Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan mikroorganisme, seperti ikan dan hewan air lainnya, tidak terlepas dari
kandungan oksigen yang terlarut di dalam air tidak berbeda dengan manusia dan
makhluk hidup lainnya yang di darat yang juga memerlukan oksigen dari udara agar
tetap dan bertahan. Air yang tidak mengandung oksigen tidak akan memberikan
kehidupan bagi mikroorganisme, ikan dan hewan air lainnya. Oksigen yang terlarut di
dalam air sangat penting artinya bagi kehidupan.
Pada umumnya air lingkungan yang telah tercemar kandungan oksigennya sangat
rendah. Hal itu karena oksigen yang terlarut di dalam air diserap oleh mikroorganisme
untuk memecah/mendegradasi bahan buangan organik sehingga menjadi bahan yang
mudah menguap (yang ditandai dengan bau busuk). Selain dari itu, bahan buangan
organik juga dapat bereaksi dengan oksigen yang terlarut di dalam air mengikuti reaksi
oksidasi biasa. Makin banyak bahan buangan organik yang ada dalam air, makin sedikit
sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya.
Bahan buangan organik biasanya berasal dari industri kertas, industri pembekuan
udang, industri roti, industri susu, bahan buangan limbah rumah tangga, bahan buangan
limbah pertanian, kotoran hewan, kotoran manusia dan lan sebagainya. Zat-zat beracun
atau muatan bahan organik yang berlebih akan menimbulkan gangguan terhadao kualitas
air. Keadaan ini akan menyebabkan oksigen terlarut dalam air berada pada kondisi kritis
atau merusak sifat kimia air. Rusaknya sifat kimia air tersebut akan berpengaruh
terhadap fungsi dari air itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa oksigen memegang
peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen berperan dalam
proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik.
Dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air dapat ditentukan
seberapa jauh tingkat pencemaran air lingkungan telah terjadi. Cara yang ditempuh untuk
maksud tersebut adalah dengan uji COD (Chemical Oxygen Demand) atau kebutuhan
oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air. COD
merupakan ukuran persyaratan kebutuhan oksidasi sampel yang berada dalam kondisi
tertentu, yang ditentukan dengan menggunakan suatu oksida kimiawi. Apabila semakin
sedikit kandungan udara di dalam air maka angka COD akan semakin besar. Besarnya
angka COD tersebut menunjukkan bahwa keberadaan zat organik di air berada dalam
jumlah yang besar. Organik-organik tersebut mengubah oksigen menjadi karbondioksida
dan air sehingga perairan tersebut menjadi kekurangan oksigen.

1
Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O 2) yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 L sampel air melalui reaksi kimia.
Dalam hal ini bahan buangan organik yang akan dioksidasi oleh Kalium bichromat
menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah Ion Chrom. Kalium bichromat atau K 2Cr2O7
digunakan sebagai sumber oksigen (oxiding agent). Analisis COD perlu dilakukan
karena COD dapat mengoksidasi zat-zat organik yang terdapat dalam air limbah yang
melalui reaksi kimia, sehingga air limbah dapat dibuang di perairan sekeliling.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Chemical Oxygen Demmand (COD)?
2. Bagaimana cara pemeriksaan COD pada sampel air dengan metode titimetri?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Chemical Oxygen Demand (COD).
2. Untuk mengetahui xara pemeriksaan COD pada sampel air dengan metode
titrimetri.

D. Manfaat

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Chemical Oxygen Demand
COD adalah jumlah oksigen (mg O 2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat
organis yang ada dalam 1 liter sampel air, dimana pengoksidasi K 2Cr2O7 digunakan
sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). COD merupakan jumlah oksigen yang
diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia
baik yang didegradasi secara biologis maupun yang sukar di degradasi. Bahan buangan
organik tersebut akan dioksidasi oleh kalium bikromat yang digunakan sebagai sumber
oksigen menjadi O2 dan H2O serta sejumlah ion krom. Prinsip reaksinya sebagai berikut:
H+ + CxHyOz + Cr2O72- CO2 + H2O + Cr23+

Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secar
alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis, dan mengakibatkan
berkurangnya oksigen terlarut dalam air. Analisa COD berbeda dengan analisa BOD
namun perbandingan antara angka COD dengan angka BOD dapat ditetapkan.
Jenis Air BOD/COD
Air buangan domestic (penduduk) 0,40-0,60

Air buangan domestic setelah 0,60


pengendapan primer
Air buangan domstic setelah pengolahan 0,20
secara biologis
Air sungai 0,10
Tabel. Perbandingan Rata-rata Angka BOD/COD Beberapa Jenis Air

Jika pada perairan terdapat bahan organik yang resisten terhadap degradasi biologis,
misalnya tannin, fenol, polisakarida dan sebagainya, maka lebih cocok dilakukan
pengukuran COD daripada BOD. Kenytaannya hampir semua zat organik dapat
dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam suasana asam,
diperkirakan 95%-100% bahan organik dapat dioksidasi. Sebagian besar zat organis
melalui tes COD ini dioksidasi oleh larutan K 2Cr2O7 dalam keadaan asam yang mendidih.
Selama reaksi yang berlangsung ± 2 jam ini, uang direfluk dengan alat kondensor agar
zat organis volateli tidak lenyap keluar. Perak sulfat Ag 2SO4 ditambahkan sebagai
katalisator untuk mempercepat reaksi. Sedang merkuri sulfat ditambahakan untuk
menghilangkan gangguan klorida yang pada umumnya ada di dalam buangan karena
klorida dapat ikut teroksidasi oleh kalium bikromat.

3
Untuk memastikan bahwa hampir semua zat organis habis teroksidasi maka zat
pengoksidasi K2Cr2O7 masih harus tersisa sesudah direfluk. K 2Cr2O7 yang tersisa di dalam
larutan tersebut digunakan untuk menentukan berapa oksigen yang telah terpakai. Sisa
K2Cr2O7 tersebut ditentukan melalui titrasi dengan ferro ammonium sulfat (FAS).
Indikator ferroin digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi yaitu disaat warna hijau
biru larutan berubah menjadi coklat merah. Sisa K 2Cr2O7 dalam larutan blanko adalah
K2Cr2O7 awal, karena diharapkan blanko tidak mengandung zat organis yang dapat
dioksidasi oleh K2Cr2O7.
Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dari
pada uji BOD karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Sebagai contoh, selulosa sering
tidak terukaran melalui uji BOD karena sukar dioksidasi melalui reaksi biokimia, tetapi
dapat terukur melalui uji COD (Fardiaz. 1992). Warna larutan air lingkungan yang
mengandung bahan buangan organik sebelum raksi oksidasi adalah kuning. Setelah
reaksi oksidasi makan akan berubah menjadi warna hijau. Jumlah oksigen yang
diperlukan untuk reaksi oksidasi terhadao bahan buangan organik sama dengan jumlah
kalium bikromat yang dipakai pada reaksi oksidasi, berarti makin banyak oksigen yang
diperlukan ini berarti bahwa air lingkungan makin banyak tercemar oleh bahan buangan
organik (Wardhana. 1995).

B. Analisis COD
Prinsip pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu kalium bikromat
( K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan volume diketahui) yang telah
ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat, kemudian dipanaskan selama beberapa
waktu. Selanjutnya, kelebihan kaliuam bikromat ditera dengan cara titrasi. Dengan
demikian kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan organik dalam sampel
dapat dihitung dan nilai COD dapat ditentukan.

C. Metode Analisis COD


Kepedulian akan aspek kesehatan lingkungan mendorong perlunya peninjauan kritis
metode standar penentuan COD tersebut, karena adanya keterlibatan bahan-bahan
berbahaya dan bercun dalm proses analisisnya. Berbagai usaha telah dilakukan untuk
mencari metode alternatif yang lebih baik dan ramah lingkungan. Perkembangan
metode-metode penentuan COD dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama,
metode yang didasarkan prinsip oksidasi kimia secara konvensional dan sederhana dalam
proses analisinya. Kedua, metode yang berdasarkan pada oksidasi elektrokatalitik pada
bahan organik dan disertai pengukuran secara elektrokimia.

4
1. Refluks
Refluks merupakan proses dimana terjadinya perubahan fase cair menjadi fase
gas (uap), kemudian uap yang terjadi dikondensasi menggunakan alat kondensor
dengan perubahan fasa dari fasa gas menjadi fasa cair kembali dengan mengambil
panas laten oleh air pendingin. Dalam proses refluks terjadi proses reversible,
dimana dari fasa cair, kemudian berubah menjdi fasa gas, dan kemudian berubah
lagi menjadi fasa cair atau keadaan sebelumnya. Sehingga tidak ada uap yang
dibebaskan pada proses refluks. Dalam proses refluks cenderung tidak terjadi
perubahan warna, hal tersebut dikarenakan tidak adanya kontaminasi dari udara
sekitar, dan juga tidak adanya zat dalam larutan yang terbuat akibat pemanasan.
2. Prinsip Refluks
Penarikan komponen kimia dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke
dalam labu bersama-sama dengan cairan lalu dipanaskan. Uap-uap cairan
terkondensasi pada kondensor manjadi molekul-molekul cairan yang akan turun
kembali menuju labu dan demikian seterusnya berlangsung secara
berkesinambungan sampai sempurna, pengganti pelarut dilakukan setiap 3-4 jam.
Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan.

Gambar 2.1.
Refluks di destilasi industri
Sumber: http://zilazulaiha.blogspot.com/2011/10/refluks.html

5
Gambar 2.2. Refluks di destilasi laboratorium
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Refluks

a. Metode Refluks Terbuka


Sampel 20,0 ml dimasukkan kedalam erlenmeyer lalu ditambahkan 0,4
HgSO4 dan 10 ml reagen K 2Cr2O7, ditambah 30 ml campuran H 2SO4 + Ag2SO4,
batu didih, panaskan selama 2 jam dan dihubungkan dengan kondensor tegak
dan dipanaskan kemudian dititrasi dengan FAS 0,1N dengan indikator ferroin
dari warna biru hijau kekuningan sampai coklat merah.
b. Metode Refluks Tertutup
Sampel 2 ml dalam tabung COD ditambahka 5 ml K 2Cr2O7 0,25N + HgSO4
0,1gram dan 3 ml campuran H2SO4 + Ag2SO4 lalu ditutup rapat. Dipanaskan
selama 2 jam dan dipindahkan lalu dititrasi dengan FAS 0,1 N dengan indikator
ferroin dari warna biru hijau kekuningan sampai coklat merah. Keuntungan
metode refluks tertutup dibanding dengan metode refluks terbuka adalah
sebagai berikut:
1) Lebih praktis dan mudah.
2) Sampel yang digunakan lebih sedikit.
3) Reagen yang digunakan lebih sedikit.
4) Peralatan yang digunakan lebih sedikit.

D. Prosedur Kerja Pemeriksaan COD Berdasarkan SNI 6989.73:2009


Cara uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand/ COD) dilakukan
dengan metode refluks tertutup secara titrimetri. Metode ini digunakan untuk pengujian
dalam air dan air limbah dengan reduksi Cr2O72- secara titrimetri pada kisaran nilai COD
40 mg/L sampai dengan 400 mg/L. Metode ini digunakan untuk contoh uji dengan kadar
klorida kurang dari 2000mg/L.
1. Prinsip

6
Senyawa organik dan anorganik, terutama organik dalam contoh uji dioksidasi
oleh Cr2O72- dalam refluks tertutup selama 2 jam menghasilkan Cr 3+. Kelebihan
kalium bkromat yang tidak tereduksi, dititrasi dengan larutan Ferro Ammonium
Sulfat (FAS) menggunakan indikator ferroin. Jumlah oksidas yang dibutuhkan
dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2 mg/L).
2. Bahan
a. Air bebas organik.
b. Larutan pereaksi asam sulfat (larutkan 10,12 g serbuk atau kristal Ag 2SO4 ke
dalam 1000 ml H2SO4 pekat. Aduk hingga larut).
Catatan: proses pelarutan Ag2SO4 dalam asam sulfat dibutuhkan waktu
pengadukan selama 2 hari, sehingga digunakan magnetic stirer untuk
mempercepat melarutnya pereaksi.
c. Larutan baku kalium bikromat 0,01667 M (0,1 N) (digestion solution). Dengan
cara larutkan 4,903 g K2Cr2O7 yang telah dikeringkan pada suhu 105℃ selama
2 jam ke dalam 500 ml air bebas organik. Tambahkan 167 ml H 2SO4 pekat dan
33,3 g HgSO4. larutkan dan dinginkan pada suhu ruang dan encerkan sampai
1000 ml.
Catatan: Larutan baku K2Cr2O7 dapat menggunakan larutan yang siap pakai.
d. Larutan indikator ferroin.
e. Larutan baku Ferro Ammonium Sulfat (FAS);
Larutkan 19,6 g Fe(NH4)2(SO4). 6H2O dalam 300 ml air bebas organik,
tambahkan 20 ml H2SO4 pekat, dinginkan dan tempatkan dalam 1000 ml.
f. Asam sulfamat (NH2SO3H);
Digunakan jika ada gangguan nitrit. Tambahkan 10 mg asam sulfamat untuk
setiap mg NO2-N yang ada dalam contoh uji.
g. Larutan baku Kalium Hidrogen Ftalat (KHP) yang siap pakai.
Catatan: Larutan baku Kalium Hidrogen Ftalat digunakan sebagai
pengendalian mutu kinerja pengukuran.
3. Alat
a. Digestion vessel.
b. Pemanas dengan lubang-lubang penyangga tabung (heating block).
c. Mikroburet.
d. Labu ukur 100 ml dan 1000 ml.
e. Pipet volumetrik 5 ml; 10ml; 25 ml.
f. Pipet ukur 5 ml; 10 ml; dan 25 ml.
g. Erlenmeyer.
h. Gelas piala.

7
i. Magnetic stirer.
j. Timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg.
4. Persiapan dan Pengawetan Contoh Uji
a. Persiapan Contoh Uji
1) Homogenkan contoh uji (contoh uji dihaluskan dengan blender bila
mengandung padatan tersuspensi).
2) Cuci digestion vessel dan tutupnya dengan H2SO4 20% sebelum digunakan.
b. Pengawetan Contoh Uji
Bila contoh uji tidak dapat segera diuji, maka contoh uji diawetkan dengan
menambahkan H2SO4 pekat sampai pH lebh kecil dari 2 dan disimpan dalam
pendingin pada temperatur 4℃±2℃ dengan waktu simpan maksimum yang
direkomendasikan 7 hari.

c. Persiapan pengujian
Lakukan standarisasi larutan baku FAS dengan larutan baku kalium bikromat
setiap melakukan pengujian dengan cara sebagai berikut:

Pipet 5 ml digestion solution ke dalam elenmeyer, tambahkan air bebas organik


sejumlah contoh uji dan dinginkan pada suhu ruang. Tambahkan 1-2 tetes
indikator ferroin dan titrasi dengan larutan titrasi FAS. Hitung kembali
molaritas larutan.
Molaritas larutan FAS =
(Volume 0,1 N larutan K2Cr2O7 ml/ Volume FAS ml) × normalitas digestion
solution
d. Prosedur
1) Pipet volume contoh uji dan tambahkan digestion solution dan tambahkan
larutan pereaksi asam sulfat ke dalam tabung atau ampul, seperti yang
dinyatakan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Contoh uji dan larutan pereaksi untuk bermacam-macam Digestion


vessel
Digestion Contoh uji (mL) Digestion Larutan pereaksi Total
vessel slution (mL) asam sulfat (mL) volume
(mL)

8
Tabung kultur
16 x 100 mm 2,50 1,50 3,5 7,5
10 x 150 mm 5,00 3,00 7,0 15,0
25 x 150 mm 10,00 6,00 14,0 30,0

Standar
Ampul :
10 ml 2,50 1,50 3,51 7,5

2) Tutup tabung dan kocok perlahan sampai homogen.


3) Letakkan tabung pada pemanas yang telah dipanaskan pada suhu 105℃,
lakukan digestion selama 2 jam.
4) Dinginkan perlahan-lhan contoh uji yang sudaj direfluks sampai suhu
ruang. Saat pendinginan sesekali tutup contoh uji dibuka untuk mencegah
adanya tekanan gas.
5) Pindahkan secara kualitatif contoh uji dari tube atau ampul ke dalam
erlenmeyer untuk titrasi.
6) Tambahkan indikator ferroin 0,05 ml-0,1 ml atau 1-2 tetes dan aduk
dengan pengaduk magnetik sambil dititrasi dengan larutan baku FAS 0,05
M sampai terjadi perubahan warna yang jelas dari hijau-biru menjadi
coklat-kemerahan, catat volume larutan FAS yang digunakan.
7) Lakukan langkah yang sama terhadap air bebas organik sebagi blanko.
Catat volume larutan FAS yang digunakan.
e. Perhitungan
Nilai COD sebagai mg/L O2 :
(A  B)  M  8000
COD (mgO2/L) 
ml contoh uji
Keterangan:
A : volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk blanko (ml)
B : volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk contoh uji (ml)
M : molaritas larutan FAS
8000 : berat miliekuivalen oksigen x 1000 mL/L
f. Pengendalian Mutu
1) Gunakan bahan kimia pro analisis.
2) Gunakan alat gelas bebas kontaminasi.
3) Gunakan alat ukur yang terkalibrasi.
4) Gunakan air suling bebas organik untuk pembuatan blanko dan larutan
kerja.
5) Dikerjakan oleh analis yang kompeten.

9
6) Lakukan analisis blanko dengan frekuensi 5% - 10% per batch (satu seri
pengukuran) atau minimal 1 kali untuk jumlah contoh uji kurang dari 10
sebagai kontrol kontaminasi.
7) Lakukan analisis duplo dengan frekuensi 5% - 10% per satu seri
pengukuran atau minimal 1 kali untuk jumlah contoh uji kurang dari 10
sebagai kontrol ketelitian analisis. Jika Perbedaan Persen Relatif (Relative
Percent Difference, RPD) lebih besar atau sama dengan 10%, maka
dilakukan pengukuran selanjutnya untuk mendapatkan RPD kurang dari
10%.
Persen RPD
hasil pengukuran - duplikat pengukuran
% RPD   100%
(hasil pengukuran  duplikat pengukuran)/2

8) Lakukan kontrol akurasi dengan larutan baku KHP dengan frekuensi 5% -


10% per batch atau minimal 1 kali untuk 1 batch. Kisaran persen temu
balik adalah 85% - 115%.
Persen temu balik (% Recovery , %R)
A
%R    100%
B
Keterangan:
A: hasil pengukuran larutan baku KHP (mg/L).
B: kadar larutan baku KHP hasil penimbangan (target value) mg/L.

E. Penanggulangan Kelebihan/Kekurangan Kadar COD


1. Penanggulangan Kelebihan Kadar COD
Pada Trickling filter terjadi penguraian bahan organik yang terkandung dalam
limbah. Penguraian ini dilakukan oleh mikroorganisme yang melekat pada filter
media dalam bentuk lapisan biofilm. Pada lapisan ini bahan organik diuraikan oleh
mikroorganisme aerob, sehingga nilai COD menjadi turun. Pada proses
pembentukan lapisan biofilm, agar diperoleh hasil pengolahan yang optimum maka
dalam hal pendistribusian larutan air kolam retensi Tawang pada permukaan media
genting harus merata membasahi seluruh permukaan media. Hal ini penting untuk
diperhatikan agar lapisan biofilm dapat tumbuh melekat pada seluruh permukaan
genting.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa
semakin lama waktu tinggal, maka nilai COD akhir semakin turun (prosentase
penurunan COD semakin besar). Hal ini disebabkan semakin lama waktu tinggal
akan memberi banyak kesempatan pada mikroorganisme untuk memecah bahan-

10
bahan organik yang terkandung di dalam limbah. Di sisi lain dapat diamati pula
bahwa semakin kecil nilai COD awal (sebelum treatment dilakukan) akan
menimbulkan kecenderungan penurunan nilai COD akhir sehingga persentase
penurunan COD nya meningkat. Karena dengan COD awal yang kecil ini,
kandungan bahan organik dalam limbah pun sedikit, sehingga bila
dilewatkan trickling filter akan lebih banyak yang terurai akibatnya COD
akhir turun. Begitu pula bila diamati dari sisi jumlah tray (tempat filter
media).
Semakin banyak tray, upaya untuk menurunkan kadar COD akan
semakin baik. Karena dengan penambahan jumlah tray akan memperbanyak
jumlah ruang/tempat bagi mikroorganisme pengurai untuk tumbuh melekat.
Sehingga proses penguraian oleh mikroorganisme akan meningkat dan proses
penurunan kadar COD semakin bertambah. Jadi prosen penurunan COD
optimum diperoleh pada tray ke 3. Permukaan media bertindak sebagai
pendukung mikroorganisme yang memetabolisme bahan organik dalam
limbah.
Penyaring harus mempunyai media sekecil mungkin untuk meningkatkan
luas permukaan dalam penyaring dan organisme aktif yang akan terdapat dalam
volume penyaring akan tetapi media harus cukup besar untuk memberi ruang
kosong yang cukup untuk cairan dan udara mengalir dan tetap tidak tersumbat
oleh pertumbuhan mikroba. Media berukuran besar seperti genting (tanah liat
kering) berukuran 2-4 in akan berfungsi secara maksimal. Media yang
digunakan berupa genting dikarenakan lahan diatas permukaan genting
cenderung berongga dibanding media lain yang biasa mensuplai udara dan sinar
matahari lebih banyak daripada media lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
mikroba pada genting.
Pada penelitian ini, efisiensi Trickling Filter dalam penurunan COD
tidak dapat menurunkan sampai 60% dikerenakan :
a. Aliran air yang kurang merata pada seluruh permukaan genting karena
nozzle yang digunakan meyumbat aliran air limbah karena tersumbat air
kolam retensi Tawang.
b. Supplay oksigen dan sinar matahari kurang karena trickling filter diletakkan
di dalam ruangan sehingga pertumbuhan mikroba kurang maksimal.

11
Dalam penumbuhan mikroba distibusi air limbah dibuat berupa tetesan
agar air limbah tersebut dapat memuat oksigen lebih banyak jika dibanding
dengan aliran yang terlalu deras karena oksigen sangat diperlukan mikroba
untuk tumbuh berkembang.
2. Penanggulangan Kekurangan Kadar COD
Senyawa organik yang terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen dengan
elemen aditif nitrogen, sulfur, fosfat, dan lain-lain cenderung untuk menyerap
oksigen-oksigen yang tersedia dalam limbah air dikonsumsi oleh
mikroorganisme untuk mendegredasi senyawa organik akhirnya oksigen.
Konsentrasi dalam air limbah menurun, ditandai dengan peningkatan COD,
BOD, SS dan air limbah juga menjadi berlumpur dan berbau busuk. Semakin
tinggi konsentrasi COD menunjukkan bahwa kandungan senyawa organik
tinggi tidak dapat terdegredasi secara biologis.
EM4 pengobatan 10 hari dalam tangki aerasi harus dilanjutkan karena
peningkatan konsentrasi COD. Fenomena ini menunjukkan bahwa EM4 tidak
bisa eksis baik di kondisi ini air limbah, karena populasi yang kuat dan
jumlah rendah mikroorganisme dalam air limbah.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

12
DAFTAR PUSTAKA

Fradilla, Yolanda. 2018. Penentuan Kadar Chemical Oxygen Demand (COD) Air Limbah

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia Pasuruan Secara Titrimetri dan

Spektrofotometri. Jurnal SNKP. 170-175. Diakses pada 10 Oktober 2019, available at

http://kimia.fmipa.um.ac.id/penentuan-kadar-chemical-oxygen-demand-cod-air-limbah-p

usat-penelitian-perkebunan-gula-indonesia-pasuruan-secara-titrimetri-dan-spektrofotome

tri/

13
Juliana, Dika. 2014. Pemeriksaan COD (Chemical Oxygen Demand). Diakses pada 10

Oktober 2019, available at https://www.scribd.com/doc/200495576/Pemeriksaan-Cod

SNI 6989.73 : 2009. Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand)

Dengan Refluks Tertutup Secara Titrimetri. Badan Standarisasi Nasional (BSN).

14

Anda mungkin juga menyukai