Anda di halaman 1dari 58

BAB I

TEORI RALAT

A. Pendahuluan

Fisika mempelajari peristiwa alam secara kuantitatif, sehingga masalah pengukuran


besaran fisis memiliki arti penting. Mengukur adalah membandingkan besaran fisis
dengan besaran fisis sejenis sebagai standar yang telah diperjanjikan terlebih dahulu.
Tujuan pengukuran adalah untuk mengetahui nilai ukur dari benda yang diukur
dengan hasil yang benar-benar tepat. Satu benda bila diukur berulang akan
menghasilkan nilai ukur berbeda, sehingga usaha untuk memperoleh hasil ukur yang
tepat tidak pernah tercapai, dan yang dapat dicapai hanyalah hasil ukur mungkin
benar dan nilai kisaran hasil ukur. Jika besaran yang diukur adalah x, hasil ukur
mungkin benar adalah nilai rerata pengukuran x́. Sampai saat ini belum ada metoda
lain yang lebih baik dibandingkan dengan yang ditentukan dengan nilai rerata
pengukuran. Nilai kisaran hasil ukur adalah x =x ± x , nilai ini ada diantara x
minimum ( x=x ± x ) sampai dengan x maksimum ( x=x ± x ). Nilai x adalah ralat
(error) pada pengukuran besaran x. Ralat ini muncul karena keterbatasan kemampuan
alat ukur. Alat ukur dinyatakan teliti bila alat itu digunakan untuk mengukur
memberikan nilai x yang kecil. Hasil pengukuran disebut baik, bila dalam

pengukuran itu diperoleh ralat relatif ( xx ) bernilai kecil.


B. Faktor Penyebab Timbulnya Ralat

Faktor penyebab timbulnya ralat dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu ralat
sistematik (systematic error), ralat rambang (random error), dan ralat kekeliruan
pengukuran. Ketiga jenis ralat itu diuraikan sebagai berikut.
1. Ralat sistematik
Ralat kelompok ini bersifat tetap, dapat dibuang dan pada umumnya disebabkan oleh
faktor-faktor berikut ini.
a. Faktor alat, misal karena: kalibrasi alat, nilai skala, kondisi alat yang berubah,
pengaruh alat terhadap besaran yang diukur.

1
b. Faktor pengamatan, misal karena: ketidak cermatan pengamat dalam membaca,
yang disebabkan pada saat membaca kepala terlalu miring ke kanan atau ke kiri,
sehingga nilai terbaca bergeser dari nilai yang sebenarnya.
c. Kondisi fisis pengamatan, misal karena kondisi fisis pada saat pengamatan tidak
sama dengan kondisi fisis pada saat peneraan alat, sehingga mempengaruhi
penunjukan alat.
d. Metoda pengamatan, ketidak tepatan pemilihan metoda akan mempengaruhi hasil
pengamatan, misal sering terjadi kebocoran besaran fisis seperti panas, cahaya
dan sebagainya.

2. Ralat rambang
Setiap pengukuran atau pengamatan berulang untuk suatu besaran fisis yang tetap
ternyata menghasilkan nilai yang berbeda. Ralat yang terjadi pada pengukuran
berulang ini disebut sebagai ralat rambang atau ralat kebetulan atau ralat random.
Faktor-faktor penyebab ralat rambang adalah sebagai berikut.
a. Salah tafsir, misal penafsiran terhadap harga skala terkecil oleh pengamat
berbeda dari waktu ke waktu.
b. Kondisi fisis yang berubah (fluktuatif) misal karena suhu atau tegangan listrik
ruang yang tidak stabil.
c. Gangguan, misal karena ada medan magnet yang kuat mempengaruhi
penunjukan meter-meter listrik.
d. Definisi, misal karena penampang pipa tidak bulat betul maka penentuan
diameter pipa akan menimbulkan ralat.

3. Ralat kekeliruan pengukuran


Kekeliruan pengukuran oleh pengamat dapat terjadi karena:
a. Salah berbuat, misal: salah baca, salah pengaturan situasi/kondisi, salah
menghitung (ayunan 10 kali hanya terhitung 9 kali).
b. Salah hitung, terjadi pada hitungan dengan pembulatan.
C. Perhitungan Ralat

2
Berdasarkan uraian di atas, dapat dimengerti bahwa ralat selalu muncul pada setiap
pengukuran, yang disebabkan oleh keterbatasan alat ukur baik pada alat ukur itu
sendiri maupun pada pengukuran. Usaha yang dapat dilakukan adalah memperkecil
ralat itu, sehingga diperoleh hasil yang teliti dan dapat dipercaya.
Dalam pengukuran dikenal istilah estimasi, yaitu usaha untuk memperkecil ralat dan
kalau mungkin membuangnya sama sekali. Estimasi ralat sistematis dilakukan
dengan melakukan cheking pada alat ukur dan membetulkan penunjukan skala,
check nilai terbaca, atau pilih metoda analisis yang benar. Ralat rambang diestimasi
dengan pengukuran berkali-kali. Ralat kekeliruan tindakan merupakan ralat yang
disebabkan perilaku pengukur.
Pengukuran besaran dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pada
pengukuran besaran secara langsung benda diukur dan langsung diperoleh hasil
ukurnya, misal pada pengukuran diameter pensil dengan jangka sorong. Pada
pengukuran tidak langsung hasil ukur yang dicari melalui hitungan dari besaran yang
diukur langsung, misal pada pengukuran volume pensil yang dilakukan dengan
mengukur diameter pensil dengan jangka sorong dan panjang pensil dengan mistar.
Ralat pengukuran langsung terjadi karena pengamatan dan merupakan ralat rambang.
Ralat pengukuran tidak langsung terjadi karena ralat rambang dari setiap jenis
pengamatan secara langsung, ralat ini menyebabkan ralat yang merambat. Semakin
banyak parameter yang diukur langsung, maka ralat hasil ukur semakin besar.
Keadaan ini disebabkan oleh perambatan tiap-tiap ralat oleh setiap pengukuran
langsung yang menyumbang ralat hasil pada pengukuran tidak langsung. Penyebab
ralat pada pengukuran adalah sebagai berikut.
1. Ralat pengamatan
Bila pengamatan atau pengukuran dilakukan beberapa kali pada besaran yang diukur
secara langsung, hasilnya dapat berbeda-beda. Sebagai contoh pengukuran yang
dilakukan k kali dengan hasil pengukuran ke i adalah xi (i=1,2,3,…k). Nilai terbaik
atau yang mungkin benar adalah nilai rerata dari hasil uji itu, dilambangkan dengan
x́, yang memenuhi persamaan:

3
k
xi x1 + x 2 + x3 + …+ x k
x=∑
i=1 = (1.1)
k
k

Selisih atau penyimpangan antara nilai ukur ke i dengan nilai ukur rerata disebut
deviasi (dengan lambing x), sehingga:

x=x 1−x (1.2)

Deviasi merupakan penyimpangan terhadap nilai terbaik dari nilai terukur yang
bersangkutan (xi). Dikenal pula istilah deviasi standar, yang didefinisikan sebagai
akar rerata kuadrat deviasinya (x) atau

k k

√ √
2
x= ∑ ( xi ) ∑ ( x i−x )2 (1.3)
i=1 i=1
−¿
k (k −1) k (k −1)

Sedangkan deviasi standar relatifnya ditulis sebagai

x x
x r= , atau x r = . 100 (1.4)
x x

Selanjutnya harga atau nilai dari suatu pengukuran (x) dapat ditulis:

x =x ±x (1.5)

Nilai pengukuran seringkali dinyatakan sebagai ketelitian, atau disebut juga


kecermatan, yaitu 1 - x ratau 100 - x r 100%. Ketelitian dapat dianggap sebagai
jaminan akan kebenaran hasil pengukuran. Perhatikan contoh berikut ini. Sebatang
logam diukur panjangnya 10 kali dengan hasil ukur seperti pada Tabel 1.1. berikut.
k k
2
Dari tabel diperoleh informasi bahwa k = 10, ∑ x i = 479,90, ∑ ( xi ) = 0,0036
i=1 i=1

4
Tabel 1.1. Data hasil pengukuran panjang batang

Pengukura Nilai Deviasi Kuadrat


n terukur x i ∂ x=x i−x deviasi
2
ke (cm) (cm) ( xi )
1 47,51 +0,02 0,0004
2 47,49 0,00 0,0000
3 47,48 -0,01 0,0001
4 47,50 +0,01 0,0001
5 47,47 -0,02 0,0004
6 47,49 0,00 0,0000
7 47,48 -0,01 0,0001
8 47,46 -0,03 0,0009
9 47,53 +0,04 0,0016
10 47,49 0,00 0,0000

Sehingga nilai terbaiknya adalah x =


∑ xi = 47,490 cm
i=1
k

Sedangkan deviasi standarnya adalah:


k

x r=
√ ∑ ( x i )2
i=1

k ( k −1 )
=
√ 0.0036
10 ( 10−1 )

Diperoleh kesimpulan, nilai ukur besaran x tersaji:


= 0,007 cm

x = x± x = (47,490 ± 0,007) cm
0,007
Dengan ketelitian 100% - . 100% = 99,989%
47,490
2. Ralat perambatan

5
Seringkali besaran fisis diukur langsung, tetapi dihitung dari unsure-unsurnya,
sebagai contoh volume kubus dihitung dari sisi-sisi yang diukur, kecepatan dihitung
dari jarak yang ditempuh dibagi dengan waktu yang diperlukan untuk menempuh
jarak tersebut. Pada pengukuran sisi kubus, setiap sisi memberikan ralat, maka pada
hasil hitungan volumenya pun timbul ralat sebagai perpaduan ralat oleh sisi yang
diukur secara langsung. Ralat yang timbul sebagai hasil hitungan ini dinamakan ralat
perhitungan atau ralat rambatan. Nilai terbaik tergantung pada nilai terbaik variabel
unsurnya.
Secara matematik, besaran V berhubungan dengan variabelnya (x,y,z) sehingga V=
V(x,y,z). Maka nilai terbaiknya adalah V = (x , y , z), sedangkan deviasi standar
reratanya dirumuskan sebagai:
2 2 2
V V V
V =
√( ) ( ) ( ) z
x
2
x+
y
2
y +
z
2
(1.6)

Penyajian hasil pengukuran langsung terhadap variabel (x,y,z) dinyatakan:


x=x±x;y= y ± y ;z=z±z

dan ( Vx ) merupakan turunan parsial variabel V terhadap variabel x , ( Vy ) merupakan


turunan parsial variabel V terhadap variabel y, ( VZ ) merupakan turunan parsial
variabel V terhadap variabel z.
Perhatikan 2 contoh berikut ini.
Contoh 1.
Tentukan volume sebuah kotak dengan sisi-sisi yang diukur secara langsung dengan
hasil sebagai berikut.
Panjang alas x = (5,12 ± 0,02) cm
Lebar alas y = (3,22 ± 0,01) cm
Tinggi z = (2,57 ± 0,01) cm
Nilai terbaik volume kotak
V =V (x , y , z) = x . y.z = (5,12)(3,22),(2,57) = 42,37 cm3
Standar deviasi dapat dihitung melalui turunan parsial V terhadap x , y , z berikut ini.

6
V
= yz = (3,22)(2,57) = 8,2754
x
V
= xz = (5,12)(2,57) = 13,1564
y
V
= xy = (5,12)(3,22) = 16,4864
z
Deviasi reratanya adalah:
V = √ ( 8,2754 )2 ( O ,02 )2 + ( 13,1564 )2 ( 0,01 )2 + ( 16,4864 )2 ( 0,01 )2 = 0,5643

Kesimpulan hasil ukur volum kotak adalah V = (42,37) ± (0,5643) cm3

Contoh 2.
Tentukan jarak titik api lensa (f) yang diukur secara langsung. Jarak benda ke lensa
(o) dan jarak bayangan ke lensa (b). Hasil pengukuran langsung adalah o =

1 1 1
( 20,1 ±0,2 ) cm, hubungan antara f, o ,dan b adalah: = + , atau
f o b
o,b ( 20,1 ) ( 25,5 )
f= = = 11,24 cm
o+b ( 20,1 )+ ( 25,5 )

f 2 2 f 2 2
Deviasi standar rerata dari f adalah: f =
√( )o
o+
b ()
b,

dengan komponen parsial terhadap f dapat dihitung dan dapat diperoleh:

f b2 ( 25,5 )2
() = =
o ( o+b )2 ( 20,1+25,5 )2
=0,3128

f o2 ( 20,1 )2
() = =
b ( o+b )2 ( 20,1+25,5 )2
=0,1943

Selanjutnya diperoleh deviasi reratanya:


f = √ ( 0,3128 )2 ( 0,2 )2+ ( 0,1943 )2 ( 0,4 )2=0,03

Sehingga diperoleh hasil ukur f sebesar f = (11,24 ± 0,03) cm

D. Metoda Grafik
Analisis data dengan metoda grafik lebih praktis dan memudahkan pandangan.
Keadaan ini disebabkan karena dengan melihat grafik secara sekilas, letak benar atau

7
salah analisis sudah dapat diketahui, sehingga tidak perlu banyak kalimat yang harus
dibaca. Pada pembuatan grafik perlu diperhatikan dasar-dasar sebagai berikut.
1. Absis (sumbu datar = x) dipilih sebagai besaran sebab, ordinat (sumbu tegak = y)
sebagai besaran akibat. Pemilihan besaran absis dan ordinat harus bersesuaian
dengan keadaan yang paling menguntungkan, misalnya dapat menghapus ralat
sistematis.
2. Persamaan yang digunakan harus persamaan linear.
3. Nilai skala (sumbu x dan sumbu y) dipilih bulat dan memberikan kemiringan
garis (slope) pada kisaran antara 30° dan 60°.
4. Gunakan minimal 10 titik data, setiap titik data ditulis dengan jelas, serta nilai
ralat di setiap titik data (misalnya berarah y) digambar sebagai garis ke atas dan
ke bawah dari titik data tersebut.
5. Garis ditarik melalui titik-titik data yang paling mungkin (tidak setiap titik harus
dilalui). Slope ketidakpastian ditarik dari titik data paling menyimpang di kedua
ujung data dan dihubungkan dengan titik tengah (pusat) data. Kedua garis itu
memberi makna bahwa siapa pun yang menarik garis selalu antara garis yang
paling mungkin dan garis ketidakpastian.
6. Garis yang melalui titik-titik data yang paling mungkin menghasilkan slope yang
paling mungkin, sedangkan garis yang melalui ujung titik data grafik yang paling
menyimpang menghasilkan slope ketidakpastian. Slope yang paling mungkin dan
slope ketidakpastian digunakan untuk menentukan nilai ukur yang dituju yang
paling mungkin dan ketidakpastiannya.

8
BAB II
AVOMETER

A. Tujuan percobaan

Tujuan dari percobaan avometer adalah untuk memahami cara kerja avometer dan
menentukan daya guna avometer.

B. Alat yang Dipergunakan

Pengujian Avometer menggunakan alat-alat sebagai berikut.


1. Alat uji Avometer
2. Multimeter digital
3. Multimeter analog

Gambar 2.1. Alat uji avometer

C. Landasan Teori

9
Multimeter yang sering digunakan pada umumnya menggunakan meter kumparan
putar sebagai meter indikatornya. Meter kumparan putar terdiri atas kumparan yang
dapat berputar dalam medan magnet bila kumparan itu dialiri arus listrik. Sebuah
pegas spiral berfungsi mengembalikan kumparan tersebut dengan keseimbangan.
Jika arus searah I melewati kumparan n lilitan yang berada didalam medan magnet
B, maka kumparan akan mengalami momen gaya sebesar:
M=N.B.A.I (2.1)
dengan:
M = momen gaya
N = jumlah lilitan
B = medan magnet
A = luas kumparan
I = arus listrik
Momen gaya ini dilawan oleh momen gaya pegas dan momen gaya redaman. Meter
kumparan putar yang digunakan pada multimeter pada umumnya mempunyai sifat
orde besar arus defleksi skala penuh (full scale deflection = fsd) 200, dan tahanan
300 hm. Multimeter tuas (saklar) pilihan fungsi untuk:
a. Arus searah DC m)
b. Tegangan arus searah V DC)
c. Tegangan arus bolak-balik (V AC)
d. Tahanan (hm)

D. Pelaksanaan Percobaan

Pada papan peraga tersedia sejumlah komponen listrik, seperti resistor, kapasitor,
dioda dan induktor.Sumber tenaga arus bolak-balik dengan frekuensi 50 Hz dan
sumber tegangan searah.Cara pengujian adalah sebagai berikut.

1. Penggunaan Multimeter sebagai ohmmeter

Pada pengujian ini tidak diperlukan sumber tegangan, sehingga posisi switch pada
keadaan off (lampu mati). Saklar multimeter pada posisi  (ohm), dipilih skala
terbesar. Sebelum pengukuran dimulai, multimeter dalam keadaan nol, dengan cara

10
dihubungkannya probe merah dan hitam, kemudian memutar knob 0 adj sehingga
meter siap untuk mengukur tahanan (resistor). Jika pembacaan terlalu kecil atau
terlalu besar, maka diganti pada skala lain yang sesuai. Pada saat pemindahan skala,
sebelum diggunakan untuk mengukur, meter harus dalam keadaan nol.

2. Penggunaan Multimeter sebagai Voltmeter DC

Saklar pada posisi V DC diubah, dengan menggunakan skala terbesar. Sumber daya
pada papan peraga dihidupkan hingga lampu menyala. Tegangan DC diukur dengan
memasang probe hitam pada kutub negatif dan probe merah pada kutub positif. Lalu
tegangan yang terjadi dicatat.

3. Penggunaan Multimeter sebagai Amperemeter DC

Saklar multimeter diubah pada posisi DC (m), dipilih skala terbesar, kemudian
dibuat rangkaian seperti bagan dengan menghubungkan langsung probe merah
dengan kutub positif sumber.

Gambar 2.2. Layout pengukuran

Dibaca nilai arus yang lewat, bila pembacaan terlalu kecil atau terlalu besar maka
dipilih skala yang sesuai. Nilai arus dicatat sebagai I i. Setelah itu mengambil
multimeter lalu menghubungkan antara titik a dan b dengan kabel. Melalui
penggunaan multimeter ini, tegangan pada kutub-kutub diukur, sebelumnya saklar
dipindahkan pada posisisi VDC. Lalu dicatat nilai atau hasil tegangan, misal sebesar
V 1, dari besaran tersebut nilai tahanan yang terpasang dapat dihitung kembali ( R1
),dengan rumus:

R1
R= V
1

(2.2)

Langkah ini dilakukan untuk tahanan yang lain.

11
4. Penggunaan multimeter sebagai voltmeter AC

Saklar multimeter diubah pada posisisi AC, dipilih skala terbesar. Dipilih skala yang
lain bila pembacaan terlalu kecil atau terlalu besar. Pengukuran tegangan AC ini
berfungsi untuk menghitung induktansi dengan Layout sebagai berikut.

Gambar 2.3. Untaian RC


Diukur V ab=V 1 , V bc =V 2 ,V ac =V 3, maka beda fase V 1dengan V 2 adalah  yang
memenuhi hubungan:

V 32−V 12−V 22
cos ¿ (2.4)
2 V 1V 2

Sehingga:

V1
C = 2RV farrad (2.5)
2 sin❑

dengan
f = frekuensi listrik (50 Hz)
R= tahanan
Dengan cara yang sama kapasitas dari kapasitor yang lain dapat dihitung.

5. Pengukuran tegangan AC untuk menghitung induktansi


Saklar multimeter diubah pada posisi AC, dipilih skala yang terbesar. Bila
pembacaan terlalu kecil atau terlalu besar maka dipilih skala lain yang sesuai.
Pengukuran tegangan AC untuk menghitung induktansi dengan Layout sebagai
berikut.

12
Gambar 2.3.Untaian RL
V a = V 1 , V b = V 2 , V a = V 3diukur, dengan beda fase 0, maka V 1 dengan V 2 adalah 
b c c

yangdi penuhi hubungan:

RV 2 sin❑
L = V .2 f (2.5)
1

E. Hasil Percobaan dan Analisis Data

1. Percobaan Ohmmeter

Tabel 2.1. Percobaan Ohmmeter


No I II III R
R    (rata-rata)
1 58000 58000 58000 58000
2 47000 47000 47000 47000
3 28000 27000 27000 27333,33

4 5000 5000 4900k 4966,67


5 1850 1850 1850 1850
6 500 500 500 500
7 220 220 220 220

2. Percobaan Voltmeter DC
Tabel 2.2. Percobaan Voltmeter DC

I II III Volt
No
Volt Volt Volt (rata-rata)
1 14,5 14,513 14,5 14,5
V 1 + V 2 +V 3
Rata−rata( V 0 )=
3
14 ,5+14 ,5+14 , 5
= =14 ,5
3

3. Percobaan Amperemeter DC
Mencari nilai R digunakan rumus :

V
R=
I
V 11,2
R 1= = =56000
I 1
0,2 x
1000
V 11,9
R 2= = =47600
I 1
0,25 x
1000
V 12,9
R 3= = =25800
I 1
0,5 x
1000
V 14,1
R4 = = =4548,39
I 1
3,1 x
1000
V 14,3
R 5= = =1588,89
I 1
9x
1000
V 14,9
R6 = = =541,818
I 1
27,5 x
1000
V 14,9
R7 = = =331,111
I 1
45 x
1000

Tabel 2.3. Percobaan Amperemeter DC


No V(Volt) I (mA) Tahanan R
R I II III I II III (Ω)

14
1 11,2 11,2 11,2 0,20 0,20 0,20 56000
2 11,9 11,9 11,9 0,25 0,25 0,25 47600
3 12,9 12,9 12,9 0,50 0,50 0,50 25800
4 14,1 14,1 14,1 3,10 3,10 3,10 4548,39
5 14,3 14,3 14,3 9,00 9,00 9,00 1588,89
6 14,9 14,9 14,9 27,50 27,50 27,50 541,818
7 14,9 14,9 14,9 45,00 45,00 45,00 331,111

R perhitungan−R pengama tan


| |×100%
Catatan : Kesalahan Relatif =
R Perhitungan

Tabel 2.4.Kesalahan Relatif

R(Ω) Kesalahan
No
Hasil Pengamatan Hasil Perhitungan Relatif
1 58000 56000 -3,571%
2 47000 47600 1,261%
3 28000 25800 -8,527%
4 5000 4548,39 -9,929%
5 1850 1588,89 -16,433%
6 500 541,82 7,718%
7 220 331,11 33,557%

4. Percobaan Voltmeter AC
a. Menghitung besar nilai θ dengan persamaan
V 32 −V 12 −V 22 132−0,12−5,12
cos θ 1= = =140,1765
2 V 1V 2 2× 0,1× 5,1

15
θ1=error

V 32 −V 12−V 22 132−02−5,452
cos θ 2= = =error
2 V 1V 2 2× 0 ×5,45
θ2=error

V 32 −V 12−V 22 132−13 2−0,12


cos θ 3= = =−0,00385
2 V 1V 2 2 ×13 ×0,1
θ3 =90,2206°

V 32−V 12−V 22 132−12,252−1,4 2


cos θ 4= = =0,49497
2V 1 V 2 2 ×12,25 ×1,4
θ 4=60,3322o
V 32 −V 12−V 22 132−62−11 2
cos θ 5= = =0,09091
2 V 1V 2 2 ×6 ×11
θ5 =84,7840o
V 32−V 12−V 22 132 −02−132
cos θ 6= = =error
2 V 1V 2 2 ×0 ×13
θ6 =error

V 32−V 12−V 22 132 −52−102


cos θ 7= = =0,44000
2 V 1V 2 2 ×5 ×10
θ7 =63,8961°

b. Menghitung nilai C yang ada dengan persamaan


V1 0,1
C 1= =
2 πfR V 2 sinθ 2× π × 50× 4548,39 ×5,1 × sinθ
¿ error
V1 0
C 2= =
2 πfR V 2 sinθ 2× π × 50× 4548,39 ×5,45 ×sin θ
¿ error
V1 13
C 3= =
2 πfR V 2 sinθ 2× π × 50× 4548,39 ×0,1 ×sin 90,2206°
¿ 9,1025. 10−5 farrad
V1 12,25
C 4= =
2 πfR V 2 sinθ 2 × π ×50 × 4548,39× 1,4 ×sin 60,3322o
¿ 7,0509.10−6 farrad

16
V1 6
C 5= =
2 πfR V 2 sinθ 2× π × 50× 4548,39 ×11 × sin 84,7840°
¿ 3,8351.10−7 farrad
V1 0
C 6= =
2 πfR V 2 sinθ 2 × π × 50× 4548,39 ×13 × sinθ
¿ error
V1 5
C 7= =
2 πfR V 2 sinθ 2× π × 50× 4548,39 ×10 × sin63,8961 °
¿ 3,8986.10−7 farrad

c. Menghitung nilai induksi dari lilitan L dengan menggunakan persamaan


R4 V 2 sinθ
L= =… H ; Dimana R yang dipakai adalah R 4
V 1 .2 πf
R4 V 2 sinθ 4548,39 ×5,1 ×sin θ
L1 = = =error
V 1 .2 πf 0,1 ×2 × π ×50
R4 V 2 sinθ 4548,39 ×5,45 ×sin θ
L2 = = =error
V 1 .2 πf 0 × 2× π ×50
R4 V 2 sinθ 4548,39 ×0,1 ×sin 90,2206 °
L3 = = =0,114 H
V 1 .2 πf 13 ×2 × π × 50
R 4 V 2 sinθ 4548,39× 1,4 ×sin 60,3322o
L4 = = =1,4384 H
V 1 .2 πf 12,25× 2× π ×50
R1 V 2 sinθ 4548,39 ×11× sin 84,7840o
L5 = = =26,4464 H
V 1 .2 πf 6 ×2 × π ×50
R1 V 2 sinθ 4548,39× 13× sin θ
L6 = = =er ror
V 1 .2 πf 0 ×2 × π ×50
R1 V 2 sinθ 4548,39× 10× sin 63,8961°
L7 = = =26,0156 H
V 1 .2 πf 5 ×2 × π ×50

Tabel 2.5. Percobaan Voltmeter AC


No V1 V2 V3 θ C L
. (volt) (volt) (volt) (farrad) (Henry)
1 0,1 5,1 13 error error error
2 0 5,45 13 error error error
3 13 0,1 13 90,2206° 9,1025. 10−5 0,114

17
4 12,25 1,4 13 60,3322o 7,0509.10−6 1,4384
5 6 11 13 84,7840o 3,8351.10−7 26,4464
6 0 13 13 error error error
7 5 10 13 63,8961 ° 3,8986.10−7 26,0156

F. Pembahasan
Berdasarkan hokum ohm bahwa arus yang melewati logam sebanding dengan
tegangan sehingga semakin besar hambatan maka semakin kecil arus untuk suatu
tegangan. Besar kapasitas berbanding lurus dengan tegangan (V). Hasil perhitungan
R dengan menggunakan rumus dan hasil R dari hasil percobaan di labortorium
mempunyai hasil yang berbeda. Hal ini dikarenakan faktor ketelitian dari pengamat
dan alat ukur yang digunakan di dalam percobaan di laboratorium.

G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa praktik fisika dasar ini
bertujuan untuk menambah pengetahuan / ilmu tentang alat avometer kepada
mahasiswa. Agar dapat diaplikasikan didunia kerja. Dan berdasarkan percobaan
diatas dapat dilihat bahwa tahanan R dalam percobaan Amperemeter DC dari
pertama sampai terakhir, semakin besar V dan I maka akan semakin kecil tahanannya
(R).

H. Daftar Pustaka

Buku Panduan Praktikum Fisika Dasar.,Jurusan Teknik Sipil.,Universitas Janabadra


Yogyakarta.,2016.

18
BAB III
TRANSFORMATOR

A. Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan transformator adalah untuk memahami cara kerja


transformator dan menentukan faktor regulasi serta daya guna transformator.

B. Alat-Alat Yang Dipergunakan

Pengujian Avometer menggunakan alat-alat sebagai berikut.


1 Trafo daya
2 Multimeter digital
3 Slide regulator
4 Lampu pijar sebagai beban

19
Gambar 3.1. Alat Uji Transformator

C. Landasan Teori

Cara kerja tranformator dapat dijelaskan dengan gambar 3.2. Tranformator tersusun
oleh kumparan primer dan sekunder yang dililit pada susunan pelat besi lunak yang
disebut teras transformator (tranformer core).

Arah Arus
Sesaat

Gambar 3.2. Bagan Transformator

20
Kumparan primer, dengan jumlah lilitan Np, adalah tempat daya listrik diberikan ke
transformator. Kumparan sekunder, dengan jumlah lilitan Ns, adalah tempat daya
listrik diambil dari transformator oleh beban.
Kalau kumparan primer dihubungkan dengan sumber daya, maka pada teras akan
dibangkitkan fluks medan magnet. Karena kumparan sekunder juga meliliti teras,
maka kumparan ini juga meliliti fluks medan magnet yang dibangkitkan oleh
kumparan primer.
Fluks medan magnet pada teras nilainya selalu berubah-ubah sesuai dengan
perubahan arus primer, sehingga pada kumparan sekunder dibangkitkan tenaga gerak
listrik (tgl) induksi (Hukum Faraday). Besarnya tgl ini sebanding dengan jumlah
lilitan. Sehingga kalau tegangan kumparan primer Vp dan sekunder Vs, maka secara
ideal berlaku persamaan sebagai berikut.
V s Ns
Faktor lipat tegangan¿ = (3.1)
V p Np
dengan :
Vs = tegangan sekunder
Vp = tegangan primer
Ns = jumlah lilitan sekunder
Np = jumlah lilitan primer
Pada umumnya kumparan sekunder suatu transformator tidak hanya satu, tetapi
terdiri atas beberapa kumparan. Besar tegangan tiap kumparan sebanding dengan
jumlah lilitan tiap-tiap kumparan. Transformator yang ideal adalah transformator
yang tidak memiliki kerugian daya. Berarti bahwa daya yang diberikan pada
kumparan primer = daya yang diberikan oleh kumparan sekunder atau memenuhi
persamaan berikut.
V p . I p=V s . I s (3.2)
atau dapat ditulis sebagai :
V p . I p cos θ p =V s . I s cos θ s (3.3)
dengan :
Ip = arus primer
Is = arus sekunder

21
p
cos = faktor daya primer

cos  s = faktor daya sekunder

Dari persamaan 3.1, bila Ns < Np sehingga


V s <V p maka transformator disebut

stepdown. Sebaliknya bila


N s> N p sehingga
V s >V p maka transformator
disebut step up.
Pada setiap transformator selalu ada kerugian daya. Ada dua macam kerugian, yaitu
kerugian teras dan kerugian kawat tembaga. Kerugian teras tidak tergantung pada
besar atau kecilnya beban, tetapi bergantung pada frekuensi arus listrik dan rapat
fluks magnet. Kerugian kawat disebabkan oleh arus Eddy. Pada saat kumparan
primer dan sekunder mengandung tahanan murni masing-masing rp dan rs, maka
kerugian tembaga (Kt) dapat diukur, dengan dasar :
K t =I p2 r p + I s2 r p (3.4)
Is Ns
Mengingat bahwa = maka :
Ip Np

Np
2
K t =I p r p + { Ns }
2
r s =I p Rtp (3.5)

atau
Ns
2
K t =I s r s + { 2
}
r =I s Rts
Np p
(3.6)

Dengan Rtp dan Rts masing-masing adalah tahanan tara primer dan skunder, serta
memenuhi persamaan :
Np
Rtp =r p +( )r s
Ns
Ns
Rts =r s +( )r
Np p

Rtp
Nilai dapat dihitung dengan membuat kumparan sekunder dihubung pendek.
Saat itu tegangan masuk Vp serta arus Ip memenuhi persamaan :
Vp
Rtp ¿
I 2p

22
Vp
Impedansi tara primer dinyatakan sebagai Z p = sehingga reaktansinya dapat
Is

dihitung sebagai X p =√ Z p2 + Rtp 2

Daya guna (efisiensi) transformator secara teoritis dapat dihitung dengan η yang
merupakan daya dapat dipakai dibagi daya yang diberikan oleh sumber, dengan
hubungan:
V p I p cos θ p
η=
V p I p cos θ p + I p2 Rtp + rugiteras
atau
V s I s cos θs
η=
V s I s cos θ s+ I s2 Rts + rugiteras

Pada umumnya, besar Vs tergantung pada beban, jika Vso merupakan tegangan

sekunder tanpa beban, sedangkan Vsb tegangan sekunder dengan beban penuh,
selanjutnya didefinisikan sebagai faktor regulasi (R) dengan:
Vso  Vsb
R
Vsb

Secara teoritis faktor regulasi (R) dapat dihitung dengan mengukur tegangan
kumparan primer dan sekunder pada saat kumparan sekunder tanpa beban.
Selanjutnya digunakan persamaan :
Ns
V p−V s
R Np V −V p
¿ = s
Vs Vp

D. Pelaksanaan Percobaan

1. Penentuan Faktor Regulasi


Percobaan ini menggunkan skema seperti pada Gambar 3.3. langkah pelaksanaan
percobaan adalah sebagai berikut.

23
Beban

Trafo

Gambar 3.3. Setup Percobaan Transformator

a. Vp, Vs dan Ip diukur tanpa beban.


b. Vp, Vs dan Ip diukur dengan beban yang telah ditentukan. Besar arus dan
tegangan sekunder diukur dan dicatat.
Ns
Np
c. Besar faktor regulasi serta ditentukan, dan hasil faktor regulasi dicocokkan
dengan kedua rumus di atas.

2. Penentuan Daya Guna


Percobaan ini menggunakan skema seperti pada Gambar 3.3. langkah pelaksanaan
percobaan adalah sebagai berikut.
a. Ip, Vp, Is dan Vs diukur pada beban penuh. Zp dihitung.
b. Hubungan dengan sumber dilepaskan, rs dan rp dihitung.
c. Rtp, Kt, cosθp, dan η dihitung.

E. Hasil Percobaan dan Analisis Data

1. Menentukan Faktor Regulasi


a. Pengukuran Tanpa Beban
Menentukan nilai R.
V s−V p
R=
Vp
0,9−22,1
R 1= =−0,9593
22,1

24
1,2−28,5
R 2= =−0,9579
28,5
1,7−37,4
R 3= =−0,9545
37,4
2,3−48,8
R4 = =−0,9529
48,8
NS
Menentukan nilai
NP
NS V s
=
NP V p
NS 0,9
= =0,0407
NP 22,1
NS 1,2
= =0,0421
NP 28,5
NS 1,7
= =0,0454
NP 37,4
NS 2,3
= =0,0471
NP 48,8

Tabel 3.1. Pengukuran Tanpa Beban


Ip
Vp Vs R NS
No. (Ampere
(Volt) (Volt) (Ohm) NP
)
1 22,1 0,9 0,01 -0,9593 0,0407
2 28,5 1,2 0,02 -0,9579 0,0421
3 37,4 1,7 0,03 -0,9545 0,0454
4 48,8 2,3 0,04 -0,9529 0,0471

b. Pengukuran Dengan Beban


Menentukan nilai R.
V s−V p
R=
Vp

25
1,6−35
R 1= =−0,9542
35
2,8−55,8
R 2= =−0,9498
55,8
4,5−86,2
R 3= =−0,9478
86,2
6,7−124,7
R4 = =−0,9463
124,7
NS
Menentukan nilai
NP
NS V s
=
NP V p
NS 1,6
= =0,0457
NP 35
NS 2,8
= =0,0502
NP 55,8
NS 4,5
= =0,0522
NP 86,2
NS 6,7
= =0,0537
NP 124,7

Tabel 3.2. Pengukuran dengan Beban


Ip
Vp Vs R NS
No. (Ampere
(Volt) (Volt) (Ohm) NP
)
1 35 1,6 0,01 -0,9542 0,0457
2 55,8 2,8 0,02 -0,9498 0,0502
3 86,2 4,5 0,03 -0,9478 0,0522
4 124,7 6,7 0,04 -0,9463 0,0537

2. Pengukuran Daya Guna


Menentukan nilai R.
V s−V p
R=
Vp

26
1−22,6
R 1= =−0,9557
22,6
2,2−46,2
R 2= =−0,9524
46,2
3,5−68,5
R 3= =−0,9489
68,5
4,8−92,4
R4 = =−0,9481
92,4
6,2−116,1
R 5= =−0,9466
116,1

NS
Menentukan nilai
NP
NS V s
=
NP V p
NS 1
= =0,0442
NP 22,6
NS 2,2
= =0,0476
NP 46,2
NS 3,5
= =0,0511
NP 68,5
NS 4,8
= =0,0519
NP 92,4
NS 6,2
= =0,0534
NP 116,1

a. Menghitung Zp
Vp
Zp=
Is
22,6
Zp1= =779,3103
0,029
46,2
Zp2= =190,9091
0,242
68,5
Zp3= =223,8562
0,306
92,4
Z p 4= =249,7297
0,370

27
116,1
Zp5= =2668,9655
0,0435

b. Menghitung Rtp
Rp = 34,5 Ohm
Rs = 0,7 Ohm
Ns
Rtp =R p + ( ) R
Np s

Rtp 1=34,5+ ( 0,0442 ) ×0,7=34,5309


Rtp 2=34,5+ ( 0,0476 ) × 0,7=34,5333

Rtp 3=34,5+ ( 0,0511 ) × 0,7=34,5358


Rtp 4 =34,5+ ( 0,0519 ) × 0,7=34,5363

Rtp 5=34,5+ ( 0,0534 ) × 0,7=34,5374

c. Menghitung Kt
K t =I 2p Rtp

K t 1 =0,0082 × 34,5309=2,2099. 10−3

K t 2 =0,0182 × 34,5333=11,1888. 10−3

K t 3 =0,0252 × 34,5358=21,5849. 10−3

K t 4=0,0322 ×34,5363=35,3652.10−3

K t 5 =0,0392 × 34,5374=52,5314.10−3

Tabel 3.3. Pengukuran Daya Guna

Vp Ip Vs Is R NS Rtp Zp
No
(Volt) (Ampere) (Volt) (Ampere) (Ohm) NP (Ohm) (Ohm)
1 22,6 0,008 1,0 0,029 -0,9557 0,0442 34,5309 779,3103
2 46,2 0,018 2,2 0,242 -0,9524 0,0476 34,5333 190,9091
3 68,5 0,025 3,5 0,306 -0,9489 0,0511 34,5358 223,8562
4 92,4 0,032 4,8 0,370 -0,9481 0,0519 34,5363 249,7297
5 116,1 0,039 6,2 0,435 -0,9466 0,0534 34,5374 2668,9655

28
F. Pembahasan

Hubungan kemagnetan antara kumparan primer dan skunder yaitu kumparan primer
sebagai tempat daya listrik yang diberikan kepada trafo, sedangkan kumparan
sekunder adalah sebagai tempat tempat daya listrik yang diambil dari trafo oleh
beban, dalam hal ini jika kumparan primer dihubungkan kesumber maka keteras
akan dibangkitkan fliks medan magnet yang dibangkitkan nilainya selalu berubah-
ubah sesuai dengan perubahan arus primer. Sehingga pada kumparan sekunder
dibangkitkan tenaga sekunder.

Hubungan antara kedua rumus regulasi pada umumnya besarnya V s tergantung pada
beban, jika Vs merupakan tegangan sekunder tanpa beban sedangkan Vab tegangan

V s −V ab
= .
sekunder dengan beban penuh selanjutnya dapat didefinisikan (R). R V ab

G. Kesimpulan

Berdasarkan Uji Transformator diatas dapat disimpulkan bahwa perhitungan R tanpa


beban, R dengan beban dan R daya guna memiliki selisih, yang tidak terlampau jauh
atau mendekati sama. Dan hasil dari perhitungan R juga dipengaruhi oleh besarnya
Vp dan Vs.

H. Daftar Pustaka

Buku Panduan Praktikum Fisika Dasar.,Jurusan Teknik Sipil.,Universitas Janabadra


Yogyakarta.,2016.

29
BAB IV
MEDAN MAGNET BUMI

A. Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan medan magnet bumi adalah untuk memahami asas kerja
magnetometer serta menentukan intensitas horisontal dari magnet bumi dengan
magnetometer.

B. Alat-Alat yang Dipergunakan

Pengujian medan magnet bumi menggunakan alat-alat sebagai berikut :

30
1. Alat medan magnet bumi.
2. Stopwatch.

Gambar 4.1. Alat Medan Magnet Bumi

C. Landasan Teori

Jika sebuah batang magnet yang bermomen magnet M , berada di dalam ruang

bermedan magnet homogen berkekuatan H , maka batang magnet akan


mengalami torsi sebesar :
τ =−MHsinφ (4.1)
dengan :
τ = Torsi
M = Momen magnet
H = Kekuatan medan magnet
φ = sudut antara medan magnet dengan arah medan magnet luar

31
Jika J merupakan momen kelelembaman batang magnet maka berlaku hubungan
sebagai berikut.
d2 φ
τ =J =−MHsinφ (4.2)
d t2
Jika φ < 1, maka sinφ ≈ φ (dalam radian), dan persamaan dituliskan dalam bentuk :
d2 φ
J =−MHφ=−Dφ (4.3)
dt 2
atau
d2φ D
+ φ=0 (4.4)
dt 2 J
Jika batang magnet diganggu dari posisi kesetimbangannya dan kemudian berayun
bebas, maka periode ayunan batang magnet (T) adalah :
J J 1
T 2=4 π 2 =4 π 2 = (4.5)
D MH GH
atau
1 M
=G (4.6)
4 π2 J
Selanjutnya batang medan magnet kecil akan digetarkan di dalam medan magnet

homogen, yang terdiri dari komponen medan magnet horizontal (


H e ) dari medan

magnet bumi dan sebuah medan H dari sebuah kumparan yang berarus. Kuat

medan magnet bersama (


H r ) disumbang oleh H dan He memenuhi

persamaan
H r =H +H e . Pada keadaan ini He selalu kita anggap positif,

sedangkan H adalah positif atau negatif bila searah atau berlawanan arah dengan

H e Jika i merupakan arus listrik yang melalui kawat di kumparan, maka di


dalam kumparan akan timbul medan magnet dengan kekuatan :

H=0,4 ¿ oerted= ¿ Acm−1 (4.7)


l l
dengan :
n = Jumlah lilitan
l = Panjang kumparan

32
Mengacu pada persamaan (4.5), maka satuan dari G adalah (Acm -1). Selanjutnya
dibuat perjanjian bahwa i adalah positif bila H dan He searah atau negatif bila
berlawanan arah. Keadaan ini dibagi menjadi 3 yaitu :
1. i > 0,H > 0, medan kumparan H dan medan bersama He adalah searah.
−H e l
2. i> dan 0 > H > -He, medan kumparan berlawanan arah dengan medan
n

−H e l
magnet bumi. Jadi H searah dengan medan magnet bumi. Untuk i= , maka
n
H + He = 0, jadi medan magnet bumi tepat senilai dan berlawanan arah dengan
medan kumparan. Pada saat itu periode ayun batang magnet adalah tak
terhingga.
−H e l
3. i< dan H < He. Kondisi ini menunjukkan medan kumparan berlawanan
n
arah dan harga mutlaknya lebih besar dari medan magnet bumi, sehingga medan
magnet bersama juga berlawanan arah dengan medan magnet bumi.
Akibat adanya perubahan dari 2 ke 3, batang magnet berputar 180°. Jika dipandang
terhadap batang magnet, maka keadaan ini sesuai dengan pemutaran kedua medan
sebesar 180°. Terjadi pembalikan arah arus dalam kumparan, sehingga pada

persamaan (4.5) harus dimasukkan kuat medan –(


H +H e ). Mengingat T 2 > 0

dan (
H +H e ) sekarang negatif, maka persamaan (4.5) menjadi 2 kelompok berikut
ini.
1. Keadaan 1 dan 2 :
1
T 2= (4.8)
G(H + H e )
2. Keadaan 3 :
1
T 2= (4.9)
G(H + H e )

Secara singkat dapat ditulis sebagai :


n 1
G =a ; G H e =x 0 ; 2 =x (4.10)
l T

33
Pada keadaan x0 adalah harga x saat i = 0, selanjutnya dengan persamaan (4.8) dan
(4.9) diperoleh kaitan untuk keadaan 1 dan 2 sebagai berikut :
x=ai+ x 0 (4.11)
Sedangkan untuk keadaan 3 dinyatakan dengan :
x=−(ai+ x 0) (4.12)
1
Sehingga untuk semua keadaan, x (¿ ) adalah berbanding linear terhadap i.
T2
Pekerjaan selanjutnya adalah menghitung tetapan yang ada dan x, kemudian
membuat grafik x sebagai fungsi i, dan menghitung nilai He.

Keterangan gambar :
S : Kumparan berbentuk solenoida
Rg : Tahanan geser
K : Komutator
E : Sumber daya arus searah
A : Amperemeter
Gambar 4.2. Setup Percobaan Medan Magnet Bumi

D. Pelaksanaan Percobaan

Urutan pelaksanaan percobaan medan magnet bumi adalah sebagai berikut.


1. Untaian (setup) percobaan dipasang. Benda-benda yang dapat mempengaruhi
medan magnet dipindahkan menjauhi kumparan.
2. Setelah rangkaian benar, magnet batang diayunkan dengan cara mendekatkan
secara hati-hati magnet tanpa menghubungkan untaian dengan sumber tegangan,
waktu ukur selama 10 ayunan. Setelah selesai magnet dijauhkan dari kumparan.
3. Langkah pada nomor 2 dilakukan dengan menghubungkan untaian ke sumber
daya dengan posisi komulator sehingga i > 0.
4. Langkah nomor 3 dilakukan dengan posisi komutator dibalik.

34
5. Langkah nomor 3 dan 4 dilakukan dengan mengubah arus dari nol naik dengan
menggeser Rg.
6. Panjang kumparan diukur dan jumlah lilitan dihitung.

E. Hasil Percobaan dan Analisis Data

n = 536 lilitan
l = 33,5 cm
1 cm =16 lilitan

1. Keadaan Positif
Tabel 4.1. Percobaan Medan Magnet Bumi Keadaan Positif

10 T T I 1 I2 1
Rg .I
(detik) (detik) (Ampere) T2 (Ampere) T2

Mati 15,67 1,567 0 0,4072 0 0


1 15 1,500 0,024 0,4444 5,76.10–4 10,6656.10–3
2 18,33 1,833 0,028 0,2976 7,84.10–4 8,3328.10–3
3 17,33 1,733 0,044 0,3330 19,36.10–4 14,6520.10–3
4 14,67 1,467 0,057 0,4647 32,49.10–4 26,4879.10–3
5 13,67 1,367 0,064 0,5351 40,96.10–4 34,2464.10–3
6 14 1,400 0,076 0,5102 57,76.10–4 38,7752.10–3
Ʃ 108,67 10,867 0,293 2,9922 164,17.10–4 133,1599.10–3

2. Keadaan Negatif
Tabel 4.2. Percobaan Medan Magnet Bumi Keadaan Negatif

10 T T I 1 I2 1
Rg .I
(detik) (detik) (Ampere) T2 (Ampere) T2
Mati 16,33 1,633 0 0,3750 0 0
1 17 1,700 0,024 0,3460 5,76.10–4 8,3040.10–3
2 17,067 1,7067 0,033 0,3433 10,89.10–4 11,3289.10–3
3 18,5 1,850 0,044 0,2922 19,36.10–4 12,8568.10–3
4 20,33 2,033 0,052 0,2419 27,04.10–4 12,5788.10–3
5 16,67 1,667 0,063 0,3598 39,69.10–4 22,6674.10–3

35
6 15,67 1,567 0,072 0,4072 51,84.10–4 29,3184.10–3
Ʃ 121,567 12,1567 0,288 2,3654 154,58.10–4 97,0543.10–3

Menghitung medan magnet untuk masing-masing ( + ) dan ( - ) dengan metode


kuadrat terkecil.

a. Tabel Kuadrat Terkecil Positif ( + )


1 1
ΣI 2 . Σ __ −ΣI . Σ __ . I
T2 T2
X 0=
N . ΣI 2−(ΣI )2
−4 −3
164,17 . 10 ×2,9922−0 , 293×133 , 1599. 10
X 0= =0 , 7988
6×164,17 . 10−4 −(0 , 293)2

1 1
N . Σ __ . I−ΣI . Σ __
T2 T2
a=
N . ΣI 2 −(ΣI )2
−3
6×133 , 1599. 10 −0 , 293×2, 9922
a= =−6 ,1452
6×164 , 17 .10−4 −(0 ,293 )2

l X0
G=a H e=
n dan G

16
G=−6 ,1452 =−0 ,1834
536 (m.cm-1)-1 S2
0 ,7988
H e= =−4,3555
−0 ,1834 (Acm-1)

G perc−G Lit
| |×100 %
Kesalahan Literatur = G Lit
−0, 1834−5,7×10−5
| |×100%=−321854 ,386%
Kesalahan literatur = 5,7×10−5

36
b. Tabel Kuadrat Terkecil Negatif ( - )
1 1
ΣI 2 . Σ __ −ΣI . Σ __ . I
T2 T2
X 0=
N . ΣI 2−(ΣI )2
−4 −3
154 ,58 . 10 ×2 , 3654−0 , 288×97 , 0543 . 10
X 0= =0 , 8785
6×154 , 58.10−4 −(0 , 288)2

1 1
N . Σ __ . I−ΣI . Σ __
T2 T2
a=
N . ΣI 2 −(ΣI )2
−3
6×97 ,0534 . 10 −0 , 288×2, 3654
a= =−10 ,0892
6×154 , 58. 10−4 −(0 , 288 )2

l X0
G=a H e=
n dan G

16
G=−10 , 0892 =−0 ,3012
536 (m.cm-1)-1 S2
0 ,8785
H e= =−2 ,9167
−0 ,3012 (Acm-1)

G perc−G Lit
| |×100%
Kesalahan Literatur = G Lit

−0, 3012−5.7×10−5
| |×100%=−528521,0526 %
Kesalahan Literatur = 5.7×10−5

F. Pembahasan

Dari hasil percobaan yang dilakukan di laboratorium untuk medan magnet positif

(+) diperoleh He: −4 ,3555 (Acm-1) dan G: −0,1834 (m.cm-1)-1 S2 sedangkan

37
pada medan magnet negatif (-) diperoleh H e : −2,9167 (Acm-1) dan G :

−0,3012 (m.cm-1)-1 S2. Sehingga pada medan magnet positif (+) nilai He lebih
kecil dan nilai G lebih besar dari pada medan magnet negatif (-).

G. Kesimpulan

Dari percobaan yang dilakukan bahwa sebenarnya komponen medan magnet


horizontal (He) yang terdiri dari medan magnet bumi dan sebuah medan H dari
sebuah kumparan yang berarus, dapat menggerakan sebuah batangan kecil yang
berada didalam medan magnet homogen. Perubahan yang terjadi akibat adanya daya
arik bisa membuat batangan tersebut berputar 180o secara bolak balik dengan
frekuensi semakin lama semakin menurun

H. Daftar Pustaka

Buku Panduan Praktikum Fisika Dasar.,Jurusan Teknik Sipil.,Universitas Janabadra


Yogyakarta.,2016.

BAB V
KEKENTALAN ZAT CAIR

A. Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan kekentalan zat cair adalah untuk memahami asas kerja
viskosimeter, memahami tentang kekentalan zat cair, serta dapat menentukan angka
kental dinamis dari suatu cairan.

B. Alat-Alat yang Dipergunakan

38
Pengujian kekentalan zat cair menggunakan alat-alat sebagai berikut.
1. Viskosimeter Oswald
2. Bejana Gelas
3. Gelas Ukur
4. Stopwatch
5. Termometer
6. Hydrometer
7. Larutan yang diselidiki (NaCl)
8. Aquadest

Gambar 5.1. Alat Uji Kekentalan Zat Cair


C. Landasan Teori

Dalam kehidupan sehari-hari terlihat bahwa air memiliki sifat lebih mudah diaduk
dan cepat tertuang dibandingkan dengan minyak lincir. Minyak lincir lebih kental
dari pada air. Mengaduk dan menuang adalah menggerakan zarah-zarah dan lapisan
cairan terhadap sesamanya. Pada suatu cairan yang mengalir, lapisan-lapisan itu
begerak dengan kecepatan yang tidak sama sehingga saling berdesakan.

G v + dv
dy

39
G v
Gambar 5.1. Skema Gerakan Zat Cair

Gaya gesek G antara 2 lapisan zat cair yang mengalir, berbanding lurus dengan luas
lapisan A dan perubahan kecepatan dv serta berbanding terbalik dengan perubahan
jarak dy.
dv dv
G≃ A G=ηA
Sehingga dy , atau dapat ditulis dy (5.1)
dengan :
G = Gaya gesek
 = Angka kental dinamis (viskositas)
A = Luas lapisan
dv = Perubahan kecepatan
dy = Perubahan jarak

gram dyne detik


Satuan  dalam sistem satuan cgs adalah cm detik = = poise, sedangkan
cm 2

newton detik
dalam mks adalah =¿ 10 poise.
m2
Besar  tergantung pada temperatur dan faktor lain. Pada pengaliran melalui pipa

dyne
sepanjang 1 cm dan jari-jari tampang R cm, karena perbedaan tekanan p dapat
cm2
ditunjukkan bahwa volume cairan (dalam cm3) yang mengalir dalam waktu t detik
adalah :
π R2 pt
V¿ (5.2)
8

40
A
B Termostat

Cairan yang diperiksa

Gambar 5.2. Alat Viskosimeter Oswald

Cara kerja percobaan kekentalan adalah sebagai berikut. Cairan yang akan diperiksa,
dialirkan melalui pipa vertikal. Pipa ini berda di dalam termostat (Gambar 5.1).
Bagian atas pipa membesar untuk menyimpan cairan yang akan diperiksa. Bila
waktu yang diperlukan untuk mengalir zat cair 1 dengan volume sesuai goresan A
sampai dengan B adalah t1, dan waktu untuk mengalirkan zat cair 2 dengan volume
yang sama adalah t2, maka :
s 1 t 1 s2 t 2 ❑1 s1 t 1
= atau ❑ = (5.3)
❑1 ❑2 2 s2 t 2
dengan :
s1 = berat jenis zat cair 1
s2 = berat jenis zat cair 2
Pada percobaan ini zat cair 1 adalah larutan garam (NaCl) dan zat cair 2 adalah air
murni (aquadest). Jadi dapat dibandingkan antara larutan NaCl dan aquadest.
Perbandingan ini dinamakan nisbi larutan, yaitu :
❑larutan Slarutan t larutan
nisbi ¿ ❑ = (5.4)
aquadest S aquadest t aquadest

Untuk mengetahui  dinamis larutan (dL), harus diketahui dahulu  nisbi larutan
seperti pada persamaan (5.4). Berdasarkan  nisbi larutan tersebut dapat ditentukan 
dinamis larutan dengan persamaan :
❑dL=❑nisbi .❑dA , dengan ❑dA=1,005. 10−2 poise (5.5)

41
Untuk setiap konsentrasi larutan dapat ditentukan  dinamis larutan (dL).

D. Pelaksanaan Percobaan

Urutan pelaksanaan percobaan kekentalan zat cair adalah sebagai berikut.


1. Aquadest dihisap sampai dengan di atas goresan A, kemudian dibiarkan mengalir
ke bawah. Pada saat aquadest sampai pada goresan A stopwatch dihidupkan, dan
pada saat sampai ke goresan B stopwatch dimatikan. Waktu yang diperlukan
untuk pengaliran aquadest tadi dicatat. Aquadest yang keluar dari ujung pipa
selalu di bawah permukaan aquadest. Setiap pengukuran dilakukan sebanyak 3
kali percobaan.
2. Langkah tersebut diulangi untuk larutan NaCl dengan berbagai konsentrasi, dan
akhirnya aquadest lagi.
3. Setiap kali mengganti larutan, pipa dicuci dengan dialirkan air ke dalam pipa
berkali-kali.
4. Tinggi permukaan cairan dalam bejana selalu sama dengan diberikan tanda pada
bejana.
5. Temperatur percobaan diukur dengan memasukkan termometer ke dalam
termostat.

E. Hasil Percobaan dan Analisis Data

a. Lama waktu yang dibutuhkan zat cair untuk mengalir kembali ke bawah dari
goresan A yang telah dihisap menuju ke goresan B.
t 1 +t 2+ t 3 40,9+ 40+39,8
∑taquadest : = =¿ 40,2333 detik
3 3
t 1 +t+ t 3 43+ 43+ 42,4
∑tlarutan1 : = =¿ 42,8000 detik
3 3
t 1 +t 2+ t 3 40,9+ 41+ 41
∑tlarutan2 : = =¿ 40,9670 detik
3 3

42
t 1 +t 2+ t 3 40+ 40,2+ 40,2
∑tlarutan3 : = =¿ 40,1333 detik
3 3

b. Menghitung berat jenis tiap % larutan.


Berat jenis (S) aquadest = 1 gr/cm3
Berat jenis (S) Nacl = 2,5 gr/cm3
a) Berat jenis aquadest 100% = 100% x BJ aquadest
= 100% x 1 gr/cm3
= 1 gr/cm3
b) Berat jenis larutan 1 (Nacl 100%)
= 100% x S Nacl
= 100% x 2,5 gr/cm3
= 2,5 gr/cm3
c) Berat jenis larutan 2 (50% aquadest + 50 % Nacl)
= (50 % x S aquadest) + (50% x S Nacl)
= (50% x 1 gr/cm3) + (50% x 2,5 gr/cm3)
= 1,75 gr/cm3

d) Berat jenis larutan 3 (75% aquadest + 25 % Nacl)


= (75 % x S aquadest) + (25% x S Nacl)
= (75% x 1 gr/cm3) + (25% x 2,5 gr/cm3)
= 1,375 gr/cm3

c. Menghitung η nisbi.

❑larutan Slarutan t larutan


nisbi ¿ ❑ = X
aquadest S aquadest t aquadest
1 40,2333
a) nisbi (100% aquadest) ¿ × = 1 gr/cm3
1 40,2333
2,5 42,8000
b) nisbi larutan 1(100% Nacl)¿ × = 2,6595 gr/cm3
1 40,2333
1,75 40,9670
c) nisbi larutan 2(50% Nacl + 50% aquadest)¿ × = 1,7819 gr/cm3
1 40,2333

43
1,375 40,1333
d) nisbi larutan 3(25% Nacl + 75% aquadest)¿ × = 1,3716
1 40,2333
gr/cm3

d. Menghitung η dl untuk masing – masaing larutan.


❑dL=❑nisbi .❑dA , dengan ❑dA=1,005. 10−2 poise
−2 −2
a) ❑dL (aquadest )=1 ×1,005. 10 =1,005. 10 poise
−2 −2
b) ❑dL (larutan−1)=2,6595 ×1,005. 10 =2,6728. 10 poise
−2 −2
c) ❑dL (larutan−2)=1,7819 ×1,005. 10 =1,7908. 10 poise
−2 −2
d) ❑dL (larutan−3)=1,3716 ×1,005. 10 =1,3785. 10 poise

Tabel 5.1. Percobaan Kekentalan Zat Cair


Temperatur Termostat: 30oC
T rata- Berat
Larutan rata jenis η nisbi η dl
(detik) (gr/cm3) (gr/cm3) (poise)
Aquadest 402,333 1 1 1,005.10-2
Larutan 1 (100% Nacl) 428,000 2,5 26,595 2,6728.10-2
Larutan 2 (50% aquadest + 50% Nacl) 409,670 1,75 17,819 1,7908.10-2
Laruran 3 (75% aquadest + 25% Nacl) 401,333 1,375 13,716 1,3785.10-2

F. Pembahasan

Pembacaan suhu termostad diperlukan karena kesebandingan angka kekentalan


dinamis tergantung pada suhu, semakin besar suhu viskositas semakin berkurang.
Permukaan larutan didalam gelas tidak boleh menyentuh ujung viskometer Oswalt
pada saat mencari nilai t untuk tiap-tiap % larutan, karena jika menyentuh gelas
beker tekanan didalam didalam viskometer Oswalt akan semakin menurun sehingga
air didalam viskometer akan semakin lambat untuk mencapai goresan yang ditinjau,
yang mengakibatkan pengukuran waktu pada stopwatch menjadi semakin lambat.

44
G. Kesimpulan

Viskositas (kekentalan)dapat dianggap sebagai gerakan di bagian dalam (internal)


suatu fluida. Semakin besar koefisien kekentalan suatu fluida maka semakin besar
gaya gesek yang ditimbulkan fluida.
Dari konsentrasi larutan dengan Aqudest yang berbeda mengakibatkan kekentalan
(nisbi) dengan kecepatan yang berbeda pula. Dalam hal ini semakin banyak larutan
yang dicampurkan dengan aquadest maka semakin lambat kecepatan dari
konsentrasinya. Dengan percobaan yang dilakukan dilaboratorium didapat angka
kekentalan dinamis suatu larutan secara (nisbi) serta dapat dapat mempengaruhi cara
kerja viskosimeter.

H. Daftar Pustaka

Buku Panduan Praktikum Fisika Dasar.,Jurusan Teknik Sipil.,Universitas Janabadra


Yogyakarta.,2016.

BAB VI
PEGAS

A. Tujuan Percobaan

45
Tujuan dari percobaan pegas adalah untuk memahami pengertian Hukum Hooke, dan
dapat mengukur tetapan pegas.

B. Alat-Alat yang Dipergunakan

Pengujian pegas menggunakan alat-alat sebagai berikut.


1. Beberapa pegas dengan panjang tertentu
2. Statif
3. Anak timbangan
4. Mistar

Gambar 6.1. Alat Uji Pegas

C. Landasan Teori

Berdasarkan Hukum Hooke, jika pada sebuah pegas diberi gaya F (Gambar 6.2)
maka pertambahan panjang pegas (∆x) akan sebanding dengan besar F. Hubungan
antara ∆x dan gaya F adalah sebagai berikut.

46
F=∆ x (6.1)
atau dengan memasukkan tetapan kesebandingan k maka persamaan (6.1) menjadi
F=k ∆ x (6.2)
Pegas dapat disusun secara seri maupun paralel. Analisis pegas susunan seri maupun
paralel, dilakukan dengan mendasarkan pada persamaan (6.2), dengan pertambahan
panjang pegas (∆x) sebanding dengan ( F=mg). Tetapan pegas ekivalen untuk
susunan seri (ks) oleh 2 pegas (k1 dan k2) adalah :
k1 . k2
ks¿ (6.3)
k 1 +k 2
Tetapan pegas ekivalen untuk susunan paralel (kp) oleh 2 pegas (k1 dan k2) adalah :
k p=k 1 +k 2 (6.4)

D. Pelaksanaan Percobaan

1. Menentukan Tetapan Pegas Tunggal


a. Sebuah pegas ditempatkan pada tempatnya dan diukur panjang pegas itu
(x0).
b. Anak timbangan digantungkan, maka pegas akan bertambah panjang
menjadi x1. Pertambahan panjang tersebut adalah ∆ x=x 1−x 0.
c. Pengukuran ini terus dilakukan dengan menambahkan beban dengan
tambahan tertentu dan x1 diukur. Penambahan beban dilakukan sampai batas
maksimum, yaitu panjang pegas menjadi 2 kali panjang semula (2x0).

47
Gambar 6.2. Susunan Pegas Tunggal

2. Menentukan Tetapan Pegas Untuk Susunan Seri dan Paralel

Gambar 6.3. Susunan Pegas Seri dan Susunan Pegas Paralel

a. 2 pegas ditempatkan pada tempatnya dengan susunan seri (Gambar 6.3.a)


dan paralel (6.3.b) dan panjang pegas mula-mula diukur yaitu (x0).
b. Anak timbangan digantungkan, maka pegas akan bertambah panjang
menjadi x1. Pertambahan panjang pegas tersebut adalah ∆ x=x 1−x 0.
Dilakukan untuk susunan seri dan paralel.
Pengukuran xi dilakukan untuk berbagai beban yang tersedia.

E. Hasil Percobaan dan Analisis Data

1. Konstanta Pegas Tunggal


a. Pegas 1
Tabel 6.1. Pegas Tunggal 1

Massa X ΔX
No. m2 Δx.m
(gr) (cm) (cm)
1 0 8 0 0 0
2 50 8.3 0.3 2500 15
3 60 8.5 0.5 3600 30
4 70 8.8 0.8 4900 56

48
5 80 9.8 1.8 6400 144
6 90 11 3 8100 270
7 100 12.6 4.6 10000 460
8 110 14.1 6.1 12100 671
9 120 15.4 7.4 14400 888
10 130 16.9 8.9 16900 1157
∑ 810 113.4 33.4 78900 3691

Grafik 6.1. Pegas Tunggal 1 ( Hubungan m dengan ∆x )

Pegas tunggal 1
10
9
8
7
6 f(x) = 0.07 x − 2.67
ΔX(cm)

R² = 0.78 ΔX(cm)
5
4 Linear (ΔX(cm))
3
2
1
0
0 20 40 60 80 100 120 140

m (gram)

Menghitung besar konstanta pegas 1 dengan


metode kuadrat terkecil dengan persamaan y=0,074x – 2,667.
x1= 50, x2 = 60
y1 = 1,033, y2 = 1,773
y 2− y 1 1, 773−1 , 033
M 1=
( x 2−x 1
=
)(
60−50
= ) 0,074
−g −9 , 81
K= = =−132 ,5676 gr /det 2
M 1 0 , 074

49
∑ m2 . ∑ Δx−∑ m. ∑ m. Δx 78900 x33,4−810 x3691
a1 = a1 = =−2, 6670
N . ∑ m2 −( ∑ m)2 10 x78900−(810 )2
N . ∑ m. Δx−∑ m . ∑ . Δx 10 x3691−810 x 33, 4
b1 = b1 = =0 ,0742
N ∑ m2 −( ∑ m)2 10 x78900−(810 )2
g 9 , 81
K=− K=− =−132 , 2102 gr /det 2
b1 0 , 0742

b. Pegas 2
Tabel 6.2. Pegas Tunggal 2

Massa X ΔX
No. m2 Δx.m
(gr) (cm) (cm)
1 0 15 0 0 0
2 50 16 1 2500 50
3 60 16.6 1.6 3600 96
4 70 18 3 4900 210
5 80 19.6 4.6 6400 368
6 90 21.6 6.6 8100 594
7 100 23.8 8.8 10000 880
8 110 26.3 11.3 12100 1243
9 120 29 14 14400 1680
10 130 31.2 16.2 16900 2106
∑ 810 217.1 67.1 78900 7227

Grafik 6.3. Pegas Tunggal 2 ( Hubungan m dengan ∆x )

50
Pegas tunggal 2
18
16
14
12 f(x) = 0.13 x − 4.21

ΔX(cm)
10 R² = 0.83 ΔX(cm)
8 Linear (ΔX(cm))
6
4
2
0
0 20 40 60 80 100 120 140

m (gram)

Menghitung besar konstanta pegas 2 dengan metode kuadrat terkecil dengan


persamaan y=0,134x – 4,211.

x1= 50, x2 = 60
y1 = 2,489, y2 = 3,829
y 2− y 1 3 ,829−2 , 489
M 1=
( )(
x 2−x 1
=
60−50 )
=0 ,134

−g −9 , 81
K= = =−73 , 2089 gr /det2
M 1 0 ,134

∑ m2 . ∑ Δx−∑ m. ∑ m. Δx 78900 x 67 , 1−810 x 7227


a1 = a1 = =−4 , 2113
N . ∑ m2 −( ∑ m)2 10 x 78900−(810 )2
N . ∑ m. Δx−∑ m . ∑ . Δx 10 x7227−810 x67 , 1
b1 = b1 = =0,1348
N ∑ m2 −( ∑ m)2 10 x78900−(810 )2
g 9 , 81
K=− K=− =−72 ,7745 gr /det 2
b1 0 , 1348

51
2. Konstanta Pegas Ganda
a. Pegas Susunan Seri

Tabel 6.3. Pegas Susunan Seri

Massa X ΔX
No. m2 Δx.m
(gr) (cm) (cm)
1 0 28 0 0 0
2 50 30.1 2.1 2500 105
3 60 32.4 4.4 3600 264
4 70 34.5 6.5 4900 455
5 80 37.7 9.7 6400 776
6 90 41.6 13.6 8100 1224
7 100 45.7 17.7 10000 1770
8 110 49.6 21.6 12100 2376
9 120 53.5 25.5 14400 3060
10 130 57.3 29.3 16900 3809
∑ 810 410.4 130.4 78900 13839

Dari data hasil percobaan pegas dengan susunan seri, dapat dibuat sebuah grafik.
Grafik tersebut akan menggambarkan sebuah hubungan antara massa (gram) dengan
∆x= x – x0 (cm). Dan dilihat pula garis persamaan pada grafik tersebut.
Serta dari data hasil percobaan pegas dengan susunan seri, dapat dibuat pula sebuah
grafik yang menggambarkan sebuah hubungan antara massa (m) dengan ∆x.m.

Grafik 6.5. Pegas Susunan Seri ( Hubungan m dengan ∆x )

52
Pegas seri
35
30
ΔX (cm) 25
20 f(x) = 0.25 x − 6.93
R² = 0.87 Δx(cm)
15
Linear (Δx(cm))
10
5
0
0 20 40 60 80 100 120 140
m (gram)

Menghitung besar konstanta pegas seri dengan metode kuadrat terkecil dengan
persamaan y=0,246x – 6,930.

x1= 50, x2 = 60
y1 = 5,370, y2 = 7,830
y 2− y 1 7 , 830−5 , 370
M 1=
( x 2−x 1
=
)(
60−50
=0 ,246 )
−g −9 , 81
K= = =−39 , 8780 gr /det2
M 1 0 , 246

∑ m2 . ∑ Δx−∑ m. ∑ m. Δx
a1 =
N . ∑ m2 −( ∑ m)2

78900 x130 , 4−810 x 13839


a1 = =−6 , 9302
10 x 78900−(810 )2

N . ∑ m. Δx−∑ m . ∑ . Δx 10 x13839−810 x 130 , 4


b1 = 2 2
b1 = =0 ,2465
N ∑ m −( ∑ m) 10 x78900−(810 )2
g 9 , 81
K=− K=− =−39 , 7972 gr /det 2
b1 0 , 2465

53
a. Pegas Susunan Paralel

Tabel 6.4. Pegas Susunan Paralel

Massa X ΔX
No. m2 Δx.m
(gr) (cm) (cm)
1 0 15 0 0 0
2 50 15.8 0.8 2500 40
3 60 16 1 3600 60
4 70 16.2 1.2 4900 84
5 80 16.5 1.5 6400 120
6 90 16.7 1.7 8100 153
7 100 17.1 2.1 10000 210
8 110 17.6 2.6 12100 286
9 120 18.4 3.4
14400 408
10 130 18.9 3.9 16900 507
11 140 19.9 4.9 19600 686
12 150 20.7 5.7 22500 855
13 160 21.9 6.9 25600 1104
14 170 23 8 28900 1360
15 180 24.3 9.3 32400 1674
16 190 25.6 10.6 36100 2014
17 200 26.8 11.8 40000 2360
18 210 28 13 44100 2730
19 220 29.3 14.3 48400 3146
20 230 30.5 15.5 52900 3565
∑ 2660 418.2 118.2 429400 21362

Grafik 6.7. Pegas Susunan Paralel ( Hubungan m dengan ∆x )

54
Pegas Paralel
18
16
14
12 f(x) = 0.07 x − 4.01
R² = 0.9
ΔX(cm)

10 ΔX(cm)
8 Linear (ΔX(cm))
6
4
2
0
0 50 100 150 200 250

m (gram)

Menghitung besar konstanta pegas paralel dengan metode kuadrat terkecil dengan
persamaan y=0,074x – 4,012

x1= 50, x2 = 60
y1 = -0,312, y2 = 0,428
y 2− y 1 0 , 428−(−0 ,312 )
M 1=
( x 2−x 1
=
)(
60−50
=0 , 074 )
−g −9 , 81
K= = =−132 ,5676 gr /det 2
M 1 0 , 074
2
∑ m . ∑ Δx−∑ m. ∑ m. Δx
a1 =
N . ∑ m2 −( ∑ m)2

429400 x 118,2−2660 x21362


a1 = =−4 ,0121
20 x 429400−(2660)2

N . ∑ m. Δx−∑ m . ∑ . Δx 20 x21362−2660x 118, 2


b1 = 2 2 b1 = =0 ,0746
N ∑ m −( ∑ m) 20 x 429400−(2660)2
g 9 , 81
K=− K=− =−131 , 5013 gr /det2
b1 0 , 0746

55
F. Pembahasan

Jika sebuah gaya diberikan pada benda yang digantung vertikal, maka panjang benda
akan berubah. Jika besar perpanjangan Δl lebih kecil dibandingkan dengan panjang
benda, percobaan ini menunjukkan bahwa Δl sebanding dengan gaya yang diberikan
pada benda. Perbandingan ini dapat ditulis dalam persamaan :
F = k Δl
Keterangan :
F = Gaya yang menarik benda
K = Konstanta perbanding
Δl = Perubahan panjang

Hukum Hooke berlaku untuk hampir semua materi padat, tetapi hanya sampai suatu
batas tertentu. Karena jika gaya terlalu besar, maka benda akan meregang sangat
panjang dan akhirnya patah. Kurva dari persamaan diatas berupa garis lurus, dan
tidak ada satu hubungan sederhana antara F dan Δl. Tetapan pegas ekuivalen dari
susunan seri ( k s ) dan ( k p ) oleh kedua pegas yang memiliki tetapan pegas masing-
masing k1 dan k2 adalah :
1 1
k p= + ; k s =k 1 +k 2
k 1 k2
Dan dalam percobaan ini didapatkan tetapan pegas dengan perhitungan rumus di
atas, hal itu disebabkan karena faktor alat, pengamat, metode penelitian dan lain
sebagainya yang menyebabkan munculnya teori ralat.

G. Kesimpulan

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa semakin berat massa yang
digantungkan pada sebuah pegas maka pertambahan panjangnya semakin besar. Dan
susunan sebuah pegas mempengaruhi pertambahan panjang pegasnya juga. Misalnya

56
disusun secara seri maka pertambahan panjangnya lebih besar dibandingkan dengan
yang pegas yang disusun secara paralel.

H. Daftar Pustaka

Buku Panduan Praktikum Fisika Dasar.,Jurusan Teknik Sipil.,Universitas Janabadra


Yogyakarta.,2016.

57
58

Anda mungkin juga menyukai