Anda di halaman 1dari 30

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Gempa Bumi
1. Pengertian gempa bumi
Gempa bumi adalah peristiwa alam di mana terjadi getaran pada
permukaan bumi akibat adanya pelepasan energi secara tiba-tiba dari
pusat gempa yang berada di dalam bumi (Hipocenter). Energi yang
dilepaskan merambat melalui tanah berbentuk gelombang getaran.
Getaran yang kita rasakan disebut gempa bumi [CITATION Nug16 \l 1033 ].
Secara ilmu fisika, gempa bumi merupakan gelombang yang
merambat seperti gelombang air, yang bergerak ke segala arah dari pusat
gempa. Pergeseran arah vertikal yang disebabkan oleh gelombang
disebut amplitudo, jarak antar gelombang disebut panjang gelombang,
waktu antar dua gelombang disebut periode, dan jumlah gelombang yang
melintasi suatu titik. Gelombang seismik adalah gelombang yang
merambat dikarenakan adanya gempa bumi, sumber gelombang bisa
berupa tumbukan atau pun ledakan. Terdapat jenis-jenis gelombang
diantaranya gelombang badan dan gelombang permukaan.

Gambar 1. Bagan Pembagian Jenis-Jenis Gelombang


Sumber:
Berikut penjabaran mengenai jenis-jenis gelombang diatas yaitu:
a. Gelombang Badan (Body Waves)
Gelombang badan (body waves) adalah gelombang yang bergerak
langsung dari hipocenter ke titik observasi dan merambat melalui
seluruh tubuh planet. Gelombang badan ini lebih cepat merambat ke
titik observasi.
1) Gelombang Primer
Gelombang primer adalah gelombang yang paling cepat
merambat dengan cara merenggang dan menekan material yang
dilewati baik pada benda padat, cair dan gas. Kecepatan
gelombang berdasarkan jenis densitas dan kompresibilitas benda
yang di lewati.
2) Gelombang Sekunder
Gelombang sekunder merupakan gelombang dengan
kecepatan di bawah gelombang primer. Pergerakan gelombang
sekunder ini adalah pergerakan vertikal dan horizontal, sehingga
hanya bisa merambat pada material padat dan gelombang ini juga
memiliki kemampuan lebih untuk merusak bangunan.

Gambar 2. Perbedaan Gelombang Body Wave dan Surface Wave


Sumber:
b. Gelombang Permukaan (Surface Waves)
Gelombang surface adalah gelombang yang merambat pada
permukaan bumi. Gelombang yang bergerak pada permukaan bumi
memiliki 2 jenis yaitu gelombang Love dan Rayleight. Gelombang ini
merupakan gelombang panjang dimana gelombang yang bergerak
lama untuk menyelesaikan satu siklus gelombang. Gelombang Love
bergerak seperti gelombang sekunder tetapi hanya bergeser horizontal
saja. Gelombang Rayleight bergerak dalam bentuk putaran elips ke
arah belakang sehingga mampu menyebabkan gerakan horizontal dan
vertikal.

Gambar 3. Jenis-Jenis Gelombang Seismik dan Cara Rambatnya


Sumber:

2. Parameter Gempa Bumi


Menurut Natawidjaja (1995), parameter gempa bumi merupakan
hasil dari proses pengumpulan pengolahan dan analisis informasi seismik
dari peristiwa gempa bumi.
Parameter gempa bumi adalah sebagai berikut:
a. Waktu Terjadinya Gempa Bumi (Origin Time - OT)
Waktu kejadian gempa bumi atau origin time merupakan waktu
terlepasnya tegangan (stress). Stress akan dilepaskan dalam bentuk
penjalaran gelombang gempa bumi. Waktu dinyatakan dalam tahun,
bulan, tanggal, jam, menit dan detik dalam satuan Universal Time
Coordinated (UTC).
b. Lokasi Pusat Gempa Bumi (Epicenter)
Epicenter adalah pusat dipermukaan bumi yang merupakan
refleksi tegak lurus dari hipocenter gempa bumi. Lokasi epicenter
dibuat dalam sistem koordinat kartesian bola atau sistem koordinat
geografis. Lokasi epicenter dinyatakan dalam derajat lintang dan
bujur.
c. Kedalaman Pusat Gempa Bumi (Depth)
Kedalaman sumber gempa bumi merupakan jarak hipocenter
dihitung tegak lurus dari permukaan bumi. Kedalaman sumber gempa
bumi dinyatakan dalam satuan kilometer (km).
d. Kekuatan Gempa Bumi (Magnitudo)
Kekuatan gempa bumi atau magnitudo gempa adalah ukuran
kekuatan gempa bumi, seberapa kuat energi yang dilepaskan oleh
sumber gempa. Banyak teori yang membahas tentang kekuatan
gempa, magnitudo pertama kali ditemukan oleh Richter pada tahun
1935.
1) Magnitudo Lokal
Charles F. Richter mengembangkan sebuah skala logaritmik
basis 10 dalam memperhitugkan kekuatan gempa, perhitungan ini
berdasarkan kepada amplitudo maksimum yang terukur pada
seismograf serta jarak epicenter. Faktor dari perhitungan ini
adalah penggunaan seismograf standar, penggunaan skala
logaritmik, dan pemilihan gelombang gempa yang nilai
amplitudonya merupakan fungsi dari jarak (Kayal, 2008).
Perhitungan Charles F. Richter banyak disempurnakan oleh
banyak ahli, dan persamaan yang digunakan dan disetujui oleh
pusat seismologi internasional (IASPEI) pada tahun 2005 (De
Melo dan Anderson, 2017).
ML=log ( A ) +1,11 log ( r ) +0,00189 r−2,09
2) Magnitudo Permukaan (Ms)
Magnitudo permukaan digunakan pada gempa bumi dangkal
dan jarak epicenter yang jauh dari titik observasi. Perhitungan ini
memiliki pendekatan dengan gelombang Rayleight, untuk
amplitudo yang dihitung yaitu amplitudo maksimum 20 sekon hal
ini karena pada periode 20 sekon tersebut gelombang Rayleight
memiliki amplitudo maksimum. Berikut rumus magnitudo
permukaan yaitu:

Ms=log ( TA )+1.66 log ∆+3,3


3) Magnitudo Badan (Mb)
Magnitudo badan sama dengan magnitudo lokal, magnitudo
badan menggunakan sumber dari gelombang primer yang
menjalar melalui dalam bumi. Persamaan magnitudo badan
dituliskan sebagai berikut:

Mb=log ( TA )+ Q(∆ . h)
Nilai A adalah magnitudo maksimum, T adalah periode,
sedangkan Q merupakan fungsi dari jarak epicenter dan
kedalaman hipocenter. Pusat seismologi internasional (IASPEI)
menetapkan jarak ideal penggunaan Mb adalah 20o-100o.

B. Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung


1. Kategori Risiko Bangunan dan Faktor Keutamaan Gempa
Kategori risiko bangunan adalah klasifikasi bangunan terhadap
risiko jika terjadinya gempa pada bangunan. Kategori risiko bangunan
gempa ini berdasarkan fungsional bangunan untuk berbagai kategori
risiko struktur bangunan gedung dan non-gedung sesuai Tabel 1.
pengaruh gempa rencana terhadapnya dikalikan dengan suatu faktor
keutamaan gempa menurut Tabel 2.
Tabel 1. Katerogi Risiko Bangunan Gedung Dan Non-Gedung
Kategori
Jenis Pemanfaatan
Risiko
Gedung dan non-gedung yang memiliki risiko rendah
terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan,
termasuk, tapi tidak dibatasi untuk, antara lain:
- Fasilitas pertanian, perkebunan, perternakan, dan I
Faktor perikanan
- Fasilitas sementara
- Gudang penyimpanan
- Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk
dalam kategori risiko I, III, IV, termasuk, tapi tidak
dibatasi untuk:
- Perumahan
- Rumah toko dan rumah kantor II
- Pasar
- Gedung perkantoran
- Gedung apartemen/ rumah susun
- Pusat perbelanjaan/ mall
- Bangunan industri
- Fasilitas manufaktur
- Pabrik
Gedung dan non-gedung yang memiliki risiko tinggi
terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan,
termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
- Bioskop
- Gedung pertemuan
- Stadion
- Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan
unit gawat darurat
- Fasilitas penitipan anak
- Penjara
- Bangunan untuk orang jompo
Gedung dan non-gedung, tidak termasuk kedalam kategori
risiko IV, yang memiliki potensi untuk menyebabkan III
dampak ekonomi yang besar dan/atau gangguan massal
terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari bila terjadi
kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
- Pusat pembangkit listrik biasa
- Fasilitas penanganan air
- Fasilitas penanganan limbah
- Pusat telekomunikasi
keutamaan
(Sumber: SNI 1726-2019

Faktor keutamaan gempa adalah faktor pengali untuk


meningkatkan beban gempa berdasarkan kategori risiko gempa terhadap
bangunan. Manfaat dari faktor keutamaan gempa adalah sebagai
peningkatan perhitungan beban gempa.
Tabel 2. Faktor Keutamaan Gempa

Kategori Risiko Faktor Keutamaan Gempa (Ie)


I atau II 1,0
III 1,25
IV 1,50
Sumber : SNI 1726-2019

2. Klasifikasi Situs
Klasifikasi situs berguna dalam menentukan kriteria desain berupa
faktor-faktor amplifikasi pada bangunan. Kriteria desain seismik suatu
bangunan di rumuskan pada permukaan tanah untuk suatu situs, maka
situs tersebut harus diklasifikasi berdasarkan jenis tanah pada 30 m
paling atas dari permukaan tanah.
Menurut SNI 1726-2019 pasal 5 menjelaskan tentang prosedur
klasifiaksi situs untuk bangunan dengan kriteria desain seismik berupa
faktor amplifikasi pada bangunan. Perumusan kriteria desain seismik
suatu bangunan di permukaan tanah atau penentuan amplifikasi besaran
percepatan gempa puncak pada batuan dasar ke permukaan tanah untuk
suatu situs, maka hal tersebut harus diklarifikasi terlebih dahulu. Profil
tanah disitus harus diklarifikasi sesuai degan Tabel 3. berdasarkan profil
tanah lapisan 30 m paling atas jika tidak ditemukan data tanah yang
spesifik, maka penentuan tanah harus melalui penyelidikan laboratorium
yang dilakukan oleh seorang ahli geoteknik dengan percobaan 3
parameter tanah yang tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Situs

Kelas Situs vs (m/detik) N atau Nch su (kPa)


 SA (batuan keras) >1500 N/A N/A
 SB (batuan) 750 sampai N/A N/A
1500
 SC (tanah keras, 350 sampai 750 >50  100
sangat padat dan
batuan lunak)
 SD (tanah sedang) 175 sampai 350 15 smpai 50 sampai100
50
 SE (tanah lunak) < 175 < 15 < 50
  Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih
dari 3 m tanah dengan karateristik sebagai
berikut :
1. Indeks plastisitas, PI  20 ,
2. Kadar air, w  40% ,
3. Kuat geser niralir su  25 kPa
 SF (tanah khusus, Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah
yang membutuhkan satu atau lebih dari karakteristik berikut:
investigasi - Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh
geoteknik spesifik akibat beban gempa seperti mudah likuifaksi,
dan analisis respons lempung sangat sensitif, tanah tersementasi
spesifik situs yang lemah
mengikuti 0) - Lempung sangat organik dan/atau gambut
(ketebalan H > 3 m)
- Lempung berplastisitas sangat tinggi
(ketebalan H > 7,5 m dengan indeks
plasitisitas PI  75 )
- Lapisan lempung lunak/setengah teguh
dengan ketebalan H > 35 m dengan su  50
kPa 
Sumber: SNI 1726-2019
3. Menentukan Parameter Percepatan Gempa (Ss, S1) dan Parameter
Percepatan Terpetakan
Penetapan percepatan batuan dasar pada periode pendek (Ss) dan
percepatan batuan dasar pada periode 1 detik (S1) ditetapkan masing-
masing dari respons spektral percepatan 0.2 detik dan 1 detik dalam peta
gerak tanah seismik dengan kemungkinan 2 % terlampaui 50 tahun
(MCEr 2% dalam 50 tahun) dinyatakan dalam bilangan desimal terhadap
percepatan gravitasi.

Gambar 3. Peta Parameter Gerak Tana Ss, Gempa Maksimum yang


Dipertimbangkan Risiko Tertarget (Mcer) Wilayah Kota Padang untuk
Respons Spektrum 0.2 Dektik
Sumber : SNI 1726-2019
Gambar 4. Parameter Gerak Tanah, S1, Gempa Maksimum yang
Dipertimbangkan Risiko-Tertarget (MCER) Wilayah Indonesia untuk
Spektrum Respons 0,2
Sumber : SNI 1726-2019
4. Menentukan Koefesien Situs dan Parameter-Parameter Respons
Spektra Tambahkan Sumber SNI Percepatan Gempa Maksimum
yang Dipertimbangkan Risiko Target (Mcer)
Menentukan respons spektrum percepatan gempa di permukaan
tanah diperlukan amplikasi seismik pada periode 0.2 detik dan periode 1
detik. Faktor amplifikasi adalah faktor getaran percepatan gempa pada
periode pendek (Fa) dan faktor amplikasi terkait percepatan yang
mewakili getaran periode 1 detik (Fv). Perumusan parameter respons
spektral pada percepatan periode pendek (SMs) dan peride 1 detik (SM1)
sebagai berikut:
SMS = Fa . Ss (1)
SM1 = Fv . S1 (2)
Keterangan :
Ss = Parameter respons spectral percepatan gempa MCER terpetakan
untuk periode pendek.
S1 = Parameter respons spectral percepatan gempa MCER terpetakan
untuk periode 1,0 detik.
Tabel 4. Tabel Koefisien, Fa
Parameter Respons Spektral Percepatan Gempa
Kelas Maksimum Yang Dipertimbangkan Risiko-Tetarget
Situs (MCER) Terpetakan Pada Periode Pendek, T = 0,2 Detik,
Ss
  Ss ≤ 0,25 Ss = 0,5 Ss = 0,75 Ss = 1,0 Ss = 1,25  Ss ≥ 1,5
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9
SC 1,3 1,3 1,2 1,2 1,2 1,2
SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0 1,0
SE 2,4 1,7 1,3 1,1 0,9 0,8
(a)
SF Ss
Sumber: SNI 1726-2019

Tabel 5. Koefisien Situs, Fv


Parameter Respons Spektral Percepatan Gempa
Kelas
Maksimum Yang Dipertimbangkan Risiko-Tetarget
Situs
(MCER) Terpetakan Pada Periode 1 Detik, S1
  S1 ≤ 0,1 S1 = 0,2 S1 = 0,3 S1 = 0,4 S1 = 0,5 S1 ≥ 0,6
SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SB 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
SC 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,2
SD 2,4 2,2 2,0 1,9 1,8 1,7
SE 4,2 3,3 2,8 2,4 2,2 2,0
(a)
SF Ss
Sumber: SNI 1726-2019
Percepatan spektral desain untuk periode pendek (SDs) dan
periode 1 detik ditentukan oleh rumus:
SDS = 2/3 SMS (3)
SD1 = 2/3 SM1 (4)

5. Menentukan Spektrum Respons Desain


Jika respons spektrum desain diperlukan oleh tata cara ini dan
prosedur gerak tanah dari spesifik tidak digunakan, maka kurva spektrum
dapat ditentukan dari cara dibawah ini yaitu:
a. Untuk periode yang lebih kecil dari T0, spektrum respons percepatan
desain, Sa harus diambil dari persamaan:
T
Sa = SDS (0,4 +0,6 ) (5)
T0
b. Untuk periode lebih besar dari atau sama dengan T0 dan lebih kecil
dari atau sama dengan Ts, spektrum respons percepatan desain, Sa
sama dengan SDS.
c. Untuk periode lebih besar dari Ts tetapi lebih kecil dari atau sama
dengan TL, respons spektral percepatan desain, Sa diambil
berdasarkan persamaan:
Sa = SD1 / T (6)
d. Untuk periode lebih besar dari TL, respons spektral percepatan
desain, Sa, diambil berdasarkan persamaan:
Sa = (SD1. TL )/ T2 (7)
Keterangan:
SDS = parameter respons spektral percepatan desain pada
periode pendek
SD1 = parameter respons spektral percepatan desain pada
periode 1 detik
T = periode getar fundamental struktur
SD 1
T 0=0.2
SDs
SD1
Ts=
SDs
TL = pada transisi periode panjang yang ditunjukan pada
Gambar 5.
Gambar 5. Desain Respon Spektrum
Sumber : SNI 1726-2019

6. Menentukan Kategori Desain Seismik (S-D)


Kategori desain seismik dapat menggambarkan tingkat risiko
kegempaan sebagai dasar untuk pemilihan desain struktur [ CITATION
sap18 \l 1033 ]. SNI 1726-2019 menyatakan kategori desain seismik
dibagi berdasarkan Tabel 6. dan Tabel 7.
Tabel 6. Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respons
Percepatan Pada Periode Pendek

Kategori Risiko
Nilai SDS
I atau II atau III IV
SDS 0,167 A A
0,167 ≤ SDS < 0,33 B C
0,33 ≤ SDS < 0,50 C D
0,50 ≤ SDS D D
Sumber: SNI 1726-2019
Tabel 7. Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respons
Percepatan Pada Periode 1 Detik
Kategori Risiko
Nilai SD1
I atau II atau III IV
SD1 0,067 A A
0,067 ≤ SD1 < 0,133 B C
0,133 ≤ SD1 < 0,20 C D
0,20 ≤ SD1 D D
Sumber: SNI 1726-2019

7. Pemilihan Sistem Struktur dan Parameter Sistem


Sistem penahan gempa lateral dan vertikal harus memenuhi salah
satu tipe sistem penahan yang ditunjukan dalam Tabel 8. Pembagian tipe
penahan gaya seismik berdasarkan pada elemen vertikal pada yang
digunakan pada bangunan sebagai penahan gaya gempa lateral. Sistem
harus sesuai dengan batasan sistem struktur dan batasan ketinggian
struktur yang ditunjukan pada Tabel 8.
Setiap penahan gaya seismik yang dipilih harus di rancang dan
didetailkan sesuai dengan persyaratan khusus bagi sistem tersebut yang
ditetapkan dalam dokumen acuan kerja yang berlaku.

Tabel 8. Faktor R, Cd, Dan untuk Sistem Pemikul Gaya Seismik


Batasan System Dan
Sistem Koefisien Faktor Faktor
Tinggi Struktur Hn
Penaha Modifikas Kuat Pembesaran
(M)C
n Gaya i Respons, Lebih Defleksi,
Kategori Desain
Seismik R System, Ω0 Cd
B C De Ee Ff
Sistem Rangka Pemikul Momen 
 T T
 SRPMK  8  3  5 ½ B TB B TB TB
 T
 SRPMM  5  3  4 ½ B TB TI TI TI
Sumber: SNI 1726-2019
Keterangan:
TB = Tidak dibatasi
TI = Tidak diijinkan

C. Sistem Pembebanan
1. Beban Vertikal
a. Beban Mati
Beban mati adalah beban dari semua bagian suatu gedung yang
bersifat tetap dan termasuk semua unsur tambahan elemen-elemen
pelengkap bersifat tetap. Contoh berat sendiri bahan bangunan dan
komponen gedung berdasarkan peraturan pembebebanan Indonesia
untuk gedung (PPPURG 1987).
1) Baja = 7850 kg/m3
2) Beton bertulang = 2400 kg/m3
b. Beban Hidup
Beban hidup merupakan beban akibat penghunian atau
penggunaan suatu gedung, beban-beban yang bisa bergerak dan
peralatan yang tidak bagian tidak terpisahkan dari gedung. Beban
hidup terdistribusai merata menurut SNI 1727-2013. Pada bangunan
pasar raya digunakan beban grosir (disemua lantai) sebesar 6 KN/m2.

Tabel 9. Beban Hidup Bangunan


Hunian Atau Penggunaan Merata Terpusat
Psf(KN/M2) Lb(KN)
Sistem Lantai akses
Ruang Kantor 50 (2.4) 2000(8.9)
Ruang komputer 100 (4.97) 2000(8.9)
Toko
Lantai pertama 100(4.9) 1000 (4.45
Lantai diatasnya 75(3.59) 1000(4.45)
Grosir(disemua lantai ) 125(6) 1000(4.45)
Sumber: SNI-1727-2020
c. Beban Mati Tambahan
Beban mati tambahan merupakan beban yang bersifat tetap akan
tetapi bisa juga tidak ada, contohnya seperti:
1) Spesi per cm tebal = 21 kg/m2
2) Keramik per meter = 24 kg/m2
3) Langit-langit = 11kg/m2
4) Dinding setengah batu per meter m2 = 250 lg/m2
5) Penggantung = 7 kg/m2
d. Beban Hujan
Beban yang terjadi pada bagian atas bangunan. Sesuai dengan
peraturan pembebana minimum adalah 20 kg/m2 berdasarkan
PPURG 1989.

2. Beban Horizontal
a. Beban Angin
Beban angin merupakan beban yang berkerja pada gedung atau
bagian bangunan yang di sebabkan selisih tekanan udara. Beban
angin ditetapkan menggunakan adanya tekanan positif dan tekanan
negatif yang tegak lurus pada bidang-bidang ditinjau.
Menurut SNI 1727-2013 menyatakan tekanan angin SPBU
(sistem penahan beban aingin utama) adalah dengan melalui
beberapa langkah yaitu:
1) Menentukan kategori risiko bangunan gedung atau struktur lain
2) Menentukan kecepatan angin dasar (v) m/s
3) Menentukan parameter beban angin berupa arah angin, kategori
eksposur, topografi, efek tiupan angin, klasifikasi tutupan,
koefesien tekanan internal
4) Menentukan koefesien eksposur tekanan velositas
5) Menentukan tekanan velositas q atau qh (n/m2)
6) Menentukan koefesien tekanan eksternal cp, cn
b. Beban Gempa
Beban gempa adalah beban yang bekerja pada gedung yang
menurukan pengaruh dari getaran tanah akibat gempa. Pada analisa
beban gempa memiliki beberapa metode yaitu linear dan non-linear.
Metode linear terdiri dari respons spektrum dan pushover, sedangkan
metode non-linear respons spektrum dan time historis.
D. Kriteria Bangunan Aman Gempa
Bangunan tahan gempa harus tahan terhadap gempa kecil tanpa
mengalami kerusakan, tahan terhadap gempa sedang walaupun terjadi
kerusakan hanya pada bagian non-struktur, tahan terhadap gempa besar tanpa
runtuh walaupun terjadi kerusakan pada bagian struktur dan bagian non-
struktur [ CITATION IrK84 \l 1033 ].
Bangunan gedung tahan gempa sebaiknya denahnya berbentuk
sederhana beraturan tidak memilki tonjolan vertikal yang berlebihan,
bangunan yang tidak beraturan pada daerah rawan gempa dikhawatirkan
mengalami kerusakan cukup fatal pada bagian tertentu [ CITATION Faj15 \l 1033
].

Bangunan yang beraturan menurut SNI 1726-2002 adalah sebagai


berikut:
1. Tinggi struktur gedung tidak lebih dari 40 m atau 10 tingkat.
2. Denah struktur persegi panjang atau tidak lebih dari 25% dari ukuran
terbesar panjang bangunan.
3. Coakan sudut tidak melebihi 15% dari ukuran denah gedung dalam arah
sisi coakan tersebut.

E. Dilatasi Bangunan
Dilatasi adalah pemisahan denah bangunan yang dikarenakan bangunan
tidak termasuk kepada bangunan yang simetris atau beraturan. Dilatasi pada
umumnya diterapkan pada sambungan atau pertemuan bangunan yang rendah
dengan yang tinggi atau dengan bangunan induk dan bangunan sayap serta
bangunan yang denahnya tidak simetris. Hal ini dikarenakan akumulasi gaya
yang sangat besar pada dimensi bangunan yang lebih besar dan akan
menyebabkan timbulnya retakan atau keruntuhan struktur. Bangunan yang
terlalu besar atau terlalu panjang perlunya dibagi menjadi beberapa bagian.
[ CITATION Sch98 \l 1033 ] prisip desain pada bangunan tahan gempa
adalah memastikan semua massa umum pada gedung dari lantai bawah
sampai lantai paling atas memiliki lokasi yang simetris satu sama lainya,
lokasi yang tidak simetris akan menimbulkan momen torsi terhadap bangunan
yang pada akhirnya dapat meruntukan bangunan bagian lain. Bentuk-bentuk
gedung yang dikehendaki sebagai desain bangunan aman gempa adalah
bangunan denah sederhana berbentuk lingkaran, bujur sangkar, bentuk bentuk
L, T, atau H biasanya bentuk denah yang sulit digunakan dalam bangunan
aman gempa.
Tujuan penggunaan dilatasi adalah antisipasi benturan yang terjadi pada
bangunan dan menyebabkan kerusakan pada bangunan saat terjadi gaya
vertikal maupun horizontal. Kerusakan biasanya terjadi pada pojok-pojok
bangunan, akibat terjadinya beban lateral maka beban bergetar sendiri-
sendiri. Perlunya pemisah bangunan dengan jarak yang telah diperhitugkan
agar tidak bertumbukan.
Gambar 6. Dilatasi pada Bangunan Asimetris
Sumber:
Dilatasi memiliki beberapa jenis yaitu dilatasi balok kantilever,
dilatasi menggunakan 2 kolom, dilatasi balok gerber, dilatasi balok gerber.
Berikut jenis -jenis dilatasi yaitu:
1. Dilatasi Menggunakan Balok Kantilever
Balok kantilever adalah balok yang hanya memiliki satu tumpuan.
Balok kantilever dapat digunakan sebagai sistem dilatasi dengan syarat
maksimal bentang dilatasi adalah 1/3 dari bentang balok induk dan
bentang balok di sekitar dilatasi juga diperkecil menjadi 2/3 dari balok
lainya.

Gambar 7. Dilatasi Menggunakan Balok Kantilever


Sumber:
2. Dilatasi dengan 2 Kolom
Bangunan yang memanjang biasanya di beri dilatasi dengan sistem 2
kolom, dengan adanya dilatasi maka jarak kolom akan menjadi pendek.
Gambar 8. Dilatasi dengan 2 Kolom
Sumber:
3. Dilatasi Balok Gerber
Sistem dilatasi balok gerber digunakan jika jarak antar kolom yang
direncanakan sama dengan jarak kolom lainya. Sistem ini juga memiliki
kelemahan yaitu jika adanya getaran ke arah horizontal maka berakibat
lepasnya balok gerber dan bisa jadi jatuh.

Gambar 9. Dilatasi Balok Gerber


Sumber:
4. Dilatasi dengan Konsol
Dengan sistem dilatasi ini jarak kolom dapat dipertahankan sama
dengan jarak antar kolom lainnya. Sistem ini biasanya digunakan pada
bangunan dengan material pabrikasi atau preecase.
Jarak yang digunakan pada dilatasi perlu diperhitungkan dengan
benar, jarak pemisah bangunan ini dapat diperhitungan dengan metode
pushover dan didapatkan displacement maksimum dari bangunan yang di
rencanakan.

Gambar 10. Dilatasi dengan Konsol


Sumber:
F. Kinerja Bangunan
1. Kriteria Bangunan
Perencanaan bangunan tahan gempa berbasis kinerja dimulai
dengan membuat model rencana bangunan dan mensimulasikan kinerja
teerhadap semua kejadian gempa. Setiap simulasi memberikan tingkat
kerusakan bangunan dan ketahanan bangunan sehingga dapat
memperkirakan ketahanan bangunan.
Perencanaan bangunan tahan gempa memerlukan standar dan
peraturan-perturan untuk menjamin keselamatan penghuninya terhadap
gempa yang terjadi dan juga meminimalisir kerusakan elemen-elemen
pada bangunan. Kriteria-kriteria bangunan tahan gempa menurut Applied
Tecnologi Council (ATC) 40 tahun 1996 ada 3 yaitu :
a. Immediiate Occupancy
Pada saat gempa terjadi, struktur mampu menahan gempa
sehingga tidak ada kerusakan pada bangunan baik elemen struktur
maupun non-struktur, sehingga bangunan pada kategori ini dapat
segera digunakan.
b. Life Safety
Pada saat terjadinya gempa struktur mampu menahan gempa,
mengakibatkan kerusakan pada elemen non-struktur. Bangunan ini
dapat digunakan jika mendapatkan perbaikan sedang.
c. Collaps Prevention
Struktur mengalami kerusakan pada saat gempa terjadi tetapi
bangunan tidak runtuh. Bangunan ini tidak dapat digunakan jika
tidak diperbaiki.

Gambar 11. Ilustrasi Keruntuhan Gedung


Sumber:
2. Displacement
The Applied Technologi Council (ATC) 40 tahun 1996
merekomendasikan batas perpindahan bagi struktur bangunan akibat
beban gempa. Konsep dasar performance mengacu pada analisa struktur
statik non-linear.
Tabel 10. Batasan Rasio Drift
Derajat Performace
Interstorey Drift Limit IO DC LS SS
Max Total drift 0.01 0.01-0.02 0.02 0.33 Vi/ Pi
Max Inelastic Drift 0.005 0.005-0.015 - -
Sumber: Rekayasa Gempa & Sistem Struktur Tahan Gempa

G. Analisa Linear Pushover


Analisa statik beban dorong adalah analisis non-linear yang
menganalisis pengaruh gempa rencana terhadap struktur bangunan yang
dianggap sebagai beban statik pada pusat massa masing-masing lantai.
Analisa ini memerlukan komputer program untuk dapat merealisasikannya
pada bangunan nyata. Beberapa program komputer komersil yang tersedia
adalah SAP2000, ETABS, GTStrudl dan Adina.
Analisa dengan memberikan beban dorong secara bertahap dan
diatambahkan tahap demi tahap sehingga perpindahan pada titik acuan
tercapai. Analisa pushover menghasilkan sebuah grafik yang menggambarkan
perpindahan titik dengan gaya yang diberikan. Pada proses pushover struktur
didoromg sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi di struktur
tersebut. Kurva memperlihatkan kondisi sebelum mencapai kondisi leleh dan
berperilaku non-linear.
Tujuan analisa pushover adalah memprediksi gaya maksimum dan
perpindahan yang terjadi pada bangunan dan mendapatkan informasi pada
bagian mana saja yang mengalami kritis. Mengidentifikasi bagian mana yang
harus mendapatkan perlakuan khusus pada struktur bangunan.
Analisa pushover dapat digunakan sebagai alat bantu perencana
bangunan tahan gempa jika memenuhi syarat berikut:
a. Hasil analisa pushover masih berupa suatu pendekatan, bagaimanapun
perilaku gempa yang sebenarnya adalah bersifat bolak-balik melalui
suatu siklus tertentu, sedangkan sifat pembebanan pada analisa pushover
adalah statik monotonik.
b. Pemilihan pola beban lateral yang digunakan dalam analisa adalah sangat
penting.
c. Untuk membuat model analisa non-linier akan lebih rumit dibanding
model analisa linier. Model tersebut harus memperhitungkan
karakteristik inelastik beban deformasi dari elemen-elemen yang penting
dan efek P-∆.
1. Tahapan Analisa Pushover
a. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan
struktur. Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser
dasar digunakan untuk menyusun kurva pushover.
b. Membuat kurva pushover berdasarkan berbagai macam pola
distribusi gaya lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari
gaya inersia, sehingga diharapkan deformasi yang terjadi hampir
sama atau mendekati deformasi yang terjadi akibat gempa. Hal ini
mengakibatkan sifat gempa menjadi tidak pasti, maka perlu dibuat
beberapa pola pembebanan lateral yang berbeda untuk mendapatkan
kondisi yang paling menentukan.
c. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target
perpindahan). Titik kontrol didorong sampai taraf perpindahan
tersebut, mencerminkan perpindahan maksimum yang diakibatkan
oleh intensitas gempa rencana yang telah ditentukan.
d. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada
pada target perpindahan merupakan hal utama dari perencanaan
barbasis kinerja. Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat
dianggap memuaskan jika memenuhi kriteria yang dari awal sudah
ditetapkan, baik terhadap persyaratan deformasi maupun kekuatan.
Pengevaluasian yang dilakukan adalah komponen maka jumlahnya
relatif sangat banyak, oleh karena itu proses ini sepenuhnya harus
dikerjakan oleh komputer (fasilitas pushover dan evaluasi kinerja
yang terdapat secara built-in pada program SAP2000, mengacu pada
FEMA-356). Pembahasan perencanaan berbasis kinerja banyak
mengacu pada dokumen FEMA.
2. Kurva Kapasitas
Kurva hasil dari statik pushover yang menunjukan hubungan
dengan antara gaya geser (base shear) dan perpindahan dari beban
lateral. Beban yang diberikan pada struktur akan mencapai kondisi
ultimit dan target peralihan yang diharapkan.

Gambar 12. Kurva Kapasitas


Sumber: Evaluasi Kinerja Seismik Struktur Dengan Pushover Analisis
Kurva kapasitas akan melihatkan kondisi linear sebelum mencapai
kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linear. Perubahan perilaku
struktur linear menjadi non-linear menurunnya kekakuan yang
diindikasikan dengan penurunan kemiringan kurva akibat sendi plastis
pada balok dan kolom.
3. Properti Sendi Plastis
Struktur gedung apabila menerima beban gempa pada tingkatan
atau kondisi tertentu akan terjadi sendi plastis (hinge) pada balok di
gedung tersebut. Sendi plastis merupakan bentuk ketidakmampuan
elemen struktur balok dan kolom menahan gaya dalam. Jika terjadi
keruntuhan maka yang runtuh adalah balok dahulu sebagaimana prinsip
banguunan gempa strong column weihg beam, dimana apabila kolom
yang hancur dahulu bangunan akan hancur.

Gambar 13. Kurva Sendi Plastis


Sumber : https://hesa.co.id/author/hesa/page/6/

Tabel 11. Properti Sendi Plastis

B Menujukan batas linear yang kemudian diikuti


terjadinya pelelehan pertama pada struktur.
IO Terjadinya kerusakan yang kecil atau tidak
berarti pada struktur, kekakuan struktur hampir
sama saat sebelum gempa terjadi.
LS Terjadi kerusakan mulai dari kerusakan kecil
sampai dengan tingkat sedang, kekakuan
berkurang tetapi masih mempunyai ambang
yang cukup besar terhadap keruntuhan.
CP Terjadi kerusakan yang parah pada struktur
sehingga kekuatan dan kekakuanya berkurang
banyak, kecelakaan akibat kejatuhan material.
C Batas maksimum gaya geser yang masih
ditahan gedung.
D Terjadinya degradasi kekuatan struktur yang
cukup besar,sehingga kondisi struktur tidak
stabil dan hampir collapse.
E Struktur sudah tidak mampu menahan gaya
geser dan hancur.
Sumber:

Daftar Pustaka
Ahmad, Ramli. 2016. Analisis Kinerja Seismik Struktur Beton Dengan Metode
Pushover Menggunakan Program SAP 200 V.14. Skripsi Mataram.
Fakltas Teknik. Jurusan Teknik sipil. Universitas Mataram. Padang
Agustiana, Ambar. 2016. Analisis Model Keruntuhan Bangunan Gedung C-DAST
II akibat gaya dengan menggunakan metode statik nonlinear. Skripsi
universitas jember. Jurusan teknik sipil universitas jember. Jember
ATC-40. 1996. Seismic Evaluation and Retrofit of Concrete Buildings, Volume 1.
California. Seismic Safety Commission State of California
Badan Standarisasi Nasional. 1989. SNI 1727;1989 Pedoman Perencanaan
Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung. Jakarta. Badan Standarisasi
nasional.
Badan Standarisasi Nasional. 2013. SNI 1727;2013 Pedoman Perencanaan
Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung. Jakarta. Badan Standarisasi
nasional.
Badan Standarisasi Nasional. 2019. SNI 1726;2012 tata cara perencanaan
ketahanan gempa untuk bangunan gedung dan non gedung. Jakarta.
Badan Standarisasi nasional.
El Husna, Annisa. 2017. Sistem Perkuatan Struktur Pada Bangunan
Shelter/Tempat Evaluasi Sementara (TES) Padang JL. Ulak Karang
Padang Utara Yang Tidak Kuat Terhadap Beban Tsunami. Skripsi
Unand. Fakltas Teknik. Jurusan Teknik sipil. Universitas Andalas.
Padang
FEMA-273. 1997. NEHRP Guidelines For The Seismic Rehabilitation Of
Buildings. Virginia. American Society of Civil Engineers.
Nasution, Amrinsyah. 2016. Rekayasa Gempa & Sistem Struktur Tahan Gempa.
Penerbit ITB. Bandung.
Nugroho, Fajar. 2015. Evaluasi Kinerja Bangunan Gedung Hotel A.N.S Dengan
Dilatasi (Model B2) di Daerah Rawan Gempa. Jurnal Momentum. Padang
Nugroho, Fajar. 2016. Evaluasi Kinerja Bangunan Gedung Berdasarkan SNI-1726-
2002 Dan Fema 356 di Daerah Rawan Gempa. Jurnal momentum vol 18 no
1. Padang
Prabowo, S. W. (2018). Evaluasi Pengaruh Kolom Dilatasi Terhadap Kinerja
Struktur Pada Gedung Berbentuk Linear Menggunakan Metode
Srpmm. Kurva S Jurnal Mahasiswa, 1(1), 673-690.
Lestari, Suci. 2019. Analisis Jarak Dilatasi Bangunan Ber – Layout L Dan
Perhitungan Penulangan Elemen Balok Dan Kolom Disekitar Dilatasi.
Skripsi Unand . padang .

Anda mungkin juga menyukai