 65 gram bubuk sabouraud
dextrose pada 1000 mL aquades. Media disterilkan pada autoklaf suhu 121 derajat
celcius selama 15 menit, ditambahkan kloramfenikol o,5 g/dl dan dituang kedalam
cawan petri sebanyak 15-20 mL lalu dibiarkan memadat
4. Menambahkan suspense sampel pada media SDA, disebarkan dengan bantuan
batang bengkok berbentuk huruf L, media diinkubasi selama seminggu
5. Setelah diinkubasi, dilakukan pengamatan makroskopik dan mikroskopik koloni
yang tumbuh pada media SDA.
F. Hasil
Ciri khas dari jamur jenis Penicillium spp. Adalah koloni bewarna biru kehijauan.
Ciri-ciri spesifik Penicillium adalah hifa bersekat atau bersepta, miselium bercabang, biasanya
tidak berwarna, konidiofora bersekat dan muncul di atas permukaan, berasal dari hifa di bawah
permukaan, bercabang atau tidak barcabang, kepala yang membawa spora berbentuk seperti sapu
dengan sterigmata muncul di dalam kelompok, konidium membetuk rantai karena muncul satu per
satu dari sterigmata. Konidium pada waktu masih muda berwarna hijau, kemudian berubah
menjadi kebiruan atau kecoklatan (Fardiaz, 1992)