Anda di halaman 1dari 6

Dampak Perceraian pada Anak Usia Dini

Pendahuluan

Perceraian merupakan hal yang sering terjadi dalam masyarakat yang

disebabkan oleh berbagai macam faktor. Penyebab perceraian dapat berupa

masalah ekonomi atau konflik-konflik dalam keluarga yang sudah tidak dapat

diatasi. Seringkali pasangan yang bercerai kurang memikirkan dampak yang

akan terjadi pada anak mereka melalui perceraian. Akibatnya, anak-anak yang

memiliki keluarga yang tidak utuh akan mengalami masalah dalam

perkembangan psikososial dan psikoemosionalnya.

Definisi

Definisi Perceraian. Menurut Bohannan (dikutip dalam Olson & DeFrain,

2006), “perceraian adalah tindakan dari hasil pernikahan yang tidak baik” (h.

436). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), perceraian adalah putusnya

hubungan antara suami dan istri. Dari kedua pengertian tersebut dapat

disimpulkan bahwa perceraian adalah berakhirnya pernikahan. Perceraian itu

disebabkan oleh hubungan yang kurang baik atau karena adanya kesepakatan

antara pihak suami dan istri untuk melakukan perceraian.

Definisi Keluarga. Keluarga merupakan hubungan sedarah yang terjadi

melalui perkawinan atau melalui adopsi (Lamanna & Riedman, 2009).

Sedangkan menurut Murdock (dikutip dalam Neubeck & Glasberg, 2005),

keluarga adalah kelompok sosial yang tinggal bersama yang memiliki ikatan

kerjasama ekonomi, dan sebagai fungsi reproduksi. Dari kedua pengertian di

atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang

dibentuk melalui proses perkawinan berfungsi untuk menghasilkan keturunan.


Faktor Penyebab Perceraian

Perceraian terjadi karena konflik-konflik keluarga, sehingga hubungan

pernikahan sudah tidak dapat diselamatkan. Faktor-faktor yang dapat

menyebabkan perceraian adalah (a) faktor ekonomi, (b) perbedaaan selisih usia

yang jauh, (c) keinginan untuk memperoleh anak, (d) perbedaan cara mendidik

anak, dan (e) pengaruh dari luar keluarga (Dagun, 2002). Sedangkan menurut

Lamanna dan Riedmann (2009) faktor penyebab perceraian ada dua, yaitu faktor

ekonomi dan tuntutan yang tinggi dalam pernikahan. White (dikutip dalam

Lamanna & Riedmann, 2009) mengatakan bahwa, secara faktor ekonomi,

perceraian dapat terjadi karena kondisi keuangan yang tidak memadai dan

sesuai harapan, sehingga menyebabkan hubungan perkawinan yang tidak stabil.

Troll, Miller, dan Atchley (dikutip dalam Lamanna & Riedmann, 2009)

mengatakan bahwa pasangan dengan tuntutan yang lebih praktis, puas terhadap

pernikahannya daripada mereka yang menuntut hubungan penuh cinta dan

ekspresif.

Dampak Perceraian Terhadap Perkembangan Anak

Menurut Susanto, “perkembangan merupakan suatu perubahan, dan

perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan tidak

ditekankan pada segi material, melainkan pada segi fungsional” (h. 19). Menurut

Syamsu (dikutip dalam Susanto, 2011), “perkembangan adalah perubahan-

perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat

kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara

sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah)

maupun psikis (rohaniah)” (h. 19). Dari dua pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa perkembangan merupakan perubahan pola tingkah laku

manusia sesuai dengan bertambahnya usia. Menurut Erikson (dikutip dalam King

2013) tahap perkembangan individu terdiri dari delapan bagian, yaitu (a) infancy,

(b) toddlerhood, (c) early childhood, (d) middle and late childhood, (e)

adolescence, (f) early adulthood, (g) middle adulthood, dan (h) late adulthood.

Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1

Tahap Perkembangan Individu Menurut Erik Erikson

No Tahap Perkembangan Usia (tahun)


.
1. Infancy 0-1½
2. Toddlerhood 1½-3
3. Early Childhood 3-5
4. Middle and Late Childhood 6-10
5. Adolescence 10-20
6. Early Adulthood 20-30
7. Middle Adulthood 40-50
8. Late Adulthood 60-....
(King, 2013)

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tahap perkembangan usia dini

anak terjadi sejak anak baru lahir hingga usia lima tahun.

Dampak perceraian terhadap perkembangan psikoemosional anak usia

dini. Menurut Sukmadinata (dikutip dalam Susanto, 2011), “emosi merupakan

perpaduan dari beberapa perasaan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi

dan menimbulkan suatu gejolak suasana batin” (h. 135). Menurut Willis (dikutip

dalam Susanto, 2011), emosi dapat memberikan dampak pada perilaku anak

usia dini, yaitu (a) emosi dapat menambah kesenangan anak, (b) emosi dapat

terlihat pada ekspresi anak, (c) emosi dapat memengaruhi kualitas belajar anak,

(d) emosi dapat menurunkan keterampilan anak, (e) emosi dapat terlihat melalui

gerak tubuh, (f) baik buruknya kehidupan keluarga sangat memengaruhi emosi
anak, dan (g) emosi dapat membangkitkan gairah anak.

Hetherington melakukan penelitian terhadap anak-anak berusia empat tahun.

Akibat dari perceraian tersebut, anak akan mengalami trauma. Anak akan

mengalami rasa cemas dan selalu ingin mencari ketenangan. Ketika ayah dan

ibu berada dalam status cerai, akan tampak perbedaan dalam hal mengasuh

anaknya. Jika anak berada dalam asuhan ibu, khususnya anak laki-laki, seorang

ibu menjadi kurang perhatian terhadap anaknya. Ibu akan cenderung bersikap

memerintah dan sering mengancam anaknya. Akibatnya anak akan bersikap

acuh tak acuh terhadap ibunya, agresif, motivasinya tidak jelas, dan emosinya

menjadi tidak terkontrol (Dagun, 2002).

Dampak perceraian terhadap perkembangan psikososial anak usia dini.

Menurut Soekanto (dikutip dalam Susanto, 2011), “proses sosial merupakan

cara-cara berhubungan yang dilihat apabila perorangan dan kelompok sosial

saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan ini, atau

apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan

goyahnya pola-pola kehidupan yang ada” (h. 134-135). Menurut Sears (dikutip

dalam Syam, 2012), “psikologi sosial adalah ilmu yang berusaha secara

sistematis untuk memahami perilaku sosial mengenai (a) bagaimana kita

mengamati orang lain dan situasi sosial, (b) bagaimana orang lain bereaksi

terhadap kita, dan (c) bagaimana kita dipengaruhi oelh [sic] situasi sosial” (h. 12).

Periode usia dini merupakan masa-masa kritis dalam pembentukan pola

perilaku dan kepribadian anak. Oleh karena itu periode usia dini dapat diartikan

sebagai periode penyesuaian sosial agar anak dapat diterima dalam pergaulan.

Pola perilaku sosial anak menurut Hurlock terdiri dari (a) meniru, (b) persaingan,

(c) kerjasama, (d) simpati, (e) empati, (f) dukungan sosial, (g) membagi, dan (h)
perilaku akrab (Susanto, 2011).

Dalam penelitian Hetherington, anak-anak yang orangtuanya mengalami

perceraian ketika mereka berusia empat tahun dapat menyebabkan anak

mengalami hambatan dalam sosialisasi. Ia akan lebih senang menyendiri

daripada berkumpul dengan teman-temannya dan kurang ingin bekerjasama.

Anak-anak seperti ini cenderung memilih teman yang usianya lebih muda. Pada

akhirnya anak-anak seperti ini akan memiliki teman yang lebih sedikit daripada

anak yang memiliki keluarga utuh (Dagun, 2002).

Simpulan

Berdasarkan teori-teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masa

perkembangan anak usia dini merupakan masa-masa kritis. Dalam hal ini peran

orangtua dalam mendidik dan merawat anak sangatlah penting. Masa

perkembangan usia dini akan sangat menentukan perilaku anak di masa yang

akan datang. Pola asuh dan kondisi hubungan keluarga sangat memengaruhi

psikoemosional dan psikososial anak.

Dalam hal ini, psikoemosional dan psikososial tidak dapat dipisahkan dan

saling memengaruhi. Anak yang berasal dari keluarga yang orangtuanya

mengalami perceraian, akan mengalami rasa cemas dan emosinya tidak

terkontrol. Akibatnya sosialisasi anak menjadi terhambat.

Anak yang memiliki sosialisasi yang terhambat akan mengalami kesulitan

dalam bergaul dan bekerjasama. Apabila sosialisasi anak terhambat, maka akan

sangat memengaruhi prestasi belajarnya dan akan berpengaruh terhadap

perilaku di masa mendatang.

Daftar Pustaka
Dagun, S. M. (2002). Psikologi keluarga: Peranan ayah dalam keluarga. Jakarta:

Rineka Cipta.

Gramedia Pustaka Utama. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Edisi ke-4).

Jakarta: Penerbit.

King, L. A. (2013). The science of psychology: An appreciate view (2nd ed.). New

York, NY: McGraw-Hill.

Lamanna, M. A., & Riedmann, A. (2009). Marriages and families: Making choices

in a diverse society (10th ed.). Belmont, CA: Thomson Wadsworth.

Neubeck, K. J., & Glasberg, D. S. (2005). Sociology: Diversity, conflict, and

change. New York: Mc-Graw Hill.

Olson, D. H., & DeFrain, J. (2006). Marriages & families: Intimacy, diversity, and

strengths (5th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.

Susanto, A. (2011). Perkembangan anak usia dini: Pengantar dalam berbagai

aspeknya. Jakarta: Kencana.

Syam, N. W. (2012). Psikologi sosial: Sebagai akar ilmu komunikasi (R. K.

Soenandar, Ed.). Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Anda mungkin juga menyukai