Anda di halaman 1dari 33

Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur

II.1 Pendahuluan
Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai

temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya ( mantel dan inti bumi ), sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan, dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan. Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban jiwa serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh gagalnya bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat banyak untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar dan berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa. Oleh karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa bumi yang akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap bangunan-bangunan tersebut. Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 6 0 LU dan 110 LS, serta diantara 950 BT dan 1410 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang disebut triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo Australia (Gambar II.1). Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan lempeng Pasific di utara
Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

Irian dan Maluku Utara. Di sekitar lokasi pertemuan antara lempeng ini, akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi, sehingga energi yang terkumpul akan dilepaskan berupa gempa bumi. Pelepasan energi sesaat ini akan menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena percepatan gelombang seismik, tsunami, longsoran, dan liquefaction. Besarnya dampak gempa terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme sumber gempa, jenis tanah di lokasi bangunan, dan kualitas dari bangunan. Benturan tiga lempeng tektonik bumi yang terjadi di Indonesia membuat kawasan ini berpola tektonik yang sangat komplek. Oleh karena itu di Indonesia terdapat berbagai jalur rawan tektonik yang dapat menimbulkan gempa tektonik, dan sebagian besar bersifat merusak. Gempa bumi tektonik dapat digolongkan sebagai bencana alam geologi, karena bencana ini ditimbulkan oleh bencana alam dengan karakteristik yang spesifik yaitu terjadi secara cepat dan mendadak, tanpa dapat diramalkan terlebih dahulu intensitas besar dan arahnya, serta waktu kejadiannya. Pada akhir abad ke 20 ini sangat banyak gempa yang terjadi di Indonesia. Gempagempa yang terjadi ini umumnya menyebabkan bencana yang mengakibatkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Tidak kurang dari belasan gempa bumi besar telah melanda Indonesia, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude > M=6 pada Skala Richter, bahkan ada yang disertai dengan gelombang pasang (Tsunami) seperti gempa yang terjadi di Sumbawa, Flores, dan Banyuwangi. Kita tidak bisa melupakan gempa-gempa hebat yang terjadi di Bali (1976), Flores (1992), Halmahera (1994), Liwa (1994), Banyuwangi (1994), Kerinci (1995), Biak (1996), Pandeglang (1997,1999), Sukabumi (2000), Bengkulu (2000), Papua (2004), Bali (2004), dan Kepulauan Alor (2004). Beberapa gempa bahkan dirasakan dampaknya di Jakarta, sehingga mendorong kita semua untuk memperhatikan fenomena gempa lebih serius. Terjadinya gempa bumi di beberapa wilayah di Indonesia mengingatkan kita bahwa, kepulauan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana gempa. Distribusi gempa bumi besar yang bersifat merusak dengan magnitude M > 6 pada Skala Richter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1900 sampai dengan 1996, diperlihatkan pada Gambar II-2. Dari distribusi gempa besar yang pernah terjadi, terlihat bahwa kawasan Indonesia khususnya sebagian Sumatera dan Jawa, serta hampir seluruh wilayah Indonesia bagian timur yang meliputi kepulauan Bali, NTT, dan NTB adalah daerah yang rawan bencana gempa.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

110 mm / yr Lempeng Eurasia

Lempeng Pasifik

71 mm / yr

Lempeng Indo-Australia

Gambar II-1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia, Pasifik dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng tektonik merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis hitam dan segi tiga. Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun seismograf (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).

Lempeng Eurasia

Lempeng Pasifik

Lempeng Indo-Australia

Gambar II-2. Distribusi lokasi gempa bumi besar yang pernah terjadi tahun 1900 s/d 1996 dengan magnitude M > 6 pada Skala Richter (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

Kerusakan maupun kerugian yang diakibatkan bencana gempa cukup besar, baik dari kerusakan sarana dan prasarana, serta hancurnya banyak rumah penduduk di suatu wilayah permukiman. Lebih parah lagi adalah, sebagian besar dampak diakibat gempa adalah kerusakan dari bangunan rumah sederhana yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Sementara itu banyaknya korban jiwa maupun luka-luka akibat terjadinya gempa mengindikasikan kurangnya antisipasi dan kesiapsiagaan masyarakat akan terjadinya bencana gempa. Untuk itulah diperlukan upaya terpadu pengurangan dampak bencana gempa yang melibatkan seluruh potensi masyarakat. Untuk dapat mengurangi bencana yang diakibatkan oleh gempa, beberapa usaha yang dapat dilakukan manusia diantaranya adalah : Memahami tingkah laku alam, sehingga manusia dapat mengikuti keinginan alam, dengan demikian manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis dan selaras dengan alam. Mencoba untuk memperkirakan kapan suatu gempa tektonik atau gempa vulkanik akan terjadi. Usaha-usaha ini telah mendorong berkembangnya suatu disiplin ilmu yang dikenal dengan Peramalan Gempa ( Earthquake Prediction). Mencoba untuk mempelajari perilaku dari suatu struktur atau konstruksi bangunan jika diguncang gempa, dengan harapan akan dapat direncanakan dan dibangun struktur atau konstruksi bangunan yang tahan terhadap pengaruh gempa. Usaha ini telah mendorong lahirnya suatu disiplin ilmu yang disebut Rekayasa Gempa (Earthquake Engineering). Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Teknik Sipil. Indonesia merupakan kawasan rawan gempa tektonik, dengan intensitas kegempaan yang cukup besar. Dalam 50 tahun terakhir ini, tidak kurang dari belasan gempabumi besar telah melanda kawasan ini, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude gempa M=7 pada Skala Richter. Sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak dimanifestasikan pada sektor properti seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat dalam jumlah yang besar, pengaruh gempa dapat menambah kerawanan akan jatuhnya korban jiwa dan harta benda, bila perencanaan struktur bangunan terhadap gempa tidak ditangani dengan memadai.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

Gambar II-3. Kedalaman dan magnitude gempa di Indonesia, tahun 1991 s/d 2000 (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika ).

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

II.2 Konstruksi Engineered Dan Non-Engineerred


Rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa, agar kerugian material / harta benda dan jatuhnya korban jiwa dapat ditekan seminimal mungkin. Rekayasa struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Di Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan tahan gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku. Pada dasarnya, bangunan-bangunan yang ada dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan proses perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu Engineered Construction dan Non-Engineered Construction. Engineered Construction adalah bangunan yang

direncanakan berdasarkan perhitungan struktur, dan dilaksanakan atau dibangun di bawah pengawasan para Ahli Bangunan. Sebagai contoh dari Engineered Construction adalah

struktur bangunan gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, dan bendungan. Bangunan-bangunan ini pada umumnya menggunakan bahan-bahan dan sistem struktur yang modern, seperti beton bertulang dan baja. Non-Engineered Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan berdasarkan kebiasaan tradisional setempat, dan pelaksanaannya tidak dibantu Arsitek atau Ahli Bangunan, melainkan mengikuti cara-cara yang diperoleh dari hasil pengamatan tingkat laku bangunan sejenis yang mengalami gempa bumi di masa lalu. Non-Engineered Construction mencakup bangunan tradisional, bangunan tembokan (bata, batu, batako) yang memakai perkuatan (kolom dan balok praktis) maupun yang tidak memakai perkuatan, bangunan kayu dan bambu, bangunan beton bertulang sederhana, bangunan rangka baja sederhana. Bangunan Non-Engineered Construction dapat dibagi menjadi dua katergori. Yang termasuk kategori pertama adalah, bangunan yang dibangun menurut tradisi dan disesuaikan dengan budaya dan bahan bangunan yang tersedia di daerah tersebut. Bangunan yang termasuk kategori ini pada umumnya disebut bangunan tradisional. Bangunan tradisional pada umumnya mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap gempa. Pola permukiman manusia, cara-cara tradisional, serta bahan bangunan yang dipakai untuk bangunan tradisional pada suatu wilayah merupakan bukti dari keselerasan hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan dengan alam. Kearifan tradisional, pengalaman dan keahlian

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

yang berkembang selama berabad-abad, mampu menghasilkan karya bangunan tradisional yang tahan terhadap pengaruh gempa.

Gambar II-4. Bangunan tradisional dengan Arsitektur Bali. Sistem struktur bangunan tradisional ini terdiri dari saka (kolom) dan balok sunduk dengan penguat pasak. Struktur tradisional ini cukup kuat menahan gempa Karangasem 2 Januari 2004

Bangunan tradisional ini lambat laun hilang dan digantikan dengan bangunan NonEngineered Construction yang termasuk kategori kedua yaitu bangunan rumah tinggal sederhana atau bangunan komersial yang dibangun oleh pemilik bangunan atau tukangtukang setempat, tanpa mendapatkan bantuan dari Arsitek atau Ahli Bangunan. Bangunanbangunan tersebut terutama mencakup bangunan tembokan (bata, batu, batako) atau bangunan beton bertulang sederhana. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya dibangun dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang diperlukan agar memiliki ketahahan yang baik terhadap gempa. Bangunan Non-Engineered Construction kategori yang kedua ini merupakan bangunan yang paling banyak dibangun di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Di Indonesia bangunan-bangunan ini banyak dijumpai di daerah permukiman penduduk, baik yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Dari pengalaman gempa yang terjadi di Indonesia, kegagalan atau kehancuran struktur dari bangunan kategori kedua inilah yang sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda. Jumlah perbandingan masing-masing kategori bangunan agak berbeda untuk negaranegara maju, negara-negara sedang berkembang, dan negara-negara belum. Di Indonesia, Engineered Construction pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar, sedangkan NonEngineered Construction tersebar baik di kota-kota besar atau kecil, maupun di pedesaan.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

Meskipun berbeda dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, tapi kedua kategori bangunan ini sesungguhnya harus dapat berfungsi dengan baik pada saat terjadi gempa, aman bagi keselamatan jiwa dan harta benda, serta ekonomis dalam biaya pembangunannya. Batasan untuk mendapatkan fungsi tersebut dalam kaitannya dengan ketahanan bangunan terhadap pengaruh gempa bumi, biasanya dikaitkan dengan pertimbangan biaya dan risiko yang dapat diterima. Sejak beberapa tahun yang lalu, batasan atau kriteria desain untuk Engineered Construction didasarkan pada kriteria performance based design, karena orientasinya adalah penyelamatan korban jiwa dan juga harta benda, pada saat struktur bangunan digoncang gempa. Sedangkan pada Non-Engineered Construction orientasinya lebih dititik beratkan pada kriteria penyelamatan korban jiwa pada saat terjadi gempa.

II.3 Pelajaran Dari Kerusakan Bangunan Akibat Gempa


Setiap gempa bumi yang merusak selalu memberikan pelajaran baru untuk diteliti. Hal ini berlaku untuk bangunan Engineered Construction maupun Non-Engineered Construction. agar struktur bangunan mempunyai performance yang baik pada saat terjadi gempa. Suatu gempa dapat secara efektif mencari dan menemukan kelemahan-kelemahan suatu struktur bangunan. Kebanyakan kegagalan struktur hasil dari pengamatan kerusakan akibat gempa masa lampau, erat kaitannya dengan kekurangan-kekurangan pada bangunan yang didirikan, apakah itu disebabkan karena perencanaan yang tidak benar, kurangnya pengawasan, atau pelaksanaan yang tidak memadai. Penelitian kerusakan bangunan akibat gempa di masa lampau dan pengaruhnya pada berbagai macam struktur, dapat memberikan informasi yang jelas untuk peningkatan pengetahuan mengenai rekayasa struktur bangunan tahan gempa. Inspeksi lapangan terhadap bangunan yang rusak akibat gempa adalah cara yang paling efektif untuk memperoleh informasi tersebut. Ini terutama sekali benar untuk bangunan-bangunan Non-Engineered Construction, karena untuk bangunan ini perencanaan tahan gempanya kebanyakan hanya berdasarkan lampau. Untuk memperoleh informasi mengenai ragam kerusakan dari bangunan-bangunan pada saat terjadi gempa, di bawah ini diuraikan secara singkat 3 gempa besar yang pernah terjadi di wilayah Indonesia Timur selama tahun 2004, yaitu gempa Karangasem di Bali (Januari 2004), gempa Nabire di Papua (Februari 2004) , dan gempa Alor di NTT (Nopember 2004). Selain gempa-gempa yang terjadi di wilayah Indonesia Timur, sebagai
Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

performance bangunan yang terobservasi pada saat terjadi gempa dimasa

pelajaran akan ditinjau juga kerusakan-kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa Bengkulu. Gempa Bengkulu terjadi pada 4 Juni 2000, dan merupakan salah satu gempa besar dan merusak dengan kekuatan gempa utama ( main shock) M=7,9 pada Skala Richter (SR). Pusat gempa (epicenter) berada pada koordinat 4,70 LS dan 1020 BT, dengan kedalaman gempa 33 kilometer. Dari hasil catatan USGS (US Geological Survey National Earthquake Information Center), terjadi banyak gempa susulan berkekuatan di atas 5,6 SR. Hal seperti ini jarang terjadi di Indonesia. II.3.1 Gempa Karangasem-Bali ( Januari 2004 ) Jumat pagi, 2 Januari 2004 pukul 4.59.31.1 WITA sepanjang Kepulauan Bali-Lombok merasakan kerasnya guncangan gempa. Guncangan paling keras dirasakan hampir di seluruh daerah di kawasan Pulau Bali bagian timur dan Pulau Lombok bagian barat. Guncangan gempa dirasakan di Ampenan (IV-V MMI), Karangasem (V-VI MMI), dan Denpasar

(IV-V MMI). Kerugian akibat gempa di Karangasem tercatat puluhan orang luka-luka, ribuan bangunan termasuk tempat ibadah (pura dan masjid) retak dan roboh, bahkan di Lombok dilaporkan seorang meninggal dunia. Berdasarkan analisis Pusat Gempa Regional III, Balai Meteorologi dan Geofisika Wilayah III, pusat gempa berada pada koordinat 8,340 LS dan 15,870 BT, dengan kedalaman gempa 33 kilometer. Adapun magnitude atau besarnya energi yang terpancar dari pusat hiposentrumnya memiliki kekuatan 6,1 pada Skala Richter. Getaran yang terasa terjadi selama 10 detik dengan durasi catatan signal gempa selama 5 menit. Gempa yang terjadi memiliki tipe gempa utama yang diikuti dengan gempa susulan ( after shock). Karena pusat gempa berada di laut (Selat Lombok) kurang lebih 27 kilometer sebelah timur Kota Karangasem, maka tidak terjadi kerusakan dan korban jiwa yang lebih parah. Sebelumnya, pada 20 Oktober 1979 di Karangasem juga pernah terjadi gempa yang mengakibatkan 7 orang tewas, 34 orang luka parah, dan 250 orang luka ringan. II.3.2 Gempa Nabire ( Februari 2004 ) Gempa Nabire di wilayah Papua terjadi pada 6 Februari 2004. Jumat pagi pukul 04.05 WIT di daerah " leher burung " Papua diguncang gempa berkekuatan 6,9 pada Skala Richter, dengan intensitas hingga 6-7 Skala MMI, sehingga daerah tersebut porak-poranda. Lokasi kerusakan terparah terjadi di kota Nabire, yang merupakan kota terpadat penduduknya di wilayah tersebut. Data resmi dari pemerintah menyatakan bahwa 37 orang tewas, 110 luka

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

berat, dan 150 orang cedera. Kerugian fisik yang diakibatkan oleh gempa Nabire ini tidak kurang mencapai Rp 360 miliar, termasuk gedung DPRD Nabire yang baru saja diresmikan. Kerusakan lainnya yang terjadi akibat gempa adalah rusaknya bandara udara, 14 gedung sekolah, jembatan putus, jalan-jalan retak, dan puluhan bangunan serta sejumlah rumah penduduk. Untuk membangun gedung SD saja yang rusak akibat gempa diperlukan biaya sebesar Rp 58 miliar. Gempa di Nabire adalah gempa tektonik dengan tipe inland earthquake. Merupakan gempa yang sangat dangkal hiposenternya, yaitu 10 kilometer, pada posisi 3,360 LS - 135,50 BT. tidak jauh dari kota Nabire. II.3.3 Gempa Alor ( Nopember 2004 ) Gempa berkekuatan 6 pada Skala Richter mengguncang Kabupaten Alor pada tanggal 12 Nopember 2004. Kabupaten Alor berada di palung antara Flores dan Provinsi Maluku (37 km di timur Kota Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, NTT). Gempa mulai terasa pukul 6.30 hingga 10 WIT. Setelah sempat berhenti sebentar, gempa susulan terjadi hingga pukul 17.00 WIT, dengan Frekuensi terjadi gempa setiap 20 menit. Pusat gempa diperkirakan berada di Laut Banda. Gempa yang terjadi di Kepulauan Alor pada 12 Nopember 2004 ini lebih besar dari pada gempa sebelumnya yang pernah terjadi pada tahun 1991, yakni 5,4 SR. Akibat guncangan dahsyat ini, sejumlah fasilitas umum rusak berat. Transportasi ke pulau paling timur Flores putus total. Bandara Mali Alor tidak bisa didarati pesawat karena landasan retak-retak. Kawasan paling parah akibat guncangan gempa terletak di Kenari Lang, kelurahan Kalabahi Barat. Akibat gempa ini 27 orang meninggal dunia, 118 orang luka berat, dan 119 orang luka ringan. Sedangkan kerugian material berupa 4203 rumah penduduk rusak berat, 4863 rumah rusak ringan. Bangunan ibadah yang mengalami kerusakan berjumlah 16 buah rusak total, 143 buah rusak berat, dan 60 buah rusak ringan. Gedung perkantoran yang mengalami rusak ringan sebanyak 117, 153 rusak berat, dan 130 rusak total. Untuk gedung sekolah, 63 rusak total, 98 rusak berat, dan 75 rusak ringan. Kerusakan-kerusakan infrastruktur yang terjadi akibat gempa di Bengkulu (2000), di Karangasem, di Nabire, dan di Kepulauan Alor, dapat dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu kerusakan pada bangunan Non-Engineered Construction, kerusakan non-struktural pada bangunan rangka sederhana, kerusakan struktural pada bangunan Engineered Construction, dan kerusakan pada prasarana transportasi (jalan, jembatan, dermaga, pelabuhan udara). Sebagian besar bangunan-bangunan yang ada di Karangasem, di Nabire, maupun di Kepulauan Alor seperti rumah tinggal, sekolahan, instansi pemerintah, pukesmas, termasuk dalam kategori bangunan Non-Engineered Construction. Bangunan-bangunan ini pada

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

10

umumnya adalah bangunan tembokan satu atau dua lantai dengan dinding terbuat dari pasangan batu bata atau batako. Kerusakan-kerusakan pada bangunan tembokan yang terjadi akibat gempa Karangasem, gempa Nabire dan gempa Alor, pada umumnya sama dengan kerusakan bangunan akibat gempa yang terjadi di Bengkulu tahun 2000. Kerusakankerusakan tersebut adalah : Hancur atau rubuhnya dinding akibat beban gempa yang bekerja tegak lurus bidang dinding. Keretakan pada dinding, di tempat-tempat yang terdapat bukaan besar pada bangunan. Terpisahnya bagian dinding pada sudut-sudut bangunan atau pertemuan. Kehancuran pada pojok-pojok dinding bangunan. Retak-retak diagonal pada dinding bangunan yang terjadi pada siar-siar dan/atau unsur-unsur penyusun dinding. Rangka atap terlepas dari dudukannya Retak dan kegagalan pada sambungan atau pertemuan antara kolom dan balok Kerusakan bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan konstruksi yang buruk.

Gambar II-5. Kerusakan-kerusakan pada bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan konstruksi yang buruk (Gempa Nabire, Februari 2004)

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

11

Gambar II-6. Rangka atap terlepas dari dudukannya, karena tidak diangkur dengan baik (Gempa Bengkulu, Juni 2000)

Gambar II-7. Retak dan kegagalan pada sambungan pertemuan antara kolom dan balok Bengkulu, Juni 2000)

(Gempa

Gambar II-8. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas, karena adanya perbedaan kekakuan yang besar antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first story. (Gempa Bengkulu, Juni 2000).

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

12

Penyebab utama dari kerusakan-kerusakan di atas adalah karena pengerjaan bangunan yang tidak mengikuti persyaratan minimal dari detail konstruksi yang harus dipenuhi untuk bangunan di daerah rawan gempa. Sebagai contoh untuk hal ini adalah : tidak adanya unsurunsur perkuatan untuk bidang-bidang dinding yang luasnya 6m2 , detail penulangan yang tidak benar pada pertemuan antara unsur-unsur perkuatan, diameter dan total luas penampang tulangan yang dipasang terlalu kecil, serta jarak antar tulangan geser (sengkang) yang dipasang terlalu besar. Kerusakan akibat gempa dapat berupa kerusakan non-struktural atau kerusakan struktural. Kerusakan non-struktural adalah kerusakan pada elemen-elemen bangunan yang tidak difungsikan untuk menahan beban, dengan demikian kerusakan ini tidak mempengaruhi kekuatan struktur dari bangunan secara keseluruhan. Kerusakan non-struktural pada umumnya meliputi : Penutup atap (genteng) melorot dari dudukannya. Rangka plafond rusak atau plafond terlepas dari rangkanya. Dinding pengisi dan dinding faade rusak atau roboh karena dinding-dinding ini tidak diangkur pada elemen-elemen struktur penahan beban, atau dinding tidak diberi balok-balok dan kolom-kolom praktis. Kerusakan struktural adalah kerusakan yang terjadi pada elemen-elemen bangunan yang difungsikan untuk menahan beban, seperti balok-balok dan kolom-kolom utama dari struktur bangunan. Kerusakan dari elemen-elemen struktural dapat menyebabkan

berkurangnya kekuatan dari bangunan, atau bahkan dapat menyebabkan keruntuhan dari bangunan. Rusaknya kolom-kolom utama dari struktur bangunan, pada umumnya disebabkan oleh : Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas dan di bagian bawah kolom karena gaya geser terpusat akibat perbedaan kekakuan yang besar antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first storey. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar pada bagian kolom yang berada diantara 2 bukaan jendela. Kerusakan ini disebut short column effect. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

13

II.3.4 Gempa Kobe di Jepang ( Januari 1995) Peristiwa Gempa Kobe di Jepang pada tanggal 17 Januari 1995, telah memberikan pelajaran baru bagi kita, bahwa bukan saja jiwa manusia yang harus diamankan, tetapi juga harta benda. Kerugian finansial yang telah diderita Jepang oleh Gempa Kobe dengan

magnitude gempa M=7,2 pada Skala Richter yang terjadi hanya selama lebih kurang 20 detik, mencapai 140 milyar dollar AS atau sekitar 315 trilyun rupiah, telah sangat mengejutkan dunia karena begitu besarnya. Bila kita bandingkan dengan RAPBN 1995/1996 negara kita yang berjumlah 78,024 trilyun rupiah, maka kerugian finansial yang telah diderita Jepang oleh Gempa Kobe tersebut, adalah setara dengan empat kali RAPBN kita. Dapat

dibayangkan jika gempa seperti itu melanda negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tidak mustahil negara tersebut akan langsung bangkrut karenanya. Gempa Kobe yang terjadi pada jam 05:46 pagi waktu Jepang dengan lokasi epicenter 34,6 N dan 135,0E, yang dinamakan Gempa Kuat Hanshin, telah mengakibatkan korban meninggal lebih dari 5270 orang, 26.815 orang cedera, 60 orang hilang, dan 150.787 rumah hancur atau terbakar dalam wilayah seluas 150 hektar. Wilayah yang mengalami kerusakan berat meliputi daerah sepanjang 25 km. dan selebar 2 km. Gempa dahsyat ini ternyata juga telah meruntuhkan banyak bangunan gedung bertingkat serta jalan layang yang terbuat dari struktur baja, struktur beton dan struktur komposit, yang tentunya sudah diantisipasi dan direncanakan aman terhadap pengaruh gempa.

Gambar II-9. Bagian dari Jembatan-layang, highway Osaka-Kobe, yang terputus akibat terlepasnya balok jembatan dari pilar dan jatuh.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

14

Gambar II-10. Pilar jembatan jalan layang mengalami kerusakan akibat kombinasi antara gaya tekan dan geser.

Secara resmi Pemerintah Daerah Kobe telah mengumumkan bahwa 94.109 bangunan gedung di kota Kobe telah mengalami rusak berat, dimana 54.949 bangunan diantaranya hancur total, dan 31.783 mengalami rusak ringan. Musnahnya rumah tinggal mengakibatkan sekitar 300.000 orang kehilangan tempat tinggal. Gempa juga telah mengakibatkan pelabuhan besar kontainer Kobe mengalami hancur total dan tidak dapat berfungsi. Kota Kobe yang merupakan kota pelabuhan modern yang telah dibangun selama 130 tahun, ternyata hancur oleh gempa yang berlangsung hanya 20 detik.

Gambar II-11. Kerusakan pada lantai pelataran pelabuhan peti kemas akibat liquefaction

Jika hal ini tidak terjadi di Jepang, mungkin orang tidak akan begitu heran. Selama ini orang terlanjur menganggap bahwa Jepang adalah negeri yang sudah menguasai kiat untuk meredam gempa dengan menggunakan teknologinya yang maju.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

15

Penggunaan standar konstruksi nasional untuk struktur bangunan tahan gempa di Jepang, memberikan jaminan keamanan bahwa bangunan-bangunan di perkotaan mampu untuk menahan gempa hebat. Bahkan ketika Los Angeles di Amerika Serikat diguncang Gempa Kuat setahun sebelumnya, banyak ahli gempa dari Jepang dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa, kerusakan yang terjadi pada kawasan metropolis di California Selatan tersebut tidak akan terjadi di Jepang. Akan tetapi, ketika gempa datang mengguncang,

jaminan keamanan tadi terbukti hanya tinggal sebuah kata. Jalan layang, pelabuhan, lintasan jalur kereta api cepat dan kereta api lokal, serta beberapa gedung bertingkat yang konon telah dibangun atas dasar standar konstruksi nasional, ternyata tidak mampu meredam Gempa Kuat dengan magnitude M=7,2 pada Skala Richter. Tidak sedikit bagunan bertingkat tinggi yang runtuh sepenuhnya atau miring, termasuk gedung rumah sakit Kobe yang berlantai delapan. Di gedung rumah sakit Kobe ini puluhan pasien, dokter dan perawat tewas seketika.

Gambar II-12. Rumah Sakit Kobe runtuh akibat gempa berkekuatan M=7,2 pada Skala Richter

Di lokasi fasilitas LPG Higashi-Nada-Ku, sebuah tangki gas berkapasitas 20.000 ton mengalami kebocoran, sehingga 8.000 warga sekitarnya perlu dievakuasi. Jalur kereta api cepat shinkansen di Kobe yang direncanakan tahan terhadap gempa berkekuatan M=7,9 pada Skala Richter, ternyata rusak berat hanya dalam waktu 12 detik akibat pengaruh gempa yang berarah vertikal. Getaran gempa yang berarah vertikal lebih sulit diantisipasi pangaruhnya terhadap kekuatan struktur, dengan demikian gempa berarah vertikal lebih berbahaya pengaruhnya dibandingkan dengan gempa yang berarah horisontal yang dapat menimbulkan gerakan-gerakan menyamping pada struktur bangunan.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

16

Gambar II-13. Kerusakan pada fasilitas jalur kereta api cepat shinkansen di Kobe

Jaminan-jaminan keamanan seperti di atas, tentu bukan hanya diberikan di bidang konstruksi saja. Perusahaan Osaka Gas misalnya, juga telah menjamin bahwa bila guncangan gempa mencapai magnitude M=5 pada Skala Richter, gas akan berhenti secara otomatis dan oleh karenanya kecemasan masyarakat terhadap kebocoran gas, tidaklah diperlukan. Pernyataan dari perusahaan gas kaliber raksasa ini tentunya wajar untuk dipercaya oleh masyarakat. Tetapi ketika getaran gempa Kobe telah mencapai magnitude M=7,2 pada Skala Richter, banyak kalangan yang menyangsikan bahwa sungguhkah gas memang berhenti secara otomatis. Beberapa korban bahkan banyak yang meninggal bukan disebabkan karena tertimpa reruntuhan bangunan, melainkan karena mengisap gas yang berbahaya ini. Jalan layang, gedung bertingkat, pelabuhan, jalur kereta api serta pipa gas, bukanlah satu-satunya bangunan yang porak poranda akibat gempa kuat yang melanda Kobe. Gempa Kobe juga telah menghancurkan keyakinan dari masyarakat Jepang bahwa negeri itu mampu untuk menahan goncangan gempa yang hebat. Hal ini mungkin akan menyebabkan

diadakannya peninjauan secara radikal terhadap langkah-langkah untuk mengantisipasi pengaruh gempa. Masalah terpenting yang perlu dikaji kembali adalah standar -standar konstruksi bangunan, demikian pernyataan yang dikatakan oleh Prof. Isao Sakamoto dari Fakultas Teknik Universitas Tokyo. Gempa Kobe mengingatkan semua pihak, bahwa suatu wilayah yang dianggap tidak mempunyai risiko dilanda Gempa Kuat, belum tentu anggapan tersebut sepenuhnya benar. Meskipun dari data sejarah kegempaan selama 100 tahun atau lebih, menunjukkan tidak pernah terjadi gempa yang hebat, ada kemungkinan pada suatu saat dapat terjadi Gempa Kuat yang dapat menghancurkan wilayah yang luas serta menimbulkan kerugian harta dan jiwa dalam jumlah sangat besar. Kerusakan yang terjadi pada suatu kawasan padat penduduk atau

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

17

kota industri yang sudah dipenuhi bangunan-bangunan penting, akan sangat sulit dibangun kembali seperti semula. Seperti halnya dengan Gempa Kuat yang terjadi di Kobe yang tidak diduga sebelumnya, maka kejadian seperti ini dapat saja terjadi di mana saja termasuk Indonesia, khususnya di kota-kota besar yang banyak memiliki gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan layang. Di dalan standar gempa yang berlaku di Indonesia, Jakarta termasuk di dalam wilayah atau zona gempa 4 yang termasuk wilayah dengan pengaruh kegempaan sedang. Apakah ketentuan tersebut perlu ditinjau ulang ?. Sudahkah para ahli struktur dan ahli gempa di Indonesia memikirkan langkah-langkah pengamanan seperlunya untuk menghadapi kemungkinan seperti gempa yang terjadi di Kobe ?.

II.4 Risiko Gempa di Indonesia


Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia, maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh gempa. Aspek rekayasa gempa sangat perlu diterapkan pada rekayasa struktur, agar

bangunan mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh gempa. Penggunaan standar bangunan sangat penting untuk menjamin bahwa bangunan tersebut aman untuk dihuni. Penentuan tingkat risiko terjadinya gempa untuk suatu wilayah, secara analitis dimungkinkan, berkat sifat-sifat dari peristiwa gempa yang pernah terjadi sebelumnya, sebagaimana halnya pada beberapa bencana alam lainnya, seperti halnya banjir. Peristiwa terjadinya gempa dapat direpresentasikan dengan suatu model matematik dan teori probabilitas. Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah diartikan sebagai probabilitas atau kemungkinan terlampauinya respon pergerakan tanah yang maksimum pada wilayah tersebut, dalam suatu kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui sejarah kegempaan suatu daerah yang diperoleh dari pengamatan atau rekaman gempa yang pernah terjadi di masa lalu, tingkat risiko atau peluang terjadinya gempa pada suatu wilayah dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus-rumus matematika dan statistik. Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah atau zona, tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan frekuensi terjadinya gempa saja. Hal ini disebabkan karena tingkat risiko gempa diukur berdasarkan kerusakan struktur yang ada pada suatu lokasi, yang tidak hanya tergantung dari besarnya gempa, tetapi juga tergantung pada jarak pusat gempa (epicenter) dari lokasi yang ditinjau, serta kondisi tanah pada lokasi tersebut. Sebagai contoh, gempa kuat dengan magnitude M=7 pada Skala Richter dengan pusat gempa berjarak 300 km dari lokasi yang ditinjau, belum tentu menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

18

gempa dengan magnitude M=5 atau M=6 pada Skala Richter, tetapi dengan pusat gempa yang berjarak 50 km. dari lokasi yang ditinjau. Demikian pula halnya pengaruh beban gempa pada struktur bangunan yang terletak di atas tanah lunak dan di atas tanah keras, dapat juga berlainan. Konsep keamanan dari suatu struktur terhadap pengaruh gempa, harus dikaitkan dengan risiko atau peluang terjadinya (incidence risk) gempa tersebut selama umur rencana (design life time) dari struktur bangunan yang ditinjau. Karena gempa merupakan peristiwa probabilistik, maka gempa dengan kekuatan atau intensitas tertentu, mempunyai periode ulang (return period) yang tertentu pula. Dengan demikian, jika risiko terjadinya suatu gempa selama umur rencana bangunan sudah tertentu, maka periode ulang dari gempa tersebut sudah tertentu pula. Hubungan antara umur rencana bangunan, periode ulang gempa, dan risiko terjadinya gempa, berdasarkan teori probabilitas dapat dinyatakan dalam suatu persamaan matematika sebagai berikut : N RN = 1 1 1 TR x 100%

dimana :

RN TR N

= Risiko terjadinya gempa selama umur rencana (%) = Periode ulang terjadinya gempa (tahun) = Umur rencana dari bangunan (tahun)

Pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa, perlu ditinjau 3 taraf beban gempa, yaitu Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat, untuk merencanakan elemen-elemen dari sistem struktur, agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat terjadi gempa. Gempa Ringan, Gempa Sedang, Gempa Kuat, dan Gempa Rencana untuk keperluan prosedur perencanaan struktur didefinisikan sebagai berikut : II.4.1 Gempa Ringan Gempa Ringan adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur rencana bangunan 50 tahun adalah 92% (RN = 92%), atau gempa yang periode ulangnya adalah 20 tahun (TR = 20 tahun). Akibat Gempa Ringan ini struktur bangunan harus tetap berperilaku elastis, ini berarti bahwa pada saat terjadi gempa elemen-elemen struktur bangunan tidak diperbolehkan mengalami kerusakan struktural maupun kerusakan nonstruktural. Pada saat terjadi Gempa Ringan, penampang dari elemen-elemen pada sistem

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

19

struktur dianggap tepat mencapai kapasitas nominalnya, dan akan berdeformasi lebih lanjut secara tidak elastis (inelastis) jika terjadi gempa yang lebih kuat. Karena risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 92%, maka dapat dianggap bahwa selama umur rencananya, struktur bangunan pasti akan akan mengalami Gempa Ringan, atau risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 100% (RN = 100%). II.4.2 Gempa Sedang Gempa Sedang adalah gempa yang peluan atau risiko terjadinya dalam periode umur rencana bangunan 50 tahun adalah 50% (RN = 50%), atau gempa yang periode ulangnya adalah 75 tahun (TR = 75 tahun). Akibat Gempa Sedang ini struktur bangunan tidak boleh mengalami kerusakan struktural, namun diperkenankan mengalami kerusakan yang bersifat non-struktural. Gempa Sedang akan menyebabkan struktur bangunan sudah berperilaku tidak elastis, tetapi tingkat kerusakan struktur masih ringan dan dapat diperbaiki dengan biaya yang terbatas. II.4.3 Gempa Kuat Gempa Kuat adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur rencana bangunan 50 tahun adalah 2% (RN = 2%), atau gempa yang periode ulangnya adalah 2500 tahun (TR = 2500 tahun). Akibat Gempa Kuat ini struktur bangunan dapat mengalami kerusakan struktural yang berat, namun struktur harus tetap berdiri dan tidak boleh runtuh sehingga korban jiwa dapat dihindarkan. Gempa kuat akan menyebabkan struktur bangunan berperilaku tidak elastis, dengan kerusakan struktur yang berat tetapi masih berdiri dan dapat diperbaiki. II.4.4 Gempa Rencana Untuk perencanaan struktur bangunan terhadap pengaruh gempa digunakan Gempa Rencana. Berdasarkan standar gempa Indonesia yang lama (Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung : SNI 03-1726-2002), ditetapkan bahwa Gempa Rencana adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur rencana bangunan 50 tahun adalah 10% (RN = 10%), atau gempa yang periode ulangnya adalah 500 tahun (TR = 500 tahun). Standar gempa Indonesia yang baru (Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung Dan Non-Gedung : SNI 03-1726-2012) menggunakan Gempa Kuat sebagai dasar untuk penentuan Gempa Rencana

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

20

Dengan menggunakan Gempa Rencana ini, struktur dapat dianalisis secara elastis untuk mendapatkan gaya-gaya dalam yang berupa momen lentur, gaya geser, gaya normal, dan puntir atau torsi yang bekerja pada tiap-tiap elemen struktur. Gaya-gaya dalam ini setelah dikombinasikan dengan dengan gaya-gaya dalam yang diakibatkan oleh beban mati dan beban hidup, kemudian digunakan untuk mendimensi penampang dari elemen struktur berdasarkan metode LRFD (Load Resistance Factor Design) sesuai dengan standar desain yang berlaku. Peluang atau risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan selama umur rencananya dapat dihitung dengan menggunakan rumus probabilitas di atas. Jika periode ulang terjadinya Gempa Ringan : TR = 20 tahun, Gempa Sedang : TR = 75 tahun, dan Gempa Kuat : TR = 2500 tahun, serta umur rencana rata-rata bangunan di Indonesia adalah N=50 tahun, maka akan didapatkan besarnya risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan adalah : R N Gempa Ringan = 92% 100%, RN Gempa sedang = 50%, dan RN Gempa Kuat = 2%. Dalam filosofi perencanaan struktur bangunan tahan gempa, dikenal suatu konsep pembebanan gempa yang disebut Pembebanan Dua Tingkat. Konsep Pembebanan Dua Tingkat mempunyai pengertian bahwa, struktur bangunan selama umur rencananya diperkirakan akan dibebani berulang kali oleh Gempa Ringan dan Gempa Sedang, yang mempunyai periode ulang lebih kecil dari 75 tahun. Serta struktur selama umur rencananya diharapkan mampu menahan sekali terjadinya Gempa Kuat dengan periode ulang 2500 tahun. II.4.5 Gempa Nominal Besarnya Gempa Nominal yang digunakan untuk perencanaan struktur ditentukan oleh tiga hal, yaitu oleh besarnya Gempa Rencana, oleh tingkat daktilitas yang dimiliki struktur, sistem struktur penahan beban gempa, dan faktor keutamaan bangunan. Berdasarkan

pedoman gempa yang baru yaitu Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung Dan Non-gedung (SNI 03-1726-2012), besarnya beban gempa horisontal V yang bekerja pada struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :

dimana, Cs : Koefisien Respon Seismik, Sa : Percepatan Spektra (didapat dari Kurva Spektrum Respon Desain untuk Periode Getar Fundamental T dari struktur), Ie : Faktor Keutamaan Gempa (dari Tabel 2 SNI 03-1726-2012) , R : Koefisien Modifikasi Respon (dari

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

21

Tabel 9 SNI 03-1726-2012), sedangkan W : berat seismik efektif struktur yang dihitung berdasarkan berat dari 100% beban mati ditambah 25% beban hidup.

II.5. Arah Pembebanan Gempa


Jika besarnya beban gempa sudah dapat diperkirakan, maka pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana menentukan arah beban gempa terhadap bangunan. Dalam kenyataannya arah datangnya gempa terhadap bangunan tidak dapat ditentukan dengan pasti, artinya pengaruh gempa dapat datang dari sembarang arah. Jika bentuk denah dari bangunan

simetris dan teratur, sehingga bangunan jelas memiliki sistem struktur pada dua arah utama bangunan yang saling tegak lurus, perhitungkan arah gempa dapat dilakukan lebih sederhana. Pembebanan gempa tidak penuh tetapi biaksial atau sembarang dapat menimbulkan pengaruh yang lebih rumit terhadap struktur gedung ketimbang pembebanan gempa penuh tetapi uniaksial. Untuk mengantisipasi kondisi ini Applied Technology Council (ATC, 1984) menetapkan bahwa, arah gempa yang biaksial dapat disimulasikan dengan meninjau beban Gempa Rencana yang disyaratkan oleh peraturan, bekerja pada ke dua arah sumbu utama struktur bangunan yang saling tegak lurus secara simultan. Besarnya beban gempa pada struktur dapat diperhitungkan dengan menjumlahkan 100% beban gempa pada satu arah dengan 30% beban gempa pada arah tegak lurusnya. Bila bentuk denah dari bangunan tidak simetris atau tidak beraturan, maka sulit untuk menentukan arah beban gempa yang paling menentukan. Untuk ini perlu dilakukan analisis struktur dengan meninjau pengaruh dari beban gempa pada masing-masing arah dari struktur. Untuk berbagai arah gempa yang bekerja, bagian yang kritis dari elemen-elemen struktur akan berbeda pula. Berapa kemungkinan arah gempa yang akan ditinjau pada analisis, sepenuhnya tergantung pada perencana struktur.

II.6 Struktur Bangunan Tahan Gempa


Perencanaan serta rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh gempa, agar kerugian harta benda serta jatuhnya korban jiwa dapat ditekan seminimal mungkin. Di Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan tahan gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku. Untuk struktur bangunan gedung persyaratan-persyaratan ini tercantum di dalam beberapa pedoman yaitu :

Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung Dan Non-Gedung (SNI 03-1726-2012),

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

22

Tatacara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI-03-2847-2002) Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI 1726-2002) Tatacara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI-03-1729-2002)

Sedangkan untuk struktur jembatan atau struktur jalan layang (fly over), ketentuan mengenai persyaratan desain struktur terhadap pengaruh gempa, tercantum di dalam pedoman atau manual Sistem Manajemen Jembatan-1992. Perencanaan struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan perencanaan struktur bangunan tahan gempa, struktur bangunan diklasifikasikan menjadi dua jenis struktur, yaitu Engineered Structures dan Non-engineered Structures. Engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang memerlukan

tenaga ahli di dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Sebagai contoh dari Engineered Structures adalah struktur gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, bendungan serta bangunan air, dan lainlain. Sedangkan Non-engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang direncanakan dan dilaksanakan tanpa bantuan tenaga ahli, tetapi masih harus memenuhi kriteria persyaratan bangunan pada umumnya, sesuai yang tercantum di dalam standar bangunan (building code) yang ada. Pada suatu proyek bangunan Teknik Sipil, pada umumnya biaya yang diperhitungkan meliputi biaya untuk perencanaan, biaya pelaksanaan atau pembangunan konstruksi, dan biaya perawatan atau perbaikan jika terjadi kerusakan. Makin tinggi tingkat kekuatan dari struktur bangunan terhadap pengaruh gempa, maka akan semakin besar biaya yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunan, akan tetapi akan semakin kecil biaya yang diperlukan untuk perbaikan jika bangunan tersebut mengalami kerusakan akibat gempa. Begitu juga sebaliknya, makin kurang kuat struktur bangunan terhadap gempa, maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunannya, tetapi akan semakin besar biaya yang harus disediakan untuk perbaikan jika bangunan tersebut mengalami kerusakan akibat gempa. Dari beberapa segi pertimbangan tersebut di atas, maka merupakan suatu hal yang tidak wajar, atau bahkan tidak mungkin untuk membuat konstruksi bangunan yang tidak mengalami kerusakan sama sekali pada saat terjadi gempa. Dari segi konstruksi, perlu ditinjau tingkat kerusakan yang dapat terjadi pada bangunan pada saat terjadi gempa.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

23

Kerusakan yang terjadi pada bangunan dapat berupa kerusakan ringan, kerusakan berat, atau bahkan keruntuhan dari bangunan. Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), struktur bangunan tahan gempa harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut : Struktur bangunan harus tetap utuh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti, pada saat terjadi Gempa Ringan. Komponen non-struktural dari struktur bangunan diperkenankan mengalami kerusakan, tetapi komponen struktural harus tetap utuh pada saat terjadi Gempa Sedang. Pada saat terjadi Gempa Kuat, komponen non-struktural dan komponen struktural dari sistem struktur diperbolehkan mengalami kerusakan, tetapi struktur bangunan secara keseluruhan tidak boleh runtuh. Kerusakan struktur bangunan pada saat terjadi Gempa Kuat diijinkan, akan tetapi terjadinya korban jiwa harus selalu dihindarkan. Jadi pada persyaratan struktur bangunan tahan gempa, kemungkinan terjadinya risiko kerusakan pada bangunan merupakan hal yang dapat diterima, tetapi keruntuhan total (collapse) dari struktur yang dapat mengakibatkan terjadinya korban yang banyak, harus dihindari. Dari persyaratan di atas, dapat disimpulkan juga bahwa, adalah tidak ekonomis untuk mendesain suatu struktur bangunan yang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat. Perencanaan struktur bangunan seperti ini akan menyebabkan struktur bangunan menjadi sangat mahal. Agar didapatkan struktur bangunan yang kuat terhadap pengaruh gempa tetapi juga ekonomis, perlu dirancang struktur yang berperilaku daktail pada saat terjadi Gempa Kuat. Ini berarti bahwa struktur harus dirancang dengan tingkat daktilitas yang tinggi, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur mempunyai kemampuan untuk mengalami deformasi yang besar tanpa mengakibatkan keruntuhan. Kemampuan dari struktur bangunan untuk mampu berdeformasi di atas batas elastisnya, dapat mengurangi pengaruh dari gaya gempa yang masuk ke dalam struktur. Energi gempa yang masuk ke dalam struktur, akan dipancarkan keluar melalui kemampuan mekanisme perubahan bentuk yang besar dari struktur. Berdasarkan pertimbangan ini, di dalam peraturan perencanaan bangunan tahan gempa yang berlaku di Indonesia, ditetapkan suatu taraf beban Gempa Rencana yang lebih kecil dari beban gempa sesungguhnya yang mungkin terjadi selama umur rencana dari bangunan. Hal ini dapat diterima dengan dua alasan yaitu :

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

24

Beban gempa adalah beban dinamik dengan arah bolak-balik, yang tidak bersifat terus menerus bekerja pada struktur bangunan, atau dapat dikatakan bahwa beban gempa merupakan beban sementara yang bekerja pada struktur bangunan.

Struktur bangunan harus direncanakan sebagai struktur yang daktail, sehingga jika kekuatannya terlampaui pada saat terjadi Gempa Kuat, struktur tidak akan runtuh melainkan akan berdeformasi plastis, melalui mekanisme terbentuknya sejumlah sendi-sendi plastis pada struktur dengan cara yang terkontrol. Dari kedua alasan tersebut, jelas bahwa persyaratan yang paling penting pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa adalah daktilitas struktur. Elemen-elemen struktural dari bangunan seperti balok dan kolom, harus direncanakan dengan tingkat daktilitas yang cukup, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur bangunan mempunyai kemampuan untuk menyerap dan memancarkan energi gempa melalui deformasi plastis. Dengan demikian keruntuhan dari struktur secara keseluruhan dapat dihindari. Dengan terhindarnya struktur bangunan dari keruntuhan, maka dapat diharapkan adanya korban jiwa dapat dihindarkan. Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), suatu struktur bangunan yang didirikan di daerah rawan gempa, harus mampu menahan Gempa Kuat tanpa mengalami keruntuhan. Akibat pengaruh Gempa Kuat, struktur bangunan diperkenankan mengalami kerusakan, tetapi secara keseluruhan struktur bangunan tidak boleh runtuh. Hal ini dimaksudkan agar keselamatan jiwa manusia harus dapat terjamin. Untuk mendapatkan struktur bangunan seperti yang disyaratkan oleh ATC, saat ini telah dikembangkan suatu cara perencanaan struktur tahan gempa, yang disebut Perencanaan Kapasitas (Capacity Design). Perencanaan Kapasitas pada struktur bangunan dimaksudkan untuk mendapatkan sifat daktilitas yang memadai bagi struktur-struktur bangunan yang dibangun di daerah rawan gempa.

II.7 Daktilitas Struktur


Pada umumnya struktur Teknik Sipil dianggap bersifat elastis sempurna, artinya bila struktur mengalami perubahan bentuk atau berdeformasi sebesar 1 mm oleh beban sebesar 1 ton, maka struktur akan berdeformasi sebesar 2 mm jika dibebani oleh beban sebesar 2 ton. Hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi pada struktur, dianggap elastis sempurna berupa hubungan linier. Jika beban tersebut dikurangi besarnya sampai dengan nol, maka deformasi pada struktur akan hilang pula (deformasi menjadi nol). Jika beban diberikan pada arah yang berlawanan dengan arah beban semula, maka deformasi struktur akan negatif pula,

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

25

dan besarnya akan sebanding dengan besarnya beban. Pada kondisi seperti ini struktur mengalami deformasi elastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang apabila bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan kembali kepada bentuknya yang semula. Pada struktur yang bersifat getas (brittle), maka jika beban yang bekerja pada struktur sedikit melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tersebut akan patah atau runtuh. Pada struktur yang daktail ( ductile) atau liat, jika beban yang ada melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tidak akan runtuh, tetapi struktur akan mengalami deformasi plastis (inelastis). Deformasi plastis adalah deformasi yang apabila bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada kondisi plastis ini struktur akan mengalami deformasi yang bersifat permanen, atau struktur tidak dapat kembali kepada bentuknya yang semula. Pada struktur yang daktail, meskipun terjadi deformasi yang permanen, tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan. Pada kenyataannya, jika suatu beban bekerja pada struktur, maka pada tahap awal, struktur akan berdeformasi secara elastis. Jika beban yang bekeja terus bertambah besar, maka setelah batas elastis dari bahan struktur dilampaui, struktur kemudian akan berdeformasi secara plastis (inelastis). Dengan demikian pada struktur akan terjadi deformasi elastis dan deformasi plastis, sehingga jika beban yang bekerja dihilangkan, maka hanya sebagian saja dari deformasi yang hilang (deformasi elastis = e), sedangkan sebagian deformasi akan bersifat permanen (deformasi plastis = p). Perilaku deformasi elastis dan plastis dari struktur diperlihatkan pada Gambar II-14. Dari uraian di atas tampak bahwa, pada struktur yang daktail, beban yang besar akibat gempa tidak akan menyebabkan keruntuhan dari struktur, lebih-lebih karena beban gempa merupakan beban dinamis yang arahnya bolak-balik. Beban gempa yang besar akan menyebabkan deformasi yang permanen dari struktur akibat rusaknya elemen-elemen dari struktur seperti balok dan kolom. Pada kondisi seperti ini, walaupun elemen-elemen struktur bangunan mengalami kerusakan, namun secara keseluruhan struktur tidak mengalami keruntuhan. Energi gempa yang bekerja pada struktur bangunan, akan dirubah menjadi energi kinetik akibat getaran dari massa struktur, energi yang dihamburkan akibat adanya pengaruh redaman dari struktur, dan energi yang dipancarkan oleh bagian-bagian struktur yang mengalami deformasi plastis. Dengan demikian sistem struktur yang bersifat daktail dapat

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

26

membatasi besarnya energi gempa yang masuk pada struktur, sehingga pengaruh gempa dapat berkurang. e e=0

V0

V=0

Gambar II-14.a. Deformasi elastis pada struktur

e+p

V0

V=0

Gambar II-14.b. Deformasi in-elastis pada struktur

II.8 Kemampuan Struktur Menahan Gempa Kuat


Beban gempa sebenarnya yang bekerja pada struktur bangunan dapat melampaui beban Gempa Rencana yang tercantum di dalam peraturan. Di dalam peraturan, besarnya beban gempa rencana yang diperhitungkan bekerja pada struktur bangunan adalah Gempa Sedang. Dengan demikian, jika terjadi Gempa Kuat, maka gaya-gaya dalam (momen lentur, gaya lintang, gaya normal, dan torsi) yang terjadi pada elemen-elemen struktur seperti balok dan
Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

27

kolom, dapat melampaui gaya-gaya dalam yang sudah diperhitungkan. Jika hal ini tidak ditinjau di dalam perencanaan, maka pada saat terjadi Gempa Kuat, elemen-elemen dari struktur akan mengalami kerusakan, bahkan secara keseluruhan struktur dapat mengalami keruntuhan. Agar struktur bangunan mempunyai kemampuan yang cukup dan tidak terjadi keruntuhan pada saat terjadi Gempa Kuat, maka dapat dilakukan dua cara sbb. : Membuat struktur bangunan sedemikian kuat, sehingga struktur bangunan tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat. Struktur bangunan yang dirancang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat adalah tidak ekonomis. Meskipun pada saat terjadi Gempa Kuat struktur ini tidak mengalami kerusakan yang berarti, sehingga tidak memerlukan biaya perbaikan yang besar, namun pada saat pembuatannya, struktur bangunan ini memerlukan biaya yang sangat mahal. Struktur bangunan yang didesain tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat, disebut Struktur Tidak Daktail (Struktur Elastis). Penggunaan sistem struktur portal tidak daktail masih dianggap ekonomis untuk bangunan gedung bertingkat menengah dengan ketinggian tingkat antara 4 s/d 7 lantai, dan terletak pada wilayah dengan pengaruh kegempaan ringan sampai sedang. Membuat struktur bangunan sedemikian rupa sehingga mempunyai batas kekuatan elastis yang hanya mampu menahan Gempa Sedang saja. Dengan demikian, struktur ini masih bersifat elastis pada saat terjadi Gempa Ringan atau Gempa Sedang. Pada saat terjadi Gempa Kuat, struktur bangunan harus dirancang agar mampu untuk berdeformasi secara plastis. Jika struktur mempunyai kemampuan untuk dapat berdeformasi plastis cukup besar, maka hal ini dapat mengurangi sebagian dari energi gempa yang masuk ke dalam struktur. Struktur bangunan yang didesain berperilaku plastis pada saat terjadi Gempa Kuat, disebut Struktur Daktail. Penggunaan sistem struktur portal daktail cukup ekonomis untuk bangunan gedung bertingkat menengah sampai tinggi, yang dibangun pada wilayah dengan pengaruh kegempaan kuat.

II.9 Perencanaan Kapasitas (Capacity Design)


Dari penjelasan di atas, untuk mendapatkan struktur bangunan yang cukup ekonomis, tetapi tidak mengalami keruntuhan pada saat terjadi Gempa Kuat, maka sistem struktur harus direncanakan bersifat daktail. Untuk mendapatkan sistem struktur yang daktail, disarankan untuk merencanakan struktur bangunan dengan menggunakan cara Perencanaan Kapasitas. Pada prosedur Perencanaan Kapasitas ini, elemen-elemen dari struktur bangunan yang akan

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

28

memancarkan energi gempa melalui mekanisme perubahan bentuk atau deformasi plastis, dapat terlebih dahulu dipilih dan ditentukan tempatnya. Sedangkan elemen-elemen lainnya, direncanakan dengan kekuatan yang lebih besar untuk menghindari terjadinya kerusakan. Pada struktur beton bertulang, tempat-tempat terjadinya deformasi plastis yaitu tempattempat dimana penulangan mengalami pelelehan, disebut daerah sendi plastis. Karena sendisendi plastis yang terbentuk pada struktur portal akibat dilampauinya Beban Gempa Rencana dapat diatur tempatnya, maka mekanisme kerusakan yang terjadi tidak akan mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan. Karena pada prosedur Perencanaan Kapasitas ini terlebih dahulu harus ditentukan tempat-tempat di mana sendi-sendi plastis akan terbentuk, maka dalam hal ini perlu diketahui mekanisme kelelehan yang dapat terjadi pada sistem struktur portal. Dua jenis mekanisme kelelehan yan dapat terjadi pada sistem struktur portal akibat pembebanan gempa, ditunjukkan pada Gambar II-15.

Gambar II-15. Mekanisme leleh pada struktur portal akibat beban gempa : (a) Mekanisme leleh pada balok, (b) Mekanisme leleh pada kolom

Kedua jenis mekanisme kelelehen atau terbentuknya sendi-sendi plastis pada struktur portal adalah : a) Mekanisme Leleh Pada Balok (Beam Sidesway Mechanism), yaitu keadaan dimana sendi-sendi plastis terbentuk pada balok-balok struktur akibat penggunaan kolomkolom yang kuat (Strong ColumnWeak Beam). b) Mekanisme Leleh Pada Kolom (Column Sidesway Mechanism), yaitu keadaan di mana sendi-sendi plastis terbentuk pada kolom-kolom struktur, akibat penggunaan balok-balok yang kaku dan kuat (Strong BeamWeak Column).

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

29

Pada Perencanaan Kapasitas, mekanisme kelelehan yang dipilih adalah Beam Sidesway Mechanism, karena alasan-alasan sebagai berikut : Pada Column Sidesway Mechanism, kegagalan dari kolom pada suatu tingkat akan mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan. Pada struktur dengan kolom-kolom yang lemah dan balok-balok yang kuat (strong beam weak column), deformasi akan terpusat pada tingkat-tingkat tertentu, sehingga daktilitas yang diperlukan oleh kolom agar dapat dicapai daktilitas dari struktur yang disyaratkan, sulit dipenuhi. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada kolom-kolom bangunan, akan lebih sulit diperbaiki dibandingkan jika kerusakan terjadi pada balok. Jadi mekanisme kelelehen pada portal yang berupa Beam Sidesway Mechanism, merupakan keadaan keruntuhan struktur bangunan yang lebih terkontrol. Pemilihan perencanaan struktur bangunan dengan menggunakan mekanisme ini membawa konsekuensi bahwa kolom-kolom pada struktur bangunan harus direncanakan lebih kuat dari pada balok-balok struktur, sehingga dengan demikian sendi-sendi plastis akan terbentuk lebih dahulu pada balok. Karena hal tersebut di atas, maka dalam perencanaan portal daktail pada struktur bangunan tahan gempa, sering juga disebut perencanaan struktur dengan kondisi desain Kolom Kuat Balok Lemah (Strong ColumnWeak Beam).

II.10 Mitigasi Bencana Gempa


Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia, maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh gempa. Di Indonesia, upaya-upaya ini telah dilakukan secara struktural melalui pelembagaan yang khusus menangani bencana secara keseluruhan. Seperti juga yang terjadi di negara lain, masalah bencana biasanya mendapatkan perhatian setelah terjadinya bencana tersebut. Jadi sesungguhnya sebelum terjadinya bencana, banyak langkah yang sudah dapat ditempuh, dan karenanya bencana tersebut seharusnya tidak datang secara mengejutkan. Dalam upaya mitigasi terhadap bahaya gempa, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : II.10.1 Penyusunan Peta Wilayah Gempa Dengan adanya peta wilayah gempa yang akurat, dapat diketahui tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap ancaman gempa. Pada wilayah gempa ini perlu diperlihatkan tempattempat yang sering dilanda gempa, sehingga statistik kemungkinan terjadinya kembali gempa
Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

30

pada tempat tersebut dapat diperkirakan dengan lebih baik. Perlu dicantumkan juga magnitude dari gempa yang sudah pernah terjadi sebelumnya, yang mungkin dapat memberikan gambaran besarnya intensitas gempa yang akan datang. Di dalam buku Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI 1726 - 2002), telah dicantumkan zona atau wilayah kegempaan untuk Indonesia. Menurut pedoman tersebut, Indonesia dibagi menjadi 6 wilayah gempa dengan taraf beban gempa yang berlainan. II.10.2 Standar Konstruksi Bangunan Penyusunan standar bangunan (building code) sangat penting untuk menjamin bahwa bangunan tersebut aman untuk dihuni. Dengan adanya standar konstruksi bangunan yang memadai, maka sekiranya standar ini diterapkan dengan baik, maka jika terjadi gempa, akibat yang ditimbulkan oleh gempa dapat ditekan seminimum mungkin. Teknologi rekayasa struktur bangunan tahan gempa sudah diketahui, namun karena berbagai alasan teknologi ini belum dapat diterapkan sepenuhnya, sehingga seringkali gempa masih menimbulkan kerusakan yang cukup besar. Penerapan standar konstruksi bangunan dengan ketat

hendaknya merupakan suatu kewajiban bagi semua pihak yang terlibat, terutama bagi bangunan-bangunan umum yang dipergunakan oleh banyak orang, seperti bangunan rumah sakit, sekolahan dan lain-lain. Banyak kasus di Indonesia menunjukkan bahwa, bangunanbangunan umum seperti rumah sakit dan sekolahan merupakan bangunan yang mudah dihancurkan oleh gempa, sementara bangunan lainnya masih mampu bertahan. II.10.3 Pendeteksian Dan Pemonitoran Gempa Pendeteksian dan pemonitoran gempa dilakukan oleh Badan Meterologi dan Geofisika yang bernaung di bawah Departemen Perhubungan. Dewasa ini pemonitoran gempa dapat dilakukan dengan menggunakan Jaringan Telemetri, dengan memanfaatkan Satelit Palapa. Dari sejumlah 55 stasiun pemantauan gempa, 27 diantaranya telah diintegrasikan di dalam Jaringan Telemetri. Ke 27 stasiun ini dilengkapi dengan Jaringan Telemetri melalui satelit yang bertindak sebagai Pusat Gempa Regional yang terletak di Ciputat, Medan, Denpasar, Ujung Pandang, dan Jayapura. Informasi yang dikirim dari Pusat Gempa Regional diterima oleh Pusat Gempa Nasional yang berada di Jakarta. Pusat Gempa Regional yang terletak di Ciputat, Medan, dan Denpasar, sudah dilengkapi dengan peralatan untuk menentukan lokasi terjadinya gempa. Dengan jaringan pemantauan ini, gempa dengan magnitude M=2 pada Skala Richter ke atas, dapat dideteksi oleh semua statsiun pemantauan gempa yang sudah diintegrasikan.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

31

II.10.4 Penyelidikan Seismotektonik Penyelidikan seismotektonik dimaksudkan untuk mengetahui sifat kegempaan dalam kaitannya dengan kondisi geologi. Upaya ini perlu dilakukan karena adanya hubungan yang erat antara gempa dengan keadaan geologi suatu wilayah. Dengan mempelajari sifat-sifat gelombangnya dan menganalisis mekanisme dari pusat gempa, maka akan dapat diketahui sifat-sifat tektonik suatu wilayah. Dengan diketahuinya sifat-sifat tektonik ini, maka akan dapat diperkirakan mengenai kemungkinan gempa yang akan datang. II.10.5 Penelitian Bangunan Tahan Gempa Penelitian mengenai rekayasa bangunan tahan gempa sangat penting dilakukan, oleh karena usaha ini merupakan upaya satu-satunya yang berada di tangan manusia, untuk dapat menghindari bencana yang diakibatkan oleh pengaruh gempa. Pusat Penelitian Bangunan dan Pemukiman (Puslitbang Pemukiman) Departeman Pekerjaan Umum di Bandung, merupakan lembaga utama yang melakukan kegiatan penelitian, selain itu pihak dari perguruanperguruan tinggi banyak juga yang melakukan penelitian mengenai masalah ini. Dari hasil penelitian, dapat dikeluarkan standar-standar atau pedoman-pedoman untuk membuat struktur bangunan rumah, gedung, atau bangunan-bangunan Teknik Sipil lainnya yang mampu bertahan terhadap pengaruh gempa, dengan tidak mengurangi faktor sosial dan faktor ekonomi dari daerah yang bersangkutan. Selain itu, standar atau pedoman ini juga berguna untuk memperkuat struktur-struktur bangunan yang sudah ada, yang sebelumnya tidak dirancang tahan terhadap pengaruh gempa.

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

32

Himawan Indarto - Rekayasa Gempa

33

Anda mungkin juga menyukai