Anda di halaman 1dari 13

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty

uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd
fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
Etika dan Hukum
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
6 Oktober 2017

Luciana Fransisca
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert
yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
Etika dan Hukum

Jenis-jenis Etika

 Metaethics
Disscussion about the nature of ethics and moral reasoning.
 Normative ethics
interested in determining the content of our moral behavior.
Normative ethical theories seek to provide action-guides; procedures for
answering the Practical Question ("What ought I to do?").
 Applied ethics
attempts to deal with specific realms of human action and to craft criteria for
discussing issues that might arise within those realms.

Teleologi (Aristoteles)

• Argumen sentral:

- Keadilan bersifat teleologikal: mendefinisikan tujuan (telos/purpose).


- Keadilan bersifat penghargaan: mendefinisikan nilai penghargaan apa yang
dapat diberikan.
 Teleologi dalam kedokteran:
- Tujuan/telos dari pelayanan kedokteran adalah promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif.
- Penghargaan terhadap pelayanan kedokteran adalah kepada pasien yang
memberikan nilai manfaat paling besar.
 Nilai manfaat pelayanan kedokteran:
- Medical benefit: perbaikan kondisi.
- Likelihood of benefit: prognosa/harapan hidup.
 Utilitarianisme
- Jeremy Bentham: Act Utilitarianism
Utiliti: kebahagiaan, minimalisasi kesengsaraan.
Kebahagiaan dikuantifikasi dan maksimalisasi untuk semua orang.
- John Stuart Mill: Rule Utilitarianism
Kebahagiaan jangka panjang. Tiga ide utama rule utilitarianism:
(1) nilai moral dari suatu tindakan (baik atau buruk) : konsekuensi tindakan
dari menjalankan suatu aturan (moral rule of conduct);
(2) setiap orang sepatutnya mengikuti aturan-aturan yang akan menghasilkan
kebahagiaan;
(3) semua aturan yang akan menghasilkan kebahagiaan maksimum harus
dipatuhi

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 2
 Keadilan distributif (The Theory of Justice dari John Rawls)
- Posisi awal kesetaraan (original position of equality):
o State of nature: kondisi masyarakat dimana belum terdapat kesenjangan.
o Masyarakat bebas dan berkumpul kemudian membentuk kesepakatan.
o Memilih prinsip-prinsip keadilan dari balik tabir (veil of ignorance).
- Prinsip-prinsip keadilan distributif Rawls:
o Setiap orang memiliki kebebasan seluas-luasnya yang sama sebanding
dengan kebebasan yang dimiliki orang lainnya.
o Ketidakseimbangan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa agar:
. Memberikan manfaat yang rasional bagi semua orang;
. Melekat pada posisi dan fungsi yang terbuka bagi semua orang.
 Aturan Maximin
- Maximin : maximum minimorum.
- Peringkat berdasarkan luaran terburuk apabila tidak terpenuhi.
- Prinsip keadilan pertama mendahului prinsip yang kedua.
- Apabila kebebasan dilanggar akan memberikan akibat yang lebih buruk.
 Virtue Ethics
What is the best way to live?
• Concerns with one’s life and how to make it a happpy one.
• Reason on what kind of person to be and what sort of character to develop.
• Excellences of character that consist in both caring about the right things and
having the wisdom and practical skills to judge and act successfully with
respect to those things.
What is the right thing to do?
• A qualified agent: an act is right if and only if it comes from good or virtuous
motivation involving benevolence or caring or at least doesn’t come from bad
or inferior motivation involving malice or indifference to humanity.
• A target-centered: an act is virtuous in respect to benevolence if and only if it
hits the target of virtue or is overall virtuous.
• Virtue dapat didefinisikan sebagai berikut:
• Rasa cinta atau saling menyayangi terhadap sesama.
• Kesadaran moral untuk menyadari mana yang secara moral baik dan
terpuji.
• Kombinasi poin diatas ditambah kemampuan menyadari kearifan dan
hal-hal yang terkait didalamnya.
 Deontology (Immanuel Kant)
o “DEON” = DUTY : kewajiban
o BENAR SALAHNYA INHEREN KEPADA TINDAKANNYA
Something As a Means to an End
Segala sesuatu merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan.

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 3
Banyak dianut dikalangan kedokteran karena dokter selalu menjanjikan upaya
maksimal.
Define the duty : causing (menolong), allowing (memudahkan akses), enable
(memudahkan penyembuhan), redirect (mengubah kondisi), accelerate
(mempercepat penyembuhan)

ETIKA KEHIDUPAN MAHASISWA DI KAMPUS


A. Definisi Etika dan Moral
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti, yakni tempat tinggal yang biasa; padang rumput,
kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Etika
dalam bentuk jamak adalah ta etha yang berarti adat kebiasaan. Istilah yang
cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”.
Moral berasal dari bahasa Latin dengan bentuk tunggal mos dan bentuk
jamak mores yang berarti kebiasaan, adat. Meski berasal dari bahasa yang
berbeda, etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral” dimana
keduanya memiliki arti yang sama, yakni adat kebiasaan (Bertens, 1999).
Secara lebih rinci, Bertens (1999) mengungkapkan bahwa etika memiliki tiga
arti.
1. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam hal ini, etika
juga bisa diartikan sebagai suatu “sistem nilai” yang bisa berfungsi
dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
Contohnya, nilai-nilai dasar Universitas Indonesia.
2. Kumpulan asas atau nilai moral : kode etik. Contohnya, nilai-nilai dasar
Universitas Indonesia yang tertuang dalam Kode Etik dan Kode
Perilaku Sivitas Akademik UI.
3. Ilmu tentang yang baik atau buruk dan diterima dalam suatu
masyarakat, serta menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis.
B. Peraturan Universitas Indonesia Terkait Kehidupan Mahasiswa di Kampus
Dalton dan Crosby (2011) mengungkapkan bahwa nlai-nilai dasar
dipromosikan sebagai acuan penting bagi kehidupan warga universitas dan
diyakini dapat mengintegrasikan kehidupan akademik dan sosial di universitas,
serta membentuk “campus community”.
Terdapat 9 (Sembilan) nilai-nilai dasar Universitas Indonesia, yaitu:
1) Kejujuran (honesty) : Warga UI harus bersikap dan bertindak jujur, dilarang
melakukan tindakan plagiat, dan dilarang membantu pihak lain dalam
melakukan tindakan yang tidak jujur.

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 4
2) Keadilan (just and fair) : Warga UI harus menjaga integritas akademik dan
keadilan dalam berinteraksi dengan sesama warga UI maupun dengan pihak
lain, serta tidak melakukan diskriminasi berdasarkan kriteria apa pun.
3) Kepercayaan (trust) : Warga UI harus bersikap amanah atau dapat dipercaya
dalam menjalankan setiap tugas yang diembankan, tidak menyalahgunakan
setiap informasi yang dimiliki, dan menjaga nama baik Universitas Indonesia
baik di dalam maupun di luar lingkungan UI.
4) Kemartabatan (dignity) dan / atau penghormatan (respect) : Warga UI harus
menjunjung tinggi norma kesusilaan dan sopan santun, dilarang melakukan
tindakan mengancam atau menyerang, dan berkomitmen untuk menjadikan
wilayah kampus UI sebagai zona yang aman dan bebas dari narkotika.
5) Tanggung Jawab (accountability) : Warga UI harus mengembangkan integritas
akademik dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan;
serta memiliki komitmen untuk tidak menyalahgunakan kedudukan atau
jabatan.
6) Kebersamaan (togetherness) : Warga UI harus menghargai dan menjunjung
tinggi kemanusiaan yang beragam, serta menjunjung tinggi kebersamaan dalam
memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
7) Keterbukaan (transparency) Warga UI harus bersifat terbuka dan rendah hati
serta bersifat inklusif; bersedia mendengar dan mempertimbangkan pendapat
orang lain serta menerima kritik; dan menjunjung tinggi nilai toleransi.
8) Kebebasan akademik dan otonomi keilmuan (academic freedom and scientific
autonomy) : Sivitas akademika UI harus menjunjung tinggi kebebasan akademik
dan berkewajiban untuk memelihara dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
serta menjunjung hak tinggi subyek penelitian dan menghormati privasi serta
kerahasiaan subyek penelitian.
9) Kepatuhan pada peraturan perundangundangan yang berlaku
Warga UI harus senantiasa mematuhi semua aturan hukum dan aturan yang sah
lainnya, baik dalam melaksanakan kegiatan di lingkungan UI maupun di luar UI.
(Surat Keputusan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, 2014).

Berdasarkan Surat Keputusan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia


(2014) terdapat 5 (lima) kode perilaku untuk mahasiswa UI, yaitu:
1) Mahasiswa tunduk pada Kode Etik dan Kode Perilaku UI;
2) Mahasiswa tidak melakukan kegiatan yang mengarah pada pelanggaran
hukum, susila, pelecahan seksual, perundungan, tidak membawa senjata tajam
dan senjata api serta tidak mengedarkan dan mengkonsumsi narkotika;
3) Mahasiswa bebas dari pengaruh dan kepentingan partai politik dan kelompok
tertentu,

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 5
4) Mahasiswa dalam mengikuti dan menyelesaikan studi menghindarkan diri
dari perbuatan curang dan tidak melakukan tindakan plagiat; dan
5) Mahasiswa memanfaatkan secara layak serta tidak merusak, dan tidak
menyalahgunakan fasilitas kampus, dokumen, maupun hak-haknya sebagai
mahasiswa, terutama di dalam lingkungan kampus.

C. Menerapkan Etika dalam Kehidupan Kampus


Menurut Bertens (1999) etika tidak bisa dipisahkan dari moral, etika merupakan
ilmu yang mencakup moral, yakni nilai-nilai moral, norma-norma moral,
maupun kode etik. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan tidak bermoral
berarti seseorang tersebut tidak beretika karena telah melanggar nilai-nilai dan
norma-norma etis yang berlaku di masyarakat.
Menurut filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804), nilai moral mengandung
suatu imperatif (perintah) kategoris, yakni nilai moral mewajibkan manusia
untuk melakukan sesuatu secara mutlak tanpa syarat. Akan tetapi meski moral
memiliki sifat mewajibkan, moralitas tidak akan tercapai jika tidak ada
kesesuaian antara nilai moral dan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang (Bertens, 1999).
Manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dalam berbuat dan
bertindak dengan memiliki kemauan untuk mengerjakan sesuatu dan
menaklukkan dirinya pada nilai-nilai moral tersebut. Kemauan itu harus
dilakukan secara sadar dan sesuai dengan hati nurani. Hati nurani diibaratkan
suatu instansi dalam diri manusia yang seolah-olah turut mengetahui dan
menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Hati nurani bukan hanya perasaan
maupun kehendak, melainkan juga rasio karena hati nurani memberi penilaian
dan putusan (judgment) apakah sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan.
Meskipun hati nurani bersifat rasional, hati nurani tidak mengungkapkan
sesuatu melalui penalaran logis (reasoning). Hati nurani mengungkapkan
sesuatu secara intuitif, yakni langsung bagaikan “tembakan” (Bertens, 1999).
Bloodgood, Turnley, dan Mudrack (2010) melakukan penelitian mengenai
pengaruh mata kuliah etika yang diterima mahasiswa terhadap persepsi
mahasiswa mengenai perilaku mencontek pada 230 mahasiswa jurusan bisnis di
Midwestern Amerika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mata kuliah etika
yang diterima mahasiswa tidak berpengaruh signifikan terhadap persepsi
mahasiswa mengenai perilaku mencontek.
Serupa dengan hasil penelitian Bloodgood dan kawan-kawan (2010), hasil
penelitian Yulianto (2015) juga menunjukkan bahwa mata ajar utama atau
pendukung program studi dan karakteristik dosen yang baik tidak mempunyai
pengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan tindakan kecurangan
akademik. Penelitian ini dilakukan pada 4.628 mahasiswa program Vokasi UI

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 6
tahun ajaran 2012 sampai dengan tahun ajaran 2015. Berdasarkan respon dari
kuesioner, 80% mahasiswa masih mempertimbangkan prinsip atau value yang
mereka miliki ketika akan melakukan tindakan kecurangan akademik sedangkan
20% mengatakan tidak memperhatikan prinsip atau value yang mereka miliki.
Mahasiswa yang tidak memperhatikan prinsip atau value yang mereka miliki
beranggapan bahwa melakukan tindakan kecurangan akademik ditentukan oleh
kebutuhan bukan prinsip.
Berdasarkan pernyataan Bertens (1999) dan studi terbaru mengenai etika, dapat
disimpulkan bahwa nilai moral atau aturan tidak bisa serta merta dapat
mengatur tindakan manusia jika manusia tersebut tidak memiliki kemauan
untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditetapkan.
Nilai moral dan etika yang diajarkan di kampus juga tidak bisa 100%
menurunkan tindakan kecurangan akademik yang dilakukan oleh mahasiswa.

D. Bentuk-bentuk Kecurangan akademik (Academic Dishonesty)


D.1. Mencontek dan Menyebarkan Jawaban Ujian
Menurut Davis (2009), tingkah laku mencontek meliputi: melihat hasil jawaban
orang lain saat ujian, membawa contekan materi atau jawaban, dan
menggunakan alat bantu ataupun perangkat lain dalam menyelesaikan ujian
ketika alat bantu tersebut tidak diperbolehkan digunakan.
D.2. Pemalsuan
Tingkah laku pemalsuan dapat dilakukan saat menyelesaikan pekerjaan rumah
maupun saat menyelesaikan tugas akhir atau karya ilmiah. Pemalsuan dalam
kegiatan akademik, diantaranya: mengumpulkan tugas atau laporan ilmiah yang
seolah-olah berbeda tetapi secara substansial sama (Jones, 2001) dan mengubah
hasil data dalam laporan penelitian.
D.3. Kerja sama yang salah
Bentuk-bentuk kerja sama yang salah diantaranya, mengerjakan tugas secara
bersama-sama dengan teman dalam menyelesaikan tugas individual (Henning,
Ram, Malpas, Shulruf, Kelly, & Hawken, 2013), tidak ikut berkontribusi secara
layak dalam tugas kelompok namun terdaftar sebagai anggota kelompok yang
menyelesaikan tugas, serta saling bekerja sama untuk menandatangi daftar hadir
secara bergantian (Musharyanti, 2010).
D.4. Plagiat
Beberapa bentuk tindakan plagiat menurut Jones (2001) adalah sebagai berikut:
1. Kerja sama yang sah / tidak sah dalam menyelesaikan tugas
Kerja sama menjadi bentuk plagiat ketika frase, kutipan, kalimat, dan konstruksi
kalimat yang digunakan muncul dalam dua atau lebih makalah tentang topik
yang sama. Untuk melindungi diri, sebaiknya mahasiswa mengakui dalam

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 7
catatan kaki bahwa kalimat atau paragraf tertentu merupakan hasil diskusi
dengan mahasiswa lain.
2. Mengakui pekerjaan orang lain sebagai milik pribadi
Kecurangan akademik: mengutip materi atau bahan tanpa sitasi atau atribusi
lain, mengutip materi atau bahan dengan memberikan sitasi namun tidak
memberi tanda kutip, tidak memparafrase kalimat dari materi atau bahan milik
orang lain, memparafrase kalimat dari materi miliki orang lain tanpa
memberikan sitasi; serta menggunakan atau menyerahkan tugas orang lain dari
tahun sebelumnya, semester sebelumnya, atau dari mata kuliah lain sebagai
tugas pribadi.
3. Mengutip kalimat dari materi orang lain yang sudah diparafrasekan dan
mengakui sebagai milik pribadi : plagiat

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecurangan akademik Mahasiswa


Faktor penyebab munculnya tindakan kecurangan akademis dapat dibagi ke
dalam 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal (dalam diri individu) dan lingkungan
atau situasional (Santrock, 2011; Anderman & Murdock, 2006).

E.1. Faktor Individu


E.1.1. Gender Penelitian Lin dan Wen (2006) terhadap 2.068 mahasiswa di
Taiwan menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih sering melakukan
kecurangan akademik dibanding perempuan. Serupa dengan hasil penelitian Lin
dan Wen (2006), hasil penelitian Henning (2013) menunjukkan bahwa laki-laki
lebih cenderung sering berkolaborasi dalam mengerjakan tugas individu.
E.1.2. Self-Efficacy Menurut Bandura (1986) Self-efficacy adalah penilaian
seseorang mengenai kemampuannya untuk melaksanakan tindakan yang
diperlukan untuk menyelesaikan tugas tertentu (Schunk, Pintrich, & Meece
(2008). Mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang rendah akan cenderung
melakukan kecurangan akademik dibanding mahasiswa yang memiliki self-
efficacy yang tinggi (Anderman & Murdock, 2006).
E.1.3 Motivasi Belajar Mahasiswa yang memiliki motivasi belajar agar dinilai
baik oleh orang lain dan ingin menjadi yang terbaik dibanding orang lain
(performance orientation) cenderung akan melakukan kecurangan akademik
dibanding mahasiswa yang memiliki motivasi belajar untuk menguasai materi
(Schunk et al., 2008).

E.2. Faktor Eksternal


Menurut teori kognitif sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura, tingkah
laku seseorang dipengaruhi oleh pemodelan. Pemodelan mengacu pada
perubahan-perubahan perilaku, kognitif, dan afektif yang dihasilkan dari

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 8
mengobservasi satu atau lebih model. Pemodelan menjalankan berbagai fungsi
sebagai inhibisi atau disinhibisi, fasilitasi respons, dan pembelajaran melalui
observasi (Schunk et al., 2008).
1. Inhibisi/disinhibisi : Mengobservasi model dapat memperkuat atau pun
memperlemah larangan atau pencegahan. Ketika para model melakukan
aktivitas-aktivitas yang dilarang atau bahkan mengancam tanpa adanya
konsekuensi negatif, maka para pengamat mungkin akan melakukan aktivitas
tersebut. Namun apabila para model tersebut mendapatkan hukuman atau
konsekuensi negatif, maka konsekuensi tersebut dapat mencegah para pengamat
untuk meniru tingkah laku tersebut. Efek inhibisi atau disinhibisi ini berasal dari
keyakinan para pengamat bahwa konsekuensi yang serupa cenderung terjadi
apabila mereka bertindak sesuai dengan tindakan yang dicontohkan model.
2. Fasilitasi respon : Ketika seorang mahasiswa melihat temannya atau orang lain
melakukan kecurangan akademik, hal tersebut menjadi dorongan sosial baginya
untuk bertindak sesuai dengan tindakan yang dicontohkan.
3. Pembelajaran melalui observasi : Ketika pengamat menampilkan perilaku
yang baru, yang sebelum adanya pemodelan tersebut probabilitas perilaku baru
ini adalah nol. Pada pembelajaran ini terdapat pula yang disebut pemodelan
kognitif yaitu menggabungkan antara penjelasan dan keterampilan yang
dicontohkan dengan verbalisasi pemikiran dan alasan model melakukan
tindakan.

F. Menangani Kasus Kecurangan Akademik


Penanganan kasus kecurangan akademik oleh pihak universitas dapat
berdampak efektif jika dilaksanakan secara konsisten. Jones (2001) memaparkan
panduan dalam menangani kecurangan akademik di universitas:
a. Be Proactive : Membuat hukuman yang jelas untuk setiap tindak kecurangan
akademik pada silabus mata kuliah. Terapkan hukuman tersebut untuk setiap
pelanggaran sejenis walaupun sekecil apapun. Contohnya: Setiap mahasiswa
yang mencontek pada saat ujian mata kuliah “A” tidak akan lulus dari mata
kuliah tersebut.
b. Be Informed : Sebelum menjatuhkan hukuman pada mahasiswa, lakukan
penyelidikan secara menyeluruh dan informasikan kecurangan tersebut kepada
kepala departemen atau fakultas.
c. Memberi hukuman dengan adil : Terdapat beberapa pertimbangan sebelum
menjatuhkan hukuman, yakni kesesuaian antara hukuman dan pelanggaran,
menyelidiki mahasiswa atau orang lain yang juga terlibat, merinci kasus bersama
dengan dokumen pendukung, dan menginformasikan dengan baik kepada pihak
yang terlibat ketika keputusan sudah ditetapkan.

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 9
G. Etika dalam Bidang Kesehatan
Etika profesi dalam bidang kesehatan memiliki 4 prinsip umum, yakni
beneficience, nonmaleficience, respect for patient autonomy, dan justice.

Beneficience adalah kewajiban untuk mempromosikan kebaikan-kebaikan dan


melakukan tindakan yang terbaik bagi pasien dan kesehatan masyarakat
(Synder, 2012).

Nonmaleficience adalah kewajiban untuk tidak membahayakan pasien.


Nonmalficience dan benfeicience sering dituliskan secara berdampingan, yakni
seorang ahli dalam bidang kesehatan memiliki kewajiban moral untuk
memberikan manfaat bersih bagi pasien dengan resiko atau kerugian yang
minimal. Dengan kata lain, seorang ahli dalam bidang kesehatan memiliki
kewajiban untuk melakukan tindakan kebaikan yang bersifat tidak
mencelakakan (Gillon, 1994).

Respect for autonomy adalah kewajiban untuk melindungi dan mendorong


kebebasan bagi pasien, atau tidak memberikan pilihan yang bersifat memaksa
(Synder, 2012). Dalam bidang kesehatan, menghormati otonomi orang lain
merupakan keharusan yang harus dijalankan antara lain, yakni memberikan
informasi kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan, meminta
persetujuan dari pasien atau pihak dari pasien yang akan diberi tindakan, dan
menjaga kerahasiaan dari kondisi medis yang dialami pasien (Gillon, 1994).

Justice : kewajiban untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui


pemerataan kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Synder, 2012).

Etika bukan hanya tentang knowing, tetapi juga doing dan being. Etika tidak
hanya mencakup kesadaran mengenai peraturan yang berlaku, tetapi juga harus
disertai pengartian nilai-nilai kebajikan yang sesuai dengan pekerjaan yang
dilakukan (Eriksson, Hedgesson, & Hoglund, 2007).

Kaidah Dasar Bioetik


1. Beneficience
 Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk
kepentingan orang lain)
 Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
 Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan
dokter

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 10
 Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan
dengan keburukannya
 Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang
Paternalisme adalah hubungan selayaknya hubungan ayah dan anak, dimana
anak (pasien) akan patuh terhadap instruksi dan usulan dari ayah (dokter).
Paternalisme harus dilakukan seorang dokter dengan kasih sayang dan
bertanggung jawab, dan tidak dilakukan dengan semena-mena.
Paternalisme secara sengaja mengesampingkan keputusan orang lain dengan
tujuan menjauhkan orang tersebut dari bahaya. Hanya dibenarkan apabila:
a. Pasien dalam keadaan bahaya, namun bahaya dapat dicegah.
b. Bahaya dapat dicegah dengan paternalistik.
c. Keuntungan pasien dari tindakan paternalistik lebih besar daripada
resikonya.
 Menjamin kehidupan-baik-minimal manusia
 Pembatasan goal-based
Goal based adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan tujuan, apapun
dilakukan demi tercapainya tujuan, pembatasan dilakukan karena perilaku
goal based tidak melihat benar dan salah serta dapat melanggar etika hukum
kesehatan.
Example.
 Apoteker memberikan antibiotik sesuai dengan resep dokter
 Dokter tidak memberikan obat
 Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
Penilaian pasien terhadap pelayanan kesehatan.
 Minimalisasi akibat buruk
 Kewajiban menolong pasien gawat-darurat
 Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
 Tidak menarik honorarium di luar kepantasan
 Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
 Mengembangkan profesi secara terus-menerus
 Memberikan obat berkhasiat namun murah
 Menerapkan Golden Rule Principle
Golden Rule Principle adalah memperlakukan orang seperti kita ingin
diperlakukan dan tidak memperlakukan orang sebagaimana kita tidak mau
diperlakukan. Kriteria ini sejalan dengan sikap empati (ikut merasakan apa
yang pihak lain rasakan).
2. Nonmaleficience
 Menolong pasien emergensi
 Kondisi untuk menggambarkan kriteria ini adalah:

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 11
- Pasien dalam keadaan amat berbahaya (darurat)/beresiko hilangnya
suatu yang penting (gawat)
- Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
- Tindakan kedokteran terbukti efektif
- Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami resiko minimal)
 Mengobati pasien yang luka
 Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)
 Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien
 Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
 Mengobati secara proporsional
 Mencegah pasien dari bahaya
 Menghindari misrepresentasi dari pasien
Misrepresentasi adalah salah paham yang akan menimbulkan prespektif yang
berbeda antara dua pasien dan cara bersikap yang berbeda sehingga
menimbulkan kemungkinan kerugian.
 Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian
 Memberikan semangat hidup
 Melindungi pasien dari serangan
 Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/kerumah-
sakitan yang merugikan pihak pasien/keluarganya
White collar crime adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum
yang berlaku dilakukan oleh pihak profesional (dalam hal ini dokter)

3. Autonomy
 Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
 Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi
efektif)
 Berterus terang
 Menghargai privasi
 Menjaga rahasia pasien
 Menghargai rasionalitas pasien
 Melaksanakan informed consent
Informed consent adalah tindakan medis pada pasien setelah mendapat
informasi yang jelas dan memahaminya lalu disetujui oleh pasien.
 Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
 Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
 Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan,
termasuk keluarga pasien sendiri

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 12
 Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien dalam kasus
emergensi
 Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien
4. Justice
 Memberlakukan segala sesuatu secara universal
 Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah dilakukan
 Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
 Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility,
availability, quality)
Affordability: secara ekonomis dapat terjangkau oleh masyarakat dari
berbagai kalangan
Equality: bersikap adil terhadap semua pasien yang dilayani
Accessibility: lokasi fasilitas kesehatan dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat
Availability: tersedianya fasilitas kesehatan yang baik dan cukup
Quality: baik fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan harus memiliki kualitas
yang baik
 Menghargai hak hukum pasien
 Menghargai hak orang lain
 Menjaga kelompok yang rentan (yang paling dirugikan)
 Tidak melakukan penyalahgunaan
 Bijak dalam makro alokasi
Dana pengalokasian yang akan disalurkan ke bidang kesehatan lebih banyak
dibandingkan kebutuhan lain seperti pendidikan, pertahanan.
 Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien
 Meminta partisipasi pasien sesuai dengan kemampuannya
 Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
 Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
 Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat
 Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
 Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status sosial, dll]

PPT Prof. Dr.Frieda Mangunsong, M.Ed, Psi; dr. Ade Firmansyah Page 13

Anda mungkin juga menyukai