Anda di halaman 1dari 11

M A K A L A H

TOKOH MUHAMMADIYAH

Disusun Oleh:
Nama: Muhammad Fardan Rasyadi
Kelas: X TKJ II

SMA MUHAMMADIYAH 3 PEKANBARU


TAHUN AJARAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah sejarah Indonesia
tentang tokoh pahlawan nasional: KH. Ahmad Dahlan, KH. Ibrahim, KH.
Hisyam

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan


mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih


ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah kami dapat memberikan


manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Daftar Isi
HALAMAN JUDUL …………………………… i

KATA PENGANTAR ………………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN ……………………… 4

MUHAMMADIYAH SEBELUM KEMERDEKAAN…………4

PENUTUP………………………………..11
BAB I
PENDAHULUAN

MUHAMMADIYAH SEBELUM KEMERDEKAAN

Sejak didirikan K.H. Ahmad Dahlan tahun 1912, Muhammadiyah telah


melewati berbagai peristiwa sejarah, seperti pemilu tahun 1955 yang
banyak diwarnai partai-partai Islam.[1] Kisah perjalanan
Muhammadiyah dari masa ke masa, tergambar dalam alur periodesasi
kepemimpinan Muhammadiyah yang selalu menampakkan dinamika
yang berbeda, menurut latar situasi dalam waktu yang berbeda-beda.
[2]

Perjalanan Muhammadiyah berdasarkan periodesasi


kepemimpinannya, terbagi menjadi beberapa fase yaitu fase sebelum
kemerdekaan, fase setelah kemerdekaan/orde lama, fase orde baru
dan fase reformasi. Adapun maksud dari artikel ini akan membahas
keadaan Muhammadiyah sebelum kemerdekaan dengan tujuan agar
pembaca memahami bagaimana kondisi Muhammadiyah sebelum
Indonesia merdeka dan bagaimana perjuangan para tokoh
Muhammadiyah dalam mewujudkan cita-cita Muhammadiyah di kala
itu. Dengan demikian perjuangan para tokoh-tokoh pedahulu
Muhammadiyah bisa menjadi teladan atau inspirasi dalam kehidupan
sehari-hari.

Sebelum kemerdekaan Muhammadiyah mengalami empat kali


pergantian pimpinan atau ketua. Adapun orang-orang yang pernah
terpilih sebagai ketua pimpinan pusat pada saat itu antara lain adalah
KH. Ahmad Dahlan, KH. Ibrahim, KH. Hisyam, KH. Mas Mansyur.[3]

1. Periode Kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan.

Periode ini merupakan masa perintisan pembentukan organisasi dan


jiwa serta amal usaha. Selain itu masa pengenalan ide-ide
pembaharuan dalam metode gerakan amaliah Islamiyah. Ahmad dahlan
mengenalkan Muhammadiyah melalui beberapa cara, antara lain
silaturahmi, mujadalah (diskusi), Tausiyah-ma’idhoh hasanah, dan
memberikan keteladanan dalam praktek pengamalan ajaran Islam.

Pada periode KH. Ahmad Dahlan ini, Muhammadiyah mengalami


muktamar sebanyak sebelas kali dan semuanya di selenggarakan di
kota Yogyakarta. Kala itu muktamar lebih akrab dengan sebutan
algemen vergadering dan year vergadering. Seluruh muktamar
Muhammadiyah di selenggarakan di Yogyakarta, dikarenakan pada saat
itu izin berdirinya Muhammadiyah yang dikeluarkan pemerintahan
Hindia Belanda hanya memperbolehkan berada di lingkungan
karesidenan Yogyakarta dan dilarang mendirikan cabang diluar
karesidenan ini.[4]
Pada periode ini dibentuk perangkat awal seperti : Majelis Tabligh,
Majelis Sekolahan dan pengajaran, Majelis Taman Pustaka, Majelis
Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), ‘Aisyiyah, Kepanduan Hizbul
Wathon (HW), menerbitkan majalah “SWORO MOEHAMMADIJAH”.
Selain itu mempelopori berdirinya rumah sakit umat Islam, Rumah
Miskin, dan Panti Asuhan Yatim/Piatu, serta menganjurkan dan
mempelopori hidup sederhana, terutama dalam menyelenggarakan
Walimatul’Urusy (pesta perkawinan).[5]

Dalam mengadakan perubahan untuk meluruskan kembali ajaran Islam,


Ahmad dahlan menggunakan pendekatan pesuasif (ngemong dan
memberikan penjelasan), sehingga para para penentangnya simpati,
bahkan ada yang mengikuti gerakannya.

2. Periode kepemimpinan KH. Ibrahim.

K.H. Ibrahim adalah adik Nyai Walidah/Nyai Ahmad Dahlan. Beliau


adalah adik ipar K.H. Ahmad Dahlan, merupakan ulama pondok
pesantren tidak pernah mengenyam pendidikan model barat.[6]

Muhammadiyah di masa kepemimpinan KH Ibrahim mengalami


perluasan dan perkembangan yang sangat pesat sampai ke daerah-
daerah luar Jawa. Pada masa itu, Muhammadiyah mulai
menyelenggarakan muktamar di luar kota Yogyakarta. Adapun tempat-
tempat penyelenggaraan muktamar selain wilayah Yogyakarta, antara
lain meliputi : Surabaya, Pekalongan, Surakarta, Bukit Tinggi, Ujung
Pandang (Makassar) dan Semarang. Muktamar Muhammadiyah pada
saat itu dikenal dengan sebutan congres, rapat besar tahunan dan
perkumpulan tahunan.[7]

Pada periode ini mulai berdiri majelis tarjih selaku unsur pembantu
pimpinan Muhammadiyah dan dua ortom seperti Nasyiatul Aisyiah dan
Pemuda Muhammadiyah. Aktivitas yang menonjol antara lain
mendirikan “Fonds Dachlan” pada tahun 1924, untuk membeayai
sekolah anak-anak miskin. Mengadakan khitanan massal pertama kali
(1925). Pada konggres di Surabaya tahun 1926 diputuskan Pemakaian
Tahun Islam dalam catat-mencatat termasuk surat menyurat dan Sholat
Hari Raya di tanah lapang. Pada tahun 927 pada konggres di
Pekalongan muncul persoalan politik dengan keputusan pokok
“Muhammadiyah TIDAK bergerak dalam bidang POLITIK, namun
memperbaiki budi pekerti yang luhur (Akhlaqul Karimah) bagi orang
yang akan berpolitik (tidak melarang anggotanya berpolitik).

Pada tahun 1928 mulai mengirim putera & puteri lulusan sekolah
Muhammadiyah (dari Mu’allimien, Muallimat, Tabigschool,
Normalschool) di benum ke pelosok tanah air, sebagai “anak panah”
Muhammadiyah. Pada Konggres di Solo tahun 1929, Muhammadiyah
mendirikan Uitgeefster My (badan usaha penerbitan buku-buku
sekolah Muhammadiyah yang dikelola oleh Majelis Taman Pustaka). Di
konggres ini pula terjadi “Penurunan Gambar KHA Dahlan” (dan
dilarang untuk sementara waktu dipasang, karena ada gejala kultus).
Pada Konggres di Minangkabau tahun 1930 muncul eselon CONSUL
HOFD BESTUUR MUHAMMADIJAH (sekarang PWM). Pada konggres di
Makasar 1932 antara lain diputuskan penerbitan Koran
Muhammadiyah (Dagblad Adil) dilaksanakan oleh cabang Solo.

3. Periode kepemimpinan KH. Hisyam.


Kyai Haji Hisyam lahir di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 –
meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah yang ketiga. Ia memimpin Muhamadiyah selama
tiga tahun. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta
tahun 1934. Ia adalah murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan. Pertama
kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun
1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di
Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam
Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.[8]

Pada periode ini, bidang pendidikan mendapat porsi yang mantap.[9]


Hal itu dikarenakan usaha-usaha dalam bidang pendidikan menjadi
priortias program di masa kepemimpinan KH. Hisyam. Selain itu pada
periode ini juga diadakan juga penertiban dan pemantapan administrasi
organisasi, jadi Muhammadiyah lebih kuat dan lincah. Adapun adminis
trasi yang ditertibkan meliputi daftar anggota, buku notulen rapat, buku
keuangan dan lain sebagainya. Pada periode ini Muhammadiyah
mengalami tiga kali muktamar yang bertempat di Yogyakarta,
Banjarmasin dan Jakarta.[10]

Pada konggres tahun 1934 lebih dimantapkan pengembangan lembaga


pendidikan tingkat menengah dan mengubah sekolah dengan nama
Belanda menjadi nama khas kita, seperti: Volkschool menjadi Sekolah
Rakyat. Pada Konggres tahun 1935 memutuskan pembentukan Majelis
Pimpinan Perekonomian yang tugasnya membantu perbaikan ekonomi
anggota (membentuk semacam kooperasi). Pada tahun 1936 diadakan
Konggres Seperempat Abad (XXV) di Jakarta, diputuskan antara lain
mendirikan sekolah Tinggi, dan mendirikan Majelis Pertolongan &
Kesehatan Muhammadiyah (MPKM) di seluruh cabang dan ranting.[11]

4. Periode kepemimpinan KH. Mas Mansyur.

KH. Mas Mansyur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar


Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta
pada bulan Oktober 1937.[12] Pada periode kepemimpinan KH. Mas
Mansyur, Muhammadiyah mengalami lima kali muktamar. Pelaksanaan
muktamar berlangsung di kota Yogyakarta, Malang, Medan dan
Purwokerto.[13]

KH Mas Mansyur merupakan tokoh yang kreatif dan terkenal sikapnya


yang istiqomah dan pemberani, sehingga ikut dalam pengisian jiwa
gerakan Muhammadiyah, dan penegasan kembali faham agama yang
menjadi garis besar Muhammadiyah. Pada periode ini ditandai dengan
penetapan paham agama dalam Muhammadiyah, memaksimalkan
Majelis Tarjih, sehingga menghasilkan “Masalah Lima” (Dunia, Agama,
Qiyas, Sabilillah, dan ibadah). Selain itu menggerakkan Muhammadiyah
lebih dinamis dan berbobot, dengan konsepnya yang terkenal “Langkah
Dua belas”nya. Kegiatan Muhammadiyah yang menonjol saat itu antara
lain :

a. Membentuk Komisi Perjalanan Haji (HM Suja’, HA Kahar Mzkr & R.


Sutomo)

b. Pembentukan Bank Muhammadiyah (Konggres di Yogyakarta 1937)


c. Menentang Ordonansi Pencatatan Perkawinan Oleh Pemerintah
Belanda

d. Menentang Ondewijs Ordonansi (larangan guru mengajar di Sekolah


Muh.)

e. Mengganti seluruh istilah Hindia Belanda dengan Indonesia

f. Mengeluarkan “Franco Amal” menghimpun dana untuk kaum dhu’afa

g. Mulai dirintis semacam Khittah Muhammadiyah

h. Ikut mempelopori beririnya MIAI (Majelisul Islam A’la Indonesia)[14]

Kesimpulan/Penutup
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, kami
menarik kesimpulan sebagai berikut:

1).Sikap tabayyun sangat penting untuk menghindari fitnah terhadap


orang lain.

2).Sikap tabayyun berfungsi untuk menjalin tali silaturahmi tetap


terjaga dengan baik.

3).Sikap tabayyun dapat mencegah perselisihan

Saran

Selain kesimpulan di atas, kami juga memiliki beberapa saran yang bisa
dilakukan oleh para pembaca :

Pelajari ilmu tentang tabayyun kepada ahlinya, seperti guru sekolah,


ustad, maupun tokoh agama lainnya.

Usahakan selalu menerapkan sikap tabayyun mulai dari masalah-


masalah kecil.

Selalu membuka diri menerima maaf, maupun rendah hati meminta


maaf jika telah melakukan kesalahan.”

Anda mungkin juga menyukai