Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun,
psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011) Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun, psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011) Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun, psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011) Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun, psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011) Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun, psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011) Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun, psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011) Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun, psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011) Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun, psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011) Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun, psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6 tahun, pada periode ini pertumbuhan fisik melambat dan perkembangan psikososial serta kognitif mengalami peningkatan. Anak mulai mengembangkan rasa ingin tahunya, dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik. Permainan merupakan cara yang digunakan anak untuk belajar dan mengembangkan hubungannya dengan orang lain (DeLaune & Ladner, 2011). Usia prasekolah merupakan periode yang optimal bagi anak untuk mulai menunjukkan minat dalam kesehatan, anak mengalami perkembangan bahasa dan berinteraksi terhadap lingkungan sosial, mengeksplorasi pemisahan emosional, bergantian antara keras kepala dan keceriaan, antara eksplorasi berani dan ketergantungan. Anak usia prasekolah mereka tahu bahwa dapat melakukan sesuatu yang lebih, tetapi mereka juga sangat menyadari hambatan pada diri mereka dengan orang dewasa serta kemampuan mereka sendiri yang terbatas (Kliegman, Behrman, Jenson, & Stanton, 2007). Usia tiga hingga lima tahun disebut The Wonder Years yaitu masa dimana seorang anak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi terhadap sesuatu, sangat dinamis dari kegembiraan ke rengekan, dari amukan ke pelukan. Anak usia prasekolah adalah penjelajah, ilmuwan, seniman, dan peneliti. Mereka suka belajar dan terus mencari tahu, bagaimana menjadi teman, bagaimana terlibat dengan dunia, dan bagaimana mengendalikan tubuh, emosi, dan pikiran mereka. Dengan sedikit bantuan dari Anda, periode ini akan membangun fondasi yang aman dan tidak terbatas untuk seluruh masa kecil putra atau putri Anda (Markham, 2019). Setiap orang tua mengidamkan memiliki anak yang sehat, cerdas, berpenampilan menarik, dan berakhlak mulia. Prinsip memperhatikan bibit, bobot, bebet yang berkembang di masyarakat kita sejak jaman dahulu dalam memilih calon pasangan hidup salah satunya bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang sesuai dengan kriteria tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman prinsip tersebut cenderung telah diabaikan, padahal prinsip tersebut tidak selamanya bertentangan dengan teori pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain faktor keturunan masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi kualitas seorang anak. Kualitas seorang anak dapat dinilai dari proses tumbuhkembang. Proses tumbuh kembang merupakan hasil interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor keturunan adalah faktor yang berhubungan dengan gen yang berasal dari ayah dan ibu, sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan biologis, fisik, psikologis, dan sosial. Proses pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui setiap anak tentunya tidak sama dan memiliki keunikan masing-masing. Permasalahan yang dihadapi juga berbeda-beda dari satu anak ke anak lain. Permasalahan yang muncul dapat berupa gangguan pada tahap perkembangan fisik, gangguan bahasa, gangguan emosi maupun gangguan sensori motorik. Salah satu gangguan pada masa kanak-kanak yang menjadi ketakutan orang tua saat ini adalah autisme. Autisme awalnya belum banyak diketahui dan ada yang menyebutnya sebagai penyakit jiwa, anak idiot, sekedar anak nakal tidak disiplin, hingga terasuki roh halus, namun secara umum autisme memiliki gejala tertentu yang sama yakni tak bisa bersosialisasi, berkomunikasi, tak peduli lingkungan, tertawa atau bicara sendiri, serta asik dalam dunianya. Sosialisasi merupakan suatu proses yang terus terjadi selama hidup manusia. Didalam masa pertumbuhan anak sosialisasi mempunyai peran penting yaitu untuk dapat berinteraksi dengan orang lain. Begitupun dengan anak-anak yang mengalami gangguan baik fisik maupun psikis, mereka tetap membutuhkan adanya sosialisasi untuk keberlangsungan hidupnya. Sosialisasi sangat dibutuhkan bagi orang tua yang mempunyai anak yang bermasalah seperti anak autisme, yaitu untuk mencari informasi seputar gejala autisme dan faktor penyebab autisme, istilah autisme sendiri berasal dari bahasa yunani, yaitu autos, atau self berarti sendiri. Istilah autisme diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner. Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan satu jenis gangguan perkembangan pada anak, atau dengan kata lain autisme (autism) adalah kesendirian, kecenderungan menyendiri, atau cara berpikir yang dikendalikan kebutuhan personal atau diri sendiri, menanggapi dunia dengan berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, menolak realita keyakinan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri. Terlihat acuh dengan lingkungan dan cenderung menyendiri seakan-akan hidup dalam dunia yang berbeda, perilaku aneh yang tergolong gangguan perkembangan berat ini terjadi karena berbagai faktor seperti orang tua, psikogenetik, lingkungan, sosiokultural, dan perinatal. Menurut Safaria, autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditujukan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, ekolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitasbermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsessif untuk mempertahankan keteraturan didalam lingkungan. Penyebab munculnya autisme, antara lain karena adanya keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan, seperti timbale, merkuri, cadmium, spasma infatil, rubella kongenital, sklerosis tuberosa, lipidosis serebral, dan anomaly kromosom x rapuh. Selain itu anak autisme memiliki masalah neorologis dengan cerebral cortex,cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang otak, pons, hipotalamus, hipofisis, medulla dan saraf-saraf panca indera saraf penglihatan atau saraf pendengaran dan gejala umum yang bisa diamati pada anak autis adalah gangguan pola tidur, gangguan pencernaan, gangguan fungsi kognisi, tidak adanya kontak mata, komunikasi satu arah, afasia, menstimulasi diri, mengamuk (temper tantrum), tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh dan gangguan motorik stereotipik. Penyebab terjadinya autisme diatas mengakibatkan masalah gangguan atau keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi (verbal dan non verbal), interaksi sosial, ganguan perasaan dan emosi serta sensori interaksi pada anak autisme yang dapat menyebabkan anak autisme merasa hidup sendiri tidak mempunyai teman Sebagai manusia normal yang memiliki perasaan dan pikiran, setiap orang tua yang memiliki buah hati pastilah menginginkan yang terbaik untukanaknya mereka. Kasih sayang, perhatian , pendidikan fasilitas dan hal- hal lainnya tentu adalah yang terbaik yang bisa diberikan untuk si anak, bagaimana dengan orang tua yang dikaruniai anak dengan berbagai keterbatasan seperti anak autisme, bagi sebagian besar orang tua yang memiliki anak autisme, hal tersebut tidaklah mudah. Butuh proses untuk dapat menerima keadaan atau kondisi anak, yang bisa dikatakan tidak seperti anak normal lainnya. Tahap pertama yang bisa dirasakan orang tua adalah munculnya perasaan shock, mengalami goncangan batin, terkejut dan tidak mempercayai kenyataan kecacatan yang diderita anaknya. Pada tahap ini biasanya orang tua akan banyak mencari tau keadaan anaknya dan mencoba memperoleh berbagai diagnosis dari dokter maupun sejenis terapi yang bisa memberikan prognosis yang lebih positif. Tahap kedua orang tua merasa kecewa, sedih, khawatir, takut dan mungkin marah ketika mengetahui realita yang harus dihadapi. Pada saat ini, orang tua akan sering merasa bersalah dan menyangkal kenyataan yang dihadapinya. Reaksi perasaan muncul dalam bentuk pertanyaan, mengapa kami dicoba? Apakah kesalahan kami?, dan seterusnya. Proses penerimaan ini akan memakan waktu lama, selain itu juga mungkin akan berfluktuasi.6 Tahap terakhir orang tua kemudian mulai bisa menyesuiakan diri dengan kondisi anak tersebut. Pelayanan khusus anak Attentions Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Sangat dibutuhkan untuk dapat membantu anak berkebutuhan khusus dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut pemaparan Dr Eliyati dari Asosias Kesehatan Jiwa Anak Dan Remaja Indonesia (Akeswari) yaitu gangguan ini merupakan jangka panjang yang menyerang anak hingga dewasa (Noviarni Sri , 2016). Attentions Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) di Indonesia termasukcukup tinggi angkanya, dengan jumlah mencapai 26,4%. Hal ini diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik Nasional 2007 bahwa terdapat 82 juta populasi anak di Indonesia, satu diantara lima anak dan remaja dibawah usia 18 tahun mengalami masalah kesehatan jiwa, sedikitnya ada 16 juta anak mengalami masalah kejiwaan termasuk ADHD. Gangguan hiperaktivitas ini dapat dijumpai dalam kehidupan seharihari pada anak usia sekolah sampai remaja, bahkan apabila tidak segera ditangani maka akan berpengaruh kepada masa depan seseorang (Barkley, 1981). Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak (2002), menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Gangguan ini perlu ditangani sedini mungkin untuk menghindari kemungkinan akan mengakibatkan efek yang lebih berat di saat dewasa. Sebagian besar, anak dengan Attentions Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) menunjukkan gejala utama yaitu aktivitas yang berlebihan, tidak dapat diam, selalu ingin bergerak, tidak mampu memusatkan perhatiannya dan menunjukkan impulsivitas yang mengakibatkan anak memiliki kesulitan belajar dan kesulitan berinteraksi dengan anak lain. Selain itu, gangguan ini berasal fungsi otak yang kronis, yang mengakibatkan fungsi kognitif tidak berkembang sesuai usia anak normal lainnya. Penderita gangguan ini lebih sering mengalami kesulitan mengendalikan emosi dari pada anak normal, kemampuan bertoleransi terhadap frustasi rendah dan emosinya mudah meledak (Saputro, 2009). Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktif (ADHD) merupakan salah satu Anak Berkebutuhan Khusus yang membutuhkan pelayanan khusus dalam memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh anak ADHD terutama dalam mendapatkan pendidikan formal. Menurut (Sugiarmin M. B., 2006) dalambuku yang berjudul “Memahami dan Membantu Anak ADHD” terdapat beberapa hal yang dibutuhkan anak ADHD, yaitu berkaitan dengan kebutuhan pengendalian diri, dan kebutuhan belajar. Pertama, kebutuhan pengendalian diri berkaitan dengan pengurangan atau menghilangkan hyperaktivitas, meningkatkan rentang perhatian dan pengendalian impulsivitas. Kedua, kebutuhan belajar yaitu Anak ADHD seperti anak normal lainnya membutuhkan pengembangan diri yaitu melalui belajar karena hambatan yang dialami akan pemenuhan kebutuhan belajar pada anak ADHD tidak semulus pada anak umumnya. Tanpa bantuan yang dirancang secara khusus, maka anak ADHD akan mengalami kesulitan untuk bisa belajar secara optimal dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Padahal secara umum potensi mereka memiliki tingkat kecerdasan yang relatif baik, bahkan sama seperti anak normal pada umumnya. Menurut (Haryati, 2018) terdapat beberapa model pelayanan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus, salah satunya model kelas inklusif. Model kelas ini menyertakan peserta didik dalam kurikulum peserta didik di kelas reguler. Tidak banyak perubahan pada kurikulum di kelas inklusif ini, karena semua di sesuaikan dengan kondisi peserta didiknya. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadis. (2006). Pendidikan Anak Autistik. Bandung: Alfabeta.
DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2011). Nursing Fundamentals: Standards &
Practice. Cengage Learning.
Fatimah.(2006). Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik)
Bandung: C.V Pustaka Setia.
Kliegman, R. M., Behrman, R. E., Jenson, H. B., & Stanton, B. M. (2007). Nelson textbook of pediatrics e-book. Elsevier Health Sciences.
Markham, L. (2019). Learn what your preschooler needs to thrive. Retrieved
September 25, 2019, from https://www.ahaparenting. com/Ages-stages/preschoolers/wonder-years. Suharsimi, T. (2009). Psikologi Anak Berkbutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Wijaya, S. Nurwachid. (2008). Pemahaman Tentang Autisme Terhadap
Penerimaan Orang Tua Yang Memiliki Anak Autisme. (Skripsi) Fakultas Psikologi Universitas Inuwardhana Malang.