Anda di halaman 1dari 15

PEMETAAN PENYEBAB STRES PADA ANAK DI SURABAYA

DRA. I GUSTI AYU AGUNG NOVIEKAYATI, MSi., DRS. SUROSO, MS.

Fakultas Psikologi
Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya
e-mail: noviekayati@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan penyebab stress pada anak.
Banyak faktor yang menyebabkan anak-anak menjadi stress diantaranya adalah dari
lingkungan dalam keluarga dan lingkungan luar keluarga. Stres pada anak dapat
menurunkan kualitas hidup seorang anak dalam menyongsong masa depannya.
Subyek penelitian adalah anak-anak tingkat Sekolah Dasar di Wilayah
Surabaya sebanyak 1450 siswa, terdiri dari siswa kelas 4, 5 dan 6 yang dibedakan
atas lokasi sekolah yaitu 1). Lokasi sekolah bawah, dengan asumsi para orang tua
siswa mempunyai status ekonomi sosial kelas bawah. Lokasi bawah ini terdiri dari
SDI Raden Patah, SDN Nginden Jangkungan I, dan SDN Kertajaya XI. 2). Lokasi
kelas menengah, dengan asumsi para orang tua siswa mempunyai status ekonomi
sosial kelas menengah. Lokasi menengah terdiri dari SDN Baratajaya, SDK
Theresia II, dan SD Hang Tuah 3). Lokasi sekolah atas, dengan asumsi para orang
tua siswa mempunyai status ekonomi sosial kelas atas. Lokasi atas terdiri dari SDN
Kertajaya XIII dan SDK Theresia I. Data penyebab stress anak diperoleh dengan
menggunakan skala Penyebab Stres Anak (PSA). Analisis statistik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah ANAVA 2 Jalur, Uji-Z dan Statistik Deskriptif.
Hasil yang diperoleh dari ANAVA 2 Jalur menunjukkan: 1). ada perbedaan
yang cukup signifikan urutan indikator penyebab stress anak ditinjau dari lokasi
sekolah 2). ada perbedaan yang sangat signifikan urutan indikator penyebab stress
anak ditinjau dari kelas. Hasil dari Uji-Z menunjukkan bahwa rata-rata siswa
Sekolah Dasar yang menjadi subyek penelitian ini, baik secara keseluruhan maupun
dilihat dari lokasi sekolah dan kelas mempunyai tingkat stress yang tergolong
rendah. Berdasarkan hasil Statistik Deskriptif ditemukan ada 2 (dua) indikator
utama sebagai stressor atau penyebab stress pada anak yaitu perceraian orang tua
dan kehilangan orang yang disayangi.
Kata kunci : penyebab stress anak - stress anak.

LATAR BELAKANG
Pelampiasan emosi anak pada saat tertekan dewasa ini cenderung mudah
ditampilkan tanpa anak mengetahui konsekuensi dari perbuatannya yang dapat
mengganggu perkembangan masa depan mereka. Perilaku ini merupakan manifestasi
perilaku stres pada anak-anak dalam menghadapi kejadian dan permasalahan yang ada
disekitarnya. Perilaku stress pada anak berasal dari berbagai sumber diantaranya
lingkungan dalam keluarga (Duis et al, 1997; Kirwin & Hamrin, 2005; Lavee, 2005) dan
lingkungan luar keluarga (Vernberg et al, 1996; Haines et al, 2001; Regehr et al, 2001).
Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk membuat pemetaan
penyebab stress pada anak. Pemetaan penyebab stress pada orang dewasa sudah dilakukan
oleh Holmes and Rahe dalam Social Readjustment Rating Scale (Lazarus, 1976). Pada
orang dewasa urutan stressor menurut rating ini adalah kematian pasangan hidup
menempati urutan yang pertama, diikuti dengan perceraian dan kehidupan perkawinan
yang terpisah sampai akhirnya kondisi yang berhubungan dengan hukum akibat kejahatan
ringan.
Penelitian ini dilakukan pada anak-anak yang berusia 10 sampai 12 tahun. Anakanak usia ini sedang menempuh pendidikan di sekolah dasar kelas 5 sampai 6. Anak-anak
ini termasuk dalam anak-anak usia sekolah, 6-12 tahun.
Anak-anak usia sekolah (school-age child) adalah anak-anak yang sedang belajar
di sekolah dasar. Anak-anak ini tergolong pada tahap perkembangan akhir masa kanakkanak (middle childhood). Pada masa ini, usia 6 sampai 10 tahun,

perkembangan

biofisiknya mengalami masa stabil tidak seperti masa sebelumya (usia 0 sampai 6 tahun).
Pada usia 10 sampai 12 tahun, pada saat memasuki masa prapubertas, perubahanperubahan biofisik akan dirasakan kembali terutama pada organ-organ seksual (Berk, 2000;
Harris & Butterworth, 2004).
Perkembangan kognitif yang dialami anak usia sekolah juga sangat pesat. Anakanak merasa dirinya sebagai seorang penjelajah, mengetahui segalanya dan mempunyai
kegiatan yang terlepas dengan orang tua. Sementara itu anak-anak yang lebih tua
(10 sampai 12 tahun) sudah tidak seantusias seperti anak-anak usia di bawahnya karena
mereka sudah merasa mengalaminya. Anak-anak usia 10 sampai 12 tahun ini mulai akan
memasuki masa pemikiran yang abstrak (Berk, 2000; Papalia, Olds & Feldman, 2002).
Perkembangan psikososialpun mulai berkembang. Anak-anak usia di bawah 10
tahun akan merasakan enaknya berpisah dengan orang tua dalam beberapa hari (camping
atau kemah pramuka). Mereka menikmati kebersamaan dengan teman-temannya dan jauh
dari orang tua. Usia ini dikenal sebagai usia berkelompok. Pada anak-anak yang berusia 10
sampai 12 tahun selain berkelompok, mereka juga sudah mulai siap untuk melakukan
beberapa tanggung jawab yang kompleks, memasuki dunia mental dalam belajar konsep,
logika, symbol serta komunikasi dan mulai melakukan hubungan berteman yang lebih
mendalam karena mereka berada di ambang masa remaja (Berk, 2000).

Pada masa-masa ini, anak merasakan suasana sekolah secara berbeda-beda. Anakanak yang kurang cukup beradaptasi akan merasakan bahwa bersekolah itu adalah sesuatu
yang menyiksa dan tidak menyenangkan; sedangkan hal yang sebaliknya akan dirasakan
oleh anak-anak yang mempunyai kemampuan adaptasi yang baik.

Hal inilah yang

menyebabkan penilaian mereka terhadap sekolah menjadi berbeda-beda. Jika mereka dapat
memenuhi tugas-tugas perkembangan seperti yang tersebut di atas maka penilaian mereka
terhadap sekolah akan positif,

sebaliknya jika mereka mengalami hambatan maka

penilaian negatif akan mereka berikan kepada sekolah (Smidt, 2006).


Jika dilihat dari tahapan perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (Papalia,
et al., 2002) maka anak-anak usia 10 sampai 12 tahun berada dalam tahapan industry
versus inferiority. Masa ini ditandai dengan kesiapan dalam menghadapi tugas-tugas yang
diberikan, sibuk dengan situasi-situasi yang produktif, dapat melakukan sesuatu bersamasama dengan orang lain. Pada masa ini pula konsep diri anak mulai terbentuk. Anak-anak
yang berusia lebih muda (kurang dari 10 tahun), perkembangan pembentukan konsep diri
masih dipengaruhi oleh lingkungannya sedangkan pada anak-anak yang berusia lebih tua,
mereka mengembangkan konsep dirinya disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya
yaitu yang mengarah pada perkembangan identitas yang dapat digunakan oleh anak dalam
menginterpretasi dan mengatasi lingkungan eksternalnya dan di dalam dirinya sendiri.
Stres yang dialami oleh anak-anak pada umumnya sama seperti yang dialami oleh
orang dewasa hanya saja mekanisme stres yang terjadi pada kedua kelompok umur tersebut
tidak sama. Anak-anak pada umumnya mengenal, mendapatkan dan mengalami stres yang
diwariskan secara langsung dari lingkungannya terutama lingkungan keluarga. Kondisi ini
jika tidak disadari oleh orang tua atau keluarga yang lainnya akan menjalar ke lingkungan
sosial anak seperti ke sekolah dan lingkungan bermainnya.
Berbeda dengan orang dewasa, sebagian besar stres yang dialami akibat dari
ketidakmampuan diri dalam mengadakan sosialisasi dengan lingkungan meskipun
kemudian lingkungan dapat membuat kondisi stres menjadi bertambah buruk. Oleh karena
itu menurut Sarason dan Sarason (1993) dan Savchenko (2000) anak-anak sangat rawan
dengan stres apalagi jika berada di tengah-tengah keluarga yang mengalami stres. Stres
pada masa anak-anak ini merupakan hal yang sangat sulit dipisahkan dengan gejala-gejala
membangkang yang terdapat pada usia ini, karena salah satu dari manifestasi stres adalah
perilaku membangkang sedangkan perilaku ini juga menjadi salah satu ciri dari proses
perkembangan pada masa ini (Hurlock, 1991).
Frances, et al., (1981) juga mengatakan masa membangkang bukan merupakan
kondisi stres melainkan kondisi-kondisi normal yang kadang terjadi pada setiap fase
perkembangan. Anak-anak mulai usia 0 tahun sampai 13 tahun memiliki masa-masa
seimbang dan masa-masa tidak seimbang. Masa seimbang ditandai dengan perilaku yang
menunjukkan kerja sama dengan orang tuanya seperti menjadi anak manis, sedangkan
masa-masa tidak seimbang ditunjukkan dengan perilaku membangkang.

Menurut Schuster dan Ashburn (1980) stres yang terjadi pada anak terutama pada
usia 10 sampai 12 tahun adalah kondisi yang menghalangi ataupun menghambat mereka
dalam menjalankan tugas perkembangan mereka. Pada tahapan ini mereka mulai
memperhatikan lawan jenis mereka dan mulai bertanya mengenai seksualitas, cara berpikir
merekapun mulai mengarah pada pemikiran yang bersifat abstrak di samping mereka
berkelompok. Jika mereka merasa terhalang dalam mencapai tugas perkembangan yang
telah disebutkan di atas maka mereka akan merasa tertekan. Memberikan kegiatan di luar
sekolah yang berlebihan tanpa memberikan kesempatan atau hanya memberikan sedikit
kesempatan anak untuk bersosialisasi adalah contoh pemisahan yang dimaksudkan di atas.
Anak dalam berinteraksi dengan lingkungan luarnya selalu mengadakan penilaian.
Penilaian utama yang dilakukan oleh anak adalah mengenai situasi yang sedang dihadapi.
Ada tiga kemungkinan penilaian yang diberikan oleh anak kepada situasi yang sedang
dihadapi. Kemungkinan pertama adalah penilaian yang tidak ada hubungannya dengan
situasi yang sedang dihadapi. Kemungkinan kedua adalah penilaian yang bersifat positif
sedangkan kemungkinan ketiga adalah penilaian yang bersifat menyakitkan dan negatif.
Penilaian kedua adalah penilaian yang meliputi kemampuan individual yang dimiliki oleh
anak. Jadi jika penilaian utama mengenai dunia luar anak, maka penilaian kedua mengenai
penilaian yang diberikan berdasarkan kemampuan anak sendiri.
Pada saat anak menghadapi suatu kondisi tertentu maka ia akan secara otomatis
mengadakan penilaian terhadap kondisi yang sedang dihadapinya, apakah kondisi ini
kondisi yang menekan ataukah tidak. Untuk menentukan kondisi tersebut maka ia akan
menilai kembali apakah kondisi tersebut berpengaruh terhadap apa yang sedang
dilakukannya dan apakah pengaruh tersebut positif ataukah negatif.
Penilaian tersebut sudah dapat diberikan oleh anak-anak seusia 10 -12 tahun karena
konsep diri mereka mulai terbentuk seiring dengan terbentuknya kematangan
perkembangan kognitifnya (Berk, 2000). Jika anak mengatakan kondisi itu tidak
berpengaruh terhadap apa yang sedang dilakukan maka kondisi tersebut akan diabaikan
tetapi jika kondisi tersebut berpengaruh positif atau negatif maka dengan segala
kemampuannya ia akan mengadakan pengatasan masalah untuk mendapatkan hasil yang
menyenangkan bagi dirinya. Jika pengatasan masalah yang dilakukan tidak menghasilkan
sesuatu yang menyenangkan maka ia akan menilai kondisi tersebut sebagai kondisi yang
menekan dan ia akan mengalami stres.
Jika anak memandang atau merasakan kondisi lingkungannya, seperti lingkungan
sekolah yang mempunyai jadwal padat, kegiatan ekstrakulikuler yang melelahkan,
pergaulan anak dengan teman yang penuh persaingan ataupun kondisi keluarga yang tidak
menyenangkan, masih dapat diatasi dengan kemampuan intelektual dan daya adaptasi yang
baik maka anak akan dapat mengatasi permasalahannya dengan baik.

Namun sebaliknya, anak yang mempunyai kemampuan adaptasi dan intelektual


yang terbatas maka ia akan mengalami pengalaman apakah itu pengalaman yang baik
ataupun buruk dalam mengatasi permasalahannnya. Jika anak mendapatkan pengalaman
yang baik maka ia dikatakan berhasil dalam mengatasi permasalahannya. Namun jika anak
mendapatkan pengalaman yang buruk maka ia akan mengalami tekanan-tekanan batin atau
stres yang nantinya akan mengakibatkan perilaku anak menjadi tidak efektif baik untuk
dirinya sendiri maupun orang lain.
Anak-anak pada usia sekolah dasar adalah anak-anak yang berada pada fase
transisi yaitu dari fase yang penuh perlindungan menuju pada fase kemandirian (Craig &
Kermis, 1995). Pada awal fase ini anak akan merasakan berpisah dengan orang yang
dicintai karena harus ke sekolah untuk mulai bisa bertanggungjawab terhadap dirinya
sendiri. Pada fase selanjutnya anak-anak dituntut untuk belajar berkelompok dan mengikuti
aturan-aturan formal yang dibuat di sekolah.
Aturan-aturan sosial di kelas akan membantu anak menyesuaikan diri dengan fase
perkembangannya. Demikian juga dengan kehadiran guru yang membantu akan
mengurangi perasaan takut yang dialami oleh anak (Frances, et al., 1981; Craig & Kermis,
1995). Pada fase perkembangan ini terdapat jarak kenyamanan yang sangat besar terjadi
pada diri anak. Jarak kenyamanan yang dimaksud adalah penerimaan anak di dalam rumah
sebagai anggota keluarga dan tuntutan baru yang didapat dari sekolah. Semakin jauh jarak
yang ada semakin sulit bagi anak untuk mengadakan adaptasi terhadap kedua hal baru
tersebut. Meskipun anak mulai mengerti membedakan tugas rumah dan kewajiban sekolah,
namun anak tetap bingung untuk menerima semuanya dalam satu kesatuan (Carr, 2006).
Oleh karena itu orang tua dan guru mempunyai peranan penting dalam hal ini.
Kegiatan yang berlebihan seperti yang dikatakan oleh Latona (2000)
mengakibatkan timbulnya kelelahan dan kecemasan bagi anak. Kegiatan yang berlebihan
yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan-kegiatan ektra di luar jam-jam pelajaran di
sekolah seperti kegiatan oleh raga, les tambahan untuk bidang pelajaran yang dirasakan
kurang dikuasai oleh anak dan kegiatan seni.
Berlebihan yang dimaksudkan di sini adalah apabila anak melakukannya dalam
sehari tanpa adanya waktu istirahat dan bermain yang cukup dalam frekuensi waktu
tertentu terus menerus dalam satu minggu. Kelelahan fisik dan kecemasan yang dirasakan
oleh anak inilah yang menjadikan anak stres.
Hal ini terjadi karena di satu sisi anak mempunyai keinginan untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan tersebut namun di sisi yang lainnya anak belum mampu untuk memenuhi
tuntutan tersebut. Ini merupakan konflik bagi anak. Bagi anak yang dapat beradaptasi
dengan baik akan tidak mendapatkan permasalahan yang berarti. Namun bagi anak yang
tidak dapat beradaptasi dengan baik akan menimbulkan permasalahan yang nantinya dapat
menimbulkan stres.

Menurut Garmezy dan Rutter (1983) stres pada anak dapat disebabkan oleh
pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan seperti kekurangan gizi, terjadi
penyiksaan seksual dan fisik, diabaikan, berpisah dengan orang tua atau orang yang
merawatnya. Sarason dan Sarason (1993) menambahkan bahwa stres anak disebabkan
karena sedang berada pada masa transisi perkembangan. Transisi perkembangan yang
dialami anak pada usia ini adalah langkah awal menjadi mandiri dan transisi untuk keluar
dari situasi rumah seperti sekolah dan berteman. Lachenmeyer dan Gibbs (1982)
menekankan bahwa perceraian orang tua dan kematian ibu atau orang yang merawatnya
adalah penyebab stres yang utama pada anak-anak.
Young sebagaimana disebutkan dalam Latona (2000) menyatakan ada dua
penyebab stres yaitu:
a. Faktor normatif, terjadi pada saat anak mengalami perubahan fase perkembangan
seperti kebutuhan berkelompok, kebutuhan penyelesaian tugas, perubahan
fisiologis, menyukai lawan jenis dan lain-lain. Pada dasarnya faktor normatif ini
merupakan bentuk produktif dari kecemasan yang nantinya membantu mereka
untuk berkembang dan menjadi mandiri.
b. Faktor lingkungan, terjadi karena adanya perubahan-perubahan hidup yang tidak
dimengerti dan membingungkan anak. Kejadian-kejadian yang dapat menjadi
pencetus adalah: (1) perceraian orang tua. Ketika orang tua bercerai atau
bertengkar, anak-anak merasa keamanan mereka terganggu sehingga membuat
mereka merasa sendiri dan ketakutan. (2) pindah. Anak-anak yang pindah dari
tempat yang sudah familier bagi mereka seringkali membuat mereka merasa tidak
aman, bingung dan cemas. Pindah yang dimaksudkan di sini adalah pindah
rumah, sekolah, maupun lingkungan bermain. Hal ini disebabkan karena mereka
terpisah dari teman-temannya. Selain itu ada beberapa hal yang juga dapat
menjadi pencetus yaitu :
a. kematian orang tua atau orang yang disayangi. Kematian ini sangat
menimbulkan peristiwa traumatik bagi anak terlebih jika merasa penyebab
kematian tersebut adalah mereka.
b. kegiatan yang berlebihan (baik itu kegiatan sekolah, di luar sekolah atau
rumah dan di dalam rumah).
c. tekanan-tekanan dari teman-teman sebayanya. Tekanan ini termasuk
pelecehan, penyiksaan baik fisik maupun mental dan pengucilan.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya stres pada anak
disebabkan oleh dua hal yaitu karena hal yang bersifat normatif yaitu perubahan yang
terjadi pada fase perkembangan dan yang berasal dari lingkungan yang disebabkan karena
terjadinya perubahan hidup. Ahli-ahli yang lain yang tersebut di atas mengatakan penyebab
stres dari satu segi saja sedangkan Young memberikan kategori yang dapat mencakup
semua pendapat dari ahli-ahli sebelumnya.

Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini penyebab stress pada anak
didasarkan pada factor penyebab stress yang dikemukakan oleh Latona. Pemetaan yang
diperoleh akan diketahui faktor utama penyebab stress pada anak. Pemetaan penyebab
stress anak ini merupakan penelitian yang mengarah pada penelitian tentang klasifikasi
penyebab stress pada anak.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan variabel tunggal (variable tergantung) yaitu penyebab
stress pada anak. Metode yang dipergunakan pada penelitian ini adalah metode survey,
yang datanya diperoleh dengan menggunakan skala Penyebab Stres Anak (skala PSA).
Definisi operasional penyebab stress pada anak adalah segala sesuatu yang
menyebabkan anak menjadi stress atau tidak nyaman baik yang berasal dari lingkungan di
dalam rumah (kenyamanan psikis, kenyamanan fisik) maupun lingkungan di luar rumah
(perlakuan di sekolah dan perlakuan oleh teman sepermainan)
Subyek penelitian adalah anak yang duduk di kelas IV s/d VI Sekolah Dasar di
Surabaya sejumlah 1450 siswa, terdiri dari 8 Sekolah Dasar dengan tiga macam lokasi
sekolah, yaitu 1). Lokasi sekolah bawah, dengan asumsi para orang tua siswa mempunyai
status ekonomi sosial kelas bawah. Lokasi bawah terdiri dari SDI Raden Patah, SDN
Nginden Jangkungan I, dan SDN Kertajaya XI. 2). Lokasi kelas menengah, dengan
asumsi para orang tua siswa mempunyai status ekonomi sosial kelas menengah. Lokasi ini
terdiri dari SDN Baratajaya, SDK Theresia II, dan SD Hang Tuah 3). Lokasi sekolah atas,
dengan asumsi para orang tua siswa mempunyai status ekonomi sosial kelas atas. Lokasi
ini terdiri dari SDN Kertajaya XIII dan SDK Theresia I.
Analisis data yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini adalah
Anava-2 Jalur untuk melihat perbedaan penyebab stress anak ditinjau dari lokasi sekolah
dan kelas, Uji-Z untuk melihat tingkatan atau kondisi subyek pada variabel yang diteliti
dan Statistik Deskriptif untuk melihat prosentase faktor atau indikator sehingga dapat
ditentukan urutan indikator penyebab stress pada anak baik secara keseluruhan, per faktor,
berdasarkan lokasi sekolah maupun kelas.

HASIL PENELITIAN
Hasil yang diperoleh dari ANAVA-2 Jalur menunjukkan ada perbedaan yang cukup
signifikan urutan indikator penyebab stress anak ditinjau dari lokasi sekolah dan perbedaan
yang sangat signifikan urutan indikator penyebab stress anak ditinjau dari kelas. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel. 1. Hasil Anava - 2 Jalur


Sumber

JK

db

RK

R2

Antar A

469.110

234.555

3.082

0.004

0.045

Antar B

903.096

451.548

5.934

0.008

0.003

Inter AB

506.244

126.561

1.663

0.005

0.155

Keterangan :
A : antar Lokasi Sekolah
B : antar Kelas
p : taraf signifikansi

Hasil Uji-Z secara keseluruhan menunjukkan Mean Teoritis (MT) = 110, Mean
Empiris (ME) = 80.479, dengan nilai Z = - 71.705 pada p = 0,000

(p < 0,01). Karena

nilai MT > ME, berarti rata-rata siswa SD yang menjadi subyek penelitian ini mempunyai
tingkat stress yang tergolong rendah. Demikian juga hasil Uji-Z antar lokasi sekolah dan
kelas menunjukkan bahwa MT > ME, sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata siswa SD
baik dari lokasi sekolah bawah, menengah dan atas; maupun siswa kelas IV, V dan VI
mempunyai tingkat stress yang tergolong rendah. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

Tabel. 2. Hasil Uji-Z berdasarkan Lokasi Sekolah


LOKASI SEKOLAH
BAWAH

MENENGAH

ATAS

MT

ME

Nilai Z

MT

ME

Nilai Z

MT

ME

Nilai Z

110

80.852

- 71.772

0.000

110

80.924

- 73.654

0.000

110

79.692

- 76.754

0.000

Tabel. 3. Hasil Uji-Z berdasarkan Kelas


KELAS
IV

VI

MT

ME

Nilai Z

MT

ME

Nilai Z

MT

ME

Nilai Z

110

79.389

- 71.577

0.000

110

80.643

- 72.599

0.000

110

81.310

- 78.956

0.000

Keterangan :
MT = Mean Teoritis
ME = Mean Empiris
p = Taraf Signifikansi

Berdasarkan hasil statistik Deskriptif ditemukan 2 (dua) indikator utama penyebab


stress pada anak yaitu perceraian orang tua dan kehilangan orang yang disayangi. Hasil
Statistik Deskriptif selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel.4. Hasil Statistik Deskriptif Perbandingan Urutan Faktor dan Indikator


penyebab stress pada anak.
NO

NAMA INDIKATOR

UMUM

FAKTOR

N = 1450

N = 1450

LOKASI SEKOLAH

KELAS

BAWAH

MENENGAH

ATAS

IV

VI

N = 465

N = 489

N = 496

N = 457

N = 490

N = 503

A. FAKTOR NORMATIF
1

Kebutuhan Berkelompok

II

VI

VI

VII

VI

VI

VI

Kebutuhan Penyelesaian Tugas

XI

IV

IV

Perubahan Fisiologis

IV

IV

III

IV

IV

IV

Menyukai Lawan Jenis

VIII

III

XI

XI

VI

IX

IX

VIII

B. FAKTOR LINGKUNGAN
5

Perceraian Orang Tua

Kehilangan Orang yang Disayangi

II

II

II

II

II

II

II

II

Perpindahan Tempat Tinggal

VII

XI

XI

Perpindahan Sekolah

IX

VI

IX

IX

XI

IX

Perpindahan Lingkungan Bermain

III

III

III

III

IV

III

III

III

10

Tuntutan Orang Tua

VII

VII

VIII

IX

VIII

VIII

VII

11

Tekanan Teman Sebaya

VI

IV

VIII

VII

VIII

VII

VII

XI

B. PEMBAHASAN
Pembahasan ini mengacu pada hasil Anava 2 jalur, Uji-Z dan Statistik Deskriptif.
Hasil Anava 2 Jalur menunjukkan ada perbedaan yang cukup signifikan urutan indicator
penyebab stress anak berdasarkan lokasi sekolah. Sedangkan jika dilihat dari tingkatan
kelas, hasilnya menunjukkan perbedaan urutan indicator penyebab stress anak yang sangat
signifikan. Artinya urutan indicator berdasarkan lokasi (bawah, menengah dan atas)
berbeda. Hal ini terjadi karena perbedaan status social ekonomi orang tua membuat anak
mempunyai kebutuhan kenyamanan yang berbeda pula. Sehingga kondisi stress yang
terjadi pada masing-masing anak berasal dari penyebab yang berbeda-beda.
Hasil Uji-Z menunjukkan bahwa rata-rata anak yang menjadi subyek penelitian ini
baik secara keseluruhan maupun dilihat dari lokasi sekolah dan kelas mempunyai tingkat
stress yang tergolong rendah. Hal ini terjadi karena subyek penelitian adalah anak-anak

yang kondisinya tergolong normal. Pada anak-anak yang tergolong normal memiliki
kemampuan untuk mengatasi kondisi dan permasalahan yang timbul di sekitar mereka
dengan baik. Artinya anak dapat secara cepat menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan yang tidak nyaman.
Statistik Deskriptif menghasilkan prosentase masing-masing indicator baik secara
umum maupun berdasarkan lokasi sekolah dan kelas sehingga dapat dapat ditentukan
urutan indikatornya
Berdasarkan analisis data secara umum tanpa memperhatikan faktor (nor-mative
dan lingkungan), lokasi sekolah (atas, menengah, dan bawah) maupun kelas (empat, lima
dan enam SD), diperoleh hasil perceraian orangtua secara umum merupakan penyebab
stress anak tertinggi (9,5 %), Hal ini dikarenakan, menurut Young ada perubahanperubahan hidup yang tidak dimengerti dan membingungkan anak. Kejadian-kejadian yang
dapat menjadi pencetusnya antara lain adalah perceraian orang tua. Ketika orang tua
bercerai atau bertengkar, anak-anak merasa keamanan mereka terganggu sehingga membuat mereka merasa sendiri dan ketakutan.
Pendapat di atas diperkuat oleh Carr (2006), yang mengatakan bahwa perceraian
orang tua dan kematian ibu atau orang yang merawatnya ada-lah penyebab stres yang
utama pada

anak-anak. Dari alasan tersebut sudah sewa-jarnya perceraian orangtua

menempati urutan teratas sebagai indikator penyebab stress anak dan Kehilangan orang
yang dicintai,

merupakan penyebab stress ke dua (9,2 %). Hampir sama dengan

perceraian orangtua, pada anak-anak usia sekolah dasar adalah anak-anak yang berada pada
fase transisi yaitu dari fase yang penuh perlindungan menuju pada fase kemandirian. Selain
itu pada awal fase ini anak akan merasakan berpisah dengan orang yang dicintai karena
harus ke sekolah untuk mulai bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Selaras dengan
usia perkembangannya maka anak-anak usia ini apabila dihadapkan pada kondisi
kehilangan orang yang dicintai merupakan hal yang berat dan menjadi penyebab stress,
meskipun tidak seberat perceraian orangtua.
Perpindahan lingkungan bermain, merupakan indikator penyebab stres urutan
ketiga secara umum (7,5%), Hal ini dikarenakan anak-anak usia ini berada pada fase
berkelompok, jadi pemisahan anak dengan kelompok atau teman-teman sebaya merupakan
tekanan baginya (Smidt, 2006). Dengan demikian anak-anak ketika lingkungan bermainnya
berpindah, yang berarti teman-temannya juga berganti dapat menjadi penyebab timbulnya
stress yang berarti
Perubahan fisiologis merupakan penyebab stress urutan keempat (6,99%), Anakanak subyek penelitian ini tergolong pada tahap perkembangan akhir masa kanak-kanak
(middle childhood), dengan rentang usia 6-12 tahun. Pada usia 6 sampai 10 tahun,
perkembangan biofisiknya mengalami masa stabil tidak seperti masa se-belumnya (usia 0
sampai 6 tahun), dan pada usia 10 sampai 12 tahun, saat mema-suki masa prepubertas,
perubahan-perubahan biofisik akan dirasakan kembali te-rutama pada organ-organ seksual
(Berk, 2000). Pada usia anak-anak ini beberapa anak wanita sudah ada yang menstruasi,

10

yang laki-laki sudah mimpi basah, bagi yang belum mengalami/menunggu pengalaman ini
cukup mencemaskan anak. Selain itu perubahan fisik dalam tubuh anak merupakan sesuatu
yang mengganggu mereka dalam pergaulan meskipun secara alamiah perubahan ini tidak
dapat dihentikan pertumbuhannya. Peran orang tua dalam memberikan pengertian bahwa
anak akan beranjak remaja menjadi sangat penting sehingga anak menjadi waspada
terhadap perubahan tubuh mereka dan konsekwensi akibat perubahan tersebut. Semakin
cepat anak menyadari bahwa kondisi fisiologis mereka ada yang berubah maka pemikiran
akan menjadi lebih dewasa, membuat anak men-jadi cemas. Pada satu sisi mereka belum
siap untuk tampil lebih dewasa, namun di sisi yang lain perubahan itu sudah terjadi pada
diri mereka.
Kebutuhan berkelompok merupakan penyebab stress urutan kelima (6,4%).
Anak-anak ini berada pada fase berkelompok, jadi pemisahan anak dengan kelompok atau
teman-teman sebayanya merupakan indikator penyebab stress baginya (Harris &
Butterworth, 2004). Tekanan teman sebaya merupakan penyebab stress urutan keenam
(6,1%). Hal ini dikarenakan menurut Young, untuk kelom-pok anak usia sekolah ini,
terutama untuk anak yang tergolong masa kanak-kanak akhir (kelas 4-6 SD) yang akan
mengakhiri tahap perkembangan akhir masa kanak-kanak, adalah kegiatan yang berlebihan
dan tekanan yang berasal dari teman sebayanya. Hal ini bias terjadi apabila anak tidak
mengikuti/menuruti ke-lompoknya. Tekanan ini termasuk pelecehan, penyiksaan baik fisik
maupun men-tal dan pengucilan.
Tuntutan orangtua merupakan penyebab stress urutan ke-tujuh (6%), Hal ini
dikarenakan apabila tuntutan orangtua menyebabkan terjadi-nya pemisahan anak dengan
kelompoknya, ini merupakan hal yang menimbulkan ketegangan dan perasaaan tidak
nyaman (Latona, 2000). Tuntutan ini juga tercer-min dari pemberian tugas yang berlebihan
sehingga anak merasa tidak mampu (melampaui kemampuannya), atau menyebabkan anak
kurang dapat bermain de-ngan kelompoknya atau bahkan tidak dapat bermain sama sekali.
Hal inilah yang memicu terjadinya stres pada anak-anak.
Menyukai lawan jenis, merupakan penyebab stress urutan kedelapan (5,78%).
Seiring bertambahnya usia anak, sampailah pada fase anak-anak akhir yang ditandai
dengan siap berfungsinya organ-organ seksual yang berdampak tertarik kepada lawan
jenisnya. Kondisi ini apabila tidak dibarengi dengan keberanian dan kepercayaan diri
berakibat anak menjadi malu, rendah diri dan cemas.
Indikator perpindahan sekolah merupakan penyebab stress urutan kesembilan
(5,8%). Anak-anak yang pindah dari tempat yang sudah familier dalam hal ini sekolah
(yang pada anak kelas 4-6 SD sudah mempunyai banyak teman), bagi mereka seringkali
membuat mereka merasa tidak aman, bingung dan cemas. Hal ini disebabkan karena
mereka terpisah dari teman-temannya, yang apabila di-perbandingkan dengan teman-teman
di sekitar tempat tinggal, teman sekolah le-bih beragam stratanya, sehingga ketika harus
pindah sekolah harus mencari teman lagi. Hal ini lebih mencemaskan bila disbanding
mencari teman di sekitar tempat tinggalnya.

11

Indikator perpindahan tempat tinggal merupakan penyebab stress urutan kesepuluh (5,7%). Sebagaimana pada indicator perpindahan sekolah di atas, anak-anak yang
pindah dari tempat yang sudah familier dalam hal ini tempat tinggal, bagi mereka
seringkali membuat mereka merasa tidak aman, bingung dan cemas. Hal ini disebabkan
karena mereka terpisah dari teman-temannya, meskipun ting-kat kecemasannya lebih
rendah bila dibandingkan dengan perpindahan sekolah.
Indikator kebutuhan penyelesaian tugas merupakan penyebab stress urutan
kesebelas (5,3%). Kebutuhan penyelesaian tugas ini dapat dikaitkan dengan anak mulai
belajar bertanggungjawab dan mulai belajar untuk menerima konsekuensi baik yang
bersifat positif maupun negatif berkenaan dengan penyelesaian tugas. Pada usia ini, anak
mulai dinilai apakah mereka mampu atau tidak dalam penye-lesaian tugas. Hal inilah yang
menyebabkan anak menjadi stress.

PEMBAHASAN UMUM BERDASARKAN FAKTOR


Urutan indikator berdasarkan faktor normatif dan lingkungan, tanpa memperhatikan
lokasi sekolah (atas, menengah, dan atas), serta kelas (empat, lima dan enam SD) adalah
sebagai berikut:

FAKTOR NORMATIF
Perubahan fisiologis merupakan indikator dari faktor normatif penyebab stress
tertinggi (28,66%), hal ini disebabkan oleh karena ; Anak-anak subyek penelitian ini
tergolong pada tahap perkembangan akhir masa kanak-kanak (middle child-hood), dengan
rentang usia 6-12 tahun. Pada usia 6 sampai 10 tahun,

perkembangan biofisiknya

mengalami masa stabil tidak seperti masa sebelumnya (usia 0 sampai 6 tahun), dan pada
usia 10 sampai 12 tahun, saat memasuki masa prepu-bertas, perubahan-perubahan biofisik
akan dirasakan kembali terutama pada organ-organ seksual (Berk, 2000). Pada usia anakanak ini beberapa anak wanita sudah ada yang menstruasi, yang laki-laki sudah mimpi
basah, bagi yang belum mengalami/menunggu pengalaman ini cukup mencemaskan anak.
Selain itu perubahan fisik dalam tubuh anak merupakan sesuatu yang mengganggu mereka
da-lam pergaulan meskipun secara alamiah perubahan ini tidak dapat dihentikan pertumbuhannya. Peran orang tua dalam memberikan pengertian bahwa anak akan beranjak
remaja menjadi sangat penting sehingga anak menjadi waspada terhadap perubahan tubuh
mereka dan konsekwensi akibat perubahan tersebut. Semakin cepat anak menyadari bahwa
kondisi fisiologis mereka ada yang berubah maka pemikiran akan menjadi lebih dewasa,
membuat anak menjadi cemas. Pada satu sisi mereka belum siap untuk tampil lebih
dewasa, namun di sisi yang lain peru-bahan itu sudah terjadi pada diri mereka.
Kebutuhan berkelompok merupakan indikator dari faktor normatif penyebab
stress kedua (26,097%), hal ini dikarenakan mereka berada pada fase berkelompok, jadi
pemisahan anak dengan kelompok atau teman-teman sebaya merupakan stresor baginya.

12

Menyukai lawan jenis, merupakan indikator dari faktor normatif penyebab stress
ketiga (23,67%), hal ini dikarenakan seiring bertambahnya usia anak, sampailah pada fase
anak-anak akhir yang ditandai dengan siap berfungsinya organ-organ seksual yang
berdampak tertarik kepada lawan jenisnya. Kondisi ini apabila tidak dibarengi dengan
keberanian dan kepercayaan diri berakibat anak menjadi malu, rendah diri dan cemas.
Kebutuhan penyelesaian tugas, merupakan indikator dari faktor normatif penyebab
stress keempat (21,58%), hal ini dikarenakan kebutuhan penyelesaian tugas ini dapat
dikaitkan dengan anak mulai belajar bertanggungjawab dan mulai belajar untuk menerima
konsekuensi baik yang bersifat positif maupun negatif berkenaan dengan penyelesaian
tugas. Pada usia ini, anak mulai dinilai apakah mereka mampu atau tidak dalam
penyelesaian tugas. Hal inilah yang menye-babkan anak menjadi stress.

FAKTOR LINGKUNGAN
Perceraian orangtua merupakan indikator dari faktor lingkungan penyebab stress
tertinggi (19,16 %).

Hal ini dikarenakan, menurut Young (dalam Latona, 2000) ada

perubahan-perubahan hidup yang tidak dimengerti dan membingungkan anak. Kejadiankejadian yang dapat menjadi pencetusnya antara lain adalah perceraian orang tua. Ketika
orang tua bercerai atau bertengkar, anak-anak merasa keamanan mereka terganggu
sehingga mem-buat mereka merasa sendiri dan ketakutan.
Pendapat di atas diperkuat oleh Carr (2006), yang mengatakan bahwa perceraian
orang tua dan kematian ibu atau orang yang merawatnya ada-lah penyebab stres yang
utama pada

anak-anak. Dari alasan tersebut sudah sewa-jarnya perceraian orangtua

menempati urutan teratas sebagai indikator penyebab stress anak dan Kehilangan orang
yang dicintai, merupakan indikator dari faktor lingkungan penyebab stress urutan ke
dua(18,41 %). Hampir sama dengan per-ceraian orangtua, pada anak-anak usia sekolah
dasar adalah anak-anak yang berada pada fase transisi yaitu dari fase yang penuh
perlindungan menuju pada fase kemandirian (Craig & Kermis, 1995). Selain itu pada awal
fase ini anak akan me-rasakan berpisah dengan orang yang dicintai karena harus ke sekolah
untuk

mulai

bertanggungjawab

terhadap

dirinya

sendiri.

Selaras

dengan

usia

perkembangannya maka anak-anak usia ini apabila dihadapkan pada kondisi kehilangan
orang yang dicintai merupakan hal yang berat dan menjadi penyebab stress, meskipun tidak
seberat perceraian orangtua.
Perpindahan lingkungan bermain, merupakan indikator dari faktor lingkungan
penyebab stress urutan ketiga (15,12%). Hal ini dikarenakan anak-anak usia ini berada
pada fase berkelompok, jadi pemisahan anak dengan kelompok atau te-man-teman sebaya
merupakan tekanan baginya. Dengan demikian anak-anak ketika lingkungan bermainnya
berpindah, yang berarti teman-temannya juga berganti dapat menjadi penyebab timbulnya
stress yang berarti. Tekanan teman sebaya, merupakan indikator dari faktor lingkungan
penyebab stress keempat (12,19 %). Hal ini dikarenakan menurut Young (dalam Latona,
2000), untuk kelompok anak usia sekolah ini, terutama untuk anak yang tergolong masa
kanak-kanak akhir (kelas 4-6 SD) yang akan mengakhiri tahap perkembangan akhir masa

13

kanak-kanak, adalah kegiatan yang berlebihan dan tekanan yang berasal dari teman
sebayanya. Hal ini bias terjadi apabila anak tidak mengikuti/menuruti ke-lompoknya.
Tekanan ini termasuk pelecehan, penyiksaan baik fisik maupun men-tal dan pengucilan.
Tuntutan orangtua secara umum, merupakan indikator dari faktor lingkungan penyebab
stress kelima (12,07 %). Hal ini dikarenakan apabila tuntutan orangtua menyebabkan
terjadinya pemisahan anak dengan kelompoknya, ini merupakan hal yang menimbulkan
ketegangan dan perasaaan tidak nyaman (Latona, 2000). Tuntutan ini juga tercermin dari
pemberian tugas yang berlebihan sehingga anak merasa tidak mampu (melampaui
kemampuannya), atau menye-babkan anak kurang dapat bermain dengan kelompoknya
atau bahkan tidak dapat bermain sama sekali. Hal inilah yang memicu terjadinya stres pada
anak-anak.
Perpindahan sekolah, merupakan indikator dari faktor lingkungan penyebab stress
keenam (11,58 %). Anak-anak yang pindah dari tempat yang sudah familier dalam hal ini
sekolah (yang pada anak kelas 4-6 SD sudah mempunyai banyak teman), bagi mereka
seringkali membuat mereka merasa tidak aman, bingung dan cemas. Hal ini disebabkan
karena mereka terpisah dari teman-temannya, yang apabila diperbandingkan dengan temanteman di sekitar tempat tinggal, teman sekolah lebih beragam stratanya, sehingga ketika
harus pindah sekolah harus mencari teman lagi. Hal ini lebih mencemaskan bila dibanding
mencari teman di sekitar tempat tinggalnya.
Perpindahan tempat tinggal, merupakan indikator dari faktor lingkungan penyebab stress ketujuh (11,49 %). Sebagaimana pada indikator perpindahan seko-lah di atas,
anak-anak yang pindah dari tempat yang sudah familier dalam hal ini tempat tinggal, bagi
mereka seringkali membuat mereka merasa tidak aman, bi-ngung dan cemas. Hal ini
disebabkan karena mereka terpisah dari teman-teman-nya, meskipun tingkat kecemasannya
lebih rendah bila dibandingkan dengan per-pindahan sekolah.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anlisis data maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata tingkat
stres pada subyek penelitian yang tergolong dalam kondisi normal termasuk pada kategori
rendah. Ditemukan juga bahwa penyebab stres anak ditinjau dari lokasi sekolah dan kelas
ternyata berbeda. Namun secara umum, indikator utama penyebab stres anak baik secara
keseluruhan tanpa membedakan lokasi sekolah dan kelas, maupun dengan melihat lokasi
sekolah dan kelas ternyata sama yaitu urutan pertama adalah perceraian orang tua dan
urutan kedua adalah kehilangan orang yang disayangi. Sementara indikator penyebab stres
anak yang lain cukup bervariasi sesuai dengan kategorinya.

14

Daftar Pustaka

Carr, A. (2006). The Handbook of Child and Adolescent Clinical Psychology: A Contextual
Approach. 2nd edt. London: Routledge
Craig, G.J & Kermis, M.D (1995). Children Today. New Jersey: Prentice Hall Englewood
Cliffs.
Harris, M. & Butterworth, G. (2004). Developmental Psychology. A students Handbook.
New York : Psychology Press
Hurlock, E.B (1991). Psikologi Perkembangan (terjemahan). Edisi Kelima. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Kirwin, K M & Hamrin V (2005). Decreasing the Risk of Complicated Bereavement and
Future Psychiatric Disorders in Children. Journal of Child and Adolescent
Psychiatric Nursing, Vol. 18, No.1, 62-78
Lachenmeyer, J.R & Gibbs, M.S (1982). Psychopatology in Childhood. New York:
Gardner Press, Inc.
Latona,V
(2000).
Coping
with
Child
Stress.

HYPERLINK
"http://www.americanbaby.com" http://www.americanbaby.com.
Lavee Y (2005). Correlates of Change in Marital Relationships Under Stress: The Case of
Childhood Cancer. The Journal of Contemporary Social Services. Vol 86, No.1, 112
Lazarus, R.S (1976). Patterns of Adjustment. 3rd ed. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha, Ltd.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2002). A Childs World. Boston : McGraw
Hill
Regehr, C, Hemsworth, D, Hill, J (2001). Individual Predictors of Posttraumatic Distress:
A Structural Equation Model.Canada J Psychiatry, Vol 46, 156-161
Rutter, M (1983). Stress, Coping and Development: some Issues and some Question. In N.
Garmezy & M. Rutter (edt). ). Stress, Coping and Development In Children. USA:
R.R Donnelly and Sons, Inc.
Sarason, I.G & Sarason, B.R (1993). Abnormal Psychology: The Problem of Mal adaptive
Behavior. 7th ed. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Sawyer, E.H & Ashburn, S.S (1980). Psycho-Social Development during the School-Age
Years. In Schuster, C.S & Ashburn, S.S (edt).The Process of Human Development: A
Holistic Approach. Boston: Little, Brown and Company.
Schuster, C.S (1980). Biophysical Development of The School-Age Child. In Schuster, C.S
& Ashburn, S.S (edt). The Process of Human Development: A Holistic Approach.
Boston: Little, Brown and Company.
Smidt, S. (2006). The Developing Child in The 21st Century: A Global Perspective on Child
Development. London: Routledge
Vernberg, E M, LaGreca, A M, Silverman, W K, Prinstein, M J (1996). Prediction of
Posttraumatic Stress Symptoms in Children After Hurricane Andrew. Journal of
Abnormal Psychology, Vol 105, N. 2, 237-248

15

Anda mungkin juga menyukai