Anda di halaman 1dari 13

ETIKA KEHIDUPAN MAHASISWA DI KAMPUS

Oleh:
Prof. Dr. Frieda Mangunsong, M.Ed., Psikolog
Fakultas Psikologi-Universitas Indonesia

A. Definisi Etika dan Moral

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti,
yakni tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak;
perasaan, sikap, cara berpikir. Etika dalam bentuk jamak adalah ta etha yang berarti adat
kebiasaan. Istilah yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Moral berasal dari bahasa
Latin dengan bentuk tunggal mos dan bentuk jamak mores yang berarti kebiasaan, adat. Meski
berasal dari bahasa yang berbeda, etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”
dimana keduanya memiliki arti yang sama, yakni adat kebiasaan (Bertens, 1999).

Secara lebih rinci, Bertens (1999) mengungkapkan bahwa etika memiliki tiga arti. Pertama,
“etika” diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pengangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam hal ini, etika juga bisa
diartikan sebagai suatu “sistem nilai” yang bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan
maupun pada taraf sosial. Contohnya, nilai-nilai dasar Universitas Indonesia. Kedua, “etika”
diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering disebut dengan kode etik.
Contohnya, nilai-nilai dasar Universitas Indonesia yang tertuang dalam Kode Etik dan Kode
Perilaku Sivitas Akademik UI. Ketiga “etika” berarti ilmu tentang yang baik atau buruk dan
diterima dalam suatu masyarakat, serta menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis
dan metodis.

B. Peraturan Universitas Indonesia Terkait Kehidupan Mahasiswa di Kampus

Selama 50 tahun terakhir, banyak perguruan tinggi dan universitas di dunia yang berlomba-
lomba menetapkan nilai-nilai dasar kehidupan di kampus. Boyer (1990) menyatakan bahwa
nilai-nilai dasar yang ditetapkan oleh universitas dapat membantu mendorong visi universitas
dalam membina mahasiswa dalam belajar dan mengembangkan kemampuan mahasiswa. Nilai-

1
nilai dasar tersebut juga berguna dalam membentuk hubungan yang positif antara dosen dan staf
untuk berkolaborasi sebagai mitra dalam pendidikan.

Sejalan dengan hal tersebut, Dalton dan Crosby (2011) mengungkapkan bahwa nlai-nilai
dasar dipromosikan sebagai acuan penting bagi kehidupan warga universitas dan diyakini dapat
mengintegrasikan kehidupan akademik dan sosial di universitas, serta membentuk “campus
community”. Melalui nilai-nilai dasar yang dibangun dari nilai moral masyarakat, diharapkan
bahwa perguruan tinggi atau universitas dapat bermanfaat seumur hidup bagi mahasiswa serta
bermanfaat bagi masyarakat dan dunia dimana mahasiswa akan menerapkan ilmunya

Universitas Indonesia (UI) sebagai rumah dan lumbung pengetahuan menetapkan nilai-nilai
dasar yang berlaku bagi warga UI. Terdapat 9 (Sembilan) nilai-nilai dasar Universitas Indonesia,
yaitu: 1) Kejujuran (honesty), 2) Keadilan (just and fair), 3) Kepercayaan (trust), 4)
Kemartabatan (dignity) dan / atau penghormatan (respect), 5) Tanggung jawab (accountability),
6) Kebersamaan (togetherness), 7) Keterbukaan (transparency), 8) Kebebasan akademik dan
otonomi keilmuan (academic freedom and scientific autonomy), dan 9) Kepatuhan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku (compliance to laws) (Surat Keputusan Dewan
Guru Besar Universitas Indonesia, 2014).

Sejalan dengan definisi etika yang dikemukakan oleh Bertens (1999), nilai-nilai dasar UI
tertuang dan dijabarkan dalam kode etik dan kode perilaku. Penjelasan mengenai koherensi
antara nilai-nilai dasar dan kode etik akan dijabarkan secara rinci pada tabel di bawah ini.

No Nilai-nilai Dasar Kode Etik


1 Kejujuran (honesty): Warga UI harus bersikap dan bertindak
jujur, dilarang melakukan tindakan plagiat,
dan dilarang membantu pihak lain dalam
melakukan tindakan yang tidak jujur.
2 Keadilan (just and fair) Warga UI harus menjaga integritas
akademik dan keadilan dalam berinteraksi
dengan sesama warga UI maupun dengan
pihak lain, serta tidak melakukan
diskriminasi berdasarkan kriteria apa pun.

2
3 Kepercayaan (trust) Warga UI harus bersikap amanah atau dapat
dipercaya dalam menjalankan setiap tugas
yang diembankan, tidak menyalahgunakan
setiap informasi yang dimiliki, dan menjaga
nama baik Universitas Indonesia baik di
dalam maupun di luar lingkungan UI.
4 Kemartabatan (dignity) dan / atau Warga UI harus menjunjung tinggi norma
penghormatan (respect) kesusilaan dan sopan santun, dilarang
melakukan tindakan mengancam atau
menyerang, dan berkomitmen untuk
menjadikan wilayah kampus UI sebagai
zona yang aman dan bebas dari narkotika.
5 Tanggung Jawab (accountability) Warga UI harus mengembangkan integritas
akademik dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan;
serta memiliki komitmen untuk tidak
menyalahgunakan kedudukan atau jabatan.
6 Kebersamaan (togetherness) Warga UI harus menghargai dan
menjunjung tinggi kemanusiaan yang
beragam, serta menjunjung tinggi
kebersamaan dalam memajukan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
7 Keterbukaan (transparency) Warga UI harus bersifat terbuka dan rendah
hati serta bersifat inklusif; bersedia
mendengar dan mempertimbangkan
pendapat orang lain serta menerima kritik;
dan menjunjung tinggi nilai toleransi.
8 Kebebasan akademik dan otonomi keilmuan Sivitas akademika UI harus menjunjung
(academic freedom and scientific autonomy) tinggi kebebasan akademik dan
berkewajiban untuk memelihara dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, serta

3
menjunjung hak tinggi subyek penelitian
dan menghormati privasi serta kerahasiaan
subyek penelitian.
9 Kepatuhan pada peraturan perundang- Warga UI harus senantiasa mematuhi semua
undangan yang berlaku aturan hukum dan aturan yang sah lainnya,
baik dalam melaksanakan kegiatan di
lingkungan UI maupun di luar UI.

Selain menetapkan nilai-nilai dasar dan kode etik, UI juga menetapkan kode perilaku bagi
sivitas akademikanya. Pada makalah ini akan lebih spesifik dibahas mengenai kode perilaku
mahasiswa. Kode perilaku merupakan pedoman bersikap dan berperilaku bagi setiap Warga UI
dalam melakukan aktivitasnya, baik di dalam lingkungan UI maupun di tengah masyarakat luas
(Komite 1 Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, 2016). Berdasarkan Surat Keputusan
Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (2014) terdapat 5 (lima) kode perilaku untuk
mahasiswa UI, yaitu: 1) Mahasiswa tunduk pada Kode Etik dan Kode Perilaku UI; 2) Mahasiswa
tidak melakukan kegiatan yang mengarah pada pelanggaran hukum, susila, pelecahan seksual,
perundungan, tidak membawa senjata tajam dan senjata api serta tidak mengedarkan dan
mengkonsumsi narkotika; 3) Mahasiswa bebas dari pengaruh dan kepentingan partai politik dan
kelompok tertentu, 4) Mahasiswa dalam mengikuti dan menyelesaikan studi menghindarkan diri
dari perbuatan curang dan tidak melakukan tindakan plagiat; dan 5) Mahasiswa memanfaatkan
secara layak serta tidak merusak, dan tidak menyalahgunakan fasilitas kampus, dokumen,
maupun hak-haknya sebagai mahasiswa, terutama di dalam lingkungan kampus.

C. Menerapkan Etika dalam Kehidupan Kampus

Menurut Bertens (1999) etika tidak bisa dipisahkan dari moral, etika merupakan ilmu yang
mencakup moral, yakni nilai-nilai moral, norma-norma moral, maupun kode etik. Jika ada
seseorang yang melakukan perbuatan tidak bermoral berarti seseorang tersebut tidak beretika
karena telah melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku di masyarakat.

Moral dan moralitas tidak dapat dipisahkan, moralitas berasal dari bahasa Latin moralis yang
berarti sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

4
Moralitas merupakan suatu dimensi nyata yang hanya terdapat pada manusia baik pada tahap
perorangan maupun pada tahap sosial, dan tidak terdapat pada makhluk lain (Bertens, 1999).

Menurut filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804), nilai moral mengandung suatu imperatif
(perintah) kategoris, yakni nilai moral mewajibkan manusia untuk melakukan sesuatu secara
mutlak tanpa syarat. Akan tetapi meski moral memiliki sifat mewajibkan, moralitas tidak akan
tercapai jika tidak ada kesesuaian antara nilai moral dan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang (Bertens, 1999).

Manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dalam berbuat dan bertindak tidak
begitu saja dapat melakukan tindakan sesuai nilai-nilai moral. Manusia harus terlebih dahulu
memiliki kemauan untuk mengerjakan sesuatu dan menaklukkan dirinya pada nilai-nilai moral
tersebut. Kemauan itu harus dilakukan secara sadar dan sesuai dengan hati nurani. Hati nurani
diibaratkan suatu instansi dalam diri manusia yang seolah-olah turut mengetahui dan menilai
baik atau buruknya suatu tindakan. Hati nurani bukan hanya perasaan maupun kehendak,
melainkan juga rasio karena hati nurani memberi penilaian dan putusan (judgment) apakah
sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan. Meskipun hati nurani bersifat rasional, hati nurani
tidak mengungkapkan sesuatu melalui penalaran logis (reasoning). Hati nurani mengungkapkan
sesuatu secara intuitif, yakni langsung bagaikan “tembakan” (Bertens, 1999).

Pernyataan Bertens (1999) tersebut sejalan dengan hasil penelitian-penelitian baru-baru ini
mengenai etika kehidupan mahasiswa di kampus. Weber dan Glyptis (2000) mengatakan bahwa
mengajarkan etika kepada mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman etika dan sikap etika
pada mahasiswa. Bloodgood, Turnley, dan Mudrack (2010) melakukan penelitian mengenai
pengaruh mata kuliah etika yang diterima mahasiswa terhadap persepsi mahasiswa mengenai
perilaku mencontek pada 230 mahasiswa jurusan bisnis di Midwestern Amerika. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa mata kuliah etika yang diterima mahasiswa tidak berpengaruh signifikan
terhadap persepsi mahasiswa mengenai perilaku mencontek.

Serupa dengan hasil penelitian Bloodgood dan kawan-kawan (2010), hasil penelitian
Yulianto (2015) juga menunjukkan bahwa mata ajar utama atau pendukung program studi dan
karakteristik dosen yang baik tidak mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan untuk
melakukan tindakan kecurangan akademik. Penelitian ini dilakukan pada 4.628 mahasiswa

5
program Vokasi UI tahun ajaran 2012 sampai dengan tahun ajaran 2015. Berdasarkan respon
dari kuesioner, 80% mahasiswa masih mempertimbangkan prinsip atau value yang mereka miliki
ketika akan melakukan tindakan kecurangan akademik sedangkan 20% mengatakan tidak
memperhatikan prinsip atau value yang mereka miliki. Mahasiswa yang tidak memperhatikan
prinsip atau value yang mereka miliki beranggapan bahwa keputusan mereka melakukan
tindakan kecurangan akademik ditentukan oleh kebutuhan bukan prinsip.

Berdasarkan pernyataan Bertens (1999) dan studi terbaru mengenai etika, dapat disimpulkan
bahwa nilai moral atau aturan tidak bisa serta merta dapat mengatur tindakan manusia jika
manusia tersebut tidak memiliki kemauan untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai
moral yang ditetapkan. Nilai moral dan etika yang diajarkan di kampus juga tidak bisa 100%
menurunkan tindakan kecurangan akademik yang dilakukan oleh mahasiswa.

D. Bentuk-bentuk Kecurangan akademik (Academic Dishonesty)

Salah satu perilaku yang bertentangan dengan etika dan banyak ditemukan di dunia
pendidikan adalah kecurangan akademik. Lin dan Wen (2007) mendefinisikan kecurangan
akademik sebagai tingkah laku dalam proses belajar yang melanggar prinsip-prinsip keadilan dan
kejujuran dan ditujukan untuk mendapatkan prestasi tertentu. Contoh tingkah laku ketidakjujuran
diantaranya, mencontek saat tes, memalsukan tugas, kerja sama yang salah, dan melakukan
tindakan plagiat. Akan tetapi, bentuk tingkah laku kecurangan akademik yang dilakukan pada
mahasiswa sangat beragam.

D.1. Mencontek dan Menyebarkan Jawaban Ujian

Menurut Davis (2009), tingkah laku mencontek meliputi: melihat hasil jawaban orang lain
saat ujian, membawa contekan materi atau jawaban, dan menggunakan alat bantu ataupun
perangkat lain dalam menyelesaikan ujian ketika alat bantu tersebut tidak diperbolehkan
digunakan.

D.2. Pemalsuan

Tingkah laku pemalsuan dapat dilakukan saat menyelesaikan pekerjaan rumah maupun saat
menyelesaikan tugas akhir atau karya ilmiah. Pemalsuan dalam kegiatan akademik, diantaranya:

6
mengumpulkan tugas atau laporan ilmiah yang seolah-olah berbeda tetapi secara substansial
sama (Jones, 2001) dan mengubah hasil data dalam laporan penelitian.

D.3. Kerja sama yang salah

Bentuk-bentuk kerja sama yang salah diantaranya, mengerjakan tugas secara bersama-sama
dengan teman dalam menyelesaikan tugas individual (Henning, Ram, Malpas, Shulruf, Kelly, &
Hawken, 2013), tidak ikut berkontribusi secara layak dalam tugas kelompok namun terdaftar
sebagai anggota kelompok yang menyelesaikan tugas, serta saling bekerja sama untuk
menandatangi daftar hadir secara bergantian (Musharyanti, 2010).

D.4. Plagiat

Beberapa bentuk tindakan plagiat menurut Jones (2001) adalah sebagai berikut:

1. Kerja sama yang sah / tidak sah dalam menyelesaikan tugas

Dosen dapat memahami ketika mahasiswa diminta untuk menyelesaikan tugas sendiri namun
mahasiswa mendiskusikan tugas tersebut dengan mahasiswa lainnya. Akan tetapi, kerja sama
tersebut menjadi bentuk plagiat ketika frase, kutipan, kalimat, dan konstruksi kalimat yang
digunakan muncul dalam dua atau lebih makalah tentang topik yang sama. Untuk melindungi
diri, sebaiknya mahasiswa mengakui dalam catatan kaki bahwa kalimat atau paragraf tertentu
merupakan hasil diskusi dengan mahasiswa lain.

2. Mengakui pekerjaan orang lain sebagai milik pribadi

Kecurangan akademik ini bentuknya sangat beragam, diantaranya: mengutip materi atau
bahan tanpa sitasi atau atribusi lain, mengutip materi atau bahan dengan memberikan sitasi
namun tidak memberi tanda kutip, tidak memparafrase kalimat dari materi atau bahan milik
orang lain, memparafrase kalimat dari materi miliki orang lain tanpa memberikan sitasi; serta
menggunakan atau menyerahkan tugas orang lain dari tahun sebelumnya, semester sebelumnya,
atau dari mata kuliah lain sebagai tugas pribadi.

3. Mengutip kalimat dari materi orang lain yang sudah diparafrasekan dan mengakui sebagai
milik pribadi

7
Mengutip suatu kalimat dari sumber kedua yang telah diparafrase, lalu menulis atau
menyalin ulang kalimat tersebut tanpa sitasi merupakan salah satu bentuk tindakan plagiat.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecurangan akademik Mahasiswa

Faktor penyebab munculnya tindakan kecurangan akademis dapat dibagi ke dalam 2 (dua)
faktor, yaitu faktor internal (dalam diri individu) dan lingkungan atau situasional (Santrock,
2011; Anderman & Murdock, 2006).

E.1. Faktor Individu


E.1.1. Gender
Penelitian Lin dan Wen (2006) terhadap 2.068 mahasiswa di Taiwan menunjukkan bahwa
laki-laki cenderung lebih sering melakukan kecurangan akademik dibanding perempuan. Serupa
dengan hasil penelitian Lin dan Wen (2006), hasil penelitian Henning (2013) menunjukkan
bahwa laki-laki lebih cenderung sering berkolaborasi dalam mengerjakan tugas individu.

E.1.2. Self-Efficacy
Menurut Bandura (1986) Self-efficacy adalah penilaian seseorang mengenai kemampuannya
untuk melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tertentu (Schunk,
Pintrich, & Meece (2008). Mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang rendah akan cenderung
melakukan kecurangan akademik dibanding mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi
(Anderman & Murdock, 2006).

E.1.3 Motivasi Belajar


Mahasiswa yang memiliki motivasi belajar agar dinilai baik oleh orang lain dan ingin
menjadi yang terbaik dibanding orang lain (performance orientation) cenderung akan melakukan
kecurangan akademik dibanding mahasiswa yang memiliki motivasi belajar untuk menguasai
materi (Schunk et al., 2008).

E.2. Faktor Eksternal


Menurut teori kognitif sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura, tingkah laku seseorang
dipengaruhi oleh pengamatannya terhadap laku orang lain di lingkungan sekitar atau yang

8
disebut dengan pemodelan. Menurut Bandura proses mengamati dan meniru tingkah laku dan
sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Pemodelan mengacu pada
perubahan-perubahan perilaku, kognitif, dan afektif yang dihasilkan dari mengobservasi satu
atau lebih model. Pemodelan menjalankan berbagai fungsi sebagai inhibisi atau disinhibisi,
fasilitasi respons, dan pembelajaran melalui observasi (Schunk et al., 2008).
1. Inhibisi/disinhibisi
Mengobservasi model dapat memperkuat atau pun memperlemah larangan atau pencegahan.
Ketika para model melakukan aktivitas-aktivitas yang dilarang atau bahkan mengancam tanpa
adanya konsekuensi negatif, maka para pengamat mungkin akan melakukan aktivitas tersebut.
Namun apabila para model tersebut mendapatkan hukuman atau konsekuensi negatif, maka
konsekuensi tersebut dapat mencegah para pengamat untuk meniru tingkah laku tersebut. Efek
inhibisi atau disinhibisi ini berasal dari keyakinan para pengamat bahwa konsekuensi yang
serupa cenderung terjadi apabila mereka bertindak sesuai dengan tindakan yang dicontohkan
model.

2. Fasilitasi respon
Ketika seorang mahasiswa melihat temannya atau orang lain melakukan kecurangan
akademik, hal tersebut menjadi dorongan sosial baginya untuk bertindak sesuai dengan tindakan
yang dicontohkan. Tingkah laku kecurangan akademik yang dilakukan oleh orang lain menjadi
fasilitas respon bagi mahasiswa yang melihatnya karena tingkah lakunya mencerminkan tindakan
yang telah dipelajari oleh pengamat. Selain itu juga dapat diterima secara sosial dan tidak disertai
dengan pengekangan potensial.

3. Pembelajaran melalui observasi


Ketika pengamat menampilkan perilaku yang baru, yang sebelum adanya pemodelan tersebut
probabilitas perilaku baru ini adalah nol. Pada pembelajaran ini terdapat pula yang disebut
pemodelan kognitif yaitu menggabungkan antara penjelasan dan keterampilan yang dicontohkan
dengan verbalisasi pemikiran dan alasan model melakukan tindakan.

9
F. Menangani Kasus Kecurangan Akademik
Penanganan kasus kecurangan akademik oleh pihak universitas dapat berdampak efektif jika
dilaksanakan secara konsisten. Jones (2001) memaparkan panduan dalam menangani kecurangan
akademik di universitas:
a. Be Proactive
Membuat hukuman yang jelas untuk setiap tindak kecurangan akademik pada silabus mata
kuliah. Terapkan hukuman tersebut untuk setiap pelanggaran sejenis walaupun sekecil apapun.
Contohnya: Setiap mahasiswa yang mencontek pada saat ujian mata kuliah “A” tidak akan lulus
dari mata kuliah tersebut.
b. Be Informed
Sebelum menjatuhkan hukuman pada mahasiswa, lakukan penyelidikan secara menyeluruh
dan informasikan kecurangan tersebut kepada kepala departemen atau fakultas.
c. Memberi hukuman dengan adil
Terdapat beberapa pertimbangan sebelum menjatuhkan hukuman, yakni kesesuaian antara
hukuman dan pelanggaran, menyelidiki mahasiswa atau orang lain yang juga terlibat, merinci
kasus bersama dengan dokumen pendukung, dan menginformasikan dengan baik kepada pihak
yang terlibat ketika keputusan sudah ditetapkan.

G. Etika dalam Bidang Kesehatan

Tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, perawat, apoteker, ahli gizi, bidan dan ahli lain
dalam bidang kesehatan merupakan suatu profesi. Suatu pekerjaan disebut sebagai profesi
ditandai dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan dan diperluas, disertai dengan kode etik dalam
pelaksanaan tugasnya, dan memiliki hak istimewa yang diberikan oleh masyarakat (Synder,
2012). Mengajarkan etika sangatlah penting untuk profesi dalam bidang kesehatan dimana
konsep profesionalisme dalam bidang kesehatan sendiri adalah, ilmiah, klinis, etika, dan sosial
(Doukas, McCullough, & Wear, 2012).
Seperti yang dijelaskan dalam bagian awal makalah ini, kode etik dibentuk dari nilai-nilai
atau prinsip-prinsip dasar. Etika profesi dalam bidang kesehatan memiliki 4 prinsip umum, yakni
beneficience, nonmaleficience, respect for patient autonomy, dan justice. Beneficience adalah
kewajiban untuk mempromosikan kebaikan-kebaikan dan melakukan tindakan yang terbaik bagi

10
pasien dan kesehatan masyarakat (Synder, 2012). Sebagai seorang ahli dalam bidang kesehatan,
perlu memastikan bahwa tindakan yang dilakukan memberikan manfaat yang terbaik bagi
pasien. Menariknya, seorang ahli dalam bidang kesehatan juga harus mempertimbangkan dimana
suatu manfaat bagi seorang pasien mungkin menjadi kerugian bagi pasien yang lain. Oleh
karenanya, seorang ahli dalam bidang kesehatan harus menghormati otonomi pasien (Gillon,
1994). Nonmaleficience adalah kewajiban untuk tidak membahayakan pasien. Nonmalficience
dan benfeicience sering dituliskan secara berdampingan, yakni seorang ahli dalam bidang
kesehatan memiliki kewajiban moral untuk memberikan manfaat bersih bagi pasien dengan
resiko atau kerugian yang minimal. Dengan kata lain, seorang ahli dalam bidang kesehatan
memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan kebaikan yang bersifat tidak mencelakakan
(Gillon, 1994).
Respect for autonomy adalah kewajiban untuk melindungi dan mendorong kebebasan bagi
pasien, atau tidak memberikan pilihan yang bersifat memaksa (Synder, 2012). Dalam bidang
kesehatan, menghormati otonomi orang lain merupakan keharusan yang harus dijalankan.
Keharusan tersebut antara lain, yakni memberikan informasi kepada pasien mengenai intervensi
atau tindakan yang akan dilakukan, meminta persetujuan dari pasien atau pihak dari pasien yang
akan diberi tindakan, dan menjaga kerahasiaan dari kondisi medis yang dialami pasien (Gillon,
1994). Nilai dasar yang keempat adalah justice, kewajiban untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat melalui pemerataan kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Synder,
2012). Dalam etika kesehatan terdapat tiga jenis keadilan (justice) yang harus dipenuhi, yakni
pendistribusi yang adil dari sumber daya yang langka (distributive justice), menghormati hak-hak
rakyat (rights based justice), dan menghormati hukum moral yang berlaku (legal justice) (Gillon,
1994).
Etika dalam bidang kesehatan tidak bisa serta merta dipelajari secara teoritis, melainkan
harus dikembangkan sebagai kompetensi. Etika yang dituangkan dalam prinsip-prinsip dan kode
etik tidak bisa serta merta menjamin bahwa seorang ahli dapat menjalankannya dengan baik.
Kalangan profesional dapat menggunakan nilai-nilai dasar dan kode etik sebagai pedoman dan
pengingat, tetapi mereka juga membutuhkan kemampuan untuk menerapkannya dalam dunia
kerja. Mengikuti contoh yang baik dari tindakan etika mungkin dapat menjadi salah satu cara,
tetapi strategi ini juga mengandung resiko bilamana terjadi ketidak-konsistensi dari model atau
contoh yang dijadikan panutan. Oleh karena itu, pendidikan dan refleksi yang berkelanjutan

11
mengenai etika diperlukan dalam pelatihan profesi dokter, dokter gigi, perawat, ahli gizi, dan
ahli kesehatan lainnya agar dapat diterapkan dalam kehidupan profesional mereka sehari-hari.
Etika bukan hanya tentang knowing, tetapi juga doing dan being. Etika tidak hanya mencakup
kesadaran mengenai peraturan yang berlaku, tetapi juga harus disertai pengartian nilai-nilai
kebajikan yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan (Eriksson, Hedgesson, & Hoglund,
2007).

Referensi:
Anderman, E., & Murdock, T. (2006). Motivational Perspectives on Student Cheating: Toward
an Integrated Model of Academic Dishonesty. Educational Psychologist, 41(3) 129–145.

Bertens, K. (2011). Etika. Jakarta: Gramedia.

Bloodgood, J. M., Turnley, W. H., & Mudrack, P. E. (2010). Ethics Instruction and the Perceived
Acceptability of Cheating. Journal of Business Ethics, 95(1), 23–37.
http://doi.org/10.1007/s10551-009-0345-0

Boyer, E. (1990). A special report. Campus life: In search of community. Princeton, NJ: Carnegie
Foundation for the Advancement of Teaching.

Dalton, J. C., & Crosby, P. C. (2011). Core Values and Commitments in College: The Surprising
Return to Ethics and Character in Undergraduate Education. Journal of College and
Character, 12(2), 1–4. http://doi.org/10.2202/1940-1639.1796.

Davis, S. F., Drinan, P. F., Gallant, T. B. (2009). Cheating in school: What we know and what
we can do. Chicester: Wiley Blackwell.

Doukas, D. J., McCullough, L. B., & Wear, S. (2012). Perspective. Academic Medicine, 87(3),
334–341. http://doi.org/10.1097/ACM.0b013e318244728c.

Eriksson, S., Helgesson, G., & Höglund, A. T. (2007). Being , doing , and knowing : Developing
ethical competence in health care. Journal of Academic Ethics, 207–216.
http://doi.org/10.1007/s10805-007-9029-5.

Gillon, R. (1994). Medical ethics : four principles plus attention to scope. London: Imperial
College of Science, Technology and Medicine.

Henning, M. A., Ram, S., Malpas, P., Shulruf, B., Kelly, F., & Hawken, S. J. (2013). Academic
dishonesty and ethical reasoning: pharmacy and medical school students in New Zealand.
Medical Teacher, 35(6), e1211-7. http://doi.org/10.3109/0142159X.2012.737962.

12
Jones, L. R. (2001). Academic integrity & academic dishonesty : A handbook about cheating &
plagiarism. Florida: Florida Institute of Technology.

Lin, C. H. S., & Wen, L. Y. M. (2007). Academic dishonesty in higher education-a nationwide
study in Taiwan. Higher Education, 54(1), 85–97. http://doi.org/10.1007/s10734-006-
9047-z.

Musharyanti, L. (2010). Persepsi dan perilaku mahasiswa keperawatan tentang integritas


akademik. (Unpublished Undergraduate Thesis). Universitas Negeri Gajah Mada,
Yogyakarta.

Santrock, J.W. (2011). Educational psychology –5th ed. New York: McGraw-Hill.

Schunk, D. H., Pintrich, P. R., Meece, J. L. (2008). Motivation in education: Theory, research,
and applications (3rd ed.). New Jersey: Pearson Education Inc.

Synder, L. (2012). American college of physicians ethics manual (6th ed.) Annals of Internal
Medicine Supplement, 158(5).

Weber, J. and S. M. Glyptis: 2000, ‘Measuring the Impact of a Business Ethics Course and
Community Service on Students’ Values and Opinions’, Teaching Business Ethics 4,
341–358.

Yuliyanto, H. (2015). Persepsi Mahasiswa tentang ketidak-jujuran akademik : Studi kasus


mahasiswa program vokasi Universitas Indonesia. Prosiding Psychology Forum UMM,
978–979.

13

Anda mungkin juga menyukai